bab 11 - tim17.files.wordpress.com file · web viewbab. 11. manajemen keuangan dan . tata...

45
Bab. 11 Manajemen Keuangan dan Tata Kepemerintahan yang Baik (Financial Management and Good Governance) Diterjemahkan dari buku : A NEW PRESPECTIVE OF INTERGOVERNMENTAL FISCAL RELATIONS : LESSONS FROM INDONESIA’S EXPERIENCE 1 ST EDITION PT. INSAN MUDA GEMILANG, JAKARTA 2007

Upload: trinhanh

Post on 06-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Bab. 11

Manajemen Keuangan dan Tata Kepemerintahan yang Baik

(Financial Management and Good Governance)

Diterjemahkan dari buku :

A NEW PRESPECTIVE OF INTERGOVERNMENTAL FISCAL RELATIONS : LESSONS FROM INDONESIA’S EXPERIENCE

1ST EDITION

PT. INSAN MUDA GEMILANG, JAKARTA2007

11.1 Pendahuluan

Suatu pemahaman yang menyeluruh tentang hubungan-hubungan

dalam hukum keuangan membutuhkan suatu kerangka kerja untuk

pengaturan mekanisme manajemen keuangan pokok yang akan dilaksanakan

oleh pemerintah daerah. Adanya suatu kerangka kerja bermanfaat:

1. Untuk menjamin konsistensi prinsip-prinsip keuangan pemerintah

sebagaimana tercantum dalam UU keuangan negara, berupa rancangan

yang diajukan kepada DPR;

2. Sebagai bagian penting dari fungsi wajar otonomi daerah, untuk

mengenalkan suatu tingkat wajar dari akuntabilitas pemerintah eksekutif

daerah ke DPRD, dan oleh pemerintah eksekutif daerah dan legislatif ke

masyarakat daerah;

3. Mengenalkan transparansi dalam keputusan pengalokasian sumberdaya

keuangan dan dalam implementasinya;

4. Untuk mengenalkan kejujuran dan efisiensi dalam manajemen

sumberdaya keuangan pemerintah daerah dan asset lainnya; dan

5. Secara umum, memastikan sistem manajemen keuangan pemerintah

daerah agar selaras dengan prinsip-prinsip dan praktek-praktek yang baik

yang dapat diterima secara luas.

Kerangka kerja yang ditetapkan dalam peraturan dasar perlu dirancang

selaras dengan seluruh prinsip-prinsip peraturan yang ditetapkan dalam

peraturan nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara bagian. Namun

tidak berarti sistem dan pendekatan yang diterapkan di pusat dan daerah

harus identik karena dinamika dan kebutuhan pemerintah pusat dan daerah

berbeda. Oleh sebab itu, prosedur manajemen keuangan pemerintah pusat

ditetapkan dalam peraturan yang berbeda no. 1 tahun 2004 (UU

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 1

11B A B

Manajemen Keuangan dan Tata Kepemerintahan yang Baik

perbendaharaan negara) tidak secara nyata dan menyeluruh sesuai dengan

keseragaman aplikasi langsung pada semua pemerintah daerah.

Dalam rangka membangun dasar peraturan teknis dalam bagian

perundangan, kerangka kerja dalam legislasi keuangan pemerintah daerah

primer perlu mengakomodir seluruh elemen berikut:

1. Perencanaan dan penganggaran keuangan

2. Kerangka kerja akuntansi dan penganggaran

3. Implementasi prosedur dan kontrol

4. Pengaturan audit

5. UU terbaru no. 33 tahun 2004 menempatkan seluruh elemen tersebut,

meskipun audit hanya sebagai sebutan (artikel 85). Paragraph berikut

menjelaskan sejumlah issue penting yang harus diperhatikan dalam

menghubungkan formulasi dan implementasi hukum dan aturan

perundang-undangan.

11.2 Keseragaman versus pilihan daerah

Terdapat ketidaksetujuan mendasar mengenai pilihan pendekatan

umum untuk pengaturan manajemen keuangan pemerintah daerah. Ekstrim

pertama adalah yang memiliki cara pandang bahwa hal-hal yang esensial

diaplikasikan pada sistem pemerintah pusat harus dimandatkan pada seluruh

pemerintah daerah, meliputi gambaran dan struktur anggaran, laporan

keuangan, bagan perhitungan, sistem pembukuan, pengumpulan penerimaan,

otoritas pengeluaran, manajemen pembayaran dan tunai, dan organisasi

manajemen keuangan. Ekstrim lainnya adalah pandangan yang menyatakan

otonomi daerah yang benar adalah yang memberikan kebebasan penuh

kepada daerah untuk mengadopsi peraturan dan sistem manajemen

keuangan daerah sesuai dengan kontrol akuntabilitas DPRD dan sesuai

dengan proses demokrasi di daerah.

Tentu saja tidak satu pun dari pendekatan ekstrim tersebut dapat

terlaksana sepenuhnya. Adanya perbedaan yang sangat tinggi dalam segala

hal antara lingkup pusat dan daerah menyebabkan keseragaman bukanlah

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 2

solusi yang efisien. Sehingga lebih jauh sistem yang diatur secara nasional

cenderung memberikan penekanan pada pertimbangan teknis, dan kurang

mempertimbangkan keterbukaan anggaran dan pertanggungjawaban kepada

pihak non-profesional di DPRD dan pada masyarakat luas. Tetapi pemerintah

pusat telah menetapkan perhatian untuk memastikan, setidaknya, bahwa

sistem daerah selaras dengan siklus penganggaran nasional, prinsip dasar

kepuasan akuntabilitas, transparansi, kejelasan dan keamanan, dan

menyediakan informasi penting untuk penilaian pencapaian tujuan nasional

dan tampilan pengawasan pokok.

Hingga 1999 pola pusat mendominasi pendekatan sistem manajemen

keuangan pemerintah daerah. Format penganggaran, struktur akuntansi,

sistem administrasi pendapatan, otoritas pengeluaran, prosedur pembayaran,

dan organisasi unit pengelola keuangan seluruhnya berada di bawah

pengaturan kementerian dalam negeri. Namun, semua itu berbeda dalam hal

yang material dari sudut pandang sistem aparatur pusat. Terdapat hanya

sedikit perundingan dengan kementerian keuangan dalam pola mereka. Pada

masa kini kerugian akan tingkat pola terpusat mendapat perhatian yang

semakin luas. Sebagian pemerintah daerah yang menyadari bahwa sistem

standar tidak sesuai atau tidak efisien dalam situasi mereka, membuat

penyesuaian sendiri, namun banyak yang lainnya merasa tidak memiliki

otoritas dan terus bekerja dalam standar yang tidak sesuai. Disadari adalah

sangat sulit untuk memperbaharui sistem. Beberapa memimpin upaya secara

terpusat untuk melakukan perubahan radikal pada standar anggaran, struktur

akuntansi, dan kerangka kerja terbukti tidak berhasil.

UU No. 32 tahun 2004 menyediakan kerangka kerja bagi pembentukan

prinsip-prinsip luas dan kekuatan umum, dimana pemerintah daerah dapat

menentukan sistem rinci sesuai dengan keadaan mereka sendiri dan persepsi

tentang pendekatan yang optimal. Namun, ketentuan baik hukum dan

peraturan akan mendapat manfaat dari peninjauan lebih lanjut, sebagaimana

dipaparkan pada paragraf berikut.

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 3

11.3 Masing-masing peran eksekutif dan DPRD

UU No. 32 tahun 2004 membatasi peran DPRD secara mendasar untuk

membuat undang-undang (termasuk APBD), mengangkat kepala eksekutif,

mereview kebijakan, dan penelaahan kinerja eksekutif dalam melaksanakan

anggaran dan perundang-undangan lainnya, termasuk penyelidikan dan

investigasi. DPRD tidak dianggap sebagai bagian dari pemerintah daerah,

dimana hukum mendefenisikan pemerintah daerah sebagai kepala eksekutif

bersama dengan administrasi. Dalam hal ini terdapat kesamaan erat dengan

pengaturan di tingkat nasional.

Dalam prakteknya, di tingkat nasional DPR baru-baru ini dipandang

memiliki peran yang lebih aktif, setidaknya dalam kaitannya dengan APBN.

Pada tingkat regional adanya keinginan yang sama untuk peran yang lebih

positif bagi DPRD dalam menetapkan kerangka kerja operasional untuk

eksekutif diantisipasi, mencakup penetapan aturan proses penganggaran,

format pelaporan dan penganggaran, ketentuan menggunakan persediaan

untuk pengeluran yang tidak terduga, dll; dan mungkin memperluas

keterlibatan dalam keputusan eksekutif utama. Sebagai contoh, DPRD

mungkin ingin meletakkan status sementara pada beberapa pos pengeluaran

anggaran tertentu yang besar, terutama proyek investasi, sehingga perlu

pencadangan keuangan, kebutuhan akan persetujuan lebih lanjut yang

diperlukan sebelum pelaksanaan; atau bahkan, ingin berkonsultasi sebelum

serah terima kontrak di atas ukuran tertentu. Jadi UU No. 32 tahun 2004 (Bab

VIII, artikel 155-194) mengatur secara rinci prosedur manajemen keuangan

pemerintah daerah untuk dirumuskan oleh eksekutif dengan parameter

persyaratan dasar yang ditetapkan oleh DPRD, dengan persetujuan dari

kepala eksekutif, dalam peraturan daerah (perda). Dengan demikian

pembagian kekuasaan antara eksekutif dan DPRD dapat berbeda

antardaerah.

