bab 2 tinjauan pustaka 2.1 definisi obesitasrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35058/4/chapter...

27
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Obesitas Obesitas adalah suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relatif seseorang, sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, lemak dan protein. Kondisi ini disebabkan oleh ketidak seimbangan antara konsumsi kalori dan kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan atau pemakaian energi (Krisno, 2002). Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh. Distribusi lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam penyakit degeneratif (WHO 2000). Obesitas adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama. Banyaknya konsumsi energi dari makanan yang dicerna melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak dan jaringan lemak sehingga dapat berakibat pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada remaja cenderung berlanjut hingga dewasa sampai 50- 70%. Ukuran untuk menentukan seseorang obesitas umumnya dipakai indeks berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kwadrat, 8 Universitas Sumatera Utara

Upload: ngodien

Post on 09-May-2018

223 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Obesitas

Obesitas adalah suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relatif

seseorang, sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, lemak dan

protein. Kondisi ini disebabkan oleh ketidak seimbangan antara konsumsi kalori dan

kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan

atau pemakaian energi (Krisno, 2002).

Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi

lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah

simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh. Distribusi

lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam

penyakit degeneratif (WHO 2000).

Obesitas adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara energi yang masuk

dengan energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama. Banyaknya konsumsi

energi dari makanan yang dicerna melebihi energi yang digunakan untuk

metabolisme dan aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam

bentuk lemak dan jaringan lemak sehingga dapat berakibat pertambahan berat badan.

Obesitas yang muncul pada remaja cenderung berlanjut hingga dewasa sampai 50-

70%. Ukuran untuk menentukan seseorang obesitas umumnya dipakai indeks

berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kwadrat,

8

Universitas Sumatera Utara

disebut dengan indeks massa tubuh (IMT) atau body mass index (BMI) (WHO,

2006).

2.2. Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks pengukuran sederhana untuk

kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan

kegemukan/obesitas dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan

kuadrat. Cut off point dalam pengklasifikasian obesitas adalah IMT _ 30.00.

Berdasarkan IMT, obesitas dibagi menjadi tiga kategori, yakni: obesitas tingkat I

dengan IMT 30.00-34.99; obesitas tingkat II dengan IMT 35.00-39.99; dan obesitas

tingkat III dengan IMT _ 40.00. Cut off point obesitas di Asia Pasifik memiliki

kriteria lebih rendah daripada kriteria WHO pada umumnya. Cut off point obesitas

pada penduduk Asia Pasifik adalah IMT ≥ 25.00. Berdasarkan cut off point obesitas

pada penduduk Asia Pasifik, obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas

tingkat I dengan IMT 25.00-29.99 dan obesitas tingkat II dengan IMT ≥ 30.00.

Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibedakan menjadi dua jenis, yakni obesitas

sentral dan obesitas umum (WHO 2000).

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur

pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk

menentukan berat badan lebih dan obesitas pada remmaja dan dewasa. IMT

merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur

tingkat populasi berat badan lebih dan obes pada orang dewasa. Untuk penelitian

Universitas Sumatera Utara

epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram

(kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat (m2

WHO 2006 mengklasifikasikan IMT sebagai berikut (Tabel 2.1):

). Saat ini IMT merupakan indikator yang

paling bermanfaat untuk menentukan berat badan lebih atau obes:

Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan BMI

Menurut WHO

Klasifikasi BMI(kg/m2

Prinsip cut-off points )

Kurang gizi <18,50 Normal 18,50 – 24,99 Kegemukan ≥25,00 Pra-obes 25,00 – 29,99 Obes ≥30,00 Obes klas I 30,00 – 34,99 Obes klas II 35,00 – 39,99 Obes klas III ≥40,00

Sumber: diadapsi dari WHO ( 1995, 2000, 2004) Sedangkan klasifikasi obesitas berdasarkan IMT untuk orang Asia menurut

WHO sebagai berikut :

Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan BMI Menurut WHO Untuk Orang Asia

Klasifikasi BMI (kg/m2) Prinsip cut-off points

Kurang gizi <18,50 Normal 18,50 – 22,99 Berat badan berlebih ≥ 23,00 Resiko obes 23,00 – 24,9 Obes I 25 – 29,9 Obes II ≥ 30,0

Sumber: diadapsi dari WHO ( 1995, 2000, 2004)

Universitas Sumatera Utara

2.3. Penyebab Obesitas

Obesitas terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang masuk

dengan energy yang keluar dan merupakan akumulasi simpanan energy yang

berubah menjadi lemak (Pritasari, 2006). Dengan meningkatnya usia kecepatan

metabolism juga mulai menurun mulai usia 30 tahun, bila aktivitas fisik juga

berkurang maka timbunan lemak menjadi kegemukan. Penyebab lain obesitas

menurut Syarif (2002) adalah multifaktorial, genetik dan lingkungan yang

berinteraksi terus menerus:

a. Faktor Genetik

Parental fatness merupakan factor genetic yang berperanan besar. Bila kedua

orangtua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua

obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orangtua tidak obesitas,

kejadian obesitas 14%.

b. Faktor Lingkungan

1. Faktor Nutrisi

Peranan nutrisi dimulai sejak dalam kandungan yaitu jumlah lemak tubuh

dan pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh berat badan ibu. Sedangkan

kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh: waktu pertama kali

mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak

serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energy tinggi

seperti makanan siap saji dan camilan.

