bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

19
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cinta merupakan rasa suka atau kasih sekali, atau juga rasa keterpikatan antara satu orang dengan orang lainnya ( KBBI, 2014:268). Menyatakan cinta berarti mengungkapkan perasaan kasih terhadap orang yang dicintai dengan harapan agar orang tersebut dapat mengetahuinya. Berdasarkan pengertiannya secara leksikal, bahwa cinta merupakan rasa suka dengan tingkat yang tinggi, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara rasa suka, sayang, dan cinta. Terdapat tingkatan pada ketiga perasaan tersebut, yaitu rasa suka dengan tingkat paling rendah, rasa sayang berada pada tingkat menengah, dan rasa cinta berada pada tingkat paling tinggi. Cinta merupakan rasa atau emosi yang cenderung bertendensi untuk memiliki, sehingga dalam menyatakan cinta, penutur juga memiliki tujuan agar dirinya dengan orang yang diberi pernyataan cinta dapat menjalin hubungan yang lebih lanjut. Secara umum, menyatakan cinta merupakan tugas utama kaum laki-laki. Laki-laki dianggap memiliki keharusan dan keberanian lebih banyak untuk menyatakan cinta terlebih dahulu kepada perempuan yang dicintainya. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, manusia dan lingkungan yang mengitarinya pun ikut berkembang. Saat ini, pernyataan cinta tidak hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga

Upload: trinhthien

Post on 06-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Cinta merupakan rasa suka atau kasih sekali, atau juga rasa keterpikatan

antara satu orang dengan orang lainnya (KBBI, 2014:268). Menyatakan cinta berarti

mengungkapkan perasaan kasih terhadap orang yang dicintai dengan harapan agar

orang tersebut dapat mengetahuinya. Berdasarkan pengertiannya secara leksikal,

bahwa cinta merupakan rasa suka dengan tingkat yang tinggi, dapat dilihat bahwa

terdapat perbedaan antara rasa suka, sayang, dan cinta. Terdapat tingkatan pada

ketiga perasaan tersebut, yaitu rasa suka dengan tingkat paling rendah, rasa sayang

berada pada tingkat menengah, dan rasa cinta berada pada tingkat paling tinggi.

Cinta merupakan rasa atau emosi yang cenderung bertendensi untuk memiliki,

sehingga dalam menyatakan cinta, penutur juga memiliki tujuan agar dirinya dengan

orang yang diberi pernyataan cinta dapat menjalin hubungan yang lebih lanjut. Secara

umum, menyatakan cinta merupakan tugas utama kaum laki-laki. Laki-laki dianggap

memiliki keharusan dan keberanian lebih banyak untuk menyatakan cinta terlebih

dahulu kepada perempuan yang dicintainya. Akan tetapi, seiring berkembangnya

zaman, manusia dan lingkungan yang mengitarinya pun ikut berkembang. Saat ini,

pernyataan cinta tidak hanya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga

2

sebaliknya. Sudah sangat sering dijumpai perempuan lebih berani menyatakan cinta

kepada laki-laki.

Dalam hal menyatakan cinta, terdapat tiga kemungkinan respons yang akan

diterima oleh orang yang menyatakan, yaitu pernyataan cintanya diterima , pernyataan

cintanya ditolak, dan pernyataan cintanya diabaikan. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2014:1477), menolak berarti tidak menerima, tidak m engabulkan, atau

menampik, sedangkan penolakan berarti proses, cara, atau perbuatan menolak. Dalam

penelitian ini, menolak cinta merupakan sebuah sikap tidak menerima cinta atau

pernyataan cinta yang diwujudkan dengan adanya tuturan penolakan cinta.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa menyatakan cinta tidak hanya

dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Begitu pula dalam hal

merespons pernyataan cinta tersebut. Penerimaan, penolakan, dan pengabaian

terhadap cinta pun saat ini tidak hanya dila kukan oleh perempuan, tetapi juga oleh

laki-laki. Apabila ditelaah kembali, bentuk-bentuk respons tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor tertentu dan kemudian memberikan dampak yang berbeda -beda bagi

pembuat pernyataan serta yang memberi respons.

