bab 2 studi pustaka1

28
BAB 2 STUDI PUSTAKA 2.1 Pendahuluan Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam bentuk batuan atau fluida yang terkandung di bawah permukaan bumi. Energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di Italia sejak tahun 1913 dan di Selandia Baru sejak tahun 1958. Pemanfaatan energi panas bumi untuk sektor nonlistrik (direct use) telah berlangsung di Islandia sekitar 70 tahun lalu. Meningkatnya kebutuhan akan energi serta meningkatnya harga minyak, khususnya pada tahun 1973 dan 1979 telah memacu negaranegara lain, termasuk Amerika Serikat untuk mengurangi ketergantungan mereka pada minyak dengan cara memanfaatkan energi panas bumi. (El-Wakil,1985) Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi yang sangat besar yaitu sekitar 28,5 GWe. Potensi ini setara dengan 12 milyar barel minyak bumi untuk masa pengoperasian 30 tahun. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkaya potensi energi yang ramah lingkungan ini. (Badan Geologi, 2009) Berdasarkan proses pengolahan fluida panas bumi, sistem pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat dibagi menjadi beberapa macam siklus [1], namun dalam tugas akhir ini tidak akan seluruhnya dibahas, yang akan dibahas adalah 1. Siklus Uap Cetus Tunggal (Single Flash Steam Cycle) 2. Siklus Biner (Binary Cycle) 3. Siklus Kombinasi (Combined Cycle) 2.1.1 Siklus Uap Cetus Tunggal Siklus ini paling banyak digunakan untuk kondisi sumur produksi yang didominasi oleh fasa cair. Zat cair tersebut diekspansi dengan katup (sistem flash), sehingga tekanannya akan turun dan terbentuk fasa campuran uap dan cair. Kemudian campuran tersebut dimasukkan dalam separator untuk dipisahkan, fasa

Upload: davinangwyn

Post on 22-May-2017

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 Studi Pustaka1

BAB 2

STUDI PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam bentuk

batuan atau fluida yang terkandung di bawah permukaan bumi. Energi panas bumi

telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di Italia sejak tahun 1913 dan di

Selandia Baru sejak tahun 1958. Pemanfaatan energi panas bumi untuk sektor

nonlistrik (direct use) telah berlangsung di Islandia sekitar 70 tahun lalu.

Meningkatnya kebutuhan akan energi serta meningkatnya harga minyak,

khususnya pada tahun 1973 dan 1979 telah memacu negara‐negara lain, termasuk

Amerika Serikat untuk mengurangi ketergantungan mereka pada minyak dengan

cara memanfaatkan energi panas bumi. (El-Wakil,1985)

Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi yang sangat besar

yaitu sekitar 28,5 GWe. Potensi ini setara dengan 12 milyar barel minyak bumi

untuk masa pengoperasian 30 tahun. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai

salah satu negara terkaya potensi energi yang ramah lingkungan ini. (Badan

Geologi, 2009)

Berdasarkan proses pengolahan fluida panas bumi, sistem pembangkit

listrik tenaga panas bumi dapat dibagi menjadi beberapa macam siklus [1], namun

dalam tugas akhir ini tidak akan seluruhnya dibahas, yang akan dibahas adalah

1. Siklus Uap Cetus Tunggal (Single Flash Steam Cycle)

2. Siklus Biner (Binary Cycle)

3. Siklus Kombinasi (Combined Cycle)

2.1.1 Siklus Uap Cetus Tunggal

Siklus ini paling banyak digunakan untuk kondisi sumur produksi yang

didominasi oleh fasa cair. Zat cair tersebut diekspansi dengan katup (sistem flash),

sehingga tekanannya akan turun dan terbentuk fasa campuran uap dan cair.

Kemudian campuran tersebut dimasukkan dalam separator untuk dipisahkan, fasa

Page 2: Bab 2 Studi Pustaka1

uap digunakan untuk menggerakan turbin uap dan zat cair (

disuntikkan kembali ke dalam su

sederhana ditunjukkan oleh Gambar 2.1, sedangkan proses yang terjadi

digambarkan pada diagram T

Gambar 2.1 Skema

Gambar 2.2

uap digunakan untuk menggerakan turbin uap dan zat cair (

disuntikkan kembali ke dalam sumur injeksi. Skema dari siklus cetus tunggal

sederhana ditunjukkan oleh Gambar 2.1, sedangkan proses yang terjadi

diagram T-s yang ada pada Gambar 2.2.

Skema siklus cetus tunggal sederhana pada sistem pembangkit

2 Diagram T-s untuk siklus cetus tunggal sederhana

uap digunakan untuk menggerakan turbin uap dan zat cair (brine) sisanya

mur injeksi. Skema dari siklus cetus tunggal

sederhana ditunjukkan oleh Gambar 2.1, sedangkan proses yang terjadi

embangkit.

ederhana. [1]

Page 3: Bab 2 Studi Pustaka1

2.1.2 Siklus Biner

Siklus ini digunakan apabila sumur produksi memiliki temperatur yang

tidak terlalu tinggi (125-225 oC), sehingga kurang efektif dan ekonomis bila

digunakan untuk temperatur sumber yang tinggi (Badan Geologi, 2010). Dengan

memanfaatkan temperatur yang tidak terlalu tinggi, diperlukan fluida kerja lain

yang memiliki titik didih di bawah titik didih air, sehingga fluida kerja yang tepat

untuk digunakan adalah fluida kerja organik. Fluida kerja organik memiliki

temperatur didih yang rendah, sehingga panas yang tidak terlalu tinggi dapat

dimanfaatkan untuk menghasilkan uap. Uap tersebut digunakan untuk

menggerakan turbin yang ada di PLTP, yang umum disebut sebagai siklus biner.

Prinsip kerja siklus biner dengan memanfaatkan adanya penukar panas

(heat exchanger), panas yang dimiliki oleh brine dapat dimanfaatkan oleh fluida

kerja organik untuk menggerakkan turbin dan pada akhirnya dapat menghasilkan

listrik. Pada Gambar 2.3 ditampilkan gambar skematik dari siklus-biner.

