bab 1 2 dan 3 imun
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakekatnya sistem tersebut terbentuk dari sel-sel darah putih,
sumsum tulang dan jaringan limfoid yang mencakup kelenjar timus, kelenjar linfe,
lien, tonsil serta adenoid, dan jaringan yang serupa. Sistem imun seperti pedang
bermata dua. Di satu sisi, kita sangat bergantung pada imunitas yang utuh;
gangguan pertahanan imun yang disebabkan oleh keadaan imunodefisiensi akan
mengakibatkan tubuh manusia mudah terserang oleh infeksi dan beberapa jenis
tumor. Di sisi lain, sistem imun merupakan “penjahat” yang berada di balik
penolakan terhadap jaringan yang ditransplantasikan, dan imunitas yang hiperaktif
atau imunitas terhadap jaringan sendiri (autoimunitas) dapat menyebabkan
ketidakberdayaan atau bahkan penyakit yang fatal. Oleh karena itu, penyakit
imunitas berkisar dari penyakit yang disebabkan oleh aktivitas imun yang “terlalu
kecil” hingga yang “terlalu berlebihan atau tidak sesuai”.
Ketika kerusakan jaringan terjadi secara luas, kebutuhan metabolik tubuh
untuk memenuhi respons inflamasi dan keperluan dapat bertambah lebih dari dua
kali lipat. Jika suplai protein tidak seimbang dengan kebutuhan, tubuh akan segera
melakukan katabolisme (pemecahan) otot (yang meliputi otot diafragma pada
kasus berat), dan mendaur-ulang asam amino untuk membentuk protein yang
sangat dibutuhkan, seperti albumin, fibrin, faktor pembekuan darah, kolagen, dan
immunoglobulin.
1
Di antara sel-sel darah putih yang terlibat dalam imunitas terdapat
limfosit B (sel B) dan linfosit T (sel T). Limfosit B mencapai maturitasnya dalam
sumsum tulang dan kemudian memasuki sirkulasi darah; limfosit T bergerak dari
sumsum tulang ke kelenjar timus tempat sel-sel tersebut mencapai maturitasnya
menjadi beberapa jenis sel yang dapat melaksanakan berbagai fungsi yang
berbeda.
Perawat yang memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan system imun melakukan dan menginterpretasi berbagai prosedur
pengkajian. Data yang dikumpulkan selama pengkajian digunakan sebagai dasar
untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien. Dalam makalah ini, kelompok
mencoba membahas dan memaparkan pengkajian holistik caring gangguan system
imunologi.
B. Tujuan
1. Menggambarkan struktur dan fungsi system imun
2. Menggunakan parameter pengkajian yang tepat untuk membedakan
karakteristik dan beratnya gejala umum gangguan system imun dalam
konteks holistic care.
BAB II
2
PEMBAHASAN
2.1 Holistic Care
Pendekatan holistik mempertimbangkan budaya memainkan peran penting
dalam kesehatan dan pandangan orang secara keseluruhan dan harapan dan
impian mereka sebagai fokus dari setiap layanan. holistik care adalah topik yang
luas karena mencakup berbagai jenis pendekatan kesehatan. Paket ini akan
berfokus pada pendekatan komplementer dan alternatif.
Kesehatan holistik adalah sebuah konsep dalam praktek medis menegakkan
bahwa semua aspek kebutuhan masyarakat, psikologis, fisik dan sosial harus
diperhitungkan dan dilihat sebagai keseluruhan. Seperti yang didefinisikan di atas,
pandangan holistik pada pengobatan secara luas diterima di kesehatan. Sebuah
definisi yang berbeda, mengklaim penyakit yang merupakan hasil dari fisik,
ketidakseimbangan emosional, spiritual, sosial dan lingkungan, digunakan dalam
pengobatan alternative.
Pasien yang sedang mengalami sakit, baik dirawat di rumah maupun di rumah
sakit akan mengalami kecemasan dan stress pada semua tingkat usia. Penyebab
dari kecemasan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari petugas (perawat,
dakter, dan tenaga kesehatan lainnya); lingkungan baru maupun dukungan
keluarga yang menunggui selama perawatan. Keluarga juga sering merasa cemas
dengan perkembangan keadaan pasien, pengobatan, dan biaya perawatan.
Meskipun dampak tersebut tidak secara langsung kepada anak, tetapi secara
psikologis pasien akan merasakan perubahan perilaku dari keluarga yang
menungguinya selama perawatan (Marks, 1998). Pasien menjadi semakin stress
3
dan berpengaruh terhadap proses penyembuhannya, yaitu penurunan respons
imun. Hal ini telah dibuktikan oleh Para Ahli (Robert) bahwa pasien yang
mengalami kegocangan jiwa akan mudah terserang penyakit, karena pada kondisi
stres akan terjadi penekanan sistem imun (Subowo,1992). Pasien yang merasa
nyaman selama perawatan dengan menerapkan model asuhan yang holistik, yaitu
adanya dukungan sosial keluarga, lingkungan perawatan yang terapeutik, dan
sikap perawat yang penuh dengan perhatian akan mempercepat proses
penyembuhan. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, pasien yang dirawat di
rumah sakit masih sering mengalami stress hospitalisasi yang berat, khususnya
takut terhadap pengobatan, asing dengan lingkungan baru, dan takut terhadap
petugas kesehatan.
Fakta tersebut merupakan masalah penting yang harus mendapatkan perhatian
perawatan dalam mengelola asuhan keperawatan. Menurut penulis faktor tersebut
sangat berkaitan dengan distres hospitalisasi.
Berdasarkan pada konsep psikoneuroimunologi, melalui poros hypothalamus
hypofisis adrenal, bahwa stres psikologis akan berpengaruh pada hipotalamus,
kemudian hypothalamus akan mempengaruhi hypofise sehingga hipofise akan
mengekspresikan ACTH (adrenal cortico tropic hormone) yang akhirnya dapat
mempengaruhi kelenjar adrenal, di mana kelenjar ini akan menghasilkan kortisol.
Apabila stres yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan
menghasilkan kortisol dalam jumlah banyak sehingga dapat menekan sistem imun
(Clancy, 1998). Adanya penekanan system imun inilah nampaknya akan berakibat
pada penghambatan proses penyembuhan, sehingga memerlukan waktu perawatan
4
yang lebih lama dan bahkan akan mempercepat terjadinya komplikasi-komplikasi
selama perawatan .
Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan perbaikan kinerja kepada
perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan model holoistik, yaitu
biopsikososiospiritual. Salah satu model yang digunakan dalam penerapan
teknologi ini adalah berdasar pengembangan teori adaptasi dari S.C. Roy. Pada
teori ini ditekankan pada pemenuhan perawat kepada pasien secara holistik, yaitu
aspek fisik (atraumatic care); psikis (memfasilitasi koping yang konstruktif); dan
aspek sosial(menciptakan hubungan dan lingkungan yang konstruktif dengan
melibatkan keluarga dalam perawatan).
