bab ii tinjauan pustaka 2.1. landasan teori 2.1.1

39
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan tema yang popular, tanpa adanya pemimpin para karyawan tidak akan dapat bekerja dengan baik, karena fungsi pemimpin di sini diperlukan untuk mempengaruhi, memotivasi karyawan serta ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Manajemen seringkali disamakan dengan kepemimpinan. Abraham Zaleznik (dalam Robbins, 2002) misalnya, berpendapat bahwa pemimpin dan manajemen sangat berbeda. Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, dan cara berpikir serta bertindak. Zaleznik mengatakan bahwa manajer cenderung mengambil sikap impersonal dan pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi dan aktif terhadap tujuan. Sedangkan Kotter (dalam Robbins, 2002) menganggap baik kepemimpinan dan manajemen sama pentingnya bagi keefektifan organisasional yang optimal. Namun ia yakin bahwa kebanyakan organisasi kurang dipimpin (underled) dan terlalu ditata-olah (overmanaged). Munandar (2001) melihat kepemimpinan sendiri lebih berhubungan dengan efektivitas sedangkan manajemen lebih berhubungan dengan efisiensi. Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting bagi manajer. Para manajer merupakan pemimpin (dalam organisasi mereka), sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer. Jadi definisi kepimimpinan secara luas menurut Robbins (2002) yaitu sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Siagian

Upload: ledieu

Post on 18-Jan-2017

226 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan tema yang popular, tanpa adanya pemimpin

para karyawan tidak akan dapat bekerja dengan baik, karena fungsi pemimpin di

sini diperlukan untuk mempengaruhi, memotivasi karyawan serta ikut serta dalam

proses pengambilan keputusan. Manajemen seringkali disamakan dengan

kepemimpinan. Abraham Zaleznik (dalam Robbins, 2002) misalnya, berpendapat

bahwa pemimpin dan manajemen sangat berbeda. Mereka berbeda dalam

motivasi, sejarah pribadi, dan cara berpikir serta bertindak. Zaleznik mengatakan

bahwa manajer cenderung mengambil sikap impersonal dan pasif terhadap tujuan,

sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi dan aktif terhadap tujuan.

Sedangkan Kotter (dalam Robbins, 2002) menganggap baik kepemimpinan dan

manajemen sama pentingnya bagi keefektifan organisasional yang optimal.

Namun ia yakin bahwa kebanyakan organisasi kurang dipimpin (underled) dan

terlalu ditata-olah (overmanaged). Munandar (2001) melihat kepemimpinan

sendiri lebih berhubungan dengan efektivitas sedangkan manajemen lebih

berhubungan dengan efisiensi. Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting

bagi manajer. Para manajer merupakan pemimpin (dalam organisasi mereka),

sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer. Jadi definisi kepimimpinan

secara luas menurut Robbins (2002) yaitu sebagai kemampuan untuk

mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Siagian

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

13

(1995) kepemimpinan merupakan keterampilan dan kemampuan seseorang untuk

mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik langsung, maupun tidak

langsung dengan maksud untuk menggerakan orang-orang tersebut agar dengan

penuh pengertian dan kesadaran bersedia mengikuti kehendak-kehendak

pemimpin tersebut. Menurut Stoner, et al (1995) kepemimpinan didefinisikan

sebagai proses pengarahan dan memepengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan

tugas dari para anggota kelompok. Berdasarkan uraian tentang definisi

kepemimpinan di atas, menurut Nitisemito, 2001 (dalam Marcian, 2008) dapat

disimpulkan bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki

seseorang dan akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak dipengaruhi.

Kemampuan mempengaruhi adalah yang dominan dari kepemimpinan, dan

keberhasilan seorang pemimpin adalah bagaimana ia bisa memotivasi dan

menginspirasi orang lain. Teori-teori kepemimpinan dengan demikian dapat

diterapkan pada manajer. Dalam hal ini manajemen dapat kita anggap sebagai

kepemimpinan dalam perusahaan. Menurut Munandar (2001) kepemimpinan

merupakan pengertian yang meliputi segala macam situasi yang dinamis, yang

berisi:

a. Seorang manajer sebagai pemimpin yang mempunyai wewenang untuk

memimpin.

b. Bawahan yang dipimpin, yang membantu manajer sesuai dengan tugas

mereka masing-masing.

c. Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh manajer bersama-sama dengan

bawahannya.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

14

Efektifitas kepemimpinan biasanya dipertimbangkan dari segi tercapainya

suatu tujuan. Orang memandang kepemimpinan itu efektif atau tidak efektif dari

segi kepuasan yang diperoleh dari pengalaman pekerjaan seluruhnya. Penerimaan

dari pengarahan atau perintah seorang pemimpin sebagian besar tergantung dari

harapan para bawahannya, apabila mereka menanggapinya secara baik, maka akan

mendapatkan hasil yang menarik. Pemimpin yang baik harus memiliki empat

macam kualitas yaitu kejujuran, pandangan ke depan, mengilhami pengikutnya,

dan kompeten. Pemimpin yang tidak jujur tidak akan dipercaya dan akhirnya tidak

mendapat dukungan dari pengikutnya. Pemimpin yang memiliki pandangan ke

depan adalah pemimpin yang memiliki ke depan lebih baik. Pemimpin yang baik

juga harus mampu mengilhami pengikutnya dengan penuh antusiasme dan

optimisme. Pemimpin yang baik juga harus memiliki kompetensi dalam

menjalankan tugas secara efektif, mengerti kekuatannya, dan menjadi pembelajar

terus-menerus (Tampubolon, 2007). Selain itu, pemimpin yang efektif adalah

yang (1) bersikap luwes, (2) sadar mengenai diri, kelompok, dan situasi, (3)

memberi tahu bawahan tentang setiap persoalan dan bagaimana pemimpin pandai

dan bijak menggunakan wewenangnya, (4) mahir menggunakan pengawasan

umum di mana bawahan tersebut mampu menyelesaikan pekerjaan dalam batas

waktu yang ditentukan, (5) selalu ingat masalah mendesak, baik keefektifan

jangka panjang secara individual maupun kelompok sebelum bertindak, (6)

memastikan bahwa keputuan yang dibuat sesuai dan tepat waktu baik secara

individu maupun kelompok, (7) selalu mudah ditemukan bila bawahan ingin

membicarakan masalah dan pemimpin menunjukan minat dalam setiap

gagasannya, (8) menepati janji yang diberikan kepada bawahan, cepat menangani

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

15

keluhan, dan memberikan jawaban secara sungguh-sungguh dan tidak berbelit-

belit serta (9) memberikan petunjuk dan jalan keluar tentang metode/mekanisme

pekerjaan dengan cukup, meningkatkan keamanan dan menghindari kesalahan

seminimal mungkin.

2.1.2 Beberapa Teori Kepemimpinan

Bila berbicara mengenai kepemimpinan, maka terlebih dahulu harus

membahas teori-teori kepemimpinan. Robbins (1996) membagi teori mengenai

kepemimpinan ke dalam empat kategori, yaitu :

1. Teori Ciri Kepemimpinan (The Leadership Characteristic theory)

Teori Ciri Kepemimpinan adalah teori yang mencari ciri kepribadian,

sosial, fisik, atau intelektual yang memperbedakan pemimpin dari bukan

pemimpin. Dalam teori ini diidentifikasikan ciri-ciri yang dikaitkan secara

konsisten dengan kepemimpinan yaitu enam ciri yang cenderung membedakan

pemimpin dari bukan pemimpin adalah ambisi dan energi, hasrat untuk

memimpin, kejujuran dan integritas (keutuhan), percaya diri, kecerdasan, dan

pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Di samping itu, riset baru-baru ini

memberikan bukti kuat bahwa orang-orang yang mempunyai sifat pemantauan

diri yang tinggi artinya sangat luwes dalam menyesuaikan perilaku mereka dalam

situasi yang berlainan, jauh lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai

pemimpin dalam kelompok-kelompok ketimbang yang pemantauan dirinya

rendah.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

16

2. Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral Theories of Leadership)

Teori Perilaku Kepemimpinan adalah teori-teori yang mengemukakan

bahwa perilaku spesifik membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Adapun

teori-teori yang termasuk ke dalam Teori Perilaku Kepemimpinan adalah:

a. Studi-studi Kepemimpinan Ohio State

Menurut Yukl (1994) kuesioner penelitian tentang perilaku kepemimpinan

yang efektif telah didominasi oleh pengaruh dari kepemimpinan dari Ohio

State University. Sebuah sasaran utama untuk mengidentifikasi perilaku

kepemimpinan yang efektif. Analisis faktor dari jawaban kuesioner memberi

indikasi bahwa para bawahan memandang perilaku atasannya pertama-tama

dalam kaitannya dengan dua dimensi atau kategori arti dari perilaku, yang

kemudian disebut sebagai “consideration” dan “initiating structure”.