11.4 Kelengkapan Anggaran (budget comprehensiveness)

Bab sebelumnya telah membahas hal yang membingungkan yang

disebabkan oleh masuknya dekonsentrasi dan tugas pembantuan keuangan

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 4

dalam lingkup APBD, dan akibatnya ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2004

membatasi lingkup APBD untuk fungsi desentralisasi. Tapi ada juga masalah

yang saling melengkapi di masa lalu bahwa tidak semua keuangan yang

dikelola oleh pemerintah daerah telah ditutupi oleh APBD.  Sering kali ada

sejumlah uang yang dikelola oleh pemerintah daerah pada anggaran yang

sifatnya terkadang ada dan tidak ada, berdasar informal, tanpa mekanisme

akuntabilitas yang benar dan transparan. Untuk mengatasi masalah ini, UU No

33 Tahun 2004 (Bab III, Pasal 4) mengharuskan semua sumber daya

keuangan sehubungan dengan desentralisasi harus dikelola melalui

APBD. Untuk mengatasi ketidakpastian tentang status transaksi tertentu, lebih

lanjut ditentukan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran yang tidak jelas

baik yang berkaitan dengan dekonsentrasi maupun mekanisme tugas

pembantuan secara otomatis diatur administrasinya di bawah

desentralisasi. Jadi pemerintah daerah sekarang dilarang mengelola setiap

uang di luar APBD dan anggaran yang terpisah untuk hal-hal dekonsentrasi

dan tugas pembantuan.

11.5 Dana Khusus (special funds)

Sebagian dari konsekuensi penting dari larangan mengacu pada

penjelasan di atas adalah UU No 33 Tahun 2004 memungkinkan pemerintah

daerah untuk membentuk dana khusus dalam kerangka APBD.  Contoh tujuan

dana tersebut adalah:

1. Untuk membiayai skema khusus bagi yang berkontribusi sukarela yang

telah diterima dari individu atau masyarakat;

2. Untuk mengumpulkan dana dari pendapatan rutin atau sesekali (misalnya

hasil penjualan tanah) APBD selama bertahun-tahun untuk membiayai

skema tertentu;

3. Untuk menyebarkan halangan atas pendapatan APBD dari kebutuhan

keuangan rutin, misalnya perbaikan bendungan rusak, atau penggantian

kendaraan, biasanya setelah lebih dari satu periode tahun (sebagai akibat

penyusutan beban dan pendanaan keuangan komersil).

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 5

4. Untuk dana cadangan misalnya untuk kedaruratan sipil dan bencana

besar.

5. Menyisihkan sebagian dari pendapatan APBD untuk pelunasan hutang

6. Untuk mengamankan aset-aset tertentu dari pemerintah, misalnya sekolah,

klinik kesehatan, dan bangunan kantor; hal ini dilakukan bila dengan cara

ini dananya lebih murah dibandingkan dengan mengasuransikannya pada

pihak luar.

Pengimplementasian UU nomor 33 tahun 2004 dalam bentuk

peraturan pemerintah dan pengimplementasian peraturan lainnya haruslah

dapat mengakomodasi kebutuhan pendanaan khusus untuk menjamin

teratasinya segala kemungkinan diatas.

11.6 Kendala Anggaran

Undang–Undang perlu memastikan bahwa pemerintah daerah

menerapkan cara yang tepat dalam mengelola keuangan daerahnya.

Undang–Undang Nomor 33 tahun 2004 dan peraturan turunan lainnya dalam

pengelolaan keuangan berikut juga termasuk dalam kendala anggaran :

1. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa ketentuan seluruh

pengelolaan keuangan daerah harus melalui APBD.

2. Segala bentuk pengeluaran apapun haruslah telah dianggarkan dalam

APBD.

Juga bahwa pengeluaran apapun tidak dapat dilakukan tanpa adanya

persetujuan dari otorita anggaran. Rancangan sistem transfer pusat dan

provinsi dibuat dengan ketat agar menjamin tidak terjadinya penyelewengan.

Pada umumnya, ketentuan penggunaan dana APBN sebagai dana pendukung

untuk antisipasi segala kemungkinan haruslah dibuat dengan kriteria yang

ketat, diterapkan berdasarkan tujuan yang jelas dan prosedur yang

transparan, untuk menghindari terjadinya penyelewengan. Juga yang penting

bahwa fasilitas “dana tanggap darurat” yang terdapat dalam UU Nomor 33

tahun 2004 haruslah mendapatakan kriteria dan prosedur yang ketat.

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 6

11.7. Perencanaan Jangka Menengah

Sampai saat ini pemerintah daerah pada umumnya belum

menggunakan perencanaan keuangan jangka menengah yang komprehensif

untuk mendukung perumusan program dan sebagai dasar untuk menyusun

anggaran tahunan. (Target keuangan dan estimasi termasuk dalam rencana

pembangunan lima tahunan daerah/ Repelitada tidak dipakai sebagai dasar

pertimbangan yang realistik dan alat perencanaan). Bagaimanapun, dalam

beberapa tahun ini beberapa daerah telah menerapkan mekanisme

perancanaan ini dengan bantuan donor. Hal inilah yang menjadi

pertimbangan apakah pengimlementasian UU No. 33 tahun 2004 harus

menjadi suatu ketentuan kepada seluruh pemerintah daerah untuk membuat

dan melaksanakan sistem perencanaan keuangan jangka menengah, atau

apakah pemerintah daearah seharusnya melaksanakan sistem perencanaan

tersebut atas dasar inisiatif pemerintah daerah sendiri. Dalam hal ketentuan

wajib dalam UU baru, tahap substansial dalam periode tertentu perlu

diizinkan, untuk memungkinkan pengembangan kapasitas lokal yang

diperlukan.

11.8. Struktur dan Format Anggaran dan Akuntansi

Ada polarisasi pandangan antara yang mendukung pendanaan pusat

secara penuh dari bentuk anggaran dan keuangan pemerintah daerah, dan

pada yang mendukung substansi pada masalah ukuran pilihan lokal. Bahaya

yang timbul dari yang ketentuan pusat bahwa akan selalu berorientasi pada

pengawasan pusat dan teknikal dan kebutuhan statistik, dan kurang peka

terhadap pada kebutuhan tingkat lokal yang dapat digunakan sebagai

informasi guna pembuatan kebijakan untuk pengalokasian sumberdaya dan

evaluasi kinerja. Mendasarkan pada pemerintah pusat juga akan menghambat

inisiatif daerah dalam mengembangkan struktur anggaran daerah. Pada

tingkatan regional, ada ruang perdebatan pada struktur yang bagaimana

struktur anggaran yang terbaik dibutuhkan. Beberapa daerah mungkin

menganggap bahwa struktur anggaran yang terbaik adalah untuk tujuan

kebijakan dan manajemen berdasarkan pada unit organisasi dari eksekutif;

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 7

daerah yang lain mungkin menganggap bahwa fungsi tanggung jawab

menjadi fokus utama dari legislasi anggaran dan pengimplementasian laporan

pada DPRD, melepasakan masalah pelaksanaan tanggung jawab pada

eksekutif. Pemerintah pusat perlu menetapkan standar informasi anggaran

untuk seluruh pemerintah daerah yang mana standar ini tidak sekaku

sebagaimana penyeragaman format anggaran sebagaimana yang biasanya

dilakukan : kebutuhan dapat ditetapkan melalui ketentuan perundang –

undangan yang mana sistem pemerintahan daerah dirancang dapat

memberikan gambaran informasi anggaran, walaupun jika seandainya

anggaran pemerintah daerah itu sendiri secara strukturnya berbeda.

Namun demikian ada kebutuhan prinsip dasar regulasi yang terpisah

dalam anggaran regional dan struktur akuntansi. Satu aspek adalah regulasi

kategori pengeluaran. Tulisan dengan judul ”Reformasi Sistem Management

Keuangan Publik di Indonesia”mengindikasikan maksud menyerahkan

pembagian anggaran nasional antara rutin dan bagian pengembangan, dalam

mendukung kategorisasi yang dikenal lebih universal yaitu pengeluaran

operasional, modal dan administrasi. Aspek lainnya adalah perubahan

struktur/ susunan anggaran secara keseluruhan untuk mengidentifikasi definisi

defisit anggaran statistik keuangan pemerintah IMF dan untuk mencakup

seksi/ bagian keuangan yang terpisah.