2.2 Dimensi Pendekatan Holistik
2.2.1. Dimensi Psikologis (Strategi Koping)
Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk
menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka
orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Mekanisme
koping dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stresor dan orang menyadari
dampak dari stressor tersebut (Carlson, 1994). Kemampuan koping dari individu
tergantung dari 7 temperamen, persepsi, dan kognisi serta latar belakang
budaya/norma dimana dia dibesarkan (Carlson, 1994).
Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat.
Belajar disini adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh
faktor internal dan eksternal (Nursalam, 2003). Menurut Roy (1999 dalam
Nursalam, 2003) mekanisme belajar merupakan suatu proses didalam sistem
5
adaptasi (cognator) yangmeliputi mempersepsikan suatu informasi, baik dalam
bentuk implisit maupun eksplisit.
Belajar implisit umumnya bersifat reflektif dan tidak memerlukan
kesadaran (focal) sebagaimana terlihat pada gambar. Keadaan ini ditemukan pada
perilaku kebiasaan, sensitisasi dan keadaan. Pada habituasi timbul suatu
penurunan dari transmisi sinap pada neuron sensoris sebagai akibat dari
penurunan jumlah neurotransmitter yang berkurang yang dilepas oleh terminal
presinap (Bear, 1996; Notosoedirdjo, 1998). Sensitifitas sifatnya lebih kompleks
dari habituasi, mempunyai potensial jangka panjang (beberapa menit sampai
beberapa minggu).
Koping yang efektif menempati tempat yang central terhadap ketahanan tubuh
dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit
baik bersifat fisik maupun psikis, sosial, spiritual. Perhatian terhadap koping tidak
hanya terbatas pada sakit ringan tetapi justru penekanannya pada kondisi sakit
yang berat (Notosoedirdjo M, 1998 & Keliat, 1999). Lipowski membagi koping
dalam 2 bentuk yaitu coping style dan coping strategy. Coping style merupakan
mekanisme adaptasi individu meliputi mekanisme psikologis dan mekanisme
kognitif dan persepsi. Sifat dasar coping style adalah mengurangi makna suatu
konsep yang dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi
yang tidak realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat ringan
saja terhadap suatu keadaan.
Coping strategymerupakan koping yang digunakan individu secara sadar
dan terarah dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya. Terbentuknya
mekanisme koping bisa diperoleh melalui proses belajar dalam pengertian yang
6
luas dan relaksasi. Apabila individu mempunyai mekanisme koping yang efektif
dalam menghadapi stresor, maka stresor tidak akan menimbulkan stres yang
berakibat kesakitan (disease), tetapi stresor justru menjadi stimulan yang
mendatangkan wellness dan prestasi.Strategi Koping (Cara Penyelesaian Masalah)
Beradaptasi terhadap penyakit memerlukan berbagai strategi tergantung
ketrampilan koping yang bisa digunakan dalam menghadapi situasi sulit. Menurut
Mooss (1984 dalam Brunner dan Suddarth, 2001) menguraikan yang positif
(Teknik Koping) Ada 3 teknik koping yang ditawarkan dalam mengatasi stress:
2.2 Pemberdayaan Sumber Daya Psikologis (Potensi diri) Sumber daya
psikologis merupakan kepribadian dan kemampuan individu dalam
memanfaatkannya menghadapi stres yang disebabkan situasi dan
lingkungan (Pearlin & Schooler, 1978:5). Karakterisik di bawah ini
merupakan sumber daya psikologis yang penting.
2.2.1 Pikiran yang positif tentang dirinya (harga diri)
Jenis ini bermanfaat dalam mengatasi situasi stres, sebagaimana teori
dari Colley’s looking-glass self: rasa percaya diri, dan kemampuan untuk
mengatasi masalah yang dihadapi.
2.2.2 Mengontrol diri sendiri
Kemampuan dan keyakinan untuk mengontrol tentang diri sendiri dan
situasi (internal control) danexternal control (bahwa kehidupannya
dikendalikan oleh keberuntungan, nasib, dari luar) sehingga pasien akan
mampu mengambil hikmah dari sakitnya (looking for silver lining).
Kemampuan mengontrol diri akan dapat memperkuat koping pasien,
perawat harus menguatkan kontrol diri pasien dengan melakukan:
7
1) Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia dapat
mengontrol diri.
2) Meningkatkan perilaku menyeleseaikan masalah.
3) Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien
akanmendapatkan hasil yang lebih baik.
4) Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan
terhadap dirinya.
5) Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang dapat
meningkatkan kontrol diri: keyakinan, agama.
2.3 Rasionalisasi (Teknik Kognitif)
Upaya memahami dan mengiterpretasikan secara spesifik terhadap stres dalam
mencari arti dan makna stres (neutralize its stressfull). Dalam menghadapi situasi
stres, respons individu secara rasional adalah dia akan menghadapi secara terus
terang, mengabaikan, atau memberitahukan kepada diri sendiri bahwa masalah
tersebut bukan
sesuatu yang penting untuk dipikirkan dan semuanya akan berakhir dengan
sendirinya. Sebagaian orang berpikir bahwa setiap suatu kejadian akan menjadi
sesuatu tantangan dalam hidupnya. Sebagian lagi menggantungkan semua
permasalahan dengan melakukan kegiatan spiritual, lebih mendekatkan diri
kepada sang pencipta untuk mencari hikmah dan makna dari semua yang terjadi.
2.4 Teknik Perilaku
Teknik perilaku dapat dipergunakan untuk membantu individu dalam mengatasi
situasi stres. Beberapa individu melakukan kegiatan yang bermanfaat dalam
8
menunjang kesembuhannya. Misalnya, pasien HIV akan melakukan aktivitas yang
dapat membantu peningkatan daya tubuhnya dengan tidur secara teratur, makan
seimbang, minum obat
anti retroviral dan obat untuk infeksi sekunder secara teratur, tidur dan istirahat
yang cukup, dan menghindari konsumsi obat-abat yang memperparah keadan
sakitnya.
2.4. Dimensi Sosial
Dukungan sosial sangat diperlukan oleh setiap manusia. Individu yang
termasuk dalam memberikan dukungan social meliputi pasangan (suami/istri),
orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan konselor.
2.4.1 Konsep Dukungan Sosial
Beberapa pendapat mengatakan dukungan sosial terutama dalam konteks
hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali
merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting (Rodin & Salovey, 1989
dikutip Smet, 1994). Jenis dukungan social: House membedakan empat jenis atau
dimensi dukungan social.
2.4.2 Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang
bersangkutan
2. 4.3 Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat/ penghargaan positif untuk orang lain itu,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain misalnya orang itu kurang
mampu atau lebih buruk keadaannya
9
(menambah harga diri)
2.4.4 Dukungan Instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang, kepada
orang yang membutuhkan atau menolong dengan member pekerjaan pada orang
yang tidak punya pekerjaan.
2.4.5 Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.
