bab 2
TRANSCRIPT
13
BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Nilai
Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan (Anton M Moeliono dkk, 2006:783). Nilai adalah harga, harkat,
kadar, manfaat, taraf, bobot; jenis, kualitas, mutu; adab, etik, kultur, norma
pandangan hidup; arti, makna; faedah, kegunaan, manfaat, profit (Tesaurus
Bahasa Indonesia 2006:429).
Nilai adalah alat yang menunjukkan alasan dasar bahwa cara
pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara sosial
dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai
memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu
mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai).
Pada dasarnya suatu karya sastra diciptakan pengarang bukan
sekedar untuk menghibur. Sebaliknya karya sastra juga bukan hanya alat
untuk menyampaikan wejangan-wejangan atau pendidikan semata. Tetapi
merupakan jalinan atau perpaduan antara keduanya. Dengan karyanya
seorang pengarang bermaksud menyampaikan gagasan-gagasannya,
pandangan hidupnya, tanggapannya atas kehidupan sekitar dan sebagainya
dengan cara yang diusahakan menarik dan menyenanglkan. Dengan
menghibur seorang pengarang bermaksud pula menyampaikan nilai-nilai
yang menurut keyakinannya bermanfaat bagi para penikmat karyanya.
14
Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang menyenangkan dan
bermanfaat. Menyenangkan karena di dalamnya mengandung unsur
keindahan. Bermanfaat karena ada nilai-nilai kehidupan di dalamnya.
Suharianto (2005:9), menyatakan bahwa karya sastra tidak lebih merupakan
pengejawantahan usaha sastrawan dalam rangka mengabadikan nilai-nilai
atau kehidupan yang menggejala dalam mata batinnya.
2.2 Pengertian Religius
Religius tidak sama persis dengan agama.Religiusitas mengacu pada
arti penyerahan diri,tunduk,dan taat dalam arti positif karena penyerahan diri
dalam kaitannya dengan kebahagiaan. Sedangkan agama terbatas pada ajaran-
ajaran atau peraturan-peraturan. Jadi meskipun terdapat kaitan antara
keduanya, makna religius lebih luas dari pada agama. Karena lebih terbatas
pada ajaran-ajaran atau aturan-aturan dan mengacu pada agama (ajaran)
tertentu. Untuk itu dalam pembahasan tentang nilai-nilai religius yang lebih
mengkhususkan pada ajaran agama tertentu, digunakan acuan salah satu
agama (ajaran) tertentu pula. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan
sebagai acuan adalah agama (ajaran) Islam.
Kata religius berasal dari religio atau relego (bahasa latin) yang
berarti memeriksa lagi, menimbang, merenungkan keberatan hati nurani.
Sedangkan manusia religius secara sederhana dapat diartikan sebagai manusia
yang berhati nurani serius, taat, shaleh, dan teliti dalam pertimbangan batin.
Sehingga kata religius belum mengacu pada konteks agama tertentu. Namun
15
apabila pada kata religius diimbuhkan kata islam atau kristen, disisni menjadi
lebih tegas, yaitu mengacu pada keyakinan, berhati nurani, dan shaleh
menurut norma atau ajaran yang dianutnya.
Menurut Dojosantoso (2006:3) religi adalah keterikatan manusia
terhadap Tuhan sebagai sumber kebahagiaan dan ketentraman. Sementara itu
Atmosuwito (2005:123) membedakan antara religiusitas (keagamaan) dengan
agama. Religius mengacu pada arti penyerahan diri dalam kaitannya dengan
kebahagiaan. Sedangkan agama biasanya terbatas pada ajaran-ajaran atau
peraturan-peraturan.
Nilai-nilai religius dalam suatu penelitian biasanya meliputi berbagai
macam hubungan. Hubungan-hubungan tersebut meliput.
2.2.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sudahlah pasti
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan penciptanya. Sebagai
seorang makhluk ciptaan Tuhan, manusia menjalin hubungan kepada
penciptanya dengan beribadah kepada-Nya. Ibadah itu dilakukan dengan
cara berdoa, bertakwa, berikhtiar, bertawakal dan berusaha menjauhi
segala larangannya.
2.2.2 Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia
Manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak dapat hidup sendiri,
artinya membutuhkan bantuan sesama manusia. Dalam hubungannya
dengan sesama manusia keduanya saling membutuhkan, melengkapi
16
satu sama lain, saling memberi dan menerima dari sesama manusia,
tolong menolong, menghargai serta menghormati
2.2.3 Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri
Manusia juga merupakan makhluk individu, yang selalu
mengutamakan kepentingannya sendiri. Sebagai makhluk individu
manusia mempunyai hak untuk menentukan pandangan hidup, sikap,
perilaku sesuai dengan kemampuannya. Hak untuk menentukan
keinginan sendiri itulah yang mencerminkan hubungan manusia dengan
dirinya sendiri.
