bab 2

38
13 BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Nilai Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Anton M Moeliono dkk, 2006:783). Nilai adalah harga, harkat, kadar, manfaat, taraf, bobot; jenis, kualitas, mutu; adab, etik, kultur, norma pandangan hidup; arti, makna; faedah, kegunaan, manfaat, profit (Tesaurus Bahasa Indonesia 2006:429). Nilai adalah alat yang menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide- ide seorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan (http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai).

Upload: ahmad-nurdin

Post on 24-Jul-2015

75 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2

13

BAB 2

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Nilai

Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi

kemanusiaan (Anton M Moeliono dkk, 2006:783). Nilai adalah harga, harkat,

kadar, manfaat, taraf, bobot; jenis, kualitas, mutu; adab, etik, kultur, norma

pandangan hidup; arti, makna; faedah, kegunaan, manfaat, profit (Tesaurus

Bahasa Indonesia 2006:429).

Nilai adalah alat yang menunjukkan alasan dasar bahwa cara

pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara sosial

dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai

memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu

mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan

(http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai).

Pada dasarnya suatu karya sastra diciptakan pengarang bukan

sekedar untuk menghibur. Sebaliknya karya sastra juga bukan hanya alat

untuk menyampaikan wejangan-wejangan atau pendidikan semata. Tetapi

merupakan jalinan atau perpaduan antara keduanya. Dengan karyanya

seorang pengarang bermaksud menyampaikan gagasan-gagasannya,

pandangan hidupnya, tanggapannya atas kehidupan sekitar dan sebagainya

dengan cara yang diusahakan menarik dan menyenanglkan. Dengan

menghibur seorang pengarang bermaksud pula menyampaikan nilai-nilai

yang menurut keyakinannya bermanfaat bagi para penikmat karyanya.

Page 2: Bab 2

14

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang menyenangkan dan

bermanfaat. Menyenangkan karena di dalamnya mengandung unsur

keindahan. Bermanfaat karena ada nilai-nilai kehidupan di dalamnya.

Suharianto (2005:9), menyatakan bahwa karya sastra tidak lebih merupakan

pengejawantahan usaha sastrawan dalam rangka mengabadikan nilai-nilai

atau kehidupan yang menggejala dalam mata batinnya.

2.2 Pengertian Religius

Religius tidak sama persis dengan agama.Religiusitas mengacu pada

arti penyerahan diri,tunduk,dan taat dalam arti positif karena penyerahan diri

dalam kaitannya dengan kebahagiaan. Sedangkan agama terbatas pada ajaran-

ajaran atau peraturan-peraturan. Jadi meskipun terdapat kaitan antara

keduanya, makna religius lebih luas dari pada agama. Karena lebih terbatas

pada ajaran-ajaran atau aturan-aturan dan mengacu pada agama (ajaran)

tertentu. Untuk itu dalam pembahasan tentang nilai-nilai religius yang lebih

mengkhususkan pada ajaran agama tertentu, digunakan acuan salah satu

agama (ajaran) tertentu pula. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan

sebagai acuan adalah agama (ajaran) Islam.

Kata religius berasal dari religio atau relego (bahasa latin) yang

berarti memeriksa lagi, menimbang, merenungkan keberatan hati nurani.

Sedangkan manusia religius secara sederhana dapat diartikan sebagai manusia

yang berhati nurani serius, taat, shaleh, dan teliti dalam pertimbangan batin.

Sehingga kata religius belum mengacu pada konteks agama tertentu. Namun

Page 3: Bab 2

15

apabila pada kata religius diimbuhkan kata islam atau kristen, disisni menjadi

lebih tegas, yaitu mengacu pada keyakinan, berhati nurani, dan shaleh

menurut norma atau ajaran yang dianutnya.

Menurut Dojosantoso (2006:3) religi adalah keterikatan manusia

terhadap Tuhan sebagai sumber kebahagiaan dan ketentraman. Sementara itu

Atmosuwito (2005:123) membedakan antara religiusitas (keagamaan) dengan

agama. Religius mengacu pada arti penyerahan diri dalam kaitannya dengan

kebahagiaan. Sedangkan agama biasanya terbatas pada ajaran-ajaran atau

peraturan-peraturan.