Gambar 2.3 Skema siklus biner sederhana pada sistem pembangkit.

1

b

Page 4: Bab 2 Studi Pustaka1

Untuk memahami proses yang terjadi pada siklus biner dapat dilihat dengan

diagram P-h seperti Gambar 2.4 di bawah ini. Pada diagram P

perubahan fasa yang terjadi dalam siklus biner.

Gambar 2.

2.1.3 Siklus Kombinasi

Siklus kombinasi merupakan gabungan dari siklus cetus dan biner. Pada

prinsipnya, brine sisa yang didapatkan dari separator masih memiliki temperatur

yang cukup tinggi. Brine

memanaskan fluida kerja pada siklus

panas (heat exchanger

yang dapat dihasilkan pada siklus kombinasi ini akan lebih besar dibandingkan

dengan siklus cetus tunggal ataupun siklus biner.

Untuk lebih memahami komponen apa saja yang digunakan pada siklus

cetus-biner dapat dilihat gambar skematik dari siklus cetus

Gambar 2.5, sedangkan proses kerjanya dapat dilihat dari diagram T

Gambar 2.6.

Untuk memahami proses yang terjadi pada siklus biner dapat dilihat dengan

h seperti Gambar 2.4 di bawah ini. Pada diagram P-h dapat dilihat juga

perubahan fasa yang terjadi dalam siklus biner.

Gambar 2.4 Diagram T-s untuk siklus biner sederhana. [1]

iklus Kombinasi

Siklus kombinasi merupakan gabungan dari siklus cetus dan biner. Pada

sisa yang didapatkan dari separator masih memiliki temperatur

Brine tersebut dapat digunakan sebagai cairan pemanas untuk

memanaskan fluida kerja pada siklus biner, tentunya dengan perantaraan penukar

heat exchanger). Dengan memanfaatkan prinsip kerja tersebut, daya listrik

yang dapat dihasilkan pada siklus kombinasi ini akan lebih besar dibandingkan

dengan siklus cetus tunggal ataupun siklus biner.

Untuk lebih memahami komponen apa saja yang digunakan pada siklus

biner dapat dilihat gambar skematik dari siklus cetus-biner yang ada pada

Gambar 2.5, sedangkan proses kerjanya dapat dilihat dari diagram T

Untuk memahami proses yang terjadi pada siklus biner dapat dilihat dengan

h dapat dilihat juga

s untuk siklus biner sederhana. [1]

Siklus kombinasi merupakan gabungan dari siklus cetus dan biner. Pada

sisa yang didapatkan dari separator masih memiliki temperatur

tersebut dapat digunakan sebagai cairan pemanas untuk

, tentunya dengan perantaraan penukar

). Dengan memanfaatkan prinsip kerja tersebut, daya listrik

yang dapat dihasilkan pada siklus kombinasi ini akan lebih besar dibandingkan

Untuk lebih memahami komponen apa saja yang digunakan pada siklus

biner yang ada pada

Gambar 2.5, sedangkan proses kerjanya dapat dilihat dari diagram T-s pada

Page 5: Bab 2 Studi Pustaka1

Gambar 2.5 Skema siklus kombinasi sederhana pada sistem pembangkit.

Gambar 2.6 Diagram T-s untuk siklus kombinasi sederhana. [1]

a

b f

Page 6: Bab 2 Studi Pustaka1

2.2 Komponen-Komponen Utama Pada Sistem Pembangkit Panas Bumi

Komponen utama suatu sistem pembangkit listrik tenaga panas bumi

dengan siklus cetus-biner terdiri dari: katup ekspansi, separator, turbin, kondensor,

pompa, dan penukar panas (preheater dan evaporator).

2.2.1 Katup Ekspansi (Proses Cetus/Flash)

Proses ekspansi oleh katup dilakukan untuk menurunkan tekanan secara

spontan, sehingga akan terbentuk fluida dengan dua fasa seperti yang dapat dilihat

dalam proses 1-2 pada diagram T-s di Gambar 2.2. Proses flashing berlangsung

secara isentalpik (h = konstan), sehingga akan didapatkan persamaan:

h1 = h2 (2.1)

2.2.2 Separator (Komponen Pemisahan Fasa Fluida)

Separator berfungsi untuk memisahkan dua jenis fasa fluida (uap dan cair)

yang dihasilkan pada proses cetus/flashing dengan katup. Dengan diagram T-s

pada Gambar 2.2, dapat dilihat proses yang berlangsung pada separator. Proses

dari titik 2 ke 4 merupakan proses terbentuknya fasa uap jenuh, sedangkan proses

dari titik 2 ke 3 merupakan proses terbentuknya fasa cair jenuh. Kualitas/fraksi

dari campuran akibat proses flashing didekati dengan persamaan

x2 = ���������� (2.2)

2.2.3 Turbin

Turbin merupakan komponen yang penting pada sistem pembangkit

listrik, dimana kerja yang dihasilkan oleh turbin digunakan untuk memutar

generator. Generator tersebut dikelilingi oleh kumparan, sehingga akan

menghasilkan energi listrik.

Dari diagram T-s pada Gambar 2.2, yaitu proses dari titik 4 ke 5 dapat diketahui

bahwa kerja maksimum yang dapat dihasilkan oleh turbin adalah

�� t = �� s (h4-h5) (2.3) Sedangkan efisiensi isentropik turbin, didapatkan dengan

ηt = �������� (2.4)

Page 7: Bab 2 Studi Pustaka1

Untuk siklus biner, dari diagram skematik pada Gambar 2.7 di bawah ini, turbin

dapat menghasilkan kerja maksimum, dimana persamaannya adalah

�� t = �� wf (h1-h2) (2.5)

Gambar 2.7 Turbin-generator untuk siklus biner.

