bab 1 pendahuluan bab 3 metode.docx

32
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan Universitas Negeri Jember (Unej) memiliki banyak sekali lahan kosong yang berupa lahan biasa maupun lahan pertanian. Pada setiap lahan memiliki ekosistem yang berbeda dan karakteristik yang berbeda pula. Pada lahan pertanian biasanya memiliki penyususn ekosistem yang beragam karena tanah lebih gembur atau subur. Biasanya pada setiap ekosistem memiliki densitas maupun jenis vegetasi yang berbeda serta memiliki tekstur tanah yang berbeda pula. Bagi sebagian besar hewan darat tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. Dari segi klimatologi tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi. Komposisi tanah berbeda-beda pada suatu lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah. Densitas maupun jenis vegetasi dan tekstur tanah yang berbeda akan memberikan suatu jenis ekosistem yang berbeda terutama hewan invertebrata yang hidup di dalam tanah yaitu cacing. Cacing pada umumnya, memilih tempat tinggal pada tekstur tanah yang gembur dimana pada bagian atas tanah terdapat banyak sekali vegetasi. Hubungan antara densitas, jenis vegetasi, tanah yang meliputi : tekstur, suhu, Ph dan kelembaban tanah akan memepengaruhi populasi hewan invertebrata yang hidup di dalam tanah yaitu cacing. Oleh karena itu, monitoring populasi hewan invertebrata perlu dilakukan agar dapat mengetahui keadaan suatu ekosistem serta dapat mengetahui 1

Upload: lusiana

Post on 15-Jan-2016

295 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan Universitas Negeri Jember (Unej) memiliki banyak sekali lahan kosong

yang berupa lahan biasa maupun lahan pertanian. Pada setiap lahan memiliki ekosistem

yang berbeda dan karakteristik yang berbeda pula. Pada lahan pertanian biasanya

memiliki penyususn ekosistem yang beragam karena tanah lebih gembur atau subur.

Biasanya pada setiap ekosistem memiliki densitas maupun jenis vegetasi yang berbeda

serta memiliki tekstur tanah yang berbeda pula.

Bagi sebagian besar hewan darat tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. Dari

segi klimatologi tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan

erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi. Komposisi tanah berbeda-beda pada

suatu lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah.

Densitas maupun jenis vegetasi dan tekstur tanah yang berbeda akan memberikan

suatu jenis ekosistem yang berbeda terutama hewan invertebrata yang hidup di dalam

tanah yaitu cacing. Cacing pada umumnya, memilih tempat tinggal pada tekstur tanah

yang gembur dimana pada bagian atas tanah terdapat banyak sekali vegetasi.

Hubungan antara densitas, jenis vegetasi, tanah yang meliputi : tekstur, suhu, Ph dan

kelembaban tanah akan memepengaruhi populasi hewan invertebrata yang hidup di dalam

tanah yaitu cacing. Oleh karena itu, monitoring populasi hewan invertebrata perlu

dilakukan agar dapat mengetahui keadaan suatu ekosistem serta dapat mengetahui

populasi hewan invertebrata yang hidup pada suatu ekosistem tertentu dengan melihat

komponen-komponen penyusun seperti vegetasi dan tanah.

1.2 Rumusan masalah

a. Apa saja teknik monitoring populasi hewan Invertebrata?

b. Bagaimana cara melakukan monitoring populasi hewan Invertebrata?

1.3 Tujuan

a. Mengenal beberapa teknik monitoring populasi hewan Invertebrata.

b. Dapat melakukan kegiatan monitoring populasi hewan Invertebrata tanah ( cacing

tanah ) pada suatu ekosistem di sekitarnya.

1

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Populasi adalah kumpulan individu sejenis yang menempati suatu daerah tertentu.

Populasi suatu jenis makhluk hidup pada tiap-tiap habitat memiliki kepadatan yang tidak

sama. Jumlah individu sejenis dalam suatu satuan luas daerah tertentu disebut kepadatan

populasi (Sumarwan dkk, 1996).

Individu dari berbagai jenis populasi akan mengalami perubahan baik dari musim ke

musim maupun dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor baik

antara faktor biotis maupun antara faktor biotis dan abiotis (Karmana, 1988).

Menurut Karmana (1988), dari waktu ke waktu jumlah populasi mengalami

perubahan. Perubahan yang terjadi dapat mengurangi jumlah populasi. Perubahan populasi

makhluk hidup dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:

1. Ruang gerak atau luas tempat hidupnya.

2. Makanan yang tersedia.

3. Peristiwa alam yang tidak terduga, misalnya gempa bumi, hujan lebat, banjir dan

angin topan, perubahan suhu yang mendadak, tanah longsor dan lain sebagainya.

4. Pemberantasan dan pembudidayaan hewan dan tumbuhan tertentu dengan sengaja.

Pertumbuhan populasi itu ditentukan oleh daya biak spesies. Semakin besar daya biak

suatu spesies, akan semakin besar populasinya. Semakin besar populasi itu, semakin banyak

kebutuhan makanannya. Demikian pula kebutuhan akan oksigen, air, dan ruangan (Syamsuri,

2000).