Ada advokasi yang meningkat terhadap perubahan fokus anggaran dari

penekanan pada input kepada penekanan pada kinerja (performa). Input

seperti personil, biaya operasional dan administasi. Tentu masih harus

direncakanan tetapi perlu dihubungkan dengan output dan outcome dengan /

melalui cara yang dapat diukur, seperti kuantitas dan standar pelayanan serta

harga satuan yang dapat dimonitor selama implementasi anggaran. Ada

pengalaman kecil tentang hal ini dalam pemerintahan daerah di Indonesai,

dan pendekatan-pendekatan detil yang dinyatakan secara resmi akan sulit

membuktikan relevansi terbatas terhadap akuntabilitas daerah yang riil.

Mengizinkan/Membiarkan fleksibelitas pemerintah daerah dalam menagani

hal/ masalah ini akan memungkinkan berbagai macam pendekatan praktis

(yang berbeda) untuk dicoba, sesuai dengan kapasitas daerah dan akan

memberikan dasar untuk studi banding dan identifikasi praktis yang baik.

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 8

Ada perdebatan tentang apakah pengeluaran pemerintah pusat dan

pemerintah daerah akan diberikan/ disajikan atas dasar kas atau akrual.

Penyajian dengan basis akrual merupakan pendekatan yang didorong/

didesak oleh statis keuangan pemerintah. Tetapi ada perbedaan dari

konsensus internal tentang hal itu. Banyak pengamat mempertimbangan

bahwa apakah manfaat teknis pendekatan akrual ditinjau dari sudut pandang

produksi statistik ekonomi nasional yang dikonsolidasi, pengeluaran berbasis

kas, yang dilengkapi dengan lembar neraca(atau paling tidak, Statement of

crucial balance sperti kas, persediaan, debitur, kreditur dan utang formal)

memberikan basis yang lebih relevang dan inteligibel untuk perdebatan

kebijakan tentang alokasi sumber anggaran dan dalam monitoring kinerja.

11.9. Akuntabilitas Daerah

Menurut definisi, devolusi tanggungjawab dari pemerintah pusat ke

yang lebih rendah telah memperluas peran yang dimainkan pegawai

pemerintah daeraha. Dalam banyak hal, perubahan kewenangan ini

berhubungan dengan mekanisme pertanggungjawaban. Desentralisasi di

beberapa negara berfungsi memberdayakan pemerintah daerah,

memberikan/menyediakan pilihan secara reguler dan meningkatkan potensi

terhadap kepercayaan publik. Desentralisasi telah meningkatkan kualitas tata

kelola khususnya dalam mereorintasikan pemerintah dari perintah dan

pengawasan kepada peran penyedia layanan / jasa (Shah, 1998). Di Peru,

desentralisasi berhubungan dengan otonomi administasi dan keuangan

daerah yang lebih besar (Aredondo dan Parada 2001). Di Bostwana,

keuntungan utamanya adalah (i) keterlibatan masyarakat yang lebih besar dan

efektif (ii) kerjasaman intersektoral yang meningkat (iii) penanganan masalah

administrasi yang lebih cepat dan tepat. Desentralisasi di Spanyol,

menunjukkan peningkatan usaha kolaboratif antara sektor publik dan swasta.

Di Mexico, pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten berbagai tanggung

jawab menyediakan dana untuk kesehatan. Dalam pergerakan Cina menuju

ekonomi pasar dan desentralisasi pemerintah yang lebih besar, devolusi di

sektor kesehatan dan pemerintah kota bertanggungjawab menentukan

pengembangan rencana perawatan kesehatan lokal termasuk membiayai

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 9

pusat-pusat kesehatan dan pengangkatan pegawai (Tang dan Bloom 2000).

Untuk konteks Indonsia, partisipasi masyarakat lokal masih ditekankan

sebagai aspek penting dari akuntabilitas pemerintah daerah yang efektif.

Akses masyarakat terhadap informasi fundamental. Undang-undang Nomor

33 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa APBD, amandemennya, realisasi APBD

akhir tahun dan laporan kinerja akuntabilitas tahunan dari kepala daerah

seharusnya merupakan dokumen yang tersedia untuk publik. Petrimbangan

mungkin diberikan kepada penyediaan yang lebih kuat dalam revisi terhadap

undang-undang, yang menghendaki pemerintah daerah menyediakan salinan/

tembusan kepada perusahaan lokal, universitas setempat, dan individu yang

mengajukan permohnana, juga memperluas persyaratan untuk mencakup

laporan pelaksanaan anggaran intern kepada DPRD dan yang lebih penting

laporan audit.

11.10. Sistem Informasi dan Pengawasan

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, tidak ada alasan mengapa

persyaratan informasi pusat statistik harus kaku dalam menentukan anggaran

dan struktur akuntansi serta laporan keuangan yang digunakan secara lokal.

Dalam hal ini struktur akuntansi cukup dirancang sehingga dapat

mengidentifikasi informasi yang diperlukan oleh pusat termasuk laporan dasar

akrual jika ditetapkan, bahkan pemerintah daerah menghasilkan laporan dasar

kas sendiri. Sistem informasi keuangan darah telah tercantum dalam UU

Nomor 33 Tahun 2004 namun baru pada tahap pengembangan awal.

Pengembangan substansi lebih lanjut diperlukan, termasuk :

a. elaborasi analisis pendapatan, belanja dan pembiayaan; 

b. memasukkan indikator kinerja di daerah layanan utama, dalam

hubungannya dengan membangun standar nasional; dan

c. meningkatkan mekanisme laporan reguler (triwulan) dan tepat waktu dari

setiap pemerintah daerah.

Sehubungan dengan poin terakhir, sejumlah besar pemerintah daerah saat ini

gagal untuk menyediakan informasi keuangan dan yang berhubungan dengan

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 10

pemerintah pusat sesuai dengan persyaratan Bab XII Pasal 101-104 UU 33

tahun 2004. Tanpa informasi yang lengkap, keputusan yang benar tidak dapat

diambil pada kebijakan pusat seperti distribusi Dana Alokasi Umum (DAU) dan

dana Alokasi Khusus (DAK).  Sebagai pertimbangan, dalam revisi UU

tersebut, agar memasukkan ketentuan sanksi terhadap wanprestasi/

kegagalan pemerintah daerah - dalam bentuk penangguhan pembayaran

DAU, DAK atau pembagian pendapatan. 

11.11 Standar Akuntansi dan Manajemen Keuangan 

Meskipun pemerintah daerah diberikan fleksibilitas dalam merancang

rincian struktur akuntansi dan prosedur manajemen keuangan, namun hal ini

tetap harus sesuai dengan pedoman pada karakteristik dasar dan praktek-

praktek yang baik. Panduan ini, yang harus sesuai dengan prinsip-prinsip

umum yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara. Wakil pemerintah pusat dan daerah, LSM dan

para ahli teknis perlu mengembangkan latihan bersama mengenai hal

ini. Pencapaian sistem reformasi dan pengembangan kapasitas daerah

memerlukan masa transisi. 

11.12 Organisasi Manajemen Keuangan 

Ada banyak alternatif pilihan dan cara bagi pemerintah daerah untuk

mengatur pengelolaan keuangan. Sebagai contoh, perencanaan keuangan

dan tanggung jawab penganggaran dapat dibagi antara sejumlah lembaga,

seperti saat ini (sekretariat, lembaga perencanaan dan departemen

pendapatan), atau dapat dilakukan sepenuhnya tanggung jawab departemen

keuangan tunggal. Dalam tulisan "Reformasi Sistem Manajemen Keuangan

Publik di Indonesia: Prinsip dan Strategi" mengusulkan pendekatan terakhir

“menyatukan” - perencanaan keuangan dan tanggungjawab anggaran - akan

diadopsi untuk penyusunan anggaran negara, dan juga ditentukan untuk

semua pemerintah daerah.Tapi mengapa pemerintah daerah merasa dipaksa

untuk berubah jika mereka tidak melihat keuntungannya, dan mungkin bahkan

melihat kelemahan? Sekali lagi, beberapa pemerintah daerah dapat

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 11

menemukan sistem yang layak dan paling efisien dengan memusatkan

semua fungsi keuangan, sedangkan bagi daerah lain mungkin menganggap

lebih baik untuk menyerahkan fungsi pelaksanaan anggaran pada banyak unit

keuangan dalam layanan departemen, bahkan ke pusat-pusat biaya individu,

seperti rumah sakit dan sekolah. Secara umum, tidak ada satu pendekatan

dapat optimal di mana-mana. Oleh karena itu pemerintah daerah harus

diijinkan untuk menentukan kerangka kerja organisasi manajemen keuangan

mereka sendiri, tunduk pada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip dasar kehati-

hatian, seperti pemisahan fungsi dari komitmen pengeluaran, otorisasi

pengeluaran, pembayaran, dan merekam data. 

11.12.1 Audit Internal 

Sesuai dengan praktek yang baik yang diakui, undang-undang yang

direvisi harus meminta semua pemerintah daerah untuk mendirikan lembaga

audit internal mereka sendiri. Namun lembaga ini mungkin berada dalam

struktur pemerintah daerah, lembaga audit harus profesional independen dan

melaporkan langsung kepada kepala eksekutif. audit internal adalah layanan

kepada manajemen senior dalam pemerintah daerah. Oleh karena itu tidak

tepat jika laporan lembaga audit tersedia untuk umum secara rutin.

