bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2009-1-00472-tias bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
10
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengendalian Kualitas
2.1.1 Definisi dan Konsep Pengendalian Kualitas
Secara definitif yang dimaksud dengan kualitas atau mutu suatu
produk/jasa adalah derajat/tingkatan dimana produk atau jasa tersebut mampu
memuaskan keinginan dari konsumen (fitness for use atau tailor made)
(Wignjosoebroto, 2006: 251). Berbicara mengenai pemakai produk/jasa dalam hal
ini bisa pula diklasifikasikan menurut :
a. Manufacturer : yaitu orang yang melaksanakan proses tambahan sebelum
suatu produk jadi (finished product) dibuat. Dengan kata lain
manufacturer adalah orang yang memakai bahan baku atau bahan setengah
jadi untuk menghasilkan produk akhir yang akan dikonsumsikan langsung
oleh konsumen. Dalam kacamata manufacturer, maka “fitness for use”
akan memiliki arti sebagai kemampuan untuk melaksanakan proses
manufacturing dengan :
- Produktivitas kerja (output per input) tinggi.
- Low waste, mudah dikerjakan dan waktu yang terbuang rendah.
- Dan lain-lain.
11
b. Penjual (merchant) : yaitu orang yang akan menjual kembali produk yang
bersangkutan. Disini dia lebih bertindak sebagai penyalur, pemasok,
ataupun pedagang barang-barang yang dihasilkan oleh manufacturer.
Untuk kacamata penjual (merchant) ini, maka pengertian “fitness for use”
akan meliputi hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran akan isi dari label
dan identitas yang diberikan, perlindungan dari kerusakan-kerusakan yang
terjadi akibat pengiriman (handling) dan penyimpanan, kemudahan dalam
proses handling, dan lain-lain.
c. Maintenance shop : yaitu orang yang akan menggunakan produk sebagai
suku cadang (spare parts) yang diperlukan dalam kegiatan
maintenance/repair. Disini “fitness for use” akan diartikan sebagai
kemudahan-kemudahan dalam proses pemasangan, interchange-ability,
tersedianya spare parts dalam jumlah cukup pada saat-saat yang
dikehendaki, dan lain-lain.
d. Pembeli/konsumen : yaitu pemakai langsung dari produk atau jasa
(biasanya sudah merupakan produk jadi/akhir). Di mata pembeli atau
konsumen, maka “fitness for use” akan dinyatakan sebagai tingkat
kesesuaian untuk mampu memenuhi harapan dan memuaskan keinginan
pelanggan (customer’s satisfaction).
Pengendalian kualitas adalah suatu sistem verifikasi dan
penjagaan/perawatan dari suatu tingkat/derajat kualitas produk atau proses yang
dikehendaki dengan cara perencanaan yang seksama, pemakaian peralatan yang
sesuai, inspeksi yang terus menerus, serta tindakan korektif bilamana diperlukan
12
(Wignjosoebroto, 2006: 252). Dengan demikian hasil yang diperoleh dari kegiatan
pengendalian kualitas ini benar-benar bisa memenuhi standar-standar yang telah
direncanakan/ditetapkan. Aktivitas pengendalian kualitas umumnya akan meliputi
kegiatan-kegiatan :
- Pengamatan terhadap performance produk atau proses.
- Membandingkan performance yang ditampilkan tadi dengan standar-
standar yang berlaku.
- Mengambil tindakan apabila terdapat penyimpangan-penyimpangan
yang cukup signifikan (accept or reject) dan apabila diperlukan
dibuatkan tindakan untuk mengoreksinya.
Pengertian pengendalian kualitas tidaklah sama dengan kegiatan “inspeksi”.
Karena justru inspeksi merupakan bagian dari kegiatan untuk mengendalikan
kualitas produk atau proses, maka yang dimaksud inspeksi adalah sekedar
menentukan apakah produk/proses baik (accept) atau rusak (reject). Sedangkan
kegiatan pengendalian kualitas selain berkepentingan dengan upaya untuk
menemukan kesalahan, kerusakan atau ketidaksesuaian suatu produk/proses
dalam memenuhi fungsi yang diharapkan juga mencoba menemukan sebab-
musabab terjadinya kesalahan tersebut dan kemudian alternatif-alternatif
menyelesaikan masalah yang timbul.
Kegiatan pengendalian kualitas pada dasarnya akan merupakan keseluruhan
kumpulan aktifitas dimana kita berusaha untuk mencapai kondisi “fitness for use”,
tidak peduli dimana aktifitas tersebut akan dilaksanakan yaitu mulai pada saat
produk dirancang, diproses, sampai selesai dan didistribusikan ke konsumen.
13
Kegiatan pengendalian kualitas antara lain akan meliputi aktifitas-aktifitas sebagai
berikut :
- Perencanaan kualitas pada saat merancang (desain) produk dan proses
pembuatannya.
- Pengendalian dalam penggunaan segala sumber material yang dipakai
dalam proses produksi (incoming material control).
- Analisa tindakan koreksi dalam kaitannya dengan cacat-cacat yang
dijumpai pada produk yang dihasilkan.
- Dan lain-lain.
Selanjutnya parameter-parameter yang menentukan suatu produk harus
mampu memenuhi konsep “fitness for use” ada dua macam yaitu parameter
kualitas desain (quality of design) dan parameter kualitas kesesuaian (quality of
comformance).
Derajat dimana kelas atau kategori dari suatu produk akan mampu
memberikan kepuasan pada konsumen secara umum dinyatakan sebagai kualitas
rancangan/desain (quality of design). Dua atau lebih produk meskipun memiliki
fungsi yang sama, bisa saja memberikan derajat kepuasan yang berbeda karena
adanya perbedaan kualitas dalam rancangannya. Sebagai contoh bisa dilihat pada
rancangan televisi berwarna dan tidak berwarna.
Kualitas secara umum akan banyak dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu :
1. Aplikasi penggunaan
2. Pertimbangan biaya
3. Permintaan pasar (market demand)
14
Maka di dalam merancang suatu produk haruslah dipertimbangkan masak-
masak jangan sampai “over design”.
Suatu produk harus dibuat sedemikian rupa, sehingga bisa sesuai (comform)
dan memenuhi spesifikasi, standar, dan kriteria-kriteria standar kerja lainnya yang
telah disepakati. Dalam pemakaian nantinya, maka produk tersebut harus pula
sesuai dengan fungsi yang telah dirancang sebelumnya. Kualitas kesesuaian ini
akan berkaitan dengan tiga macam bentuk pengendalian (kontrol) sebagai berikut
:
1. Pencegahan cacat (defect prevention).
Yaitu mencegah kerusakan atau cacat sebelum benar-benar terjadi.
Contoh dalam hal ini seperti pembuatan standar-standar kualitas, inspeksi
terhadap material yang datang, membuat peta kontrol untuk mencegah
penyimpangan dalam proses kerja yang berlangsung.
2. Mencari kerusakan, kesalahan, atau cacat (defect finding).
Aplikasi dan pemakaian metode-metode yang spesifik untuk proses
inspeksi, pengujian, analisis statistik, dan lain-lain. Proses untuk mencari
penyimpangan-penyimpangan terhadap tolak ukur atau standar yang telah
ditetapkan.
3. Analisa dan tindakan koreksi (defect analysis and correction).
Menganalisa kesalahan-kesalahan yang terjadi dan melakukan koreksi-
koreksi terhadap penyimpangan tersebut. Kegiatan ini merupakan
tanggung jawab dari bagian pengendalian kualitas.
15
Pelaksanaan yang cermat terhadap upaya pengendalian kualitas dari
rancangan produk (quality of design) dan kualitas kesesuaian (quality of
comformance) akan memberikan tingkat kualitas performance dari produk yang
dihasilkan (quality of performance) (Wignjosoebroto, 2006: 251-254).
2.1.2 Keuntungan dan Biaya Pelaksanaan Pengendalian Kualitas
Dengan melaksanakan manajemen kualitas yang baik, maka banyak
keuntungan yang bisa diperoleh perusahaan, yaitu antara lain :
- Menambahkan tingkat efisiensi dan produktifitas kerja.