2.5 Hubungan Dukungan Sosial dengan kesehatan
Menurut Gottilieb, (1983 dikutip Smet, 1994) terdapat pengaruh dukungan social
terhadap kesehatan tetapi bagaimana hal itu terjadi? Penelitian terutama
memusatkan pengaruh dukungan sosial pada stres sebagai variabel penengah
dalam perilaku kesehatan dan hasil kesehatan. Dua teori pokok diusulkan,
hipotesis penyangga (Buffer Hypothesis) dan hipotesis efek langsung (direct effect
hypothesis). Menurut hipotesis penyangga dukungan sosial mempengaruhi
kesehatan dan melindungi orang itu terhadap efek negatif dari stres berat. Fungsi
yang bersifat melindungi ini hanya atau terutama efektif kalau orang itu
menjumpai stres yang kuat. Dalam stres yang rendah terjadi sedikit atau tidak ada
penyangga bekerja dengan dua orang. Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi
mungkin akan kurang menilai situasi penuh stress (mereka akan tahu bahwa
mungkin akan ada seseorang yang dapat membantu mereka). Orang-orang dengan
dukungan sosial tinggi akan mengubah respon mereka terhadap sumber stres
misalnya pergi ke seorang teman untuk membicarakan masalahnya. Hipotesis efek
langsung berpendapat bahwa dukungan sosial itu bermanfaat bagi kesehatan dan
10
kesejahteraan tidak peduli banyaknya stress yang dialami orang-orang menurut
hipotesis ini efek dukungan sosial yang positif sebanding dibawah intensitas stes
tinggi dan rendah. Contohnya orang-orang dengan dukungan sosial tinggi dapat
memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi yang membuat mereka tidak begitu
mudah diserang stres.
2.6 Dukungan Sosial (Social Support)
Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, tetapi mereka
memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian bahwa dukungan
sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah seseorang.
Hal ini karena individu merupakan bagian dari keluarga, teman sekolah atau kerja,
kegiatan agama ataupun bagian dari kelompok lainnya.
Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal (Jacobson, 1986):
2.6.1 Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai,
dan diperhatikan)
2.6.2 Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
2.6.3. Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu
barang dalam mengatasi suatu masalah.
2.7 Dimensi Spiritual
Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada penerimaan pasien
terhadap sakit yang dideritanya (Ronaldson, 2000). Sehingga pasien akan dapat
menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil
hikmah.
11
Asuhan keperawatan yang dapat diberikan adalah:
2.7.1 Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial.
Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa
dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil
apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan
pasien untuk berobat.
2.7.2 Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada
pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya.
Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang
Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga
pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit.
2.7.3 Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan
tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya
mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati
sangat dianjurkan kepada pasien. Perawat dapat menguatkan diri pasien
dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat
orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA,
melebihi kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa
12
semua cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting
dalam kehidupannya.
2.8 TERAPI HOLISTIK
Terapi Holistik merupakan bagian dari strategi pengembangan perawatan
dalam upaya untuk mengembangkan terapi modalitas keperawatan dan
menerapkan ilmu-ilmu keperawatan dalam bentuk pengabdian terhadap
masyarakat dalam bidang kesehatan.
Pelayanan Terapi Holistik Care didasarkan pada konsep keperawatan
holistic yang menyakini bahwa penyakit yang dialamu seseorang bukan saja
merupakan masalah fisik, yang hanya dapat diselesaikan dengan pemberian obat
semata. Pelayanan Keperawatan Holistik memberikan pelayanan kesehatan
dengan lebih memperhatikan keutuhan aspek kehidupan sebagai manusia yang
meliputi kehidupan jasmani, mental, sosial dan spiritual yang saling
mempengaruhi. Terapi ini tidak saja menawarkan pelayanan keperawatan dengan
memanfaatkan teknologi perawatan modern maupun beragam terapi alternative
ataupun komplementer, tetapi juga pelayanan konseling dan promosi kesehatan
untuk semua tahapan usia.
Terapi Holistik ini menyediakan erbagai pelayanan antara lain; deteksi dini
masalah-masalah kesehatan, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan.
Pelayanan deteksi dini meliputi:
1. Ganguan Tumbuh Kembang Anak,
2. Deteksi dini Diabetes,
3. Osteoporosis,
13
4. Kanker Payudara
5. Perubahan visus dan kelainan buta warna,
6. Penyakit lain yang dideteksi melalui radiologi.
Pendidikan dan konseling kesehatan diberikan sesuai dengan masalah kesehatan
yang dialami klien. Perawatan kesehatan diberikan pada klien yang memiliki
berbagai masalah kesehatan antara lain;
1. Perawatan Luka dan stoma.
2. Perawatan Kaki diabetik dan Luka diabetik.
Layanan perawatan kesehatan di rumah disediakan bagi klien yang memiliki
berbagai masalah kesehatan seperti klien dengan pasca stroke, demensia,Lansia,
Gangguan Mental, menggunakan alat-alat bantu kesehatan seperti sonde .
Terapi Komplementer yang tersedia di Terapi Hoslitik Care yaitu:
1. Akupuntur Kesehatan,
2. Aroma Terapi,
3. Terapi Relaksasi,
4. Terapi Herbal,
5. Terapi Hipnotis.
Sedangkan layanan konseling yang disediakan meliputi konseling:
1. Ibu Hamil dan Menyusui,
2. Seksualitas Remaja,
3. HIV/ AIDS,
4. Adaptasi terhadap penyakit-penyakit kronik seperti Diabetes Melitus,
5. Pasca stroke,
6. Hipertensi
14
7. Gagal Jantung,
8. Gangguan Mental,
Terapi ini melampaui standar perawatan untuk penyakit.
Metode Terapi Holistic yang dikembangkan dengan terapi berikut :
1. Pengaturan Pola hidup dan Pola makan dengan gizi dan kebutuhan berimbang
2. Rileksasi, dengan konsep Meditasi Penyembuhan
3. Stimulasi Otak dengan tehnik perangsangan alamiah
4. Silaturahmi Doktrin
5. Pancaran Bio energy (Pranaisasi)
6. Stimulan promotor dengan Nutrisi Herbal
7. Terapi Doa, dengan kepasrahan mencapai God Spot.
8. Hydroteraphy dan stimulant alam sebagai pelengkap dan penyeimbang
Dengan method alamiah yang ilmiah dan ilahiyah ini, insya Allah semua jenis
penyakit baik medis dan non medis dapat sembuh permanen, dan dalam
pengobatan ini pendampingan dari keluarga sangat diperlukan sebagai pembantu
terapis , maka untuk itu keluarga pasien juga kami berikan arahan-arahan konsep
holistic dan diberikan keilmuan baik teori dan praktek spesifik terhadap penyakit
pasien, sehingga pengobatan ini dapat berlangsung terus tanpa henti sepanjang
hari. inilah yang menyebakan metode ini lebih cepat berhasil daripada konsep
kedokteran konvensional..
15
Dalam pengobatan alternatif, diyakini bahwa aspek spiritual juga harus
dipertimbangkan ketika menilai seseorang secara keseluruhan kesejahteraan. Hal
ini diklaim aspek rohani tidak terkait dengan ideologi keagamaan.