11.12.2 Audit Eksternal

UU No 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU

Tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara) memberikan

tanggung jawab kepada BPK untuk mengaudit pemerintah daerah setiap

tahun. Namun, seperti ditunjukkan dalam tulisan "Reformasi Manajemen

Keuangan Publik : Sistem di Indonesia: Prinsip dan Strategi", BPK tidak

memiliki sumber daya untuk melakukan audit tersebut secara langsung untuk

semua daerah.Oleh karena itu diusulkan bahwa setiap DPRD harus

mengajukan calon sendiri auditor eksternal dari daftar organisasi audit yang

disetujui dan diterbitkan oleh BPK. Daftar ini dapat mencakup kedua lembaga

publik - termasuk BPK sendiri - dan perusahaan swasta yang berkualitas dan

profesional. BPK harus menyetujui pilihan tersebut. Auditor harus ditunjuk

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 12

untuk jangka waktu tetap, tidak bertepatan dengan periode antara pemilu

(katakanlah, 3 tahun). Biaya audit harus ditetapkan menurut skala yang

disetujui, dan ditanggung oleh APBD. Laporan audit harus dibuat untuk DPRD

dan menjadi dokumen publik. BPK akan menjalankan pengawasan terhadap

kualitas audit umum dan kinerja masing-masing auditor.

11.12.3 “Kepailitan” Pemerintahan Daerah

  Ketentuan kepailitan yang berlaku terhadap individu dan perusahaan

swasta tidak tepat diberlakukan bagi pemerintah daerah, masyarakat lokal dan

kreditur perlu mendapat perlindungan terhadap kinerja pemerintah daerah

yang buruk karena kesalahan yang parah dalam mengurus keuangan. Hal

tersebut diusulkan untuk dimasukkan dalam peraturan pelaksanaan dari

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 sebuah kekuatan bagi pemerintah

pusat untuk menunjuk komisaris mengambil alih dan menyelamatkan urusan

keuangan pemerintah daerah dalam keadaan seperti itu. Kewenangan

komisaris termasuk mengurus administrasi pajak daerah, kebijakan

pengaturan tarif, dan mungkin pengadaan khusus pajak lokal tambahan atau

biaya tambahan pajak; pelepasan aktiva domain non-publik; renegosiasi

kewajiban kepada kreditur dan kreditur lainnya, restrukturisasi pembentukan

pemerintahan daerah; investigasi khusus dan penuntutan, dan mungkin

kekuatan langsung pengadaan hukuman atas mereka yang bertanggung

jawab untuk kerusakan keuangan daerah, seluruhnya harus tunduk terhadap

putusan pengadilan. Komisaris tersebut akan menjadi ahli berpengalaman dan

dihormati secara luas dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah,

ditunjuk untuk jangka waktu tertentu (1-2 tahun) atas dasar permintaan oleh

DPRD, direkomendasikan oleh auditor eksternal, disetujui oleh kreditor

utama, atau jelas terbukti dapat menyelesaikan krisis keuangan yang parah,

seperti kegagalan atas kewajiban utang besar atau kegagalan untuk

menghasilkan akun keuangan dalam jangka waktu yang wajar. Seorang

komisaris akan diharapkan untuk bekerja dalam skema normal transfer fiskal,

tanpa akses untuk keadaan darurat khusus atau dana penyelamatan.

 

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 13

11.13 Good Governance Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 

Tata pemerintahan yang baik umumnya dipahami dalam empat segi

yaitu transparansi, akuntabilitas, responsif, dan hak asasi manusia, dan

terdapat kesepakatan universal bahwa desentralisasi akan memperkuat

tujuan-tujuan dan nilai-nilai. Tata pemerintahan yang baik sangat penting bagi

proses pembangunan ekonomi dan sosial di semua negara, dan karenanya

secara inheren terkait dengan tujuan mekanisme keuangan. Adanya kerangka

peraturan yang baik menyediakan struktur suara untuk pengelolaan

sebuah negara sumber daya. Sebuah pemerintahan yang baik biasanya

mencakup unsur-unsur berikut: 

Akuntabilitas; 

Transparansi; 

Partisipasi; 

Kesetaraan; 

Supremasi Hukum;

Kapasitas dan kompetensi; 

Tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. 

Dalam beberapa dekade terakhir, terdapat perdebatan besar perihal

manfaat desentralisasi pemerintah.  Pertama yang dinyatakan oleh Tiebout

(1956), bahwa desentralisasi mengarah ke variasi yang lebih besar dalam

penyediaan barang publik, yang disesuaikan untuk lebih memenuhi kebutuhan

penduduk lokal. Memilih diantara masyarakat adalah memilih diantara

perbedaan barang publik di mana sebuah komunitas tinggal, yang diberikan

adalah keputusan untuk menerima penyediaan barang publik yang inginkan

oleh masyarakat itu. Menurut Tiebout, konsumen akan pindah ke yurisdiksi

lokal yang paling mencerminkan tuntutan mereka untuk barang publik, dan

yurisdiksi yang tidak melayani konstituen mereka secara efisien tidak akan

bertahan. Di sisi lain, Tanzi (1996) berpendapat bahwa terdapat banyak

ketidaksempurnaan dalam penyediaan jasa lokal yang dapat mencegah

realisasi manfaat dari desentralisasi. Sebagai contoh, birokrat lokal mungkin

kurang terlatih dan dengan demikian tidak efisien dalam penyampaian barang

dan jasa milik publik. Baru-baru ini, Besley dan Coate (1999) telah

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 14

menunjukkan bahwa terdapat dukungan teoretis yang relatif kecil untuk

mengklaim perbedaan penyediaan layanan. Oleh karena itu, mereka

menegaskan, desentralisasi harus didukung dengan penjelasan ekonomi

politik. Salah satu kemungkinan tersebut, yang telah menerima banyak

perhatian, adalah bahwa akuntabilitas birokrat mungkin berbeda antara sistem

sentralisasi dan desentralisasi. Akuntabilitas, khususnya dalam bentuk

pertanggungjawaban politik adalah persyaratan bahwa pemerintah harus

bertanggung jawab atas tindakan mereka, baik kepada hukum maupun

kepada publik. Secara konvensional akuntabilitas terbagi menjadi akuntabilitas

internal atau kelembagaan dan akuntabilitas eksternal atau publik. Mekanisme

akuntabilitas internal meliputi perangkat seperti akuntabilitas politik untuk

badan-badan terpilih, hirarki formal akuntabilitas administrasi, fiskal dan

hukum, dan sistem nilai profesional. Mekanisme akuntabilitas eksternal yaitu

pemilu, opini publik yang diartikulasikan melalui media dan organisasi

masyarakat sipil, partai politik dan hubungan konstituen, dan bentuk-bentuk

baru audit masyarakat.

Desentralisasi pemerintah telah jelas memberikan kontribusi terhadap

pembangunan beberapa mekanisme di atas, terutama partisipatif warga di

bidang pemeriksaan dan pemantauan. Desentralisasi demokratik juga

memperkenalkan pemilihan umum dan pemegang kantor terpilih ajang di

mana mereka tidak ada sebelumnya atau di mana mereka telah janji tidak

kompetitif. Pemilihan masih merupakan bentuk paling penting dari

akuntabilitas yang mereka perkenalkan di tingkat lokal baik permintaan untuk

akuntabilitas politik internal yang tidak hanya pada waktu terpilih, tetapi juga

antara wakil-wakil terpilih dan konstituen mereka, dan melalui perangkat

partisipatif baru yang disebutkan di atas.

Meskipun akuntabilitas pejabat publik lokal diperlukan untuk mencegah

kebijakan lokal yang tidak efisien dalam ekonomi desentralisasi, ada sedikit

kesepakatan dalam literatur tentang lembaga-lembaga apa yang dapat secara

efektif menjamin akuntabilitas. Di satu sisi, pemilu demokratis dengan akses

gratis terhadap informasi dan pengembangan masyarakat sipil dapat

memberikan pemerintah daerah dengan insentif politik yang cukup untuk

menjamin desentralisasi yang efisien. Argumen ini didasarkan pada

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 15

pandangan bahwa pemerintah daerah lebih akuntabel dibandingkan dengan

pemerintah pusat (Seabright, 1996; Persson dan Tabellini, 2000). Demokrasi

umumnya lebih berhasil dalam mengembangkan kemauan politik untuk

memerangi korupsi dengan menciptakan tiga kondisi: kompetisi antar-partai

dalam bentuk pemilihan umum yang bebas dan adil, legitimasi, dan difusi

kekuasaan politik. Di sisi lain, mekanisme demokrasi gagal di banyak negara-

negara berkembang dan transisi, yang menyebabkan pemerintah daerah yang

korupsi. Dalam hal ini, kontrol administratif kuat dari lokal dengan otoritas

pusat adalah penting bagi desentralisasi ekonomi yang efisien. Alasan ini

memerlukan probabilitas yang lebih rendah menangkap pada tingkat nasional

dibandingkan tingkat daerah.