Nilai-nilai religius dalam suatu penelitian biasanya meliputi berbagai

macam hubungan. Hubungan-hubungan tersebut meliput.

2.2.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sudahlah pasti

mempunyai hubungan yang sangat erat dengan penciptanya. Sebagai

seorang makhluk ciptaan Tuhan, manusia menjalin hubungan kepada

penciptanya dengan beribadah kepada-Nya. Ibadah itu dilakukan dengan

cara berdoa, bertakwa, berikhtiar, bertawakal dan berusaha menjauhi

segala larangannya.

2.2.2 Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia

Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak dapat hidup sendiri,

artinya membutuhkan bantuan sesama manusia. Dalam hubungannya

dengan sesama manusia keduanya saling membutuhkan, melengkapi

Page 4: Bab 2

16

satu sama lain, saling memberi dan menerima dari sesama manusia,

tolong menolong, menghargai serta menghormati

2.2.3 Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri

Manusia juga merupakan makhluk individu, yang selalu

mengutamakan kepentingannya sendiri. Sebagai makhluk individu

manusia mempunyai hak untuk menentukan pandangan hidup, sikap,

perilaku sesuai dengan kemampuannya. Hak untuk menentukan

keinginan sendiri itulah yang mencerminkan hubungan manusia dengan

dirinya sendiri.

2.2.4 Hubungan Manusia dengan Alam Sekitar

Manusia sebagai makhluk yang tinggal di bumi, tentu harus bias

menjaga alam tempat tinggalnya. Bersyukur dengan sesuatu yang sudah

ada di alam dan harus bisa menjaganya dengan baik. Menjaga tanah air

agar terjaga kelestariannya yang kelak akan diwariskan kepada anak

cucu kita. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar merupakan sebagian

dari iman kita kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta.

Dalam novel Babad Syekh Siti Jenar Singgasana Keabadian

karya M.Z. Mandaru, terdapat beberapa nilai-nilai religius yang akan

dianalisis. Nilai-nilai tersebut dibagi menjadi empat, yaitu hubungan

manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia,

hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia

dengan alam sekitar. Nilai-nilai tersebut meliputi: takwa, bersyukur,

Page 5: Bab 2

17

berdoa, ikhlas, tabah, tolong menolong, jujur, berbakti, berpendirian,

penyabar, dan dengan alam sekitar.

2.3 Pengertian Novel

Karya fiksi yang berbentuk novel adalah salah satu karya sastra yang

menceritakan kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat. Novel adalah

karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan

seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat

setiap pelaku.

Kehadiran novel cukup penting dalam perkembangan sastra Indonesia

maka novel perlu mendapat perhatian dalam pendidikan, khususnya dalam

pengajaran sastra Indonesia di sekolah. Menurut Redyanto (2009:27) novel

adalah cerita rekaan yang panjang, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan

meenampakkan serangkaian peristiwa dan latar secara terstruktur.

Novel adalah tulisan berupa karangan prosa yang panjang dan

menceritakan sebuah kisah (dalam Kamus Istilah Sastra). Nurgiyantoro

(2009:21) menyatakan, novel sastra nenuntut aktivitas pembaca lebih serius,

menuntut pembaca untuk “mengoperasikan” daya intelektualnya, artinya

sebagai pembaca dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan

masalah dan hubungan antar tokoh. Teks kesastraan sering mengemukakan

sesuatu secara implisit sehingga hal itu boleh jadi “menyibukkan pembaca

Page 6: Bab 2

18

dan pembaca haruslah mengisi sendiri bagian-bagian yang kosong tersebut

untuk merekonstruksi cerita.

Novel dalam arti umum cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang

luas yaitu cerita dengan plot tema yang kompleks, karakter yang banyak dan

setting cerita yang beragam. Novel merenungkan dan melukiskan realitas

yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu dengan pengaruh tertentu atau

ikatan yang dihubungkan dengan tercapainya gerak-gerik hasrat manusia.