2.2.4 Hubungan Manusia dengan Alam Sekitar
Manusia sebagai makhluk yang tinggal di bumi, tentu harus bias
menjaga alam tempat tinggalnya. Bersyukur dengan sesuatu yang sudah
ada di alam dan harus bisa menjaganya dengan baik. Menjaga tanah air
agar terjaga kelestariannya yang kelak akan diwariskan kepada anak
cucu kita. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar merupakan sebagian
dari iman kita kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Dalam novel Babad Syekh Siti Jenar Singgasana Keabadian
karya M.Z. Mandaru, terdapat beberapa nilai-nilai religius yang akan
dianalisis. Nilai-nilai tersebut dibagi menjadi empat, yaitu hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia,
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia
dengan alam sekitar. Nilai-nilai tersebut meliputi: takwa, bersyukur,
17
berdoa, ikhlas, tabah, tolong menolong, jujur, berbakti, berpendirian,
penyabar, dan dengan alam sekitar.
2.3 Pengertian Novel
Karya fiksi yang berbentuk novel adalah salah satu karya sastra yang
menceritakan kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat. Novel adalah
karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat
setiap pelaku.
Kehadiran novel cukup penting dalam perkembangan sastra Indonesia
maka novel perlu mendapat perhatian dalam pendidikan, khususnya dalam
pengajaran sastra Indonesia di sekolah. Menurut Redyanto (2009:27) novel
adalah cerita rekaan yang panjang, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan
meenampakkan serangkaian peristiwa dan latar secara terstruktur.
Novel adalah tulisan berupa karangan prosa yang panjang dan
menceritakan sebuah kisah (dalam Kamus Istilah Sastra). Nurgiyantoro
(2009:21) menyatakan, novel sastra nenuntut aktivitas pembaca lebih serius,
menuntut pembaca untuk “mengoperasikan” daya intelektualnya, artinya
sebagai pembaca dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan
masalah dan hubungan antar tokoh. Teks kesastraan sering mengemukakan
sesuatu secara implisit sehingga hal itu boleh jadi “menyibukkan pembaca
18
dan pembaca haruslah mengisi sendiri bagian-bagian yang kosong tersebut
untuk merekonstruksi cerita.
Novel dalam arti umum cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang
luas yaitu cerita dengan plot tema yang kompleks, karakter yang banyak dan
setting cerita yang beragam. Novel merenungkan dan melukiskan realitas
yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu dengan pengaruh tertentu atau
ikatan yang dihubungkan dengan tercapainya gerak-gerik hasrat manusia.
Novel memiliki ciri-ciri yaitu mencerminkan sebagian kehidupan yang luar
biasa, terjadinya konflik hingga menimbulkan perubahan nasib, terdapat
beberapa alur atau jalan cerita, dan perwatakan atau penokohan dilukiskan
secara mendalam
Manfaat dari membaca novel adalah memberi kesadaran kepada
pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup ini. Selain itu dapat
memberikan kegembiraan dan kepuasan batin,memberikan penghayatan yang
mendalam tentang apa yang kita ketahui, serta dapat menolong pembacanya
menjadi manusia yang berbudaya. Hasil cipta sastra akan selalu berbicara
masalah manusia dengan segala permasalahan hidupnya, baik hubungan
manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, maupun manusia
dengan penciptanya.
19
2.4 Unsur-unsur Pembangun Novel
Secara umum karya sastra dibangun dari beberapa unsur yang
dikelompokam menjadi dua, yaitu : unsur instrinsik dan unsur ekstrinsi.
Dalam hal ini penulis akan memberikan penjelasan singkat mengenai unsur-
unsur pembangun novel tersebut.
2.4.1 Unsur Intrinsik Novel
Segi intrinsik karya sastra ialah unsur-unsur yang secara
organik membangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur itu jalin
menjalin secara struktural sehingga terwujud sebuah karya sastra
(Noor, 2009:31). Menurut M Saleh Saad unsur-unsur intrinsik cerita
rekaan (fiksi) adalah tokoh, latar, alur, dan pusat pengisahan (Noor,
2009:33).
Noor mengatakan, sementara itu ada orang yang masih
memisahkan istilah struktur (bentuk) dengan tema atau amanat (sisi).
