bab 1 pendahuluan bab 3 metode.docx
TRANSCRIPT
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lingkungan Universitas Negeri Jember (Unej) memiliki banyak sekali lahan kosong
yang berupa lahan biasa maupun lahan pertanian. Pada setiap lahan memiliki ekosistem
yang berbeda dan karakteristik yang berbeda pula. Pada lahan pertanian biasanya
memiliki penyususn ekosistem yang beragam karena tanah lebih gembur atau subur.
Biasanya pada setiap ekosistem memiliki densitas maupun jenis vegetasi yang berbeda
serta memiliki tekstur tanah yang berbeda pula.
Bagi sebagian besar hewan darat tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. Dari
segi klimatologi tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan
erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi. Komposisi tanah berbeda-beda pada
suatu lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah.
Densitas maupun jenis vegetasi dan tekstur tanah yang berbeda akan memberikan
suatu jenis ekosistem yang berbeda terutama hewan invertebrata yang hidup di dalam
tanah yaitu cacing. Cacing pada umumnya, memilih tempat tinggal pada tekstur tanah
yang gembur dimana pada bagian atas tanah terdapat banyak sekali vegetasi.
Hubungan antara densitas, jenis vegetasi, tanah yang meliputi : tekstur, suhu, Ph dan
kelembaban tanah akan memepengaruhi populasi hewan invertebrata yang hidup di dalam
tanah yaitu cacing. Oleh karena itu, monitoring populasi hewan invertebrata perlu
dilakukan agar dapat mengetahui keadaan suatu ekosistem serta dapat mengetahui
populasi hewan invertebrata yang hidup pada suatu ekosistem tertentu dengan melihat
komponen-komponen penyusun seperti vegetasi dan tanah.
1.2 Rumusan masalah
a. Apa saja teknik monitoring populasi hewan Invertebrata?
b. Bagaimana cara melakukan monitoring populasi hewan Invertebrata?
1.3 Tujuan
a. Mengenal beberapa teknik monitoring populasi hewan Invertebrata.
b. Dapat melakukan kegiatan monitoring populasi hewan Invertebrata tanah ( cacing
tanah ) pada suatu ekosistem di sekitarnya.
1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Populasi adalah kumpulan individu sejenis yang menempati suatu daerah tertentu.
Populasi suatu jenis makhluk hidup pada tiap-tiap habitat memiliki kepadatan yang tidak
sama. Jumlah individu sejenis dalam suatu satuan luas daerah tertentu disebut kepadatan
populasi (Sumarwan dkk, 1996).
Individu dari berbagai jenis populasi akan mengalami perubahan baik dari musim ke
musim maupun dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor baik
antara faktor biotis maupun antara faktor biotis dan abiotis (Karmana, 1988).
Menurut Karmana (1988), dari waktu ke waktu jumlah populasi mengalami
perubahan. Perubahan yang terjadi dapat mengurangi jumlah populasi. Perubahan populasi
makhluk hidup dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:
1. Ruang gerak atau luas tempat hidupnya.
2. Makanan yang tersedia.
3. Peristiwa alam yang tidak terduga, misalnya gempa bumi, hujan lebat, banjir dan
angin topan, perubahan suhu yang mendadak, tanah longsor dan lain sebagainya.
4. Pemberantasan dan pembudidayaan hewan dan tumbuhan tertentu dengan sengaja.
Pertumbuhan populasi itu ditentukan oleh daya biak spesies. Semakin besar daya biak
suatu spesies, akan semakin besar populasinya. Semakin besar populasi itu, semakin banyak
kebutuhan makanannya. Demikian pula kebutuhan akan oksigen, air, dan ruangan (Syamsuri,
2000).
Kepadatan populasi adalah ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah
atau biomassa persatuan luas atau persatuan volume. Untuk mengetahui kepadatan suatu jenis
organisme di habitatnya maka dilakukan penghitungan. Penghitungan kepadatan populasi
suatu organisme dapat dilakukan dengan cara menghitung semua (hitung total) jumlah
organisme itu di habitatnya tersebut, dan angka tersebut merupakan kepadatan absolut. Pada
2
keadaan tertentu, tidak mungkin dapat dilakukan penghitungan untuk seluruh anggota
populasi yang terdapat di habitat alami yang sangat luas. Untuk itu, hanya dapat dilakukan
penaksiran kepadatan populasi organisme tersebut yaitu dengan cara pengambilan contoh.
Berdasarkan parameter contoh itulah ditaksir kepadatan populasi (Syamsuri, 2000).
Taksiran kepadatan populasi berdasarkan contoh adalah dengan cara menghitung
jumlah organisme yang diteliti dalam satuan unit contoh dari seluruh habitatnya. Diambil
sebesar ukuran tertentu dan organisme yang terdapat dalam contoh tadilah yang dihitung.
Bila habitatnya itu merupakan suatu daerah yang luas, maka diambillah seluas tertentu dari
daerah itu dan dari daerah itu dihitunglah organisme yang terdapat di dalamnya. Satuan
kepadatan populasi yang didapat dengan cara ini dinyatakan dengan jumlah persatuan luas
contoh (Suin, 2003).