2.2.4 Kondensor

Umumnya kondensor yang digunakan pada pembangkit listrik tenaga

panas bumi adalah kondensor berpendingin air [1]. Dengan bantuan diagram T-s

pada Gambar 2.2 di atas dapat dilihat bahwa proses kondensasi yang berlangsung

adalah dari titik 5 ke 6, dimana jumlah air pendingin yang diperlukan dapat

diperoleh dengan persamaan

�� cw = x2 �� total� ���� ������ ��� (2.6)

Dengan �� = konstanta kalor spesifik (4200 J/kg.K) Prinsip kerja dari kondensor memanfaatkan kesetimbangan kalor yang

terjadi antara fluida kerja panas dengan fluida kerja dingin. Proses yang

berlangsung pada kondensor dapat dilihat pada Gambar 2.8, dengan persamaan

kalor untuk fluida kerja panas

�� t = �� wf (h2-h3) (2.7)

Gambar 2.8 Kondensor dengan pendingin air.

Page 8: Bab 2 Studi Pustaka1

Dari Gambar 2.8 di atas juga, didapatkan persamaan kesetimbangan energi untuk

kondensor

�� cw(hy-hx) = �� wf (h2-h3) (2.8) Pada kondensor berpendingin udara, fluida yang berfungsi sebagai

pendingin adalah udara. Prinsip yang dimanfaatkan adalah memanfaatkan aliran

udara yang dihasilkan oleh kipas untuk menurunkan temperatur fluida kerja yang

ada di dalam tube kondensor. Kondensor berpendingin udara dimanfaatkan

apabila lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi yang ada sulit untuk

mendapatkan air.

Pada tugas akhir ini, kondensor yang digunakan adalah kondensor

berpendingin udara, sehingga tidak diperlukan adanya menara pendingin / cooling

tower.

2.2.5 Pompa (Feedwater Pump)

Pompa digunakan untuk menaikkan tekanan/head dari fluida yang

dialirkan. Dari gambar skematik pada Gambar 2.9 dapat diketahui bahwa kerja

yang diperlukan oleh pompa adalah

�� p = �� wf (h4-h3) = �� wf (h4s-h3)/ηp (2.9)

Gambar 2.9 Pompa untuk kondensat.

2.2.6 Penukar Panas (Heat Exchanger)

Pada siklus biner diperlukan adanya komponen penukar panas. Fungsi

utama dari penukar panas tersebut digunakan sebagai pemanas awal (preheater)

dan evaporator, yaitu mengubah fasa fluida kerja dari cairan bertekanan

(compress liquid) menjadi cair jenuh untuk kemudian diubah menjadi uap jenuh.

Page 9: Bab 2 Studi Pustaka1

Dalam mengkaji penukar panas digunakan asumsi bahwa pertukaran panas antara

brine dengan fluida kerja terisolasi dengan baik, aliran fluida berlangsung tetap

terhadap waktu (steady), dan dengan mengabaikan energi kinetik dan potensial.

Dari gambar skematik pada Gambar 2.10 di bawah ini dapat diperoleh persamaan

kesetimbangan energi pada penukar panas

�� b(ha-hc) = �� wf (h1-h4) (2.10)

Gambar 2.10 Preheater dan Evaporator.

Untuk memudahkan dalam menganalisis preheater dan evaporator digunakan

diagram temperatur terhadap persen perpindahan panas seperti Gambar 2.11 di

bawah ini. Diagram tersebut dapat menggambarkan fungsi dari setiap komponen

penukar panas, dan menunjukkan besar kalor yang dilepas/diterima oleh preheater

dan evaporator.

Preheater (PH) berfungsi untuk menaikkan temperatur fluida kerja sampai

titik cair jenuhnya, kemudian evaporator (E) berfungsi untuk mengubah fasa

fluida kerja dari cair jenuh menjadi uap jenuh. Posisi pada penukar panas dimana

temperatur dari brine dengan fluida kerja mencapai titik minimum disebut dengan

titik pinch, dan nilai selisih temperaturnya adalah ∆Tpp (delta temperatur pinch).

Tingkat keadaan 4 memiliki fasa dalam bentuk cair bertekanan

(compressed liquid) yang merupakan keluaran dari pompa, tingkat keadaan 5

merupakan fasa cair jenuh (saturated liquid) yang bekerja pada tekanan

evaporator, dan keadaan 1 merupakan fasa uap jenuh (saturated vapor) yang

Page 10: Bab 2 Studi Pustaka1

sama dengan kondisi masuk turbin. Dari Gambar 2.10 di atas, diperoleh

persamaan energi untuk kedua jenis penukar panas tersebut

Preheater : �� b��b(Tb-Tc) = �� wf (h5-h4) (2.11) Evaporator : �� b��b(Ta-Tb) = �� wf (h1-h5) (2.12)

Temperatur brine masuk (Ta) selalu diketahui, sedangkan perbedaan

temperatur pinch (∆Tpp) umumnya diberikan oleh pabrik pembuat penukar panas

dalam spesifikasinya. Dengan diketahuinya nilai T5, maka nilai dari Tb dapat

diketahui juga.

Luas permukaan perpindahan panas dari evaporator bisa diperoleh dengan

persamaan:

�� E = ��AELMTD|E (2.12)

Nilai �� adalah nilai dari koefisien perpindahan panas total, dan LMTD|E

adalah nilai log-mean temperature difference yang diperoleh dengan persamaan

LMTD|E = ���������������

����� �!�" �#� (2.13)

Sedangkan nilai perpindahan kalor dari evaporator diperoleh dari

�� E = �� b��b(Ta-Tb) = �� wf (h1-h5) (2.14) Persamaan energi yang sama diterapkan juga untuk preheater, yaitu

�� PH = ��APHLMTD|PH (2.15)

LMTD|PH = ���������� ����

����" �#�$ �%� (2.16)

�� PH = �� b��b(Tb-Tc) = �� wf (h5-h4) (2.17) Hubungan-hubungan pada Persamaan 2.11–2.17 di atas, dapat dilihat dari Gambar

2.11 di bawah ini.