Akan tetapi, sebenarnya perkembangan terakhir cenderung
memandang struktur sebagai keseluruhan bangunan karya sastra, yang
mencangkup juga tema dan amanat (isi). Jadi, isi bukan merupakan
sesuatu yang terpisah dari bentuk, tetapi merupakan bagian integral
atau struktur atau organik dari setiap karya sastra.
Pada umumnya, para ahli membagi unsur instrinsik prosa rekaan
atas alur (plot), tokoh, watak, penokohan, latar (setting), titik pandang
(sudut pandang), gaya bahasa, amanat, dan tema. Siswanto
20
menambahkan satu unsur lagi, yaitu gaya penceritaan. Berikut ini akan
diuraikan secara singkat.
a. Tokoh, watak, dan penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengembangkan peristiwa
dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita,
sedangkan cerita sastrawan menampilkan tokoh disebut
penokohan. Tokoh dalam rekaan selalu mempunyai sifat, sikap,
tingkah laku atau watak-watak tertentu. (Siswanto, 2008:142:143).
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh
dapat dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder
(bawahan), tokoh komplementer (tambahan). Dilihat dari
perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas
tokoh dinamis dan tokoh statis. Bila dilihat dari masalah yang
dihadapi tokoh, dapat dibedakan atas tokoh yang mempunyai
karakter sederhana dan kompleks (Aminuddin dalam Siswanto,
2008:143). Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya
selalu berkembang. Sebagai contoh, tokoh yang semula jujur,
karena terpengaruh oleh temannya yang serakah, akhirnya menjadi
tokoh yang tidak jujur. Tokoh ini menjadi jujur kembali setelah ia
sadar bahwa dengan tidak jujur, penyakit jantungnya semakin
parah. Tokoh statis adalah tokoh yang mempunyai kepribadian
tetap. Tokoh yang mempunyai karakter sederhana adalah tokoh
yang hanya mempunyai karakter seragam atau tunggal. Tokoh
21
yang mempunyai karakter yang kompleks adalah tokoh yang
mempunyai kepribadian yang kompleks, misalnya tokoh yang di
mata masyarakat dikenal sebagai orang yang dermawan, pembela
kaum miskin, berusahan mengentaskan kemiskinan, ternyata ia
juga menjadi bandar judi.
Sukada (dalam Siswanto, 2008:143) merangkum keempat
pembagian di atas menjadi tokoh datar (flat character), yakni
tokoh yang sederhana dan bersifat statis, dan tokoh bulat (round
character) yakni tokoh yang memiliki kekompleksan watak dan
bersifat dinamis.
Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat
dibedakan atas tokoh protagonis dan antagonis (Aminuddin dalam
Siswanto, 2008:143). Tokoh protagonis adalah tokoh yang
wataknya disukai pembacanya. Biasanya watak tokoh semacam ini
adalah watak yang baik dan positif, seperti dermawan, jujur,
rendah hati, pembela, cerdik, pandai, mandiri, dan setia kawan.
Dalam kehidupan sehari-hari, jarang ada orang yang mempunyai
watak yang seluruhnya baik. Selain kebaikan, orang mempunyai
kelemahan. Oleh karena itu, ada juga watak protagonis yang
menggambarkan dua sisi kepribadian yang berbeda. Sebagai
contoh, ada tokoh yang mempunyai profesi sebagai pencuri. Ia
memang jahat, tetapi ia begitu sayang kepada anak istrinya
sehingga anak dan istrinya juga sayang kepadanya. Contoh
22
berikutnya bisa kita lihat misalnya pada tokoh yang dikenal
masyarakat sebagai orang yang pelit, padahal dia adalah pemilik
panti asuhan. Dia tidak mau namanya dicantumkan sebagai pemilik
panti asuhan itu. Ia berbuat seakan-akan pelit untuk menutupi
kedermawaannya. Ia takut tidak ikhlas dalam beramal saleh.
Tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci oleh
pembacanya. Tokoh ini biasanya digambarkan sebagai tokoh yang
berwatak buruk dan negatif, seperti pendendam, culas, pembohong,
menghalalkan segala cara, sombong, iri, suka pamer, dan ambisius.
Meskipun demikian, ada juga tokoh-tokoh antagonis yang
bercampur dengan sifat-sifat yang baik. Contohnya, tokoh yang
jujur, tetapi dengan kejujurannya itu justru mencelakakan
temannya; tokoh yang setia kepada negara, padahal negaranya
adalah negara penebar kejahatan di dunia; tokoh yang memegang
teguh janji, tetapi janji itu diucapkan pada orang yang salah dan
berakibat fatal.