Menurut Suin (2003), kesalahan penaksiran kepadatan populasi berdasarkan contoh
tergantung pada tiga hal:
1. Populasi dalam tiap kuadrat contoh yang diambil harus dapat dihitung dengan
tepat;
2. Luas atau satuan tiap kuadrat harus jelas dan pasti;
3. Kuadrat contoh yang diambil harus dapat mewakili seluruh area atau daerah
penelitian.
Menurut Suin (1997), salah satu cara untuk menghitung kepadatan hewan tanah yaitu
dengan menggunakan metoda formalin. Dengan metode ini semacam zat kimia dituangkan di
tanah dan diharapkan cacing tanah yang ada di tanah tersebut akan keluar dan cacing itu
diambil, dihitung dan dikoleksi. Metoda ini kurang baik untuk jenis cacing tanah yang
membuat lubang horizontal di tanah karena cairan formalin itu tidak sampai sempurna pada
cacing.
3
Konsentrasi formalin yang digunakan yang disarankan adalah berkisar antara 0,165 -
0,55 % dan sebaiknya 0,27 %. Walaupun demikian, tergantung pula pada keadaan tingkat
kekeringan tanah. Untuk membuat formalin dengan konsentrasi 0,55 % maka 25 ml formalin
40 % dicampur dengan air sebanyak 1 gallon (sekitar 4,5 liter). Sebanyak 9 liter formalin
0,75 % digunakan untuk mengkoleksi cacing tanah pada plot seluas 0,5 m² dengan pemberian
sebanyak 3 kali ( tiga liter tiap pakainya) dengan selang waktu 10 menit. Pengaruh kadar air
dan suhu sangat besar terhadap jumlah cacing yang didapat (Suin, 2003).
Hewan tanah adalah hewan yang hidup di tanah. baik yang hictup di permukaan tanah
maupun yang terdapat di dalam tanah. Peranan hewan tanah pada ekosistim tanah sangat
penting, yakni mendekomposisi materi tumbuhan dan hewan yang telah mati. Oleh karena itu
berperan secara langsung dalam mempertahankan dan memperbaiki kesuburan tanah
(Manurung dan Petrus, 2009:4).
Keanekaragaman hayati tanah memegang peranan penting dalam memelihara
keutuhan dan fungsi suatu ekosistem. Ada tiga alasan utama untuk melindungi
keanekaragaman hayati tanah, yaitu:
(a) secara ekologi; dekomposisi dan pembentukan tanah merupakan proses kunci di
alam yang dilakukan oleh organisme tanah dan berperan sebagai ‘pelayan ekologi’
bagi eksistensi suatu ekosistem,
(b) secara aplikatif; berbagai jenis organisme tanah telah dimanfaatkan dalam
berbagai bidang misalnya pertanian, kedokteran dan sebagainya, dan
(c) secara etika; semua bentuk kehidupan , termasuk biota tanah memiliki nilai
keunikan yang tidak dapat digantikan.
(Hagvar, 1998).
Organisme tanah dapat dikelompokkan berdasarkan pendekatan taksonomi dan
fungsionalnya. Brussard (1998) membedakan tiga kelompok fungsional organisme tanah,
4
yaitu: biota akar, dekomposer dan ‘ecosystem engineer’. Wallwork (1970) mengelompokkan
fauna tanah berdasarkan: ukuran tubuh(makrofauna, mesofauna dan mikrofauna), status
keberadaannya di tanah (sementara/transien, temporer, periodik dan permanen), preferensi
habitat (hidrofil, xerofil) dan aktivitas makannya (karnivora, saprofagus, fungifagus dan
sebagainya). Sedangkan Sugiyarto (2000) membedakan makrofauna tanah berdasarkan
tempat aktivitasnya yang dominan, yaitu makrofauna tanah yang aktif di permukaan tanah
dan di dalam tanah. Struktur dan komposisi organisme tanah, terutama makroinvertebrata,
sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Decaens et al. (1998) melaporkan bahwa
terdapat dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap komunitas
makroinvertebrata tanah, yaitu: (a) struktur vegetasi yang menentukan keragaman
mikrohabitat dan kondisi/tingkah laku makroinvertebrata dan (b) produksi dan kualitas
seresah yang tergantung pada karakter vegetasinya serta populasi organisme herbivora
(Sugiyarto, et all, 2002:1).
Distribusi suatu hewan tanah di suatu daerah tergantung pada keadaan faktor fisika
kimia lingkungan dan sifat biologis hewan itu sendiri. Kebanyakan hewan distribiusinya
berkelompok, yang mana mereka memilih hidup pada habitat yang paling sesuai baginya di
tanah, baik sesuai faktor fisika kimia tanah maupun tersedianya makanan. Faktor fisika kimia
tanah, walaupun berdekatan tidak persis sama, demikian pula tersedianya makanan bagi
hewan tanah disana, dan hal ini ikut menentukan mengapa hewan tanah kebanyakan hidup
berkelompok (Edwards dan Lofty, 1977).