Novel memiliki ciri-ciri yaitu mencerminkan sebagian kehidupan yang luar

biasa, terjadinya konflik hingga menimbulkan perubahan nasib, terdapat

beberapa alur atau jalan cerita, dan perwatakan atau penokohan dilukiskan

secara mendalam

Manfaat dari membaca novel adalah memberi kesadaran kepada

pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup ini. Selain itu dapat

memberikan kegembiraan dan kepuasan batin,memberikan penghayatan yang

mendalam tentang apa yang kita ketahui, serta dapat menolong pembacanya

menjadi manusia yang berbudaya. Hasil cipta sastra akan selalu berbicara

masalah manusia dengan segala permasalahan hidupnya, baik hubungan

manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, maupun manusia

dengan penciptanya.

Page 7: Bab 2

19

2.4 Unsur-unsur Pembangun Novel

Secara umum karya sastra dibangun dari beberapa unsur yang

dikelompokam menjadi dua, yaitu : unsur instrinsik dan unsur ekstrinsi.

Dalam hal ini penulis akan memberikan penjelasan singkat mengenai unsur-

unsur pembangun novel tersebut.

2.4.1 Unsur Intrinsik Novel

Segi intrinsik karya sastra ialah unsur-unsur yang secara

organik membangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur itu jalin

menjalin secara struktural sehingga terwujud sebuah karya sastra

(Noor, 2009:31). Menurut M Saleh Saad unsur-unsur intrinsik cerita

rekaan (fiksi) adalah tokoh, latar, alur, dan pusat pengisahan (Noor,

2009:33).

Noor mengatakan, sementara itu ada orang yang masih

memisahkan istilah struktur (bentuk) dengan tema atau amanat (sisi).

Akan tetapi, sebenarnya perkembangan terakhir cenderung

memandang struktur sebagai keseluruhan bangunan karya sastra, yang

mencangkup juga tema dan amanat (isi). Jadi, isi bukan merupakan

sesuatu yang terpisah dari bentuk, tetapi merupakan bagian integral

atau struktur atau organik dari setiap karya sastra.

Pada umumnya, para ahli membagi unsur instrinsik prosa rekaan

atas alur (plot), tokoh, watak, penokohan, latar (setting), titik pandang

(sudut pandang), gaya bahasa, amanat, dan tema. Siswanto

Page 8: Bab 2

20

menambahkan satu unsur lagi, yaitu gaya penceritaan. Berikut ini akan

diuraikan secara singkat.

a. Tokoh, watak, dan penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengembangkan peristiwa

dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita,

sedangkan cerita sastrawan menampilkan tokoh disebut

penokohan. Tokoh dalam rekaan selalu mempunyai sifat, sikap,

tingkah laku atau watak-watak tertentu. (Siswanto, 2008:142:143).

Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh

dapat dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder

(bawahan), tokoh komplementer (tambahan). Dilihat dari

perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas

tokoh dinamis dan tokoh statis. Bila dilihat dari masalah yang

dihadapi tokoh, dapat dibedakan atas tokoh yang mempunyai

karakter sederhana dan kompleks (Aminuddin dalam Siswanto,

2008:143). Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya

selalu berkembang. Sebagai contoh, tokoh yang semula jujur,

karena terpengaruh oleh temannya yang serakah, akhirnya menjadi

tokoh yang tidak jujur. Tokoh ini menjadi jujur kembali setelah ia

sadar bahwa dengan tidak jujur, penyakit jantungnya semakin

parah. Tokoh statis adalah tokoh yang mempunyai kepribadian

tetap. Tokoh yang mempunyai karakter sederhana adalah tokoh

yang hanya mempunyai karakter seragam atau tunggal. Tokoh

Page 9: Bab 2

21

yang mempunyai karakter yang kompleks adalah tokoh yang

mempunyai kepribadian yang kompleks, misalnya tokoh yang di

mata masyarakat dikenal sebagai orang yang dermawan, pembela

kaum miskin, berusahan mengentaskan kemiskinan, ternyata ia

juga menjadi bandar judi.