Aminuddin (dalam Siswanto, 2008:144) mengungkapkan
bahwa cara sastrawan menggambarkan atau memunculkan
tokohnya dapat menempuh berbagai cara. Mungkin sastrawan
menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam
mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam
mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara yang sesuai
dengan kehidupan manusia yang sebenarnya atau pelaku yang
23
egois, kacau dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi,
pelaku dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi
sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, kaset, dan sepatu.
Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah
melalui tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya,
gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan
kehidupannuya maupun caranya berpakaian, menunjukkan
bagaimana perilakunya, melihat bagaimana tokoh itu berbicara
tentang dirinya sendiri, memahami bagaimana jalan pikirannya,
melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, melihat tokoh
lain berbincang kepadanya, melihat bagaimana tokoh yang lain itu
memberi reaksi terhadapnya, dan melihat bagaimana tokoh itu
dalam mereaksi tokoh yang lain (Aminuddin dalam Siswanto,
2008:145).
Tokoh, watak, dan penokohan tidak bisa berdiri sendiri
dalam cerita rekaan. Ia selalu berhubungan dengan unsur-unsur
pembangun cerita, seperti gaya bahasa, sudut pandang, suasana,
latar, nilai, amanat, dan tema cerita. Sebagai contoh, tokoh yang
berasal dari Tapanuli (Batak) akan bertutur sesuai dengan panagruh
bahasa daerahnya. Hal ni akan berpengaruh terhadap gaya bahasa
yang digunakan oleh tokoh tersebut. Pengaruh tokoh ini akan
berpengaruh terhadap gaya bahasa keseluruhan cerita rekaan
tersebut (Siswanto, 2008:148).
24
b. Latar Cerita (Setting)
Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminudin
(dalam Siswanto, 2008:149) memberi batasan setting sebagai latar
peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun
peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Abrams (dalam Siswanto, 2008:149) mengatakan latar
cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan
(historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances)
dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.
Leo Hamalian dan Frederick R. Karell (dalam Siswanto,
2008:149) menjelaskan bahwa latar cerita dalm karya fiksi bukan
hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda
dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang
berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya
hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema
tertentu. Kenney mengungkapkan cakupan latar cerita dalam cerita
fiksi yang meliputi penggambaran lokasi geografis,pemandangan,
perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan
sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa
sejarahnya, musim terjadinya sebuah tahun, lingkungan agama,
moral, intelektual, sosial, dan emosional para tokoh.
Hudson (dalam Siswanto, 2008:150) membagi setting dan
atas setting sosial dan setting fisik. Setting sosial menggambarkan
25
keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya,
adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari
peristiwa. Latar fisik mengacu pada wujud fisikal, yaitu bangunan,
daerah, dan sebagainya.
Tidak semua jenis latar cerita itu ada di dalam sebuah cerita
rekaan. Mungkin dalam sebuah cerita rekaan, latar cerita yang
menonjol adalah latar sosial. Penggambaran latar ini ada yang
terperinci, ada pula yang tidak. Ada latar yang dijelaskan secara
persis seperti kenyataan, ada yang gabungan antara kenyataan
dengan khayalan, ada juga latar yang merupakan hasil imajinasi
sastrawannya.
Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi
sastrawan, latar cerita dapat digunakan untuk mengembangkan
cerita. Latar cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang
tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Sastrawan juga
bisa menggunakan latar cerita sebagai simbol atau lambang bagi
peristiwa yang telah, atau akan terjadi. Sastrawan juga bisa
menggunakan latar cerita untuk menggambarkan watak tokoh,
suasana cerita atau atmosfer, alur, atau tema ceritanya. Bagi
pembaca, latar cerita dapat membantu pembaca untuk
membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami
tokoh. Latar juga bisa membantu pembaca dalam memahami watak
26
tokoh, suasana cerita, alur, maupun dalam rangka mewujudkan
tema suatu cerita (Siswanto, 2008:151).
c. Titik Pandang/Sudut Pandang
Titik pandang atau sudut pandang adalah tempat sastrawan
memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita
tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri
(Siswanto, 2008:151).
Titik pandang oleh Aminuddin (dalam Siswanto, 2008:152)
diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam
cerita yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi (1) narrator
omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer
omniscient, dan (4) narrator the third person omniscient.
Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas (1) sudut
pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan
pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang
mental, yaitu perasaan dan sikap pangarang terhadap masalah
dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang
dipilih pengarang dalam membawa cerita sebagai orang pertama,
kedua, atau ketiga. Sudut pandang pribadi dibagi atas (a)
pengarang menggunakan sudut pandang tokoh, (b) pengarang
menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan (c) pengrang
menggunakan sudut pandang yang impersonal: ia sekali berdiri di
luar cerita. Sudut pandang berkaitan dengan unsur-unsur intrinsik
27
prosa rekaan yang lain: tokoh, latar, suasana, gaya bahasa, nilai,
atau amanat.
d. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan
harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang
dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin
dalam Siswanto, 2008:158:159).
Ada tiga masalah yang erat hubungannya dengan
pembicaraan masalah gaya. Pertama, masalah media berupa kata
dan kalimat. Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan
keindahannya. Terakhir, seluk-beluk ekspresi pengarangnya sendiri
yang akan berhubungan erat dengan masalah individual
kepengarangan, maupun konteks sosial masyarakat yang
melatarbelakanginya (Aminuddin dalam Siswanto, 2008:159).
Dari segi kata, karya sastra menggunakan pilihan kata yang
mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat
konotatif, sedangkan kalimat-kalimatnya menunjukkan adanya
variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan
bukan nuansa makna tertentu saja. Alat gaya melibatkan masalah
kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, majas
bunyi (Aminuddin dalam Siswanto, 2008:159).
28
e. Alur/Plot
Plot atau alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh
tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Abrams dalam
Siswanto, 2008:159).
Sudjiman (dalam Siswanto, 2008:159) mengartikan alur
sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai
efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan
temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat). Alur
adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin denagn
saksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah
klimaks dan selesaian.
Ada berbagai pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa
dalam suatu cerita. Aminuddin (dalam Siswanto, 2008:159)
membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik,
komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.
Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita
rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar
cerita. Yang dikenalkan dari tokoh ini misalnya, nama, asal, ciri
fisik, dan sifatnya.
Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan
antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau
drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara
29
dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau lingkungannya, antara
tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan. Ada konflik lahir
dan konflik batin.
Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita
rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Dalam tahap ini,
konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan
berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.
Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang
melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi
emosional pembaca. Klimaks merupakan puncak rumitan, yang
diikuti oleh krisis atau titik balik.
Krisis adalah bagian alur yaang mengawali penyelesaian.
Saat dalam alur yang ditandai oleh perubahan alur cerita menuju
selesainya cerita. Karena setiap klimaks diikuti oleh krisis,
keduanya sering disamakan.
Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai
klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi
menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.
Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau drama.
Dalam tahap ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman
dijelaskan, rahasia dibuka. Ada dua macam selesaian: tertutup dan
terbuka. Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang
30
diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk
penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.
Dalam cerita lama, alur dimulai dari pengenalan, konflik,
komplikasi, klimaks, peleraian, dan diakhiri tahap penyelesaian.
Meskipun demikian, tidak semua cerita mempunyai seluruh tahap
alur tersebut. Ada yang hanya pengenalan, konflik, klimaks, dan
diakhiri dengan penyelesaian. Ada alur cerita dengan variasi yang
lain.
Untuk cerita modern, alur tidak selalu dimulai dari
pengenalan dan diakhiri tahap penyelesaian. Ada kemungkinan
cerita dimulai dengan konflik. Ada kemungkinan cerita yang
dimulai dari penyelesaian. Misalnya cerita detektif yang
menunjukkan siapa pembunuhnya. Cerita itu kemudian
dikembangkan mundur untuk mengetahui bagaimana sang detektif
dapat menguak siapa pembunuhnya.
Sudjiman (dalam Siswanto, 2008:160:161) membagi alur
atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama merupakan
rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita. Alur
bawahan adalah alur kedua atau tambahan yang disusupkan di sela-
sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi. Alur bawahan
merupakan lakuan tersendiri tetapi yang masih ada hubungannya
dengan alur utama. Adakalanya alur bawahan ini dimaksudkan
31
untuk menimbulkan kontras, adakalanya sejalan dengan alur
utama.
Sudjiman juga membagi alur atas alur erat (ketat) dan alur
longgar. Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di
dalam suatu karya sastra, kalau salah satu peristiwa ditiadakan,
keutuhan cerita akan terganggu. Alur longgar adalah jalinan
peristiwa yang tidak padu di dalam suatu karya sastra, meniadakan
salah satu peristiwa tidak akan mengganggu jalan cerita.