2.9 Pendekatan Holistik
Menurut Pusat Nasional Pengobatan Pelengkap dan Alternatif (NCCAM,
2010), ada tiga pendekatan standar untuk perawatan holistik: pengobatan
komplementer, yang mencakup perawatan medis konvensional dalam
hubungannya dengan terapi holistik, pengobatan alternatif, yang digunakan di
tempat pengobatan konvensional, dan kedokteran integratif , yang
menggabungkan terapi medis dengan perawatan holistik utama yang ada memang
ada beberapa bukti ilmiah yang substansial untuk keamanan dan efektivitas dari
pendekatan holistik. Pusat Nasional Pengobatan Pelengkap dan Alternatif
mendefinisikan terapi holistik ke dalam lima kategori utama.
2.9.1 Obat Alternatif: sistem medis yang lengkap dibangun di atas teori dan
praktek. Banyak dari sistem ini dikembangkan terpisah dari dan
sebelumnya daripada banyak pendekatan medis standar yang digunakan di
Amerika Serikat ini termasuk obat homeopati dan naturopati. Non-barat
termasuk sistem pengobatan tradisional China dan Ayurveda.
2.9.2 Intervensi pikiran-tubuh: pengobatan pikiran-tubuh menggunakan banyak
teknik untuk meningkatkan kemampuan pikiran untuk mempengaruhi
penyembuhan fisik. Teknik yang utama yang sekarang termasuk kelompok
pendukung pasien dan terapi perilaku kognitif. Lain pikiran-tubuh terapi
16
meliputi meditasi, doa, penyembuhan mental, dan terapi untuk outlet kreatif
seperti seni, musik, atau tari.
2.9.3 Terapi biologis berbasis: menggunakan zat yang ditemukan di alam seperti
herbal, makanan, dan vitamin. Terapi ini belum terbukti secara ilmiah.
2.9.4 Metode manipulatif dan tubuh berbasis: menggunakan manipulasi dan /
atau gerakan dari satu atau lebih bagian tubuh. Contoh termasuk:
chiropractics, manipulasi osteopathic, dan pijat .
2.9.5 Energi terapi: Ada dua jenis terapi energi; terapi dan terapi
bioelectromagnetic biofield. Biofield terapi memanipulasi medan energi
yang mengelilingi tubuh konon dengan menerapkan tekanan dan atau
memanipulasi tubuh dengan menempatkan tangan di atau melalui bidang
energi. Contohnya meliputi: reiki dan sentuhan terapeutik. Terapi
Bioelectromagnetic termasuk penggunaan yang tidak konvensional dari
medan elektromagnetik seperti: bidang pulsa, medan magnet, arus bolak
balik dan badang arus searah.
3.0 Praktek Holistik Kesehatan
Beberapa praktek kesehatan holistik alternatif meliputi, tetapi tidak terbatas pada:
3.1 Diet Alami dan obat herbal
3.2 Suplemen gizi
3.3 Latihan
3.4 Relaksasi
3.5 Psiko-spiritual konseling
3.6 Meditasi
17
3.7 Latihan pernapasan
3.8 Akupunktur
3.9 Homoeopati
3.10 terapi pijat - termasuk Nei Tsang Chi
4. Struktur dan Fungsi Sistem Imun
Sistem kekebalan tubuh adalah jaringan yang rumit dari sel-sel khusus,
jaringan, dan organ yang dirancang untuk memungkinkan kita untuk eksis dalam
lingkungan yang sering berinteraksi termasuk mikroorganisme. Sistem imun telah
berevolusi untuk melindungi dan mempertahankan tubuh terhadap invasi oleh
bakteri, virus, jamur, dan parasit. Imun juga mencari dan menghancurkan sel-sel
yang paling ganas untuk berubah. Pentingnya sistem kekebalan tubuh yang sehat
atau penyakit yang ditandai oleh adanya penurunan kekebalan, seperti terjadi pada
infeksi HIV atau pada pasien pada obat imunosupresif. Tanpa sistem kekebalan
yang efektif, seorang individu yang berisiko untuk pengembangan infeksi berat,
penyakit ganas, atau keduanya. di sisi lain, aktivitas yang berlebihan atau tidak
dari sistem kekebalan tubuh dapat menyebabkan penyakit autoimun,
hipersensitivitas negara, atau penyakit complex kekebalan tubuh.
Tubuh terus-menerus diancam oleh penyakit dari sumber eksternal (mis,
invasi bakteri dan virus) dan sumber internal (mis., sel yang bermutasi, seperti sel
kanker). Jika ancaman dari luar dapat menerobos baris pertama pertahanan tubuh
(mis., barier anatomis, seperti kulit dan mukosa), system imun akan menghadapi
baris pertahanan kedua dalam bentuk sel fagosit dan mati karena serangan
18
kimiawi yang toksik. Hal ini merupakan bagian dari respons inflamasi yang akan
terjadi setiap kali terdapat kerusakan jaringan dengan sebab apa pun.
Inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik-yaitu, jika
sebuah sel atau partikel terdeteksi mengalami kerusakan, terinfeksi, atau
ditemukan “bukan bagian dari sel normal” tanpa bergantung pada cara atau sebab
terjadinya, sel atau partikel ini akan dianggap sebagai ancaman yang harus
ditangkap, dihancurkan, dan dikeluarkan. Sel fagosit pada mekanisme pertahanan
non-spesifik juga menerima berbagai instruksi kimia dari mekanisme pertahanan
spesifik yang jauh lebih rumit, yang merupakan baris pertahanan ketiga. Semua
komponen dalam system non-spesifik dimodulasi oleh produk system imun
spesifik, seperti interleukin (IL), interferon alfa dan gama serta, berbagai antibodi.
Organ, jaringan, dan sel limfoid merupakan komponen struktural utama
dalam system. Banyak jaringan limfoid ini secara strategis berada di dekat pintu
masuk pathogen. Organ utama yang turut membentuk sistem imun meliputi:
(Bersumber dari Chang, Ester. 2009)
4.1 Sumsum tulang, yang mengandung sel induk yang akhirnya akan
menghasilkan sel system imun;
4.2 Timus, yang terlibat dalam edukasi, seleksi dan pelepasan limfosit T yang
matur,
4.3 Limpa, yang berfungsi sebagai penyaring imunologis darah. Limpa
berfungsi sebagai pusat penyortir imunologis dan memproduksi sejumlah
besar antibodi.
19
4.4 Limfonodi, yang berfungsi sebagai penyaring cairan limfe. Antigen
disaring keluar dari cairan limfe di dalam limfonodi dan reaksi imun
berlangsung di sini;
4.5 Tonsil, plak Peyer dan apendiks, yang terlibat dalam proses pengeluaran
dan penghancuran antigen secara selektif dari orofaring dan saluran cerna;
dan,
4.6 Pembuluh limfe, yang merupakan bangunan berdinding tipis untuk
mengalirkan cairan limfe keluar dari sebagian besar bagian tubuh.