Cacing tanah merupakan hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata) yang
digolongkan ke dalam filum Annelida, ordo Oligochaeta, dan kelas Chaetopoda yang hidup
dalam tanah. Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologi karena tubuhnya tersusun
atas segmen-segmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa
5
pasang seta, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan
bergerak (Edwards dan Lofty, 1977).
Secara alamiah, morfologi dan anatomi cacing tanah berevolusi menyesuaikan diri
terhadap lingkungannya. Arlen (1994) menjelaskan bahwa cacing tanah yang ditemukan
hidup di tumpukan sampah dan tanah sekitarnya mempunyai ukuran panjang sangat
bervariasi, yaitu berkisar antara beberapa milimeter sampai 15 cm atau lebih.
Gambar morfologi cacing tanah dapat dilihat di bawah ini :
Gambar 1. Morfologi cacing tanah
Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-
segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral, diselaputi oleh
epidermis berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan seta, kecuali pada dua segmen
pertama (bagian mulut), bersifat hemaphrodit (berkelamin ganda) dengan peranti kelamin
seadanya pada segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi
tertentu akan membengkak membentuk klitelium (tabung peranakan atau rahim), tempat
mengeluarkan kokon (selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin
(kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung serupa cacing
dewasa. Tubuh dibedakan atas bagian anterior dan posterior. Pada bagian anteriornya
terdapat mulut, prostomium dan beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium
(Edwards dan Lofty, 1977; Hanafiah, et all, 2003).
Secara struktural, cacing tanah mempunyai rongga besar coelomic yang mengandung
coelomycetes (pembuluh-pembuluh mikro), yang merupakan sistem vaskuler tertutup.
Saluran makanan berupa tabung anterior dan posterior, kotoran dikeluarkan lewat anus atau
6
peranti khusus yang disebut nephridia. Respirasi (pernapasan) terjadi melalui kutikuler
(Hanafiah, et all, 2003).
Populasi cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana
cacing tanah itu berada. Lingkungan yang dimaksud disini adalah kondisi-kondisi fisik,
kimia, biotik dan makanan yang secara bersamasama dapat mempengaruhi populasi cacing
tanah. Faktor-faktor ekologis yang memengaruhi cacing tanah meliputi: (a) keasaman (pH),
(b) kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik, (f) jenis, dan (g) suplai
nutrisi (Arlen, 1984; Hanafiah, et all, 2003).
Cacing tanah umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya
yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran. Kemampuan hewan ini
dalam mengonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung pada ketersediaan jenis serasah
yang disukainya, disamping itu juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah.
(Edwards dan Lofty, 1977).
Cacing tanah yang tersebar di seluruh dunia berjumlah sekitar 1.800 spesies. Cacing
tanah yang terdapat di Indonesia tergolong ke dalam famili Enchytraeidae, Glassocolicidae,
Lumbricidae, Moniligastridae, Megascolicidae. Genus yang pernah ditemukan ialah
Enchytraeus, Fridericia, Drawida, Dichogaster, Eudichaster,Pontoscolex, Pheretima,
Megascolex, Perionyx dan Allolobophora. Dari hasil penelitian Sudarmi (1999) diketahui tiga
spesies cacing tanah yang karakteristik hidup pada tumpukan sampah organik pasar yaitu
spesies Megascolex sp, Peryonix sp dan Drawida sp. Dari hasil penelitian Arlen, dkk (1994),
telah didapatkan tujuh spesies cacing tanah pada tempat pembuangan akhir (TPA) sampah
dan di timbunan sampah rumah tangga pada beberapa kecamatan Kotamadya Medan, yaitu
Megascolex sp1, Megascolex sp2, Peryonix sp, Fridericia sp, Drawida sp, Pontoscolex
corethrurus dan Pheretima sp.(Arlen, 1994; Suin, 1989; Hanafiah, et all, 2003).
7
Megascolex sp. lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH sedikit asam (<6),
kelembaban tanah berkisar antara 80-90% dan kadar organik tergolong tinggi (>1%),
sedangkan cacing tanah dari spesies Drawida sp lebih menyukai kondisi lingkungan dengan
pH netral (6-7), kelembaban tanah berkisar antara 8595%, dan kadar organik tergolong cukup
rendah (>1%). Pontoscolex corethrurus lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH
sedikit asam (<6) dengan kadar organik tergolong cukup tinggi (Arlen, 1984, 1998; Sudarmi,
1999).
Arlen. 1984. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Populasi Cacing Tanah. Paper
Sarjana Muda. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Andalas Padang.
8
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jadwal Pengamatan
Hari/Tanggal : Selasa, 21 April 2015
Tempat : Kebun Gedung Pendidikan Biologi dan kebun Fakultas Teknik UNEJ
Waktu : 06.00 - selesai
3.2 Alat dan Bahan
Alat
1. Sampler yang terbuat dari pipa besi,
volume sampler 500 cc
2. Penjepit / pinset
3. Penggaris
4. Neraca
5. Soil tester
6. Hygrometer
7. Cangkul
8. Tali raffia
Bahan
1. Sampel tanah
2. Alkohol 70%
3.3 Prosedur Kerja
9
Membuat ploting tanah yang menjadi sampel dengan ukuran 1 m x 1 m x 1 m
dengan ulangan sebanyak 3 kali pada ekosistem kebun didekat Fakultas Teknik,
Universitas Jember.