Dampak yang dapat disoroti dengan cukup jelas adalah keberlanjutan

hubungan antara orang yang menyatakan cinta dan yang pemberi respons.

Keberlanjutan hubungan yang baik biasanya akan diterima oleh si pemberi respons

menerima, sedangkan keberlanjutan hubungan yang tidak baik biasanya akan lebih

3

banyak diterima oleh si pemberi respons menolak dan mengabaikan. Keberlanjutan

hubungan tersebut dapat ditimbulkan oleh banyak faktor, misalnya subjek yang

menjadi lawan bicara, kesesuaian bentuk tuturan, pemilihan kata, waktu dan situasi

tuturan, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, penulis memaparkan adanya

kemungkinan atau kecenderungan kebahasaan tuturan penolakan cinta berdasarkan

data yang diperoleh.

Dalam merespons pernyataan cinta, baik menerima, menolak, maupun

megabaikan, peran bahasa sangat penting, yaitu sebagai sarana penyampaian yang

utama. Bahasa tidak hanya digunakan sebagai media untuk membahas suatu

permasalahan, membujuk, atau merayu, tetapi juga dapat digunakan untuk

menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaan. Dalam menyampaikan gagasan dan

perasaan tersebut, seringkali dijumpai perbedaan bentuk yang dituturkan oleh setiap

individu maupun kelompok sosial tertentu. Begitu pula yang ditemukan dalam data

pada penelitian ini, yaitu berupa penolakan cinta. Oleh karena adanya perbedaan itu,

peneliti memilih untuk menganalisis lebih dalam tentang tuturan penolakan cinta.

Agar dapat memahami lebih dalam tentang tuturan penolakan cinta, perlu

dilakukan analisis terhadap bentuk-bentuk tuturan penolakan yang disampaikan,

faktor-faktor sosial yang memengaruhi tuturan penolakan cinta, serta kaitannya

dengan pola hubungan pascapenolakan cinta yang ditimbulkan . Untuk mendukung

analisis tersebut, penulis menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan

sosiolinguistik dianggap paling relevan karena penulis dapat menganalisis bentuk

4

tuturan penolakan yang didasari oleh berbagai macam aspek, khususnya aspek

sosialnya. Analisis ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak,

terutama bagi peminat bidang bahasa dan roman (cinta).

1.2 Rumusan Masalah

Masalah merupakan hal penting yang menjadi dasar dilakukannya penelitian.

Semua jenis penelitian, termasuk penelitian kebahasaan, bersumber pada masalah.

Berdasarkan pernyataan tersebut, diharapkan melalui analisis ini dapat menjawab

pertanyaan berikut.

1. Apa saja bentuk-bentuk tuturan penolakan cinta?

2. Bagaimana faktor-faktor sosial memengaruhi tuturan penolakan cinta?

3. Bagaimana pola tuturan terhadap hubungan pascapenolakan cinta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk tuturan penolakan cinta.

2. Menganalisis faktor-faktor sosial yang memengaruhi tuturan

penolakan cinta.

3. Menganalisis pola tuturan terhadap hubungan pascapenolakan cinta.

5

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari kegiatan penelitian ini dibatasi dengan menggunakan

kerangka teori sosiolinguistik. Penggunaan teori tersebut difokuskan pada bentuk

tuturan penolakan cinta, faktor sosial yang memengaruhi tuturan penolakan cinta ,

serta kaitannya dengan pola tuturan terhadap hubungan pascapenolakan cinta .

Tuturan penolakan yang digunakan dalam penelitian adalah tutura n yang diproduksi

oleh pembahan bergender feminin dan maskulin yang kemudian akan diklasifikasikan

berdasarkan bentuk langsung dan tak langsung, berdasarkan faktor-faktor sosial yang

memengaruhi seperti hubungan antarpenutur, media penyampaian, gender, serta

berdasarkan dampak hubungan pascapenolakan cinta yang ditimbulkan.