Kedua-duanya adalah kategori yang didefinisikan secara luas yang terdiri

atas sejumlah varietas yang luas mengenai jenis-jenis perilaku yang spesifik.

Consideration adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin bertindak

dengan cara ramah dan mendukung, memperlihatkan perhatian terhadap

bawahan, dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Contohnya termasuk

melakukan kebaikan kepada bawahan, mempunyai waktu untuk

mendengarkan masalah para bawahan, mendukung atau berjuang untuk

seorang bawahan, berkonsultasi dengan bawahan mengenai hal yang penting

sebelum dilaksanakan, bersedia untuk menerima saran dari bawahan, dan

memperlakukan bawahan sebagai sesamanya.

Initiating structure (struktur memprakarasai) adalah tingkat sejauh mana

seorang pemimpin menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

17

dari para bawahan kearah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok.

Contohnya termasuk memberi kritik kepada pekerjaan yang jelek,

menekankan pentingnya memenuhi batas waktu, menugaskan bawahan,

mempertahankan standar-standar kinerja tertentu, meminta bawahan untuk

mengikuti prosedur-prosedur standar, menawarkan pendekatan baru terhadap

masalah, mengkoordinasi kegiatan-kegiatan bawahan, dan memastikan bahwa

bawahan bekerja sesuai dengan batas kemampuannya.

b. Telaah Universitas Michigan

Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Survei dan Survei

Universitas Michigan mempunyai riset yang serupa dengan riset yang

dilakukan di Ohio yaitu melokasi karakteristik perilaku pemimpin yang

tampaknya dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Kelompok Michigan

juga membagi perilaku pemimpin ke dalam dua dimensi yaitu pemimpin

berorientasi karyawan dan pemimpin berorientasi produksi. Pemimpin yang

berorientasi karyawan (employee oriented leader) menekankan pada hubungan

antarpribadi, memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan

dam menerima perbedaan individual di antara para anggota. Sebaliknya

pemimpin yang berorientasi produksi (production oriented leader) cenderung

menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan tertentu, perhatian utama

mereka adalah pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota-

anggota kelompok adalah suatu alat untuk tujuan akhir itu.

c. Kisi-kisi Manajerial Blake & Mouton dan Studi Skandinavia

Suatu penggambaran grafis dari pandangan dua dimensi terhadap gaya

kepemimpinan dikembangkan oleh Blake dan Mouton. Mereka

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

18

mengemukakan Kisi Manajerial berdasarkan gaya “kepedulian akan orang”

dan “kepedulian akan produksi”, yang pada hakikatnya mewakili dimensi

pertimbangan dan struktur prakarsa dari Ohio atau dimensi berorientasi

karyawan dan berorientasi produksi dari Michigan. Kisi manajerial itu sendiri

merupakan suatu matriks sembilan kali sembilan yang membagankan delapan

puluh satu gaya kepemimpinan yang berlainan.

Berdasarkan penemuan-penemuan Blake dan Mouton, para manajer

berkinerja paling baik pada gaya 9,9 dimana perhatiannya pada produksi

tinggi tetapi perhatiannya pada karyawan juga tinggi, jika dibandingkan

dengan gaya 9,1 (tipe otoritas) atau gaya 1,9 (tipe laissez-faire).

Studi skandinavia mengatakan premis dasar mereka adalah bahwa dalam

suatu dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan menampakkan

perilaku yang berorientasi pengembangan (orients expansion). Mereka adalah

para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mencari gagasan baru, serta

membuat dan mengimplementasikan perubahan.

3. Teori Kontingensi (Contingency Theory)

Teori Kontingensi merupakan pendekatan kepemimpinan yang mendorong

pemimpin memahami perilakunya sendiri. Teori ini mengatakan bahwa

keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari berbagai aspek situasi

kepemimpinan (Ivancevich, Konopaske, Matteson, 2007). Adapun lima teori yang

termasuk ke dalam teori kontingensi adalah :

a. Model kontingensi Fiedler (Fiedler Contingency Model)

Mengemukakakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada

padanan yang tepat antara gaya si pemimpin dan sampai tingkat mana situasi

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

19

memberikan kendali dan pengaruh kepada si pemimpin. Fiedler menciptakan

instrument, yang disebutnya LPC (Least Preffered Co-Worker) yang

bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas atau hubungan.

Kemudian setelah gaya kepemimpinan dasar individu dinilai melalui LPC

yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas ataukah

hubungan, Fiedler mendefinisikan faktor-faktor hubungan pemimpin-

anggota, struktur tugas dan kekuasaan jabatan sebagai faktor situasi utama

yang menentukan efekftivitas kepemimpinan.

b. Teori Situasional Hersey dan Blanchad

Merupakan suatu teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada para

pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya

kepemimpinan yang tepat, yang menurut argument Hersey dan Blanchard

bersifat tergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya.

Tekanan pada pengikut dalam keefektifan kepemimpinan mencerminkan

kenyataan bahwa para pengikutlah yang menerima baik atau menolak

pemimpin. Tidak peduli apa yang dilakukan si pemimpin itu, keefektifan

bergantung pada tindakan dari pengikutnya. Inilah dimensi penting yang

kurang ditekankan dalam kebanyakan teori kepemimpinan. Istilah kesiapan,

seperti didefinisikan oleh Hersey dan Blanchard, merujuk ke sejauh mana

orang mempunyai kemampuan dan kesiapan untuk menyelesaikan suatu tugas

tertentu.

c. Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota

Menurut teori ini para pemimpin menciptakan kelompok-dalam dan

kelompok-luar, dan bawahan dengan status kelompok-dalam akan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

20

mempunyai penilaian kinerja yang lebih tinggi, tingkat keluarnya karyawan

yang lebih rendah, dan kepuasan yang lebih besar bersama atasan mereka.

Hal pokok yang harus dicatat di sini adalah bahwa walaupun pemimpinlah

yang melakukan pemilihan, karakteristik pengikutlah yang mendorong

keputusan kategorisasi dari pemimpin.

d. Teori Jalur-Tujuan Robert House (House’s Path Goal Theory)

Merupakan teori bahwa perilaku seorang pemimpin dapat diterima baik oleh

bawahan sejauh mereka pandang sebagai suatu sumber dari atau kepuasan

segera atau kepuasan masa depan. Hakikat teori ini adalah bahwa merupakan

tugas si pemimpin untuk membantu pengikutnya dalam mencapai tujuan

mereka dan untuk memberikan pengarahan yang perlu dan / atau dukungan

guna memastikan tujuan mereka sesuai dengan sasaran keseluruhan dari

kelompok atau organisasi.

e. Teori Model Partisipasi-Pemimpin Vroom dan Yetton

Merupakan suatu teori kepemimpinan yang memberikan seperangkat aturan

untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif

dalam situasi-situasi yang berlainan.

4. Teori Neo-Karismatik (Neocharismatic Theories)

Merupakan teori kepemimpinan yang menekankan simbolisme, daya tarik

emosional, dan komitmen pengikut yang luar biasa. Teori-teori yang termasuk ke

dalam teori ini adalah

a. Teori Kepemimpinan Karismatik (Charismatic Leadership)

Teori Kepemimpinan Karismatik mengemukakan bahwa para pengikut

membuat atribusi dari kemampuan kepemimpinan yang heroic atau luar biasa

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

21

bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Kepemimpinan karismatik

mungkin tidak selalu diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja karyawan

yang tinggi. Mungkin paling tepat bila tugas dari pengikut memiliki suatu

komponen ideologis atau bila lingkungan melibatkan satu tingkat stress dan

ketidakpastian yang tinggi.

b. Teori Kepemimpinan Transformasional

Teori yang menyatakan bahwa pemimpin memberikan pertimbangan dan

ransangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma.

c. Teori Kepemimpinan Transaksional

Merupakan teori yang menyatakan bahwa pemimpin memandu atau

memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan

memperjelas peran dan tuntutan tugas.

d. Teori Kepemimpinan Visioner (Visionary Leadership)

Teori dimana pemimpin memiliki kemampuan untuk menciptakan dan

mengkomunikasikan visi yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik

mengenai masa depan bagi suatu organisasi atau unit organisasi, yang tumbuh

dan menjadi semakin baik di masa sekarang.