4.1 Imunitas: Alami dan Didapat
Ada dua tipe umum imunitas, yaitu: alami (natural) dan didapat (akuisita).
Imunitas alami yang merupakan kekebalan nonspesifik sudah ditemukan pada saat
lahir, sedangkan imunitas didapat atau imunitas spesifik terbentuk sesudah lahir.
Meskipun setiap tipe imunitas memainkan peranan yang berbeda dalam
mempertahankan tubuh terhadap para penyerang yang berbahaya, namun berbagai
komponen biasanya bekerja dengan cara yang saling tergantung satu sama lain.
4.2 Imunitas Alami
Imunitas alami akan memberikan respons nonspesifik terhadap setiap
penyerang asing akan tanpa memperhatikan komposisi penyerang tersebut. Dasar
mekanisme pertahanan alami semata-mata berupa kemampuan untuk
membedakan antara sahabat dan musuh atau antara “diri sendiri” dan “bukan diri
sendiri.” Mekanisme alami semacam ini mencakup sawar (barier) fisik dan kimia,
20
kerja sel-sel darah putih dan respons inflamasi (Bersumber dari Chang, Ester.
2009).
Sawar fisik mencakup kulit serta membrane mukosa yang utuh sehingga
mikroorganisme pathogen dapat dicegah agar tidak masuk ke dalam tubuh, dan
silia pada traktus respiratorius bersama respons batuk serta bersin yang bekerja
sebagai filter dan membersihkan saluran nafas atas dari mokroorganisme pathogen
sebelum mikroorganisme tersebut dapat menginvasi tubuh lebih lanjut. Sawar
kimia seperti getah lambung yang asam,enzim dalam air mata serta air liur (saliva)
dan substansi dalam secret kelenjar sebasea serta lakrimalis, bekerja dengan cara
nonspesifik untuk menghancurkan bekteri dan jamur yang menginvasi tubuh.
Virus dihadapi dengan cara lain seperti interferon. Interferon merupakan salah
satu tipe pengubah (modifier) respons biologic yang secara alami diproduksi oleh
tubuh dan dapat mengaktifkan komponen lainnya dari sistem imun.
Sel darah putih atau lekosit turut serta dalam respons imun humoral maupun
seluler. Leukosit granuler atau granulosit (disebut demikian karena dalam
sitoplasmanya terdapat granul) mencakup neutrofil, eosinofil dan basofil.
Neutrofil (yang disebut leukosit polimorfonuklear atau PMN karena nukleusnya
terdiri atas beberapa lobus) merupakan sel pertama yang tiba pada tempat
terjadinya inflamasi (Bersumber dari Chang, Ester. 2009).
Eosinofil dan basofil, yaitu leukosit yang lain, akan meningkat jumlahnya
pada saat terjadi reaksi alergi dan respons terhadap stress. Granulosit akan
memerangi serbuan benda asing atau toksin dengan melepaskan mediator sel,
seperti histamine, bradikinin serta prostaglandin dan akan menelan benda asing
atau toksin tersebut.
21
Leukosit non-granuler mencakup monosit atau makrofag (yang disebut
histiosit kalau sel-sel ini memasuki rongga jaringan) dan limfosit. Monosit juga
berfungsi sebagai sel-sel fagosit yang berarti bahwa sel-sel ini dapat menelan,
mencerna dan menghancurkan benda asing atau toksin dalam jumlah atau
kuantitas yang lebih besar dibandingkan granulosit. Limfosit yang terdiri atas sel-
sel T dan B, memainkan peranan utama dalam imunitas humoral (Bersumber dari
Chang, Ester. 2009).
Respons inflamasi merupakan fungsi utama system imun alami (nonspesiifik)
yang dicetuskan sebagai reaksi terhadap cedera jaringan atau mikroorganisme
penyerang. Zat-zat mediator kimia turut membantu respons inflamasi untuk
mengurangi kehilangan darah, mengisolasi mikroorganisme penyerang,
mengaktifkan sel-sel fagosit dan meningkatkan pembentukan jaringan parut
fibrosa serta regenerasi jaringan yang cedera.
4.3 Imunitas yang Didapat
Imunitas yang didapat (acquired immunity) terdiri atas respons imun yang
tidak dijumpai pada saat lahir tetapi akan diperoleh kemudian dalam hidup
seseorang. Imunitas didapat biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit penyakit
atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respons imun yang bersifat
protektif. Beberapa minggu atau bulan sesudah seseorang terjangkit penyakit atau
mendapat imunisasi akan timbul respons imun yang cukup kuat untuk mencegah
terjadinya penyakit atau jangkitan ulang. Ada dua tipe imunitas yang didapat,
yaitu aktif dan pasif. Pada imunitas didapat yang aktif, pertahanan imunologi akan
dibentuk oleh tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini
22
umumnya berlangsung selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup
(Bersumber dari Chang, Ester. 2009).
Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang
ditransmisikan dari sumber lain yang sudah memiliki kekebalan setelah menderita
sakit atau menjalani imunisasi. Gama globulin dan antiserum yang didapat dari
plasma darah orang yang memiliki imunitas didapat digunakan dalam keadaan
darurat untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit ketika resiko terjangkit
suatu penyakit tertentu cukup besar dan saat tersebut bukan waktu yang tepat bagi
seseorang untuk membentuk imunitas aktif yang memadai.
Secara fisik, system imun terdiri dari milyaran sel limfosit (sel T dan B), sel
aksesori pada system imun non-spesifik, seperti sel neutrofil dan makrofag, serta
berbagai pembawa pesan kimiawi (chemical messengers) atau sitokin.
Limfosit, yang dalam keadaan normal mewakili 25-40% total populasi
leukosit/ sel darah putih, dapat merespons antigen yang spesifik dengan
membunuh secara langsung (ketika terjadi kontak) sel asing (imunitas yang
diperantarai sel yang dilakukan oleh sel T sitotoksik); atau dengan menandainyya
dahulu “untuk penghancuran kimiawi” pada saat terjadi kontak, dan melekat pada
immunoglobulin spesifik (imunitas humoral yang meliputi sel B aktif). Sebagian
besar limfosit (99%) berada di dalam system limfatik. Sel B yang aktif akan
membentuk klon sel plasma, yang mensekresikan antibody (imuglobulin) ke
dalam plasma dan cairan tubuh (Bersumber dari Chang, Ester. 2009).
Respons imun spesifik akan memicu produksi sel memori sehingga
memungkinkan pengenalan yang lebih cepat dan respons yang lebih efektif jika
terjadi kontak berikutnya.
23
System imun harus dapat membedakan antigen “milik tubuh” (self antigen)
dan antigen yang bukan milik tubuh (non- self antigen). Toleransi diri akan terjadi
selama proses perkembangan embrio. Sel yang akan bereaksi melawan berbagai
komponen tubuh tidak dibiarkan matang dan dihancurkan. Proses seleksi terjadi
sangat ketat sehingga hanya sekitar 1% sel T yang akan dilepas (Bersumber dari
Chang, Ester. 2009).