1.5 Studi Pustaka

Seiring dengan berkembangnya kebahasaan, tuturan yang menjadi wacana

turut berkembang dan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti. Berdasarkan telaah

pustaka yang telah dilakukan, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang digunakan

sebagai acuan. Penelitian dengan objek kajian ungkapan penolakan dalam bahasa

Jawa dilakukan oleh Nadar (2000). Hasil penelitian tersebut berupa laporan penelitian

berjudul “Kajian Formula dan Kesantunan Ungkapan Penolakan dalam Bahasa

Jawa”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui formula umum ungkapan

penolakan dalam bahasa Jawa, penanda kesantunan yang dipakai, dan apakah

terdapat indikasi keterkaitan antara budaya penutur dengan ungkapan penolakan.

Pengumpulan data dalam penelitian tersebut menggunakan kuesioner dalam bentuk

6

DCT (Dialogue/Discourse Completion Task), yang biasa digunakan dalam kajian

pragmatik dan sosiolinguistik. Secara umum, ungkapan penolakan dalam bahasa

Jawa cenderung mengikuti pola urutan ungkapan maaf, sebutan, ungkapan

ketidakmampuan, alasan, dan kadang-kadang ungkapan maaf sekali lagi. Dalam

laporan penelitian tersebut, yang dibandingkan adalah status penutur, yaitu antara

penolak dan pemberi perintah.

Penelitian dengan objek kajian penolakan juga dilakukan oleh Nadar (2006)

dalam disertasi yang berjudul “Penolakan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa

Indonesia (Kajian Pragmatik tentang Realisasi Strategi Kesopanan Berbahasa)”.

Penelitian tersebut mengkaji penolakan dalam bahasa Inggris dan penolakan dalam

bahasa Indonesia. Pengkajiannya secara deskriptif dengan pendekatan pra gmatik,

yaitu pengkajian yang dilakukan dengan sudut pandang penggunaan bahasa dalam

konteks tertentu. Penelitian tersebut bertujuan mengetahui realisasi strategi kesopanan

berbahasa pada penolakan dalam bahasa Indonesia, dan perbandingan realisasi

strategi kesopanan berbahasa antara penolakan dalam bahasa Inggris dan bahasa

Indonesia. Pemerolehan datanya dengan tes melengkapi wacana yang dibagikan

kepada penutur asli kedua bahasa, menyimak dan mencatat dialog dalam film,

menyimak dan mencatat pembicaraan antarpenutur dalam situasi natural.

Pengelompokan data dalam penelitian tersebut berdasarkan teori tindak tutur.

Beberapa penelitian tentang penolakan lainnya juga dilakukan oleh

Charismawati (2014) dan Kasih (2015) yang keduanya membahas penolakan pada

7

film. Hasil penelitian Charismawati (2014) berupa skripsi dengan judul “Kesopanan

Positif dan Negatif dalam Penolakan pada Tiga Film Drama Amerika”. Penelitian ini

menganalisis tentang jenis-jenis kesopanan dalam bentuk penolakan yang ada pada

dialog film drama, khususnya drama Amerika. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan Pragmatik. Hasil penelitian Kasih (2015) berupa skripsi dengan judul

“Strategi Penolakan Tidak Langsung di Dua Film Amerika dan Tiga Film Inggris”.

Penelitian ini berfokus pada identifikasi dan klasifikasi strategi penolakan tidak

langsung yang ditemukan pada dua film Amerika dan tiga film Inggris. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk menunjukkan perbedaan strategi penolakan yang

digunakan di film-film Amerika dan Inggris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ditemukan 50 bentuk penolakan dalam film Amerika dan 42 dalam film Inggris.

Penelitian yang dilakukan oleh Rurut (2013) pada makalahnya yang berjudul

“Pengkajian Pemakaian Bahasa Lisan” juga menggunakan sosiolinguistik sebagai

pendekatannya. Penelitian tersebut berfokus pada apa yang melatarbelakangi

pemakaian suatu bahasa lisan.

