bab 1 pendahuluan a. latar belakang...

35
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah: Superhero atau pahlawan dengan kekuatan super, belakangan menjadi salah satu topik yang banyak diperbincangkan di masyarakat. Maraknya tindak kejahatan dan ketidak adilan menjadi salah satu pemicu kehadiran superhero ini diharapkan di masyarakat. Dengan latar yang demikian superhero-superhero ini kemudian hadir dalam bingkai yang dikemas menarik yang mampu menjadi suguhan hangat bagi masyarakat. Komik, cerita fiksi, novel, hingga film kemudian menyuguhkan superhero sebagai salah satu sajian untuk memenuhi hasrat masyarakat yang haus akan kehadiran sosok pahlawan ditengah-tengah mereka. Marvel dan DC Comics menjadi contoh perusahaan besar yang banyak mengangkat tokoh superhero dalam „kemasan sajian‟ mereka. Beberapa tokoh superhero yang terkenal seperti Iron Man, Captain Amerika, Spiderman merupakah beberapa tokoh superhero ternama yang menjadi „pokok sajian‟ dari Marvel komik. Sementara itu, Superman dan Batman menjadi karakter superhero utama yang banyak ditampilkan oleh DC komik. Tidak hanya dari komik, tokoh- tokoh superhero itupun akhirnya dibuat film untuk lebih menarik perhatian khalayak, utamanya publik Amerika Industri perfilman yang berkembangpun mengikuti dari negara adidaya tersebut yang semakin besar dan berkembang hingga saat ini dan dikenal dengan industri perfilman Hollywood. Tidak kalah dengan Amerika, di Indonesia-pun sebenarnya ada beberapa karakter tokoh superhero yang sudah lama ada dan dikenal masyarakat. Gatotkaca, Srikandi, Darna, Aquanus, Pangeran Melar hingga Gundala Putra Petir menjadi beberapa contoh karakter superhero yang ada di Indonesia. Bermula dari cerita rakyat tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang masih dikenal hingga saat ini di masyarakat Indonesia, kemudian beberapa tokoh superhero lain seperti Srikandi, Darna, Aquanus hingga Gundala Putera Petir kemudian di buat komiknya untuk mengobati rasa haus masyarakat terhadap kehadiran tokoh-tokoh

Upload: nguyenlien

Post on 20-Mar-2019

259 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah:

Superhero atau pahlawan dengan kekuatan super, belakangan menjadi

salah satu topik yang banyak diperbincangkan di masyarakat. Maraknya tindak

kejahatan dan ketidak adilan menjadi salah satu pemicu kehadiran superhero ini

diharapkan di masyarakat. Dengan latar yang demikian superhero-superhero ini

kemudian hadir dalam bingkai yang dikemas menarik yang mampu menjadi

suguhan hangat bagi masyarakat. Komik, cerita fiksi, novel, hingga film

kemudian menyuguhkan superhero sebagai salah satu sajian untuk memenuhi

hasrat masyarakat yang haus akan kehadiran sosok pahlawan ditengah-tengah

mereka.

Marvel dan DC Comics menjadi contoh perusahaan besar yang banyak

mengangkat tokoh superhero dalam „kemasan sajian‟ mereka. Beberapa tokoh

superhero yang terkenal seperti Iron Man, Captain Amerika, Spiderman

merupakah beberapa tokoh superhero ternama yang menjadi „pokok sajian‟ dari

Marvel komik. Sementara itu, Superman dan Batman menjadi karakter superhero

utama yang banyak ditampilkan oleh DC komik. Tidak hanya dari komik, tokoh-

tokoh superhero itupun akhirnya dibuat film untuk lebih menarik perhatian

khalayak, utamanya publik Amerika Industri perfilman yang berkembangpun

mengikuti dari negara adidaya tersebut yang semakin besar dan berkembang

hingga saat ini dan dikenal dengan industri perfilman Hollywood.

Tidak kalah dengan Amerika, di Indonesia-pun sebenarnya ada beberapa

karakter tokoh superhero yang sudah lama ada dan dikenal masyarakat.

Gatotkaca, Srikandi, Darna, Aquanus, Pangeran Melar hingga Gundala Putra

Petir menjadi beberapa contoh karakter superhero yang ada di Indonesia. Bermula

dari cerita rakyat tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang masih dikenal hingga

saat ini di masyarakat Indonesia, kemudian beberapa tokoh superhero lain seperti

Srikandi, Darna, Aquanus hingga Gundala Putera Petir kemudian di buat

komiknya untuk mengobati rasa haus masyarakat terhadap kehadiran tokoh-tokoh

2

superhero. Namun kehadiran beberapa tokoh-tokoh superhero lokal itupun

memliki karakter dan kekuatan seperti halnya tokoh superhero dari Amerika.

Menjadi lebih menarik kemudian ketika komik-komik superhero lokal

seperti yang disebutkan di atas diangkat kedalam media yang lebih hidup, yang

tidak hanya dapat dinikmati dari bentuk visualnya saja tetapi juga ada audio

didalamnya. Hingga pada akhirnya tokoh-tokoh superhero tersebut dimunculkan

ke dalam bentuk film yang bukan hanya sebagai gambar animasi. Di awali dari

film superhero Si Pitung (1931) yang memiliki keahlian ilmu bela diri, Kemudian

dilanjut pada tahun 1970-an terdapat film Si Buta dari Gua Hantu dan Panji

Tengkorak, dan pada tahun 1982 film Gundala Putera Petir akhirnya dibuat. Film

Gundala Putera Petir sendiri yang awalnya dari komik populer karya Hasmi

kemudian diangkat menjadi film ternyata juga banyak menarik perhatian

masyarakat saat itu. Bahkan saking fenomenalnya tokoh Gundala Putera Petir

itupun, hingga saat ini terdapat film baru yang diangkat dari tokoh Gundala

tersebut1.

Tokoh-tokoh superhero lokal baik yang terdapat dari komik hingga film,

beberapa dari mereka dapat dikatakan merupakan adaptasi dari tokoh-tokoh

superhero asing yang kemudian diciptakan kembali, direpresentasikan dan

dileburkan dengan budaya Indonesia sehingga terasa masih kental dengan ke-

Indonesiaan. Superhero Darna misalnya, superhero ini memiliki karakter dan

kekuatan yang sama seperti tokoh superhero WonderWomen yang merupakan

koleksi superhero DC komik dan tokoh superhero bernama Darna yang serupa

diciptakan oleh komikus dari Filipina. Sementara itu, tokoh superhero Gundala

Puetera Petir, memiliki karakter dan kekuatan seperti superhero The Flash dari

koleksi komik superhero DC. Beberapa karakter dan kekuatan lain hampir sama

pula memiliki kesamaan dengan tokoh superhero Amerika, seperti Panji Manusia

Millenium dan Kalong serupa dengan Batman, Aquanus dan Pangeran Mlaar dari

1 Gundala Putera Petir film awal adaptasi dari komik populer milik Hasmi tahun 1969, kemudian

difilmkan pada tahun 1982. Kepopuleran tokoh Gundala kemudian diangkat kembali ke dalam bentuk film lain baik berupa film pendek berdurasi 8 menit yakni Gundah Gundala pada tahun 2013, dan Remake Gundala Putera Petir yang dijadwalkan tayang tahun 2016 lalu, namun sampai saat ini masih belum ditayangkan di bioskop meskipun pengerjaannya sendiri sudah dari tahun 2014 yang digagas oleh sutradara Hanung Bramantyo. (dikutip dari berbagai sumber).

3

dua tokoh karakter Fantastic Four, yakni Aquanus – Human Torch dan Pangeran

Mlaar – Mr. Fantastic.

Penokohan karakter superhero lokal yang beberapa memiliki kesamaan

dengan superhero asing, dalam hal ini Amerika, tidak ubahnya dilatarbelakangi

oleh berbagai hal, salah satunya adalah faktor bahwa Indonesia merupakan salah

satu negara yang pernah dijajah. Kemerdekaan yang diraih oleh negara Indonesia

dari penjajahan dapat mememunculkan perspektif poskolonial. Perpektif ini lahir

dalam upaya pembongkaran kuasa atas relasi negara jajahan dan negara penjajah.

Meskipun dalam sejarah tidak pernah dicantumkan bahwa Amerika pernah

menjajah Indonesia, namun kedigdayaan Amerika mampu masuk ke dalam

Indonesia melalui media-media yang ada di Indonesia.

Teori poskolonialisme, menurut Edward Said menjadi tombak lahirya

revolusi kesadaran manusia akan ideologi mainstream yang ada di masyarakat2.

Sebagaimana telah diketahui bahwa ideologi yang ada di masyarakat merupakan

ideologi yang telah terhegemoni oleh penguasa untuk melanggengkan

kekuasaannya3. Dengan demikian kritik atas ideologi mainstream yang dibawa

dan dilanggenggkan oleh kaum elit dan penguasa dan ditentang oleh kelompok

subaltern ini menjadi salah satu wacana kajian historis yang sangat menarik untuk

dikembangkan oleh peneliti dalam membaca wacana poskolonialisme di

Indonesia.