- Mengurangi kehilangan-kehilangan (losses) dalam proses kerja yang
dilakukan, seperti mengurangi waste product atau menghilangkan
waktu-waktu yang tidak produktif.
- Menekan biaya dan save money.
- Menjaga agar penjualan (sales) akan tetap meningkat, sehingga profit
tetap diperoleh (meningkatkan potensi daya saing).
- Menambah realibilitas produk yang dihasilkan.
- Memperbaiki moral pekerja tetap tinggi.
- Dan lain-lain.
Semakin tinggi kualitas suatu produk akan menyebabkan semakin tinggi
pula biaya/beban yang harus dipikul perusahaan. Akan tetapi yang jelas tetap
diharapkan mampu dikembalikan dalam bentuk profit yang disebabkan produk
yang bersangkutan memiliki daya saing tinggi. Biaya-biaya yang harus dipikul
dalam kaitannya dengan program pengendalian kualitas antara lain sebagai berikut
:
16
1. Biaya-biaya yang dikeluarkan akibat kesalahan/cacat yang terjadi (failure
cost) yang dalam hal ini bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
- Internal failure cost, yaitu seperti scrap, rework, retest down time, dan
lain-lain. Biaya tidak akan terjadi bila tidak ada defect yang
diketemukan dalam produk yang dihasilkan sebelum diterimakan ke
pelanggan (customer).
- External failure cost, yaitu biaya yang dikeluarkan akibat defect yang
diketemukan setelah barang dikirim/didistribusikan dan diterima oleh
customer seperti halnya dengan warranty charges, returned
material/product, complaint adjustment, dan lain-lain.
2. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan tindakan-tindakan
pencegahan sebelum kesalahan terjadi (preventive cost) seperti pelatihan
operator, kelengkapan peralatan kerja, instruksi kerja, inspeksi yang tepat,
dan lain-lain.
3. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan kegiatan inspeksi dan
evaluasi produk (inspection/appraisal cost) seperti biaya untuk incoming
material inspection, inspection and test, kalibrasi peralatan kerja dan
pengukuran, material/produk yang rusak karena kegiatan destructive test,
dan lain-lain.
Berdasarkan suatu penelitian, maka total quality cost yang terdiri atas
failure cost, preventive cost dan inspection cost tersebut di atas akan meliputi
sekitar 15% dari total production cost, dengan perincian detail sebagai berikut :
17
Failure cost : 70 %
Preventive cost : 5 %
Inspection/Appraisal cost : 25 %
Total quality cost : 100 %
Pengertian mengenai biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pengendalian
kualitas (quality cost) akan selalu dikaitkan dengan produk-produk cacat (defect),
yaitu biaya untuk menemukan, memperbaiki, dan menghindari/mencegah cacat.
Dari hasil penelitian yang dilakukan beberapa perusahaan di Amerika Serikat
diperoleh data bahwasanya kesalahan-kesalahan ,yang terjadi yang mempengaruhi
kualitas produk, 15% berasal atau merupakan tanggung jawab operator langsung,
sedangkan 85% merupakan tanggung jawab manajemen perusahaan itu sendiri
(Wignjosoebroto, 2006: 256-258).
2.1.3 Analisa Statistik dalam Pengendalian Kualitas
Metode dasar untuk pelaksanaan pengendalian kualitas adalah penggunaan
metode statistik yang berupa :
a. Bagan pengendalian (control chart).
b. Inspeksi berdasarkan sampling.
Metode statistik tidak dapat dijalankan tanpa adanya data, dengan demikian
data merupakan unsur yang terpenting di dalam pelaksanaan pengendalian
kualitas. Berdasarkan data ini, maka kita akan memiliki landasan untuk
menganalisis dan melakukan tindakan-tindakan tertentu. Fakta yang ada haruslah
18
dapat dicari dan dituangkan dalam bentuk data, karena itu data yang diperoleh
harus teliti apakah :
a. Dapat mengungkapkan fakta secara lengkap?
b. Sudah sesuai dengan fakta yang sebenarnya?
Agar data yang diambil benar-benar mencerminkan kondisinya (fakta/populasi)
yang ada, maka proses pengambilan data harus dilaksanakan secara teliti. Kalau
data tersebut harus diambil berdasarkan sampling, maka data tersebut harus
diambil berdasarkan metode statistik agar benar-benar bisa mewakili populasinya.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa, data yang telah dikumpulkan dianalisis
dan disimpulkan harus relevan dengan permasalahan yang ada, sehingga tindakan
yang kemudian diambil akan mampu pula menyelesaikan permasalahannya.
Pengumpulan data akan memiliki kegunaan antara lain :
1. Alat untuk memahami situasi nyata yang sebenarnya.
Berdasarkan data ini, maka terjadinya penyimpangan-penyimpangan
akan dapat diketahui dan persentase kesalahan atau cacat dapat diukur.
Penyimpangan ini akan dapat diketahui dengan jalan mengamati data yang
diperoleh, kemudian membandingkan dengan standar performance atau target
yang telah ditetapkan.
2. Alat untuk menganalisis keadaan nyata dan permasalah yang ada.
Berdasarkan data yang diperoleh, maka akan bisa dicari hubungan
antara penyimpangan yang terjadi (akibat) dengan faktor-faktor signifikan
yang dianggap sebagai sumber terjadinya kesalahan (sebab).
19
3. Alat untuk mengendalikan proses atau pekerjaan.
Berdasarkan data yang ada, maka dapat diketahui apakah proses kerja
telah berlangsung secara normal atau tidak. Disini peta kontrol (control
charts) bisa digunakan untuk mengevaluasi apakah proses telah berlangsung
secara normal atau tidak, selanjutnya tentu saja tindakan-tindakan korektif
bisa segera diambil apabila ternyata diketahui bahwa proses berlangsung
abnormal.
4. Alat untuk pengambilan keputusan.
Berdasarkan data yang mencerminkan fakta yang ada akan dapat
diketahui dan ditetapkan apakah sesuatu sample lost harus ditolak atau
diterima setelah inspeksi dilaksanakan. Disini ada 2 metode untuk melakukan
inspeksi, yaitu total inspeksi atau sampling. Sesuai dengan informasi yang
diperoleh ini, maka dapat disimpulkan tindakan-tindakan yang harus diambil
terhadap hasil kerja (output) yang diperoleh.
5. Alat untuk membuat rencana atau perbaikan.
Seperti dijelaskan bahwa data akan berfungsi sebagai alat atau dasar
menetapkan usaha-usaha kearah tindakan-tindakan perbaikan/korektif apabila
ternyata ada proses kerja yang salah. Hal ini dilakukan setelah evaluasi
terhadap kondisi nyata, sehingga tindakan korektif yang tepat bisa diambil.
Dengan demikian satu hal terpenting disini ialah sample (contoh) menentukan
apakah data yang diperoleh benar-benar mencerminkan kondisi nyata atau
tidak.
Hal-hal tersebut diatas secara sistematis dapat digambarkan sebagai berikut :
20
Gambar 2. 1 Sistematika Langkah-Langkah Dalam Pengumpulan Data dan Proses Pengambilan Keputusan
Data yang diperlukan untuk aktifitas pengendalian mutu pada umumnya
bisa diklasifikasikan sebagai :
a. Data hasil pengukuran (measurement data)
- Kadang-kadang disebut continous data atau variable data.
- Contoh : panjang, berat, waktu, dll.
b. Data hasil perhitungan (countable data)
- Data produk atau hasil kerja disini biasanya dikategorikan sebagai baik
atau cacat (atribut data).
- Contoh : jumlah produk cacat, jumlah kesalahan kerja yang dibuat, dan
lain-lain.
POPULASI SAMPLE SAMPLE DATA
KEPUTUSAN INFORMASIAnalisa
Pengolahan
Observasi Metode Sampling
Tindakan
21
Selanjutnya beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam pengumpulan
data ialah :
1. Sasaran pengumpulan data harus diidentifikasikan jelas.
2. Pengelompokkan dan pengaturan data harus sesuai dengan maksud dan
tujuan pengumpulan data.
3. Prosedur dan proses pengumpulan data harus diketahui dengan jelas.
4. Cara pengumpulan data dan pencatatannya yang dibutuhkan untuk
pengumpulan dara ini harus ditentukan secara benar.
