awas praktik kedokteran defensif

4
Awas Praktik Kedokteran Defensif GERAI - Edisi Agustus 2007 (Vol.7 No.1) Bila gugatan itu berlebihan maka akan menimbulkan ketidak percayaan dalam hubungan dokter-pasien sehingga akan memicu terjadinya praktik kedokteran defensif dengan segala implikasinya. Maraknya pemberitaan malpraktik diberbagai media telah mengubah tatanan pelayanan kesehatan di negeri ini. Perubahan ini dimulai dengan di- berlakukannya Undang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) yang mengatur pelaksanaan praktik kedokteran. Yang dulunya, hak dan kewajiban pasien samar- samar, kini pasien pun mendapat haknya yang proporsional. Dokter pun terkontrol dari segi keahliaan dan praktiknya. Namun pemberlakuan UUPK ini, bagi sebagian dokter merasa "terdzolimi'. Beberapa pasal yang terdapat didalamnya langsung menghujam pada delik kriminal dimana sebenarnya kesalahan itu bersifat administratif. Kondisi ini ramai-ramai dimanfaatkan oleh pengacara untuk melayangkan gugatan atas tindakan dokter yang dianggap merugikan kliennya. Tak sedikit, para pengacara merasa lebih hebat dari dokter sehingga menuding tindakan tersebut malpraktik. Derasnya gugatan ini membuat dokter dan pihak rumah sakit terpojok. Pihak rumah sakit sendiri sulit memberi penjelasan atas kasus yang terjadi mengingat penyakit pasien merupakan rahasia yang tidak dapat dijelaskan ke publik. Hal ini memberi kesan bagi media bahwa rumah sakit ataupun dokter seolah-olah menutupi kesalahannya. Akhirnya, dokter juga manusia. Tidak ada orang yang ingin diperkarakan. Dokter pun lebih mengambil langkah-langkah aman dalam melakukan praktiknya "Dokter jadi takut berbuat sesuatu terhadap calon pasiennya. Atau melakukan pemeriksaan yang berlebihan agar dokter merasa aman terhadap kemungkinan- kemungkinan risiko, dan bahkan akan bersikap sangat prosedural,

Upload: duiiii

Post on 19-Nov-2015

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kedokteran defensif

TRANSCRIPT

Awas Praktik Kedokteran Defensif

GERAI - Edisi Agustus 2007 (Vol.7 No.1)