Penelitian tentang basa-basi yang menjadi acuan bagi penelitian ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh Arimi (1998) pada tesisnya yang berjudul “Basa -basi

dalam Masyarakat Bahasa Indonesia”. Penelitian tersebut menggambarkan etnografi

basa-basi dalam masyarakat bahasa Indonesia. Penelitian tersebut menjelaskan

kebutuhan penggunaan basa-basi, menguraikan jenis-jenisnya, serta menunjukkan

kekhasannya. Berdasarkan daya tuturnya, basa-basi dapat dibagi menjadi basa-basi

8

murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni adalah ungkapan basa-basi yang

digunakan secara otomatis sesuai dengan gejala peristiwa tutur yang muncul,

misalnya mengucapkan salam, menyapa, selamat datang, menanyakan kabar, dan

berpamitan. Basa-basi polar merupakan wujud basa-basi yang tuturannya berlawanan

dengan realitasnya. Dalam linguistik, kepolaran yang dimaksud dapat ditunjukkan

dari ke-asimetrisan tuturan. Artinya, orang sering kali harus memilih tuturan yang

tidak seharusnya untuk menunjukkan sikap yang lebih sopan, misalnya dalam hal

ajakan atau penolakan. Dalam hal ini, berkaitan dengan penelitian ini, penolakan

cinta dapat dikategorikan dalam jenis basa-basi polar. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa basa-basi adalah penggunaan bahasa yang lentur dan tipikal.

Penggunaan basa-basi adalah untuk membina dan atau mempertahankan hubungan

sosial antarpenutur.

Beberapa penelitian di atas membahas tentang penolakan. Akan tetapi,

terdapat perbedaan pada kajian penelitian-penelitian di atas dengan topik yang dipilih

oleh peneliti, yaitu bentuk objek yang digunakan dan sasaran objek yang dituju. Pada

beberapa penelitian di atas, objek yang digunakan adalah bentuk penolakan terhadap

perintah secara umum, dan sasaran objeknya adalah bahasa Jawa, bahasa Inggris, dan

bahasa Indonesia, sedangkan pada penelitian ini, objek yang digunakan adalah

tuturan penolakan cinta dalam bahasa Indonesia. Oleh karena tidak adanya kesamaan

yang siginifikan pada penelitian terdahulu dengan penelitian ini, pemilihan tema

tersebut digunakan dalam penelitian ini.

9

1.6 Kerangka Pendekatan Penelitian

Bahasa merupakan sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh

anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri

(KBBI, 2014:116). Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi

sosial yang penting bagi manusia, karena semua aktivitas yang dikerjakan oleh

manusia selalu menggunakan bahasa. Sebagai suatu sistem, bahasa terbentuk oleh

suatu aturan, kaidah, atau pola-pola tertentu, baik dalam bidang tata bunyi, tata

bentuk kata, maupun tata kalimat yang semuanya tidak dapat dilanggar (Rurut, 2013).

Penelitian ini menggunakan landasan sosiolinguistik sebagai pendekatannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Rurut (2013) di atas dijadikan sebagai acuan karena

menggunakan pendekatan yang sama. Menurut Meyerhoff (2006:1), sosiolinguistik

merupakan ranah kajian atau pendekatan yang sangat luas, dan dapat digunakan

untuk mendeskripsikan berbagai macam cara yang berbeda dalam mempelajari

bahasa. Sosiolinguistik mengkaji tentang bagaimana setiap individu penutur

menggunakan bahasa, bagaimana setiap manusia menggunakan bahasa yang berbeda

di tiap daerah yang berbeda, juga tentang bagaimana masyarakat memutuskan bahasa

seperti apa yang berlaku atau digunakan di suatu daerah atau dalam proses edukasi.

Sejalan dengan pendapat Meyerhoff, Halliday (via Sumarsono, 2014:2)

menyebutkan bahwa sosiolinguistik m engkaji pertautan bahasa dengan orang-orang

yang memakai bahasa itu. Holmes (1997:1) kemudian juga menyebutkan bahwa

sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan sosial. Sosiolinguistik mengkaji

10

mengapa manusia bertutur dengan berbeda-beda dalam konteks sosial yang berbeda-

beda pula, serta mengidentifikasi fungsi sosial bahasa dan bagaimana bahasa

digunakan untuk menyampaikan makna sosial.

Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan

saling pengaruh antara perilaku sosial dan perilaku bahasa (Kridalaksana, 2011:225).

Bram dan Dickey (via Ohoiwotun, 2007:9) juga menyatakan bahwa sosiolinguistik

mengkhususkan kajiannya pada bagaimana bahasa berfungsi di tengah masyarakat.

Dalam sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai tingkah laku sosial yang digunakan

dalam komunikasi (Sumarsono, 2014:19). Pendapat tersebut juga sejalan dengan

pendapat Wardhaugh (1986:12), bahwa sosiolinguistik mengkaji hubungan antara

bahasa dan sosial dengan tujuan agar manusia lebih memahami dengan baik tentang

struktur kebahasaan dan bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi.

Sosiolinguistik mengkaji pengaruh antara struktur sosial dan kebahasaan.

Beberapa faktor sosial yang berpengaruh bagi struktur sosial tersebut di antaranya

seperti kelas sosial penutur, tingkat pendidikan, usia penutur, gender, media tuturan,

relasi antarpenutur, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh

Wardhaugh (1986:11), sosiolinguistik mencari relasi antara struktur sosial dan

struktur kebahasaan dan mengobservasi segala perubahan yang terjadi. Struktur sosial

tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor yang memengaruhinya seperti kelas sosial

dan latar belakang pendidikan, sehingga kebiasaan verbal dapat dipengaruhi oleh

faktor-faktor tersebut. Wardhaugh juga memaparkan, untuk mengetahui apakah

11

struktur sosial dan struktur kebahasaan saling berelasi, tidak hanya ditentukan dari

struktur sosial yang menyebabkan adanya struktur bahasa, atau juga sebaliknya.

Relasi tersebut dapat juga disebabkan oleh adanya faktor ketiga atau faktor lainnya,

yang dalam hal ini berarti faktor sosial.

1.6.1 Bahasa dan Hubungan Antarpenutur

Terdapat sejumlah ragam atau variasi di dalam sebuah bahasa yang dapat

dipilah berdasarkan faktor yang mendasarin ya. Salah satu di antara sejumlah ragam

tersebut adalah sosiolek, yaitu ragam yang pemilahannya berdasarkan atas perbedaan

faktor-faktor sosial seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, kasta, dan

sebagainya (Sumarsono, 2014:27). Menurut Nababan (via Sumarsono, 2014:27),

terdapat istilah lain yang lebih rinci, yaitu fungsiolek. Fungsiolek adalah ragam

bahasa yang didasarkan atas perbedaan fungsi ragam.

Salah satu faktor penting yang dapat memengaruhi ragam tersebut adalah

hubungan antara penutur dengan mitra tutur. Hubungan atau jarak sosial yang

berbeda antara keduanya dapat menciptakan tingkat keformalan tuturan antara

penutur dan lawan tutur, kemudian tingkat keformalan tersebut menimbulkan sebuah

situasi tertentu. Berdasarkan situasinya, menurut Martin Joos (via Nababan, 1993:22)

ragam bahasa tersebut dapat dikelom pokkan menjadi lima jenis, yaitu 1) ragam baku,

2) ragam resmi, 3) ragam konsultatif, 4) ragam santai, dan 5) ragam akrab.

12

Ragam baku adalah ragam bahasa paling resmi yang digunakan dalam situasi-

situasi khidmat seperti upacara resmi, penulisan dokumen bersejarah seperti undang -

undang, serta dokumen penting lainnya. Ragam resmi atau formal adalah ragam

bahasa yang digunakan dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi

lainnya. Ragam usaha atau konsultatif adalah ragam bahasa yang sesuai dengan

bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan, perusahaan, bisnis, dan sebagainya, atau

ragam yang berada pada tingkat paling operasiona l. Ragam santai adalah ragam

bahasa yang digunakan antarteman dalam perbincangan sehari-hari. Ragam akrab

adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman, tidak

memerlukan penggunaan bahasa secara lengkap dan artikulasi yang terang. H al

tersebut disebabkan oleh adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain.

Pada ragam ini biasanya banyak digunakan istilah atau kata -kata khas bagi suatu

keluarga atau kelom pok tertentu.