Ketika kerusakan jaringan terjadi secara luas, kebutuhan metabolik tubuh
untuk memenuhi respons inflamasi dan keperluan dapat bertambah lebih dari dua
kali lipat (Bersumber dari Chang, Ester. 2009). Jika suplai protein tidak seimbang
dengan kebutuhan, tubuh akan segera melakukan katabolisme (pemecahan) otot
(yang meliputi otot diafragma pada kasus berat), dan mendaur-ulang asam amino
untuk membentuk protein yang sangat dibutuhkan, seperti albumin, fibrin, faktor
pembekuan darah, kolagen, dan immunoglobulin. Menyesesuaikan suplai dengan
kebutuhan merupakan hal yang menantang, dan pasien yang sakit kritis sering
memerlukan Nutrisi Parenteral Total (TPN) selain pemberian nutrisi enteral.
Suplai darah teroksigensi yang adekuat ke jaringan tubuh merupakan hasil
yang penting. Kondisi apapun yang mengakibatkan hipoksia sel tidak hanya
menyebabkan akumulasi asam laktat (proinflamasi), tetapi juga secara dramatis
akan mengurangi produksi sel adenosine trifosfat (ATP) (Bersumber dari Chang,
Ester. 2009). Apabila ATP tidak memadai, kerja pompa Na+ /K+ menjadi kurang
efektif. Karena tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
intrasel, sel akan membengkak dan akhirnya pecah dengan melepaskan enzim
yang selanjutnya dapat menimbulkan cedera lebih lanjut pada sel sekitar. Siklus
destruksi jaringan yang menyebabkan lebih banyak penghancuran jaringan akan
24
terus berlangsung hingga suplai oksigen memenuhi kebutuhan sel. Gangguan pada
sistem pernapasan, kardiovaskuler, dan hematologi memberi pengaruh terbesar
pada penghantaran darah teroksigenasi.
Drainase vena dan linfatik merupakan hal yang penting dalam menjaga
agar cairan nterstisial tetap bersih dari debris sel, mediator inflamasi, dan zat
metabolit yang toksik (Bersumber dari Chang, Ester. 2009). Tidak ada sel yang
dapat berfungsi dengan baik jika dikelilingi oleh produk buangan sendiri (dan
produk bungan dari sel di dekatnya). Cairan interstisial yang berlebihan secara
normal akan mengalir ke dalam kapiler limfe yang bergabung dengan kapiler
lainnya untuk membentuk pembuluh limfe yang lebih besar, dan akhirnya
mengosongkan cairan tersebut ke dalam vena subklavikula. Cairan limfe disaring
melalui serangkaian limfonodi yang masing-masing dipenuhi oleh sel B dan sel T
yang siap untuk bereaksi terhadap apapun yang mencurigakan. Dengan cara ini,
cairan interstisial secara konstan dibersihkan—beberapa kali sehari. System
limfatik merupakan dasar bagi system imun agar dapat bekerja dengan baik.
4.4. Imunitas Non-Spesifik
Tiga unsur utama pada imunitas non-spesifik adalah:
4.4.1 Pertahanan Fisik
4.4.1.1 Barier (anatomis dan mekanis) berupa kulit dan mukosa (yang melapisi
salura nafas, cerna dan urogenital) yang secara fisik memisahkan
lingkungan eksternal dari jaringan tubuh di bawahnya, dan member
perlindungan terhadap struktur internal. Di samping itu, bagian tubuh
yang mudah mengalami abrasi (mis., kulit atau lapisan mukosa rectum
dan vagina) dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis dan secara kontinu
25
mengalami deskuamasi sehingga lapisan sel atas akan terlepas dan
digantikan oleh lapisan sel berikutnya.
4.4.1.2 Getaran silia bronco-pulmonari akan menggerakkan lender atau mucus
yang penuh dengan mikroorganisme, zat kimia, dan debu yang terhirup ke
mulut untuk selanjutnya dikeluarkan atau ditelan.
4.4.1.3 Refleks, seperti batuk dan bersin membantu mengeluarkan benda asing
dari saluran nafas.
4.4.1.4 Demam sebagai respons terhadap banyak infeksi virus dan bakteri, sel
makrofag akan melepaskan IL-2, yang menaikkan sel-point suhu pada
hipotalamus. Respons ini dapat membatasi multiplikasi bakteri dan
sebagian virus.
4.5 Pertahanan Kimia
Di samping membilas dan mengencerkan mikroorganisme yang mungkin
bersifat pathogen, secret tubuh (air mata, saliva, sekresi gastrointestinal,
keringat) dan plasma mengandung zat kimia yang membantu menjaga
tubuh terhadap berbagai mikroorganisme:
4.5.1 Garam dan asam lemak, yang disekresikan oleh kelenjar dalam kulit
menghambat pertumbuhan streptokokus, jamur dan kebanyakan bakteri
Gram Negatif.
4.5.2 Asam Lambung, konsentrasi asam di dalam lambung dibuat sedemikian
rupa sehingga lingkungan asam ini secara efektif akan membunuh
sebagian besar bakteri.
26
4.5.3 Lisozim, yaitu enzim di dalam secret tubuh, seperti saliva dan air mata,
menguraikan dinding sel sebagian bakteri (khususnya gram positif).
4.5.4 Tumour necrosis factor (TNF), yang diproduksi terutama oleh monosit dan
makrofag akan menekan replikasi virus dan mengaktifkan fagosit.
4.5.5 Komponen komplemen dan produknya menghancurkan mikroorganisme
secara langsung, atau menghancurkan dengan bantuan sell fagosit.
4.5.6 Transferin, yang terutama diproduksi di dalam hati dan Laktoferin, yang
terdapat di dalam granula neutrofil dan sebagian besar secret tubuh, dapat
membuat mikroorganisme kekurangan zat besi selain berperan sebagai
modulator system imun.
4.5.7 Interferon mengatur pertumbuhan dan diferensiasi serta mengendalikan
imunologi. Interferon alfa merupakan protein kecil yang diproduksi oleh
sel yang terinfeksi virus dan protein ini secara non-spesifik menghambat
semua replikasi virus lain dengan cara menghambat sintesis protein virus.
Interferon juga mengaktifkan sel makrofag dan sel natural killer (NK).
4.6 Sel defensive
Sel berikut ini terlibat dalam mekanisme pertahanan selular non-spesifik,
dan dengan demikian akan menyerang sebagian besar mikroorganisme
yang menginvasi tubuh. Sel defensive yang paling penting pada system
imun non spesifik adalah neutrofil, makrofag, dan sel natural killer (NK).
4.6.1 Neutrofil (leukosit polimorfonuklear) merupakan fagosit yang paling
penting dalam destruksi bakteri. Granula dan lisosom dalam neutrofil
mengandung enzim pengurai. Pada respons imun non spesifik, neutrofil
27
menjadi sel pertama yang keluar dari pembuluh darah yang berdilatasi
karena sel pertahanan tubuh ini paling mudah deformasi. Neurofil
merespons factor kemotaktik atau kemotaksin (zat kimia yang dilepaskan
oleh bakteri dan sel jaringan mati) dan bergerak ke daerah berkonsentrasi
tertinggi. Sel pertahanan tubuh ini akan menelan sel/partikel yang
menginvasi, membungkusnya dalam membrane, dan melepaskan enzim
hidrolisis. Karena proses (fagositosis) ini membutuhkan banyak energy,
cadangan glikogen neutrofil akan habis dan sel tersebut segera mati.