Universitas Sumatera Utara

2. Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik anak saat ini cenderung menurun karena lebih banyak

bermain di dakam rumah dibandingkan di luar rumah.

3. Sosial Ekonomi

Perubahan pengetahuan, sikap, pperilaku dan gaya hidup serta peningkatan

pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang

dikonsumsi.

Misnadiarly (2007) melaporkan bahwa terjadinya obesitas dapat dipengaruhi

oleh faktor umur dan jenis kelamin. Meskipun sering terjadi pada semua umur,

obesitas sering dianggap kelainan pada umur pertengahan. Obesitas yang muncul

pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan perkembangan rangka yang

cepat. Anak yang obesitas cenderung menjadi obesitas pada saat remaja dan dewasa.

Jenis kelamin tampaknya ikut berperan dalam timbulnya obesitas. Meskipun

dapat terjadi pada kedua jenis kelamin, tetapi obesitas lebih umum dijumpai pada

wanita terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause. Mungkin juga obesitas

pada wanita disebabkan karena pengaruh faktor endokrin, karena kondisi ini

muncul pada saat adanya perubahan hormonal tersebut di atas(Misnadiarly, 2007).

Agoes dan Maria (2003) menyatakan bahwa bila remaja mengkonsumsi

makanan dengan kandungan energi sesuai yang dibutuhkan tubuhnya maka tidak

ada energi yang disimpan. Sebaliknya remaja dalam mengkonsumsi energi melebihi

kebutuhan tubuh maka kelebihan enegi akan disimpan sebagai cadangan energi.

Universitas Sumatera Utara

Cadangan energi secara berkesinambungan ditimbun setiap hari yang akhirnya

menimbulkan obesitas.

Kondisi psikologis dan keyakinan seseorang berpengaruh terhadap asupan

makanan. Faktor stabilitas emosi berkaitan dengan obesitas. Keadaan obesitas

merupakan dampak dari pemecahan masalah emosi yang dalam, dan ini merupakan

suatu pelindung bagi yang bersangkutan. Dalam kedaan semacam ini menghilangkan

obesitas tanpa menyediakan pemecahan masalah yang tepat, justru akan

memperberat masalah (Misnadiarly, 2007).

2.4. Konsekuensi Obesitas terhadap Kesehatan

Konsekuensi obesitas terhadap kesehatan sangat bervariasi mulai dari

kematian premature sampai kualitas hidup yang rendah. Umumnya obesitas dikaitkan

dengan “ Non Communicable Diseases” seperti CVD, kanker, dan berbagai gangguan

psikososial. Untuk memberi gambaran yang jelas dikelompokkan sebagai berikut

(Soegih, 2009):

Tabel 2.3. Resiko Relative (RR) terjadinya Masalah Kesehatan yang Berhubungan dengan Obesitas

Resiko relatif meningkat tajam

Resiko relatif meningkat sedang

Resiko relatif meningkat ringan

RR ≥ 3 RR 2-3 RR >1-<2 - Diabetes mellitus - Resistensi insulin - Hipertensi - Dislipidemia - Sleep apnoe - Kandung empedu

- PJK - Osteoartritis - Hiperurisemia - Gout - Gangguan fertilitas - Low back pain

- Kanker - Abnormal hormone

reproduksi - Sindrom polikistik

ovarium - Defek pada bayi dari

ibu yang obes Sumber : Khaodar dan Blackburn, 2005 dengan modifikasi

Universitas Sumatera Utara

Wiramihardja (2007) menyatakan, bahwa orang dewasa yang obesitas

berisiko untuk mengendap bebeapa penyakit kronis non infeksi tertentu. Beresiko

artinya bila dibandingkan dengan orang berbadan normal, penderita obesitas lebih

berpeluang untuk mengindap penyakit non infeksi tersebut. Penyakit kronis non

infeksi yang menjadi resiko kegemukan atau disebut penyakit penyerta obesitas

terbagi dalam golongan yang tidak membahayakan tetapi tidak mengganggu, dan

golongan yang membahayakan. Golongan penyakit ppenyerta obesitas yang tidak

membahayakan tetapi menggangu adalah gangguan pernafasan, nyeri tulang,

gangguan kulit, dan ketidaksuburan. Sedangkan golongan penyakit penyerta obesitas

yang membahayakan adalah :

1. Gangguan jantung dan pembuluh darah (hipertensi, stroke, PJK)

2. Resisten terhadap hormone insulin (DM Tipe 2)

3. Kanker usus dan beberapa kanker yang berkaitan dengan hormone

4. Penyakit hati dan kantung empedu

2.5. Pencegahan Obesitas

Prinsip pencegahan obesitas adalah menurunkan berat badan dengan cara

menciptakan defisit energi dengan mengurangi konsumsi energi atau menambah

penggunaan energi melalui olahraga yang teratur (Wiramihardja, 2007).