Kepadatan populasi adalah ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah

atau biomassa persatuan luas atau persatuan volume. Untuk mengetahui kepadatan suatu jenis

organisme di habitatnya maka dilakukan penghitungan. Penghitungan kepadatan populasi

suatu organisme dapat dilakukan dengan cara menghitung semua (hitung total) jumlah

organisme itu di habitatnya tersebut, dan angka tersebut merupakan kepadatan absolut. Pada

2

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

keadaan tertentu, tidak mungkin dapat dilakukan penghitungan untuk seluruh anggota

populasi yang terdapat di habitat alami yang sangat luas. Untuk itu, hanya dapat dilakukan

penaksiran kepadatan populasi organisme tersebut yaitu dengan cara pengambilan contoh.

Berdasarkan parameter contoh itulah ditaksir kepadatan populasi (Syamsuri, 2000).

Taksiran kepadatan populasi berdasarkan contoh adalah dengan cara menghitung

jumlah organisme yang diteliti dalam satuan unit contoh dari seluruh habitatnya. Diambil

sebesar ukuran tertentu dan organisme yang terdapat dalam contoh tadilah yang dihitung.

Bila habitatnya itu merupakan suatu daerah yang luas, maka diambillah seluas tertentu dari

daerah itu dan dari daerah itu dihitunglah organisme yang terdapat di dalamnya. Satuan

kepadatan populasi yang didapat dengan cara ini dinyatakan dengan jumlah persatuan luas

contoh (Suin, 2003).

Menurut Suin (2003), kesalahan penaksiran kepadatan populasi berdasarkan contoh

tergantung pada tiga hal:

1. Populasi dalam tiap kuadrat contoh yang diambil harus dapat dihitung dengan

tepat;

2. Luas atau satuan tiap kuadrat harus jelas dan pasti;

3. Kuadrat contoh yang diambil harus dapat mewakili seluruh area atau daerah

penelitian.

Menurut Suin (1997), salah satu cara untuk menghitung kepadatan hewan tanah yaitu

dengan menggunakan metoda formalin. Dengan metode ini semacam zat kimia dituangkan di

tanah dan diharapkan cacing tanah yang ada di tanah tersebut akan keluar dan cacing itu

diambil, dihitung dan dikoleksi. Metoda ini kurang baik untuk jenis cacing tanah yang

membuat lubang horizontal di tanah karena cairan formalin itu tidak sampai sempurna pada

cacing.

3

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

Konsentrasi formalin yang digunakan yang disarankan adalah berkisar antara 0,165 -

0,55 % dan sebaiknya 0,27 %. Walaupun demikian, tergantung pula pada keadaan tingkat

kekeringan tanah. Untuk membuat formalin dengan konsentrasi 0,55 % maka 25 ml formalin

40 % dicampur dengan air sebanyak 1 gallon (sekitar 4,5 liter). Sebanyak 9 liter formalin

0,75 % digunakan untuk mengkoleksi cacing tanah pada plot seluas 0,5 m² dengan pemberian

sebanyak 3 kali ( tiga liter tiap pakainya) dengan selang waktu 10 menit. Pengaruh kadar air

dan suhu sangat besar terhadap jumlah cacing yang didapat (Suin, 2003).

Hewan tanah adalah hewan yang hidup di tanah. baik yang hictup di permukaan tanah

maupun yang terdapat di dalam tanah. Peranan hewan tanah pada ekosistim tanah sangat

penting, yakni mendekomposisi materi tumbuhan dan hewan yang telah mati. Oleh karena itu

berperan secara langsung dalam mempertahankan dan memperbaiki kesuburan tanah

(Manurung dan Petrus, 2009:4).

Keanekaragaman hayati tanah memegang peranan penting dalam memelihara

keutuhan dan fungsi suatu ekosistem. Ada tiga alasan utama untuk melindungi

keanekaragaman hayati tanah, yaitu:

(a) secara ekologi; dekomposisi dan pembentukan tanah merupakan proses kunci di

alam yang dilakukan oleh organisme tanah dan berperan sebagai ‘pelayan ekologi’

bagi eksistensi suatu ekosistem,

(b) secara aplikatif; berbagai jenis organisme tanah telah dimanfaatkan dalam

berbagai bidang misalnya pertanian, kedokteran dan sebagainya, dan

(c) secara etika; semua bentuk kehidupan , termasuk biota tanah memiliki nilai

keunikan yang tidak dapat digantikan.

(Hagvar, 1998).

Organisme tanah dapat dikelompokkan berdasarkan pendekatan taksonomi dan

fungsionalnya. Brussard (1998) membedakan tiga kelompok fungsional organisme tanah,

4

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

yaitu: biota akar, dekomposer dan ‘ecosystem engineer’. Wallwork (1970) mengelompokkan

fauna tanah berdasarkan: ukuran tubuh(makrofauna, mesofauna dan mikrofauna), status

keberadaannya di tanah (sementara/transien, temporer, periodik dan permanen), preferensi

habitat (hidrofil, xerofil) dan aktivitas makannya (karnivora, saprofagus, fungifagus dan

sebagainya). Sedangkan Sugiyarto (2000) membedakan makrofauna tanah berdasarkan

tempat aktivitasnya yang dominan, yaitu makrofauna tanah yang aktif di permukaan tanah

dan di dalam tanah. Struktur dan komposisi organisme tanah, terutama makroinvertebrata,

sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Decaens et al. (1998) melaporkan bahwa

terdapat dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap komunitas

makroinvertebrata tanah, yaitu: (a) struktur vegetasi yang menentukan keragaman

mikrohabitat dan kondisi/tingkah laku makroinvertebrata dan (b) produksi dan kualitas

seresah yang tergantung pada karakter vegetasinya serta populasi organisme herbivora

(Sugiyarto, et all, 2002:1).