Nilai koefisien perpindahan panas total (��) didapatkan dari hasil eksperimen fluida yang digunakan pada sistem pembangkit. Sebagai asumsi awal

untuk menebak nilai koefisien perpindahan panas total (��) dalam proses analisis, dapat digunakan Tabel 2.1 di bawah ini

Page 11: Bab 2 Studi Pustaka1

Gambar 2.11 Diagram temperatur

Nilai di dalam tabel 2.1 merupakan nilai perkiraan. Apabila ingin didapatkan

nilai yang lebih akurat dapat dilakukan dengan menghitungnya secara manual,

yaitu dengan melakukan perhitungan terhadap semua nilai koefisien perpindahan

panas yang terjadi dalam suatu

Tabel 2.

No

1 Ammonia (kondensasi)

2 Propana atau Butana (kondensasi)

3 Refrigerant (kondensasi)

4 Refrigerant (evaporasi)

5 Refrigerant (evaporasi)

6 Uap air

7 Uap air

8 Uap air (kondensasi)

9 Air

10 Air

11 Air

Diagram temperatur-laju perpindahan panas preheater dan

di dalam tabel 2.1 merupakan nilai perkiraan. Apabila ingin didapatkan

nilai yang lebih akurat dapat dilakukan dengan menghitungnya secara manual,

yaitu dengan melakukan perhitungan terhadap semua nilai koefisien perpindahan

panas yang terjadi dalam suatu proses.

Tabel 2.1 Perkiraan Nilai Untuk Beberapa Kondisi [1]

Fluida

Koefisien Perpindahan Panas

Total (

Btu/h.ft2.F

Ammonia (kondensasi) - Air 150- 250

Propana atau Butana (kondensasi) - Air 125- 135

Refrigerant (kondensasi) - Air 80- 150

Refrigerant (evaporasi) - Brine 30- 150

Refrigerant (evaporasi) - Air 30- 150

Uap air- Gas 5- 50

Uap air - Air 175- 600

Uap air (kondensasi) - Air 175-1050

Air - Udara 5 - 10

Air - Brine 100- 200

Air - Air 180- 200

dan evaporator. [1]

di dalam tabel 2.1 merupakan nilai perkiraan. Apabila ingin didapatkan

nilai yang lebih akurat dapat dilakukan dengan menghitungnya secara manual,

yaitu dengan melakukan perhitungan terhadap semua nilai koefisien perpindahan

Untuk Beberapa Kondisi [1]

Koefisien Perpindahan Panas

Total ( )

W/m2.K

850 - 1400

700 - 765

450 - 850

170 - 850

170 - 850

30 - 285

1000 - 3400

1000 - 6000

25 - 50

570 - 1135

1020 - 1140

Page 12: Bab 2 Studi Pustaka1

2.3 Pemilihan Fluida Kerja

Faktor pemilihan fluida kerja pada siklus biner memiliki peran yang

penting dalam penentuan performansi sistem pembangkit.

Ada banyak jenis fluida yang dapat dijadikan fluida kerja dalam siklus biner,

tetapi harus diperhatikan juga batasan-batasan yang ada, misalnya sifat

termodinamika fluida, faktor kesehatan, faktor keamanan, serta faktor lingkungan.

2.3.1 Sifat Termodinamika

Faktor yang penting dalam pemilihan jenis fluida kerja adalah tekanan dan

temperatur kritisnya harus lebih rendah dari air. Temperatur kritis fluida kerja

yang rendah memungkinkan terjadinya perubahan fasa dari fluida kerja karena

proses pemanasan oleh brine. Fluida kerja yang memiliki fasa uap dapat

digunakan untuk menggerakan turbin, sehingga dapat menghasilkan energi listrik.

Dari Tabel 2.2 di bawah ini, dapat diketahui perbandingan temperatur dan tekanan

kritis antara berbagai jenis fluida kerja yang umum digunakan pada siklus biner.

Tabel 2.2 Sifat Termodinamika Beberapa Fluida Kerja Untuk Siklus Biner [1]

No

Jenis

Fluida

Rumus

Kimia Tc Tc Pc Pc Ps @ Ps @

oC

oF Mpa lbf/in

2 300 K 400 K

Mpa Mpa

1 Propana C3H8 96,95 206,50 4,236 614,4 0,993500 n.a.

2 i-Butana i-C4H10 135,92 276,70 3,685 534,4 0,372700 3,20400

3 n-Butana C4H10 150,80 303,40 3,718 539,2 0,255900 2,48800

4 i- Pentana i-C5H12 187,80 370,10 3,409 494,4 0,097590 1,23800

5 n-Pentana C5H12 193,90 380,90 3,240 469,9 0,073760 1,03600

6 Ammonia NH3 133,65 272,57 11,627 1686,3 1,061000 10,30000

7 Air H2O 374,14 705,45 22,089 3203,6 0,003536 0,24559

Karakteristik penting lain yang dimiliki oleh fluida kerja organik adalah

adalah bentuk diagram Temperatur-Entropi (T-s) yang sedikit berbeda dengan air.

Perbedaannya terdapat pada garis uap jenuh yang dimiliki. Garis uap jenuh pada

air memiliki kemiringan (slope) bernilai negatif, sedangkan untuk fluida kerja

organik kemiringannya bernilai positif. Perbedaannya dapat dilihat pada Gambar

2.12 di bawah ini.

Page 13: Bab 2 Studi Pustaka1

Gambar 2.

2.3.2 Faktor Kesehatan

Faktor yang juga perlu diperhatikan dalam proses pemilihan fluida kerja

adalah faktor kesehatan, keamanan dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut akan

mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berikut akan diberikan Tabel 2.3 yang

berisi sifat-sifat yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan, dan lingkungan

untuk beberapa jenis fluida kerja.

Tabel 2.3 Sifat Keamanan dan Lingkungan Untuk Beberapa Jenis F

No

Jenis Fluida

Kerja

Rumus

1 R-12 CCl

2 R-114 C

3 Propana

4 i-butana i

5 n-butana

6 i-pentana i

7 n-pentana

8 Ammonia

9 Air

Gambar 2.12 Diagram T-s untuk fluida kerja organik. [1]

2.3.2 Faktor Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan

Faktor yang juga perlu diperhatikan dalam proses pemilihan fluida kerja

kesehatan, keamanan dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut akan

mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berikut akan diberikan Tabel 2.3 yang

sifat yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan, dan lingkungan

untuk beberapa jenis fluida kerja.