Indonesia sebagai salah satu negara yang telah merdeka dari jajahan

bangsa Eropa lebih dari 3 ½ abad, tentunya memiliki ideologi sendiri yang

berbeda dengan ideologi negara lain. Selain itu, unsur budaya yang melekat kuat

di Indonesia yang tersebar luas di seluruh masyrakat membawa wacana ideologi

yang berbeda dari apa yang ada di negara lain. Pengelolaan atas sumber daya

kekayaan alam dan aset-aset yang telah dimiliki oleh negara juga menjadi tolak

ukur bahwa masa kolonialisme sudah tidak lagi menjadi bayang-bayang

masyarakat Indonesia. Namun bagi segilintir orang yang merasa bahwa mereka

“masih tertindas”, wacana kolonoliasme ini dimunculkan kembali dengan nama

2 Arif Dirlik. The Poscolonial Aura: Third World Critisism in The Age of Global Capitalism

3 Chris Barker. Cultural Studies: Teori dan Praktik. hal. 84

4

poskolonialisme. Hal ini karena meskipun segala aset dan kekayaan sumber daya

telah dimiliki oleh negara dan bukan oleh kaum imperium, namun dalam

pelaksanaannya ada hal yang masih mengganjal di benak masyarakat.

Relasi kuasa atas kaum elit terhadap subordinat kemudian menimbulkan

pergulatan pemikiran dalam diri kaum subordinat. Arus modernisasi dan

globalisasi juga turut menghantarkan kaum subordinat yang merasa terdominasi

oleh kaum elit dan penguasa. Perkembangan teknologi dan komunikasi yang

dibawa dari arus globalisasi dan modernisasi ini juga turut dirasa kaum subordinat

bahwa kehadirannya masih menimbulkan ketimpangan. Penguasaan atas alat-alat

teknologi komunikasi dan juga sumber informasi yang tidak semibang juga

memicu kaum subordinat untuk melawan kaum penguasa.

Dalam rezim Orde Baru, bentuk protes atas rezim yang berkuasa sudah

banyak terlihat. Bentuk protes tersebut diawali dari ketidakbebasan untuk

berekspresi melalui media seperti iklan, dan film membuat kaum subordinat

semakin merasa terdominasi oleh kaum elit penguasa. Puncaknya adalah masa

reformasi 1998 dimana rakyat kemudian berkumpul dan menyerang serta

meminta rezim yang berkuasa untuk turun dari jabatannya. Pasca rezim Orde Baru

tumbang, digantikan dengan reformasi dimana akses informasi dan komunikasi

terbuka luas untuk masyarakat, media-media seperti iklan dan film kemudian

digunakan sebagai wadah dan sarana masyarakat untuk menyuarakan aspirasi

mereka yang tertuang dalam karya seni iklan baik cetak maupun audio visual dan

juga dalam karya film4.

Surat kabar, majalah, film, iklan dan berbagai media lain berperan dalam

menyampaikan berbagai macam informasi kepada masyarakat. Informasi-

informasi tersebut pula yang kemudian diterima masyarakat dan oleh masyarakat

dicerna serta dipahami sesuai dengan apa yang mereka pahami. Masyarakat yang

mengenal tokoh-tokoh karakter superhero Amerika mendapatkan informasi dari

berbagai media tersebut. Kemudian mereka mengolah informasi tersebut ke dalam

bentuk baru yang mereka ciptakan sendiri dengan berbagai karakter baru yang

4 Bedjo Riyanto dalam Budi Susanto (ed). 2003. Identitas dan Poskolonialitas di

Indonesia.Yogyakarta: Kanisius. Hal. 58-59

5

dianggap memiliki rasa nasionalisme. Karakter kuat superhero yang berperan

dalam membela kebenaran dan membasmi kejahatan diciptakan sebagai pemuas

masyarakat yang haus akan sosok pahlawan yang memiliki kekuatan super untuk

menjalankan semua misi memberantas kejahatan.

Media yang digunakan oleh masyarakat untuk meyebarluaskan informasi,

salah satunya dapat berupa film. Tidak hanya sebagai media hiburan semata,

tetapi film juga digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan ide dan

gagasannya tentang suatu pemikiran yang kemudian disampaikan dalam bentuk

film. Media film banyak digunakan untuk menyampaikan gagasan tentang

pemikiran baik yang laten maupun tidak sudah banyak contohnya. Soe Hok Gie,

film yang bercerita tentang bagaimana mahasiswa yang berusaha melawan rezim

yang berkuasa saat itu menjadi salah satu contohnya. Selain itu masih ada film Ca

Bau Kan yang menceritakan representasi etnis tionghoa di Indonesia; Sang

Pencerah, juga merupakan salah satu judul film yang bercerita tentang salah satu

tokoh besar agama Islam di Indonesia KH. Ahmad Dahlan. Dan masih ada

beberapa film lagi yang bertujuan bukan hanya untuk menjadi media hiburan

semata tetapi juga sebagai media penyampai ide dan gagasan.

Dalam sebuah wacana kajian film, ada pula yang disebut sebagai Third

Cinema. Konsep ini diperkenalkan secara luas untuk membahas semua konstituen

dari pembuat film dan pada cakupan terluas dari lingkup kajian film5. Third

Cinema ini juga menjadi kajian yang menarik karena dalam pembahasannya film-

film yang dimunculkan atau diciptakan oleh para filmmaker merupakan film-film

yang dengan tujuan nonprofit komersial. Ini dikarenakan bagi para filmmaker,

bisnis industri dunia film telah dikuasi oleh kaum-kaum borjuis yang menguasai

seluruh sumber daya yang ada dan menciptakan ketimpangan sosial bagi penikmat

film dan juga bagi pembuat film kecil. Konsep Third Cinema ini kemudian juga

menarik bagi peneliti karena adanya kesamaan konsep pada peninggalan unsur

poskolinal yang diangkat dan dimunculkan kembali oleh negara-negara jajahan

atau negara dunia ketiga, salah satunya Indonesia.

5 Guneratne, Anthiny R., Dissanayake, Wimal (Ed). Rethinking Third Cinema. Routledge. 2003. hal.

1

6

Telah disebutkan di atas bahwa film telah menjadi media hiburan bagi

masyarakat. Berbagai jenis film dan genre film juga banyak dan diangkat ke layar

Lebar. Durasi film baik panjang, maupun pendek telah banyak pula dibuat oleh

filmmaker-fimmaker di Indonesia. Selain itu, film adaptasi baik dari novel,

ataupun komik yang menginsipirasi juga telah banyak bermunculan di Indonesia.

Gundala Putra Petir, 99 Cahaya di Langit Eropa, Ayat-ayat Cinta, Negeri 5

Menara menjadi bebrapa film yang diangkat dari novel dan komik laris di

Indonesia. Namun tidak hanya itu ada pula film yang dibuat kembali atau di-

remake dari film lawas yang sudah pernah ada. Genre film yang bermacam-

macam juga menjadi perhatian penikmat film. Drama, horror, action atau laga,

komedi, thriller, dokumenter hingga tema-tema khusus yang mengangkat

kepahlawanan juga menjadi beberapa genre film.

Berbagai karakter dan cerita dalam superhero jika ingin diungkapkan,

terdapat beberapa hal yang apik jika diungkapakan. Seperti hanya cerita dalam

Justice League, dimana dua superhero besar, Superman dan Batman, yang

harusnya saling mendukung, justru kemudian dihadapkan untuk saling bertarung,

ini menunjukkan seolah-olah ada persaingan dalam superhero itu sendiri. Selain

itu, pengungkapan atas identitas superhero yang selalu tertutup atau ditutup

dengan menggunakan penutup wajah sehingga masyarakat tidak mengenalinya,

juga dapat menjadi salah satu pertanyaan. Mengapa justru sosok superhero harus

menutupi dan menyembunyikan identitas mereka sebagai superhero? Apa yang

harus mereka sembunyikan dari masyarakat? Berbeda dengan itu, salah satu

pertanyaan lain juga dapat muncul tentang superhero adalah seperti baru-baru ini

masyarakat sedang ramai membicarakan Wonder Woman sosok superhero wanita

yang menggambarkan femininitas. Dalam perwujudan sosok superhero laki-laki

selalu menggunakan pakaian lengkap dan cenderung ketat namun tetap menutupi

hamipr semua bagian tubuhnya, namun mengapa kemudian Wonder Women yang

menggambarkan feminitas justru memilki kostum minim dan cenderung terbuka?

Ini berbeda pula dengan Cat Women yang juga menutup pakaiannya dengan

lengkap meskipun tetap terlihat seksi. Beberapa pertanyaan ini dapat digunakan

untuk pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan sosok superhero. Namun

7

dalam penelitian ini, peneliti memiliki pertanyaan penelitian yang berbeda dan

penelitian ini berkaitan dengan sosok superhero dalam film.