Distribusi suatu hewan tanah di suatu daerah tergantung pada keadaan faktor fisika

kimia lingkungan dan sifat biologis hewan itu sendiri. Kebanyakan hewan distribiusinya

berkelompok, yang mana mereka memilih hidup pada habitat yang paling sesuai baginya di

tanah, baik sesuai faktor fisika kimia tanah maupun tersedianya makanan. Faktor fisika kimia

tanah, walaupun berdekatan tidak persis sama, demikian pula tersedianya makanan bagi

hewan tanah disana, dan hal ini ikut menentukan mengapa hewan tanah kebanyakan hidup

berkelompok (Edwards dan Lofty, 1977).

Cacing tanah merupakan hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata) yang

digolongkan ke dalam filum Annelida, ordo Oligochaeta, dan kelas Chaetopoda yang hidup

dalam tanah. Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi karena tubuhnya tersusun

atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa

5

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

pasang seta, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan

bergerak (Edwards dan Lofty, 1977).

Secara alamiah, morfologi dan anatomi cacing tanah berevolusi menyesuaikan diri

terhadap lingkungannya. Arlen (1994) menjelaskan bahwa cacing tanah yang ditemukan

hidup di tumpukan sampah dan tanah sekitarnya mempunyai ukuran panjang sangat

bervariasi, yaitu berkisar antara beberapa milimeter sampai 15 cm atau lebih.

Gambar morfologi cacing tanah dapat dilihat di bawah ini :

Gambar 1. Morfologi cacing tanah

Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-

segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral, diselaputi oleh

epidermis berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan seta, kecuali pada dua segmen

pertama (bagian mulut), bersifat hemaphrodit (berkelamin ganda) dengan peranti kelamin

seadanya pada segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi

tertentu akan membengkak membentuk klitelium (tabung peranakan atau rahim), tempat

mengeluarkan kokon (selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin

(kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung serupa cacing

dewasa. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya

terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium

(Edwards dan Lofty, 1977; Hanafiah, et all, 2003).

Secara struktural, cacing tanah mempunyai rongga besar coelomic yang mengandung

coelomycetes (pembuluh-pembuluh mikro), yang merupakan sistem vaskuler tertutup.

Saluran makanan berupa tabung anterior dan posterior, kotoran dikeluarkan lewat anus atau

6

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

peranti khusus yang disebut nephridia. Respirasi (pernapasan) terjadi melalui kutikuler

(Hanafiah, et all, 2003).

Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana

cacing tanah itu berada. Lingkungan yang dimaksud disini adalah kondisi-kondisi fisik,

kimia, biotik dan makanan yang secara bersamasama dapat mempengaruhi populasi cacing

tanah. Faktor-faktor ekologis yang memengaruhi cacing tanah meliputi: (a) keasaman (pH),

(b) kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik, (f) jenis, dan (g) suplai

nutrisi (Arlen, 1984; Hanafiah, et all, 2003).

Cacing tanah umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya

yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran. Kemampuan hewan ini

dalam mengonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung pada ketersediaan jenis serasah

yang disukainya, disamping itu juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah.

(Edwards dan Lofty, 1977).

Cacing tanah yang tersebar di seluruh dunia berjumlah sekitar 1.800 spesies. Cacing

tanah yang terdapat di Indonesia tergolong ke dalam famili Enchytraeidae, Glassocolicidae,

Lumbricidae, Moniligastridae, Megascolicidae. Genus yang pernah ditemukan ialah

Enchytraeus, Fridericia, Drawida, Dichogaster, Eudichaster,Pontoscolex, Pheretima,

Megascolex, Perionyx dan Allolobophora. Dari hasil penelitian Sudarmi (1999) diketahui tiga

spesies cacing tanah yang karakteristik hidup pada tumpukan sampah organik pasar yaitu

spesies Megascolex sp, Peryonix sp dan Drawida sp. Dari hasil penelitian Arlen, dkk (1994),

telah didapatkan tujuh spesies cacing tanah pada tempat pembuangan akhir (TPA) sampah

dan di timbunan sampah rumah tangga pada beberapa kecamatan Kotamadya Medan, yaitu

Megascolex sp1, Megascolex sp2, Peryonix sp, Fridericia sp, Drawida sp, Pontoscolex

corethrurus dan Pheretima sp.(Arlen, 1994; Suin, 1989; Hanafiah, et all, 2003).

7

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

Megascolex sp. lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH sedikit asam (<6),

kelembaban tanah berkisar antara 80-90% dan kadar organik tergolong tinggi (>1%),

sedangkan cacing tanah dari spesies Drawida sp lebih menyukai kondisi lingkungan dengan

pH netral (6-7), kelembaban tanah berkisar antara 8595%, dan kadar organik tergolong cukup

rendah (>1%). Pontoscolex corethrurus lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH

sedikit asam (<6) dengan kadar organik tergolong cukup tinggi (Arlen, 1984, 1998; Sudarmi,

1999).