Riker (1964) menunjukkan bahwa struktur sistem partai juga sangat

penting bagi efektifitas pemerintah daerah. Ia berpendapat bahwa kekuatan

sistem partai nasional lebih penting dalam mendisiplinkan politisi lokal

daripada pengaturan administratif atau konstitusional. Dengan demikian,

desentralisasi mungkin memiliki hasil berlawanan di negara-negara dengan

sumber yang berbeda dari akuntabilitas pemerintah daerah. Beberapa negara

pemimpin baru adalah menerapkan strategi untuk memperbaiki administrasi

publik seperti bea cukai, administrasi perpajakan, kekayaan, peradilan dan

kinerja lembaga keamanan, mengurangi suap dan menciptakan sistem

informasi publik. Dengan pengetahuan ini, rakyat lebih sadar akan hak,

kewajiban dan kesempatan untuk memperoleh keadilan terhadap predasi oleh

agen korup kekuasaan. Para pemimpin ini menghadapi tugas monumental

tidak hanya mengubah lembaga saja, tetapi juga budaya politik

oportunisme. Upaya reformasi seringkali gagal karena pengaruh gabungan

dari strategi yang tidak memadai, perlawanan politik, kegagalan untuk

mempertahankan usaha reformasi jangka panjang dan kurangnya

pengetahuan tentang alat yang sesuai untuk menetapkan perubahan

sistemik. Pelajaran yang dipetik dari program reformasi berhasil menunjukkan

bahwa faktor kunci adalah kemauan politik yang kuat ditunjukkan oleh

komitmen dari kepemimpinan di semua tingkat pemerintahan.

Kemauan politik, dalam konteks ini mengacu pada maksud kredibel

aktor-aktor politik (dipilih atau ditunjuk pemimpin, pengawas masyarakat sipil,

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 16

kelompok stakeholder, dll) untuk menyerang persepsi yang menyebabkan

atau berefek korupsi pada tingkat sistemik. Ini adalah titik awal penting untuk

strategi dan program anti korupsi berkelanjutan dan efektif. Tanpa itu,

pernyataan pemerintah untuk reformasi layanan sipil, memperkuat

transparansi dan akuntabilitas dan menemukan kembali hubungan antara

pemerintah dan industri swasta tetap hanya retorika belaka. Transparansi

lebih tepat tentang apakah masyarakat tahu lebih banyak tentang bagaimana

dan apa dasar keputusan yang telah diambil. Apakah mereka kemudian

menemukan proses-proses tersebut diterima akan mempengaruhi sejauh

mana keputusan sendiri diterima. Baik keberadaan maupun tidak adanya

kemauan politik dapat dianggap dalam inisiatif tunggal. Hal ini terwujud dalam

tingkat mana inisiatif reformasi yang partisipatif dan menggabungkan berbagai

aktor politik dan masyarakat sipil. Kemauan politik dipengaruhi oleh banyak

variabel yang dapat menjadi subjek tindakan. Aturan permainan politik, seperti

prevalensi lembaga demokrasi dan insentif konteks khusus, beberapa yang

dapat dipengaruhi oleh aktor-aktor internasional, mempengaruhi kemauan

politik. Ada beberapa bukti bahwa desentralisasi demokratis dan peningkatan

transparansi yang menyertainya membuat korupsi lebih terlihat, terutama bila

dikombinasikan dengan efek akuntabilitas politik, pelaporan pers bebas dan

kompetisi partai.

Tekad teguh untuk memerangi korupsi bukan hanya menjadi masalah

bagi pemimpin dan birokrasi reformis. Sektor swasta juga, mungkin tidak akan

dapat mengatasi sistem korup. Selain itu, warga menghadapi masalah

memobilisasi tindakan kolektif dan mengubah keyakinan mereka menjadi

perubahan dalam administrasi publik. Mereka mungkin merasa tindakan

individu tidak efektif dan berisiko, dan tindakan kolektif dihambat oleh

kurangnya institusi. Di banyak negara, dan khususnya di negara-negara

berkembang, peran pemerintah sering dilakukan melalui penggunaan

berbagai peraturan atau peraturan. Di negara ini, lisensi, perizinan, dan

otorisasi dari berbagai macam diwajibkan dalam banyak kegiatan. Membuka

kegiatan usaha dan menjaganya tetap berjalan, meminjam uang, investasi,

mengemudi mobil, memiliki mobil, membangun rumah, memancing, membuka

perkebunan dan eksploitasi hutan, bekerjasama dalam perdagangan luar

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 17

negeri, mendapatkan paspor, pergi ke luar negeri, dan seterusnya

membutuhkan dokumen-dokumen spesifik dan otorisasi. Seringkali beberapa

kantor pemerintah harus dihubungi untuk mengotorisasi aktivitas.

Adanya peraturan dan otorisasi memberikan semacam kekuatan

monopoli kepada pejabat yang memiliki wewenang atau untuk memeriksa

kegiatan. Para pejabat dapat menolak otorisasi atau mungkin hanya duduk

dalam keputusan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-

tahun. Dengan demikian, mereka dapat menggunakan kekuatan masyarakat

mereka untuk mendapatkan suap dari mereka yang membutuhkan otorisasi

atau izin. Keberadaan peraturan tersebut menghasilkan kebutuhan untuk

sering melakukan kontak antara warga dan birokrat. Ini juga membutuhkan

sejumlah besar waktu untuk dihabiskan oleh warga negara dalam

memperoleh izin ini dan dalam berurusan dengan pejabat publik. Kali ini yang

diambil dari pengelolaan perusahaan dapat dikurangi melalui pembayaran

suap (Tanzi, 2000).

Dalam konteks Indonesia, korupsi tersebar luas di sebagian besar

wilayah kehidupan publik. Daerah yang paling terpengaruh termasuk

administrasi perpajakan dan kepabeanan, pengadaan publik, partai politik,

harta kekayaan, perbankan dan keuangan sektor, polisi dan peradilan. Sejauh

ini pengujian empiris paling komprehensif terhadap isu-isu ini, dalam konteks

kebijakan desentralisasi di Indonesia dan pelaksanaannya, sumber dominasi

sub pendapatan nasional yang berasal dari transfer antar pemerintah seperti

DAU, dengan pendapatan dari pajak dan sumber daya alam (DBH Pajak dan

DBH -SDA), dalam upaya mendapatkan lebih banyak transfer dari pemerintah,

pemerintah sub nasional dapat berpotensi untuk mempengaruhi para pejabat

pemerintah pusat dan anggota Panitia Anggaran DPR Dana Perimbangan

untuk mengalihkan ke wilayah tertentu dengan kompensasi mengalokasikan

uang atau insentif lainnya untuk masing-masing individu. Sebuah birokrasi

terpusat dari pengambilan keputusan dalam mengalokasikan dana pemerintah

ke daerah menciptakan insentif untuk mengalihkan sumber daya ke daerah-

daerah tidak memenuhi syarat, karena kesediaan mereka untuk membayar

uang suap.

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 18

Teori ukuran-memaksimalkan birokrat dan kekuatan besar pemerintah

menggambarkan bagaimana pemerintah akan mengambil tindakan untuk

memaksimalkan ukuran dan kekuatan dalam melaksanakan fungsi mereka

yang sah. Bahkan lebih bermasalah adalah korupsi, dimana pejabat

pemerintah dan anggota parlemen dari penyalahgunaan kekuasaan mereka

dalam rangka memaksimalkan kekayaan pribadi mereka atau asosiasi

mereka. Efek ini diperdagangkan melawan kerentanan pemerintah daerah

untuk 'menangkap peluang' dari daerah kaya, yang berusaha untuk

memberikan bagian terbesar dari pasokan lokal. Secara umum, mereka

menemukan bahwa hubungan antara desentralisasi dan tingkat ekstraksi Iklan

oleh pihak swasta adalah ambigu. Jadi, sementara ada perasaan bahwa

desentralisasi dan korupsi pemerintah terkait erat, ada banyak

ketidaksepakatan di media apa hubungan antara mereka seharusnya. Oleh

karena itu, terutama sebuah pertanyaan empiris, yang sudah hampir

sepenuhnya belum terselesaikan sampai sekarang ini adalah sebagaimana

penelitian Huther dan Shah (1998), yang memperhatikan korelasi negatif

antara korupsi dan desentralisasi, dimana proses desentralisasi membutuhkan

akuntabilitas dan transparansi.

Secara teori, transparansi dan korupsi harus berbanding terbalik,

sehingga lebih transparan di sub pemerintahan nasional seharusnya berarti

sedikit kesempatan untuk korupsi, karena perilaku tidak jujur akan menjadi

lebih mudah terdeteksi, dihukum, dan putus asa di masa depan. Namun, ada

sedikit keraguan bahwa hubungan ini selalu benar dalam jangka

panjang. Berdasarkan bukti empiris, kita juga mengakui bahwa dalam batas

tertentu ada hubungan mutlak antara desentralisasi fiskal dan korupsi. Ada

banyak faktor yang jelas akan sangat berkorelasi dengan kedua variabel:

misalnya, pendapatan sangat berkorelasi dengan 'kualitas kelola', namun

terukur, dan juga sangat berkorelasi dengan desentralisasi (itu juga diketahui

bahwa pembangunan umumnya disertai oleh desentralisasi). Namun, dari

waktu ke waktu, sejauh bahwa mekanisme akuntabilitas mulai menjadi efektif

dan korupsi mulai menurun, rakyat harus menghargai perbaikan (Litvack dan

Jessica, 2000).