Sukada (dalam Siswanto, 2008:143) merangkum keempat

pembagian di atas menjadi tokoh datar (flat character), yakni

tokoh yang sederhana dan bersifat statis, dan tokoh bulat (round

character) yakni tokoh yang memiliki kekompleksan watak dan

bersifat dinamis.

Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat

dibedakan atas tokoh protagonis dan antagonis (Aminuddin dalam

Siswanto, 2008:143). Tokoh protagonis adalah tokoh yang

wataknya disukai pembacanya. Biasanya watak tokoh semacam ini

adalah watak yang baik dan positif, seperti dermawan, jujur,

rendah hati, pembela, cerdik, pandai, mandiri, dan setia kawan.

Dalam kehidupan sehari-hari, jarang ada orang yang mempunyai

watak yang seluruhnya baik. Selain kebaikan, orang mempunyai

kelemahan. Oleh karena itu, ada juga watak protagonis yang

menggambarkan dua sisi kepribadian yang berbeda. Sebagai

contoh, ada tokoh yang mempunyai profesi sebagai pencuri. Ia

memang jahat, tetapi ia begitu sayang kepada anak istrinya

sehingga anak dan istrinya juga sayang kepadanya. Contoh

Page 10: Bab 2

22

berikutnya bisa kita lihat misalnya pada tokoh yang dikenal

masyarakat sebagai orang yang pelit, padahal dia adalah pemilik

panti asuhan. Dia tidak mau namanya dicantumkan sebagai pemilik

panti asuhan itu. Ia berbuat seakan-akan pelit untuk menutupi

kedermawaannya. Ia takut tidak ikhlas dalam beramal saleh.

Tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci oleh

pembacanya. Tokoh ini biasanya digambarkan sebagai tokoh yang

berwatak buruk dan negatif, seperti pendendam, culas, pembohong,

menghalalkan segala cara, sombong, iri, suka pamer, dan ambisius.

Meskipun demikian, ada juga tokoh-tokoh antagonis yang

bercampur dengan sifat-sifat yang baik. Contohnya, tokoh yang

jujur, tetapi dengan kejujurannya itu justru mencelakakan

temannya; tokoh yang setia kepada negara, padahal negaranya

adalah negara penebar kejahatan di dunia; tokoh yang memegang

teguh janji, tetapi janji itu diucapkan pada orang yang salah dan

berakibat fatal.

Aminuddin (dalam Siswanto, 2008:144) mengungkapkan

bahwa cara sastrawan menggambarkan atau memunculkan

tokohnya dapat menempuh berbagai cara. Mungkin sastrawan

menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam

mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam

mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara yang sesuai

dengan kehidupan manusia yang sebenarnya atau pelaku yang

Page 11: Bab 2

23

egois, kacau dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi,

pelaku dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi

sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, kaset, dan sepatu.

Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah

melalui tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya,

gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan

kehidupannuya maupun caranya berpakaian, menunjukkan

bagaimana perilakunya, melihat bagaimana tokoh itu berbicara

tentang dirinya sendiri, memahami bagaimana jalan pikirannya,

melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, melihat tokoh

lain berbincang kepadanya, melihat bagaimana tokoh yang lain itu

memberi reaksi terhadapnya, dan melihat bagaimana tokoh itu

dalam mereaksi tokoh yang lain (Aminuddin dalam Siswanto,

2008:145).

Tokoh, watak, dan penokohan tidak bisa berdiri sendiri

dalam cerita rekaan. Ia selalu berhubungan dengan unsur-unsur

pembangun cerita, seperti gaya bahasa, sudut pandang, suasana,

latar, nilai, amanat, dan tema cerita. Sebagai contoh, tokoh yang

berasal dari Tapanuli (Batak) akan bertutur sesuai dengan panagruh

bahasa daerahnya. Hal ni akan berpengaruh terhadap gaya bahasa

yang digunakan oleh tokoh tersebut. Pengaruh tokoh ini akan

berpengaruh terhadap gaya bahasa keseluruhan cerita rekaan

tersebut (Siswanto, 2008:148).