Aktif berolah raga adalah salah satu cara menurunkan berat badan di

samping berdiit mengurangi makanan berlemak dan gula. Tetapi remaja gemuk

merasa malu ikut olah raga, dan sikap yang demikian akan membuat badan tetap atau

Universitas Sumatera Utara

malah bertambah gemuk. Cara lain menurunkan berat badan adalah dengan cara

berdiit, tetapi diit yang ketat juga berbahaya terhadap kesehatan karena selain

mengurangi konsumsi energi juga mengurangi konsumsi zat-zat gizi lainnya. Oleh

karena itu, dalam menjalankan program diit, maka ahli gizi atau dokter perlu

dimintakan nasehatnya (Depkes RI, 2000).

Barasi (2010) menambahkan bahwa pencegahan obesitas dapat dilakukan

dengan melalui pendekatan diet dan gaya hidup dengan mengintegrasikan :

perubahan perilaku, pengaturan diet dan peningkatan aktivitas fisik. Pencegahan

dapat dilakukan pada tingkat individu dan tingkat komunitas. Adapun pencegahan

obesitas pada tingkat individu antara lain :

• Mengubah pemilihan makanan menjadi lebih sehat, dan berimbang

• Menurunkan asupan energi total sehingga sebanding dengan pengeluaran

energi melalui pengurangan ukuran porsi makan

• Mengatur pemilihan kudapan yang lebih sehat

• Melakukan lebih banyak aktivitas fisik.

Sedangkan pencegahan obesitas pada tingkat komunitas berupa kebijakan

yang mendukung upaya pencegahan tingkat individu, diantaranya adalah :

• Kebijakan tentang pencantuman label makanan untuk memudahkan

masyarakat mendapatkan makanan sehat

• Industri makanan memperkecil ukuran hidangan

• Membatasi iklan promosi makanan yang kurang menyehatkan

Universitas Sumatera Utara

• Mendorong aktivitas berjalan, bersepeda, dan olahraga lain dengan

memperhatikan keamanan/keselamatan di jalan raya dan lingkungan

perkotaan.

2.6. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Konsumsi zat gizi sehari-hari dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan

dalam keluarga. Ketersediaan bahan makanan dalam rumah tangga tergantung dari

pendidikan, kemampuan untuk membeli dan ketersediaan bahan makanan di pasaran

dan produksi (Tabor, et al, 2000). Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status

gizi seseorang. Status gizi yang optimal apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi

yang dapat digunakan secara efisien (Almatsier, 2003).

Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktivitas fisik. Seseorang yang

kurang aktif dapat menjadi kelebihan berat badan atau obesitas walaupun asupan

energi lebih rendah dari kebutuhan energi yang direkomendasikan. Hasil penelitian

di Barat menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi orang gemuk sama atau

sedikit lebih kecil dari konsumsi energi rata-rata penduduk yang berbadan normal.

Tetapi penggunaan energinya lebih rendah daripada rata-rata orang yang berbadan

normal. Mereka lebih tidak aktif sehingga keseimbangan energinya tetap surplus

(Wiramihardja, 2007).

Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok

umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi yang

Universitas Sumatera Utara

diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam

kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi

(Hardinsyah dan Tampubolon 2004).

Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis

kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi.

Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran

tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi

(Hardinsyah dan Tampubolon 2004). Angka kecukupan energi dan zat gizi untuk

usia mahasiswa yang digunakan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Angka Kecukupan Energi dan Protein untuk

Mahasiswa

Usia(thn) Energi (kkal/hr)

Protein (g/hr)

Laki-Laki 16-18 2600 65 19-29 2550 60 Wanita 16-18 2200 50 19-29 1900 50

Sumber: WNPG VIII, 2004

Untuk menilai kecukupan konsumsi pangan maka didekati dengan

menghitung tingkat kecukupan gizinya atau besarnya persentase angka kecukupan

gizi. Pada penelitian ini tingkat kecukupan konsumsi zat gizi dinyatakan sebagai

tingkat kecukupan energi, protein, karbohidrat, lemak dan serat. Angka kecukupan

gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk

Universitas Sumatera Utara

hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis

kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui.

Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk

perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar

tercegah dari defisiensi ataupun kelebihan asupan zat gizi (IOM 2002 dalam Muhilal

& Hardinsyah 2004). Tingkat kecukupan energi dinyatakan sebagai hasil

perbandingan antara konsumsi energi aktual (Susenas) dengan kecukupan energi

yang direkomendasikan oleh WNPG tahun 2004, dan dinyatakan dalam persen.