1.6.2 Bahasa dan Media

Menurut Thomas dan Wareing (2007:7 8— 79), media adalah tempat yang

sangat berpotensi untuk memproduksi dan menyebarluaskan makna sosial, atau

dengan kata lain, media berperan besar dalam menentukan makna dari kejadian yang

terjadi di dunia untuk budaya, masyarakat, atau kelompok sosial tertentu. Dapat

dikatakan, media komunikasi adalah sarana atau cara agar sebuah bahasa dapat

disampaikan oleh penutur dan tersampaikan kepada lawan tutur. Media komunikasi

13

tersebut sangat banyak macamnya, seperti media cetak, media elektronik, dan

sebagainya.

Pada penelitian ini, penutur menyampaikan penolakan cinta secara langsung

atau tanpa media dan dengan menggunakan media elektronik. Media elektronik yang

dimaksud pada penelitian ini adalah media telepon, media telepon genggam

(handphone) dan media komputer. Berdasarkan informasi yang diperoleh dalam

penelitian ini, penutur menyampaikan tuturan penolakannya secara langsung, melalui

SMS (Short Message Service) yang menunjukkan penggunaan media telepon

genggam, melalui telepon yang menunjukkan penggunaan media telepon, serta

melalui jejaring internet yang menunjukkan penggunaan media komputer.

1.6.3 Bahasa dan Gender

Gender bukanlah sesuatu yang dibawa oleh manusia sejak lahir, dan bukan

sesuatu yang dimiliki oleh manusia, melainkan sesuatu yang dilakukan (West dan

Zimmerman via McConnel-Ginet dan Eckert, 2003:10). Gender dan jenis kelamin

adalah dua hal yang berbeda. Jenis kelamin adalah kategorisasi secara biologis yang

berdasarkan pada potensi reproduksi, sedangkan gender adalah perluasan sosial dari

jenis kelamin secara biologis (McConnel-Ginet dan Eckert, 2003:10). Oleh karena

itu, pembagian dalam jenis kelamin dan gender pun berbeda. Pada jenis kelamin,

pembedaannya adalah laki-laki dan perempuan, sedangkan pada gender adalah

feminin dan maskulin.

14

Perbedaan gender dalam bahasa seringkali hanya menjadi salah satu dari

perbedaan kebahasaan yang lebih luas dalam masyarakat yang mencerminkan status

sosial atau perbedaan kekuasaan. Jika sebuah komunitas sangat hirarkis dan dalam

setiap tingkat dari hirarki, laki-laki lebih kuat daripada perempuan, maka perbedaan

linguistik antara tuturan perempuan dan laki-laki dimungkinkan hanya menjadi satu

dimensi dari perbedaan yang lebih luas yang mencerminkan hirarki sosial secara

keseluruhan (Holmes, 1998:166).

Laki-laki dan perempuan tidak berbicara dalam cara yang sama seperti orang

lain dalam komunitas apa pun (Holmes, 1998:164). Pada semua kelompok sosial,

perempuan menggunakan bentuk-bentuk yang lebih standar daripada laki-laki.

Bentuk-bentuk standar tersebut biasanya berhubungan dengan bentuk yang lebih

formal dan interaksinya lebih bersifat pribadi (Holmes, 1998:173).

Dalam beberapa bahasa, aturan bentuk gender menjadi yang utama. Aturan -

aturan ini kemudian menandai dan melambangkan pembedaan pada wanita dan pria,

dalam hal ini diperluas menjadi gender feminin dan maskulin. Namun, pola yang

lebih umum adalah preferensi untuk alternatif linguistik, yang dibuktikan melalui

frekuensi penggunaan berbagai variasi bahasa, termasuk di dalamnya adalah suara,

kata-kata, atau konstruksi tata bahasa. Dengan demikian, bahasa dinyatakan sebagai

hal yang penting dalam menciptakan model budaya feminin dan maskulin. Bahasa

kemudian memberikan gambaran tentang status mereka secara tepat dan

15

mencerminkan bentuk perilaku serta memperkuat penggunaan budaya yang tertanam

pada simbol gender (Bonvillain, 2008:356).