5. Usahakan data dari berbagai sumber yang mungkin agar diperoleh data
pembanding yang relevan.
(Wignjosoebroto, 2006: 258-261).
2.2 Kualitas Sebagai Tolak Ukur Kinerja Bisnis
Upaya dalam memperbaiki kualitas produk, proses, dan untuk lebih
lengkapnya, semua aspek kinerja bisnis, merupakan kekuatan yang medorong six
sigma. Kualitas bisa menjadi konsep yang membingungkan, sebagian karena
banyak orang memandanga kualitas berdasarkan peranan individu mereka dalam
rantai nilai produksi-pemasaran.
Selain itu, pengertian kualitas terus berevolusi seiring dengan pertumbuhan
dan kedewasaan profesi yang berhubungan dengan kualitas. Tidak ada satu pun
konsultan maupun pelaku bisnis yang setuju pada satu pengertian kualitas yang
universal. Sebuah penelitian yang menanyakan tentang definisi kualitas kepada
22
manajer 86 perusahaan di bagian timur Amerika Serikat menghasilkan beberapa
jawaban yang berbeda, diantaranya :
1. Kesempurnaan
2. Konsistensi
3. Pengurangan limbah
4. Kecepatan pengiriman
5. Ketaatan pada peraturan dan prosedur
6. Penyediaan produk yang baik dan bermanfaat
7. Melakukan hal yang benar sejak awal
8. Memuaskan pelanggan
9. Pelayanan pelanggan secara total dan memuaskan
“Definisi” ini berhubungan dengan disain produk (no. 6), kepuasan
pelanggan (no. 8 dan 9), dan kinerja operasi (no. 1, 2, 3, 4, 5, dan 7). Artinya,
melihat pengertian kualitas dari berbagai sudut dapat membantu kita untuk
memahami peran kualitas di berbagai bagian sebuah organisasi bisnis (James R.
Evans dan William M. Lindsay, 2007: 11-12).
2.2.1 Kualitas dan Sudut Pandang Desain
Salah satu definisi dari kualitas mengartikan kualitas sebagai fungsi dari
variabel yang spesifik dan terukur. Perbedaan kualitas merupakan selisih dari
jumlah atribut dari suatu produk, misalnya jumlah jahitan per inci pada sebuah
kaos atau jumlah silinder di dalam sebuah mesin. Jadi menurut pengertian ini,
jumlah atribut produk yang lebih tinggi setara dengan kualitas yang lebih baik.
23
Sebagai konsekuensinya, kualitas seringkali dihubungkan dengan harga. Semakin
mahal harga suatu produk, semakin baik kualitasnya, meskipun sebagian besar
konsumen tahu bahwa ini tidak selalu benar. Tapi istilah produk yang digunakan
dalam buku ini yang bisa diartikan sebagai barang produksi maupun jasa, tidak
harus berharga mahal untuk dianggap sebagai barang berkualitas oleh konsumen
(James R. Evans dan William M. Lindsay, 2007: 12).
2.2.2 Kualitas Dari Sudut Pandang Pelanggan
Definisi kualitas yang lain didasarkan pada asumsi bahwa keinginan
konsumen menentukan kualitas. Tiap individu memiliki keinginan dan kebutuhan
yang berbeda, sehingga standar kualitas pun menjadi beragam, yang akhirnya
menuju pada definisi kualitas berdasarkan pengguna. Kualitas adalah kelayakan
pakai (fitness for intended use) atau seberapa produk tersebut melakukan
fungsinya. Contohnya, baik sedan Cadillac maupun Jeep layak untuk digunakan,
tapi keduanya melayani kebutuhan yang berbeda dari kelompok pemakai yang
juga berdeda. Jika anda memerlukan sebuah kendaraan untuk melaju di jalan tol
dengan assesoris yang mewah, maka sebuah mobil Cadillac akan lebih memenuhi
kebutuhan anda. Tapi jika anda memerlukan sebuah mobil untuk dibawa
berkemah, memancing, atau melakukan perjalanan ke tempat ski, maka mobil jeep
akan lebih dipandang layak pakai. Sebuah contoh yang menarik muncul beberapa
tahun yang lalu ketika kompor dan kulkas sebuah perusahaan elektronik Amerika
Serikat dikagumi oleh para pembeli dari Jepang. Sayangnya, rumah Jepang yang
mungil tidak cukup luas untuk ditempati model Amerika. Beberapa model bahkan
24
tidak dapat melewati pintu dapur rumah Jepang yang sempit. Walaupun kinerja
produk tersebut amat baik, produk ini tidak layak pakai di Jepang.
Pelanggan seringkali menilai terhadap kualitas dalam hubungannya dengan
harga, hal ini disebut dengan nilai (value). Dari sudut pandang ini, produk
berkualitas adalah produk yang sama bergunanya dengan produk competitor dan
dijual pada harga yang lebih rendah, atau yang menawarkan kegunaan atau
kepuasan yang lebih tinggi pada harga yang sebanding. Dengan demikian,
seseorang bisa saja membeli produk generik dibandingkan dengan produk
bermerek, Jika produk tersebut memiliki kinerja sebaik produk bermerk pada
harga yang lebih rendah. Contoh nyata dari cara pandang ini tampak jelas pada
perbandingan harga pasar mobil Amerika dan Jepang (James R. Evans dan
William M. Lindsay, 2007: 12-13).
2.2.3 Kualitas Dari Sudut Pandang Operasi
Kualitas dari sudut pandang operasi didefinisikan sebagai hasil yang
diinginkan dari proses operasi, atau dengan kata lain kepatuhan terhadap
spesifikasi (conformance to specification). Spesifikasi (specification) adalah
target dan tingkat toleransi yang ditentukan oleh para desainer produk dan jasa.
Target adalah nilai ideal yang harus diupayakan oleh produksi, sedangkan batas
toleransi ditentukan karena desainer menyadari bahwa tidak mungkin target
tercapai setiap saat pada proses produksi. Sebagai contoh, dimensi sebuah suku
cadang dapat ditentukan sebagai “0,236 +/- 0,003 cm” yang berarti bahwa target
atau nilai ideal suku cadang tersebut adalah 0,236 cm, dan variasi yang
25
diperbolehkan adalah 0,003 cm dari target (nilai toleransi 0,006 cm). Dengan
demikian, dimensi dalam kisaran 0,233 hingga0,239 cm dapat diterima dan dapat
dikategorikan patuh pada spesifikasi. Sama halnya di bidang jasa, “ketepatan
waktu” sebuah pesawat dapat didefinisikan dalam kisaran 15 menit dari waktu
kedatangan yang dijadwalkan. Target dalam kasus ini adalah jadwal kedatangan,
dan batas toleransinya adalah 15 menit.
Kepatuhan terhadap spesifikasi merupakan kunci definisi kualitas, karena
definisi ini menyediakan sebuah cara untuk mengukur kualitas. Tetapi spesifikasi
tidak ada artinya jika tidak diterapkan kepada karakter produk yang bermakna
bagi konsumen (James R. Evans dan William M. Lindsay, 2007: 13).
2.2.4 Kualitas Sebagai Tuntutan Pelanggan
Kebanyakan orang mengartikan pelanggan sebagai pembeli akhir atau
pengguna akhir dari sebuah produk atau jasa. Misalnya seseorang yang membeli
sebuah mobil untuk keperluan pribadi atau seorang tamu hotel diartikan sebagai
pelanggan akhir. Pelanggan-pelanggan ini lebih tepat dikatakan sebagai konsumen
(consumer). Tentu saja memenuhi tuntutan konsumen merupakan tujuan bisnis
manapun. Tetapi sebelum sebuah produk mencapai konsumen, produk tersebut
akan melalui rantaian perusahaan atau departemen, di mana tiap perusahaan atau
departemen ini menambah nilai pada produk tersebut. Sebagai contoh, sebuah
perusahaan mesin mobil dapat membeli baja dari perusahaan baja, memproduksi
mesin, lalu mengirimkan mobil ke pabrik perakitan. Pabrik mesin tersebut dengan
demikian menjadi pelanggan dari perusahaan baja, dan pabrik perakitan adalah
26
pelanggan pabrik mesin. Pelanggan-pelanggan ini disebut pelanggan eksternal
(external).