Arlen. 1984. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Populasi Cacing Tanah. Paper

Sarjana Muda. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Universitas Andalas Padang.

8

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jadwal Pengamatan

Hari/Tanggal : Selasa, 21 April 2015

Tempat : Kebun Gedung Pendidikan Biologi dan kebun Fakultas Teknik UNEJ

Waktu : 06.00 - selesai

3.2 Alat dan Bahan

Alat

1. Sampler yang terbuat dari pipa besi,

volume sampler 500 cc

2. Penjepit / pinset

3. Penggaris

4. Neraca

5. Soil tester

6. Hygrometer

7. Cangkul

8. Tali raffia

Bahan

1. Sampel tanah

2. Alkohol 70%

3.3 Prosedur Kerja

9

Membuat ploting tanah yang menjadi sampel dengan ukuran 1 m x 1 m x 1 m

dengan ulangan sebanyak 3 kali pada ekosistem kebun didekat Fakultas Teknik,

Universitas Jember.

Mencangkul tanah sebanyak tiga lubang sedalam 30cm dalam plot untuk mengambil

cacing yang ada diarea tersebut. Tiap lubang dilihat apakah ada cacing yang terdapat

pada setiap lubang

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

Galian 3

Galian 1Galian 2

3.4 Desain Praktikum

a. Plotting di Fakultas Teknik

b. Plotting di Fakultas FKIP

10

Melakukan hal yang sama seperti langkah sebelumnya pada ekosistem di dekat

gedung pendidikan biologi,FKIP,Universitas Jember.

Melakukan pengukuran pada tiap lubang dalam plot :mencatat densitas vegetasi

dan jenis vegetasi, mencatat jumlah cacing yang didapat, mengukur dan mencatat

tekstur, suhu serta kelembaban tanah dengan soil tester dan mengukur dan

mencatat suhu serta kelembaban udara dengan hygrometer.

1 m

1 m 1 m

1 m

1 m

1 m 1 m

1 m

Galian 3

Galian 1

Galian 2

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

4.1.2 ANALISIS DATA

Tabel 1 Deskriptif Lokasi Terhadap Jumlah Cacing Tanah

 

N Mean Std. DeviationLokasi

Cultivated 18 3,89 2,988

Uncultivate

d

18 2,00 3,218

Total 36 2,94 3,207

Tabel 2 ANOVA Jumlah Cacing Tanah

  Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 32,111 1 32,111 3,331 ,077

Within Groups 327,778 34 9,641    

Total 359,889 35      

p > 0,05, maka perbedaan lokasi cultivated dan uncultivated berpengaruh secara tidak

signifikan terhadap densitas cacing tanah (F = 3,331, df = 1, p = 0,077).

Tabel 3 Perbandingan Jumlah Cacing Tanah antara Lokasi Cultivated dan Uncultivated

(I) Lokasi (J) Lokasi Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.a

Cultivated Uncultivate

d

1,889 1,035 ,077

Uncultivated Cultivated -1,889 1,035 ,077

p > 0,05, maka antara lokasi cultivated dan uncultivated berbeda secara tidak signifikan (p =

0,077).

Tabel 4 Deskriptif Lokasi Terhadap Rerata Berat Cacing Tanah

 

Lokasi N Mean Std. Deviation

Cultivated 18 ,24 ,251

Uncultivate

d

18 ,32 ,311

11

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

Total 36 ,28 ,282

Tabel 5 ANOVA Rerata Berat Cacing Tanah

  Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups ,066 1 ,066 ,828 ,369

Within Groups 2,710 34 ,080    

Total 2,776 35      

p > 0,05, maka perbedaan lokasi cultivated dan uncultivated berpengaruh secara tidak

signifikan terhadap rerata berat cacing tanah (F = 0,828, df = 1, p = 0,369).

Tabel 6 Perbandingan Rerata Berat Cacing Tanah antara Lokasi Cultivated dan Uncultivated

(I) Lokasi (J) Lokasi Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.a

Cultivated Uncultivate

d

-,086 ,094 ,369

Uncultivated Cultivated ,086 ,094 ,369

p > 0,05, maka antara lokasi cultivated dan uncultivated berbeda secara tidak signifikan (p =

0,369).

12

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

4.2 PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini adalah pengamatan tentang monitoring populasi invertebrata

yang tujuannya adalah untuk mengenal beberapa teknik monitoring populasi hewan

invertebrata yang salah satunya dengan cara menggali beberapa sampel lahan untuk

mengetahui populasi ewan invertebrata tertentu. Dan tujuan yang kedua adalah untuk

melakukan kegiatan monitoring populasi hewan invertebrata tanah atau cacing tanah pada

suatu ekosistem di sekitarnya. Dengan demikian kita akan bisa mengetahui tingkat kepadatan

populasi dalam satuan luas area. Pengertian dari kepadatan populasi ini sendiri didukung oleh

sebuah literatur menurut Sumarwan dkk, (1996) yang menyatakan bahwa populasi adalah

kumpulan individu sejenis yang menempati suatu daerah tertentu. Populasi suatu jenis

makhluk hidup pada tiap-tiap habitat memiliki kepadatan yang tidak sama. Jumlah individu

sejenis dalam suatu satuan luas daerah tertentu disebut kepadatan populasi.