Bila gugatan itu berlebihan maka akan menimbulkan ketidak percayaan dalam hubungan dokter-pasien sehingga akan memicu terjadinya praktik kedokteran defensif dengan segala implikasinya.Maraknya pemberitaan malpraktik diberbagai media telah mengubah tatanan pelayanan kesehatan di negeri ini. Perubahan ini dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) yang mengatur pelaksanaan praktik kedokteran. Yang dulunya, hak dan kewajiban pasien samar-samar, kini pasien pun mendapat haknya yang proporsional. Dokter pun terkontrol dari segi keahliaan dan praktiknya.Namun pemberlakuan UUPK ini, bagi sebagian dokter merasa "terdzolimi'. Beberapa pasal yang terdapat didalamnya langsung menghujam pada delik kriminal dimana sebenarnya kesalahan itu bersifat administratif. Kondisi ini ramai-ramai dimanfaatkan oleh pengacara untuk melayangkan gugatan atas tindakan dokter yang dianggap merugikan kliennya. Tak sedikit, para pengacara merasa lebih hebat dari dokter sehingga menuding tindakan tersebut malpraktik.Derasnya gugatan ini membuat dokter dan pihak rumah sakit terpojok. Pihak rumah sakit sendiri sulit memberi penjelasan atas kasus yang terjadi mengingat penyakit pasien merupakan rahasia yang tidak dapat dijelaskan ke publik. Hal ini memberi kesan bagi media bahwa rumah sakit ataupun dokter seolah-olah menutupi kesalahannya.Akhirnya, dokter juga manusia. Tidak ada orang yang ingin diperkarakan. Dokter pun lebih mengambil langkah-langkah aman dalam melakukan praktiknya "Dokter jadi takut berbuat sesuatu terhadap calon pasiennya. Atau melakukan pemeriksaan yang berlebihan agar dokter merasa aman terhadap kemungkinan-kemungkinan risiko, dan bahkan akan bersikap sangat prosedural, bila tidak ada persetujuan dari pihak pasien yang sah, dokter tidak berani melakukan tindakan operasi padahal perlu diambil tindakan cepat untuk menangani pasien," kata Dr. M. Natsir Nugroho SpOG, Mkes, dari Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) pada Seminar Wartawan bertajuk "Aman, Nyaman dan Akrab Bersama Dokter, Merajut Ulang Kepercayaan Pasien" yang diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), awal Juli lalu.Jadinya, dokter terkesan pilih-pilih pasien. Dokter melakukan praktik kedokteran defensife seperti ini untuk menghindari risiko kemungkinan ancaman tuntutan malpraktek di kemudian harinya. Praktik kedokteran defensife ini lebih mementingkan rasa aman dari tanggungjawab hukum dibanding keselamatan pasien.Dr. Natsir menjelaskan, praktik kedokteran defensif muncul akibat tingginya kekhawatiran dokter. Menurut survey yang dilakukan terhadap 300 dokter, 100 perawat, dan 100 tenaga administrasi kedokteran menunjukkan, lebih dari 76 persen dokter menyatakan tuntutan malpraktik mengganggu kemampuan mereka dalam memberikan pelayanan berkualitas. Berkaitan dengan kekhawatiran terhadap ekses sistem tuntutan hukum yang berlebihan, 91 persen dokter merujuk pasien ke dokter lain, 79 persen dokter mengajukan lebih banyak pemeriksaan medis dibandingkan yang semestinya. Kemudian, 71 persen dokter merujuk pasien ke spesialis, 51 persen dokter merekomendasikan prosedur invasif, dan 41 persen dokter meresepkan obat lebih banyak daripada yang diperlukan sesuai pertimbangan medis.Kekhawatiran atas tuntutan hukum ini tidak hanya dirasakan oleh dokter saja melainkan juga para medis lain. Masih dari survei itu, sekitar 66 persen perawat dan 84 persen staf administrasi rumah sakit telah melakukan perawatan berlebihan karena khawatir adanya kemungkinan risiko yang dapat menyeretnya kemeja hijau. "Semua itu untuk menghindari kemungkinan yang tidak diharapkan," kata Sekjen Persi ini.Penelitian lain yang dilakukan terhadap dokter di UGD menunjukkan terjadi peningkatan secara bermakna angka rawat inap pasien suspect penyakit jantung iskemik akut risiko rendah dan peningkatan penggunaan alat uji diagnostik, karena kekhawatiran yang tinggi terhadap tuntutan hukum. Dokter yang memiliki kekhawatiran tinggi terhadap tuntutan malpraktik akan lebih sedikit memulangkan pasien dibandingkan dengan dokter dengan tingkat kekhawatiran lebih rendah. Studdert dkk (2005) menyampaikan bahwa di daerah yang tuntutan malpraktik tinggi, sekitar 93 persen dokter melakukan praktik kedokteran defensif. Biasanya mereka melakukan banyak pemeriksaan, prosedur diagonstik, dan merujuk kepada spesialis lain. Hasil penelitian tersebut juga menunjukan bahwa 43 persen dokter mengajukan pemeriksaan imaging lebih sering dibanding semestinya. Selain itu, 42 persen dokter menyatakan enggan mengambil prosedur medis yang berisiko, serta menolak pasien berisiko tinggiTuntutan malpraktik yang berlebihan telah menimbulkan kegamangan professional medis. Ternyata praktik kedokteran defensif telah melambungkan biaya pengobatan. Dari penelitian di Amerika Serikat, tahun 2006, biaya yang ditimbulkan akibat praktik kedokteran defensif menghabiskan 10 persen dari total biaya kesehatan. Risiko lain dari praktik kedokteran defensif ini adalah bertambahnya anggaran pengeluaran rumah sakit karena mesti menggaji risk manager dan pengacara untuk mengantisipasi apabila terjadi tuntutan hukum. Para dokter pun harus diasuransikan untuk risiko-risiko selama bertugas." Biaya itu akan dibebankan pula kepada pengguna jasa, sehingga biaya pemeliharaan kesehatan menjadi membengkak. Masyarakat miskinsemakin sulit menjangkau pelayanan kesehatan," tegas Natsir.Di samping dapat meningkatkan biaya kesehatan, dokter pun lebih memilih berpraktik di daerah-daerah yang kondusif. Di Pennsylvania, dimana tingkat tuntutan malpraktik berlebihan, membuat sepertiga dokter pendidikan spesialis obsgin bekerja di luar daerah tersebut. Suatu studi di Florida juga menunjukkan terdapat kecenderungan penurunan peminatan spesialis obsgin berkaitan kekhawatiran tuntutan mlpraktik yang berlebihan. "Hal defensif semacam ini akan mempengaruhi ketersediaan tenaga dokter spesialis di suatu daerah."Cegah Praktik Kedokteran DefensifHubungan dokter-pasien semestinya atas saling percaya, bukan kontrak bisnis. Dokter maupun pasien sama-sama profesional dan proporsional dalam memecahkan permasalahan kesehatan. Dokter harus selalu berlaku profesional dalam menjalankan profesinya, serta mengkomunikasikan secara proporsional segala aspek yang terkait dengan tindakan medis yang dilakukannya. Sementara pasien mesti memahami aspek yang terkait dengan pengambilan keputusan medis sehingga mengerti manfaat dan risiko dari tindakan medis tersebut.Bila terjadi malpraktik, menurut Tini Hadad, hendaknya pasien mengadukan dugaan malpraktik kepada Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). "Jangan terburu-buru membawa ke pengadilan karena informasinya menjadi akan semakin terbuka dan terekspos secara luas," kata Tini yang juga anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Menurutnya, di forum MKDKI akan terlihat apakah seorang dokter yang diduga malpraktik sudah sesuai prosedur. Pada kesempatan itu juga akan bisa diungkap tingkat kompetensi dokter yang melakukan tindakan medis tersebut. Dengan begitu gugutan malpraktik malah akan mendukung profesionalitas praktik kedokteran, namun bila gugatan itu berlebihan maka akan menimbulkan ketidakpercayaan dalam hubungan dokter-pasien sehingga akan memicu terjadinya praktik kedokteran defensif dengan segala implikasinya. (Amril)