Mencangkul tanah sebanyak tiga lubang sedalam 30cm dalam plot untuk mengambil
cacing yang ada diarea tersebut. Tiap lubang dilihat apakah ada cacing yang terdapat
pada setiap lubang
Galian 3
Galian 1Galian 2
3.4 Desain Praktikum
a. Plotting di Fakultas Teknik
b. Plotting di Fakultas FKIP
10
Melakukan hal yang sama seperti langkah sebelumnya pada ekosistem di dekat
gedung pendidikan biologi,FKIP,Universitas Jember.
Melakukan pengukuran pada tiap lubang dalam plot :mencatat densitas vegetasi
dan jenis vegetasi, mencatat jumlah cacing yang didapat, mengukur dan mencatat
tekstur, suhu serta kelembaban tanah dengan soil tester dan mengukur dan
mencatat suhu serta kelembaban udara dengan hygrometer.
1 m
1 m 1 m
1 m
1 m
1 m 1 m
1 m
Galian 3
Galian 1
Galian 2
4.1.2 ANALISIS DATA
Tabel 1 Deskriptif Lokasi Terhadap Jumlah Cacing Tanah
N Mean Std. DeviationLokasi
Cultivated 18 3,89 2,988
Uncultivate
d
18 2,00 3,218
Total 36 2,94 3,207
Tabel 2 ANOVA Jumlah Cacing Tanah
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 32,111 1 32,111 3,331 ,077
Within Groups 327,778 34 9,641
Total 359,889 35
p > 0,05, maka perbedaan lokasi cultivated dan uncultivated berpengaruh secara tidak
signifikan terhadap densitas cacing tanah (F = 3,331, df = 1, p = 0,077).
Tabel 3 Perbandingan Jumlah Cacing Tanah antara Lokasi Cultivated dan Uncultivated
(I) Lokasi (J) Lokasi Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.a
Cultivated Uncultivate
d
1,889 1,035 ,077
Uncultivated Cultivated -1,889 1,035 ,077
p > 0,05, maka antara lokasi cultivated dan uncultivated berbeda secara tidak signifikan (p =
0,077).
Tabel 4 Deskriptif Lokasi Terhadap Rerata Berat Cacing Tanah
Lokasi N Mean Std. Deviation
Cultivated 18 ,24 ,251
Uncultivate
d
18 ,32 ,311
11
Total 36 ,28 ,282
Tabel 5 ANOVA Rerata Berat Cacing Tanah
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,066 1 ,066 ,828 ,369
Within Groups 2,710 34 ,080
Total 2,776 35
p > 0,05, maka perbedaan lokasi cultivated dan uncultivated berpengaruh secara tidak
signifikan terhadap rerata berat cacing tanah (F = 0,828, df = 1, p = 0,369).
Tabel 6 Perbandingan Rerata Berat Cacing Tanah antara Lokasi Cultivated dan Uncultivated
(I) Lokasi (J) Lokasi Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.a
Cultivated Uncultivate
d
-,086 ,094 ,369
Uncultivated Cultivated ,086 ,094 ,369
p > 0,05, maka antara lokasi cultivated dan uncultivated berbeda secara tidak signifikan (p =
0,369).
12
4.2 PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini adalah pengamatan tentang monitoring populasi invertebrata
yang tujuannya adalah untuk mengenal beberapa teknik monitoring populasi hewan
invertebrata yang salah satunya dengan cara menggali beberapa sampel lahan untuk
mengetahui populasi ewan invertebrata tertentu. Dan tujuan yang kedua adalah untuk
melakukan kegiatan monitoring populasi hewan invertebrata tanah atau cacing tanah pada
suatu ekosistem di sekitarnya. Dengan demikian kita akan bisa mengetahui tingkat kepadatan
populasi dalam satuan luas area. Pengertian dari kepadatan populasi ini sendiri didukung oleh
sebuah literatur menurut Sumarwan dkk, (1996) yang menyatakan bahwa populasi adalah
kumpulan individu sejenis yang menempati suatu daerah tertentu. Populasi suatu jenis
makhluk hidup pada tiap-tiap habitat memiliki kepadatan yang tidak sama. Jumlah individu
sejenis dalam suatu satuan luas daerah tertentu disebut kepadatan populasi.