Page 12: Bab 2

24

b. Latar Cerita (Setting)

Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminudin

(dalam Siswanto, 2008:149) memberi batasan setting sebagai latar

peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun

peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

Abrams (dalam Siswanto, 2008:149) mengatakan latar

cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan

(historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances)

dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.

Leo Hamalian dan Frederick R. Karell (dalam Siswanto,

2008:149) menjelaskan bahwa latar cerita dalm karya fiksi bukan

hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda

dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang

berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya

hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema

tertentu. Kenney mengungkapkan cakupan latar cerita dalam cerita

fiksi yang meliputi penggambaran lokasi geografis,pemandangan,

perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan

sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa

sejarahnya, musim terjadinya sebuah tahun, lingkungan agama,

moral, intelektual, sosial, dan emosional para tokoh.

Hudson (dalam Siswanto, 2008:150) membagi setting dan

atas setting sosial dan setting fisik. Setting sosial menggambarkan

Page 13: Bab 2

25

keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya,

adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari

peristiwa. Latar fisik mengacu pada wujud fisikal, yaitu bangunan,

daerah, dan sebagainya.

Tidak semua jenis latar cerita itu ada di dalam sebuah cerita

rekaan. Mungkin dalam sebuah cerita rekaan, latar cerita yang

menonjol adalah latar sosial. Penggambaran latar ini ada yang

terperinci, ada pula yang tidak. Ada latar yang dijelaskan secara

persis seperti kenyataan, ada yang gabungan antara kenyataan

dengan khayalan, ada juga latar yang merupakan hasil imajinasi

sastrawannya.

Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi

sastrawan, latar cerita dapat digunakan untuk mengembangkan

cerita. Latar cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang

tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Sastrawan juga

bisa menggunakan latar cerita sebagai simbol atau lambang bagi

peristiwa yang telah, atau akan terjadi. Sastrawan juga bisa

menggunakan latar cerita untuk menggambarkan watak tokoh,

suasana cerita atau atmosfer, alur, atau tema ceritanya. Bagi

pembaca, latar cerita dapat membantu pembaca untuk

membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami

tokoh. Latar juga bisa membantu pembaca dalam memahami watak

Page 14: Bab 2

26

tokoh, suasana cerita, alur, maupun dalam rangka mewujudkan

tema suatu cerita (Siswanto, 2008:151).

c. Titik Pandang/Sudut Pandang

Titik pandang atau sudut pandang adalah tempat sastrawan

memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita

tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri

(Siswanto, 2008:151).

Titik pandang oleh Aminuddin (dalam Siswanto, 2008:152)

diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam

cerita yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi (1) narrator

omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer

omniscient, dan (4) narrator the third person omniscient.

Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas (1) sudut

pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan

pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang

mental, yaitu perasaan dan sikap pangarang terhadap masalah

dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang

dipilih pengarang dalam membawa cerita sebagai orang pertama,

kedua, atau ketiga. Sudut pandang pribadi dibagi atas (a)

pengarang menggunakan sudut pandang tokoh, (b) pengarang

menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan (c) pengrang

menggunakan sudut pandang yang impersonal: ia sekali berdiri di

luar cerita. Sudut pandang berkaitan dengan unsur-unsur intrinsik

Page 15: Bab 2

27

prosa rekaan yang lain: tokoh, latar, suasana, gaya bahasa, nilai,

atau amanat.

d. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan

gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan

harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang

dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin

dalam Siswanto, 2008:158:159).

Ada tiga masalah yang erat hubungannya dengan

pembicaraan masalah gaya. Pertama, masalah media berupa kata

dan kalimat. Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan

keindahannya. Terakhir, seluk-beluk ekspresi pengarangnya sendiri

yang akan berhubungan erat dengan masalah individual

kepengarangan, maupun konteks sosial masyarakat yang

melatarbelakanginya (Aminuddin dalam Siswanto, 2008:159).