Tiap karyawan dalam perusahaan juga memiliki pelanggan internal
(internal customer) yang mendapatkan produk atau jasa dari pemasok di dalam
perusahaan tersebut. Departemen perakitan contohnya adalah pelanggan internal
dari departemen mesin, dan manajer adalah pelanggan internal sekretaris.
Kebanyakan bisnis tersusun dari “rantaian pelanggan seperti ini”. Dengan
demikian, tugas seorang karyawan tidak hanya sekedar menyenangkan
supervisornya, melainkan juga memuaskan pelanggan internal dan eksternalnya.
Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan tuntutan pelanggan internal
dapat menghasilkan produk yang berkualitas rendah, sebagai contoh sistem
komputerisasi pemesanan kamar hotel yang buruk membuat petugas pemesanan
kamar kesulitan melakukan pekerjaannya, sehingga mempengaruhi kepuasan
pelanggan. Mengidentifikasi siapa saja pelanggan tiap pihak serta memahami
harapan mereka sangat penting dalam mencapai kepuasan pelanggan. Cara
berpikir ini merupakan perubahan radikal dari cara berpikir organisasi tradisional
yang biasanya sangat terkotak-kotak secara fungsional. Cara berpikir ini membuat
karyawan memahami peran mereka di dalam sistem yang lebih besar serta
kontribusi mereka terhadap produk akhir (James R. Evans dan William M.
Lindsay, 2007: 14).
27
2.3 Prinsip Kualitas dan Six Sigma
Manajemen kualitas modern didasari oleh tiga prinsip dasar, yaitu:
1. Fokus pada pelanggan
2. Partisipasi dan kerjasama semua individu di dalam perusahaan
3. Fokus pada proses yang didukung oleh perbaikan dan pembelajaran secara
terus-menerus
Prinsip-prinsip ini merupakan landasan filosofi six sigma, dan walaupun
terdengar sederhana, amat berbeda dengan praktik manajemen tradisi lama.
Dahulu, perusahaan jarang berusaha memahami tuntutan pelanggan eksternal,
apalagi pelanggan internal. Para manajer dan spesialis fungsi-fungsi tertentu
mengontrol proses produksi, sementara para pekerja diberitahu apa yang mesti
dilakukan dan bagaimana melakukannya, tanpa pernah dimintai masukan. Kerja
tim dan partisipasi karyawan nyaris tidak ada. Sejumlah kesalahan dan cacat
produksi ditoleransi dan dikendalikan oleh inspeksi pascaproduksi. Peningkatan
kualitas biasanya merupakan hasil dari gebrakan teknologi dan bukannya berasal
dari upaya perbaikan berkelanjutan. Dengan fokus yang sungguh-sungguh pada
kualitas, maka sebuah organisasi akan secara aktif berusaha untuk terus-menerus
memahami kebutuhan serta tuntutan pelanggan, berusaha untuk membangun
kualitas dan mengintegrasikannya ke dalam proses-proses kerja dengan cara
menimba ilmu serta pengalaman dari para karyawannya, dan terus memperbaiki
semua sisi organisasi. Memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini merupakan
kunci dari six sigma (James R. Evans dan William M. Lindsay, 2007: 15).
28
2.3.1 Fokus Pada Pelanggan
Pelanggan adalah penilai utama kualitas. Persepsi mengenai nilai dan
kepuasan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terjadi selama waktu pembelian,
kepemilikan, dan jasa pelayanan pelanggan tersebut. Untuk memenuhi tuntutan
ini, upaya sebuah perusahaan harus lebih dari sekedar mematuhi spesifikasi
produk, mengurangi kecacatan dan kesalahan atau melayani keluhan pelanggan.
Upaya yang dilakukan juga harus termasuk mendesain produk baru yang
membuat pelanggan puas serta respons yang cepat terhadap permintaan pasar dan
pelanggan.
Sebuah perusahaan yang dekat dengan pelanggannya tahu apa yang
diinginkan pelanggan, bagaimana pelanggan menggunakan produknya, dan
mengantisipasi kebutuhan pelanggan yang bahkan mereka pun tidak tahu
bagaimana mengekspresikannya. Perusahaan yang dekat dengan pelanggan juga
terus berusaha mengembangkan cara-cara baru untuk membangun hubungan baik
dengan pelanggan. Untuk memenuhi serta melebihi harapan pelanggan,
perusahaan harus memahami secara penuh semua sifat produk dan jasa yang
berkontribusi terhadap nilai bagi pelanggan serta menghasilkan kepuasan dan
kesetiaan pelanggan.
Perusahaan juga harus menyadari bahwa pelanggan internal sama
pentingnya dalam hal menjaga kualitas dengan pelanggan eksternal yang membeli
produk terserbut. Karyawan yang memandang dirinya sebagai pelanggan
sekaligus pemasok karyawan lain akan mengerti bagaimana hasil kerja mereka
terhubung dengan produk akhir. Pada kenyataannya, tanggung jawab dari semua
29
pemasok adalah memahami dan memenuhi harapan pelanggan dengan seefisien
dan seefektif mungkin.
Pelanggan kadang-kadang menjadi bagian “terselubung” dari upaya six
sigma, karena fokus pendekatan ini lebih pada arah masalah perbaikan proyek
serta pengukuran. Meskipun demikian fokus terhadap pelanggan sangat
menentukan di setiap tahun proyek six sigma. Sebagai contoh, desain produk dan
desain proses produksi atau jasa pengiriman yang terkait akan jauh lebih berhasil
jika “suara pelanggan” menjadi salah satu pertimbangan. Salah satu aspek dasar
dari metodologi six sigma adalah mengidentifikasikan hal-hal yang bersifat
penting untuk kualitas (critical to quality, CTQ) yang menentukan kepuasan
pelanggan.
Dalam proses menghasilkan produk maupun jasa, amatlah penting untuk
mengumpulkan informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan internal untuk
aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan pengendalian proses untuk menjaga agar
produk tersebut memenuhi CTQ. Jika CTQ tidak terpenuhi, maka perusahaan
harus membangun sistem pengukuran dan pengendalian yang lebih baik.
Seringkali data internal yang dapat memperbaiki proses-proses pengendalian
seperti apakah barang datang tepat waktu, berapa sering laporan akuntansi
menunjukkan kesalahan data atau berapa sering karyawan tidak masuk kerja
disimpan di dalam data departemen yang sulit diakses. Solusinya mungkin
membutuhkan studi six sigma agar jenis-jenis data dan informasi yang diperlukan
tersedia untuk mengadakan sistim pemantauan serta pengendalian yang
30
dibutuhkan dan agar jurang informasi (jika ada) dapat diatasi (James R. Evans dan
William M. Lindsay, 2007: 15-16).
2.3.2 Partisipasi dan Kerjasama
Joseph Juran memuji manajer Jepang yang menggunakan secara penuh
pengetahuan serta kreatifitas seluruh karyawan sebagai salah satu kunci
pencapaian bangsa Jepang yang begitu pesat. Di dalam organisasi mana pun,
orang yang paling mengerti pekerjaan tersebut adalah orang yang melakukannya.
Ketika manajer memberi para karyawan perangkat untuk membuat keputusan
yang baik serta kebebasan dan dorongan untuk berkontribusi, tanpa diragukan
kembali mereka pun akan menghasilkan produk dan proses produksi yang lebih
baik. Para karyawan yang diizinkan berpartisipasi, baik secara individu maupun
dalam tim, dalam keputusan yang mempengaruhi pekerjaan dan pelanggan
mereka akan memberi kontribusi terhadap kinerja bisnis dan kualitas.