1.6.4 Skala Kesopanan Berbahasa

Brown dan Levinson (via Wijana dan Rohmadi, 2011:62) mengidentifikasi

empat strategi dasar dalam menyampaikan tuturan, yaitu 1) kurang sopan; 2) agak

sopan; 3) lebih sopan; 4) paling sopan. Keempat strategi tersebut harus dikaitkan

dengan tiga parameter pragmatik, yaitu 1) tingkat jarak sosial (distance); 2) tingkat

status sosial (power), dan 3) tingkat peringkat tindak tutur (rank). Pertama, tingkat

jarak sosial banyak ditentukan berdasarkan parameter perbedaan usia, jenis kelamin,

dan latar belakang sosiokultural. Biasanya, semakin tua umur seseorang, peringkat

kesantunan dalam bertututurnya lebih tinggi. Wanita cenderung memiliki kesantunan

lebih tinggi daripada pria. Orang yang memiliki jabatan tertentu dalam masyarakat,

peringkat kesantunannya lebih tinggi.

Kedua, tingkat status sosial didasarkan atas kedudukan yang asimetris antara

penutur dan lawan tutur dalam suatu konteks tuturan. Misalnya, di dalam ruang kelas,

dosen memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada mahasiswa, atau di jalan raya, polisi

memiliki kuasa lebih tinggi daripada para pengguna jalan lainnya. Ketiga, tingkat

peringkat tindak tutur didasarkan atas kedudukan relatif antartindak tutur. Misalnya,

dalam situasi normal, meminjam mobil kepada seseorang dapat dipandang tidak

sopan. Akan tetapi, dalam situasi yang mendesak seperti untuk mengantar orang yang

16

sedang sakit atau kecelakaan, tindakan tersebut menjadi wajar (Wijana dan Rohmadi,

2011:63).

1.6.5 Basa-Basi

Penelitian ini juga merujuk pada bentuk penolakan cinta yang menggunakan

basa-basi. Penelitian yang dilakukan oleh Arimi (1998) digunakan sebagai acuan

dalam penelitian ini karena memberikan gambaran tentang bentuk-bentuk basa-basi

yang juga sedikit dipaparkan dalam penelitian ini. Menurut Arimi (1998:171),

berdasarkan daya tuturnya, basa-basi dapat dibagi menjadi basa-basi murni dan basa-

basi polar. Basa-basi murni merupakan ungkapan basa-basi yang digunakan secara

otomatis sesuai dengan gejala peristiwa tutur yang muncul, misalnya mengucapkan

salam Selamat pagi, menyapa, mengucapkan Selamat datang, menanyakan kabar, dan

berpamitan. Seseorang dapat mengucapkan Selamat pagi karena kenyataannya adalah

pagi hari, kemudian mengucapkan Selamat datang karena kenyataannya ada orang

yang baru saja datang. Oleh karena itu, tuturan tersebut disebut adalah tuturan yang

sesuai dengan realitasnya. Modus basa-basi murni di sini dapat sebagai tegur sapa,

sopan santun, atau ramah tamah.

Basa-basi polar merupakan wujud basa-basi yang tuturannya berlawanan

dengan realitasnya (Arimi, 1998:172). Dalam wujud struktur batin berbentuk X,

sedangkan wujud struktur permukaannya berbentuk Y , dengan kata lain, antara

tuturan dan kenyataan tidak memiliki korespondensi. Dalam linguistik, kepolaran

17

yang dimaksud dapat ditunjukkan dari ke-asimetrisan tuturan. Artinya, orang sering

kali harus memilih tuturan yang tidak seharusnya untuk menunjukkan sikap yang

lebih sopan, misalnya dalam hal ajakan atau penolakan. Tuturan dapat dikategorikan

sebagai tuturan basa-basi polar atau bukan dapat ditandai dengan perulangan tuturan,

baik berupa repetisi, parafrase, atau spontanitas penutur. Pada titik yang

menyakinkan, biasanya setelah perulangan yang ketiga, baru dapat dianggap bahwa

penutur tidak berbasa-basi (Arimi, 1998:173). Oleh karena itu, penentuannya

dilakukan secara pragmatis oleh lawan tutur.