Sifat Keamanan dan Lingkungan Untuk Beberapa Jenis Flui

Rumus

Kimia Sifat Beracun

Sifat

Keterbakaran

CCl2F2 Tidak Beracun Tidak Terbakar

C2Cl2F4 Tidak Beracun Tidak Terbakar

C3H8 Rendah Sangat Tinggi

i-C4H10 Rendah Sangat Tinggi

C4H10 Rendah Sangat Tinggi

i-C5H12 Rendah Sangat Tinggi

C5H12 Rendah Sangat Tinggi

NH3 Beracun Rendah

H2O Tidak Beracun Tidak Terbakar

s untuk fluida kerja organik. [1]

Faktor yang juga perlu diperhatikan dalam proses pemilihan fluida kerja

kesehatan, keamanan dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut akan

mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berikut akan diberikan Tabel 2.3 yang

sifat yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan, dan lingkungan

luida Kerja [1]

Keterbakaran ODP GWP

Tidak Terbakar 1,0 4500

Tidak Terbakar 0,7 5850

Sangat Tinggi 0 3

Sangat Tinggi 0 3

Sangat Tinggi 0 3

Sangat Tinggi 0 3

Sangat Tinggi 0 3

0 0

Tidak Terbakar 0 -

Page 14: Bab 2 Studi Pustaka1

Nilai Ozone Depletion Potential (ODP) merupakan nilai perbandingan

antara zat yang memiliki kandungan yang dapat merusak ozon dengan zat yang

merupakan acuan, dimana umumnya bernilai 1 untuk R-11 dan R-12.

Sedangkan nilai Global Warming Potential (GWP) merupakan ukuran dari

berapa besar massa yang diberikan dari zat penghasil gas efek rumah kaca yang

diperkirakan akan berkontribusi terhadap pemanasan global dibandingkan dengan

zat yang merupakan acuan, dimana umumnya bernilai 1 untuk karbondioksida.

2.4 Pembentukan Kerak (Scaling)

Hal lain yang menjadi masalah serius pada siklus PLTP adalah masalah

pembentukan kerak (scaling). Masalah scaling dapat dianalogikan seperti

terbentuknya kolestrol di dalam pembuluh darah manusia yang setiap saat dapat

menimbulkan masalah serius. Sama seperti itu, kerak akan menyebabkan

tersumbatnya aliran fluida yang melewati pipa/tube, mengurangi kemampuan

perpindahan panas, dan pada akhirnya akan mengganggu kinerja PLTP.

Salah satu penyebab terbentuknya kerak (Scale) adalah adanya kandungan

silika (SiO2). Senyawa silika memiliki empat bentuk, yaitu quartz, amorphous,

chalcedony, dan cristobalite. Yang menjadi pusat perhatian pada siklus PLTP

adalah fasa silika dalam bentuk quartz dan amorphous, karena kedua fasa ini

menunjukkan sifat kelarutan silika yang memiliki sifat paling mudah larut dan

paling sulit larut.

Sifat-sifat yang mempengaruhi konsentrasi silika adalah temperatur, kadar

garam (salinitas), dan nilai keasaman (pH). Faktor yang paling mempengaruhi

konsentrasi silika adalah temperatur, sehingga persamaan yang ada banyak

didekati sebagai fungsi dari temperatur [2].

Pada Gambar 2.13 akan diperlihatkan tingkat kelarutan dari berbagai bentuk

silika, dari yang mudah larut (E) sampai yang sulit larut (A).

Page 15: Bab 2 Studi Pustaka1

A = amorphous silica

B = β-cristobalite

C = α-cristobalite

D = chalcedony

E = quartz

Gambar 2.13 Kelarutan berbagai bentuk silika. [3]

Dalam menganalisis proses terbentuknya kerak, ada tiga metode yang biasa

digunakan, yaitu metode Founier, DiPippo, dan Silica Scaling Index (SSI). Ketiga

metode tersebut akan dijelaskan pada sub-bab di bawah ini, dimana yang ingin

diperoleh adalah temperatur minimum keluar brine supaya tidak terbentuk kerak.

2.4.1 Metode Fournier

Untuk menghitung besarnya konsentrasi quartz digunakan persamaan di

bawah ini. Persamaan ini berlaku dengan menggunakan asumsi bahwa kandungan

yang terdapat di sumur produksi seluruhnya berfasa quartz.

q(tr,m=0) = 41,598 + 0,23932tr – 0,011172tr2 + 1,1713 × 10

-4tr3 – 1,9708 × 10

-7tr4

[2] (2.18)

Bila memperhitungkan kadar garam (salinitas), diperlukan koreksi:

q(tr,m) = q(tr,m=0) × F(tr,m) [4], (2.19)

Dimana nilai F(tr,m) = 1-[1-F(t,m=5)] × (m/5), nilai m = 0-5

F(tr,m=5) = 0.3363tr0,1644

(2.20)

m = molalitas = mol zat terlarut / kg larutan (menunjukan nilai kadar garam).

Sedangkan, untuk menghitung besarnya konsentrasi amorphous silika, digunakan

persamaan,

S(t1,m2) = q(tr,mr) × C1 × C2 [5] (2.21)

Page 16: Bab 2 Studi Pustaka1

Dimana,

Nilai hr = h1, sehingga

Persamaan di atas tidak mem

single flash (Gambar 2.14) dan

Gambar 2.14 Diagram T

Setelah didapatkan nilai konsentrasi

menentukan nilai temperatur minimum

supaya tidak terbentuk kerak. Cara yang digunakan dengan cara memplot pada

Gambar 2.16 seperti contoh di bawah ini.

Gambar 2.

C1 = 1/(1-x1)

C2 = 1/(1-x5)

sehingga x1 = (h1-h2) / (h3-h2)

= [hf(tr) – hf(t1)] / hfg(t1)

Persamaan di atas tidak memperhitungkan pengaruh salinitas, untuk contoh kasus

(Gambar 2.14) dan double flash (Gambar 2.15).