Film Gundala Putra Petir (1982) menjadi salah satu film yang cukup

legendaris di tahun 1982. Film yang menceritakan sosok pahlawan atau superhero

lokal indonesia yang menumpas kejahatan dan menjaga perdamaian dunia dengan

kekuatan yang dimilikinya telah menarik perhatian penonton saat itu. Meskipun

film tersebut diangkat dari komik karya Hasmi, namun tetap saja asih banyak

penikmat film yang menyaksikan film tersebut saat itu. Tidak hanya berhenti

sampai disitu, Film Gundala Putra Petir juga kemudian dibuat kembali atau

diproduksi kembali pada tahun 2014 dan diperkirakan akan tayang pada tahun

20166. Namun sebelumnya film pendek Gundah Gundala juga telah mengadaptasi

tokoh superhero Gundala Putra Petir menjadi tokoh dan karakter utama dalam

filmnya. Gundah Gundala, menjadi salah satu media berupa film pendek yang

diambil peneliti untuk mengkaji bagaimana gambaran poskolonialisme yang

ditampilkan dalam sebuah media. Bercerita tentang superhero „lokal‟ – Gundala

Putra Petir – yang merasakan kegalauan dengan kehadiran superhero-superhero

import, film ini menggelitik peneliti untuk kemudian menggali kondisi

poskolonialitasisme dalam gambaran sebuah film. Wacana nasionalisme,

hibriditas dan mimikri, serta diaspora menjadi hal yang akan dibahas nantinya

untuk melihat kondisi poskolonialitasisme dalam film Gundah Gundala. Untuk

kemudian menggali lebih dalam bagaimana tokoh Gundala digambarkan dalam

dua film yakni Gundala Putra Petir (1982) dan film Gundah Gundala (2013),

peneliti ingin menguak gambaran poskolonial yang melekat ditampilkan dalam

dua film tersebut. Tokoh Gundala yang ditampilkan dalam film pendek Gundah

Gundala menurut peneliti merupakan bentuk pe-mimikri-an sosok superhero

lokal atas tokoh Gundala dalam fim Gundala Putra Petir akan menjadikan

penelitian ini menarik utnuk diteliti utnuk mengatahui gambaran superhero yang

dituangkan pada karya masa lalu dan masa kini.

6 http://www.21cineplex.com/m/slowmotion/gundala-putra-petir-siap-kembali-ke-layar-

lebar,5194.htm

8

B. Rumusan Masalah:

Seperti yang dijabarkan dalam latar belakang masalah di atas, dalam

penelitian ini, rumusan masalah utamanya adalah:

Bagaimana identitas superhero pada film Gundala Putra Petir (1983) dan

film Gundah Gundala (2013) menggambarkan representasi akan kondisi

poskolonialitas?

C. Tujuan Penelitian:

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menggambarkan kondisi poskolonialitas dalam film.

2. Untuk menggali lebih dalam tentang gambaran atas kondisi

poskolonialitas melalui identitas superhero dalam film Gundala Putra

Petir (1982) dan film Gundah Gundala (2013)

D. Manfaat Penelitian:

Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menyajikan berbagai fakta kepada pembaca akan gambaran

kondisi poskolonialitas yang terdapat dalam film Gundala Putera Petir

(1982) dan film Gundah Gundala (2013) yang dituangkan dalam

identitas superhero.

2. Untuk membantu membaca memahami kondisi poskolonialitas yang

digambarkan melalui identitas superhero dalam film Gundala Putera

Petir (1982) dan film Gundah Gundala (2013.

E. Tinjauan Pustaka:

Untuk mendukung penelitian ini, peneliti mencari beberapa referensi yang

berhubungan dengan penelitian ini. Referensi atau tinjauan pustaka ini berguna

untuk membantu peneliti dalam menganalisis objek penelitian yang sedang

diteliti. Selain itu, tinjauan pustaka ini juga membantu peneliti untuk

9

menggambarkan dimana posisi penelitian ini dan mendapatkan perbedaan

penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan.

Penelitian tentang film di Indonesia sudah cukup banyak dilakukan, baik

berupa skripsi, tesis, disertasi ataupun jurnal-jurnal ilmiah pernah mengangkat

film sebagai objek peneltiannya. Metode penelitian, jenis dan tema film, hingga

regulasi atau proses distribusi film pernah menjadi beberapa judul penelitian. Pada

penelitian ini, peneliti mengambil tiga penelitan yang dianggap cukup berkaitan

dengan penelitian ini.

Skripsi yang ditulis oleh Reza Akhmad Syafi‟i mengungkapkan gambaran

representasi tokoh superhero Jepang dalam film Ultima!!! Hentai Kamen7.

Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya bentuk perlawanan Superhero

Jepang atas dominasi Superhero Amerika. Metode penelitian yang digunakan

adalah analisi semiotika Roland Barthes. Dalam penelitian ini, Syafi‟i

menggunakan elemen scene dalam film yang kemudian dianalisis berdasarkan

unsur-unsur dalam film yang dimaknai berdasarkan semiotika Roland Barthes.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi tubuh ala superhero barat

direpresentasikan oleh sosok Hentai Kamen, menunjukkan globaliasasi sosok

tubuh ideal barat, namun dalam film ini kontruksi tersebut hanyalah ditayangkan

sebagai parodi yang menunjukkan sikap ketidaksukaan Jepang terhadap Amerika.

Kesimpulan lainnya adalah seksulaitas lelaki yang ditunjukkan dalam film

bertujuan memperkuat dominasi lelaki atas perempuan, hal ini sesuai pula dengan

budaya patriarki yang juga menghegemoni di Jepang. Terakhir sosok Hentai

Kamen merupakan simbol representasi penyimpangan seksual yang dianggap

abnormal dan termajinalkan di masyarakat. Peneliti menggunakan penelitian ini

sebagai contoh metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Skripsi yang dilakukan oleh Maria Rosarina, dalam penelitian yang

dilakukan oleh Maria ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana

multikulturalisme direpresentasikan melalui sebuah film pendek yang berlatar

7 Syafi’i, Reza Akhmad. 2014. Representasi Tubuh dan Seksualitas Lelaki dalam Film “Ultimate !!!

Hentai Kamen”. YogYakarta: UMY

10

pada cerita pemikiran anak-anak8. Metode penelitian yang digunakan adalah

represesntasi milik Stuart Hall dan semiotika milik Roland Barthes. Dalam

analisis film yang digunakan ini mengambil berbagai elemen dalam film yang

tidak hanya berupa percakapan tetapi elemen lain dalam film juga ikut dilibatkan.

Hasil dari penelitian ini adalah film pendek Cheng Cheng Po dapat

merepresentasikan multikulturalisme mengenai keberagaman budaya dapat

melalui unsur-unsur pada film walaupun terdapat penonjolan salah satu budaya.

Penelitian tentang ilm pendek, sebagai referensi peneliti menggunakan penelitian

milik Maria. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh

peneliti adalah dengan menggambarkan film pendek dan film panjang.

Dua penelitian di atas menjadi referensi yang digunakan peneliti untuk

menganalisis penelitian ini. Dari ketiga penelitian tersebut, peneliti kemudian

mengambil metode analisis yang digunakan dari dua penelitian di atas yakni

semiotika milik Roland Barthes. Peneliti menggunakan semiotika Roland Barthes

untuk mencari gambaran atas kondisi poskolonialitas yang digambarkan tidak

hanya dalam satu film, namun dalam dua film, satu film panjang dan satu lagi film

pendek. Semiotika Roland Barthes dianggap pas menarik karena penelitian ini

dikaitkan dengan kritik poskolinial, dimana unsur mitos ini akan membantu

menerangkan kondisi poskolonialitas yang terjadi.

Selain dua penelitian di atas, peneliti juga mengambil beberapa penelitian

lain untuk dijadikan referensi atas penelitian ini.Penelitian yang dilakukan oleh

Ikwan Setiawan dalam film yang mengangkat wacana poskolonial; menjadi salah

satu penelitian selanjutnya yang menjadi referensi peneliti atas wacana

poskolonial. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ikwan Setiawan tahun 2008,

berfokus pada representasi perempuan dan pertarungan ideologi dalam film

Indonesia9. Perpektif ideologi dan poskolonial digunakan untuk membuat analisis,

sementara untuk metode yang digunakan dalam penelitian adalah semiotika

8 Rosarina, Maria. 2015. Representasi Multikulturalisme dalam Film Indonesia (analisis Semiotik

Film Pendek Cheng- Cheng Po). Jogjakarta: UGM 9 Setiawan, Ikhwan. 2008. Perempuan dalam Layar Bergerak: Representasi Perempuan dan

Pertarungan Ideologis dalam Film Indonesia era 2000-an (Analisis Semiotika Mitos Barthesian dan Wacana Faucauldian). Jogjakarta: UGM

11

Roland Barthes dan Wacana Foucauldian yang dilengkapi dengan perspektif

hegemoni Gramscian. Hasil dari penelitian ini adalah representasi perempuan

dalam film Indonesia era 2000-an dalam konteks ideologis tidak dapat

digeneralisir dalam satu kesimpulan tetapi terdapat beberapa kecenderungan

pilihan. Hegemonik, resisten, kompromi menengahi, merupakan beberapa

representasi yang ditampilkan dalam objek penelitian ini yang menggambarkan

perempuan. Namun disamping itu, terdapat pula film yang merepresentasikan

tokoh perempuan dalam perspektif ideologis feminis radikal dengan merayakan

kebebasan, termasuk dalam hal seksualitas dan politik tubuhnya.

Penelitian selanjutnya yang dijadikan peneliti sebagai salah satu referensi

atau tinjauan pustaka adalah dari sebuah artikel jurnal karya Scott Bukatman10

.

Artikel jurnal dari Cinema Jurnal yang berjudul “Why I Hate Superhero Movies”

ini mengangkat peneltian tentang kritiknya pada karya-karya film yang bertema

superhero. Menurut Scott, film-film bertema superherotelah menggantikan posisi

komik-komik superhero dalam budaya massa; dimana menurutnya komik

merupakan sesuatu yang berharga di pasar. Dalam jurnalnya, Scott juga

menyebutkan bahwa kehadiran film bertema superhero merupakan sebuah contoh

ketidakpatuhan. Baginya, ketidakpatuhan ini terletak pada tahapan dimana tidak

hanya pada karakter fiktiv dari ruang fantasi, tetapi media sendiri telah merubah

bentuk ketidakpatuhan komik terhadap media lain seperti sequence cronofotografi

dan film live-action.