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 19

Pemberantasan korupsi semakin diakui sebagai langkah penting oleh

pemerintah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan mengurangi

kemiskinan. Korupsi umumnya dianggap sebagai salah satu hambatan yang

paling serius terhadap pembangunan. Bukti terakhir menunjukkan bahwa

indikator korupsi berkorelasi negatif dengan hasil ekonomi penting. Mauro

(1995) dan Perry Burki (1998) menyatakan bahwa korupsi akan mengurangi

pertumbuhan ekonomi, melalui pengurangan investasi swasta; Kaufman et

al. (1999) menemukan bahwa terbatasnya pembangunan akibat korupsi, yang

diukur dengan pendapatan per kapita, angka kematian anak, dan

keaksaraan. Beberapa studi menunjukkan bahwa korupsi yang mempengaruhi

pembuatan kebijakan ekonomi. Oleh karena itu, penting untuk memahami

faktor-faktor penentu korupsi dan keterbatasannya dengan menekankan pada

prospek pertumbuhan dan pembangunan.

Literatur teoritis dalam ilmu politik dan ekonomi telah membuat birokrat

berupaya ke arah ini dan telah menekankan pentingnya lembaga dalam

membentuk pola korupsi pemerintah. Namun demikian, literatur empiris terkait

adalah relatif langka.  Penelitian ini mencoba untuk memberikan kontribusi

pada literatur empiris yang muncul pada faktor penentu korupsi pemerintah di

seluruh negara dan dari waktu ke waktu, dengan perhatian khusus yang

ditujukan untuk peran lembaga-lembaga politik. Pada kebanyakan negara

berkembang mendapatkan kontrol yang cukup baik dari ekonomi makro

mereka, hambatan struktural untuk mengurangi intervensi negara dan

membatasi monopoli yang muncul sebagai keprihatinan kebijakan

utama. Pada pertengahan tahun 1990-an bagaimanapun masalah ini datang

akan digantikan oleh keprihatinan terhadap korupsi. Hal ini tidak

mengherankan karena alasan mendasar yang didukung perdagangan/

penggerak liberalisasi pasar adalah pengakuan bahwa pencari pinjaman

dapat tumbuh subur di lingkungan yang sangat dilindungi, banyak

menciptakan peluang kesewenang-wenangan secara informal bagi pejabat

pemerintah dan sektor swasta. Meskipun negara-negara berkembang telah

bersama-sama bekerja secara nyata memerangi korupsi, tekanan dari strategi

mereka telah berkisar sekitar memperbaiki tata kelola: mengurangi intervensi

negara yang sewenang-wenang, reformasi pengelolaan sektor publik,

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 20

reformasi hukum dan peradilan, dan menggunakan mekanisme "suara" warga

negara. Indonesia pada khususnya, dalam krisis ekonomi yang parah, seperti

krisis yang membentangkan banyak tuntutan yang belum pernah terjadi

sebelumnya (dari warga negara) untuk munculnya perubahan kelembagaan.

Inti dari tuntutan tersebut telah menjadi keinginan untuk memberantas

korupsi di semua tingkat pemerintahan. Memang akronim KKN (korupsi,

kolusi, dan nepotisme) telah datang untuk melambangkan panggilan untuk

perubahan mendasar, perubahan bahwa harapan publik akan mengarah pada

pertumbuhan ekonomi baru dan berkelanjutan didorong oleh partisipasi yang

lebih besar dari warga masyarakat dalam pengambilan keputusan publik. Jika

upaya untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan dan dengan

memberantas korupsi adalah untuk memberikan hasil yang berkelanjutan,

harus diberikan dengan prioritas tinggi untuk mengoreksi penyimpangan pasar

yang merusak persaingan yang sehat dan menumbuhkan sewa monopoli

yang berlebihan. Korupsi tumbuh subur di lingkungan yang diatur oleh

pengawasan dan pengendalian yang lemah. Analisis faktor penentu korupsi

harus fokus pada "kelembagaan" yang utama. Dari perspektif ini, lembaga-

lembaga politik tampaknya akan menjadi faktor penentu penting dari

korupsi. Dengan membentuk aturan interaksi antara masyarakat dan politisi,

lembaga-lembaga politik dapat mempengaruhi timbulnya korupsi. Akhirnya,

makro struktur politik - yang terkait dengan sistem politik, keseimbangan

kekuasaan, persaingan pemilihan, dan seterusnya - menentukan insentif bagi

mereka yang bekerja di kantor untuk jujur dan kepada polisi untuk

menghukum perilaku yang buruk.

Bukti empiris menunjukkan bahwa memang terdapat bentuk

pengawasan dan kestabilan yang sangat lemah di pasar yang didominasi oleh

beberapa penjual, terutama di monopoli. Di pasar tersebut, pencari pinjaman

tumbuh subur. Dalam lingkungan ini, mekanisme peraturan yang tidak

transparan dengan mudah dapat menghasilkan korupsi. Penjual dengan

mudah dapat berkolusi untuk menyuap pejabat pemerintah agar lembaga

regulasi mendorong mereka untuk menguasai para konsumen. Konsumen, di

sisi lain, sering menghadapi masalah tindakan kolektif yang serius dan dengan

demikian tidak bisa menjaga tekanan balik. Bukti empiris menunjukkan bahwa

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 21

memang ada kelemahan dari bentuk checks and balances pada pasar yang

didominasi oleh sekelompok kecil penjual, yang memonopoli. Di pasar

tersebut, penyewaan mencari peluang untuk berkembang. Dalam lingkungan

ini, mekanisme peraturan yang tidak transparan memudahkan munculnya

korupsi. Penjual dengan mudah dapat berkolusi untuk menyuap pejabat

pemerintah lembaga regulasi yang dapat memperlakuan mereka lebih baik

dari pada perlakuan mereka terhadap konsumen. Konsumen, di sisi lain,

sering menghadapi masalah tindakan kolektif serius dan dengan demikian

tidak bisa mengatasi tekanan. Hasil tersebut biasanya dalam bentuk produk-

produk yang berkualitas rendah, harga tinggi, dan korupsi yang banyak

sekali. Kurangnya atau tidak samanya akses untuk mendapatkan informasi

merupakan salah satu masalah utama yang menghambat berfungsinya pasar

kompetitif. Perusahaan atau pembeli yang memiliki informasi lebih baik dari

orang lain dapat dan sering menggunakan ini untuk keuntungan mereka dan

merugikan orang lain. Pembentukan standar akuntansi, audit, dan produksi

akan membantu mengatasi masalah ini.

Beberapa negara berkembang sebenarnya telah mengalihkan sektor

publik mereka ke standar internasional untuk menambahkan akuntansi dalam

rangka untuk memudahkan akuntan dalam sektor swasta (terutama di sektor

perbankan), untuk mengevaluasi kinerja dari instansi pemerintah dan dengan

meningkatkan akuntabilitas sektor publik. Mempromosikan suatu kaidah

administrasi publik yang efisien, transparan, dan akuntabel pada Administrasi

Umum yang memiliki pengaruh yang besar pada kinerja instansi pemerintah.

Aturan buruk mendorong inkonsistensi dan merusak perilaku antara pegawai

negeri dan lalu menghasilkan hasil keluaran yang buruk. Pelayanan publik

yang buruk dengan adanya tindak korupsi sering mewarnai semua pelayanan

yang mereka disampaikan. Reformasi layanan sipil dan perbaikan sistem

penganggaran adalah kunci untuk memperbaiki manajemen sektor

publik. Bayaran yang rendah, pembayaran yang rumit dan kuno serta struktur

tunjangan atas pekerjaan, perekrutan yang tidak berbasis merit dan promosi,

dan mandat yang bertentangan sering mencirikan pelayanan sipil di banyak

negara berkembang (termasuk Indonesia). Masing-masing faktor menciptakan

insentif yang mendorong pegawai negeri untuk terlibat dalam korupsi. Tidak

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 22

transparan, inkoheren, dan tidak disiplin sistem penganggaran dengan

sendirinya menciptakan banyak kesempatan untuk korupsi, bekombinasi

dengan layanan sipil yang malfungsi, hal itu memperbanyak

masalah. Memperkuat kemampuan lembaga pengawasan merupakan elemen

penting dari strategi untuk mendorong pengelolaan sektor publik yang lebih

baik. Bentuk Lembaga Pengawasan merupakan bagian penting dari checks

and balances dalam pemerintahan yang menciptakan tekanan pada pegawai

negeri sipil (juga politisi) untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya

sebagaimana ditetapkan dalam mandat badan-badan mereka. Peran mereka

sangat penting di bidang pengadaan di mana kesempatan terjadinya korupsi

di tempat ini adalah yang paling besar.