Demikian pula untuk menghitung tingkat kecukupan protein, dinyatakan sebagai

perbandingan antara konsumsi protein aktual dengan kecukupan protein yang

direkomendasikan WNPG. Perhitungan tingkat kecukupan gizi dirumuskan sebagai

berikut :

a. Tingkat kecukupan energi

TKE = [(Konsumsi energi aktual)/(Angka kecukupan energi)] x 100%

b. Tingkat kecukupan protein

TKP : [(Konsumsi protein aktual)/(Angka kecukupan protein)] x 100%

Selanjutnya dari perhitungan tersebut tingkat kecukupan energi dan protein

diklasifikasikan menurut Departemen Kesehatan sebagaimana dikutip oleh Badan

Ketahanan Pangan (2006) yaitu: (1) TKE: < 70% adalah defisit berat, (2) TKE: 70 -

79% adalah defisit sedang, (3) TKE: 80 – 89% adalah defisit ringan, (4) TKE: 90 -

119% adalah normal, dan (5) TKE > 120% adalah kelebihan.

Universitas Sumatera Utara

Karbohidrat merupakan zat gizi utama sumber energi bagi tubuh.

Dalam1gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori (almatsier, 2003). Terpenuhinya

kebutuhan tubuh akan karbohidrat menentukan jumlah energi yang tersedia bagi

tubuh setiap hari. Menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) kecukupan

karbohidrat yang baik adalah setengah dari kebutuhan energi (50-60%). Jika lebih

dari itu, kemungkinan zat-zat lain akan sulit terpenuhi kebutuhannya (Depkes, 2002).

Lemak terdiri dari fosfolipid, sterol, dan trigliserida. Sebagian besar lemak

(99%) terdiri dari trigliserid yang terdiri dari asam lemak dan gliserol (Hardinsyah &

Tambunan 2004). Fungsi lemak dan minyak dalam makanan adalah membantu

penyerapan vitamin A, D, E, K, menambah energi dan melezatkan makanan. Lemak

dikelompokkan menjadi 3 menurut tingkat pencernaanya asam lemak jenuh yang

sulit dicerna, asam lemak tidak jenuh tunggal yang mudah dicerna, dan asam lemak

tidak jenuh ganda yang paling mudah dicerna (Depkes, 2002).

Lemak merupakan penyumbang energi terbesar dibandingkan zat gizi

lainnya. 1 gram lemak mengandung 9 kkal, dibandingkan karbohidrat dan protein

yang menghasilkan 4 kkal per gramnya. Anjuran konsumsi lemak tidak melebihi

30% dari total energi yang dianjurkan (Soedjiningsih, 2004).

Penilaian jumlah dan jenis makanan yang di konsumsi individu menurut Hadi

(2003) dan Gibson (1990), dapat dikelompokkan menjadi :

1. Mengingat makanan (food recall) yang dimakan oleh individu selama 24 jam

sebelum dilakukan wawancara. Contoh makanan (food model) dapat dipakai

sebagai alat bantu. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi diperkirakan atau

Universitas Sumatera Utara

dihitung dengan ukuran rumah tangga yang kemudian dikonversikan ke dalam

ukuran berat. Pemakaian metode food recall ini digunakan untuk mengukur rata-

rata konsumsi makanan dan zat gizi kelompok masyarakat yang jumlahnya besar.

2. Pencatatan makanan yang dimakan (food records) oleh individu dalam jangka

waktu tertentu, jumlahnya ditimbang dan diperkirakan dengan ukuran rumah

tangga.

3. Frekuensi konsumsi makanan (food frequency questionaire) adalah recall

makanan yang dimakan pada waktu lalu. Kuesioner terdiri dari daftar bahan

makanan dan frekuensi makan. Cara ini merekam keterangan tentang berapa kali

konsumsi bahan makanan dalam sehari, seminggu, sebulan, tiga bulan atau jangka

waktu tertentu.

4. Riwayat makan (dietary history) yaitu mencatat apa saja yang dimakan dalam

waktu lama. Cara ini memerlukan petugas wawancara yang terlatih. Periode yang

diukur biasanya adalah selama 6 bulan atau 1 tahun yang lalu. Metode wawancara

ini merupakan modifikasi dari cara recall 24 jam untuk dapat memperoleh

informasi tentang makanan yang dikonsumsi, frekuensi dan kebiasaan makan.

2.7. Serat Makanan (Dietary Fiber)

Secara fisiologis serat makanan didefinisikan sebagai karbohidrat yang

resisten terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan manusia (karena itu tidak dapat

dicerna) dan lignin. Termasuk didalamnya adalah selulosa, hemiselulosa, pektin,

lignin, gum, β-glukan, fruktan dan resistant starch. Para ahli mengelompokkan serat

Universitas Sumatera Utara

makanan sebagai salah satu jenis polisakarida yang lebih lazim disebut karbohidrat

kompleks. Karbohidrat ini terbentuk dari beberapa gugusan gula sederhana yang

bergabung menjadi satu membentuk rantai kimia panjang. Akibatnya, rantai kimia

tersebut sangat sukar dicerna oleh enzim pencernaan (Arisman, 2004).

Serat makanan sering juga disebut sebagai ”unavailable carbohydrate”,

sedangkan yang tergolong sebagai ”available carbohydrate” adalah gula, pati dan

dekstrin, karena zat-zat tersebut dapat dihidrolisa dan diabsorpsi manusia, yang

kemudian di dalam tubuh diubah menjadi glukosa dan akhirnya menjadi energi atau

disimpan dalam bentuk lemak (Muchtadi, 2005).