Wacana tentang superhero ternyata juga menarik perhatian Nandini

Chandra11

untuk meneliti bagaimana gambaran prehistory komik superhero di

India. Dalam penelitiannya ini, Chandra berusaha untuk memperkaya

pengetahuannya melalui pertanyaan dasar yang mengganggunya yakni tentang

ekonomi politik dari genre superhero dan bagaimana bias superhero terjadi di

masyarakat India baik secara nasional ataupun transnasional melalui komik-komik

superhero. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa dalam komik-komik

10

Bukatman, Scott, 2011. Why I Hate Superhero. Cinema Journal..Vol. 50, No. 3(Spring 2011), UT Presss. hal. 118-122 11

Chandra, Nandini. 2012. The Prehistory of the Superhero Comics in India (1976-1986). Thesis Eleven 113 (1). University of Delhi: Sage Publication.

12

superhero pada periode 1976-1986 gambaran dalam membentuk otonomi nasional

dibentuk melalui gambaran pengenalan tokoh superhero, dimana tokoh-tokoh

superhero tersebut menerapkan peran dari kaum burjois dalam melindungi

bangsanya.Namun, disamping itu, gambaran tentang tokoh superhero dalam

komik juga menggambarkan sebuah kontradiksi dimana para tokohnya akan

melakukan tindakan genosida yang dianggap sebagai gerakan heroik.

F. Kerangka Teori:

1. Superhero dan Film

Superhero berasal dari kata super yang berarti kekuatan atau

kemampuan yang jauh lebih besar dari kebanyakan orang, dan hero

yang berarti individu berbakat yang bertindak heroik, tidak hanya

pada beberapa kesempatan, tapi berulang kali. Superhero dapat

diartikan individu yang memliki karakter heroik, universal, tanpa

pamrih, mempunyai misi proporsial, memiliki kemampuan super / luar

biasa, teknologi canggih, atau keterampilan fisik dan atau mental yang

sangat berkembang (termasuk kemampuan mistis), yang memiliki

identitas superhero.12

“Superhero memiliki katerampilan yang unik, kemampuan

supranatural, tidak diakuisisi oleh sihir, tetapi oleh keajaiban ilmu

pengetahuan modern.”13

“Superhero selalu mempunyai misi dan mencoba melakukan

kebaikan / hal-hal yang benar. Mereka memiliki nama panggilan

dan kostum yang menjadi ciri khas ikon dirinya.”14

Dari beberapa pemaparan diatas, maka superhero yang ada dibenak

masyarakat saat ini tentunya tidak jauh dari gambaran superhero yang

12

Ridwan, Male Gender pada Karakter Superhero Dalam Film Produksi Marvel Studios.Jurnal E-Komunikasi Vol. 2, No. 3. tahun 2014. UK Petra Surabaya. hal. 2 13

WinterBach, 2006 dalam, Ridwan. 2014. Male Gender Role Karakter Superhero dalam Film Produksi Marvel Studios. Jurnal E-Komunikasi. Vol. 2, No. 3. Surabaya: UK Petra Surabaya 14

Coogan & Roosenberg 2013 dalam Ridwan. 2014. Male Gender Role Karakter Superhero dalam Film Produksi Marvel Studios. Jurnal E-Komunikasi. Vol. 2, No. 3. Surabaya: UK Petra Surabaya

13

sudah ada dan hadir dimasyarakat dan diperkenlakan melalui media.

Namun jika dikaitkan dengan saat ini, sudah berapa banyak karakter

superhero yang dikenal masyarakat Indonesia. Spiderman, Batman,

Superman, Iron Man, hingga mungkin Transformer-lah yang sering

disebutkan saaat ini jika kita menyebut kata superhero. Namun,

superhero-superhero itu adalah superhero ciptaan asing yang kemudian

dikenal melalui karaker yang tertuang dalam film ataupun komik-

komik yang ada.

Superhero di Indonesia dimulai sejak terbitnya komik tentang

tokoh Sri Asih, yang merupakan karakter perpaduan dari Wonder

Woman dan Superman yang kemudian dipadukan dengan kisah

pewayangan. Sosok Sri Asih dimunculkan dalam bentuk komik pada

tahun 1954 yang ditulis oleh RA Kosasih. Kemudian pada tahun-tahun

selanjtnya dikenal dengan kemunculan komik superhero gelombang

pertama. Dimana karakter superhero ini mengesankan meniru

(mimikri) dengan tokoh-tokoh superhero Amerika generasi Awal.

Kemudian gelombang komik generasi kedua hadir sebagai bentuk

kompromi budaya yang kemudian muncul tokoh-tokoh dalam kisah

pewayangan seperti kisah Ramayana, Mahabarata, Wiku Paksi

Jaladara, Raden Palasara, Ulam Sari dan Gatotkaca (1956-1963).

Gelombang komik selanjutnya adalah gelombang komik superhero

ketiga yakni pada tahun 1968-1980 yang memunculkan tokoh komikus

besar dimana salah satunya adalah Harya Suraminata (Hasmi) yang

menciptakan karakter Gundala Putera Petir, Pangeran Mlaar,

Sembrani, Kalong dan Maza si Penakluk. Selain Hasmi ada pula

komikus Wid NS yang memunculkan karakter Godam dan Aquanus,

serta Djoni Andrean yang memunculkan tokoh Laba-laba Maut.

Disamping ketiga komikus tersebut masih terdapat komikus-komikus

14

lain yang menciptakan karakter-karakter superhero dalam bentuk

komik15

.

Sementara itu, tokoh-tokoh superhero global dikenal dalam era

kejayaannya pada tahun 1940-an ditandai dengan kehadiran komik

tokoh superhero Superman tahun 1938 yang kemudian memicu

lahirnya tokoh-tokoh superhero lain. Superman yang awalnnya

dimunculkan dalam bentuk komik kemudian dimunculkan dalam

bentuk film pada tahun 1940-an. Film superhero ini kemudian menarik

mata khalayak karena menunjukkan sosok Superman yang kuat dengan

segala kekuatan super yang dimilikinya dimunculkan dengan efek

visualisasi yang hebat dalam film

Dua industri besar film superhero Amerika mengarah pada dua

produsen raksasa komik-komik superhero Amerika, yakni Marvell dan

DC Comics. Superhero Marvell yang dikenal publik adalah Human

Torch dan Namor menjadi tokoh superhero pertama yang diciptakan

dalam komik superhero Marvell, yakni pada tahun 1939. Tokoh

superhero Marvell lainnya adalah Spiderman, Iron Man, Captain

Amerika, Thor, Deadpool, Ant-Man hingga Hulk. Sementara tokoh

superhero dari DC Comics seperti Batman, WonderWoman, Superman,

Flash, Aquaman, Green Lantern, Supergirl dan Cat Woman16

.

Aquanus, Merpati, Godam, Sembrani dan Gundala Putra Petir

merupakan superhero „lokal‟ ciptaan karya anak bangsa. Superhero-

superhero itu memanglah mungkin sudah tidak ada gaungnya di

telinga anak muda yang sudah tergerus dengan asuhan superhero

internasional. Superhero-superhero lokal itu kemudian hanyalah

sebuaah karya rekaan yang kemudian tenggelam di bersama dengan

rekaan-rekaan dan kopian cerita-cerita buku lawas yang ada di pusat

buku bekas. Hanya mereka yang lahir di tahun 1970an lah yang

15

Ambardi, Banu dan Amabrdi, Nurma dalam Wibowo, Paul Heru. 2013 dalam Yusuf, Iwan Awaluddin 2014. Superhero: Imaji dan Fantasi dalam Kajian Komunikasi. hal. 13. 16

Yusuf, Iwan Awaluddin (ed). Superhero: Imaji dan Fantasi dalam Kajian Komunikasi. 2014. hal. 15

15

mengenal dan pernah mendengar dan berinteraksi dengan mereka

melalui komik-komik jaman dulu.

Karakter superhero yang berkembang di berbagai cerita komik dan

film yang beredar memiliki berbagai karakter yang berbeda.

Pengkatagorian karakter ini terbagi menjadi dua kategori besar seperti

yang diungkapkan oleh Aditya (n.d) pengkategorisasian berdasarkan

kekuatan dan keistimewaan yang dimiliki serta asal kekuatan yang

mereka miliki serta sifat karakternya. Aditya (n.d) menerangkan

pengkategorian superhero berdasarkan kekuatan dan keistimewaan

yang dimiliki dapat dilihat seperti berikut17

:

1. Super Strength

Jenis ini dapat dikatakakan sebagai tipe klasik. Karakter superhero

dalam tipe ini umumnya memiliki kekuatan melebihi manusia

biasa, kebal dan juga biasanya mereka memiliki kemampuan untuk

terbang.

2. Tanker

Jenis ini memiliki kekuatan yang besar namun terlihat lebih brutal,

serta karakternya digambarkan memiliki postur tubuh yang besar

dari manusia. Biasanya terlihat kuat dan terkadang berkarakter

kasar. Contohnya: Hulk

3. Blaster

Superhero yang masuk ke dalam tipe ini memiliki kemampuan

untuk melancarkan serangan yang berupa tembakan baik itu berupa

energi murni atau ciptaan yang terdapat dalam tubuh mereka (yang

disebebkan oleh kekuatan super mereka) ataupun mereka yang

menggunakan senjata

4. Marksman

Sesuai dengan namanya, para superhero tipe marksman ini akan

menggunakan senjata proyektil.