2.1.3 Gaya Kepemimpinan

Dalam mensukseskan kepemimpinan dalam organisasi, pemimpin perlu

memikirkan dan memperlihatkan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan

kepada pegawainya (Mulyadi dan Rivai, 2009). Stoner, et al. (1995) memberikan

definisi tentang gaya kepemimpinan yaitu berbagai pola tingkah laku yang disukai

oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Paul

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

22

Hersey dan K. H Blanchard, 1982 (dalam Marcian 2008) menyebutkan gaya

kepemimpinan adalah pola perilaku yang dilakukan oleh seseorang pada waktu

tertentu dan berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain. Menurut Umar (2004)

gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik seseorang dalam menjalankan

suatu kepemimpinan dan dapat pula diartikan sebagai norma perilaku yang

digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku

orang lain seperti yang ia lihat, dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi

diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi

menjadi amat penting. Gaya atau cara/norma perilaku yang dipergunakan oleh

sesorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain

seperti yang ia inginkan, menurut Miftah Thoha (1994), disebut gaya

kepemimpinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan

yaitu pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan pemimpin,

dengan menyatukan tujuan atau sasaran yang telah menjadi komitmen bersama

(Abdilah, 2011).

2.1.4 Pemahaman Budaya

2.1.4.1 Budaya

Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda

dalam menjalani kehidupannya dengan sekelompok masyarakat yang lainnya.

Cara-cara menjalani kehidupan sekelompok masyarakat dapat

didefinisikansebagai budaya masyarakat tersebut. Satu definisi klasik mengenai

budaya adalah sebagai berikut: "budaya adalah seperangkat pola perilaku yang

secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

23

anggota dari masyarakat tertentu (Wallendorf & Reilly dalam Mowen, 1995). Di

lain sisi budaya menurut (Tyler dalam Mowen, 1995) merupakan “a complex

whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, customs, and any other

capabilities and habits acquired by man as a member of society”.

Ada pula definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah pola utuh

prilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola

lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang

untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahunnya kepada generasi berikutnya

melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Kedua definisi tersebut menyatakan

bahwa budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang menyeluruh, bahwa budaya

memiliki beragam aspek dan perwujudan, serta bahwa budaya dipahami melalui

suatu proses belajar (Keyong, 2010)

Definisi di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani

hidup dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya

dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi

tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi

budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu

masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan.

Interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya

semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke

generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses

difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat

bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari

negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

24

dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya

mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi

budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar

menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap

budaya sendiri.

Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas

terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu

dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu

masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya

sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati). Enkulturasi

menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti

perkembangan zaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit

menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan cenderung mempertahankan budaya

lama yang sudah tidak relevan lagi disebut sebagai akulturasi (acculturation).

Budaya yang ada dalam sekelompok masyarakat merupakan seperangkat

aturan dan cara-cara hidup. Dengan adanya aturan dan cara hidup/ anggota

dituntun untuk menjalani kehidupan yang serasi. Masyarakat diperkenalkan pada

adanya baik-buruk, benar-salah dan adanya harapan-harapan hidup. Dengan

aturan seperti itu orang akan mempunyai pijakan bersikap dan bertindak. Jika

tindakan yang dilakukan memenuhi aturan yang telah digariskan, maka akan

timbul perasaan puas dalam dirinya dalam menjalani kehidupan. Rasa bahagia

akan juga dirasakan oleh anggota masyarakat jika dia mampu memenuhi

persyaratan-persyaratan sosialnya. Orang akan sangat bahagia jika mampu

bertindak baik menurut aturan budayanya. Oleh karena itu, budaya merupakan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

25

sarana untuk memuaskan kebutuhan anggota masyarakatnya. Kebudayaan,

menurut (Soemardjan, 2010) adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

Mengacu pendapat tersebut, maka karya masyarakat akan menghasilkan teknologi

dan kebudayaan yang berwujud benda, misalnya rumah, makanan, senjata,

pakaian dan sebagainya.

Budaya kerja biasanya didapatkan disekolah ketika kita remaja, sedangkan

budaya organisasi didapatkan pada tahap akhir setelah kita menjadi karyawan dari

sebuah perusahaan, biasanya pada saat dewasa. Dalam proses pembelajaran, nilai

dikembangkan lebih awal untuk memainkan peran dalam proses penyeleksian dan

nilai apa saja yang diterapkan (Frits, 2002). Menurut (Hofstede, 2005) budaya

dapat diterapkan dalam beberapa cara yaitu:

a. Symbols merupakan kata-kata, gambar, gerak tubuh atau objek yang

membawa arti tertentu, hanya diakui oleh mereka yang berbagi budaya. Kata-

kata dalam bahasa atau jargon termasuk dalam kategori ini. Simbol

dimasukkan ke dalam lapisan, terluar dangkal.

b. Heroes, mengacu pada manusia, kematian, kenyataan atau imajiner, memiliki

karakter yang mulia dan sangat dipuji dalam suatu budaya dan dengan

demikian menjadi teladan dalam budaya tersebut.

c. Rituals adalah kegiatan kolektif secara teknis berlebihan dalam mencapai

tujuan yang diinginkan, tetapi yang dalam suatu budaya, dianggap sebagai

sosial penting misalnya tata cara berbicara dan menghormati orang lain.

d. Value mengacu pada manifestasi terdalam, atau inti dari budaya. Nilai adalah

kecenderungan yang luas untuk memilih negara tertentu melebihi

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

26

kecenderungannya dengan negara lain. Mereka adalah hal pertama anak-anak

belajar tanpa disadari.

Dalam keanekaragaman budaya terjadi perbedaan karakter, nilai hidup, dll,

sehingga mengelola perbedaan merupakan hal penting galam berhubungan dengan

pihak lain. Mengelola perbedaan berarti memungkinkan semua karyawan untuk

mewujudkan potensi-potensinya secara maksimum. Hal itu menitikberatkan

kepada perubahan budaya dan infrastruktur organisasi sedemikian rupa sehingga

karyawan dapat memberikan hasil produktivitas karyawan yang maksimal. Dasar

pemikiran rasional untuk mengelola perbedaan terletak pada hasil legal, sosial,

dan moral. Secara sederhana, alasan utama untuk mengelola perbedaan adalah

kemampuan untuk membangun dan memelihara usaha dalam lingkungan yang

kompetitif. Hal ini menjelaskan bahwa pentingnya perusahaan untuk mengelola

perbedaan dengan pertama kali meninjau ulang trend demografi yang

menimbulkan adanya perbedaan diantara tenaga kerja. (Robert, 2005)

2.1.4.2 Budaya Nasional

Budaya nasional merupakan pedoman dasar bagi karyawan untuk

memahami pekerjaan, dan pendekatan untuk melakukan pekerjaan serta harapan

karyawan untuk diperlakukan. Budaya nasional memiliki arti bahwa suatu cara

bertindak tertentu lebih disukai karena dinggap cocok dengan nilai-nilai budaya

daripada yang lain. Bila praktek manajemen. Tidak sesuai dengan budaya nasional

yang telah dipercaya dan dianut, karyawan akan merasa tidak enak, tidak puas,

tidak berkomitmen dan tidak menyukai. Karyawan akan merasa tidak suka atau

terganggu bila diminta oleh manajemen untuk bertindak yang tidak sesuai dengan

nilai-nilai budayanya. (Mas’ud, 2002).