Pada praktikum ekologi hewan kelas kami terbagi menjadi 6 kelompok dan dari

setiap kelompok akan melakukan 2 kali kerja pada tempat yang berbeda yaitu memonitoring

cacing tanah pada cultivated area (fakultas pertanian) dan uncultivated area (di samping

FKIP). Langkah kerja yang dilakukan pada masing-masing area adalah sama yaitu dengan

membuat sebuah plot berukuran 1x1 m. Kemudian membagi plot ini menjadi 9 petak sama

besar. Tujuan pembagian plot menjadi beberapa petak ini adalah untuk memberikan ukuran

yang sama antara petak yang satu dengan petak yang lain. Dengan ukuran yang sama maka

akan meminimalisir tingkat kesalahan data. Dengan ukuran yang sama, maka variabel yang

digunakan untuk mengontrol hasil tidak akan berbeda-beda. Dengan demikian kita hanya

akan fokus pada faktor-faktor yang lain yang sekiranya mampu mempengaruhi dari

kepadatan populasi cacing pada lingkungan tertentu. Dimana dari 9 petak tersebut dari setiap

lokasi harus dilakukan 3 kali sampling dengan cara menggali tanah tanah dengan kedalaman

tertentu, diamana tiap penggalian juga ukuran harus disamakan agar tetap terkontrol

variabelnya sehingga yang difokuskan hanyalah kepadatan cacingnya saja. Setelah dicangkul

dengan kedalaman tertentu, langkah selanjutnya adalah menghitung banyaknya cacing dalam

setiap petak yang dicangkul. Tujuannya adala untuk membandingkan apakah disetiap petak

akan memiliki jumlah populasi yang sama atau tidak karena berbeda lokasi seditkit saja maka

tekstur, pH, kelembaban tanah, kelembaban udara serta tekstur tanah akan sangat

diperhitungkan juga. Setelah didapatkan cacing dari tiap petak, maka setiap kelompok harus

13

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

menimbang berat dari masing-masing cacing yang kemudian diambil rata-ratanya. Tujuannya

adalah apakah berat cacing dalam satu plot dengan petak yang berbeda akan memiliki berat

yang sama atau tidak. Dan langkah ini akan bertujuan pula untuk mengetahui apakah ada

perbedaan berat badan cacing pada lahan yang cultivated sama dengan lahan yang

uncultivated. Tujuan pengguanaan dua tipe lahan yang berbeda ini adalah untuk

membandingkan apakah kepadatan populasi pada tiap jenis lahan akan berbeda ataukah sama.

dalam praktikum ini, kita memanfaatkan lahan fakultas pertanian karena pada awalnya

bertujuan untuk menjaadikan lahan fakultas pertanian ini sebagai lahan yang teraawat dan

selalu terpupuk. Dengan demikian tanah akan menjadi lebih gembur dan lebih subur. Yang

mana tanah yang gembur akan dipastikan banyak mikroorganisme atau hewan tanah pengurai

lainnya, misalnya cacing yang tinggal di lahan itu. sedangkan penggunaan lahan sebelah

FKIP adalah digunakan sebagai lahan kontrol yang mana lahan ini dipandang sebagi lahan

alami tanpa dilakukan pengolahan lahan dengan pembajakan dan pemberian pupuk. Dimana

lahan ini subur dan tidak subur terjadi dengan sendirinya. Dengan penggunaan dua jenis

lahan yang berbeda ini, maka niat pertama adalah untuk membandingkan kepadatan populasi

yang ada pada kedua lahan tersebut. Apakah mungkin lahan yang cultivated akan semakin

banyak cacing karena tanahnya juga gembur dan mendukung untuk keidupan cacing atau

tidak. Namun semua itu bisa dikatakan sebagai lahan cultivated ketika lahan tersebut masih

dilakukan pengolahan dan pemumukan pada masa yang dahulu namun sekarang lahan yang

di pertanian tersebut hampir tidak pernah diolah dan dilakukan pemumukan lagi sehingga

dari segi pH hampir memiliki Ph yang relatif sama dengan pH pada lokasi disebelah FKIP.

Hanya saja daris segi tekstur, lahan di pertanian ini sedikit lebih gembur jika dibandingkan

dengan lahan yanga da di FKIP. Distribusi dari hewan tanah utamanya cacing akan sangat

ditentukan dengan tekstur dan kondisi lain dari tanah tersebut. Hal ini didukung oleh sebuah

literatur menurut Edwards dan Lofty (1977) yang menyatakan bahwa distribusi suatu hewan

tanah di suatu daerah tergantung pada keadaan faktor fisika kimia lingkungan dan sifat

biologis hewan itu sendiri. Kebanyakan hewan distribiusinya berkelompok, yang mana

mereka memilih hidup pada habitat yang paling sesuai baginya di tanah, baik sesuai faktor

fisika kimia tanah maupun tersedianya makanan. Faktor fisika kimia tanah, walaupun

berdekatan tidak persis sama, demikian pula tersedianya makanan bagi hewan tanah disana,

dan hal ini ikut menentukan mengapa hewan tanah kebanyakan hidup berkelompok. Selain

itu, Arlen (1994) juga menjelaskan bahwa cacing tanah yang ditemukan hidup di tumpukan

sampah dan tanah sekitarnya mempunyai ukuran panjang sangat bervariasi, yaitu berkisar

14

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

antara beberapa milimeter sampai 15 cm atau lebih. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa berat dan panjang cacing akan sangat ditentukan oleh struktur tanah dan kondisi tanah.