Sikap ini merupakan salah satu contoh pergeseran pandangan yang cukup
besar dalam filosofi manajemen tingkat atas yang biasa ditemui. Pandangan
tradisional menyatakan bahwa para karyawan harus dikelola atau dengan kata
lain, karyawan dipersilakan meninggalkan daya nalar mereka di luar kantor. Niat
baik saja tidaklah cukup untuk mendorong keterlibatan karyawan. Termasuk
dalam tugas manajemen adalah merancang sistim serta prosedur kemudian
meletakkannya dalam kerangka yang sesuai untuk meyakinkan bahwa partisipasi
menjadi bagian dari budaya perusahaan. Kerja tim memfokuskan perhatian
terhadap hubungan pemasok-pelanggan serta mendorong keterlibatan seluruh
31
tenaga kerja dalam memecahkan masalah yang bersifat sistemik, khususnya yang
berlangsung lintas fungsi. Ironisnya meskipun tim-tim pemecah masalah telah
diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1949-an untuk membantu
memecahkan masalah di pabrik, mereka gagal, terutama dikarenakan oleh
keengganan manjemen untuk menerima masukan dari para pekerja. Sebaliknya
bangsa Jepang memulai implementasi sistim tim yang sama secara luas, disebut
juga lingkaran kualitas pada tahun 1962 dan mencapai hasil yang luar biasa.
Akhirnya konsep tersebut kembali ke Amerika Serikat. Kini, penerapan tim-tim
yang berdiri sendiri, dimana tim tersebut mengkombinasikan kerja tim dan
penyalahgunaan merupakan metode yang amat berhasil untuk melibatkan
karyawan
six sigma bergantung pada partisipasi dan kerjasama karyawan pada setiap
tingkatan, dari garis depan hingga manajemen tinggat atas. Untuk memahami
masalah-masalah bisnis, menemukan sumber permaalahan tersebut, menghasilkan
solusi utuk perbaikan, mengimplementasikannya. Satu dari beberapa karakter unik
six sigma adalah terciptannya kierarki perbaikan proses menggunakan analogi
ilmu beladiri, sabuk hijau, sabuk hitam, dan master sabuk hitam. Dilengkapi
dengan perangkat serta pengetahuan untuk melakukan perbaikan yang signifikan
(James R. Evans dan William M. Lindsay, 2007: 17).
2.3.3 Fokus Pada Perbaikan dan Proses
Proses (process) adalah serangkaian aktifitas yang ditujukan untuk
mencapai beberapa hasil. Proses merupakan hal yang paling dasar dalam six
sigma, karena seperti yang disebutkan AT&T, proses adalah cara bagaimana
32
sebuah pekerjaan menghasilkan nilai bagi pelanggan. Biasanya kita bicara
mengenai proses dalam konteks produksi : sekumpulan aktifitas dan operasi yang
terlibat dalam perubahan input (fasilitas fisik, material, modal, peralatan, manusia,
dan energi) menjadi output (produk dan jasa).
Jenis-jenis proses produksi yang biasa ditemui diantaranya adalah proses
penstrukturan, penggabungan, perakitan, pemesanan, atau penyetujuan pinjaman.
Tetapi hampir semua aktifitas penting dalam sebuah organisasi melibatkan proses
yang melintasi batas organisasi. Misalnya, proses pemenuhan pesanan dapat
melibatkan tenaga penjualan yang melakukan pemesanan, perwakilan pemasaran
yang memasukkan pesanan tersebut kedalam sistim computer perusahaan,
pemeriksaaan kredit oleh bagian keuangan, pemilihan, pengepakan, dan
pengiriman oleh personel logistik dan distribusi, penagihan oleh bagian keuangan,
dan instalasi oleh bagian teknisi lapangan. Rangkaian aktifitas ini digambarkan
pada gambar 2.2, cara pandang yang melihat proses secara keseluruhan akan
menyatukan semua aktifitas yang penting serta meningkatkan pengetahuan kita
mengenai keseluruhan sistim, daripada hanya melihat dari satu bagian saja.
Kesempatan terbesar untuk memperbaiki kinerja perusahaan sebenarnya sudah
tertera dengan jelas, yaitu pada spasi diantara kotak pada bagan struktur
perusahaan.
33
Gambar 2. 2 Proses vs. Fungsi
Seorang mantan eksekutif di salah satu divisi Texas Instrumens memiliki
papan yang bertuliskan “Jika anda tidak mengubah prosesnya, mengapa anda
menuntut hasilnya berubah?” Perbaikan proses merupakan aktifitas utama dalam
six sigma. Perbaikan (improvement) baik dalam arti perubahan secara perlahan-
lahan, dalam bentuk kecil dan bertahap, serta bersifat terobosan, maupun
perbaikan yang besar dan cepat. Perbaikan ini bisa berupa bentuk-bentuk di
bawah ini :
1. Meningkatkan nilai untuk pelanggan melalui produk dan jasa yang baru
dan lebih baik.
2. Mengurangi kesalahan, cacat, limbah, serta biaya-biaya lainnya yang
terkait.
CEO
Wakil Direktur Wakil Direktur
Manajer Departemen
Proses A
Proses B
Proses C
Manajer Departemen
Manajer Departemen
Manajer Departemen
Manajer Departemen
Proses D
Proses E
34
3. Meningkatkan produktifitas dan efektifitas penggunaan semua jenis
sumber daya.
4. Memperbaiki respons dan masa siklus kinerja proses seperti menanggapi
keluhan pelanggan atau peluncuran produk baru.
Jadi, waktu respons, kualitas, dan tujuan produktifitas harus
dipertimbangkan secara bersamaan. Fokus pada proses mendukung upaya
perbaikan secara terus-menerus dengan cara memahami sinergi ini dan mengenali
sumber masalah yang sebenarnya. Perbaikan besar-besaran terhadap waktu
respons memerlukan penyederhanaan proses kerja yang signifikan dan seringkali
mendorong perbaikan simultan dalam kualitas dan produktifitas (James R. Evans
dan William M. Lindsay, 2007: 17-18).
2.4 Pengantar Six Sigma
2.4.1 Definisi Six Sigma
Six Sigma adalah konsep statistik yang mengukur suatu proses yang
berkaitan dengan cacat atau kerusakan. Mencapai enam sigma berarti bahwa
proses yang berjalan hanya menghasilkan 3,4 cacat per sejuta peluang, dengan
kata lain proses itu berjalan hampir sempurna. Sigma (huruf abjad Yunani ke-18)
adalah istilah dalam statisik untuk menunjukkan penyimpangan standar (standard
deviation) (Greg Brue, 2002 : 2).
35
2.4.2 Metrik dan Pengukuran
Metrik (metric) adalah cara untuk mengukur karakter tertentu yang dapat
diverifikasi, dinyatakan baik secara numerik (misalnya persentasi kecacatan)
ataupun secara kualitatif (misalnya tingkat kepuasan, tidak memuaskan atau
sangat memuaskan). Metrik menyediakan informasi mengenai kinerja dan
memberikan kesempatan kepada para manajer untuk mengevaluasi kinerja dan
membuat keputusan, berkomunikasi antara satu sama lain, mengidentifikasi
kesempatan untuk mengadakan perbaikan, dan membuat standar kerja untuk
karyawan, pelanggan, pemasok, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Metrik amat penting dalam six sigma karena memfasilitasi keputusan berdasarkan
fakta.
Six sigma dimulai dengan penekanan cara pengukuran kualitas yang berlaku
secara umum. Dalam terminologi six sigma, sebuah cacat (defect), atau
ketidaksesuaian (noncomformance), adalah kekeliruan atau kesalahan yang
diterima pelanggan. Unit kerja (unit of work) adalah output suatu proses atau
tahapan proses. Kualitas output diukur dalam tingkat kecacatan per unit (defect
per unit, DPU) :
Tingkat kecacatan per unit = Jumlah cacat yang ditemukan/Jumlah unit yang
diproduksi
Akan tetapi, jenis pengukuran output seperti ini cenderung lebih terfokus
pada produk akhir, bukan pada proses yang menghasilkan produk tersebut. Selain
36
itu, cara ini sulit diterapkan pada proses dengan tingkat kesulitan yang berbeda,
terutama aktifitas kerja. Dua proses yang berbeda bisa saja memiliki jumlah
peluang kesalahan yang amat berbeda, sehingga menyulitkan perbandingan.
Konsep six sigma mendefinisikan ulang pengertian kinerja kualitas sebagai tingkat
kecacatan per juta kemungkinan (defect per million opportunities, DPMO).