Partisipasi warga negara, baik melalui LSM, koperasi, atau sejenisnya

yang paling efektif di tingkat mikro atau lokal karena hubungan antara pejabat

publik yang bertanggung jawab terhadap proyek atau program dan warga

negara yang lebih langsung serta didefinisikan dengan baik dan dengan

demikian transparansi dan akuntabilitas yang jauh lebih mudah diperkenalkan

serta ditegakkan. Pada tingkat ini, partisipasi mengambil bentuk  "mekanisme

suara" yang bisa berkisar dari apa yang disebut survei klien tetap pada

layanan pemerintah tertentu atau program untuk partisipasi langsung dalam

pengelolaan (dan dengan juga pengambilan keputusan) seperti yang

ditemukan dalam proyek irigasi di beberapa negara berkembang. Fungsi

dasar dari mekanisme ini adalah untuk menciptakan transparansi yang lebih

dalam pelaksanaan proyek / program dan akuntabilitas yang lebih besar dari

pejabat publik yang bertanggung jawab atas pelaksanaan.

Pola hubungan desentralisasi adalah jelas. Aturan hukum merupakan

hal mendasar untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dan untuk

memelihara pertumbuhan ekonomi dengan demikian semua penting untuk

upaya mengentaskan kemiskinan. Dalam beberapa penelitian empiris

menunjukkan, ada korelasi negatif yang kuat antara aturan hukum dan

korupsi. Di antara lembaga-lembaga hukum, peradilan adalah yang utama

diantara yang lainnya. Karena tanpa penegakan hukum yang efektif dan baik,

apa pun sifat atau orientasi, merupakan konsekuensi kecil. Pada umumnya

penegakan hukum yang lemah menyiratkan hakim yang bisa dibeli dan

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 23

dengan demikian keputusan pengadilan tidak dapat diprediksi. Hal ini memiliki

implikasi negatif bagi investasi, pertumbuhan, dan pengurangan kemiskinan.

Membatasi dan rasionalisasi intervensi pemerintah, reformasi administrasi

publik, dan mendorong partisipasi warga semua ditargetkan untuk mengubah

struktur insentif yang mengatur perilaku pejabat publik dengan cara memaksa

mereka untuk melakukan tugas mereka secara memadai. Dengan demikian

secara tidak langsung mengurangi korupsi. Reformasi ini perlu didukung

dengan upaya yang dirancang untuk menangkap dan menghukum pelaku

tindak pidana korupsi.

Reformasi hukum dan peradilan menciptakan tempat dan sarana untuk

mengadili serta memberikan hukuman pada pejabat yang korup. Strategi

antikorupsi, merupakan mekanisme untuk mengidentifikasi dan menangkap

para pejabat. Pada umumnya dibentuk badan pengawas seperti Independent

Commission Against Corruption di Hong Kong dan Biro Investigasi Praktik

Korupsi. Jika efektif, sebuah badan pengawas mengurangi kesempatan untuk

terlibat dalam kegiatan korupsi dan dengan demikian mengurangi inisiatif

untuk melakukannya. Kurangnya upaya dalam mempromosikan perubahan

dalam peradilan juga bisa menghambat desentralisasi. Ketidakpastian dan

kurangnya pengalaman mungkin menghasilkan beberapa peraturan yang

bermasalah bagi pelaksanaan undang-undang desentralisasi. Tanpa peradilan

yang berfungsi secara memadai, ini akan mendorong penyalahgunaan dan

korupsi di tingkat lokal yang akan lebih sulit dalam pengawasannya. Upaya

anti korupsi juga telah dilakukan. Baru-baru ini, Pemerintah dan DPR telah

sepakat untuk membentuk sebuah komisi independen untuk mengurusi

repositori untuk catatan aset pejabat pemerintah, untuk mengaudit aset-aset,

dan, secara umum, untuk menyelidiki dugaan korupsi di kalangan pejabat

pemerintah. Korupsi membebani biaya ekonomi dan sosial yang cukup besar

di Indonesia. Upaya ini melibatkan perilaku yang tidak produktif dan

mengurangi insentif untuk terlibat dalam perilaku yang produktif. Biaya-biaya

ekonomi termasuk kerugian efisiensi ekonomi yang ditimbulkan oleh

kesalahan alokasi sumber daya, menurunnya daya saing, dan tingginya biaya

transaksi. Hilangnya kesempatan juga terlihat, dari hasil survey dijelaskan

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 24

bahwa ada sekitar 35% dari perusahaan yang tidak berinvestasi di Indonesia

akibat biaya tinggi karena korupsi.

Indonesia telah bergerak secara signifikan di pemerintahan pada

beberapa tahun terakhir. Sejumlah perusahaan besar berbasis monopoli dan

kartel sedang atau telah pailit.  Pemilihan umum secara langsung berjalan

lancar dan telah membuka jalan bagi akuntabilitas pemilu untuk memainkan

beberapa peran dan membatasi perilaku pemerintah yang sewenang-

wenang. Sebagian besar undang-undang tentang otonomi daerah, anti-

monopoli, kepailitan, dan anti korupsi/nepotisme/kolusi telah selesai

didiskusikan dan prosedur pelaksanaannya sedang berlangsung. LSM dan

media diberikan kebebasan untuk mengamati dan mengkritik kebijakan

pemerintah, program, dan pelaksanaannya. Semua ini adalah upaya untuk

meningkatkan kinerja pemerintah dan mengurangi akibat dari korupsi. Korupsi

dan kebijakan anti-korupsi telah menjadi isu politik sejak tahun 1999, ketika

Pemerintahan yang baru memiliki visi yang salah satu prioritasnya untuk

memerangi korupsi.

Pemerintah mengambil langkah-langkah penting untuk membatasi

pengaruh kejahatan terorganisir terhadap perekonomian. Pemerintah dan

parlemen membuat undang-undang baru untuk memerangi korupsi yang

dikenal sebagai UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dan kemudian diamandemen dengan Undang-undang Nomor

20 Tahun 2001, selanjutnya pemerintah dengan persetujuan DPR

memutuskan untuk menetapkan Undang-undang No 30 tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak itu, Strategi anti korupsi Nasional

dipimpin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tujuan

mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi. Dari Visi KPK terlihat kemauan

yang kuat dalam memerangi korupsi. KPK menyadari bahwa pemberantasan

korupsi di Indonesia akan memakan waktu dan usaha yang keras, karena

tidak ada solusi yang cepat. bagaimanapun, Indonesia perlu menempatkan

masalah korupsi secara komprehensif dan sistematis.

KPK harus menjadi menjadi lembaga menumbuhkan budaya anti-

korupsi di masyarakat, pemerintah, dan lingkungan usaha. Tanpa partisipasi

holistik dan komprehensif masyarakat sipil, pemerintah, dan komunitas usaha,

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 25

perang melawan korupsi tidak akan pernah berhasil. Baik Pemerintah dan

LSM harus berperan aktif dalam menempatkan korupsi sebagai agenda utama

publik dan merumuskan kebijakan anti korupsi nasional. Selain itu, Indonesia

harus menerapkan upaya terbaik dalam pemberantasan korupsi seperti

penggunaan dan pelaksanaan upaya internasional yang bersifat anti-korupsi.

Pendekatan komprehensif dilakukan dengan membahas lima bidang utama :

1. Penggunaan dan implementasi instrumen hukum internasional yang

bersifat anti-korupsi; 

2. Promosi tata pemerintahan yang baik,

3. Memperkuat Peraturan Hukum;

4. Promosi transparansi dan integritas dalam operasi bisnis;

5. Pengembangan masyarakat sipil yang aktif. 

Meskipun sejumlah undang-undang penting telah berlalu, terutama tentang

kebebasan informasi, beberapa reformasi seperti reformasi administrasi

publik semakin tidak efektif, dan koordinasi tentang upaya-upaya anti korupsi

semakin menurun hingga saat ini.