Pada tabel pertama merupakan tabel yang memuat tentang deskriptif lokasi terhadap

jumlah cacing. Karena dalam satu kelas ada 6 kelompok dan tiap kelompok harus mengambil

sampel sebanyak 3 petak dari tiap lahan maka jumlah dari petak yang digunakan sebagai

sampel dalam satu kelas adalah sebanyak 18. Pada tabel tersebut, lahan yang cultivated

memiliki rata-rata jumlah cacing 3,89 dengan simpangan baku sebesar 2,988. Sedangkan

untuk lahan yang uncultivated memiliki rata-rata jumlah cacing 2,00 dengan simpangan baku

sbesar 3,218.

Pada tabel 2 adalah tabel anova jumlah cacing tanah. Penggunaan uji ini adalah

untuk mengetahui hubungan antara lahan cultivated dan uncultivated terhadap densitas

cacing. Apakah kedua lahan itu akan memberikan dampak yang sama atau malah jauh

berbeda terhadap densitas cacing tanah. Dan dalam hasil olah data oleh SPSS, didapatkan

bahwa setiap variabel itu memiliki nilai signifikansi yang lebih dari 0,05 (p > 0,05) yaitu

p=0,077, maka perbedaan lokasi cultivated dan uncultivated berpengaruh secara tidak

signifikan terhadap densitas cacing tanah. (F = 3,331, df = 1, p = 0,077). Telah dibahas

sebelumnya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh lahan pertanian yang semulanya selalu

diolah dan dilakukan pemupukan namun karena bertambahnya waktu tidak lagi dilakukan

pemupukan sehingga menjadikana tanah tersebut tidak lagi gembur dan ditempati oleh

banyak cacing. Adaikan saja jika tanah tersebut masih dilakukan pengolahan dan pemupukan

maka tanah tersebut akan tetap terjaga kegemburan dan teksturnya sehingga akan banyak

cacing yang tinggal disana akibat banyak nutrisi pula dalam lahan tersebut.

Pada tabel 3 adalah tabel perbandingan jumlah cacing tanah antara lokasi cultivated

dan uncultivated dengan demikian kita bisa menganalisis dari harga signifikansi yang

diberikan dan standard error yang tertera dalam tabel tersebut. Dimana signifikansi yang

menyatakan perbandingan jumlah cacing tanah antara lokasi cultivated dan uncultivated

adalah p = 0,077, dimana p > 0,05 dengan strandar erro sebesar 1,035, maka antara lokasi

cultivated dan uncultivated berbeda secara tidak signifikan. Dari data signifikansi tersebut

maka dapat disimpulkan bahwa kedua lahan ini tidak memiliki berbedaan jumlah cacing

tanah yang tinggal di dalamnya. Dimana jumlah cacing tanah yang ada pada tanah cultivated

dan uncultivated adalah sama. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidakadanya

keberlangsungan pengolahan dan perlakuan pemumukan terhadap lahan fakultas pertanian

sehingga tanah kembali lagi seperti struktur tanah pada umumnya. Hal inilah yang

menyebabkan jumlah cacing tanah ayng hampir sama jika dibandingkan dengan lahan yang

15

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

ada di FKIP. Data yang terlihat dalam tabel ini tidak sesuai yang diharapkan, yang mana

seharusnya pada lahan cultivated, saat dilakukan monitoring maka akan ditemukan banyak

cacing tanah karena tanah yang dioalah dan dilakukan pemumukan akan semakingembur dan

menjadikan mikroorganisme serta cacing tanah untuk tinggal ditempat tersebut. Karena

cacing tanah butuh tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhannya yang salah satunya

adalah ditanah gembur dan lembab. Kelembaban akan sangat berharga bagi cacing karena

untuk melembabkan selalu kulitnya yang akan membantu dalam pernapasannya. Jika tanah

tersebut secara terus menerus dilakukan pemupukan dan pengolahan maka tanah tersebut

akan gembur dan lebih subur. Nilai signifikansi 0,077 (> 0,05) memiliki arti lain bahwa

penyimpangan yang diharapkan lebih besar dari apa yang diharapkan. Kesalahan yang

diharapkan hanyalah 5 % namun dalam hasil ini kesalahan melebihi dari 5 % yaitu sekitar 7%

yang signifikansinya berubah menjadi 0,077. Jika saja signifikansinya kurang dari 0,05 maka

penyimpangan yang terjadi lebih sedikit dari yang diharapkan. Dengan demikian, hasil data

yang diperoleh sangat valid dan memberikan tingkat kepercayaan yang lebih.