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

27

Budaya merupakan sesuatu yang seharusnya dipelajari dan bukan untuk

diwariskan (Hofstede, 2005). Nilai yang mendalam akan mewakili perasaan yang

luas mengenai kebaikan dan kejahatan, keindahan dan kejelekan, rasional dan

irrasional. Praktek yang diperkenalkan biasanya melalui manusia, misalnya

kebiasaan kolektif disajikan dalam sesuatu yang terlihat seperti pakaian, bahasa,

dan jargon, simbol status, kriteria promosi, tata cara pertemuan, gaya komunikasi,

dan banyak lagi. Nilai-nilai dan praktek baik milik perangkat lunak suatu budaya,

ada juga hardware dalam bentuk bangunan, perlatan kantor, dan jenis kendaraan

yang mencerminkan karakteristik budaya.

Budaya nasional memiliki komposisi tingkat nilai lebih tinggi

dibandingkan dengan tingkat prakteknya, sedangkan budaya organisasi memiliki

tingkat praktek yang lebih beragam dibandingkan tingkat nilainya. Budaya

nasional adalah program yang pertama yang tertanam kedalam diri kita, nilai

merupakan komponen terdalam dari program tersebut. Pada saat kita dewasa

biasanya nilai-nilai sudah tertanam dengan baik sehingga sulit berubah.

Sistem bangsa telah diperkenalakan diseluruh dunia pada pertengahan

abad ke duapuluh, diikuti dengan sistem kolonial yang telah dikembangkan tiga

abad sebelumnya. Dalam periode kolonial, kemajuan teknologi negaranegara

Eropa Barat yang hanya disebarkan pada negara-negara mereka saja, sehingga

mereka membagi seluruh territorial wilayah didunia yang tidak memiliki kekuatan

politik. Batas wilayah antara sebelum kolonial dan sesudah kolonial ditentukan

oleh para penguasa kolonial dibanding dengan penduduk setempat. Oleh karena

itu, bangsa tidak dapat disamakan dengan masyarakat hisoris. Bentuk-bentuk asli

yang telah dikembangkan organisasi sosial, sebenarnya merupakan konsep

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

28

kebudayaan umum yang berlaku untuk seluruh masyarakat, dan bukan untuk

bangsa. Namun, banyak negara yang keutuhan historisnya dikembangkan bahkan

bila dalam negara tersebut terdiri-dari kelompok yang berbeda, mereka akan

menjadi kelompok minoritas yang kurang terintergrasi. Dalam bangsa yang telah

ada selama beberapa waktu ada kekuatan yang kuat terhadap intergrasi secara

berkelanjutan. Hal ini bisa dalam bentuk bahasa nasional yang dominan, media

massa umum, sistem pendidikan nasional, tentara nasional, sistem politik

nasional, representasi nasional di acara olahraga dengan simbolis yang kuat dan

emosional.

2.1.4.3 Dimensi Keragaman Kultural untuk Mengkaji Perbedaan

Budaya

Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas

petani plasma dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua

prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari

pertentangan antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis.

Kapitalisme barat yang modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar

berhadapan dengan tradisi pra-kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke,

1983:11).

Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua

karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan

golongan masyarakat yang memiliki ikatan sosial asli dan organis, sistem

kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip

produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang

berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang terorganisasikan, profesional,

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

29

bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah

dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat,

tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme

diasosiasikan dengan farmer yang berciri kota, sementara prakapitalisme

diasosiasikan dengan peasant yang berciri desa.

Dalam kerangka ini peasant merupakan masyarakat yang (1) hidup dari

mengolah tanah, (2) hidup menetap dalam komunitas pedesaan, (3) menggunakan

teknologi pertanian, seperti pacul, bajak, dan garu untuk melakukan produksi

pertanian, (4) memiliki hubungan dengan kota. Selain itu juga mengolah tanah

untuk tujuan subsistensi.

Kroeber dalam Foster (1967:2) mengemukakan bahwa peasant merupakan

bagian masyarakat dari suatu budaya yang hidup dalam kaitannya dengan pasar

dan pusat kota. Golongan masyarakat ini tidak lagi terisolasi, namun masih

memegang nilai tradisional. Sementara itu menurut Firth (Marzali, 1998:85),

sistem ekonomi peasant adalah sistem ekonomi yang menggunakan ketrampilan

dan pembagian kerja sederhana, memiliki keterbatasan akses ke pasar, alat

produksi dikuasai dan diorganisasikan secara nonkapitalistik, skala produsen

tergolong kecil dengan hubungan produksi bersifat lebih personal, dan perhatian

terhadap aspek sosial dan keagamaan lebih diutamakan daripada aspek materi.

Menurut Wolf (1983:2), peasant merupakan orang desa yang bercocok tanam dan

berternak di daerah pedesaan. Usaha tani tersebut tidak dilakukannya sebagai

petani farmer atau pengusaha pertanian (agricultural enterpreneur) karena tidak

dilakukan sebagai kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan ekonomis, namun

dilakukan dalam kerangka pengelolaan rumah tangga.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

30

Dalam melakukan produksi pertanian, peasant harus mengarahkan

kegiatannya untuk melayani keluarga dan masyarakat. Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Diaz (1967:50), yaitu bahwa peasant sebagai man economic

harus mengarahkan aktivitasnya dalam dua ruang, yakni ruang keluarga dan ruang

masyarakat. Perhatian peasant terhadap keluarga dan masyarakatnya dikemukakan

pula oleh Popkins (1979:28), yaitu bahwa pihak-pihak yang menjadi perhatian

utama peasant adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan komunitas desanya. Di

dalam ruang keluarga maupun ruang masyarakat, peasant memberi dukungan

dengan produksi usaha tani yang dilakukan dalam kondisi kesederhanaannya

dengan teknologi non-industri dan bertumpu pada rumah tangga (household

based), serta produksi pertanian berorientasi subsistensi (Elson, 1997:xix).

Menurut Scott (1981:7), usaha subsistensi adalah usaha tani yang mengutamakan

keamanan (safety first). Dalam kehidupan tertib sosial masyarakat, peasant perlu

selalu menjaga relasi antarrumah tangga dan memelihara keseimbangan antara

kepentingan keluarga dan masyarakat yang dapat mengikat peasant dengan

masyarakat yang lebih luas. Menurut Wolf (1983:170), dalam kerangka ini

upacara atau ritual memiliki suatu fungsi melegetimasi unit sosial dan relasi di

antara sesama warga desa. Selain itu dari sudut komunikasi sosial, hal ini dapat

mengukuhkan eksistensi peasant dalam komunitasnya. Sebagai produsen

pertanian berskala kecil, tindakan dan pilihan petani selalu dikaitkan dengan

sumber daya alam, seperti tanah, air, iklim, dan matahari. Dengan demikian

peasant memiliki hubungan yang kuat dengan sistem ekologis (Weizt (1971:19).

Kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis menciptakan pula prosedur

dalam melakukan usaha tani. Keadaan ini menyebabkan petani akan sangat

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

31

berhati-hati dalam menerima introduksi teknologi baru. Dalam pandangan

peasant, perubahan teknologi sekecil apapun akan membawa pada konsekuensi

yang tidak terantisipasi yang dapat mengancam sistem produksi pertanian (Weitz,

1971:9).

Dalam menerima teknologi baru yang berimplikasi adanya prosedur yang

berbeda dengan kebiasaan bertani, petani menggunakan pola pikir safety first

demi keamanan subsistensinya. Analisis Scott (1981:3) menemukan bahwa etika

subsistensi di kalangan petani Asia Tenggara merupakan akibat dari kehidupan

petani yang dekat dengan garis batas yang merupakan garis antara keamanan dan

risiko Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif moral ekonomi

petani, peasant merupakan golongan petani yang selalu menentang risiko.