17

Aditya, Dimas Krisna (n.d). Jenis Karakter Komik Superhero Dalam Komik. Diakses dari laman http://www.stdi.ac.id/jenis-karakter-dalam-komik/ pada tanggal 6 Juni 2017

16

5. Mage

Superhero dengan tipe mage lebih mengandalkan kekuatan magis

yang mereka untuk menembakkan energi ciptaan. Tipe superhero

ini menguasai berbagai macam sihir sebagai sumber kekuatan

mereka.

6. Gadgeteer

Superhero dalam tipe ini mampu menciptakan sejumlah peralatan

yang digunakannya untuk menghasilkan ataupun meniru kekuatan

super, untuk mengimbangi superhero lain.

7. Armored Hero

Seperti namanya, tipe karakter ini menggunakan baju tempur atau

baju zirah yang berteknologi tinggi yang mampu memberikannya

kekuatan dan dilengkapi dengan sejumlah persenjataan.

Contohnya: Iron Man

8. Dominus

Tipe karakter ini biasanya menjadi pilot dari sebuah robot raksasa

baik dari dalam atau dari luar. Tipe ini lebih banyak dijumpai pada

sejumlah superhero Jepang .

9. Speedster

Tipe superhero ini memiliki kecepatan dan gerak reflek yang

melebihi manusia dan bahkan superhero lainnya. Biasanya

digambarkan dengan tubuh yang lebih ramping dibandingkan

karakter superhero lainnya.

10. Mentalist

Superhero dengan kekuatan psikis dan mampu melakukan

manipulasi terhadap pikiran dengan cara psikokinetik ataupun

telekinesis. Contohnya: Professor X.

11. Elementalist

Superhero yang masuk ke dalam tipe ini memiliki kekuatan untuk

mengendalikan elemen-elemen alam dan juga kekuatan alam.

17

12. Shapesifter

Tipe Superhero dengan kemampuan untuk mengubah bentuk

tubuhnya sesuai dengan keinginannya. Kebanyakan tipe shapesifter

memiliki tubuh yang sangat lentur.

13. Size Changer

Mereka yang tergabung dalam tipe ini adalah superhero yang

mampu mengubah ukuran tubuhnya saja

14. Acrobatic

Superhero dalam tipe ini lebih mengandalkan kelincahan, reflek

dan kelenturan tubuh mereka untuk beraksi cepat (meskipun tidak

secepat mereka yang masuk dalam golongan speedster ). Selain itu

dalam aksinya mereka digambarkan memiliki kemampuan

akrobatik

15. Martial Artist

Superhero yang masuk ke dalam ini lebih banyak mengandalkan

keahlian bela diri yang mereka latih sendiri, karena kekuatan super

yang mereka miliki terbatas atau tidak memiliki sama sekali

kekuatan super.

Selain pengkategorian superhero berdasarkan seperti apa yang ada

diatas, pengkategorian menurut Aditya (n.d) juga dibagi berdasarkan

asal kekuatan yang dimiliki. Pengaktegorian tersebut terbagi atas18

:

1. Anti Heroes

Anti heroes, adalah tipe superhero yang bertindak bukan

berdasarkan etika moral dan sistem hukum sosial yang biasa

diterapkan oleh para superhero klasik, mereka yang masuk ke

dalam tipe anti-heroes ini biasanya memiliki sifat anti sosial, dan

tidak segan-segan bertindak sendiri dan cenderung beraksi brutal

dan kejam dalam menegakkan kebenaran dan keadilan (dalam

perspektif mereka sendiri). Mereka yang tergolong dalam

18

ibid. diakses pada tanggal 6 Juni 2017

18

kelompok ini diantaranya adalah Wolverine, Green Arrow, The

Punisher dan Daredevil.

2. Government Support

Bebarapa karakter superhero diciptakan dan bekerja untuk

pemerintah untuk mengabdi kepada kepentingan nasional sebuah

negara dan melindungi bangsa dari ancaman. Contoh dari

superhero tipe ini adalah Captain America, Captain Britain dan

Alpha Flight, yang diceritakan merupakan tim superhero dari

Kanada. Akan tetapi semenjak kondisi politik Amerika yang

berubah pasca kejadian 9/11, dalam versi The Ultimates, karakter

Captain America diciptakan untuk melakukan beberapa pekerjaan

kotor pemerintah. Di lain versi, pada kontinuitas Marvel Universe,

Captain America memilih untuk memberontak pada kebijakan

pemerintah Amerika yang dinilainya sudah tidak lagi menjunjung

tinggi nilai kebebasan dan hak asasi.

3. Public Heroes

Public Heroes, adalah superhero yang tidak memiliki identitas

rahasia, seperti kebanyakan tokoh superhero lainnya. Mereka

biasanya secara terang-terangan membuka identitas mereka di

masyarakat. Contoh dari superhero yang masuk dalam kelompok

ini adalah The Fantastic Four, The Ultimates, dan beberapa

superhero Marvel setelah alur cerita Civil War.

4. Rages

Superhero jenis ini sebenarnya lebih cocok untuk berada pada

kategori anti hero, akan tetapi alter-ego yang dimiliki superhero

tipe ini memiliki sifat yang berlawanan dengan karakternya. Ia

digerakkan oleh kekuatan yang luar biasa dan bersifat destruktif,

sehingga tak jarang superhero jenis ini juga merupakan musuh bagi

beberapa superhero lainnya. Satu-satunya superhero yang memiliki

karakterisasi seperti ini adalah Hulk

19

5. Multi-identities

Beberapa tokoh superhero diketahui menyandang nama yang sama

dengan kekuatan yang relatif sama. Akan tetapi sifat penggunaan

nama yang sama ini adalah kondisional, yaitu apabila mereka

memiliki kekuatan dan misi yang sama, pemegang nama

sebelumnya pensiun, meninggal atau beralih dengan alter-ego yang

baru. Contoh superhero yang menyandang nama yang sama adalah

Green Lantern, Flash dan Robin. Untuk membedakan mereka, para

penulis dan seniman komik biasanya menambahkan identitas asli

di belakang nama mereka, seperti Flash Jay Garrick, Flash Wally

West atau Green Lantern John Stewart, Green Lantern Hal Jordan.

6. Extraterrestrials

Superhero yang masuk dalam kategori ini adalah para makhluk

hidup atau manusia dari planet lain ataupun dunia lain yang

mengabdikan dirinya untuk melindungi bumi sebagai rumah

mereka. Beberapa contoh superhero yang ada dalam kategori ini

adalah Superman, Martian Manhunter, Hawkman dan Silver

Surfer.

7. Mythological

Superhero yang masuk dalam kategori ini umumnya memiliki asal

usul yang terkait dengan kisah-kisah mitologi yang ada, seperti

tokoh Thor dan Hercules dari Marvel yang merupakan tokoh-tokoh

dewa dan pahlawan dalam mitologi kuno yang intepretasikan

kembali sebagai superhero. Kasus lain seperti yang terdapat di

dalam kisah Wonder Woman yang asal usulnya terkait dengan

legenda pejuang perempuan Yunani kuno yaitu kaum Amazon.

Untuk Indonesia sendiri, tokoh Sri Asih, asal usulnya terkait

dengan legenda Dewi Sri.

8. Demonic

Superhero yang termasuk dalam kategori ini pada umumnya

memiliki kekuatan yang berasal dari kegelapan. Mereka

20

digambarkan memiliki kekuatan yang berasal dari roh jahat, akan

tetapi mereka justru menggunakan kekuatan tersebut untuk balas

dendam dan kebaikan (berdasarkan moral yang dimiliki oleh para

hero tersebut). Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah

Spawn dan Ghost Rider

9. Villains Turns To Heroes

Beberapa super villains atau penjahat super diceritakan berbalik

memihak kebaikan (baik secara permanen maupun sementara)

karena kompleksitas kepribadian dan etika moral dari mereka

sendiri. Mereka diantaranya adalah Venom dan Catwoman.

10. Comedic

Karena genre superhero begitu populer dan sangat dikenal, maka

muncul cerita-cerita parodi superhero yang bersifat komedi seperti

The Incredibles, The Tick ataupun dimunculkan dalam beberapa

kisah lain seperti The Radioactiveman yang terdapat dalam serial

the Simpson.

Cerita superhero dituangkan dan di abstraksikan kembali oleh

masyarakat melali certa naratif. Cerita-cerita itu digulirkan seperti bola

salju. Namun cerita itu hanya akan ada dalam keadaan saat itu. Seperti

yang dikatakan oleh Wright:

“...narrative is preset in every age, in every place, in every

society; it begins with the very history of mankind and there

nowhere is nor eveer has been people without narrative.”19

sehingga dapat dikatakan bahwa cerita akan berkembang diwaktu dan

tempat dimana cerita itu digulirkan. Begitu pula saat ini, Kehadiran

superhero lokal mungkin sudah tidak lagi banyak yang mengenalnya,

dalam hal ini karena kajian budaya populer saat ini yang ada di

Indonesia sudah terbawa oleh rangkaian superhero asing yang

19

Wright, Will. 2005. Introduction: The Hero in Populer Stories. Journal of Popular Film and Television.Routledge, hal. 146

21

diperkenalkan dan dilanggengkan melalui berbagai film, komik, iklan

dan produk mainan atau berbagai merchandizing lain yang ada.