Berdasarkan kelarutannya dalam air, serat dapat diklasifikasikan menjadi

serat larut (hemiselulosa, pektin, gum, psillium, β-glukan, dan musilages) dan serat

tidak larut (selulosa, hemiselulosa, dan lignin). Sifat kelarutan ini sangat menentukan

pengaruh fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme

zat-zat gizi (Arisman, 2004).

Serat makanan (fiber) terdapat di dalam bahan makanan nabati, seperti

sayuran dan buah-buahan, merupakan bagian tumbuhan (dinding sel, daun, kulit

buah, selaput biji-bijian, dan lain-lain) yang memiliki struktur berupa karbohidrat

kompleks. Serat makanan dapat diperoleh dari berbagai sumber makanan, seperti:

1. Serealia

Serealia adalah bahan pangan dari tanaman yang termasuk famili rumput-

rumputan (Gramineae), diantaranya padi (Oryza sativa L.), gandum

(Triticum sp.), jagung (Zea mays), dan sorgum (Sorghum vulgare L.). Serealia

Universitas Sumatera Utara

memiliki dua jenis serat, yakni serat larut air dan serat tidak larut air. Kandungan

serat tidak larut air, yakni selulosa dan hemiselulosa terdapat pada kulit luar biji

dan endospermanya. Sedangkan serat larut air, yakni musilages dan gum

terdapat pada endospermanya. Serealia yang mengandung serat, yakni oat,

gandum, jagung, beras, dan beras merah (Sediaoetama, 2008).

2. Kacang-kacangan

Bahan nabati dari golongan kacang-kacangan yang biasa dikonsumsi meliputi

kacang kedelai, kacang tanah, kacang merah, kacang tolo, serta kacang hijau

(Sulistijani, 2001).

3. Sayuran

Sayuran merupakan bagian tanaman yang dapat dikonsumsi dalam keadaan

mentah maupun matang. Bahan nabati ini sangat dibutuhkan dan harus

dikonsumsi setiap hari sesuai dengan jumlah dan komposisi yang seimbang.

Selain itu, sayuran bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena kaya akan

kandungan vitamin, mineral dan serat. Beberapa contoh sayuran, antara lain

bayam, kangkung, daun pepaya, brokoli, tomat, paprika, bawang putih, bawang

merah, asparagus dan jamur (Sulistijani, 2001).

4. Buah-buahan

Buah-buahan sangat dianjurkan untuk dikonsumsi setiap hari. Selain dikonsumsi

dalam bentuk segar, buah-buahan juga dapat diolah dalam bentuk jus atau

dihidangkan bersama dengan sayuran. Buah-buahan sebaiknya dikonsumsi pada

saat perut sedang kosong. Tujuannya adalah agar penyerapan zat-zat tersebut

Universitas Sumatera Utara

tidak terhambat oleh kehadiran makanan lain, juga untuk menghindari

fermentasi di dalam kolon. Beberapa contoh buah-buahan yang mengandung

serat, antara lain apel, pir, jeruk, lemon, strawberi, mangga, anggur, pepaya, dan

pisang (Sediaoetama, 2008).

Konsumsi serat makanan adalah jumlah asupan dan jenis bahan pangan

sumber serat yang dikonsumsi per hari (Sulistijani, 2001). Walaupun konsumsi serat

makanan berpengaruh positif bagi tubuh dan sangat dianjurkan, namun harus

memperhatikan nilai kecukupannya bagi tubuh. Sebab, mengkonsumsi serat

makanan secara berlebihan akan berdampak negatif bagi tubuh. Tubuh akan

mengalami defisiensi mineral dan perut menjadi kembung. Kondisi ini terjadi akibat

menumpuknya serat di dalam kolon sehingga menyebabkan fermentasi serat di

dalam kolon. Fermentasi ini lalu memicu timbulnya gas, seperti gas metan, hidrogen,

dan karbondioksida di dalam sekum dan kolon yang terbentuk dari kerja enzim-

enzim bakteri yang memetabolisme serat. Jumlah gas yang dihasilkan tergantung dari

serat makanan yang dikonsumsi dan flora bakterial (Isselbacher, 2000).

Kelebihan volume serat juga dapat mengurangi absorpsi mineral, seng, besi

dan kalsium. Meskipun ada bakteri di dalam usus besar yang berangsur-angsur akan

beradaptasi dengan adanya asupan serat makanan. Namun, asupan serat yang terlalu

tinggi tetap tidak dapat menghilangkan rasa kembung di dalam perut. Lebih jauh

Wirakusumah (2001), menambahkan bahwa konsumsi serat makanan yang terlalu

banyak dapat menghalangi absorpsi vitamin B12, A, D, E, dan K, oleh karena adanya

pektin. Terhalangnya absorpsi vitamin sering dijumpai pada para vegetarian. Asam

Universitas Sumatera Utara

fitat di dalam lambung para vegetarian ini mampu mengikat serat. Defisiensi

vitamin-vitamin itu sendiri bermula dari serat makanan yang larut air mengikat dan

menyingkirkan asam empedu yang berfungsi mencerna lemak di dalam tubuh

(Sulistijani, 2001).