Soekartawi (2003:173) mengemukakan bahwa agribisnis terdiri dari petani

yang selalu melakukan upaya memaksimalkan pendapatan dengan penguasaan

sumber daya yang terbatas. Adapun cirinya, pertama, cepat mengadopsi inovasi

sehingga digolongkan sebagai pengadopsi awal (early adopters). Kedua, memiliki

derajat kosmopolitan yang tinggi. Ketiga, memiliki keberanian menanggung risiko

dalam berusaha tani. Keempat, memiliki sikap mau dan kemampuan mencoba

teknologi baru yang ditunjang oleh sumber daya yang memadai. Slamet (2003:16)

mengemukakan bahwa untuk peningkatan produksi dalam pembangunan

pertanian diperlukan teknologi maju. Oleh karena itu petani perlu mengadopsi

teknologi maju. Dalam perspektif penyuluhan pembangunan, petani maju adalah

petani yang memiliki kemampuan untuk memerankan diri sebagai warga negara

yang baik sesuai dengan profesinya, dan sanggup berswadaya untuk

meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003:18).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

32

Pambudy (2003:235) mengemukakan bahwa seorang usahawan agribisnis

merupakan orang yang mampu untuk menyelesaikan proses dari menghasilkan ide

kreatif, inovasi, hingga menghasilkan produk barang atau jasa untuk dapat

dipasarkan dengan keuntungan yang memadai. Selain sebagai petani komersial

berbudaya industri, farmer juga dapat digolongkan sebagai petani modern.

Menurut Suriasumantri (2000:384), masyarakat modern yang urban memiliki

indikator sebagai berikut, pertama, bersifat analitik. Di samping itu, sebagian

besar aspek kehidupannya dilandaskan pada asas efisiensi secara teknis maupun

ekonomis. Indikator ini menempatkan nilai teori dan nilai ekonomi pada posisi

penting. Nilai teori terkait dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi,

sedangkan nilai ekonomi berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi

secara efektif dan efisien berlandaskan perhitungan yang bertanggung jawab.

Sementara itu pengambilan keputusan berlandas pada argumentasi kuat. Kekuatan

berpikir bersifat dominan yang mengabaikan penarikan kesimpulan dari intuisi,

perasaan, dan tradisi. Kedua, bersifat individual. Nilai sosial dan kekuasaan dalam

kerangka ini harus berorientasi pada kepercayaan diri sendiri serta keberanian

untuk mengambil keputusan sendiri. Hubungan antarmanusia bersifat individual,

sementara untuk mempertahankan hidup seseorang harus mampu bersaing secara

produktif. Perbedaan budaya lainnya dari peasant dan farmer lainnya dapat

dikaitkan dengan dikotomi budaya yang dapat dijelaskan dengan konsep orientasi

nilai dari Kluckhohn dan Strodtbeck, individualisme-kolektivisme, variabilitas

budaya Hofstede, Pola-pola Parsons, dan keketatan Struktral.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

33

A. Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck

Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini

terdiri dari orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang, oientasi waktu, aktivitas,

dan orientasi relasional (Gudykunst dan Kim, 1997:78). Dimensi pertama adalah

orientasi sifat manusia yang terkait dengan sifat bawaan. Dalam dimensi ini,

manusia dipandang baik atau jahat atau campuran antara baik dan jahat yang

merupakan pembawaan sejak lahir. Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan

alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan.

Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat

berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat

terhadap masa lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang

menempatkan tradisi dalam posisi yang utama, seperti pemujaan pada leluhur atau

yang memberi tekanan lebih pada kohesivitas keluarga. Dimensi keempat,

orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi aktivitas dapat

dipandang sebagai doing, being, dan being-in-becoming. Orientasi doing berfokus

pada jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur. Oleh

karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi

pada capaian hasil. Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi relasional

terkait dengan dimensi individualisme-kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena

cara orang berinteraksi memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme

atau kolektivisme.

Kluckholn dan Strodtbeck (1961) membandingkan budaya berdasarkan

atas beberapa dimensi sebagai berikut :

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

34

1. Nature of People (Karakter dasar manusia)

Budaya yang berorientasi pada sifat manusia membagi karakter manusia

menjadi: baik, buruk, dan campuran antara baik dan buruk. Masyarakat Barat,

umumnya, memandang manusia memiliki karakter yang baik, sedangkan

masyarakat Timur (misalnya Cina) memandang manusia memiliki sifat baik

atau buruk. Orientasi seperti ini memiliki konsekuensi yang sangat berarti

dalam bersikap kepada orang lain, baik dalam aspek kepercayaan atau interaksi

dengan orang lain.

2. Relationship to The Environment (Hubungan dengan alam lingkungan)

Pada budaya yang berorientasi pada alam, berkaitan dengan cara manusia

memperlakukan lingkungannya. Manusia dapat menguasai atau mengungguli

lingkungan, hidup selaras dengan lingkungan, atau menaklukkan (subjugate)

lingkungannya. Masyarakat Barat berpendirian bahwa mereka dapat

mengendalikan lingkungan dan semua kekuatan alam (misalnya badai, banjir).

Masyarakat Timur berpendirian bahwa manusia harus hidup selaras dengan

lingkungannya dan bahkan memujanya. Orientasi terhadap lingkungan

mempengaruhi sikap manusia terhadap agama, estetika, kepemilikan benda,

kualitas hidup, dan hubungan terhadap manusia lainnya.

3. Activity Orientation (Orientasi Aktivitas)

Orientasi terhadap aktivitas manusia berkaitan dengan sikap manusia

terhadap suatu aktivitas atau kegiatan. Ada masyarakat yang berorientasi

“melakukan” (doing), misalnya masyarakat Amerika dan Jerman, mereka lebih

menekankan kepada aktivitas atau kegiatan, penyelesaian tugas, berkompetisi,

dan pencapaian tujuan. Selain itu ada masyarakat yang berorientasi “menjadi”

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

35

(being). Orang mmelakukan berbagai aktivitas secara spontan, memperturutkan

kesenangan, dan menunjukkan spontanitasnya sebagai ekspresi

kepribadiannya. Kelompok lainnya adalah kelompok masyarakat yang

berorientasi kepada “the being –in-becoming” (yang menjadi). Masyarakat ini

lebih tertarik kepada kehidupan spiritual daripada kehidupan material.

4. Time Orientation (Orientasi waktu)

Orientasi terhadap waktu berkaitan dengan dengan sikap manusia terhadap

waktu. Orang dapat memusatkan diri ada masa lampau, saat ini, atau masa

yang akan datang. Masyarakat Barat lebih berorientasi pada masa yang akan

datang (future). Mereka menganggap bahwa waktu sebagai sesuatu yang harus

dihargai, oleh karena itu harus dipergunakan secara efektif. Sebaliknya,

masyarakat Timur, lebih berorientasi kepada masa lalu (past) dan tradisi.

Mereka memuja leluhur dan memiliki tradisi keluarga yang kuat (misalnya

masyarakat Jepang dan Cina). Masyarakat yang berorientasi pada waktu

sekarang (present), percaya bahwa waktu sangat berarti. Orang Filipina,

Meksiko, dan Amerika Latin pada umumnya berorientasi pada waktu saat ini.

5. Focus of Responsibility (Fokus tanggung jawab)

Orientasi terhadap tanggung jawab pada orang lain merupakan aspek yang

sangat penting berkaitan dengan hubungan antar manusia dan paling

membedakan anatara budaya Barat dengan budaya Timur. Kluckhohn &

Strodtbeck, 1961, dalam Reisinger (2009: 130) menyebutkan tiga jenis

orientasi terhadap orang lain: (1) individualistik (tujuan-tujuan individu

mengatasi tujuan-tujuan kelompok); (2) collateral (individu merupakan bagian

dari suatu kelompok sosial yang diakibatkan oleh hubungan yang diperluas

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

36

secara menyamping (laterally); dan (3) linear (mengutamakan keberlanjutan

kelompok melalui penggantian waktu).

6. Conception of Space (Konsepsi tentang ruang)

Konsepsi keruangan menurut kerangka Kluchkohn dan Strodtbeck

berhubungan dengan kepemilikan ruang. Beberapa budaya menganggap bahwa

tempat atau ruang harus tetap dijaga sebagai milik pribadi, sementara

kebudayaan lain menganggap bahwa sebuah ruang/tempat sangat terbuka

bahkan sangat dianjurkan untuk mengembangkan bisnis di publik. Beberapa

kelompok masyarakat menggabungkan antara publik dan privat.

Table 2.1

Cultural Orientations and Dimensions

No. Dimensi Indikator

I Nature of humans (karakter dasar manusia)

Good/Evil: The basic nature of people is essentially good (lower score) or evil (higher score).

Changeable/Unchangeable: The basic nature of humans is changeable (higher score) from good to

evil or vice versa, or not changeable (lower score).

II Relationships among people / focus responsibility (Hubungan dengan orang lain / fokus tangungjawab)

Individual: Our primary responsibility is to and for ourselves as individuals, and next for our immediate families.

Collective: Our primary responsibility is to and for a larger extended group of people, such as an extended family or society.

Hierarchical: Power and responsibility are naturally unequally distributed throughout society; those higher in the hierarchy have power over and responsibility for those lower.

III Relation to broad environment (hubungan dengan lingkungan)

Mastery: We should control, direct and change the environment around us.

Subjugation: We should not try to change the basic direction of the broader environment around us, and we should allow ourselves to be influenced by a larger natural or supernatural element.

Harmony: We should strive to maintain a balance

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

37

among the elements of the environment, including ourselves.

IV Activity (aktivitas) Doing: People should continually engage in activity to accomplish tangible tasks.

Thinking: People should consider all aspects of a situation carefully and rationally before taking action.

Being: People should be spontaneous, and do everything in its own time.

V Time (waktu) Past: Our decision criteria should be guided mostly by tradition.

Present: Our decision criteria should be guided mostly by immediate needs and circumstances.

Future: Our decision criteria should be guided by predicted long term future needs and circumstances.

VI Space (ruang)

Public: The space around someone belongs to everyone and may be used by everyone.

Private: The space around someone belongs to that person and cannot be used by anyone else without permission.

Diadopsi dari Kluckholn and Strodbeck (1961) dalam See Lane et al. (2000)

B. Variabilitas Budaya Hofstede

Menurut Hofstede (1994:109), ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh

seorang anggota budaya dari warisan budaya yang dipindahkan serta digerakkan

melalui institusi dasar, seperti keluarga dan sekolah. Perasaan itu direfleksikan ke

dalam nilai yang dipegang secara kolektif oleh anggota masyarakat, serta

kemudian menuntun pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang tidak mudah

dipahami oleh masyarakat lainnya.

Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam menghindari

ketidakpastian memiliki toleransi yang rendah pada ketidakpastian dan sesuatu

yang sifatnya ambigu. Para anggota dari kelompok budaya ini juga memiliki

kebutuhan yang besar akan adanya peraturan formal dan kebenaran mutlak. Selain

itu juga kurang memberi toleransi pada ide atau perilaku yang menyimpang dari

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

38

peraturan formal. Sementara itu, orang dari kelompok budaya yang memiliki

derajat rendah dalam menghindari ketidakpastian akan memiliki karakteristik

yang berlawanan dengan orang-orang yang memiliki derajat tinggi dalam

menghindari ketidakpastian.

Dimensi maskulinitas-feminitas (Hofstede dalam Ting-Toomey, 1999:72)

terkait dengan masyarakat yang dengan jelas membedakan karakteristik peran

jender. Karakteristik seperti laki-laki lebih asertif, keras, dan memiliki fokus pada

keberhasilan material, sementara perempuan yang cenderung rendah hati, lembut,

dan berfokus pada kualitas hidup. Hofstede (1994:81) dalam konteks organisasi

mengemukakan bahwa pada kutub maskulin, terdapat kesempatan untuk meraih

pendapatan yang tinggi, pengakuan layak yang berkaitan dengan prestasi,

kemajuan menuju tataran pekerjaan yang lebih tinggi, serta memiliki tantangan

dalam pekerjaan. Sementara itu pada kutub feminin terdapat relasi kerja yang

baik, kerjasama yang baik, dan keamanan dalam melakukan pekerjaan. Suatu hal

lagi yang menjadi pembeda antara budaya maskulin dan feminin adalah pada cara

atau proses peranan jender didistribusikan dalam suatu kelompok budaya. Para

anggota budaya maskulin akan berorientasi pada ambisi, benda atau materi,

kekuasaan, dan ketegasan, sementara para anggota budaya feminin akan memberi

nilai yang tinggi pada kualitas hidup, pelayanan, perhatian pada orang lain di

dalam kelompok, dan pemeliharaan hubungan.

C. Pola-pola Parsons

Dimensi pola-pola Parsons berbentuk dikotomi situasi. Satu sisi dapat

dipilih oleh seorang pelaku komunikasi dengan mempertimbangkan konteks

situasinya. Pola ini terdiri dari afektivitas-netralitas afektif, universalisme-

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

39

partikularisme, ketersebaran-keterkhususan, askripsi-prestasi, orientasi

instrumental-ekspresif (Gudykunst dan Kim, 1997:78). Pertama, afektivitas-

netralitas afektif. Orentasi pola ini berkenaan dengan sifat kepuasan yang dicari

oleh manusia. Sisi afektivitas menjadi posisi dari orang yang mencari kepuasan

segera dari situasi yang ada. Kedua, universalisme-partikularisme. Orientasi

universalistik berfokus pada kategorisasi orang atau obyek dalam konteks

referensi universal, sedangkan orientasi partikularistik berfokus pada kategorisasi

orang atau obyek secara spesifik. Ketiga, ketersebaran-keterkhususan. Orientasi

ini berfokus pada cara orang memberi respon pada orang lain. Dengan orientasi

ketersebaran, respon holistik akan diberikan seseorang kepada orang lain,

sedangkan orientasi keterkhususan ditampakkan seseorang dengan memberi

respon terhadap orang lain dalam cara yang khusus Keempat, askripsi-prestasi.

Orientasi askripsi dari seseorang akan tampak ketika orang tersebut memandang

orang lain. Dengan orientasi askriptif, pandangan seseorang akan bertolak pada

prediksi sosiokultural, yakni dalam kerangka keanggotaan orang lain di dalam

kelompoknya, seperti jender, umur, ras, etnik, kasta, dan sebagainya. Sementara

orang dengan orientasi prestasi akan mendasarkan prediksi dalam kerangka

prestasi yang dapat diraih orang lain. Kelima, orientasi instrumental-ekspresif.

Orientasi instrumental ditampakkan oleh orang dalam interaksinya dengan orang

lain jika interaksi itu merupakan sarana untuk mencapai tujuan lainnya, sedangkan

orientasi ekspresif akan tampak pada orang yang interaksinya dengan orang lain

merupakan tujuannya.

Keketatan struktural merupakan dimensi yang berfokus pada norma,

aturan, dan batasan yang berlaku pada anggota suatu komunitas. Budaya yang

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

40

longgar hanya menerapkan sedikit peraturan dan batasan atas perilaku, sementara

di dalam budaya yang ketat aturan dan batasan perilaku, norma dan aturan budaya

cenderung jelas dan harus ditaati. Dalam budaya ketat, jika ada anggota

komunitas yang melanggar norma dan aturan budaya dikenakan sanksi.

Sebaliknya dalam komunitas budaya longgar, para anggota yang melanggarnya

tidak akan dikenai sanksi sekeras pada budaya ketat (Gudykunst dan Kim,

1997:81).

2.1.5 Kebudayaan Indonesia

Beragamnya budaya nasional di Indonesia secara otomatis mempengaruhi

gaya kepemimpinan lewat para pengikut. Pemimpin tidak dapat memilih gaya

kepemimpinan mereka, karena dikendalikan oleh kondisi budaya yang ternyata

diharapkan oleh pengikut mereka (Bowo, 2008). Untuk tipe kepemimpinan di

Indonesia, budaya nasional sangat kental diterapkan dalam gaya kepemimpinan

seseorang. Walaupun gaya kepemimpinan dari setiap suku atau budaya berbeda-

beda, namun demikian secara umum telah ada tipologi gaya kepemimpinan

nasional yang menunjukan adat ketimuran bangsa Indonesia (Bowo, 2008).

Menurut Munandar (2001) di Indonesia kita kenal sebelas ciri pribadi yang

diharapkan oleh seorang pemimpin, antara lain:

a. Takwa, menahan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha

Esa dan taat kepada segala perintah-Nya.

b. Ing Ngarsa Sung Tuladha, sebagai pemula, orang yang berada di depan,

selalu memberi suri teladan kepada yang dipimpinnya.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

41

c. Ing Madya Mangun Karsa, ditengah-tengah para anak buahnya ikut terjun

langsung bekerja sama bahu membahu, memberi dorongan, semangat.

d. Tut Wuri Handayani, dari belakang selalu memberi dorongan dam arahan

kepada apa yang diinginkan anak buahnya.

e. Waspada Purba Wisesa, selalu berhati-hati dalam segala kondisi, meneliti

dan membuat perkiraan keadaan secara terus-menerus.

f. Ambeg Para Maarta, pandai menentukan mana yang menurut ruang, waktu

dan keadaan patut didahulukan.

g. Prasaja, bersifat dan bersikap sederhana serta rendah hati dan correct.

h. Satya, loyalitas timbal-balik dan bersikap hemat, tidak ceroboh serta

memelihara kondisi materiil dengan kecermatan.

i. Gemi nastiti, hemat dan cermat, sadar dan mampu membatasi penggunaan

dan pengeluaran hanya untuk yang benar-benar diperlukan.

j. Belaka, bersifat dan bersikap terbuka, jujur dan siap menerima segala kritik

yang membangun, selalu mawas diri dan selalu siap

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

k. Legawa, rela dan ikhlas untuk pada waktunya mengundurkan diri dari fungsi

kepemimpinannya dan diganti dengan suatu generasi baru yang telah

mewarisi kesepuluh ciri ini.

Ciri-ciri pribadi tersebut lebih berfungsi sebagai prinsip-prinsip yang harus

dijalankan, sehingga mempunyai makna sebagai pedoman yang sifatnya normatif.

De Bono, 1986 (dalam Munandar, 2001) berdasarkan wawancaranya

dengan lima puluh pria dan wanita yang sangat berhasil dalam bidangnya masing-

masing berkesimpulan bahwa ada empat macam faktor (dua ciri pribadi dan dua

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

42

lainnya merupakan faktor di luar dirinya) yang menentukan keberhasilan

seseorang atau sekelompok orang. Kedua ciri pribadi itu adalah:

a. A little madness, orang yang tahu dengan pasti dan jelas apa yang ia inginkan

dan memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencapai tujuannya.

b. Very talented, orang yang mempunyai bakat yang sangat menonjol di bidang

tertentu.

c. Rapid growth field. Orang yang bekerja dalam bidang yang berkembang

sangat cepat mempunyai peluang lebih banyak untuk berhasil, daripada orang

yang bekerja di bidang yang tidak dapat berkembang dengan cepat. Bidang

teknologi, khususnya komputer merupakan bidang yang cepat berkembang

dengan cepat. Keadaan ini memungkinkan bakat untuk berkembang.

d. Luck. Ada orang yang kebetulan berada di tempat pada saat yang tepat untuk

melakukan usahanya. Ada orang lain yang selalu kesulitan dalam memulai

usahanya.

Selain itu, ciri kebudayaan pribadi bangsa Indonesia lainnya yang sangat

banyak berpengaruh dalam kehidupan berorganisasi adalah bermusyawarah

menuju mufakat, dan memutuskan segala sesuatu atas dasar konsensus diantara

seluruh kelompok organik, sekurang-kurangnya diantara kelompok seangkatan

pengalaman (peer group).

2.1.6 Kebudayaan Korea

Berdasarkan sudut pandang antropologis dan sosiologis, karakteristik-

karakteristik kebudayaan tradisional Korea dengan fokus pada sistem keluarga

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

43

dan pengaruh yang ditimbulkan terhadap gaya manajemen korea atau budaya

organisasi, adalah sebagai berikut (Cho, 1995).

1. Keselarasan dan Stabilitas

Konfusianisme mengatur norma-norma perilaku bagi orang Korea yang telah

berlangsung selama 500 tahun Dinasti Chosun. Sampai saat ini pengaruh ajaran

konfusianisme masih besar peranannya dalam kehidupan keluarga dan sosial.

Menurut semangat dasar konfusianisme tradisional, loyalitas dan kewajiban antara

raja dan rakyatnya merupakan suatu keharusan, hubungan erat antara kedua orang

tua dan anakanak adalah penting dan perlu, peran-peran yang berbeda ada di

antara kaum tua dan kaum muda; dan harus ada keyakinan antara teman. Artinya

etika mengenai hubungan vertikal dan horisontal harus diamati agar bisa

menetapkan stabilitas dalam keluarga dan masyarakat melalui keselarasan (Hahn,

1988). Dengan demikian, konfusianisme memiliki pengaruh yang besar terhadap

ideologi manajemen, perilaku organisasi, sistem manajemen dan hubungan

manusia. Perusahaan Korea secara khas menekankan keselarasan, kesatuan dan

kerjasama, kreativitas dan pengembangan. Banyak sekali perusahaan mengaku

bahwa stabilitas sebagai tujuan utama karena latar belakang kultur (budaya)

manajemen, dimana keselarasan di kalangan para anggota dan pengembangan

keseluruhan organisasi yang stabil lebih disukai daripada moral progresif dan

pertumbuhan yang cepat. Sehubungan dengan latar belakang kebudayaan

tradisional tersebut maka orang korea lebih menekankan manajemen personalia

termasuk hubungan-hubungan manajemen tenaga kerja.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

44

2. Suksesi yang Tidak Setara

Warisan kekayaan keluarga dalam sistem keluarga Korea berbentuk warisan

yang tidak setara di mana anak laki-laki tertua diberi perlakuan istimewa. Dalam

kehidupan keluarga Korea, ada sistem yang disebut keluarga utama yang akan

digantikan oleh anak-laki-laki tertua. Dari anak laki-laki kedua dan seterusnya ke

bawah, ada sistem yang disebut cabang dari keluarga tersebut. Pada waktu

tertentu, meskipun ada kekayaan yang cukup untuk didistribusikan secara merata

di kalangan anak laki-laki, lazimnya saham terbesar diberikan kepada anak laki-

laki tertua. Pembagian warisan yang tidak setara ini memiliki makna yang penting

ketika diterapkan pada suksesi suatu perusahaan. Namun demikian, dalam banyak

perusahaan di Korea, tidak semua otoritas pendiri dipindahkan kepada

penerusnya. Meskipun si penerus tidak mewarisi posisi tersebut, kekuasaan

memerintah yang mutlak dan pengaruh yang dulu dimiliki si pendiri tidak secara

langsung diterima oleh para anggota organisasi dan kelompok-kelompok

kepentingan lainnya. Jika suksesi tidak setara diterapkan dalam perusahaan maka

sebaiknya para penerima warisan yang akan meneruskan kepemimpinan diberikan

pembelajaran terlebih dahulu. Artinya pembelajaran yang dimaksud adalah ikut

dilibatkan seseorang calon pewaris (si penerus) dalam melakukan pengelolaan

usaha, membuat keputusan usaha, dengan tujuan agar calon pewaris (si penerus)

tidak awam sama sekali pada usaha orang tuanya dan bisa melanjutkan usahanya.

3. Eksklusivisme dan Sentralisasi Kekuasaan

Dalam kehidupan sosial tradisional Korea, pertalian darah dan status sosial

mengandung latar belakang sikap orang Korea yang menimbulkan suatu cara

berpikir yang eksklusif dan tertutup. Hal ini juga berlaku pada masyarakat Korea

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

45

secara umum di dalam kerangka kehidupan yang eksklusif dan tertutup yang

dipelihara tersebut, kekuasaan yang diperlukan untuk menjaga urutan keluarga

dikonsentrasikan pada kepala keluarga dan anggota keluarga yang tertua yang

membentuk suatu struktur otoritas kekuasaan yang tersentralisir. Dalam

melakukan ritus-ritus pengorbanan bagi pemujaan leluhur yang merupakan

perluasan dari ketaatan anak laki-laki atau perempuan, keluarga langsung

memiliki prioritas tersebut. Para kerabat dekat dan jauh, kaum manula dan kaum

muda semua dibedakan, begitu juga yang berhubungan darah dan yang tidak.

Bahkan di antara hubungan pribadi, orang-orang yang intim dan orang-orang yang

tidak intim juga dibedakan sehingga merangsang timbulnya fraksionalisme

(faham berdasarkan golongan). Prinsip tradisional sikap eksklusif dan sentralisasi

kekuasaan juga menimbulkan dampak yang besar terhadap struktur kekuasaan

dalam berbagai perusahaan bisnis Korea. Prinsip ini lebih jelas dipraktikkan oleh

individu atau kelompok yang memiliki hak kepemilikan atas perusahaan, ketika

mengamankan dan mempertahankan hak-hak pengelolaan.

4. Prinsip Senioritas

Prinsip ini digunakan dalam organisasi manajemen Korea sebagai standar

yang digunakan untuk meningkatkan atau menaikkan gaji yang didasarkan pada

prinsip personal. Prinsip personal adalah suatu prinsip yang dapat digunakan

secara universal dan berlaku pada semua orang ketika mengevaluasi seseorang

dalam kehidupan sosial Korea. Pertimbangan khusus diberikan pada personal

yang telah berdinas lama dan mengundurkan diri untuk kesejahteraan hidup

mereka. Prinsip senioritas dapat penulis katakan sebagai penghargaan yang

diberikan oleh perusahaan pada karyawan senior, karena mereka sudah ikut

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

46

berjuang membesarkan perusahaan, dan pengorbanannya selama ini diakui oleh

perusahaan dengan cara memberikan tingkat kesejahteraan lebih tinggi

dibandingkan karyawan junior. Peran anggota-anggota keluarga juga ditentukan

menurut derajat. Banyak kelas dan urutan derajat sangat ketat dalam keluarga

dengan kepala keluarga sebagai pusat. Masing-masing individu melakukan

kewajibannya sendiri menurut urutannya dalam derajat: ayah, suami, istri dan

anak (Shin, 1984).

5. Otoritas Patriarkal dan Keselarasan

Dalam kehidupan keluarga tradisional Korea, ayah memiliki hak sebagai

kepala keluarga dan hak sebagai ayah, sehingga ia menggunakan otoritas mutlak

dan sepihak (sistem patriarkal) untuk mengatur orang-orang di bawahnya guna

kesejahteraan keluarga. Namun demikian kepala keluarga tidak selalu

menggunakan otoritas sepihak, ia juga menekankan keselarasan, memperlakukan

keluarga dengan hangat, mengendalikan dan mendorong aktivitas anggota

keluarganya (dikendalikan juga oleh orang yang lebih tua) untuk memperoleh

kepatuhan mereka. Metode kontrol berdasarkan otoritas dan keselarasan dalam

kehidupan keluarga tradisional ini mempengaruhi kepemimpinan manajemen

dalam dua cara, yaitu: (1) para anggota perusahaan sadar bahwa otoritas

tradisional para senior dalam derajat ditetapkan secara luas; (2) dalam cara yang

sama, keselarasan sangat ditekankan dalam organisasi.

6. Kepatuhan dan Ketundukan

Norma-norma perilaku masyarakat Korea didasarkan pada konsep kepatuhan

anak-anak pada orang tua (terlihat jelas pada hubungan ayah dengan anak laki-

lakinya). Dalam kehidupan sehari-hari orang harus berbicara dengan penuh

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

47

hormat, bersikap beradap terhadap orang lain di luar keluarga yang lebih tua atau

memiliki posisi lebih tinggi. Seseorang harus mengidentifikasi dirinya dalam

kelompok sosial tersebut (sense of belonging), dan menunjukkan rasa hormat

pada orang-orang di atasnya. Cara berpikir tradisional ini mempengaruhi

hubungan vertikal antara para majikan dan karyawan. Anggota perusahaan Korea

menganggap hubungan vertikal lebih penting daripada hubungan horisontal.

Penekanan pada hubungan vertikal menimbulkan komunikasi ke bawah secara

sepihak dan merupakan alasan bagi timbulnya konsentrasi pengambilan keputusan

pada tingkattingkat atas organisasi tersebut.

2.2. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian perihal kepemimpinan yang sudah dilakukan.

Akan tetapi, penelitian yang langsung meneliti model kepemimpinan seorang

pemimpin di suatu perusahaan, terutama perusahaan surat kabar, barulah sedikit.

Namun, untuk menambah khazanah keilmuan serta yang menjadi inspirasi saya

dalam melakukan penelitian tentang model kepemimpinan seorang pemimpin di

suatu perusahaan ini, maka saya akan menyebutkan beberapa penelitian bertema

kepemimpinan yang sudah pernah dilakukan, antara lain:

1. Vesa Suutari, Kusdi Raharjo, dan Timo Riikkila (2002)

Judul : The Chalenge of Cross-cultural Leadership Interaction: Finnish

expatriates in Indonesia

Meneliti interaksi kepemimpinan lintas budaya para manajer ekspatriat dari

Finlandia terhadap karyawan yang merupakan penduduk lokal dalam

perusahaan multi nasional dari Finlandia yang ada di Indonesia.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

48

2. Lieh-Ching Chang (2002)

Judul : Cross-cultural Differences in Internasional Management Using

Kluckhohn-Strodtbeck Framework

Meneliti gaya kepemimpinan manajer internasional yang melakukan

pekerjaan di luar negerinya dan pentingnya bagi para manajer

internasional untuk mengetahui mengenai perbedaan budaya nasional di

masing-masing negara.

3. Yoo Keun Shin (1999)

Judul : The Traits and Leadership Styles of CEO’s in Korean Companies

Meneliti gaya kepemimpinan para CEO di beberapa perusahaan Korea dan

mengidenttifikasi bagaimana pengikutnya menerima gaya kepemimpinan

tersebut..

4. Rachel K (2004)

Judul : Culture, Intercultural Communication Competence, and Sales

Negotiation: a Qualitative Research Approach

Meneiliti perbedaan kebudayaan dalam perusahaan, kompetensi

komunikasi lintas budaya yang efektif dalam rangka meningkatkan

kualitas negosiasi antar karyawan baik di dalam perusahaan maupun ke

luar perusahaan untuk negosiasi penjualan.

5. Aya Fukushige dan David P. Spicer (2007)

Judul : Leadership Preference in Japan : An Exploratory Study

Meneliti mengenai preferensi kepemimpinan di Jepang dengan

menggunakan dimensi penilaian budaya Bass dan Avolio serta

mengidentifikasi para pengikut atau follower Jepang mengenai gaya

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

49

kepemimpinan kontemporer Jepang serta mengidentifikasi faktor-faktor

lain di luar dimensi Bass dan Avolio.

2.3. Kerangka Pikir

Adapun skema kerangka pikir teoretis dalam pandangan peneliti adalah

sebagai berikut:

Perusahaan internasional Kukdong Corporation memiliki perluasan usaha

yang berada di Semarang Indonesia berupa perusahaan multi nasional PT.

Semarang Garment. Perusahaan tersebut menempatkan pimpinan serta jajaran

manajer ekspatriat yang berasal dari negaranya yaitu Korea Selatan. Para

Sumber : Diadopsi dari Dimensi Budaya Kluckholn&Strodtbeck dan Pola-pola Parson, 2013

Home

Country

Korea

Host

Country

Indonesia

Budaya

nasional

Korea

Budaya

nasional

Indonesia

kepemimpin

an

followers

/pengikut

Proses

penerimaan

budaya

Bentuk

kepemimpin

an gaya

Korea di

Indonesia

Dimensi Kluckholn & Strodtbeck

Nature of humans

Focus responsibility

Relation to broad environment

Activity

Time

space

Pola-pola Parson

afektivitas-netralitas afektif

universalisme-partikularisme

ketersebaran-keterkhususan

askripsi-prestasi

orientasi instrumental-ekspresif

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1

50

pemimpin ini membawahi sejumlah karyawan yang merupakan penduduk lokal.

Dengan demikian, perbedaan budaya yang ada merupakan suatu tantangan bagi

perusahaan, khususnya jajaran manajer yang sebaiknya memiliki kemampuan

kepemimpinan lintas budaya secara efektif agar mampu mengembangkan

perusahaan dan berinteraksi dengan baik bersama bawahannya meskipun dengan

latar belakang budaya yang berbeda. Kepemimpinan gaya Korea yang diterapkan

oleh manajer ekspatriat berkebudayaan Korea di perusahaan PT. Semarang

Garment dan bagaimana para pengikut lokal berkebudayaan Indonesia menerima

kepemimpinan tersebut merupakan fokus dari studi ini. Untuk mengidentifikasi

hal tersebut, penelitian ini akan dibatasi beberapa variabel budaya dari kerangka

Kluckholn& Strodtbeck serta pola-pola Parson.