Diagram T-s Single Flash. [2] Gambar 2.15 Diagram T-s

Setelah didapatkan nilai konsentrasi amorphous silika, langkah selanjutnya adalah

menentukan nilai temperatur minimum brine keluar/temperatur rekristalisasinya

supaya tidak terbentuk kerak. Cara yang digunakan dengan cara memplot pada

Gambar 2.16 seperti contoh di bawah ini.

Gambar 2.16 Kelarutan berbagai bentuk silika. [3]

(2.22)

(2.23)

(2.24)

perhitungkan pengaruh salinitas, untuk contoh kasus

s Double Flash. [2]

, langkah selanjutnya adalah

temperatur rekristalisasinya

supaya tidak terbentuk kerak. Cara yang digunakan dengan cara memplot pada

Page 17: Bab 2 Studi Pustaka1

Bila ingin didapatkan nilai yang lebih akurat, dapat dilakukan dengan memasukan

nilai konsentrasi amorphous

gambar di atas.

dimana nilai s adalah konsentrasi

rekristalisasi (oC).

2.4.2 Metode DiPippo

Cara yang sama dengan metode

DiPippo, dimana nilai kelarutan

di atas diplot pada grafik yang ada pada Gambar 2.17 di bawah ini, sebagai

contoh:

Gambar 2.17 Pengaruh

Apabila diinginkan hasil yang lebih akurat dapat digunakan persamaan:

= -

Nilai kelarutan amorphous

trial & error, akan didapatkan nilai T (K), yang merupakan temperatur

rekristalisasi. Persamaan di atas, tidak memperhatikan adanya kandungan garam,

sehingga nilai molalitas (m) = 0.

Bila ingin didapatkan nilai yang lebih akurat, dapat dilakukan dengan memasukan

amorphous silika ke dalam persamaan garis A yang ada pada

t oC =

dimana nilai s adalah konsentrasi amorphous silika (ppm), dan t adalah temperatur

DiPippo

Cara yang sama dengan metode Founier diterapkan juga dalam metode

, dimana nilai kelarutan amorphous silika yang diperoleh dari persamaan

di atas diplot pada grafik yang ada pada Gambar 2.17 di bawah ini, sebagai

Pengaruh konsentrasi silika terhadap temperatur keluar

Apabila diinginkan hasil yang lebih akurat dapat digunakan persamaan:

- 6,116 + 0,01625T – 1,758×10-5T2 + 5,257×10

amorphous silika perlu dibagi dengan 58.400 ppm. Dengan proses

akan didapatkan nilai T (K), yang merupakan temperatur

rekristalisasi. Persamaan di atas, tidak memperhatikan adanya kandungan garam,

sehingga nilai molalitas (m) = 0.

Bila ingin didapatkan nilai yang lebih akurat, dapat dilakukan dengan memasukan

silika ke dalam persamaan garis A yang ada pada

(2.25)

silika (ppm), dan t adalah temperatur

diterapkan juga dalam metode

silika yang diperoleh dari persamaan

di atas diplot pada grafik yang ada pada Gambar 2.17 di bawah ini, sebagai

keluar. [1]

Apabila diinginkan hasil yang lebih akurat dapat digunakan persamaan:

+ 5,257×10-9T3 [6] (2.26)

silika perlu dibagi dengan 58.400 ppm. Dengan proses

akan didapatkan nilai T (K), yang merupakan temperatur

rekristalisasi. Persamaan di atas, tidak memperhatikan adanya kandungan garam,

Page 18: Bab 2 Studi Pustaka1

2.4.3 Metode Silica Scaling Index (SSI)

Ada juga metode lain yang digunakan untuk mencari temperatur

terbentuknya kerak (scale), yaitu dengan metode Silica Scaling Index (SSI).

Metode SSI adalah metode yang membandingkan antara nilai konsentrasi silika

yang dikandung brine dengan kelarutan amorphous silica. (Nugroho, 2007)

Untuk siklus cetus:

SSI = SII/s (2.27)

Untuk siklus biner dan Kalina:

SSI = SI/s (2.28)

Jika SSI > 1 terbentuk kerak, dan sebaliknya bila < 1 tidak terbentuk kerak.

Kelarutan Amorphous Silica diperoleh dengan persamaan

Log10s(T,m=0) = -6,116 + 0,01625T – 1,758 × 10-5T2 + 5,257 × 10

-9T3 [6] (2.29)

Nilai s dikalikan dengan 58.400 sehingga diperoleh satuan ppm, dan nilai T

merupakan temperatur keluar brine, dalam satuan Kelvin (K).

Bila memperhitungkan salinitas

s(T,m) = s(T,m=0) × 10-mD(t)

[5]

(2.30)

dimana, log10D(t) = -1,0569 – 1,573 × 10-3t (2.31)

Untuk siklus biner dan Kalina, konsentrasi silika keluar pada separator utama

SI = q(tr,m)/(1-x) (2.32)

dimana, x = fraksi uap pada separator utama.

Pada siklus cetus, konsentrasi silika keluar dari separator flash

SII = SI/(1-x1) (2.33)

Dimana, x1 = fraksi uap pada separator flash.

Dari persamaan di atas, apabila nilai SSI > 1 maka akan terbentuk kerak,

dan sebaliknya bila nilai SSI < 1 tidak terbentuk kerak.

2.5 Paket Program HYSYS

HYSYS adalah program yang umum digunakan untuk proses simulasi di

dunia industri, khususnya industri proses. Program ini dapat melakukan proses

simulasi secara statik maupun dinamik. Pada proses simulasi statik, parameter

operasi seperti tekanan, temperatur, laju aliran massa, dan lain-lain hanya

Page 19: Bab 2 Studi Pustaka1

digambarkan pada waktu tertentu saja yang ditentukan sebelumnya. Sedangkan

untuk proses simulasi dinamik, perubahan parameter operasi dapat diamati seiring

berjalannya waktu yang telah ditentukan sebelumnya.