DPMO = (jumlah cacat yang ditemukan/kemungkinan kesalahan) x 1.000.000
Metrik seperti DPMO, meskipun berguna bagi tim yang menangani proyek
six sigma, perlu diterjemahkan ke dalam “bahasa manajemen” yaitu uang. Dengan
cara ini, pemilihan proyek six sigma dapat dijustifikasi dan dalam waktu yang
sama menarik bagi manajer tingkat atas (James R. Evans dan William M. Lindsay,
2007: 42-44).
2.4.3 Dasar Statistik Six Sigma
Dari perspektif pengukuran, “sigma enam” mewakili tingkatan kualitas
dimana kesalahan paling banyak berjumlah 3,4 cacat per satu juta kemungkinan.
Darimanakah konsep ini berasal? Konsep ini berakar dari konsep spesifikasi
desain di bidang manufaktur serta kemampuan suatu proses untuk mencapai
spesifikasi tersebut. Tingkatan sigma enam adalah tingkat yang setara dengan
variasi proses sejumlah setengah dari yang ditoleransi oleh tahap desain dan
dalam waktu yang sama memberikan kesempatan agar rata-rata produksi bergeser
sebanyak1,5 deviasi standar dari target.
37
Gambar 2.3 menjelaskan dasar teori six sigma dalam konteks spesifikasi
manufaktur. Dalam gambar tersebut, wilayah di bawah ekor kurva yang bergeser
di luar wilayah sigma enam (baik di atas maupun di bawah batas toleransi) hanya
berukuran seluas 0,0000034, atau 3,4 per satu juta. Artinya, jika rata-rata suatu
proses dapat dikontrol agar bergeser paling banyak 1,5 deviasi standar dari target,
maka kita dapat mengharapkan cacat hanya terjadi sejumlah 3,4 per satu juta
kejadian. Jika rata-rata tersebut dapat dijaga tepat sesuai target (area distribusi
yang diarsir pada gambar 2.3), maka kemungkinan terjadinya cacat diluar wilayah
sigma enam ke dua arah ekor hanyalah satu per satu miliar kejadian. Jika
pergeseran terjadi ke dua arah, maka kemungkinan cacat pada tingkatan sigma
enam paling banyak hanyalah 6,8 per satu juta kejadian dan jika pergeseran terjadi
pada target distribusi, maka jumlah cacat hanyalah dua per satu miliar.
Gambar 2. 3 Dasar Teori Six Sigma
Dengan cara yang sama maka kita juga dapat membuat definisi kualitas 3
sigma, kualitas 5 sigma, dan seterusnya. Cara termudah mempelajari konsep ini
38
adalah dengan membayangkan jarak dari target ke batas atas atau bawah
spesifikasi (setengah batas toleransi), yang diukur oleh deviasi standar variasi
yang terlibat, pada tingkatan sigma. Suatu tingkatan kualitas k-sigma harus
memenuhi persamaan :
k *Deviasi standar proses = Batas toleransi/2
Perlu dicatat bahwa pada gambar 2.3, jika batas spesifikasi desain hanya berjarak
empat deviasi standar dari target, maka ekor dari kurva distribusi yang bergeser
akan melebihi batas spesifikasi dalam jumlah yang signifikan.
Gambar 2. 4 Jumlah Cacat (DPMO) untuk Beberapa Pergeseran Proses Dari Titik Tengah dan Tingkat Kualitas (Satu Ekor Saja)
Gambar 2.4 menunjukkan jumlah cacat per satu juta pada satu ekor kurva
distribusi normal untuk tingkatan kualitas sigma yang berbeda serta pergeseran
yang berbeda. Disini dapat dicatat bahwa tingkatan kualitas dengan jumlah cacat
sejumlah 3,4 per satu juta dapat dicapai melalui beberapa cara, sebagai contoh :
1. Dengan pergeseran sigma dari target sebanyak 1,5 dan kualitas 5 sigma.
39
2. Dengan pergeseran sigma dari target sebanyak 1,0 dan kualitas 5,5 sigma.
3. Dengan pergeseran sigma dari target sebanyak 1,5 dan kualitas 6 sigma.
Dalam kebanyakan kasus, mengendalikan proses agar sesuai dengan target
merupakan pilihan yang lebih murah dibandingkan mengurangi varibilitas proses.
Meskipun demikian, tidak semua proses harus beroperasi pada tingkatan six
sigma. Tingkatan yang tepat bergantung pada seberapa penting suatu proses
secara strategis serta biaya perbaikan jika dibandingkan dengan keuntungan yang
dihasilkan. Pada umumnya cukup mudah untuk berpindah dari tingkatan 3-sigma
ke 4-sigma, tapi untuk berpindah ke tingkatan selanjutnya memerlukan jauh lebih
banyak usaha dan teknologi yang lebih tinggi. Selain memberikan perhatian pada
jumlah cacat, six sigma juga memperbaiki aspek-aspek operasi lainnya. Dengan
demikian, metrik yang terlibat juga masuk masa siklus, jumlah variasi proses,
hasil, dan throughput. Pemilihan metrik yang tepat bergantung pada cakupan dan
tujuan suatu proyek, sehingga menjadikan six sigma suatu pendekatan yang
universal bagi seluruh aspek perusahaan (James R. Evans dan William M.
Lindsay, 2007: 44-46).
2.5 Metodologi DMAIC Six Sigma
2.5.1 Define (Perumusan)
Setelah sebuah proyek six sigma dipilih, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah mendefinisikan masalah. Aktifitas ini sangat berbeda dari
pemilihan proyek. Pemilihan proyek adalah aktifitas yang dilakukan untuk
merespons gejala suatu permasalahan yang kemudian membuahkan sebuah
40
kesepakatan proyek dimana otoritas bertanggung jawab diberikan kepada tim six
sigma. Garis besar masalah biasanya dideskripsikan di dalam kesepakatan proyek.
Tetapi seringkali tidak terlalu jelas. Untuk analisis lebih lanjut, masalah tersebut
harus dijelaskan dengan istilah operasional yang sangat spesifik. Sebagai contoh,
sebuah perusahaan mungkin memiliki sejarah produksi motor listrik yang tidak
memuaskan, sehingga mengadakan proyek six sigma untuk memperbaiki
keandalan motor. Setelah mempelajari data garansi dan perbaikan dilapangan,
diduga bahwa sebagian besar masalah berasal dari ausnya sikat, dan lebih spesifik
lagi yaitu masalah pada variabilitas kekerasan sikat. Dengan demikian, masalah
ini bisa didefinisikan sebagai “pengurangan variabilitas kekerasan sikat.” Proses
menyempitkan definisi masalah ini terkadang juga disebut penentuan cakupan
proyek (project scope).
Pernyataan yang baik juga harus mengidentifikasikan pelanggan dan CTQ
yang memiliki pengaruh terbesar pada kinerja produk atau jasa, menggambarkan
tingkat kerja saat itu atau sifat kesalahan ataupun keluhan pelanggan,
mengidentifikasi metrik kinerja yang bersangkutan, menentukan tolak ukur
standar kualitas terbaik, menghitung implikasi biaya/pendapatan proyek tersebut,
serta mengukur tingkat kinerja yang diharapkan dari usaha six sigma yang
berhasil. Fase perumusan juga harus menjawab isu-isu manajemen proyek seperti
apa saja yang harus dilakukan oleh siapa dan kapan (James R. Evans dan William
M. Lindsay, 2007: 48).
41
2.5.2 Measure (Pengukuran)
Fase proses ini berfokus pada bagaimana cara mengukur proses internal
yang mempengaruhi CTQ. Ini membutuhkan pemahaman akan hubungan sebab
akibat antara kinerja proses dan nilai pelanggaran. Metodologi six sigma
menggunakan istilah fungsi dalam ilmu matematika untuk menggambarkan
hubungan ini :
Y = f(X)
Dimana Y mewakili seperangkat variabel respons yang penting, atau CTQ,
dan X mewakili seperangkat variabel input penting yang mempengaruhi Y.