Pada praktikum ekologi hewan kelas kami terbagi menjadi 6 kelompok dan dari
setiap kelompok akan melakukan 2 kali kerja pada tempat yang berbeda yaitu memonitoring
cacing tanah pada cultivated area (fakultas pertanian) dan uncultivated area (di samping
FKIP). Langkah kerja yang dilakukan pada masing-masing area adalah sama yaitu dengan
membuat sebuah plot berukuran 1x1 m. Kemudian membagi plot ini menjadi 9 petak sama
besar. Tujuan pembagian plot menjadi beberapa petak ini adalah untuk memberikan ukuran
yang sama antara petak yang satu dengan petak yang lain. Dengan ukuran yang sama maka
akan meminimalisir tingkat kesalahan data. Dengan ukuran yang sama, maka variabel yang
digunakan untuk mengontrol hasil tidak akan berbeda-beda. Dengan demikian kita hanya
akan fokus pada faktor-faktor yang lain yang sekiranya mampu mempengaruhi dari
kepadatan populasi cacing pada lingkungan tertentu. Dimana dari 9 petak tersebut dari setiap
lokasi harus dilakukan 3 kali sampling dengan cara menggali tanah tanah dengan kedalaman
tertentu, diamana tiap penggalian juga ukuran harus disamakan agar tetap terkontrol
variabelnya sehingga yang difokuskan hanyalah kepadatan cacingnya saja. Setelah dicangkul
dengan kedalaman tertentu, langkah selanjutnya adalah menghitung banyaknya cacing dalam
setiap petak yang dicangkul. Tujuannya adala untuk membandingkan apakah disetiap petak
akan memiliki jumlah populasi yang sama atau tidak karena berbeda lokasi seditkit saja maka
tekstur, pH, kelembaban tanah, kelembaban udara serta tekstur tanah akan sangat
diperhitungkan juga. Setelah didapatkan cacing dari tiap petak, maka setiap kelompok harus
13
menimbang berat dari masing-masing cacing yang kemudian diambil rata-ratanya. Tujuannya
adalah apakah berat cacing dalam satu plot dengan petak yang berbeda akan memiliki berat
yang sama atau tidak. Dan langkah ini akan bertujuan pula untuk mengetahui apakah ada
perbedaan berat badan cacing pada lahan yang cultivated sama dengan lahan yang
uncultivated. Tujuan pengguanaan dua tipe lahan yang berbeda ini adalah untuk
membandingkan apakah kepadatan populasi pada tiap jenis lahan akan berbeda ataukah sama.
dalam praktikum ini, kita memanfaatkan lahan fakultas pertanian karena pada awalnya
bertujuan untuk menjaadikan lahan fakultas pertanian ini sebagai lahan yang teraawat dan
selalu terpupuk. Dengan demikian tanah akan menjadi lebih gembur dan lebih subur. Yang
mana tanah yang gembur akan dipastikan banyak mikroorganisme atau hewan tanah pengurai
lainnya, misalnya cacing yang tinggal di lahan itu. sedangkan penggunaan lahan sebelah
FKIP adalah digunakan sebagai lahan kontrol yang mana lahan ini dipandang sebagi lahan
alami tanpa dilakukan pengolahan lahan dengan pembajakan dan pemberian pupuk. Dimana
lahan ini subur dan tidak subur terjadi dengan sendirinya. Dengan penggunaan dua jenis
lahan yang berbeda ini, maka niat pertama adalah untuk membandingkan kepadatan populasi
yang ada pada kedua lahan tersebut. Apakah mungkin lahan yang cultivated akan semakin
banyak cacing karena tanahnya juga gembur dan mendukung untuk keidupan cacing atau
tidak. Namun semua itu bisa dikatakan sebagai lahan cultivated ketika lahan tersebut masih
dilakukan pengolahan dan pemumukan pada masa yang dahulu namun sekarang lahan yang
di pertanian tersebut hampir tidak pernah diolah dan dilakukan pemumukan lagi sehingga
dari segi pH hampir memiliki Ph yang relatif sama dengan pH pada lokasi disebelah FKIP.
Hanya saja daris segi tekstur, lahan di pertanian ini sedikit lebih gembur jika dibandingkan
dengan lahan yanga da di FKIP. Distribusi dari hewan tanah utamanya cacing akan sangat
ditentukan dengan tekstur dan kondisi lain dari tanah tersebut. Hal ini didukung oleh sebuah
literatur menurut Edwards dan Lofty (1977) yang menyatakan bahwa distribusi suatu hewan
tanah di suatu daerah tergantung pada keadaan faktor fisika kimia lingkungan dan sifat
biologis hewan itu sendiri. Kebanyakan hewan distribiusinya berkelompok, yang mana
mereka memilih hidup pada habitat yang paling sesuai baginya di tanah, baik sesuai faktor
fisika kimia tanah maupun tersedianya makanan. Faktor fisika kimia tanah, walaupun
berdekatan tidak persis sama, demikian pula tersedianya makanan bagi hewan tanah disana,
dan hal ini ikut menentukan mengapa hewan tanah kebanyakan hidup berkelompok. Selain
itu, Arlen (1994) juga menjelaskan bahwa cacing tanah yang ditemukan hidup di tumpukan
sampah dan tanah sekitarnya mempunyai ukuran panjang sangat bervariasi, yaitu berkisar
14
antara beberapa milimeter sampai 15 cm atau lebih. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa berat dan panjang cacing akan sangat ditentukan oleh struktur tanah dan kondisi tanah.