Ketika mati dan isi neutrofil dilepas, sisa enzim dalam neutrofil akan
menyebabkan pencairan jaringan, didekatnya. Akumulasi neutrofil yang
mati, cairan jaringan dan debris yang lain membentuk pus (yang sering
disebut “secret purulen”).
4.6.2 Makrofag, yang berasal dari monosit, merupakan fagosit mononuclear
berukuran besar. Makrofag ditemukan dalam banyak jaringan dan
berfungsi untuk menyingkirkan debris sel mati serta menyerang bakteri
dan sebagian jamur. Karena mempunyai cadangan glikogen yang lebih
besar daripada neutrofil, makrofag dapat memperbaharui kandungan
lisosom sehingga, dapat hidup aktif lebih lama. Makrofag dan fagosit yang
lain, seperti sel dendritik dikenal sebagai antigen presenting cells (APC)
karena permukaan sel ini memperlihatkan bagian dari sel pathogen yang
tertelan; dengan melakukan hal ini, makrofag dan sel fagosit lain
berkomunikasi dengan dan merangsang imun spesifik.
4.6.3 Sel natural killer (NK) merupakan limfosit yang mematikan dan bersifat
agresif non-spesifik, tidak mempunyai memori imunologi namun
28
menyerang dan membunuh apapun yang dikenali sebagai benda atau se
lasing atau abnormal saat terjadi kontak. natural killer menjadikan sel
tumor dan mikroba penyebab infeksi, khususnya virus, sebagian target.
Granula di dalam sel NK mengandung protein sitolitik seperti perforin. Sel
ini terlibat dalam reaksi penolakan jaringan transplantasi dan menjadi
permasalahan utama pada pasien transplantasi. Sel NK yang telah
diaktifkan oleh limfokin akan membunuh tarhet secara lebih efisien.
4.7 Pengkajian sistem kekebalan tubuh
Alergi selalu mengikuti sensitisasi terhadap alergen, sehingga salah satu alat
diagnostik utama adalah sejarah lengkap untuk menentukan alergi yang mungkin,
termasuk makanan, obat-obatan, serangga, atau sensitivitas serbuk sari. Riwayat
diikuti dengan pemeriksaan fisik lengkap. Pengkajian system imun yang perlu
dilakukan :
4.7.1 Pengkajian umum dengan menanyakan data umur, jenis kelamin, Ras,
Latar belakang etnik, Kelelahan, Demam, Diaforesis, keringat malam,
Kemerahan, Kelemahan muscular, Nyeri/ pembengkakakn sendi,
Penurunan Berat Badan, Massa yang tak biasa, Limfadenopati, Proses
pemulihan buruk, Hepatosplenomegali dan perubahan tanda-tanda vital.
4.7.2 Pengkajian system syaraf pusat yang dilihat berdasarkan :
4.7.2.1 Umum
Perawatan menanyakan kepada klien apakah klien sakit kepala,
parestesia, Paralisis, Neuritis, Perubahan Kesadaran.
29
4.7.2.2 Kognitif
Perawat menanyakan kepada klien apakah mengalami kerusakan memori,
kerusakan konsentrasi, penurunan proses berfikir, dan kacau mental.
4.7.2.3 Motorik
Perawat menanyakan kepada klien apakah mengalami Kelemahan tungkai
bawah, gaya berjalan, penurunan koordinasi tangan, tremor, dan kejang.
4.7.2.4 Perilaku
Perawat menanyakan kepada klien apakah kurang menjiwai, menarik diri,
Emosional labil, Perubahan kepribadian, ansietas, mengingkari, Psikosis,
Depresi.
4.7.2.5 Pengkajian Pernafasan dengan melihat apakah klien sesak nafas, dispnea,
ISPA sering, Batuk, Takipnea, Sianosis, Perdarahan, Hipertensi
pulmoner, fibrosis, kor pulmonale, Mengi, Krekels pada basis atau difusi
dan Retraksi interkostal.
4.7.2.6 Pengkajian Oftalmologi yang melihat apakah ada Fotofobia, Diplopia,
pandangan kabur, Badan cytoid retinal, Eksudat pada kapas, Proptosis,
Papiledema, Berkurangnya lapang pandang penglihatan, Kebutaan,
Katarak, Konjungtivitas, Uveitis
4.7.2.7 Pengkajian Gastrointestinal dengan melihat apakah klien Anoreksia,Mual,
Disfagia, Nyeri abdomen, kram, kembung, Gatal pada rectum, nyeri,
penurunan berat badan, tidak sengaja munta, diare, fisura rectum,
perdarahan, hepatosplenomegali.
4.7.2.8 Pengkajian Integumen yang melihat apakah ada sensitivitas matahari,
berkilai, kulit tegang di atas sendi yang rusak. Nodul subkutaneus di atas
30
tonjolan tulang, kemerahan, Eritema:”kupu-kupu” pada pipi dan hidung;
nodusum, Bercak putih, abu-abu/ putih pada mukosa, Lesi merah sampai
ungu/coklat, Vesikel herpetic, Ulserasi oral, nasal, Kista tulang, tangan,
kaki, Pelambatan pemulihan luka, Alopesia parsial.
4.7.2.9 Pengkajian Sistem Muskuloskletal apakah ada Nyeri dan kekakuan sendi,
Keemahan muscular, Parestesia; tangan, kaki, Artralgia, peradangan/
pembengkakan sendi, Kerusakan fungsi sendi, nodul-nodul subkutan pada
tonjolan tulang, edema jaringan lunak.
4.7.2.10Pengkajian system Genitourinarius apakah ada Hematuria, serpihan
selular, azotemia, nyeri panggul dan nyeri pada waktu berkemih.
4.7.2.11Pengkajian system Kardiovaskular apakah ada Palpitasi, takikardia, nyeri
dada dari sedang sampai berat, hipertensi, murmur, kardiomegali,
fenomena Reynaud’s.
4.7.2.12Pengkajian Sistem Hematologi apakah ada Petekie, purpura, mudah
memar, Epistaksis, Perdarahan gusi.
4.7.2.13Pengkajian Sistem Limfatik apakah ada Limfadenopati dan
Splenomegali.
4.8 Informasi Latar Belakang yang Berhubungan dengan Kondisi penyakit
yang menyertai
4.8.1 Klien memiliki anemia, Pleuritis, Perikarditis, Fenomena Reynaud’s,
vaskulitis, Maligna: Leukemia, Penyakit imunodefisiensi, Sarkoma
Kaposi’s, Limfoma dan penggunaan obat-obatan IV.