Dikaitkan dengan berbagai media yang ada di Indonesia,

nampaknya pelanggengan akan identitas superhero asing semakin

menjajah keberadaaan superhero lokal Indonesia. Hal ini dapat dilihat

dari tulisan Eric Sasono, et al. yang menjelaskan bahwa saat tahun

2011 saat adanya wacana aturan untuk film impor, masyarakat

Indonesia beramai-ramai memprotes dan untuk menyaksikan film

impor kesayangan mereka rela untuk mewacanakan pergi ke Singapura

demi menyaksikan tayangan film impor favorit mereka20

.

Menjadi sebuah ironi kemudian ketika sebenarnya aturan tentang

wacana pajak pada film impor dinaikkan ini digulirkan demi menjaga

film-film Indonesia agar tetap eksis dan lebih berkembang di negara

sendiri. Justru nampaknya masyarakat sendirilah yang memilih meng-

„asing‟-kan diri mereka dengan mengidentifikasi film luar yang

budayanya lebih dekat dengan mereka. Gempuran akan film impor

ditambah lagi maraknya pembajakan film setidakya membuat para

sineas Indonesia kemudian sedikit merasa rendah diri dan terpuruk.

Namun kemudian perfilman Indonesia mulai bangkit kembali.

Kehadiran film-film indie dan film pendek nampaknya menjadi

angin segar bagi sineas-sineas muda untuk lebih bebas berekspresi dan

bermain dengan genre dan tema film. Salah satunya adalah Gundah

Gundala yang merupakan film pendek yang sering diikutsertakan

dalam berbagai festival film independen. Gundah Gundala kemudian

menjadi salah satu alternatif baru bagi masyarakat yang haus akan film

indonesia. Dalam film ini menceritakan bagaimana kegalauan

kegundahan superhero lokal, Gundala Putra Petir yang merasa

tersaingi dengan kehadiran superhero-superhero asing. Sebuah kritik

atas sedikit penjajahan yang dialami oleh superhero lokal.

20

Eric Sasono, et al. 2011. Menjegal Film Indonesia.. Jakarta: Yayasan Tifa. hal. 14-19

22

2. Teori Film

Media massa yang ada, berkembang dan digunakan oleh

masyarakat saat ini terwujud dalam berbagai bentuk. Gambar visual

(printing atau lukis); rekaman suara audio seperti dalam radio; iklan

baik berupa audio, visual, hingga iklan audio visual; media cetak

seperti koran, majalah ataupun tabloid dan buku; media baru seperti

internet; dan film. Sebagai media massa berbagai bentuk media yang

disebutkan di atas telah dikonsumsi oleh berbagai khalayak untuk

memenuhi kebutuhan mereka akan informasi dan hiburan. Salah

satunya adalah film.

Film sebagai salah satu sarana media massa yang digunakan

masyarakat untuk mengakses informasi dan hiburan. Film yang ada

dan beredar di masyarakat cukup beragam jenisnya seperti film

panjang, film pendek, dan film dokumenter21

. Bagi pemirsanya, film

dapat digunakan sebagai media untuk mengakses informasi dan sarana

hiburan. Namun, bagi pembuat film, film menjadi salah satu media

yang digunakan untuk menyampaikan ide-ide yang ada dalam benak

mereka dan menyampaikannya dalam sebuah karya film. Sebagai

sarana penyampai ide, tidak jarang pula masih terdapat makna-makna

baik tersirat maupun tersurat dalam pesan sebuah film. Tentu saja

pesan-pesan tersebut jika disampaikan secara tersirat akan mudah

dibaca dan dipahami oleh penonton film tersebut. Namun, tidak

sedikit pula para pembuat film menyampaikan pesan tersurat dalam

film sehingga tidak semua orang paham tentang pesan sebenarnya dari

sebuah film tersebut.

Sementara itu menurut sejarahnya, film yang ditemukan pada akhir

abad 19 dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi

yang ada dengan berbagai modifikasi pada teknologi gambar dan

suara yang digunakan. Industri perfilman pun tak luput dalam andil

berkembangnya industri perfilman baik di kancah Internasional seperti

21

Panca Javandalasta. 2011. 5 Hari Mahir Bikin Film. Surabaya: Mumtaz Media. hal. 1-4.

23

hollywood dan juga bollywood, tetapi juga industri perfilman

Indonesia. Sempat mengalami kemerosotan baik dalam ide pembuatan

film hingga pendanaannya, namun kini industri permilman Indonesia

sudah mulai pulih. Kemerosotan perfilman Indonesia dimulai dari

pasca Orde Baru seperti dikutip dari buku “Menjegal Film

Indonesia”, dimana dikatakan bahwa industri perfilman Indonesia

mengalami kemerosotan, dan untuk mengembalikannya, maka jalan

mudah yang dapat diambil oleh sineas adalah dengan membuat tema

“back to basic”22

,23

. Namun tidak semua sineas kemudian mengambil

kategori tema “back to basic” untuk mengembalikan perfilman

Indonesia. Para sineas muda yang ingin mengembalikan industri

perfilman Indonesia kemudian mengusahakan sendiri produksi

filmnya tanpa adanya dukungan negara, baik dalam bentuk subsidi

pendanaan produksi, keringanan pajak dan segala jenis dukungan

lainnya24

. Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta?, Eiffel I’m

in Love, Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi menandai kembalinya

industri perfilman Indonesia dari segala kategori pilihan tema ”back to

basic”. Namun disamping itu, tidak hanya berupa film panjang

komersial yang mencuat ke permukaan untuk mengembalikan industri

perfilman Indonesia, sineas-sineas muda berbakat lain yang memiliki

potensi dan kemampuan juga membuat film-film yang tidak bertujuan

untuk bersifat komersil seperti film-film pendek dan film independen

yang sering diikutkan dalam ajang festival film baik dalam negeri

maupun luar negeri.

22

Back To Basic adalah film-film yang dikategorikan dengan jalan cerita sederhana atau bahkan terkadang sembarangan. Unsur utama yang menjadi daya tarik bagi penonton adalah para pemain film perempuan yang buka-bukaan (tanpa full frontal nudity) dan adegan yang bisa diasosiasikan sebagai adegan sex. Untuk film-film kekerasan, adegan yang diandalkan adalah darah muncrat atau anggota tubuh terpotong 23

Eric Sasono, et al. Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia. 2011. hal. 1 24

ibid. hal. 2

24

a. Film Independen

Film Independen atau lebih sering disebut dengan film indie,

adalah film yang diproduksi dan didistribusikan tanpa memiliki

kaedah perfilman yang telah baku (konvensional)25

. Karena

tanpa berpatok pada kaedah perfilman yang telah baku, film

indie memiliki karakteristik yang bebas, yang menjadi

alternatif pilihan baru dari film-film komersial yang beredar di

masyarakat. Dari proses pembuatannya, film indie ini membuat

filmmaker merasa terlepas dari belenggu kaidah yang berlaku

sehingga filmmaker pada akhirnya menempatkan film indie ini

sebagai sebuah seni. Dalam proses pembuatan dan

penyebarannya, di Indonesia, film ini ini sering dibuat dan

ditampilkan oleh komunitas-komunitas pecinta film. Ini

merupakan salah satu bentuk ekspresi yang mereka wujudkan

melalui film.

b. Film Pendek

Definisi film pendek menurut Javandalasta adalah sebuah karya

film cerita fiksi yang berurasi kurang dari 60 menit26

.

Sementara itu, Derek Hill pada tahun 1954 mengungkapkan

bahwa film pendek merupakan film yang dibatasi oleh durasi

dimana durasinya dbawah durasi film panjang.27

Dan pada

tahun 1980-an ketika industri televisi mulai marak, pembatas

durasi film pendek kemudian digolongkan ke dalam durasi film

pendek adalah film yang berdurasi dibawah 30 menit, atau

mulai film dua menit sampai 29 menit.28

Dari ketiga definisi di

atas, maka film pendek dikategorikan atas film yang berdurasi

dibawah film panjang dengan durasi mulai 2 menit hingga 29

25

Adhi, Alfian Nugroho, 2011. Pembuatan Film Independent: Diam Membalik Arah Waktu.Yogyakarta: STMIK AMIKOM 26

Panca Javandalasta, 2011. 5 Hari Mahir Bikin Film. Surabaya: Mumtaz Media. hal. 2 27

Derek Hill dalam Junaedi, Fajar, DKK. Menikmati Budaya Layar, Membaca Film. 2016. hal. 74 28

Prakosa, 2006 dalam Junaedi, Fajar, DKK. Menikmati Budaya Layar, Membaca Film. 2016. hal. 75

25

menit. Film pendek sering digunakan oleh sineas-sineas muda

untuk menjajal kemampuan mereka dalam bidang videografi,

fotografi hingga editing, sehingga sering disebut juga sebagai

labolatorium ekperimen dalam film. Namun tidak semua film

pendek dijadikan eksperimen atau percobaan, beberapa film

pendek sengaja dibuat untuk diikut sertakan dalam berbagai

ajang festival film. Arkipel, Festival Film Dokumenter, XXI

short film festival, JAFF - NETPAC Asian film festival

hanyalah beberapa contoh festival film pendek yang ada di

Indonesia.

Kehadiran film pendek dan film independen di Indonesia ini tentu

saja menarik perhatian banyak penikmat film, sehingga makin banyak

pula bermunculan komunitas-komunitas film. Komunitas-komunitas

tersebut tidak hanya menikmati film dari layar namun juga mereka

ikut serta dalam pembuatan film dan tidak jarang juga mereka mencari

dan menciptakan sendiri “layar alternatif” untuk menampilkan hasil

karya mereka29

.