Pada tabel pertama merupakan tabel yang memuat tentang deskriptif lokasi terhadap
jumlah cacing. Karena dalam satu kelas ada 6 kelompok dan tiap kelompok harus mengambil
sampel sebanyak 3 petak dari tiap lahan maka jumlah dari petak yang digunakan sebagai
sampel dalam satu kelas adalah sebanyak 18. Pada tabel tersebut, lahan yang cultivated
memiliki rata-rata jumlah cacing 3,89 dengan simpangan baku sebesar 2,988. Sedangkan
untuk lahan yang uncultivated memiliki rata-rata jumlah cacing 2,00 dengan simpangan baku
sbesar 3,218.
Pada tabel 2 adalah tabel anova jumlah cacing tanah. Penggunaan uji ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara lahan cultivated dan uncultivated terhadap densitas
cacing. Apakah kedua lahan itu akan memberikan dampak yang sama atau malah jauh
berbeda terhadap densitas cacing tanah. Dan dalam hasil olah data oleh SPSS, didapatkan
bahwa setiap variabel itu memiliki nilai signifikansi yang lebih dari 0,05 (p > 0,05) yaitu
p=0,077, maka perbedaan lokasi cultivated dan uncultivated berpengaruh secara tidak
signifikan terhadap densitas cacing tanah. (F = 3,331, df = 1, p = 0,077). Telah dibahas
sebelumnya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh lahan pertanian yang semulanya selalu
diolah dan dilakukan pemupukan namun karena bertambahnya waktu tidak lagi dilakukan
pemupukan sehingga menjadikana tanah tersebut tidak lagi gembur dan ditempati oleh
banyak cacing. Adaikan saja jika tanah tersebut masih dilakukan pengolahan dan pemupukan
maka tanah tersebut akan tetap terjaga kegemburan dan teksturnya sehingga akan banyak
cacing yang tinggal disana akibat banyak nutrisi pula dalam lahan tersebut.
Pada tabel 3 adalah tabel perbandingan jumlah cacing tanah antara lokasi cultivated
dan uncultivated dengan demikian kita bisa menganalisis dari harga signifikansi yang
diberikan dan standard error yang tertera dalam tabel tersebut. Dimana signifikansi yang
menyatakan perbandingan jumlah cacing tanah antara lokasi cultivated dan uncultivated
adalah p = 0,077, dimana p > 0,05 dengan strandar erro sebesar 1,035, maka antara lokasi
cultivated dan uncultivated berbeda secara tidak signifikan. Dari data signifikansi tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa kedua lahan ini tidak memiliki berbedaan jumlah cacing
tanah yang tinggal di dalamnya. Dimana jumlah cacing tanah yang ada pada tanah cultivated
dan uncultivated adalah sama. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidakadanya
keberlangsungan pengolahan dan perlakuan pemumukan terhadap lahan fakultas pertanian
sehingga tanah kembali lagi seperti struktur tanah pada umumnya. Hal inilah yang
menyebabkan jumlah cacing tanah ayng hampir sama jika dibandingkan dengan lahan yang
15
ada di FKIP. Data yang terlihat dalam tabel ini tidak sesuai yang diharapkan, yang mana
seharusnya pada lahan cultivated, saat dilakukan monitoring maka akan ditemukan banyak
cacing tanah karena tanah yang dioalah dan dilakukan pemumukan akan semakingembur dan
menjadikan mikroorganisme serta cacing tanah untuk tinggal ditempat tersebut. Karena
cacing tanah butuh tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhannya yang salah satunya
adalah ditanah gembur dan lembab. Kelembaban akan sangat berharga bagi cacing karena
untuk melembabkan selalu kulitnya yang akan membantu dalam pernapasannya. Jika tanah
tersebut secara terus menerus dilakukan pemupukan dan pengolahan maka tanah tersebut
akan gembur dan lebih subur. Nilai signifikansi 0,077 (> 0,05) memiliki arti lain bahwa
penyimpangan yang diharapkan lebih besar dari apa yang diharapkan. Kesalahan yang
diharapkan hanyalah 5 % namun dalam hasil ini kesalahan melebihi dari 5 % yaitu sekitar 7%
yang signifikansinya berubah menjadi 0,077. Jika saja signifikansinya kurang dari 0,05 maka
penyimpangan yang terjadi lebih sedikit dari yang diharapkan. Dengan demikian, hasil data
yang diperoleh sangat valid dan memberikan tingkat kepercayaan yang lebih.
Tabel 4 merupakan deskriptif lokasi terhadap rerata berat cacing tanah. Tabel ini
sebenarnya bertujuan untuk menetahui apakah masih ada hubungan antara lokasi yang satu
dengan lokasi yang lain. Sebenarnya sama antara jumlah cacing dari tiap lokasi karena berat
ini diambil rata-rata dalam tiap lokasi yang dikalikan dengan banyakanya kelompok dalam
satu kelas sehingga ada sebanyak 18. Untuk rata-rata yang lahan cultivated adalah 0,24
dengan simpangan baku 0,251 sedangkan untuk yang uncultivated adalah 0,32 dengan
simpangan baku 0,311. Dari data tersebut maka bisa disimpulkan bahwa kedua lokasi
tersebut memiliki selisih standard deviasi yang cukup jauh sehingga tidak memungkin untuk
terjadinya perbedaan berat cacing yang secara nyata dari kedua lokasi yang dilakukan
penelitian. Hal ini disebabkan oleh struktur tanah cultivated yang hampir sama (kembali) ke
struktur tanah yang digunakan sebagai kontrol yang mana disebabkan oleh tidak
dilanjutkannya suatu program pengolahan tanah. Cacing merupakan suatu hewan invertebrata
yang memakan nutrisi dan akan dikeluarkan sebagai kotoran. Ketika makanan tercukupi
maka berat cacing akan bertambah sedangkan ketika makanan tidak tercukupi atau lahan itu
gersang maka cacing tersebuta akan hidung apa adanya dan menyebabkan berat cacing itu
akan turun drastis. Pernyataan ini didukung oleh sebuah literatur menurut Edwards dan Lofty
(1977) yang menyatakan bahwa cacing tanah umumnya memakan serasah daun dan juga
materi tumbuhan lainnya yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran.