Tabel 4 merupakan deskriptif lokasi terhadap rerata berat cacing tanah. Tabel ini

sebenarnya bertujuan untuk menetahui apakah masih ada hubungan antara lokasi yang satu

dengan lokasi yang lain. Sebenarnya sama antara jumlah cacing dari tiap lokasi karena berat

ini diambil rata-rata dalam tiap lokasi yang dikalikan dengan banyakanya kelompok dalam

satu kelas sehingga ada sebanyak 18. Untuk rata-rata yang lahan cultivated adalah 0,24

dengan simpangan baku 0,251 sedangkan untuk yang uncultivated adalah 0,32 dengan

simpangan baku 0,311. Dari data tersebut maka bisa disimpulkan bahwa kedua lokasi

tersebut memiliki selisih standard deviasi yang cukup jauh sehingga tidak memungkin untuk

terjadinya perbedaan berat cacing yang secara nyata dari kedua lokasi yang dilakukan

penelitian. Hal ini disebabkan oleh struktur tanah cultivated yang hampir sama (kembali) ke

struktur tanah yang digunakan sebagai kontrol yang mana disebabkan oleh tidak

dilanjutkannya suatu program pengolahan tanah. Cacing merupakan suatu hewan invertebrata

yang memakan nutrisi dan akan dikeluarkan sebagai kotoran. Ketika makanan tercukupi

maka berat cacing akan bertambah sedangkan ketika makanan tidak tercukupi atau lahan itu

gersang maka cacing tersebuta akan hidung apa adanya dan menyebabkan berat cacing itu

akan turun drastis. Pernyataan ini didukung oleh sebuah literatur menurut Edwards dan Lofty

(1977) yang menyatakan bahwa cacing tanah umumnya memakan serasah daun dan juga

materi tumbuhan lainnya yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran.

Kemampuan hewan ini dalam mengonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung pada

16

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

ketersediaan jenis serasah yang disukainya, disamping itu juga ditentukan oleh kandungan

karbon dan nitrogen serasah.

Tabel 5 adalah tabel anova rerata berat cacing tanah dan didapatkan hasil bahwa p >

0,05, yang lebih tepatnya adalah p=0,369 dengan F = 0,828, df = 1, maka perbedaan lokasi

cultivated dan uncultivated berpengaruh secara tidak signifikan terhadap rerata berat cacing

tanah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kondisi dari kedua tanah tersebut tidak memberikan

pengaruh yang berbeda teradap berat cacing tanah yang tinggal di dalamnya. Nilai

signifikansinya menujukkan sangat berbeda jauh dari signifikansi yang ditentukan. Semakin

tinggi selisih nilai signifikansi yang didapatkan dan melebihi signifikansi yang diharapkan,

maka semakin jauh korelasi diantara keduanya. Hal ini menandakan bahwa penyimpangan

yang terjadi bisa mencapai 6 kali lipat dari yang diharapkan. Telah dibahas sebelumnya, hal

ini kemungkinan disebabkan oleh lahan pertanian yang semulanya selalu diolah dan

dilakukan pemupukan namun karena bertambahnya waktu tidak lagi dilakukan pemupukan

sehingga menjadikan tanah tersebut tidak lagi gembur dan ditempati oleh banyak cacing.

Andaikan saja jika tanah tersebut masih dilakukan pengolahan dan pemupukan maka tanah

tersebut akan tetap terjaga kegemburan dan teksturnya sehingga akan banyak cacing yang

gemuk disana akibat banyak nutrisi pula dalam lahan tersebut. Dengan demikian perlakuan

yang dulu jika tetap dilakukan, maka akan memberikan perbedaan yang cukup signifikan. Hal

ini sesuai dengan teori menurut Edwards dan Lofty (1977) yang menyatakan bahwa cacing

tanah umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya yang telah mati,

kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran. Kemampuan hewan ini dalam

mengonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung pada ketersediaan jenis serasah yang

disukainya, disamping itu juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah.

Tabel yang terakhir adalah tabel perbandingan rerata berat cacing tanah antara lokasi

cultivated dan uncultivated p 6 > 0,05, yaitu p = 0,369 maka antara lokasi cultivated dan

uncultivated berbeda secara tidak signifikan. Hal ini menandakan bahwa penyimpangan yang

terjadi bisa mencapai 6 kali lipat dari yang diharapkan. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa antara kedua lahan hampir memiliki kesamaan berat cacing yang terdapat di

dalamnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidakadanya keberlangsungan pengolahan dan

perlakuan pemupukan terhadap lahan fakultas pertanian sehingga tanah kembali lagi seperti

struktur tanah pada umumnya. Hal inilah yang menyebabkan berat cacing tanah yang hampir

sama jika dibandingkan dengan lahan yang ada di FKIP. Data yang terlihat dalam tabel ini

tidak sesuai yang diharapkan, yang mana seharusnya pada lahan cultivated, saat dilakukan

monitoring maka akan ditemukan banyak cacing tanah dengan berat yang lebih karena tanah

17

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

yang dioalah dan dilakukan pemumukan akan semakin gembur dan menjadikan

mikroorganisme serta cacing tanah untuk tinggal ditempat tersebut. Karena cacing tanah

butuh tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhannya yang salah satunya adalah ditanah

gembur dan lembab. Kelembaban akan sangat berharga bagi cacing karena untuk

melembabkan selalu kulitnya yang akan membantu dalam pernapasannya. Jika tanah tersebut

secara terus menerus dilakukan pemupukan dan pengolahan maka tanah tersebut akan

gembur dan lebih subur.