1.7 Data dan Metode

Menurut Sudaryanto (1993:5), terdapat tiga tahapan yang dilewati dalam

penelitian, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil

analisis data. Peneliti menerapkan tiga tahap tersebut dalam penelitian ini. Metode

penyediaan data pada penelitian ini awalnya dilakukan dengan metode wawancara

terhadap lima orang pembahan bergender feminin dan lima orang pembahan

bergender maskulin. Akan tetapi, metode wawancara dirasa kurang menunjang

peneliti untuk memperoleh data. Hal tersebut disebabkan oleh hampir dari setengah

jumlah pembahan tidak dapat memberikan jawaban atau data yang memadai, malu-

malu untuk menjawab, menjawab dengan tidak lengkap, tidak memahami maksud

pertanyaan peneliti, dan sebagainya. Oleh karena itu, peneliti mengubah teknik

pengumpulan data dengan menyebar kuesioner secara langsung terhadap 15

pembahan bergender feminin dan 15 pembahan bergender maskulin. Akan tetapi,

18

metode tersebut juga dirasa masih menyulitkan peneliti karena memerlukan cukup

banyak waktu.

Kemudian, peneliti kembali mengubah teknik pengumpulan da ta dengan

menyebar kuesioner secara online melalui akun media sosial Facebook, Line, dan

What’s App kepada sejumlah pembahan bergender feminin dan bergender maskulin.

Metode tersebut dianggap paling memadai, efektif, efisien, dan membantu peneliti

dalam mengumpulkan data. Oleh karena itu, data berupa tuturan penolakan cinta yang

digunakan adalah tuturan nonverbal atau teks tuturan.

Melalui metode tersebut, diperoleh data tuturan sebanyak 342 tuturan yang

dianggap valid dan reliabel. Tuturan tersebut terdiri atas 282 pembahan bergender

feminin dan 60 pembahan bergender maskulin. Di bawah ini akan ditunjukkan bagan

perbandingan persentase antara pembahan feminin dan maskulin.

Tahap berikutnya adalah analisis data yang menggunakan metode padan, yaitu

metode analisis yang alat penentunya berada di luar dan tidak menjadi bagian dari

bahasa, dalam penelitian ini yaitu mitra tutur dan faktor-faktor sosial. Data berupa

tuturan penolakan cinta diklasifikasikan berdasarkan bentuk-bentuknya, kemudian

19

dipaparkan dan dianalisis faktor-faktor sosial yang memengaruhinya, serta

menganalisis pola tuturan terhadap hubungan pascapenolakan yang berbeda-beda.

Tahap terkahir adalah penyajian hasil analisis data yang dilakukan pengambilan hasil

kesimpulan dan pemberian saran.

1.8 Sistematika Penyajian

Skripsi ini dibagi menjadi lima bagian atau lima bab. Bagian pertama adalah

Bab I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

ruang lingkup, studi pustaka, landasan teori, data dan metode, serta sistematika

penyajian. Bagian kedua adalah Bab II Bentuk-Bentuk Tuturan Penolakan C inta yang

terdiri atas bentuk berdasarkan cara penyampaian, bentuk berdasarkan struktur,

bentuk berdasarkan situasi, dan bentuk berdasarkan tingkat kesopanan . Bagian ketiga

adalah Bab III Pengaruh Faktor-Faktor Sosial terhadap Tuturan Penolakan Cinta yang

terdiri atas penolakan cinta berdasarkan hubungan antarpenutur, penolakan cinta

berdasarkan media penyampaian, serta penolakan cinta berdasarkan gender . Bagian

keempat adalah Bab IV Pola Tuturan terhadap Hubungan Pascapenolakan Cinta yang

terdiri atas tuturan penolakan cinta berdampak hubungan normal dan tuturan

penolakan cinta berdampak hubungan berjauhan. Bagian terakhir adalah Bab V

Kesimpulan yang diikuti dengan daftar pustaka dan lampiran.