Misalnya, Y dapat mewakili waktu pengiriman tas dari sebuah pesawat ke tempat
penanganan bagasi serta jumlah tas yang hilang. X juga bisa melibatkan jumlah
petugas yang menangani bagasi, jumlah truk, waktu pengiriman truk, keakuratan
pemindaian kode batang (barcode), dan lain-lain. Pendekatan ini membantu
mengkomunikasikan faktor-faktor yang terpenting yang dapat dikendalikan atau
diubah untuk memperbaiki CTQ. Pendekatan ini juga membantu mendefinisikan
eksperimen yang harus dilakukan untuk memberi kepastian bagaimana cara
variabel input mempengaruhi variabel respons. Pendekatan ini juga memberikan
landasan bagi fase pengendalian dengan cara menemukan faktor-faktor yang
membutuhkan pengawasan dan pengendalian.
Setelah hubungan sebab akibat ini ditemukan, prosedur untuk menemukan
bukti, mengumpulkan data yang dapat diandalkan, observasi, dan mendengarkan
dengan baik, harus dibuat dan dilaksanakan. Data dari proses serta aktifitas yang
42
sudah ada seringkali menyediakan informasi yang penting, sama halnya dengan
masukan dari supervisor, pekerja, pelanggan, dan karyawan perbaikan lapangan.
Pengumpulan data tidak boleh dilakukan secara serampangan. Pertanyaan-
pertanyaan mendasar yang harus ditanyakan antara lain :
1. Pertanyaan apa saja yang harus kita jawab ?
2. Data jenis apa yang kita butuhkan untuk menjawab pertanyaan tersebut?
3. Dimana kita dapat menemukan data tersebut?
4. Siapa yang dapat menyediakan data tersebut?
5. Bagaimana kita dapat mengumpulkan data dengan usaha yang minimal
dan sedikit mungkin kemungkinan melakukan kesalahan? (James R. Evans
dan William M. Lindsay, 2007: 49).
2.5.3 Analyze (Analisa)
Kekurangan utama yang ditamui pada kebanyakan pendekatan pemecahan
masalah adalah kurangnya penekanan pada analisis yang tajam. Yang amat sering
terjadi adalah kita melompat langsung kepada solusi tertentu tanpa sepenuhnya
memahami suatu masalah serta mengidentifikasi sumbernya, atau akar
permasalahan dari masalah. Fase ini berfokus pada pertanyaan mengapa cacat,
kesalahan, atau variasi yang berlebihan terjadi.
Setelah variabel yang dicurigai terkumpul dan diukur, dilakukan eksperimen
untuk memverifikasi hubungan yang telah dihipotesikan sebelumnya, yaitu
apakah faktor X benar-benar mempengaruhi Y? Eksperimen ini seringkali
dilaksanakan dengan cara memformulasikan beberapa hipotesis untuk menyelidiki
data yang dikumpulkan atau melakukan percobaan yang lain, sehingga dapat
43
disimpulkan secara beralasan serta dapat didukung secara statistik sebagai akar
dari permasalahan yang sebelumnya. Cara berpikir secara statistik dan analisis
memainkan peran yang amat penting pada fase ini (James R. Evans dan William
M. Lindsay, 2007: 49-50).
2.5.4 Improve (Peningkatan)
Setelah akar permasalahan dapat dipahami, maka analisis atau tim yang
menangani harus mengumpulkan ide untuk menghilangkan atau memcahkan
masalah serta memperbaiki kinerja pengukuran variabel X, sehingga memperbaiki
CTQ. Fase pengumpulan ide ini merupakan aktivitas yang amat membutuhkan
kreativitas, karena kebanyakan solusi tidak secara gamblang terlihat. Salah satu
kesulitan dari tugas ini adalah insting spontan untuk menilai ide sebelum
sepenuhnya mengevaluasinya. Kebanyakan orang memiliki kekhawatiran untuk
mengajukan ide yang “bodoh” atau takut terlihat bodoh. Padahal ide-ide yang
pada awalnya tampak bodoh mungkin saja menjadi awal solusi yang kreatif dan
berguna. Orang-orang yang bertanggung jawab memecahkan masalah harus
belajar untuk tidak cepat menilai dan mengembangkan kemampuan untuk
menghasilkan ide sebanyak mungkin pada tahap proses ini, tanpa memperdulikan
apakah ide tersebut dapat segera diterapkan maupun tidak.
Setelah ide diajukan, ide tersebut perlu dievalusi dan ide yang paling
menjanjikan dipilih. Proses ini termasuk mengonfirmasikan bahwa solusi yang
diajukan akan secara positif mempengaruhi variabel proses utama dan CTQ, dan
mengidentifikasi maksimum kisaran variabel yang dapat diterima.
44
Penyelesaian masalah sering diikuti dengan perubahan teknis atau
organisasional. Seringkali beberapa model keputusan atau penilaian digunakan
untuk menilai solusi yang memungkinkan dibandingkan kriteria yang penting
seperti biaya, waktu, potensi peningkatan kualitas, sumber daya yang dibutuhkan,
pengaruh pada supervisor dan karyawan, hal yang merintangi implementasi
seperti untuk berubah atau budaya organisasional. Untuk mengimplementasikan
solusi secara efektif, tanggung jawab harus diberikan pada orang atau kelompok
yang akan mengikuti hal apa yang harus dilakukan, dimana, kapan, dan
bagaimana hal tersebut dilakukan. Teknik manajemen proyek berguna dalam
perencanaan implementasi (James R. Evans dan William M. Lindsay, 2007: 50).
2.5.5 Control (Pengendalian)
Fase pengendalian berfokus pada bagaimana menjaga perbaikan agar terus
berlangsung, termasuk memasukkan perangkat pada tempatnya untuk meyakinkan
agar variabel utama tetap berada dalam wilayah maksimal yang dapat diterima
dalam proses yang sedang dimodifikasi. Perbaikan ini bisa saja termasuk
menentukan standar serta prosedur baru, mengadakan pelatihan untuk karyawan,
serta mencanangkan sistim pengendalian untuk meyakinkan agar perbaikan tidak
lekang oleh waktu (James R. Evans dan William M. Lindsay, 2007: 50-51).
45
2.6 Alat-Alat Six Sigma
2.6.1 Diagram Pareto
Diagram Pareto pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli ekonomi dari
Italia bernama Vilfredo Pareto (1848-1923). Diagram pareto dibuat untuk
menemukan masalah atau penyebab yang merupakan kunci dalam penyelesaian
masalah dan perbandingan terhadap keseluruhan. Dengan mengetahui penyebab-
penyebab yang dominan, yang seharusnya pertama kali harus diatasi, maka kita
akan bisa menetapkan prioritas perbaikan. Perbaikan atau tindakan koreksi pada
faktor penyebab yang dominan ini akan membawa akibat/pengaruh yang lebih
besar dibandingkan dengan penyelesaian penyebab yang tidak berarti. Prinsip
Pareto adalah “sedikit tapi penting, banyak tetapi remeh”. Kegunaan dari diagram
Pareto adalah :
- Menunjukkan persoalan utama yang dominan dan perlu segera diatasi.
- Menyatakan perbandingan masing-masing persoalan yang ada dan
komulatif secara keseluruhan.
- Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan koreksi dilakukan
pada daerah terbatas.
- Menunjukkan perbandingan masing-masing persoalan sebelum dan
sesudah perbaikan
Diagram Pareto merupakan langkah awal (berdasarkan skala prioritas) untuk
melakukan perbaikan atau tindakan koreksi terhadap penyimpangan yang terjadi.
Untuk melaksanakan perbaikan ini, maka hal berikut ini cukup penting untuk
dipertimbangkan :
46
- Setiap orang yang terlibat dalam permasalahan ini harus sepakat untuk
berkerjasama mengatasinya.
- Tindakan perbaikan harus benar-benar akan memberikan dampak
positif yang kuat yang akhirnya juga akan menguntungkan semua
pihak.
- Tujuan nyata, dalam hal ini efisiensi dan produktifitas kerja diharapkan
akan meningkat, harus bisa diformulasikan secara konkrit dan jelas.
Diagram Pareto dapat diaplikasikan untuk proses perbaikan dalam berbagai
macam aspek permasalah. Diagram Pareto ini seperti halnya diagram sebab
akibat, tidak saja efektif digunakan untuk usaha pengendalian kualitas suatu
produk, tetapi juga bisa diaplikasikan untuk :
- Mengatasi problem pencapaian efisiensi/produktifitas kerja yang lebih
tinggi lagi.