Selain itu, Strategi Anti Korupsi Nasional tetap fokus pada korupsi

tingkat rendah, dan hampir tidak ada kemajuan dalam upaya pemberantasan

korupsi di tingkat Pemerintah, DPR dan partai politik. Yang lebih

mengkhawatirkan, adanya keraguan mengenai apakah pemerintah bisa

mengejar reformasi di daerah di mana kepentingan lebih kuat menentang,

seperti badan yudisial, administrasi pajak dan pabean. Hal-hal yang berkaitan

dengan korupsi pajak diwujudkan dalam undang-undang dan administrasi

pajak. Dalam hal per Undang-undangan, pengaruh yang diberikan terdapat

pada kata-kata dari isi hukum yang bersangkutan. Hal ini diberikan antara lain

mengenai definisi barang kena pajak, termasuk pengecualian, ruang lingkup

dan struktur tarif pajak, serta dasar untuk penilaian. Dalam administrasi pajak,

pengaruh yang diberikan pertama-tama dengan mendorong interpretasi

tertentu atau ketentuan hukum yang berlaku, dalam rangka membangun

definisi tertentu dari rutinitas pajak. Kedua, pengaruh yang diberikan pada

berbagai tahap proses perpajakan, untuk tujuan yang sama. Langkah-langkah

ini dapat dipengaruhi oleh korupsi, sekalipun untuk tingkat yang bervariasi

pada identifikasi dan pendaftaran wajib pajak, penilaian dan pengumpulan

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 26

pajak, pemantauan pembayaran masuk, penilaian biaya tambahan atau

pengembalian uang, atau pemeriksaan oleh otoritas pajak (dugaan

pelanggaran pajak). Korupsi melanggar prinsip-prinsip penganggaran dan

manajemen pengeluaran, serta kompromi akan politik legislatif. Pemerintah

saat ini beralih ke reformasi kelembagaan yang lebih mendalam dalam

mencegah korupsi. Selanjutnya, pemerintah berupaya memerangi korupsi

dengan tata kelola indikator yang mulai membaik. Kerangka kelembagaan

baru untuk menyelidiki dan menuntut kasus-kasus korupsi sepenuhnya telah

berjalan dan sudah menunjukkan hasil. Tetapi keberhasilan awal dalam

menuntut korupsi, belum mampu menutupi kekurangan dalam

mengembangkan dan menerapkan strategi yang koheren serta fokus untuk

pencegahan korupsi. Tetapi meskipun keberhasilan yang didapat pada awal

pemberantasan korupsi, masih ada kekurangan dalam mengembangkan dan

menerapkan strategi, koheren serta fokus  untuk pencegahan korupsi. Hal ini

sangat dibutuhkan pendekatan yang serius guna meningkatkan pelayanan

masyarakat dan reformasi administrasi, reformasi hukum dan peradilan,

ukuran akuntabilitas pada tingkat pemerintah daerah, serta isu-isu yang lebih

sensitif dari partai politik dan pendanaan pemilu dan peran serta yayasan

publik (yayasan) . Tanpa kemajuan di bidang ini, keuntungan awal dari

gerakan anti korupsi pemerintah tidak dapat diterjemahkan ke dalam

perbaikan berkelanjutan dalam kualitas pemerintahan. Untuk meningkatkan

kredibilitas, Pemerintah pada awalnya memfokuskan diri pada kampanye anti-

korupsi. Daripada penargetan individu, Pemerintah memperkuat kerangka

kelembagaan antikorupsi. Lembaga-lembaga baru tersebut seperti Komisi

Anti-Korupsi, Mahkamah Anti-Korupsi, Antar Task Force (Tim TasTipikor), Tim

Pemburu (Tim Pemburuan), Komisi yudisial, Komisi Kepolisian, dan Komisi

Kejaksaan telah diberikan otonomi dan wewenang yang cukup besar,

sebagian besar telah memberikan hasil yang nyata. Lembaga yang seperti

BPK Komisi, dan Analisis Transaksi Keuangan Pusat (PPTAK), dan

Kejaksaan Agung menjadi lebih aktif. profil investigasi korupsi tinggi telah

diluncurkan di setiap tingkat pemerintahan dan bahkan di antara beberapa

perusahaan milik negara. Ini telah menyebabkan sejumlah tuntutan yang

sukses (World Bank, 2006).

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 27

Reputasi Indonesia dimata dunia internasional sangat memprihatinkan

sekali khususnya mengenai korupsi, dimana peringkat Indonesia berada pada

tingkatan paling bawah bersama negara-negara paling korup di Dunia. Hal ini

juga dianggap sebagai sesuatu yang sangat mengkhawatirkan dari waktu ke

waktu terutama dalam mengendalikan korupsi. Indonesia menyamakan

korupsi sebagai suatu penyakit yang harus diberantas, mengumumkan setiap

kasus korupsi yang ditemukan. Meskipun persepsi mungkin sangat

dipengaruhi oleh keterbukaan yang baru saja terjadi di era demokrasi

Indonesia, korupsi akan membawa dampak yang tinggi dan membebankan

biaya sosial dan memperparah kondisi ekonomi. Hal ini juga memberikan

dampak terhadap hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah. Posisi Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi meningkat pada

tahun 2006. Pada daftar yang dikeluarkan oleh Transparency International

selama tahun 2006, Indonesia ditempatkan sebagai peringkat ketujuh paling

korup dari 163 negara, sedangkan pada tahun 2005 Indonesia adalah

peringkat keenam dari 158 negara yang disurvei. Meskipun demikian,

bagaimanapun, Indonesia masih mampu mengangkat dirinya dari kelompok

negara yang menghadapi masalah korupsi sangat serius (di bawah tiga pada

indeks). Di Asia Tenggara, posisi Indonesia pada tahun 2006  lebih baik

sedikit bila dibandingkan dengan Myanmar. Hal ini terlepas dari fakta bahwa

pada tahun sebelumnya, Indonesia masih dalam kelompok yang sama seperti

Laos, Filipina dan Kamboja. Dengan kata lain, selama tahun 2006 tiga negara

tersebut berhasil mengangkat diri mereka keluar dari kelompok terburuk,

sementara Indonesia tetap bertahan diposisi tersebut.

Betapapun, berdasarkan publikasi yang dikeluarkan oleh Transparency

International (TI) pada tanggal 6 November 2006, korupsi di Indonesia

dianggap pada tingkat skor di 2,4 pada skala dari nol sampai sepuluh, dimana

nol mengindikasikan tingginya tingkat persepsi korupsi yang dirasakan dan

sepuluh menunjukkan rendahnya tingkat korupsi yang dirasakan. Pada

peringkat indeks korupsi indonesia berada pada ranking 130 di antara 163

seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11.1. Dengan kata lain, berdasarkan

publikasi TI 2006 Indonesia ditempatkan sebagai ranking ketujuh dari negara

di dunia yang paling korup dari 163 negara, sedangkan pada tahun 2005

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 28

Indonesia adalah keenam dari 158 negara yang disurvei.  Walaupun demikian,

Indonesia masih mampu mengangkat dirinya keluar dari kelompok negara

yang menghadapi masalah korupsi sangat serius (di bawah tiga pada

indeks). Untuk lingkup Asia Tenggara, posisi Indonesia pada tahun 2006

hanya lebih baik dari Myanmar. Hal ini terlepas dari fakta bahwa pada tahun

sebelumnya, Indonesia masih dalam kelompok yang sama seperti Laos,

Filipina dan Kamboja. Dengan kata lain, selama tahun 2006 tiga negara

tersebut berhasil mengangkat diri mereka keluar dari kelompok terburuk,

sementara Indonesia tetap tempat itu, walaupun terjadi nilai peningkatan dari

2002 di 1,9, meningkat menjadi 2,2 dan 2,4 pada tahun 2005 dan 2006. 

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2006 adalah indeks gabungan

yang mengacu pada survei pendapat beberapa ahli bahwa jajak pendapat

persepsi korupsi sektor publik di 163 negara di seluruh dunia, lingkup terbesar

dari IPK saat ini. Hampir tiga perempat negara yang dinilai skor IPK-nya di

bawah lima, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar negara dunia sedang

dalam menghadapi tingkat korupsi domestik yang serius. Tujuh puluh satu

negara, hampir setengah skor di bawah tiga, menunjukkan bahwa korupsi

dianggap merajalela (Transparency International, 2006). Dengan demikian

Indonesia yang berada pada tingkat skor 2,4 pada tingkat korupsi tertinggi di

dunia dimana korupsi dianggap sebagai kekerasan korupsi dan

perkembangannya memburuk berlebihan di tingkat persepsi korupsi. 

Meskipun sebagian besar dunia internasional dan survei korupsi masih

menempatkan Indonesia pada posisi di bawah untuk berbagai indikator, ada

tanda-tanda terjadinya kemajuan baru. Telah ada kemajuan dalam

menerapkan reformasi strategi kelembagaan dan kebijakan untuk mencegah

korupsi, dan melakukan perbaikan yang berkelanjutan dalam

pemerintahan. Ada hambatan penting yang mencegah terobosan nyata pada

pemerintahan tetap layanan sipil dan reformasi administrasi. Pemerintah

meluncurkan beberapa keterbukaan yang menjanjikan di area ini, tetapi telah

menghadapi beberapa rintangan. Hukum dan reformasi peradilan masih

berjalan lambat dalam melaksanakan Blueprints yang merupakan kesempatan

terbaik untuk mencapai hasil. "Money politics" melemahkan hubungan antara

persaingan politik yang lebih besar dan tata pemerintahan yang baik. Agenda

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 29

pemerintahan harus diperluas untuk menangani aliran dana ilegal melalui

pembiayaan partai peserta pemilu dan politik, korupsi legislatif, dan yayasan

kuasi negara (yayasan) >>(quasi :pura-pura, tak benar)<<. Dengan

membandingkan hasil survei pada tingkat perusahaan, pada iklim investasi

Indonesia tahun 2003-2005, publik cenderung meyebutkan berbagai

hambatan untuk melakukan bisnis yang berasal dari pemerintah, meliputi

korupsi, sistem hukum dan resolusi konflik, dan administrasi pajak. Namun

demikian, telah menunjukkan perbaikan dalam penanganan korupsi tingkat

nasional, dan ini merupakan titik cerah bagi masa depan.

Tabel 11.1: Indeks Korupsi Transparency International 2006.

Selamat bekerja kembali, tetap semangat dan...sukses! ^_^

Chapter 11 | Financial Management and Good Governance 30