Kemampuan hewan ini dalam mengonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung pada
16
ketersediaan jenis serasah yang disukainya, disamping itu juga ditentukan oleh kandungan
karbon dan nitrogen serasah.
Tabel 5 adalah tabel anova rerata berat cacing tanah dan didapatkan hasil bahwa p >
0,05, yang lebih tepatnya adalah p=0,369 dengan F = 0,828, df = 1, maka perbedaan lokasi
cultivated dan uncultivated berpengaruh secara tidak signifikan terhadap rerata berat cacing
tanah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kondisi dari kedua tanah tersebut tidak memberikan
pengaruh yang berbeda teradap berat cacing tanah yang tinggal di dalamnya. Nilai
signifikansinya menujukkan sangat berbeda jauh dari signifikansi yang ditentukan. Semakin
tinggi selisih nilai signifikansi yang didapatkan dan melebihi signifikansi yang diharapkan,
maka semakin jauh korelasi diantara keduanya. Hal ini menandakan bahwa penyimpangan
yang terjadi bisa mencapai 6 kali lipat dari yang diharapkan. Telah dibahas sebelumnya, hal
ini kemungkinan disebabkan oleh lahan pertanian yang semulanya selalu diolah dan
dilakukan pemupukan namun karena bertambahnya waktu tidak lagi dilakukan pemupukan
sehingga menjadikan tanah tersebut tidak lagi gembur dan ditempati oleh banyak cacing.
Andaikan saja jika tanah tersebut masih dilakukan pengolahan dan pemupukan maka tanah
tersebut akan tetap terjaga kegemburan dan teksturnya sehingga akan banyak cacing yang
gemuk disana akibat banyak nutrisi pula dalam lahan tersebut. Dengan demikian perlakuan
yang dulu jika tetap dilakukan, maka akan memberikan perbedaan yang cukup signifikan. Hal
ini sesuai dengan teori menurut Edwards dan Lofty (1977) yang menyatakan bahwa cacing
tanah umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya yang telah mati,
kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran. Kemampuan hewan ini dalam
mengonsumsi serasah sebagai makanannya bergantung pada ketersediaan jenis serasah yang
disukainya, disamping itu juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah.
Tabel yang terakhir adalah tabel perbandingan rerata berat cacing tanah antara lokasi
cultivated dan uncultivated p 6 > 0,05, yaitu p = 0,369 maka antara lokasi cultivated dan
uncultivated berbeda secara tidak signifikan. Hal ini menandakan bahwa penyimpangan yang
terjadi bisa mencapai 6 kali lipat dari yang diharapkan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa antara kedua lahan hampir memiliki kesamaan berat cacing yang terdapat di
dalamnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidakadanya keberlangsungan pengolahan dan
perlakuan pemupukan terhadap lahan fakultas pertanian sehingga tanah kembali lagi seperti
struktur tanah pada umumnya. Hal inilah yang menyebabkan berat cacing tanah yang hampir
sama jika dibandingkan dengan lahan yang ada di FKIP. Data yang terlihat dalam tabel ini
tidak sesuai yang diharapkan, yang mana seharusnya pada lahan cultivated, saat dilakukan
monitoring maka akan ditemukan banyak cacing tanah dengan berat yang lebih karena tanah
17
yang dioalah dan dilakukan pemumukan akan semakin gembur dan menjadikan
mikroorganisme serta cacing tanah untuk tinggal ditempat tersebut. Karena cacing tanah
butuh tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhannya yang salah satunya adalah ditanah
gembur dan lembab. Kelembaban akan sangat berharga bagi cacing karena untuk
melembabkan selalu kulitnya yang akan membantu dalam pernapasannya. Jika tanah tersebut
secara terus menerus dilakukan pemupukan dan pengolahan maka tanah tersebut akan
gembur dan lebih subur.