Sednagkan faktor-faktor abiotik yang dicatat antara lain, tekstur tanah, kelembaban

udara, kelembaban tanah, pH tanah, suhu udara dan jumlah jenis vegetasi. Untuk tekstur

tanah, semakin gembur tanah itu maka akan semakin banyak kesempatan dalam menyimpan

udara apalagi ditambah sedikit lembab. Dengan keadaan yang demikian, maka akan semakin

banyak cacing yang tinggal disana selain dari segi udara air juga tersedia dimana cacing

memanfaatkan tempat yang lembab untuk membasahi kulitnya yang akan membantu dalam

sistem pernapasan. Selanjutnya adalah pH dimana cacing bisa hidup dengan pH yang netral

hingga asam bukan basa. Ketika pH lingkungan itu asam hingga mendekati netral maka

peluang ditemukannya cacing juga semakin besar. Berbeda dengan kondisi bsa yang misalny

saja tanah kita kasih deterjen maka cacing akan merasa panas dan menggeliat karena sabun

bersifat basa. Hal ini didukung oleh literatur menurut Arlen (1998) dalam Sudarmi (1999)

yang menyatakan bahwa cacing lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH sedikit asam

(<6), kelembaban tanah berkisar antara 80-90% dan kadar organik tergolong tinggi (>1%),

sedangkan cacing tanah dari spesies Drawida sp. lebih menyukai kondisi lingkungan dengan

pH netral (6-7). Pontoscolex corethrurus lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH

sedikit asam (<6) dengan kadar organik tergolong cukup tinggi.

Sedangkan dari kelembaban tanah dan suhu serta jumlah vegetasi. Untuk

kelembaban tanah, cacing biasanya lebih suka untuk tinggal ditempat yang lembab. Hal ini

dikarenakan cacing butuh kelembaban kulit untuk mengambil oksigen dalam tanah sehingga

memudahkan dalam sistem pernapasannya. Jika dipandang dari segi suu, maka suhu yang

rendah dan lembab akan lebih banyak diuni oleh cacing karena suhu yang rendah akan selalu

menjaga kelembaban kulit cacaiong. Dengan kulit ayng lembab maka cacing akan mudah

untuk bernafas seingga cacing akan memili tempat yang sedemikian. Jika ditinjau dari segi

jumlah vegetasi maka cacing akan emmilih ditempat yang banyak mterdapat tanaman di

atasnya. Tanaman yang banyak berarti mengindikasikan bahwa tempat tersebut terdapat

unsur hara dan akan menjadikan tanah tersebut akan semakin gembur. Dengan demikian akan

banyak komponen-0komponen organik yang akan dibutuhkan cacing. Dengan demikian

18

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

tanah gembur dengan banyak tanaman yang ada di atas tanah amak akan semakin banyak

cacing yang ada dalam tanah tersebut. Hal ini didasarkan pada sebuah literatur menurut

Arlen (1998) dalam Sudarmi (1999) yang menyatakan bahwa beberapa cacing suka tempat

lembab dan tanah yang mengandung banyak organik, yang diantaranya adalah Drawida sp,

suka di tempat dengan kelembaban tanah berkisar antara 8595%, dan kadar organik tergolong

cukup rendah (>1%). Sedangakan Pontoscolex corethrurus juga membutuhkan organik yang

tinggi dalam tempat tinggalnya

19

Page 20: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

BAB 5. PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

5.1.1 Teknik monitoring populasi invertebrata terdiri dari Teknik dengan

menggunakan jaring atau jala, yang terdiri dari: Jaring Plankton, Kupu-kupu,

Beating Trays. Serta denagan teknik Traps, yang terdiri dari Pifall traps, Water

traps, Sticky traps, dan Light traps.

5.1.2 Kegiatan monitoring populasi cacing tanah pada suatu ekosistem dilakukan

dengan cara melakukan 2 kali kerja pada tempat yang berbeda yaitu

memonitoring cacing tanah pada cultivated area (fakultas pertanian) dan

uncultivated area (di samping gedung Biologi).

5.2 SARAN

Sebaiknya kegiatan ini dilakukan pada tempat cultivated yang

sesungguhnya, yaitu pada lahan sawah atau lahan pertanian. Karena lahan

disebelah fakultas teknik bukan lagi lahan yang cultivated.

20

Page 21: BAB 1 PENDAHULUAN BAB 3 METODE.docx

DAFTAR PUSTAKA

Edward CH, Lofty JR. 1977. Biology of earthworm. London Chapman and Hall.

Hagvar, S. 1998. The relevance of the Rio-Conventionon Biodiversity to conserving biodiversity of soils. Applied Soil Ecology

Hanafiah KA, Napoleon A dan Nuni G. 2003. Biologi tanah ekologi dan

John Wiley & Sons. New York.

Karmana, Oman, 2007. Cerdas Belajar Biologi. Bandung: Grafindo Media Pratama

makrobiologi tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Manurung dan Petrus, 2009. Kajian Ekologi Hewan Tanah pada Ketinggian yang Berbeda di Rutan Aeknauli-Parapat-Sumatera Utara. Jurnal Sains Indonesia. Vol. 33. No.2.

Sudarmi. 2011. Mineralogi dan Petrologi. Buku Ajar. Program Studi Pendidikan Geografi. Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. FKIP. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sugiarto, et all, 2002. Biodiversitas Hewan Permukaan Tanah Pada Berbagai Tegakan Hutan di Sekitar Goa Jepang, BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar. Jurnal Biodiversitas. Vol.3 No.1.

Suin, Nurdin M., 2003. Ekologi Populasi. Andalas University Press. Padang.

Syamsuri.2004. Biologi. Erlangga, Jakarta

21