- Masalah-masalah keselamatan kerja.
- Penghematan atau pengendalian material, energi, dan lain-lain.
- Perbaikan sistem dan proses kerja.
- Dan lain-lain.
(Wignjosoebroto, 2006: 272-275).
2.6.2 Diagram Sebab Akibat (Cause and Effect Diagram)
Diagram sebab akibat, yang terkenal dengan istilah lain diagram tulang
ikan (fishbone diagram), diperkenalkan pertama kali oleh Prof. Kouru Ishikawa
(Tokyo University) pada tahun 1943.
47
Kadang-kadang diagram ini disebut pula dengan diagram ishikawa untuk
menghormati nama dari pemiliknya. Diagram ini berguna untuk menganalisa dan
menemukan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan didalam
menentukan karakteristik kualitas output kerja. Disamping juga untuk mencari
penyebab-penyebab sesungguhnya dari suatu masalah. Dalam hal ini metode
sumbang saran (brainstorming methods) akan cukup efektif digunakan untuk
mencari faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan kerja secara detail.
Untuk mencari faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan kualitas
hasil kerja, maka orang akan selalu mendapatkan bahwa ada 5 faktor penyebab
utama yang signifikan yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Manusia (man)
2. Metode kerja (method)
3. Mesin atau peralatan kerja lainnya (machine)
4. Bahan baku (materials)
5. Lingkungan kerja (Environtment)
Hubungan penyimpangan kualitas dengan faktor-faktor penyebab tersebut
dapat dilihat pada gambar 2.5.
48
Gambar 2. 5 Diagram Sebab Akibat
(Wignjosoebroto, 2006: 268-269).
2.6.3 Peta Process SIPOC
Peta proses menentukan batasan proyek six sigma dengan cara
mengidentifikasi proses yang sedang dipelajari, input dan output proses tersebut,
serta pemasok dan pelanggannya. Salah satu contoh peta proses adalah peta proses
SIPOC yang merupakan singkatan dari “supplier, Inputs, Process, dan Customers
(pemasok, input, proses, output, dan pelanggan),” yang ditunjukkan pada gambar
2.6. Peta SIPOC memberikan garis besar elemen-elemen penting di dalam proses
serta membantu menjelaskan siapa pelaku utama proses tersebut, bagaimana cara
mendapatkan input, siapa yang dilayani oleh proses tersebut, serta bagaimana cara
proses tersebut meningkatkan nilai.
Input adalah barang atau jasa yang dibutuhkan oleh suatu proses untuk
menghasilkan output. Output bisa berbentuk benda fisik, dokumentasi, informasi
elektronik dan lain-lain. Input disediakan oleh pemasok, yang mungkin bersifat
49
eksternal maupun internal terhadap perusahaan tesebut (contohnya, dalam proses
desain produk, pemasok juga dapat berarti pelanggan).
Gambar 2. 6 Struktur Umum Peta Proses SIPOC
Pelanggan adalah orang, departemen, atau perusahaan yang menerima
output, dan juga bisa bersifat eksternal maupun internal terhadap perusahaan.
Output yang berbeda-beda bisa memiliki pelanggan yang berbeda-beda.
Kebutuhan pelanggan seringkali ditambahkan ke dalam diagram tersebut.
Biasanya cara terbaik adalah memulai dari proses, lalu mengidentifikasi
kegiatan-kegiatan terpenting yang terjadi di suatu proses untuk kemudian
mengurut balik ke arah pemasok dan maju ke arah pelanggan. Beberapa ahli
menyarankan agar peta SIPOC tidak memiliki lebih dari enam hingga tujuh
aktivitas utama (Thomas Pyzdek, 2004 : ...).
2.6.4 Diagram Pohon
Diagram pohon digunakan untuk memcahkan atau memperingkat ide
semakin terinci secara progresif. Tujuannya adalah untuk pembagian ide atau
masalah besar kedalam komponen lebih kecil, membuat ide lebih mudah
dipahami, atau masalah lebih mudah diatasi. Ide dasar dibalik ini ialah, pada
beberapa tingkat, solusi masalah menjadi relatif mudah ditemukan. Gambar 2.7
menunjukkan contoh diagram pohon. Program kualitas akan maju dari porsi
Input Proses Output Pemasok Pelanggan
50
paling kanan diagram pohon, hingga porsi paling kiri. Penggunaan umum lainnya
dari diagram pohon adalah untuk menunjukkan sasaran atau tujuan pada sisi kiri
dan cara pencapaian, pada sisi kanan.
Gambar 2. 7 Contoh Diagram Pohon
(Thomas Pyzdek, 2004 : 259).
2.6.5 Diagram Matriks
Diagram matrik dibuat untuk menganalisis korelasi antara dua kelompok
ide. Keuntungan utama penggunaan diagram matriks adalah bahwa ini memaksa
seseorang untuk secara sistematis menganalis korelasi. Contoh diagram matriks
ditunjukkan pada gambar 2.8.
51
Gambar 2. 8 Contoh Diagram Matriks
(Thomas Pyzdek, 2004 : 262).
2.6.6 FMEA (Failure Mode Effect Analysis)
FMEA (Failure Mode Effect Analysis) merupakan suatu metodologi dalam
membantu mengidentifikasi kerusakan/kegagalan dan merekomendasikan solusi
korektif untuk memperbaiki kegagalan yang teridentifikasi sebelum barang/jasa
disalurkan kepada pelanggan (Stamatis, 2003, 223).
Terdapat banyaknya tipe FMEA, tetapi yang utama terdiri dari :
- System/Concept – S/CFMEA
S/CFMEA dibuat untuk mengidentifikasi masalah yang berpotensial
dengan konsep atau rancangan yang berpotensial.
52
- Design – DFMEA
DFMEA dibuat sebelum produksi pada saat perancangan dan
melibatkan pembuat daftar failure modes yang berpotensial dan sebab
atas failure modes tersebut.
- Manufacturing or Process – PFMEA
PFMEA merupakan teknik analitikal yang mengidentifikasi failure
modes proses produk yang berpotensial, menilai pengaruh yang
potensial pada pelanggan dari kerusakan (failure) yang ada,
mengidentifikasi sebab proses yang berpotensial dan mengidentifikasi
variabel proses yang dignifikan fokus pada pengendalian untuk
pencegahan dan pendeteksian kondisi kerusakan.
- Machinery – MFMEA
MFMEA adalah suatu metodologi yang membantu dalam
pengidentifikasian failure mode yang mungkin terjadi dan menentukan
sebab dan pengaruh dari failure modes. MFMEA lebih berfokus pada
eliminasi dari persoalan yang menyangkut keamanan (safety issues) dan
memecahkan safety issue itu berdasarkan prosedur yang spesifik antara
pelanggan dan penyelia.
Selain tipe-tipe yang di sebut di atas, juga terdapat banyak tipe
lain dari FMEA seperti service, software dan juga environmental.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pembuatan FMEA, antara lain :
- Potential failure mode muncul saat fungsi dari item tidak memenuhi
syarat-syarat yang ada.
53
- Potential effects of failure mode merupakan deskripsi konsekuensi dari
proses yang gagal.
- Severity merupakan penilaian numerik dimana penilaian diberikan
dengan mempertimbangkan failure mode effect yang ada berdasarkan
rating yang telah ditetapkan.
- Potential causes of failure mode merupakan penyebab dari potential
failure mode yang telah teridentifikasi.
- Occurrence merupakan angka estimasi dari frekuensi atau angka
kumulatif dari kegagalan yang terjadi.
- Current Control adalah mekanisme, metode, pengujian, prosedur atau
pengendalian yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebab
dari kegagalan atau mendeteksi failure mode.
- Detection merupakan penilaian angka dari probabilitas yang diberikan
pengendalian untuk menemukan penyebab khusus atau failure mode
untuk mencegah kegagalan tersebut sampai pada pihak pelanggan.
- Risk Priority Number (RPN)
RPN = S x O x D
S = Severity
O = Occurrence
D = Detection
54
Tabel 2. 1 Contoh Tabel FMEA dan Action Plan