Cara kerja dengan program HYSYS dimulai dengan memilih fluida kerja,

sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 2.18 di bawah ini. HYSYS memiliki

database untuk berbagai jenis fluida kerja yang dapat digunakan.

Gambar 2.18 Tampilan pada HYSYS untuk pemilihan fluida kerja.

Setelah menentukan fluida kerja, perlu ditentukan persamaan tingkat

keadaan yang akan digunakan, sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 2.19 di

bawah ini.

Gambar 2.19 Tampilan pada HYSYS untuk pemilihan persamaan tingkat keadaan.

Page 20: Bab 2 Studi Pustaka1

Langkah selanjutnya adalah memilih komponen-komponen yang akan

digunakan, sebagai contoh turbin seperti pada Gambar 2.20 di bawah ini. Warna

indikator akan berubah dari kuning menjadi hijau bila input data yang diberikan

bernilai benar.

Gambar 2.20 Tampilan pada pemilihan kompenen turbin.

Komponen-komponen yang akan digunakan pada proses simulasi seperti

terlihat pada Gambar 2.21 di bawah ini akan dirangkai/disusun menjadi diagram

alir proses sesuai dengan komponen-komponen yang dipilih untuk proses

simulasi, sebagai contoh seperti Gambar 2.22 di bawah ini.

Gambar 2.22 Tampilan diagram alir proses. Gambar 2.21 Komponen pada HYSYS.

Page 21: Bab 2 Studi Pustaka1

Setelah diagram alir proses didapatkan, dapat diketahui hubungan suatu

parameter dengan parameter lainnya. Hubungan tersebut dapat ditampilkan dalam

bentuk grafik maupun tabel, sebagai contoh seperti Gambar 2.23 untuk tampilan

grafik dan Gambar 2.24 di bawah ini untuk tampilan tabel.

Gambar 2.23 Tampilan grafik tekanan evaporator-laju aliran massa turbin.

Gambar 2.24 Tampilan tabel tekanan evaporator dan daya turbin.

Page 22: Bab 2 Studi Pustaka1

Dari hasil yang telah didapatkan dengan program HYSYS, langkah

selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan proses pengolahan data

dengan bantuan paket program Microsoft Excel. Dari hasil pengolahan data pada

program excel, akan didapatkan pengaruh dari parameter-parameter yang ingin

diketahui korelasinya. Langkah terakhir adalah melakukan analisis terhadap hasil

yang diperoleh dari proses pengolahan data.

2.6 Paket Program HTRI dan Metode GPSA

Proses perancangan termal untuk penukar panas (preheater dan

evaporator) dilakukan dengan bantuan paket program Heat Transfer Research

Inc. (HTRI). Sedangkan untuk kondensor berpendingin udara dilakukan dengan

metode yang ada pada Gas Processors Suppliers Association (GPSA).

2.6.1 Paket Program HTRI

Paket program HTRI merupakan salah satu program yang banyak

digunakan dalam proses perancangan. Jenis perancangan yang akan dilakukan

dalam tugas akhir ini adalah proses perancangan termal, dimana kekuatan struktur

dan getaran tidak diperhitungkan. Yang diperhitungkan adalah neraca kalor dan

neraca massa yang terjadi sehingga diperoleh dimensi dasar.

Dalam menggunakan paket program HTRI ada beberapa langkah yang

perlu dilaksanakan, yaitu memasukan data tingkat keadaan masuk dan keluar

penukar panas, menentukan parameter perancangan (panjang tube, tebal tube,

jumlah tube, diameter shell, jenis penukar panas, jenis material, dan lain-lain), dan

menentukan jenis fluida kerja yang bekerja pada penukar panas.

Tampilan paket program HTRI dapat dilihat pada Gambar 2.25, dimana

diperlukan masukan data yang sesuai untuk proses perancangan yang diinginkan.

Parameter proses didapatkan dari hasil simulasi dengan paket program HYSYS.

Sedangkan parameter perancangan ditentukan sesuai dengan standar yang lazim

digunakan dalam proses perancangan.

Page 23: Bab 2 Studi Pustaka1

Gambar 2.25

Langkah selanjutnya adalah menentukan jenis fluida kerja yang akan

digunakan pada aliran panas maupun aliran dingin. HTRI memiliki

untuk berbagai jenis fluida kerja beserta seluruh nilai dari sifat fisiknya. Apabila

fluida kerja yang digunakan tid

sendiri untuk dimasukkan nilai sifat

fluida kerja untuk aliran panas dan dingin akan ditampilkan pada Gambar 2.26

dan 2.27. Standar yang umum digunakan dalam proses peran

panas adalah standar Tubular Exchanger Manufaturer

25 Tampilan masukan data pada paket program HTRI

Langkah selanjutnya adalah menentukan jenis fluida kerja yang akan

digunakan pada aliran panas maupun aliran dingin. HTRI memiliki

untuk berbagai jenis fluida kerja beserta seluruh nilai dari sifat fisiknya. Apabila

fluida kerja yang digunakan tidak ada pada database HTRI, bisa didefiniskan

sendiri untuk dimasukkan nilai sifat-sifatnya. Sebagai contoh pemilihan jenis

fluida kerja untuk aliran panas dan dingin akan ditampilkan pada Gambar 2.26

dan 2.27. Standar yang umum digunakan dalam proses perancangan penukar

Tubular Exchanger Manufaturer’s Association

Tampilan masukan data pada paket program HTRI.

Langkah selanjutnya adalah menentukan jenis fluida kerja yang akan

digunakan pada aliran panas maupun aliran dingin. HTRI memiliki database

untuk berbagai jenis fluida kerja beserta seluruh nilai dari sifat fisiknya. Apabila

HTRI, bisa didefiniskan

sifatnya. Sebagai contoh pemilihan jenis

fluida kerja untuk aliran panas dan dingin akan ditampilkan pada Gambar 2.26

cangan penukar

s Association (TEMA).

Page 24: Bab 2 Studi Pustaka1

Gambar 2.26 Pemilihan fluida ker

ja untu

k alira

n panas.

Gambar 2.27 Pem

ilihan fluida ker

ja untu

k alira

n dingin.