Bagi sastrawan, plot berfungsi sebagai suatu kerangka
karangan yang dijadikn pedoman dalam mengembangkan
keseluruhan isi ceritanya, sedangkan bagi pembaca, pemahaman
plot berarti juga pemahaman terhadap keseluruhan isi cerita secara
runtut dan jelas (Aminuddin dalam Siswanto, 2008:161).
f. Tema dan Amanat
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema
berperan sebagai pangkal otak pengarang dalam memaparkan
karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan
hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan
oleh penarangnya (Aminuddin dalam Siswanto, 2008:161).
Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan
dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penceritaan,
sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah
selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tem
32
tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu
menghubunhkan dengan dunia penciptaan pengarangnya.
Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca sebetulnya
juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang berhubungan
dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan
kehidupan. Seperti yang diungkapkan Walter Loban, dalam
mengungkapkan masalah kehidupan dan kemanusiaan lewat karya
prosa, pengarang berusaha memahami keseluruhan masalah itu
secara internal dengan jalan mendalami sejumlah masalah itu
dalam hubungannya dengan keberadaan suatu individu maupun
dalam hubungan antara individu dengan kelompok masyarakat.
Perolehan nilai itu sendiri umumnya sangat beragam sesuai dengan
daya tafsir pembacanya (Aminuddin dalam Siswanto,
2008:161:162).
Nilai-nilai yang ada dalam cerita rekaan bisa dilihat dari
diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa
disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya
sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca
atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya
tersirat, di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.
g. Gaya Penceritaan
Gaya penceritaan mencakup teknik penulisan dan teknik
penceritaan. Teknik penulisan adalah cara yang digunakan
33
pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penulisan
mengacu pada bagaimana pengurutan, penataan, dan pembagian
karya sastra atas bab, subbab, paragraf, dan sebagainya. Teknik
penceritaan adalah cara yang digunakan oleh pengarang untuk
menyajikan karya sastranya, seperti teknik pemandangan, teknik
adegan, teknik montase, teknik asosiasi (Siswanto, 2008:162).
2.4.2 Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang mendukung diluar dari karya
sastra tersebut yaitu nama pengarang, biodata pengarang, tahun
terbitnya, kode terbitnya dan lain sebagainya. Unsur-unsur ekstrinsik
tersebut antara lain.
a. Unsur Religi
Kata religius berasal dari religio atau relego (bahasa Latin)
yang berarti ‘memeriksa lagi, menimbang, merenungkan keberatan
hati nurani’. Manusia religius secara sederhana dapat diartikan
sebagai manusia yang berhati nurani serius, taat, saleh, dan teliti
dalam pertimbangan batin. Sebuah karya sastra, selain merupakan
hasil pengalaman batin dan pengalaman estetik, juga sebagai
ekspresi diri penulisnya. Salah satu dari sekian banyak ekspresi yang
dituangkan dalam karya sastra berupa pengalaman estetik yang
berhubungan dengan unsur religius..Hubungan antara sasta dan religi
tidaklah komplementer, tetapi juga simbiotik. Sastra dan religi ada
bukan sekedar karena kita memerlukan keduanya, melainkan lebih
34
dari itu, yakni karena keduanya, dalam tingkat-tingkat tertentu saling
membutuhkan (Setiawan, 1987: 154).
b. Unsur Moral
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya
tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin di sampaikan
kepada pembaca. Moral dalam cerita menurut Kenny dalam
Nurgiyantoro (2009: 321) biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran
yang berrhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat
praktis, yang dapat diambil lewat ceruta yang bersangkutan oleh
pembaca.
c. Unsur Psikologi
Unsur ini bertolak dari asumsi bahwa karya sastra berkaitan
erat dengan peristiwa kehidupan manusia. Keinginan mengetahui
kejiwaan manusia menyebabkan orang menjelajah ke dalam batin
atau kejiwaan manusia dengan harapan dapat mengetahui seluk
beluk manusia, konflik dalam diri manusia, kesuksesan manusia, dan
sebagainya. Hal tersebut akan dilaksanakan melalui psikologi sastra.
2.5 Pembelajaran Sastra di SMA
Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004 adalah agar (1) peserta didik
mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
35
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (2) peserta didik menghargai
dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia.
Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra
meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam
karya sastra (puisi,prosa,drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan
sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra
meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di
atas sesuai dengan isi dan konteks linhgkungan dan budaya. Kemampuan
membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai
jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat.
Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya
sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang
kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra
yang sudah dibaca (Siswanto, 2008:170:171).