31
4.9 Riwayat Kesehatan
Sehat berfokus pada keluhan utama dan alergi ini, riwayat medis masa lalu
untuk alergi, riwayat keluarga, riwayat psikososial, termasuk gaya hidup dan
manajemen stres, dan peninjauan sistem (ROS). Klien idealnya adalah
sumber riwayat kesehatan, meskipun orang lain yang signifikan seperti orang
tua atau pasangan atau anggota keluarga lainnya bisa menjadi sumber
informasi berharga.
5.0 Keluhan Utama
Klien dapat melaporkan gejala alergi seperti rhinitis, bersin, hidung tersumbat,
post nasal drip, sakit tenggorokan, perubahan suara, suara serak, mengi, batuk
terus-menerus, dyspnea, malaise, kelelahan, ruam, pruritus, muntah, diare,
kolik usus, berlebihan merobek, atau ketajaman pendengaran diubah. Gejala
bervariasi tergantung pada sifat dari alergen dan pola sensitivitas masing-
masing klien. Perawat melengkapi analisis gejala untuk setiap gejala yang
dilaporkan untuk membantu dalam identifikasi alergen. Jenis-jenis utama dari
alergen termasuk inhalansia (misalnya, serbuk sari, jamur, spora, debu,
tungau, dan bulu binatang), Agens kontak (misalnya, pewarna pakaian, serat,
kosmetik, logam dalam perhiasan, minyak tumbuhan, dan sekresi, obat topikal
, dan kimia banyak); tertelan agen (misalnya, makanan aditif, obat), dan agen
suntik (misalnya, obat-obatan, vaksin, dan racun serangga)
5.1 Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Perawat meminta klien tentang episode terakhir dari reaksi alergi. Klien
diminta untuk berhubungan apakah atau tidak ada pola musiman terkait
32
dengan episode ini, gejala-gejala yang berkembang, dan pengobatan untuk
alergi dan efektivitas mereka. Khusus, menanyakan tentang alergi obat dan
alergi makanan atau sensitivitas. Apakah klien pernah mengalami reaksi
anafilaksis? Apakah klien memiliki seri sebelumnya dari pengobatan untuk
desensitisasi dengan suntikan alergi? Jika demikian, adakah pengobatan yang
efektif?
5.2 Riwayat Keluarga
Klien diminta untuk mengidentifikasi alergi dan kepekaan pada anggota
keluarga, khususnya reaksi atopik. Perawat mencoba untuk menentukan
masalah yang spesifik, gejala yang menyertainya, dan pengobatan.
5.3 Riwayat Psikososial dan Gaya Hidup
Informasi tentang lingkungan fisik klien dan pola psikososial penting dalam
memperoleh riwayat alergi lengkap. Perawat bertanya tentang kedua rumah
dan pekerjaan (atau sekolah) lingkungan. Apakah ada hewan peliharaan di
rumah? Apakah rumah tanaman atau memotong bagian bunga segar dari
rumah? Apa jenis vegetasi di sekitar langsung dari rumah atau rumah atau
tempat kerja?
5.4 Riwayat Pengobatan
Informasi tentang apakah klien sudah diimunisasi, menerima darah atau
produk darah, Hidralazin, Proksinamid, Isoniazid, dan penggunaan obat-obat
IV secara gelap.
33
5.5 Bantuan Diagnostik dengan dilakukannya pemeriksaan Laboratorium
1. JDL
2. SDP, differensial merupakan bagian dari darah lengkap, yang terdiri dari 5
tipe SDP (leukosit): neutrofil, monosit, basofil, eosiofil dan limfosit.
3. Laju sedimentasi eritrosit
4. Riwayat koagulatif
5. Limfosit, T4 , T8
6. Imunoglobulin serum
7. Titer antigen/antibody
8. HAA
9. HAV
10. Titer ASO (Anti Streptolisin O) yang diindikasikan pada infeksi
tenggorokan.
11. Faktor rheumatoid (RF) (rheumatoid factor, RF) adalah immunoglobulin
yang bereaksi dengan molekul IgG.
12. Protein C-reaktif (CRF)
13. Elektroforesis serum
14. Preparat sel LE
15. Antibodi DNA anti-double-standard
16. Komplemen (C3, C4)
17. Absorpsi antibody treponemal fluoresen (fluorescent treponemal antibody
absorption, FTA-ABS) dan uji mikrohemaglutinasi untuk T. Pallidum
(microhemaglutination test for T-Pallidum MHA-TP).
34
18. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbant Assay) bertujuan untuk
menentukan berapa banyak antibodi tertentu hadir dalam darah individu.
Essi blot Western
19. PCR
20. FBS
21. BUN
22. Bilirubin
23. Klirens Kreatinin
24. LDH, SGOT, SGPT
25. Alkalin fosfatase
26. Kolesterol
27. Fe
28. Elektrolit
29. Serologi
30. Kultur
31. Sputum, cairan spinal, membrane mukosa oral, darah dan feses
32. Urinalisis
33. Protein urine
5.6 Prosedur lain
1. Radiologi
2. Sendi
3. Dada
4. Scan CT/MRI
5. EKG
35
6. Tes Konduksi saraf
7. Elektromiografi
8. Tes funsi pulmoner
9. Artroskopi
10. Bronskopi
11. Biopsi
12. Kulit, ginjal, paru, sumsum tulang
36
BAB III
KESIMPULAN
Proses pengkajian keperawatan harus dilakukan dengan sangat individual
(sesuai masalah dan kebutuhan klien saat ini) dan secara holistic caring. Dalam
menelaah status pernapasan klien, perawat melakukan wawancara dan
pemeriksaan fisik untuk memaksimalkan data yang dikumpulkan. Setelah
pengkajian awal perawat memilih komponen pemeriksaan yang sesuai dengan
tingkat distres pernapasan yang dialami klien antara lain: tes diagnostik yang
sesuai dengan diagnosa medis pasien.
Data hasil pengkajian keperawatan secara holistic caring merupakan dasar
yang digunakan oleh perawat untuk menegakkan diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi sampai dengan evaluasi. Tanpa pengseorang pengkajian
keperawatan yang lengkap dan holistic seorang perawat tidak akan bisa
melakukan asuhan keperawatan secara holistic caring.
37
DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. Matassarin-Jacobs, Esther. Luckmann, Joan. Medical-Surgical
Nursing: a psychophysiologic approach. W.B. Sauders: The United States
of America.
Chang, Esther. (2009). Patofisiologi: aplikasi pada praktik keperawatan. EGC:
Jakarta.
GUYTON, Arthur C. (1996). Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. EGC:
Jakarta.
Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi. Robbins, Stanley L. dkk. (2007). Patologi. EGC:
Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. EGC: Jakarta.
Talbot, Laura A. (1997). Pengkajian Keperawatan Kritis. EGC: Jakarta.
Tucker, Susan Martin. (1998). Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan,
diagnosis, dan evaluasi. EGC: Jakarta.
Diambil dari Website:
38
http://www.bio.davidson.edu/courses/genomics/method/elisa.html pada
tanggal 21 November pukul 24:45 Wib 2012.
.
39