Page 25: Bab 2 Studi Pustaka1

Setelah semua masukan data yang diperlukan dimasukan dalam program

HTRI, akan dihasilkan lembar yang berisi hasil keluaran yang dihasilkan seperti:

dimensi, penurunan tekanan aktual, nilai kalor, persen overdesign, dan lain-lain.

Keluaran paket program HTRI seperti pada Gambar 2.28 di bawah ini.

Gambar 2.28 Keluaran lembar TEMA dengan paket program HTRI.

Page 26: Bab 2 Studi Pustaka1

2.6.2 Metode GPSA

Gas Processors Suppliers

dasar teori, cara kerja, aplikasi, serta proses perancangan mengenai semua

komponen yang berhubungan dengan industri, khususnya untuk industri minyak

dan gas. Proses perancangan termal untuk kondensor berpendingin

PLTP akan menggunakan metode yang ada pada GPSA.

Ada dua jenis kondensor berpendingin udara yang umum digunakan, yaitu

tipe forced draft dan

udara dapat dilihat pada Gambar 2.29.

Gambar 2

Perbedaan antara tipe

Untuk forced draft, letak tube berada pada keluaran (

pada tipe induced draft

Kelebihan tipe induced draft

- Distribusi udara lebih baik

- Pengaruh sinar matahari dan hujan tidak besar, karena

Gas Processors Suppliers Association (GPSA) adalah buku yang berisi

dasar teori, cara kerja, aplikasi, serta proses perancangan mengenai semua

komponen yang berhubungan dengan industri, khususnya untuk industri minyak

dan gas. Proses perancangan termal untuk kondensor berpendingin

PLTP akan menggunakan metode yang ada pada GPSA.

Ada dua jenis kondensor berpendingin udara yang umum digunakan, yaitu

dan induced draft. Gambar skematik kondensor berpendingin

udara dapat dilihat pada Gambar 2.29.

Gambar 2.29 Tipe kondensor berpendingin udara. [7]

Perbedaan antara tipe forced draft dan induced draft terletak pada letak

letak tube berada pada keluaran (discharge) kipas sedangkan

draft, letak tube berada di sisi masuk (suction) dari kipas.

induced draft:

Distribusi udara lebih baik

Pengaruh sinar matahari dan hujan tidak besar, karena tube

(GPSA) adalah buku yang berisi

dasar teori, cara kerja, aplikasi, serta proses perancangan mengenai semua

komponen yang berhubungan dengan industri, khususnya untuk industri minyak

dan gas. Proses perancangan termal untuk kondensor berpendingin udara pada

Ada dua jenis kondensor berpendingin udara yang umum digunakan, yaitu

. Gambar skematik kondensor berpendingin

terletak pada letak tube-nya.

) kipas sedangkan

) dari kipas.

tube terlindungi

Page 27: Bab 2 Studi Pustaka1

Kekurangan tipe induced draft:

- Perlu daya kipas yang lebih besar

- Lebih sulit dalam perawatan komponen kipas

Sedangkan untuk tipe forced draft, kelebihan yang dimilikinya adalah

- Perlu daya kipas yang lebih kecil

- Mudah dalam perawatan komponen mekanik yang ada

Kekurangan tipe forced draft:

- Distribusi udaranya kurang merata

- Dipengaruhi oleh sinar matahari dan hujan

Pada proses perancangan kondensor berpendingin udara, ada kelaziman

yang umum digunakan:

- Ukuran diameter kipas 3 - 28 ft, yang umum digunakan adalah 14 - 16 ft

- Daya pada satu kipas umumnya kurang dari 50 hp

- Panjang tube antara 6 – 50 ft

- Lebar bay (bay width) 4 – 30 ft

- Diameter tube antara 0,625 – 1,5 in, yang umumnya digunakan 1 in

- Jumlah baris tube antara 3 – 8 baris

Langkah selanjutnya adalah melakukan proses perancangan yang

memerlukan masukan data berupa:

� Temperatur rata-rata fluida kerja

� Nilai Cp fluida kerja

� Nilai viskositas dinamik (µ) fluida kerja

� Nilai koefisien konduksi (k) fluida kerja

� Nilai kalor (Q) dari penukar panas

� Nilai laju massa fluida kerja

� Nilai temperatur masuk (Tin) fluida kerja

� Nilai temperatur keluar (Tout) fluida kerja

� Nilai hambatan fouling fluida kerja

� Nilai penurunan tekanan yang diijinkan

Page 28: Bab 2 Studi Pustaka1

Untuk udara sebagai fluida kerja pendingin, diperlukan masukan data

berupa temperatur udara sekitar, ketinggian tempat, dan nilai Cp untuk udara.

Pada proses perancangan kondensor berpendingin udara diperlukan juga

asumsi geometri, yang berupa:

� Jenis kondensor yang digunakan

� Diameter sirip tube dan jenisnya

� Jarak pitch tube dan jenisnya

� Jumlah aliran tube

� Panjang tube

� Luas bundle luar (APSF)

� Jumlah baris tube

� Luas total (APF)

� Diameter dalam tube

� Perbandingan luas sirip dan tube (AR)

� Diameter luar tube

� Jumlah kipas yang digunakan

Proses perancangan kondensor berpendingin udara dilakukan dengan

bantuan paket program Microsoft Excel, karena diperlukan proses iterasi untuk

memperoleh hasil yang memenuhi persyaratan.

Hasil yang didapatkan dari proses perancangan dengan metode GPSA diantaranya

adalah: daya kipas aktual, jumlah kipas, penurunan tekanan, diameter kipas, lebar

unit, dan lain-lain. Nilai penurunan tekanan yang dihasilkan dengan metode

GPSA digunakan sebagai nilai koreksi penurunan tekanan pada proses simulasi

dengan paket program HYSYS.

Pada proses perancangan termal dengan metode GPSA tidak dihasilkan

gambar teknik. Hasil dari proses perancangan dengan metode GPSA adalah

dimensi dari kipas, diameter bundle, lebar unit, dan lain-lain.