Dari segi kata, karya sastra menggunakan pilihan kata yang

mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat

konotatif, sedangkan kalimat-kalimatnya menunjukkan adanya

variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan

bukan nuansa makna tertentu saja. Alat gaya melibatkan masalah

kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, majas

bunyi (Aminuddin dalam Siswanto, 2008:159).

Page 16: Bab 2

28

e. Alur/Plot

Plot atau alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh

tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang

dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Abrams dalam

Siswanto, 2008:159).

Sudjiman (dalam Siswanto, 2008:159) mengartikan alur

sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai

efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan

temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat). Alur

adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin denagn

saksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah

klimaks dan selesaian.

Ada berbagai pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa

dalam suatu cerita. Aminuddin (dalam Siswanto, 2008:159)

membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik,

komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.

Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita

rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar

cerita. Yang dikenalkan dari tokoh ini misalnya, nama, asal, ciri

fisik, dan sifatnya.

Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan

antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau

drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara

Page 17: Bab 2

29

dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau lingkungannya, antara

tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan. Ada konflik lahir

dan konflik batin.

Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita

rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Dalam tahap ini,

konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan

berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.

Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang

melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi

emosional pembaca. Klimaks merupakan puncak rumitan, yang

diikuti oleh krisis atau titik balik.

Krisis adalah bagian alur yaang mengawali penyelesaian.

Saat dalam alur yang ditandai oleh perubahan alur cerita menuju

selesainya cerita. Karena setiap klimaks diikuti oleh krisis,

keduanya sering disamakan.

Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai

klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi

menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.

Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau drama.

Dalam tahap ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman

dijelaskan, rahasia dibuka. Ada dua macam selesaian: tertutup dan

terbuka. Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang

Page 18: Bab 2

30

diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk

penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.

Dalam cerita lama, alur dimulai dari pengenalan, konflik,

komplikasi, klimaks, peleraian, dan diakhiri tahap penyelesaian.

Meskipun demikian, tidak semua cerita mempunyai seluruh tahap

alur tersebut. Ada yang hanya pengenalan, konflik, klimaks, dan

diakhiri dengan penyelesaian. Ada alur cerita dengan variasi yang

lain.

Untuk cerita modern, alur tidak selalu dimulai dari

pengenalan dan diakhiri tahap penyelesaian. Ada kemungkinan

cerita dimulai dengan konflik. Ada kemungkinan cerita yang

dimulai dari penyelesaian. Misalnya cerita detektif yang

menunjukkan siapa pembunuhnya. Cerita itu kemudian

dikembangkan mundur untuk mengetahui bagaimana sang detektif

dapat menguak siapa pembunuhnya.

Sudjiman (dalam Siswanto, 2008:160:161) membagi alur

atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama merupakan

rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita. Alur

bawahan adalah alur kedua atau tambahan yang disusupkan di sela-

sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi. Alur bawahan

merupakan lakuan tersendiri tetapi yang masih ada hubungannya

dengan alur utama. Adakalanya alur bawahan ini dimaksudkan

Page 19: Bab 2

31

untuk menimbulkan kontras, adakalanya sejalan dengan alur

utama.

Sudjiman juga membagi alur atas alur erat (ketat) dan alur

longgar. Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di

dalam suatu karya sastra, kalau salah satu peristiwa ditiadakan,

keutuhan cerita akan terganggu. Alur longgar adalah jalinan

peristiwa yang tidak padu di dalam suatu karya sastra, meniadakan

salah satu peristiwa tidak akan mengganggu jalan cerita.

Bagi sastrawan, plot berfungsi sebagai suatu kerangka

karangan yang dijadikn pedoman dalam mengembangkan

keseluruhan isi ceritanya, sedangkan bagi pembaca, pemahaman

plot berarti juga pemahaman terhadap keseluruhan isi cerita secara

runtut dan jelas (Aminuddin dalam Siswanto, 2008:161).

f. Tema dan Amanat

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema

berperan sebagai pangkal otak pengarang dalam memaparkan

karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan

hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan

oleh penarangnya (Aminuddin dalam Siswanto, 2008:161).

Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan

dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penceritaan,

sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah

selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tem

Page 20: Bab 2

32

tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu

menghubunhkan dengan dunia penciptaan pengarangnya.

Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca sebetulnya

juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan

dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan

kehidupan. Seperti yang diungkapkan Walter Loban, dalam

mengungkapkan masalah kehidupan dan kemanusiaan lewat karya

prosa, pengarang berusaha memahami keseluruhan masalah itu

secara internal dengan jalan mendalami sejumlah masalah itu

dalam hubungannya dengan keberadaan suatu individu maupun

dalam hubungan antara individu dengan kelompok masyarakat.

Perolehan nilai itu sendiri umumnya sangat beragam sesuai dengan

daya tafsir pembacanya (Aminuddin dalam Siswanto,

2008:161:162).

Nilai-nilai yang ada dalam cerita rekaan bisa dilihat dari

diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa

disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya

sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca

atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya

tersirat, di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.

g. Gaya Penceritaan

Gaya penceritaan mencakup teknik penulisan dan teknik

penceritaan. Teknik penulisan adalah cara yang digunakan

Page 21: Bab 2

33

pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penulisan

mengacu pada bagaimana pengurutan, penataan, dan pembagian

karya sastra atas bab, subbab, paragraf, dan sebagainya. Teknik

penceritaan adalah cara yang digunakan oleh pengarang untuk

menyajikan karya sastranya, seperti teknik pemandangan, teknik

adegan, teknik montase, teknik asosiasi (Siswanto, 2008:162).

2.4.2 Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang mendukung diluar dari karya

sastra tersebut yaitu nama pengarang, biodata pengarang, tahun

terbitnya, kode terbitnya dan lain sebagainya. Unsur-unsur ekstrinsik

tersebut antara lain.

a. Unsur Religi

Kata religius berasal dari religio atau relego (bahasa Latin)

yang berarti ‘memeriksa lagi, menimbang, merenungkan keberatan

hati nurani’. Manusia religius secara sederhana dapat diartikan

sebagai manusia yang berhati nurani serius, taat, saleh, dan teliti

dalam pertimbangan batin. Sebuah karya sastra, selain merupakan

hasil pengalaman batin dan pengalaman estetik, juga sebagai

ekspresi diri penulisnya. Salah satu dari sekian banyak ekspresi yang

dituangkan dalam karya sastra berupa pengalaman estetik yang

berhubungan dengan unsur religius..Hubungan antara sasta dan religi

tidaklah komplementer, tetapi juga simbiotik. Sastra dan religi ada

bukan sekedar karena kita memerlukan keduanya, melainkan lebih

Page 22: Bab 2

34

dari itu, yakni karena keduanya, dalam tingkat-tingkat tertentu saling

membutuhkan (Setiawan, 1987: 154).

b. Unsur Moral

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan

pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya

tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin di sampaikan

kepada pembaca. Moral dalam cerita menurut Kenny dalam

Nurgiyantoro (2009: 321) biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran

yang berrhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat

praktis, yang dapat diambil lewat ceruta yang bersangkutan oleh

pembaca.

c. Unsur Psikologi

Unsur ini bertolak dari asumsi bahwa karya sastra berkaitan

erat dengan peristiwa kehidupan manusia. Keinginan mengetahui

kejiwaan manusia menyebabkan orang menjelajah ke dalam batin

atau kejiwaan manusia dengan harapan dapat mengetahui seluk

beluk manusia, konflik dalam diri manusia, kesuksesan manusia, dan

sebagainya. Hal tersebut akan dilaksanakan melalui psikologi sastra.

2.5 Pembelajaran Sastra di SMA

Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004 adalah agar (1) peserta didik

mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan

Page 23: Bab 2

35

kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (2) peserta didik menghargai

dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual

manusia Indonesia.

Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan,

berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra

meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam

karya sastra (puisi,prosa,drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan

sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra

meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di

atas sesuai dengan isi dan konteks linhgkungan dan budaya. Kemampuan

membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai

jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat.

Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya

sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang

kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra

yang sudah dibaca (Siswanto, 2008:170:171).