Rekomendasi untuk Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang pasti untuk

konsumsi serat makanan belum ada. Namun, untuk diet 2000 kalori pada orang

dewasa, paling sedikit 1000 sampai 2000 kalori harus berasal dari karbohidrat

kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 25 sampai 30 gram per hari untuk orang

dewasa dan 10 sampai 15 gram untuk anak-anak cukup untuk pemeliharaan tanpa

efek negatif terhadap kesehatan (Baliwati et al, 2004).

Tabel 2.5. Angka Kebutuhan Serat yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari)

Golongan Umur Serat (gram) Laki-laki 14-18 tahun 38 gram 19-21 tahun 38 gram Perempuan 25 gram 14-18 tahun 25 gram 19-21 tahun

Sumber : National Academy Sciences (2007)

2.8. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi dalam tubuh.

Oleh karena itu berkurangnya aktivitas akibat dari kehidupan tang semakin modern

dengan kemajuan teknologi yang mutakhir akan menimbulkan kegemukan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Caspersen dkk, (1985) dalam PAGAC Report (2008), olahraga

merupakan subkategori dari aktivitas fisik yang dirancang, berstruktur, dan diulangi

serta bertujuan untuk memperbaiki satu atau lebih komponen fitness fisik. Olahraga

dan latihannya sering juga dikenal sebagai aktivitas fisik waktu lapang dengan tujuan

primer untuk menjaga fitness fisik, tingkat prestasi fisik atau kesehatan.

Aktivitas fisik dilaporkan merupakan 20-40% total pengeluaran energi.

Energi yang digunakan untuk aktivitas fisik sangat ditentukan oleh jenis aktivitas dan

lama waktu melakukan aktivitas tersebut. Aktivitas yang melibatkan kerja otot dan

dilakukan lebih lama akan memerlukan energi lebih besar (Dwiriani, 2008).

Gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh

terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik diperlukan untuk membakar energi

dalam tubuh. Bila pemasukan energi berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas

fisik yang seimbang akan memudahkan seseorang untuk menjadi gemuk

(Wirakusumah, 2001).

Aktifitas fisik remaja diukur sebagai pengeluaran kalori (caloric cost), tetapi

tidak selalu sesuai karena keuntungan dan efek kesehatan aktivitas fisik melalui

pengeluaran energi sebagai contoh lari dengan suatu intensitas tertentu, sedangkan

pengeluaran energi rendah contohnya latihan peregangan tidak berhubungan dengan

besarnya penegeluaran kalori (Subardja, 2004).

Aktivitas fisik remaja atau usia sekolah pada umumnya memiliki tingkatan

aktivitas fisik sedang, sebab kegiatan yang sering dilakukan adalah belajar di

sekolah. Kegiatan belajar yang mereka lakukan mulai pukul 07.00- 13.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara

Tingkat aktivitas remaja laki-laki dan remaja perempuan sangat berbeda, untuk

remaja laki-laki tingkat aktivitasnya lebih tinggi dari pada perempuan. Remaja laki-

laki aktivitas fisiknya lebih berat, sebab pada usia tersebut sedang memprioritaskan

olah raga seperti hiking, sepak bola, tenis, dan berenang. Sedangkan untuk remaja

perempuan aktivitasnya lebih ringan dari remaja laki-laki seperti megerjakan

pekerjaan rumah, merawat tanaman, berdandan dan sebagainya (Subardja, 2004).

Peningkatan rata-rata pemakaian energi sebanyak 418,4 kJ (100 kkal) per hari

oleh satu populasi akan dicapai hanya dengan meningkatkan aktivitas fisik mereka

(Azwar, 2004). Aktivitas fisik tingkat sedang seperti berjalan kaki selama tiga jam

seminggu, didapati sangat mengurangi insidens dan risiko terjadinya pelbagai

penyakit kronik, terutama diabetes mellitus tipe 2, obesitas, hipertensi, penyakit

kardivaskuler, depresi, kegelisahan dan banyak jenis kanker (Chakravarthy et al,

2002).

2.9. Uang Saku

Pemberian uang saku kepada anak merupakan bagian dari pengalokasian

pendapatan keluarga kepada anak untuk keperluan harian, mingguan atau bulanan,

baik untuk keperluan jajan maupun keperluan lainnya, seperti untuk alat tulis,

menabung dan lain-lain. Pemberian uang saku ini memberikan pengaruh kepada anak

untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimilikinya

(Thoha, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Salah satu alasan penting yang menyebabkan anak mengkonsumsi makanan

yang lebih beragam adalah peningkatan pendapatan yang dalam hal ini adalah uang

saku (Kurniawan,2000). Berdasarkan hasil penelitian Yuflida (2001) diketahui

bahwa besar uang jajan berhubungan dengan frekuensi jajan. Dengan uang saku yang

berlebih memberikan peluang pada seseorang untuk membeli dan mengonsumsi

makanan lebih banyak ragamnya dan kuantitasnya.