Sednagkan faktor-faktor abiotik yang dicatat antara lain, tekstur tanah, kelembaban
udara, kelembaban tanah, pH tanah, suhu udara dan jumlah jenis vegetasi. Untuk tekstur
tanah, semakin gembur tanah itu maka akan semakin banyak kesempatan dalam menyimpan
udara apalagi ditambah sedikit lembab. Dengan keadaan yang demikian, maka akan semakin
banyak cacing yang tinggal disana selain dari segi udara air juga tersedia dimana cacing
memanfaatkan tempat yang lembab untuk membasahi kulitnya yang akan membantu dalam
sistem pernapasan. Selanjutnya adalah pH dimana cacing bisa hidup dengan pH yang netral
hingga asam bukan basa. Ketika pH lingkungan itu asam hingga mendekati netral maka
peluang ditemukannya cacing juga semakin besar. Berbeda dengan kondisi bsa yang misalny
saja tanah kita kasih deterjen maka cacing akan merasa panas dan menggeliat karena sabun
bersifat basa. Hal ini didukung oleh literatur menurut Arlen (1998) dalam Sudarmi (1999)
yang menyatakan bahwa cacing lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH sedikit asam
(<6), kelembaban tanah berkisar antara 80-90% dan kadar organik tergolong tinggi (>1%),
sedangkan cacing tanah dari spesies Drawida sp. lebih menyukai kondisi lingkungan dengan
pH netral (6-7). Pontoscolex corethrurus lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH
sedikit asam (<6) dengan kadar organik tergolong cukup tinggi.
Sedangkan dari kelembaban tanah dan suhu serta jumlah vegetasi. Untuk
kelembaban tanah, cacing biasanya lebih suka untuk tinggal ditempat yang lembab. Hal ini
dikarenakan cacing butuh kelembaban kulit untuk mengambil oksigen dalam tanah sehingga
memudahkan dalam sistem pernapasannya. Jika dipandang dari segi suu, maka suhu yang
rendah dan lembab akan lebih banyak diuni oleh cacing karena suhu yang rendah akan selalu
menjaga kelembaban kulit cacaiong. Dengan kulit ayng lembab maka cacing akan mudah
untuk bernafas seingga cacing akan memili tempat yang sedemikian. Jika ditinjau dari segi
jumlah vegetasi maka cacing akan emmilih ditempat yang banyak mterdapat tanaman di
atasnya. Tanaman yang banyak berarti mengindikasikan bahwa tempat tersebut terdapat
unsur hara dan akan menjadikan tanah tersebut akan semakin gembur. Dengan demikian akan
banyak komponen-0komponen organik yang akan dibutuhkan cacing. Dengan demikian
18
tanah gembur dengan banyak tanaman yang ada di atas tanah amak akan semakin banyak
cacing yang ada dalam tanah tersebut. Hal ini didasarkan pada sebuah literatur menurut
Arlen (1998) dalam Sudarmi (1999) yang menyatakan bahwa beberapa cacing suka tempat
lembab dan tanah yang mengandung banyak organik, yang diantaranya adalah Drawida sp,
suka di tempat dengan kelembaban tanah berkisar antara 8595%, dan kadar organik tergolong
cukup rendah (>1%). Sedangakan Pontoscolex corethrurus juga membutuhkan organik yang
tinggi dalam tempat tinggalnya
19
BAB 5. PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
5.1.1 Teknik monitoring populasi invertebrata terdiri dari Teknik dengan
menggunakan jaring atau jala, yang terdiri dari: Jaring Plankton, Kupu-kupu,
Beating Trays. Serta denagan teknik Traps, yang terdiri dari Pifall traps, Water
traps, Sticky traps, dan Light traps.
5.1.2 Kegiatan monitoring populasi cacing tanah pada suatu ekosistem dilakukan
dengan cara melakukan 2 kali kerja pada tempat yang berbeda yaitu
memonitoring cacing tanah pada cultivated area (fakultas pertanian) dan
uncultivated area (di samping gedung Biologi).
5.2 SARAN
Sebaiknya kegiatan ini dilakukan pada tempat cultivated yang
sesungguhnya, yaitu pada lahan sawah atau lahan pertanian. Karena lahan
disebelah fakultas teknik bukan lagi lahan yang cultivated.
20
DAFTAR PUSTAKA
Edward CH, Lofty JR. 1977. Biology of earthworm. London Chapman and Hall.
Hagvar, S. 1998. The relevance of the Rio-Conventionon Biodiversity to conserving biodiversity of soils. Applied Soil Ecology
Hanafiah KA, Napoleon A dan Nuni G. 2003. Biologi tanah ekologi dan
John Wiley & Sons. New York.
Karmana, Oman, 2007. Cerdas Belajar Biologi. Bandung: Grafindo Media Pratama
makrobiologi tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Manurung dan Petrus, 2009. Kajian Ekologi Hewan Tanah pada Ketinggian yang Berbeda di Rutan Aeknauli-Parapat-Sumatera Utara. Jurnal Sains Indonesia. Vol. 33. No.2.
Sudarmi. 2011. Mineralogi dan Petrologi. Buku Ajar. Program Studi Pendidikan Geografi. Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. FKIP. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Sugiarto, et all, 2002. Biodiversitas Hewan Permukaan Tanah Pada Berbagai Tegakan Hutan di Sekitar Goa Jepang, BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar. Jurnal Biodiversitas. Vol.3 No.1.
Suin, Nurdin M., 2003. Ekologi Populasi. Andalas University Press. Padang.
Syamsuri.2004. Biologi. Erlangga, Jakarta
21