3. Identitas dan Poskolonialisme

Berbicara tentang teori poskolonialisme, kita tidak akan secara

jauh dijauhkan dari wacana tenatang identitas. Dalam wacana identitas

terdapat beberapa konsep yang perlu diperhatikan seperti identitas

nasional atau kebangsaan, konsep hibriditas dan mimikri, hingga

konsep diaspora. Beberapa konsep di atas merupakan konsep inti dari

identitas. Dan poskolonialisme, konsep – konsep mengenai hibriditas

dan mimikri serta diaspora juga menjadi konsep inti selain itu masih

ada konsep subaltern, serta occident dan orient. Konsep-konsep di atas

akan kita bahas satu persatu di dalam tulisan ini dan nantinya akan kita

29

Prasdmadji, Shadia. 2016. Sineas dan Layar Alternatif. Cinema Poetica. diakses dari laman http://cinemapoetica.com/sineas-dan-layar-alternatif/ tanggal 09 April 2016

26

lihat bagaimana konsep-konsep dari identitas dan kolonialisme itu

muncul dalam representasi superhero pada film Gundah Gundala.

Dalam kajian budaya dan media, teori identitas sangat sering

dimunculkan. Hal ini karena dalam kajian budaya dan media, lebih

banyak menampilkan nilai-nilai representasi, konstruksi dan

dekonstruksi tentang identitas yang ditampilkan dalam media.

Pemaknaan seperti representasi, resepsi khalayak dan juga konstruksi

dan dekontruksi ini mewakili apa yang sebenarnya ingin dibongkar

oleh audien dan masyarakat tentang pemaknaan pada suatu objek

wacana kritis. Sehingga dalam wacana kritis unsur-unsur yang menjadi

dominan dalam identitas kemudian dimaknai ulang untuk

menghandirkan nilai-nilai yang dianggap nilai-nilai tersebut menjadi

lebih “seimbang”. Pembongkaran makna yang terkandung dalam

sebuah wacana dalam ranah kajian budaya media bukan menjadi hal

yang khusus lagi karena menurut peneliti, dalam media, apapun itu

objeknya dapat dimaknai oleh berbeda-beda oleh setiap orang bahkan

juga bisa berbeda dan secara subjektif dari apa yang dimaksudkan oleh

pembuat media tersebut.

Chris Barker dalam bukunya menuliskan bahwa identitas

sepenuhnya bersifat sosio kultural, sehingga identitas sepenuhnya

merupakan produk sosial dan tidak dapat “mengada” (exist) di luar

representasi kultural dan akulturasi30. Dari pendapat di atas kita tahu

bahwa identitas tidak dapat kita ciptakan sendiri. Identitas akan terus

melekat pada diri seseorang selama pribadi tersebut masih berada dan

berinteraksi dengan budaya dan lingkungannya. Chris Barker juga

menambahkan bahwa identitas bersifat fluid dan akan selalu berubah

menurut konteks sosial dan kultural dimana individu tersebut berada31,

karena bagi Barker identitas merupakan ciptaan dari wacana yang bisa

berubah makna menurut waktu, tempat dan penggunaan.

30

Chris Barker. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang. hal. 218 31

ibid. hal. 219

27

Pendapat dari Barker ini didukung pula apa yang telah dinyatakan

Giddens dalam Barker, dimana Giddens menggambarkan identitas

sebagai sebuah proyek. Yang dimaksudkan oleh Giddens adalah

bahwa identitas merupakan ciptaan, sesuatu yang selalu berproses, dan

sesuatu yang bergerak enuju dan bukan suatu kedatangan.32

“ Proyek identitas tersusun atas dari apa yang kita pikirkan

tentang diri kita sekarang dengan dasar situasi masa lalu

dan masa sekarang, sekaligus tentang gagasan akan menjadi

apakah kita, garis lintasan masa depan yang kita

inginkan”33

Dari apa yang dipikirkan oleh Barker dan Giddens diatas

kemudian, maka kita tahu bahwa bagaimana identitas tersebut

dibentuk. Yaitu bersadarkan dari apa yang diri kita gambarkan tentang

saat ini dan merupakan proyeksi masa lalu dan masa depan kita.

Sementara itu untuk menggabarkan identitas itu sendiri, itu muncul

dari wacana bukan dari bahasa yang sudah melekat. Identitas juga

merupakan hal yang ciptaan dari apa yang kita lakukan dahulu dan saat

ini. Sehingga identitas menjadi hal yang sangat mungkin untuk kita

jadikan wacana dalam mengkaji wacana dan teori poskolonialisme.

Pemikiran poskolonialisme ini muncul di kalangan para ilmuwan

yang lahir dari negara jajahan. Beberapa tokohnya seperti Homy K.

Bhabha, Gayatri Spivak dan juga Edward Said adalah beberapa nama

tokoh yang secara vokal membahas wacana poskolonial ke ranah

akademis. Bhabha, Gayatri Spivak dan Edward Said membawa

pemikiran mereka sendiri tentang konsep-konsep yang ada pada

wacana poskolonialisme ini. Konsep hibiriditas, negara barat,

subaltern, dan mimikri merupakan beberapa konsep yang cukup sering

dimunculkan oleh beberapa tokoh tersebut dalam mengkaji wacana

poskolonialisme.

32

Ibid. Hal. 220 33

ibid. hal 220

28

Munculnya wacana negara jajahan sebagai negara timur dan negara

penjajah sebagai negara barat, turut melatar belakangi pemikira

Bhabha, Spivak, dan Said dalam pemaparanya tentang

poskolonialisme. Latar belakang penjajahan masa kolonial tidak

sepenuhnya dilatarbelakangi degan maksud menjajah negara jajahan.

Namun pada saat itu, konsep kolonial yang dimaksudkan adalah kaum

imperial (negara penjajah) mengambil alih seluruh sumber daya yang

ada yang akan digunakan untuk kepentingan mereka sendiri, atau

dengan kata lain ekploitasi segala sumber daya. Tidak hanya sampai

disitu, negara penjajah kemudian memasukkan segala unsur untuk

membangun negara jajahan menjadi „layak‟ untuk mereka huni dengan

membawa para ilmuwan, pedagang, ahli agama dan budayawan untuk

menyebarluaskan agama, ilmu pengetahuan, budaya dan juga ektradisi

ekonomi.

Jika dikaitkan antara identitas dengan poskolonialisme dimana

sebelumnya oleh peneliti telah digambarkan bahwa identitas berasal

dari wacana masa lalu dan masa kini, maka keterkaitan identitas

dengan poskolonialisme akan dapat dilihat dari bagaimana Indonesia

dulu dijajah oleh kaum imperial dan kemudian merdeka hingga saat ini

mempertahakankan kemerdekaan. Identitas negara Indonesia yang

dulunya berada sebagai negara jajahan (third world) kemudian

mendapat kemerdekaan akan tetap menjaga dan mempertahankan

kemerdekaan menjadi sebuah wacana poskolonialisme yang menarik

untuk dikaji. Bagaimana sebuah budaya yang melekat di Indonesia

yang sudah ada dari masa penjajahan dan kemudian masih

dipertahankan hingga saat ini bahkan diperkenalkan kembali melalui

berbagai wujud kebudayaan juga menjadi wacana yang asik untuk

dikaji dalam identitas dan poskolonialisme.

Mengaitkan budaya, identitas dan poskolonialisme memang

menjadi kajian yang menarik bagi peneliti terutama jika budaya itu

kemudian dikaitkan dengan identitas kebangsaan atau nasionalisme

29

yang merupakan sebuah kritik atas teori poskolonialisme.

Sebagaimana dituliskan oleh Barker, budaya bukanlah suatu entitas

statis, tetapi tercipta oleh praktik dan makna yang terus berubah dan

bekerja pada berbagai tingkatan sosial34. Sementara Identitas

sebagaimana telah disinggung di atas merupakan wacana dari masa

lalu dan saat ini dan akan terus berubah menyesuaikan lingkungan

budaya waktu. Maka, mengawinkan budaya dengan identitas dapat

diartikan oleh peneliti dengan cara bahwa budaya dan identitas

bukanlah menjadai suatu yang statis dan saklek. Keduanya berbentuk

fluid dan akan menyesuaikan sesuai dengan lingkup ruang dan waktu

yang menempatinya. Dengan demikian maka peneliti akan melihat

budaya dan identitas dapat menjadi satu karena identitas akan

bergantung pula pada budaya dan budaya menjadi tempat

memunculkan identitas.

Sementara itu, katerkaitannya dengan poskolonialisme dan

identitas nasional, antara budaya dan identitas dapat dilihat dari bentuk

representasi budaya itu sendiri yang merupakan foto simbol dan

praktik yang diambil dalam rangkaian historis tertentu demi

kepentingan kelompok orang tertentu. Dan sementara itu identitas

nasional itu sendiri merupakan cara untuk mempersatukan keragaman

budaya itu sendiri.