2.10. Pengaruh Konsumsi Energi dan Lemak terhadap Obesitas

Obesitas disebabkan oleh konsumsi energi yang melebihi kebutuhan sehari-

hari untuk memelihara dan memulihkan kesehatan, proses tumbuh kembang dan

melakukan aktifitas jasmani, yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka

waktu yang cukup lama. Faktor makanan ini merupakan faktor yang terpenting untuk

terjadinya kegemukan. Banyaknya pilihan jenis makanan, tersedianya makanan

sepanjang hari dan metode pengawetan makanan yang semakin canggih

berpengaruh terhadap tingginya asupan energy (Barasi, 2007).

Apabila konsumsi energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan

adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah.

Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan

produksi Neuro Peptide –Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan.

Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari konsumsi

energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic

center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian

Universitas Sumatera Utara

besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak

menyebabkan penurunan nafsu makan (Harrison, 2003).

Penelitian Croezen (2007) menunjukkan, pola makan yang tidak teratur pada

remaja seperti tidak sarapan pagi, asupan alkohol, dan rendahnya aktivitas fisik

menyebabkan obesitas pada masa remaja (Indeks Massa Tubuh/IMT meningkat).

Penelitian desain potong lintang tersebut mengikut sertakan 25.000 remaja laki-laki

dan perempuan menemukan bahwa faktor yang paling berhubungan dengan obesitas

adalah tidak sarapan pagi. Toshcke (2007) menyatakan, adanya peningkatan berat

badan pada masa pertumbuhan dan pubertas merupakan faktor risiko terjadinya

obesitas dewasa. Penelitan kohor tersebut mengikut sertakan 505 anak laki-laki dan

perempuan, menemukan obesitas usia 7 dan 11 tahun berkaitan erat dengan

terjadinya obesitas setelah 23 tahun kemudian.

Almatsier (2003) menyatakan, bahwa keseimbangan energi dicapai bila

energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang

dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal/normal. Kelebihan

energi terjadi apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang

dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya,

terjadi berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh

kebanyakan makan dalam hal jenis karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga

karena kurang gerak.

Perubahan budaya makan ternyata dapat menyokong kecendrungan terjadinya

kegemukan khususnya di negara maju dan pada sebagian masyarakat perkotaan di

Universitas Sumatera Utara

negara berkembang. Kebiasaan makan keluarga suka ditiru olek anak anak, misalnya

makan berlebihan, frekuensi makan sering, kelebihan snack dan makan di luar waktu

makan (Wirakusumah, 2001).

2.11. Pengaruh Konsumsi Serat terhadap Obesitas

Individu dengan intake tinggi serat beresiko lebih rendah secara signifikan

untuk mengembangkan penyakit jantung koroner, stroke, hipertensi, diabetes,

obesitas, dan penyakit pencernaan tertentu. Meningkatnya asupan serat menurunkan

tekanan darah dan kadar kolesterol serum. Peningkatan asupan serat larut

meningkatkan glikemia dan sensitivitas insulin pada individu non-diabetes dan

diabetes. Serat suplementasi pada orang obesitas secara signifikan meningkatkan

penurunan berat badan (

Peningkatan asupan serat makanan bermanfaat untuk pengobatan obesitas dan

diabetes melitus. Makanan kaya serat biasanya mengenyangkan tanpa kandungan

kalori yang banyak. Diet normal yang disuplementasikan dengan serat berbentuk gel,

seperti guar gum meningkatkan rasa kenyang karena memperlambat waktu

pengosongan lambung. Studi-studi panjang sebelumnya telah menjelaskan kegunaan.

Studi jangka panjang belakangan

Anderson JW, et al 2009).

telah mengkonfirmasi manfaat dari serat kental

sebagai tambahan untuk pengobatan diet reguler obesitas. Terlepas dari efek yang

bermanfaat selama pembatasan kalori, serat makanan dapat meningkatkan beberapa

penyimpangan metabolisme yang terlihat pada obesitas. Gel pembentuk serat sangat

efektif dalam mengurangi peningkatan kolesterol LDL tanpa mengubah fraksi HDL.

Efek ini mungkin berhubungan dengan bahan pembentuk gel dari serat yang

Universitas Sumatera Utara

mengarah ke peningkatan viskositas dari lapisan unstirred sehingga menunda proses

penyerapan (

Anderson JW, et al 2009).

2.12. Pengaruh Aktivitas Fisik dengan Obesitas

Apabila melakukan aktivitas fisik, hormon dan hasil metabolisme akan

meningkat di darah dan jaringan tubuh serta aktivitas otot menghasilkan panas dan

peningkatan suhu inti yang juga dikenal sebagai hiperthermia akibat olahraga

(exercise induced hyperthermia, EIH). Menurut Radomski (1998), banyak faktor

yang mempengaruhi regulasi pelepasan hormon sewaktu berolahraga, seperti

intensitas dan durasi olahraga, fitness fisik subjek, kekurangan oksigen dan

ketersediaannya sewaktu olahraga, serta perubahan asidosis dan hasil metabolisme

yang bersirkulasi. Namun, satu faktor yang sering kurang diperhatikan adalah EIH.