“ Alih-alih membayangkan budaya nasional sebagai hal

yang tunggal, kita harus membayangkan sebagai perangkat

wacana yang merepresentasikan perbedaan sebagai

kesatuan dan identitas. Budaya nasional itu terbelah-belah

oleh perpecahan dan perbedaan internal yang mendalam,

dan hanya “dipersatukan” melalui penerapan berbagai

bentuk kuasa kultural.”35

Dari pernyataan diatas kemudian dapat diketahui bahwa makna

dari identitas nasional, budaya nasional dan poskolonialisme dapat

34

ibid. Hal. 261 35

Hall, 1992b dalam Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang, hal. 261

30

dilihat dari berbagai wujud wacana. Dari wacana historis kebangsaan

hingga wacana kesenian, dongeng hingga cerita rakyat yang

ditinggalkan dan diwariskan bersama dengan sejarah yang melekat

pada sebuah budaya yang kemudian menjadi identitas dari budaya

nasional. Dalam era poskolonialisme itu sendiri kemudian budaya

yang ditinggalkan dan diwariskan itu kemudian disentuh kembali oleh

masyarakat, dipoles dan dipercantik hingga kemudian ditampilkan

kembali sebagai media pelanggeng kekuasaan yang berkuasa saat itu.

Ideologi yang menghegomoni kemudian memaksa kaum “lemah”

untuk tunduk atas kuasa dari ideologi dominan, memunculkan

perlawanan dari kelompok subaltern. Perlawanan ini muncul karena

adanya perasaan “tidak nyaman” atas relasi tuan-hamba yang

dimunculkan oleh kelas dominan terhadap subaltern. Bentuk

perlawanan ini sendiri saat ini bukan hanya berwujud menggunakan

kekerasan seperti peperangan. Namun, perlawanan yang dilakukan ini

juga menggunakan media untuk menyuarakan apa yang menurut

mereka tidak adil, seperti berupa penampilan “perselingkuhan” budaya

di ruang publik media36

.

Orientalisme, salah satu konsep yang muncul dalam wacana

poskolonialisme. Wacana ini diperkenalkan oleh Edward Said yang

menjelaskan tentang wacana cerminan orang kulit putih pada

(occident) terhadap gambaran diluar diri mereka (orient). Edward Said

merupakan salah satu tokoh yang mewacanakan poskolonialisme pada

karya sastra. Pengkaitan proses „mendidik‟ yang dilakukan oleh kaum

barat dengan wacana orientalisme yang dimunculkan oleh Edward

Said, adalah untuk menghilangkan budaya asli dengan penanaman

mentalitas budaya bangsa barat. Selain orientalisme, mimikri dan

hibriditas juga merupakan salah satu konsep yang dimunculkan dalam

poskolonialisme yang dibawa oleh Homy K. Bhabha37

. Ruang

36

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang, hal. 263-264 37

ibid. hal. 265-266

31

hibriditas ini dimunculkan sebagai ruang ketiga dalam proses asimilasi

dan adaptasi terhadap „dunia ketiga‟. Ruang hibriditas ini juga

merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap dominasi wacana

penjajah dengan “perselingkuhan” budaya. Selain itu, ruang hibriditas

digunakan sebagai pembuka jalan atas kritik dikotomi biner yang

dikemukakan oleh penjajah. Sementara itu, mimikri menurut Fanon,

merupakan hasil dari proses kolonialisasi yang mencerabut kaum

penjajah dari tradisi dan identitas tradisionalnya dan memaksa mereka

untuk beradaptasi dengan identitas, perilaku dan budaya penjajahnya.

Subaltern menjadi salah satu wacana yang juga mengemuka saat

membahas poskolonialisme. Dalam relasi ini, subaltern merupakan

relasi atas hegemoni antara kaum penguasa dan subordinat.

G. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode

semiotika Roland Barthes. Analisis semiotika Roland Barthes

digunakan, karena dalam film terdapat banyak elemen lain yang

mendukung dalam film di setiap scene-nya seperti elemen

pencahayaan, angle, latar musik dan lain sebagainya, peneliti

menggunakan semiotika Roland Barthes yang mengidentifikasinya

melalui petanda (signified) dan penanda (signifier). Semiotika

digunakan dalam metode penelitian untuk membantu peneliti

menganalisis objek penelitian yang berupa film, dimana dalam sebuah

film terdapat banyak elemen yang harus diteliti tidak hanya berupa

percakapan dari aktor yang terlibat saja.

Semiotika Roland Barthes digunakan dalam penelitian tidak hanya

untuk mengidentifikasi penanda dan petanda saja, Namun makna

dibalik tanda yang beredar juga digunakan untuk menganalisis apa

makna yang terkandung dalam tanda tersebut. Selain itu, mitos,

menjadi elemen yang jugdaa penting dibahas. Dalam penelitian ini,

32

peran mitos akan berkaitan dengan kondisi poskolonialitas yang

terdapat pada tanda. Mitos diterangkan oleh Barthes dalam “Mythology

of the month” , sebagian besar menunjukkan bagaimana aspek

denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan konotasi yang

pada dasarnya adalah”mitos-mitos” yang dibangkitan oleh sistem

tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat38

. Dari sini peneliti

memperkuat asumisinya penggunakan teknik analisis semiotika

Roland Barthes dikarenakan mitos yang berkaitan dengan masyarakat

yang terdapat dalam tanda-tanda yang ada.

Barthes menjelaskan bahwa elemen-elemen dalam tanda utnuk

membaca sebuah tanda terdiri dari signifier dan signified. Signifier

menurutnya akan merujuk untuk mengekspresikan signified39

.

Sehingga ini akan saling berkaitan. Barthes menambahkan bahwa

peran pembaca memiliki peran penting untuk memahami tanda. Ia

menjelaskan bahwa Konotasi merupakan sifat asli tanda, dimana ini

membutuhkan keaktifan pembaca agar tanda dapat berfungsi. Dalam

pemaknaan tataran kedua, sastra enjadi contoh paling jelas pada sistem

pemaknaan yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem tataran

pertama. Sistem kerja tanda pada berbagai tataran diungkapkan

Barthes dalam menciptakan peta tanda sebagai berikut:

Gambar 1. 1. Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Barthes, Roland. 1991. Mythologies. New York: The

Noonday Press.. hal. 113

38

Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya, hal. 68 39

Barthes, Roland. 1991. Mythologies. New York :The Noonday Press.. hal. 111

1. Signifier 2. Signified

3. SIGN

I. SIGNIFIER

II. SIGNIFIED

III. SIGN

Language

M Y T H

33

Dari peta tanda Roland Barthes di atas, diungkapkan bahwa dalam

mitos, terdapat dua sistem semiologikal, dimana yang satu terikat

dalam hubungan dengan yang lain; sistem liguistik, bukan sebagai

bentuk kenamaan ataupun contoh grammatical yang terpisah40

.

Pada dasarnya, terdapat perbedaan antara denotasi dan konotasi

dalam pengertian umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti

oleh Barthes41

. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti

sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang

kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi

secara tradisional ini biasanya mengacu pada bahasa ucap. Namun

dalam semiologi Barthes, denotasi menjadi signifikansi tingkat

pertama dementara konotasi menjadi tingkat kedua. Dalam hal ini

denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna.

Konotasi dalam kerangka Barthes identik dengan operasi ideologi,

yang disebutnya dengan „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan

dan memberikan pemberian bagi nilai-nilai dominan yang berlaku

dalam suatu periode tertentu. Dalam mitos juga terdapat pola tiga

dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagi suatu sistem yang

unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada

sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos juga merupakan sistem

pemaknaan tataran kedua42

.

2. Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah scene-

scene dalam film Gundala Putra Petir dan film Gundah Gundala yang

merepresentasikan identitas superhero. Selain itu, peneliti tidak hanya

akan meneliti scene yang ada dalam film namun teks dan pesan yang

disampaikan juga akan menjadi objek penelitian yang dilakukan oleh

peneliti. 40

ibid. hal. 113 41

Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya. hal. 70-71 42

Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 70-71

34

(Gundah Gundala - Sumber: http://arkipel.org/gundah-gundala/)

Gambar I.2. Cuplikan Scene Gundah-Gundala

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan data primer yani dari scene-scene dalam film Gundala Putra

Petir dan film Gundah Gundala yang berkaitan dengan tema

penelitian. Selain itu, peneliti juga menambahkan data sekunder yakni

dari hasil interview dengan pembuat film Gundah Gundala.

4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes.

Peneliti akan mengambil beberapa scene dalam film Gundala Putera

Petir (1982) dan film Gundah Gundala (2013). Dalam scene-scene

tersebut peneliti juga akan mengambil beberapa gabungan shoot untuk

membantu menjelaskan bagaimana scene berjalan. Peneliti juga akan

meniliti berbagai elemen dalam film seperti teknik pengambilan

gambar, latar atau setting, latar suara, percakapan antar aktor, ligthing

dan camera movement. serta berbagai elemen dalam film.

35

Tabel I.1. Matriks model penelitian

Visual

(scene yang akan diteliti)

Dialog atau suara:

(percakapan yang

terjadi antar aktor)

Type of shoot:

Medium close-up

Signifier Signified

Makna Denotasi

Makna Konotasi

Mitos

5. Limitasi Penelitian

Batasan penelitian ini adalah pada cuplikan scene dalam film Gundah

Gundala. Selain itu yang menjadi batasan di sini adalah kaitan antara

scene tersebut dengan analisis yang akan dijabarkan oleh peneliti yang

disesuaikan dengan teori yang digunakan dan tema penelitian yang

diambil. Scene yang diambil dalam film Gundala Putera Petir (1982)

adalah scene-scene yang berkaitan dengan modernitas, asal mula

identitas Gundala serta permasalahan dan villain yang dihadapi oleh

Gundala. Sementara itu, dalam film Gundah Gundala (2013) scene

yang diambil, peneliti membatasi pada tema lokalitas dan

kesederhanaan, Identitas superhero, masalah dan villain, serta krisis

identitas