Peningkatan metabolisme membakar lemak di tubuh dan membebaskan panas

Hemmingsson (2006), dalam penelitiannya melaporkan adanya hubungan

antara aktivitas fisik dan IMT bervariasi bergantung kepada status obesitas

responden. Aktivitas fisik memberi efek yang baik terhadap IMT kelompok

responden yang obese berbanding kelompok responden yang bukan obes. Dimana

tingkat aktivitas yang berat lebih memberi efek terhadap IMT responden yang obese

dibanding tingkat aktivitas yang rendah dengan obesitas. Sedangkan menurut

Petersen, L (2004), melaporkan bahwa thermogenesis dari aktivitas fisik yang ringan

dan sedang memberi rintangan dalam peningkatan berat badan. Apabila seseorang itu

memang sudah tergolong sebagai underweight, aktivitas fisik yang terlalu banyak

Universitas Sumatera Utara

akan mengurangi penyimpanan energi pada badannya dan menyebabbkan

underweight.

Satu studi yang dilakukan pada tikus yang obese akibat diet, menunjukkan

bahwa olahraga memberi efek pada jaras sentral yang meregulasi homeostasis energi.

Pada tikus yang obese akibat diet ini, aktivitas berlari roda mengurangi penumpukan

lemak di adiposit secara selektif tanpa meningkatkan kebutuhan energi. Efek ini

mungkin diakibatkan sinyal yang dihasilkan oleh aktivitas olahraga seperti

interleukin-6, asam lemak dan panas yang memberi efek umpan balik ke otak untuk

regulasi sistem neuropeptida sentral yang berperan dalam regulasi homeostasis

energi (Patterson & Levin, 2007).

Penggunaan energi setiap hari pada setiap individu bervariasi berdasarkan

aktivitas yang dilakukannya. Misalnya, seorang yang duduk menggunakan energi

basal yang sangat rendah, dapat meningkatkan kebutuhan kalori harian sebanyak 500

kalori dengan berenang selama satu jam. Apabila pengambilan energi harian

melebihi permintaan jumlah energi, kelebihan energi itu akan disimpan sebagai

trigliserida di jaringan adiposa. Apabila penggunaan kalori melebihi kalori yang

disediakan melalui diet, cadangan energi akan di ubah dan ini akan menyebabkan

penurunan berat badan. Hal ini berpengaruh dalam arti penghitungan kalori dalam

program pengaturan berat badan melalui olahraga. Pada seorang yang underweight,

penggunaan kalori yang meningkat akibat aktivitas fisik yang terlalu tinggi akan

mula membakar otot-ototnya sebagai pengganti lemak dan akan memperparah lagi

keadaannya (Martini, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.13. Landasan Teori

Faktor penyebab terjadinya obesitas adalah faktor genetik, faktor hormonal,

penyakit tertentu, faktor lingkungan, psikologi, gaya hidup, sosial ekonomi dan

aktivitas fisik.

Menurut Syarif (2003) obesitas terjadi karena ketidakseimbangan asupan

energi dengan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya

disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Asupan energi yang berlebihan disebabkan

oleh konsumsi yang melebihi kebutuhan. Pengeluaran energi yang rendah

disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis

makanan.

Perubahan pola makan yaitu kecenderungan mengkonsumsi makanan dengan

kalori berlebihan disertai kurangnya aktivitas fisik menyebabkan kejadian obesitas

cenderung meningkat (Malfeis et al., 2001).

Obesitas terjadi pada individu yang mempunyai kebiasaan makan lebih

banyak terutama makanan yang berlemak dan mempunyai pengeluaran energi yang

lebih rendah dibandingkan pada individu yang mempunyai berat badan normal.

Lemak sering dianggap sebagai faktor yang berperan besar dalam terjadinya obesitas.

Lemak merupakan makronutrien paling padat energi. Jika asupan lemak tidak diatur

maka akan terjadi konsumsi energi berlebihan. Asupan energi dan lemak yang

berlebihan menjadi salah satu penyebab obesitas (Wahlqvist, 1997). Mekanisme

yang menjelaskan terjadinya obesitas disajikan pada Gambar 2.1.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1. Mekanisme Terjadinya Obesitas (Wahlqvist, 1997).

Tingkat

Pen

Sosial

k

Asupan Energi

Tinggi

Gaya Hidup

Faktor

Lin

Psi

Asupan lemak

Tinggi

Horm

Obesitas

kti

en

en

Universitas Sumatera Utara

Kejadian Obesitas

- Uang Saku

- Asupan energi - Asupan protein - Asupan karbohidrat - Asupan lemak - Asupan serat

Aktivitas Fisik

2.14. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan landasan teori di atas, kerangka konsep penelitian disajikan pada

Gambar 2.2.

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara