artikel_10501147
DESCRIPTION
ldfghjkTRANSCRIPT
Judul Studi kasus : Penyesuaian menantu perempuan yang tinggal di rumah
mertua yang berbeda suku
Nama : Ika wahyuni
NPM :10501147
NIRM : 20013137380050146
Pembimbing : M. Fakhrurrozi, M.psi, psi
ABSTRAK A. Latar belakang masalah
Seperti pada tahapan kehidupan
yang lain, pada masa dewasa muda
seorang individu juga menghadapi
berbagai tugas perkembangan. Tentang
tugas perkembangan dewasa muda ini,
Havinghurst (dalam turner & Helms,
1991) menyatakan bahwa menikah
dilalui sebagian besar individu dewasa
muda sebagai salah satu tugas
perkembangannya.
Carter & McGoldirck (dalam
Santrock, 2002) menyatakan bahwa
dengan menikah, individu berada pada
tahap pasangan baru dalam siklus
keluarga. Dimana individu menghadapi
perubahan peran. Dapat dikatakan
dengan menikah individu menghadapi
tugas-tugas yang membutuhkan
penyesuaian diri, karena diantara sekian
banyak tugas perkembangan individu
dewasa muda, tugas-tugas yang
berhubungan dengan hidup, seseorang
yang telah memiliki pengalaman kerja,
menikah dan telah menjadi orang tua,
tetap harus melakukan penyesuaian diri
dengan peran-peran tersebut sehingga
proses penyesuaian hidup sebagai suami
dan istri bukan hal yang mudah.
Duvall dan Miller (1985)
mengatakan bahwa pada umumnya,
seseorang menikah ketika ia menginjak
umur 20-an.
Laswell (dalam Astuti, 1988)
mengatakan bahwa usia 25 tahun adalah
usia yang ideal bagi wanita, dan 28
tahun adalah usia yang ideal bagi pria
untuk menikah. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa usia yang sangatlah
ideal bagi seseorang untuk menikah
adalah usia antara 20-28 tahun, dan
rentan usia tersebut dalam tahap
perkembangan berada pada masa dewasa
awal (Turner & Helms, 1995).
Turner dan Helms (1995)
menguraikan beberapa motif bagi
seseorang untuk menikah. Adapun
motif-motif tersebut adalah cinta,
kebersamaan, perjanjian, legitimasi
untuk melakukan hubungan seksual dan
mempunyai anak yang sah, kesiapan,
serta keuntungan yang legal. Setiap
pasangan yang baru menikah memiliki
harapan bahwa mereka berdua akan
hidup bahagia selamanya. Tetapi cepat
atau pun lambat mereka akan
menemukan bahwa kehidupan di dalam
perkawinan tidaklah selalu indah.
Banyak konflik-konflik baru yang akan
muncul yang mungkin belum pernah
terjadi sebelumnya. Adakalanya terjadi
suatu kesalah pahaman ataupun
pertengkaran yang akan membuat
mereka sadar bahwa pasangannya
tersebut hanyalah manusia biasa yang
lengkap dengan kelemahan dan
perbedaan.
Sementara itu, sebagian dari
mereka terkadang masih menambahnya
dengan masalah lain. Masih dapat kita
temukan sampai hari ini, banyak
pasangan muda yang baru menikah tetap
tinggal dirumah orang tuanya, entah itu
dirumah orang tua dari pihak suami
ataupun dari pihak istri.
Menurut purnomo (1994) ada
beberapa alasan untuk tetap tinggal di
rumah mertua. Pertama, mungkin
mereka memang belum berani untuk
mandiri dengan mengandalkan
penghasilan, karena biaya hidup
berumah tangga tidaklah sedikit. Kedua,
secara psikologis, mungkin mereka
belum siap, karena menikah merupakan
suatu pengalaman baru bagi mereka.
Berada dekat dengan orang tua dapat
membantu untuk mendapatkan kekuatan,
panutan, atau pun teladan. Ketiga, sang
menantu memang diminta untuk tinggal
bersama oleh mertuanya, karena sang
mertua yang mungkin telah hidup
sendiri, membutuhkan seseorang untuk
menemaninya.
Bagi para pasangan dengan
alasan seperti di atas, tinggal dirumah
mertua setelah menikah terkesan sebagai
sesuatu hal yang sederhana. Pasangan
tidak perlu pusing dengan uang
kontrakan ataupun uang cicilan rumah.
Seorang menantu yang baik
adalah tugas seumur hidup setiap
pasangan. Apabila kita ingin mempunyai
hubungan yang baik dengan setiap
anggota keluarga, maka sang menantu
harus dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan tersebut. Adapun yang
dimaksud dengan menyesuaikan diri
adalah kemampuan individu untuk
mengatasi segala sesuatu yang terjadi
dalam lingkungannya secara efektif
(Adams, 1972).
Setiap individu merupakan
anggota dari suatu kelompok, baik suatu
negara tertentu, kelas sosial tertentu
kelompok etnik tertentu dan lain-lain.
Setiap kelompok masyarakat memiliki
pola-pola perilaku tersendiri yang diikuti
oleh setiap anggota kelompok
masyarakat tersebut. Individu yang
berasal dari suatu kelompok etnik
tertentu memiliki nilai budaya yang
berbeda dengan individu kelompok etnik
yang lain misalnya dalam adat-istiadat
melamar yang berbeda dalam
masyarakat Minang kabau dan
masyarakat Batak. Pada masyarakat
Minangkabau, biasanya pihak wanita
yang melamar sedangkan dalam
masyarakat Batak pihak laki-laki yang
melamar calon istri nya. Contoh lainnya
adalah bila seorang menantu perempuan
yang berasal dari Sumatra utara
mempunyai suami yang berasal dari
suku Jawa. Dalam hal tinggal di Jawa,
menantu harus menyesuaikan diri
dengan adaptasi kebiasaan jawa yang
ada di sana. Adat Jawa dikenal dengan
tata krama yang menjunjung tinggi
kesopanan dan kehalusan. Terutama
kepada kedua orang tua . Menantu
perempuan yang memang
kebudayaannya dikenal sangat terbuka
dan suka berterus terang, tentu harus
membiasakan dahulu bersikap lebih
halus dan lembut kepada mertuanya,
dengan berbicara lebih sabar dan pelan
tidak langsung terang-terangan dalam
mengungkapkan sesuatu. Tentu saja
menantu perempuan membutuhkan
untuk menyesuaikan diri dengan adat
kebiasaan yang baginya baru. Bila usaha
yang dilakukan berhasil dengan baik,
maka penyesuaian diri yang
dilakukannya berhasil juga dengan baik.
Tetapi bila ternyata usaha yang
dilakukannya tidak maksimal dan tidak
berhasil, maka hal itu dapat
mempengaruhi penyesuaian diri sang
menantu selanjutnya. Bila si menantu
mempunyai mertua yang baik dan penuh
pengertian akan ketidak berhasilannya,
maka hal itu dapat membantu si mertua
untuk menyesuaikan diri dengan dirinya
sendiri apa adanya. Tetapi bila ternyata
ia mempunyai mertua yang sangat
memegang penuh adat kebiasaan
Jawanya, maka hal itu dapat
berpengaruh dalam hasil penyesuaian
diri menantu menjadi lebih buruk lagi
(Purnomo 1994).
Penyesuaian diri merupakan
proses yang terus berlanjut sepanjang
kehidupan seseorang. Hal ini disebabkan
karena adanya perubahan situasi hidup
yang menuntut seseorang untuk berubah.
Oleh sebab itu dalam sepanjang hidup
seseorang harus terus menyesuaikan diri
sesuai dengan pengalaman hidupnya.
Penyesuaian diri adalah suatu proses,
mengingat kehidupan mereka
merupakan rangkaian perubahan dan
tantangan yang mengakibatkan individu
selalu berada dalam proses yang
berubah-ubah. Sehubungan dengan hal
itu, individu dapat mencari dan
menggunakan strategi baru untuk
menyesuaikan diri dalam kehidupan
mereka.
Perempuan dikatakan lebih sulit
menyesuaikan diri dari pada laki-laki
(Purnomo 1994). Hal ini dikarenakan
perempuan memegang peranan yang
sangat penting, yang salah satunya
adalah mempunyai hubungan yang baik
dengan keluarga suami (Horsey,1996)
dan perempuan pun memiliki kecemasan
berupa “aku tidak diterima dalam
keluarga suami” (Duvall dalam
Horsey,1996).
Menyesuaikan diri dengan
sesuatu yang baru tidaklah mudah.
Dalam menghadapi perubahan-
perubahan tersebut dibutuhkan usaha
dari individu yang bersangkutan. Dalam
kaitannya dengan pasangan yang tinggal
dirumah mertua, bila mertua mempunyai
latar belakang yang sama dengan
menantunya, maka hal ini dapat
mengurangi kesulitan yang dialami oleh
sang menantu. Tetapi bila mertua
mempunyai latar belakang yang berbeda
dengan menantunya, maka sang menantu
harus lebih pandai menyesuaikan diri.
Memahami latar belakang budaya antara
mertua dan menantu adalah suatu hal
yang sangat penting. Sehingga dapat
diketahui cara berpikir dan harapan
mereka untuk menjadi orang tua atau
menantu yang baik.
Bernard (dalam Rumiyati,2002)
mengatakan bahwa terdapat dua cara
untuk menjelaskan penyesuaian diri.
Adapun salah satu cara menjelaskan
penyesuaian diri tersebut adalah yang
diketahui sebagai proses. Tujuannya
adalah untuk mengerti tentang
penyesuaian diri itu sendiri. Dengan cara
ini, kita dapat bertanya mengenai
bagaimana seseorang individu atau
masyarakat secara umum menyesuaikan
diri dalam lingkungan yang berbeda dan
faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhinya.
Pertanyaan dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah jenis penyesuaian diri
menantu perempuan yang tinggal
dirumah mertua yang berbeda suku?
2. Faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi penyesuaian diri
subjek ?
Permasalahan apa saja yang dapat
timbul didalam hubungan antara
mereka?
Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran secara utuh
tentang bagaimana penyesuaian diri
menantu perempuan yang tinggal
dirumah mertua yang berbeda suku,
permasalahan apa saja yang dapat timbul
di dalam hubungan antara mereka serta
faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhinya
B. Tinjauan pustaka
Grasha dan Kirschenbaum
memandang penyesuaian diri sebagai
usaha mencocokkan diri antara
kemampuan yang ada dengan
tuntutan lingkungannya.
Kemampuan tersebut terbentuk
melalui proses belajar dan
pengalaman, dimana kedua hal
tersebut terbentuk berkaitan erat
dalam mengatasi masalah yang
terjadi dalam lingkungan
Martin dan Osborne melihat
penyesuaian diri lebih kepada
bagaimana kita merubah tingkah
laku untuk mendapatkan tingkah
laku yang sesuai dengan tuntutan
lingkungan kita. Menurut mereka
setiap individu akan mengalami
masalah dalam penyesuaian diri,
dimana tingkat kesulitan dari
masalah tersebut sangat bervariasi.
Masalah yang dihadapi seseorang
dalam menjalani kehidupan sehari-
hari pun bisa menjadi masalah dalam
penyesuaian diri. Menjaga hubungan
dengan teman, keluarga, sekolah,
pekerjaan, lingkungan dimana kita
tinggal, perubahan peran karena
gender, atau perbedaan budaya.
Semua itu mempengaruhi dan
merupakan tantangan dalam
menyesuaikan diri. Tantangan-
tantangan seperti itulah yang harus
dihadapi oleh individu setiap hari.
Dengan merubah tingkah laku yang
semula tidak sesuai menjadi lebih
sesuai dengan tuntutan lingkungan,
maka individu akan berhasil dalam
penyesuaian diri.
Lazarus memiliki
pandangan yang sejalan dengan
Grasha dan Kirschenbaum bahwa
individu selalu berusaha untuk
mengatasi berbagai tuntutan atau
tekanan yang dihadapinya. Dalam
mengatasi berbagai tuntutan dan
tekanan tersebut diperlukan proses-
proses psikologi yang melalui
aspek kognitif dan afektif, dimana
dengan adanya hal-hal tersebut
individu dapat mengatasi masalah-
masalah yang dihadapi dengan
lebih bijaksana (Astuti,1998)
Dari beberapa definisi
diatas, dapat disimpulkan bahwa
penyesuaian diri individu
merupakan usaha yang dilakukan
oleh seseorang untuk memenuhi
tuntutan lingkungannya dengan
cara merubah tingkah laku untuk
mendapat tingkah laku yang lebih
sesuai, yang terdiri dari proses-
proses psikologi untuk mengatasi
berbagai tuntutan atau tekanan
yang berasal dari lingkungannya
agar tercipta keselarasan hubungan
dengan orang lain maupun
lingkungannya
Karakteristik Penyesuaian Diri
yang Baik
Haber dan Runyon (1984)
menyatakan bahwa ada beberapa
karakteristik individu yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik yaitu:
a. Memiliki Persepsi yang Akurat
Terhadap Realitas
Kemampuan untuk mengenali
konsekuensi dari tindakan dan
kemampuan untuk mengarahkan
tingkah laku sesuai aturan
merupakan aspek yang penting
dalam mempersepsikan
kenyataan dengan aturan.
b. Mampu Mengatasi atau
Menangani Stress dan
Kecemasan
Penyesuaian diri akan efektif
apabila seseorang mampu
membuat tujuan hidup yang
realitis, dengan cara membuat
tujuan jangka pendek yang lebih
mudah diraih sehingga tercapai
kepuasaan dan kebahagiaan.
c. Memiliki Citra Diri yang Positif
Variasi dari persepsi terhadap
diri adalah indikator dari kualitas
penyesuaian diri untuk memiliki
citra yang positif, seseorang
harus menyadari kelebihan dan
kekurangan.
d. Mampu Mengekspresikan
Perasaan
Orang yang mampu merasakan
dan mengekspresikan seluruh
aneka warna dari emosi dan
perasaannya adalah orang yang
sehat secara emosional. Mereka
juga dapat menunjukan emosinya
secara realitas dan terkendali.
e. Memiliki Hubungan Antar
Pribadi yang Baik.
Orang yang penyesuaian dirinya
efektif mampu mencapai tingkat
keakraban dalam hubungan
sosial dengan orang lain. Mereka
disukai dan dihormati orang lain
sekaligus menyukai dan
menghormati orang lain.
Haber dan Runyon (1984)
menguraikan dua pendekatan
yang berbeda dalam
mengevaluasi penyesuaian diri
sebagai hasil, yaitu :
a. Pendekatan Sebagai Hasil
Negatif
Yang dimaksud dengan
pendekatan negatif adalah
konsekuensi buruk dalam
penyesuaian diri. Hal itu
biasanya disebut salah
penyesuaian diri jika individu
tidak menyesuaikan dirinya
dengan baik dengan
lingkungannya, maka dapat kita
sebut ia mengalami mal-adjusted.
b. Pendekatan Sebagai Hasil Positif
Pendekatan positif adalah
konsekuensi yang baik dalam
penyesuaian diri. Penyesuaian
diri yang baik adalah kebalikan
dari mal-adjusment, dan disebut
sebagai well-adjusted. Individu
dengan well-adjusted dapat
menerima dan menyesuaikan
pola tingkah laku yang dituntut
lingkungannya. Dengan
demikian individu akan nyaman
dan berfungsi dalam
lingkungannya sebagaimana
mesin yang selalu terawat baik,
secara tidak bertingkah laku
menyimpang dari norma
kelompok sosialnya.
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Bernand ( dalam
Rumiyati, 2002) menyatakan
bahwa ada 3 faktor yang
mempengaruhi penyesuaian diri,
yaitu:
a. Faktor Stres
1). Pengertian Stres
Penyesuaian diri menjadi
penting ketika tuntutan untuk
menyesuaikan diri sudah
mendekati atau melewati
ambang batas kemampuan
individu untuk
melakukannya. Ketika suatu
tujuan tidak dapat dicapai
maka seseorang akan
mengalami apa yang disebut
frustasi. Jika masa depan
seseorang menjadi tidak pasti
maka hal ini akan terasa
sebagai ancaman. Ketika
tuntutan berada pada suatu
persaingan dimana seseorang
atau dua orang tidak dapat
mencapai tujuannya tanpa
harus mengancam, maka
konfliklah yang berbicara.
Untuk mengerti masalah
yang paling serius dalam
menyesuaikan diri tidak
hanya cukup berbicara
tentang tuntutan eksternal
maupun internal. Suatu
kondisi penting dimana
penyelesaian masalah yang
paling sederhana saja
menjadi sulit atau bahkan
tidak mungkin dilakukan
harus di perhatikan. Kondisi
seperti itulah yang oleh
Lazarus (1976) disebut
dengan stres.
b. Faktor Eksternal
Lazarus (1976) membagi
faktor eksternal dalam Penyesuaian
diri menjadi dua, yaitu: tuntutan
fisik dan tuntutan sosial
C. Faktor Internal
Lazarus (1976) membagi
faktor internal dalam
penyesuaian diri menjadi dua
kebutuhan.
1). Kebutuhan Jasmani
Yang dimaksud dengan
kebutuhan jaringan adalah
kebutuhan untuk tubuh kita.
Bila kita merasa lapar, haus,
atau mengantuk, maka kita
harus segera memenuhi
kebutuhan fisik tersebut. Bila
kebutuhan itu tidak terpenuhi
atau kekurangan maka kita
akan merasa tidak sehat dan
apabila sudah melampaui
ambang batas dapat
menyebabkan kematian.
Kebutuhan akan
jaringan berkaitan erat
dengan jumlah gizi yang
didapati oleh tubuh kita. Bila
kita mendapatkan gizi yang
baik, maka jaringan tubuh
kita pun sehat. Mempunyai
tubuh yang sehat sangat erat
kaitannya dengan mempunyai
pembangkit motivasi yang
kuat. Pembangkit motivasi
inilah yang disebut sebagai
faktor pendorong.
2). Motif Sosial
Manusia adalah mahluk
sosial. Sebagai manusia kita
selalu mengharapkan adanya
kerjasama dari orang lain,
seperti penerimaan,
penghargaan, dukungan,
ataupun perhatian dari orang
lain. Walaupun secara fisik
kita tidak selalu tergantung
dari hubungan antar manusia
seperti yang dimaksudkan
diatas, namun interaksi sosial
adalah sarana mendasar yang
paling sederhana dalam
membentuk kepuasan.
Fenomena perkawinan beda suku
sebagai salah satu bentuk
perubahan, karena
perkembangan jaman. Gejala itu
kebanyakan terjadi dikota-kota
besar di Indonesia. Dengan
meningkatnya mobilisasi kekota-
kota besar, maka kemungkinan
bertemunya individu-individu
dengan latar belakang etnik yang
beragam juga semakin besar.
Tidak dapat dipungkiri, hal ini
juga memperbesar timbulnya
perkawinan beda suku (Veroff &
Feld, dalam powell,1983)
Pasangan suami istri
biasanya memiliki kemiripan
dalam hal latar belakang sosial,
agama, kelompok suku, tingkat
intelegensi, dan pendidikan.
Lebih jauh lagi, mereka biasanya
lebih mudah menyesuaikan diri
satu sama lain sehingga merasa
bahagia didalam perkawinannya.
Namun tidak dapat dipungkiri
pula, meskipun perkawinan
biasanya terjadi antar individu
yang memiliki kemiripan latar
belakang, individu bisa saja
tertarik pada individu lain
dengan latar belakang yang
berbeda namun dengan sifat
kepribadian yang bisa saja saling
melengkapi dengan individu
tersebut. Dengan demikian
perkawinan bisa saja terjadi antar
individu dengan latar belakang
yang berbeda dan tidak berarti
bahwa perkawinan tersebut akan
mengalami kegagalan., bisa saja
berbagai perbedaan yang ada,
baik perbedaan agama, latar
belakang etnik maupun latar
belakang pendidikan tidak
dianggap penting oleh pasangan
suami istri. Diskusi antar
pasangan tentang perbedaan
yang ada dapat dilakukan
sebelum membuat komitmen
perkawinan (Duvall & Miller,
1985).
Collins (1985) membagi
masalah-masalah yang mungkin
muncul karena masalah perbedaan
latar belakang yang kontras menjadi
dua yakni:
a. Masalah Internal
Yaitu masalah dari dalam
keluarga itu sendiri, yang
melibatkan hubungan antara
anggota keluarga tersebut.
b. Masalah Eksternal
Yaitu masalah dari luar
lingkungan keluarga, dari orang-
orang yang berkaitan dengan
anggota keluarganya, misalnya
dari orangtua, mertua, saudara
ipar dan lain-lain.
c. Metodologi penelitian
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yang berbentuk studi kasus.
Studi kasus itu sendiri ialah studi yang
mempelajari fenomena khusus yang
hadir dalam suatu konteks yang dibatasi
dan kasus ini dapat berupa individu,
peran, kelompok kecil, organisasi,
komunikasi atau bahkan suatu bangsa
Poerwandari (1998).
Subjek dalam penelitian ini adalah
wanita yang telah menikah dan tinggal
dirumah mertua yang berbeda suku.
Mertua bersuku Padang sedangkan
menantu bersuku Sunda.
Jumlah subjek dalam penelitian kualitatif
tidak mengarah pada jumlah besar,
melainkan pada kasus-kasus yang sesuai
dengan masalah penelitian, tidak
ditentukan secara kaku dari awal, dapat
terjadi perubahan dalam jumlah dan
karakteristik sample sesuai
perkembangan yang terjadi selama
penelitian berlangsung dan diarahkan
pada kecocokan konteks Sarantakos
(dalam Poerwandari, 1998). Jumlah
subjek pada penelitian ini adalah satu
orang subjek.
Alat yang dipakai untuk
mengumpulkan data tersebut adalah
wawancara dan observasi, yaitu : Dalam
penelitian ini akan digunakan metode
wawancara konvensional yang informal.
Adapun alasan penggunaan bentuk
wawancara tersebut adalah dengan
adanya pertanyaan yang akan
berkembang dan dijawab secara spontan
maka peneliti memperoleh banyak data
dari subjek, selain diwawancarai pun
diamati oleh peneliti tanpa subjek
menyadari maka peneliti dapat
memperoleh semua data-data yang
diperlukan dalam penelitian
Dalam studi kasus ini penelitian
menggunakan jenis observasi partisipan
dan berstruktur. Hal ini berarti peneliti
ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh subjek yang diteliti
atau diamati dan pengamat dalam
melaksanakan observasinya, melakukan
pengamatan bebas.
D. Hasil dan Analisa
Berdasarkan hasil wawancara
dan observasi baik subjek maupun
significant other bahwa subjek
menyesuaikan diri di rumah
mertuanya dengan cara mengikuti
berbagai aturan di rumah mertuanya,
akan tetapi hasil yang didapat subjek
setelah melakukan penyesuain diri
tidak sesuai dengan yang
diharapkannya karena menyesuaikan
diri di rumah mertuanya tidak lah
mudah, subjek juga sering
mengalami kesulitan menyesuaikan
diri dengan mertua perempuannya.
Hal ini disebabkan subjek jarang
sekali berkomunikasi dengan mertua
perempuannya dan memiliki
hubungan yang kurang baik dengan
mertua perempuannya. Walaupun
demikian subjek mampu menghadapi
stress dan kecemasan yang sering
dihadapinya, dalam pergaulan subjek
tidak mudah terpengaruh dengan hal-
hal yang bersifat negatif, hal ini
dikarenakan subjek dapat mengontrol
kehidupannya dan banyak
menghabiskan waktunya pada hal-hal
yang bersifat positif seperti: mengaji.
Subjek juga mampu mengekspresikan
perasaannya dan mengeluarkan
emosinya dengan cara menangis.
Hal ini sesuai dengan yang
dijelaskan oleh Haber dan Runyon
(1984) ada beberapa karakteristik
individu yang dapat menyesuaikan
diri dengan baik yaitu : Memiliki
persepsi yang akurat terhadap realitas,
subjek menyesuaikan diri di rumah
mertuanya dengan cara mengikuti
berbagai aturan di rumah mertuanya.
Mampu mengatasi atau menangani
stress dan kecemasan, subjek tidak
mudah stress dalam menghadapi
masalah-masalah yang muncul
selama tinggal di rumah mertuanya.
Memiliki citra diri yang positif,
subjek tidak mudah terpengaruh
dengan hal-hal yang bersifat negatif,
hal ini dikarenakan subjek dapat
mengontrol kehidupannya dan banyak
menghabiskan waktunya pada hal-hal
yang bersifat positif. Mampu
mengekspresikan perasaannya dengan
cara menangis, tertawa dan
menunjukan emosinya secara realitas
dan terkendali.
Berdasarkan hasil wawancara
dan observasi baik subjek maupun
significant other subjek memiliki
penyesuaian diri yang positif, seperti :
memiliki persepsi yang akurat
terhadap realitas, subjek mengikuti
berbagai aturan di rumah mertuanya
dengan cara mengerjakan pekerjaan
rumah, mempelajari dan mengikuti
adat istiadat mertua dan menggunakan
kerudung. Hal ini disebabkan karena
ada dua faktor yang mendukung
penyesuaian diri subjek selama tinggal
di rumah mertuanya. Kedua faktor
tersebut adalah faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal adalah
: faktor yang berasal dari dalam diri
subjek. Faktor internal adalah salah
satu motivasi subjek untuk melakukan
penyesuaian diri di rumah mertua. Hal
ini dikarenakan oleh keinginan subjek
agar bisa diterima di rumah mertuanya
sangat kuat. Faktor eksternal adalah :
tuntutan-tuntutan yang berasal dari
luar individu. Subjek dituntut untuk
menyesuaiakan diri agar bisa diterima
dilingkungannya. Suami dan mertua
perempuan subjek sangat berperan
dalam proses penyesuaian diri yang
dilakukan subjek. Suaminya selalu
memberi support jika dirinya enggan
melakukan penyesuaian diri dikala
sedang berselisih dengan mertua
perempuannya. Mertua perempuan
subjek banyak mengatur subjek dalam
berbagai hal, seperti : cara berpakaian.
Pada awalnya subjek merasa tidak
nyaman, akan tetapi lama kelamaan
subjek menjadi terbiasa dengan gaya
berpakaian seperti yang diatur oleh
mertuanya. Dari kedua faktor tersebut
faktor internal yang paling
mempengaruhi proses penyesuaian
diri subjek. Hal ini ditandai dengan
penyesuaian diri yang dilakukannya
hingga sekarang.
Berdasarkan hasil wawancara
dan observasi baik subjek maupun
significant other bahwa permasalahan
yang muncul pada saat subjek tinggal
di rumah mertuanya disebabkan oleh
sikap mertua perempuan subjek yang
kurang menyetujui pernikahannya
karena subjek bukan berasal dari suku
Padang. Sehingga pada tahun ketiga
pernikahannya, mertua perempuan
subjek menjodohkan suami subjek
dengan wanita lain yang bersuku
Padang.Selain itu juga mertua
perempuan subjek banyak ikut campur
dalam hal mengasuh putranya hal ini
dikarenakan mertua perempuannya
menganggap subjek tidak mampu
mengurus putranya sendiri sehingga
subjek sering berselisih dengan
mertua perempuannya..
Hal ini sesuai dengan yang
dijelaskan oleh Collins (1985),
masalah yang mungkin muncul karena
perkawinan beda suku diantaranya
adalah: Masalah eketernal. Masalah
eksternal adalah masalah dari luar
lingkungan keluarga, dari orang-orang
yang berkaitan dengan anggota
keluarganya, Misalnya mertua, orang
tua, saudara ipar, dan lain-lain.
Adapun masalah-masalah eksternal
yang muncul selama subjek tinggal di
rumah mertuanya adalah sikap mertua
perempuan subjek yang kurang
menyetujui pernikahannya karena
subjek bukan berasal dari Padang, hal
ini menyebabkan mertua perempuan
subjek menjodohkan suami subjek
dengan wanita lain yang bersuku
Padang, selain itu juga mertua
perempuan subjek banyak ikut campur
dalam hal mengasuh putranya hal ini
dikarenakan mertua perempuannya
menganggap subjek tidak mampu
mengurus putranya dan belum bisa
menerima subjek sebagai menantunya.
E. Penutup
Berdasarkan hasil analisis dapat
disimpulkan beberapa hal yaitu :
1. Penyesuaian diri menantu perempuan
yang tinggal di rumah mertua yang
berbeda suku adalah sebagai berikut:
subjek memiliki karakteristik
penyesuaian diri yang baik seperti,
memiliki persepsi yang akurat
terhadap realitas, subjek
menyesuaikan diri di rumah
mertuanya dengan cara mengikuti
berbagai aturan di rumah mertuanya.
Mampu mengatasi atau menangani
stress dan kecemasan, subjek tidak
mudah stress dalam menghadapi
masalah-masalah yang muncul
selama tinggal di rumah mertuanya.
Memiliki citra diri yang positif,
subjek tidak mudah terpengaruh
dengan hal-hal yang bersifat negatif,
hal ini dikarenakan subjek dapat
mengontrol kehidupannya dan
banyak menghabiskan waktunya pada
hal-hal yang bersifat positif. Mampu
mengekspresikan perasaannya
dengan cara menangis, tertawa dan
menunjukan emosinya secara realitas
dan terkendali.
2. Ada dua faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri subjek sehingga
subjek memiliki penyesuaian diri
yang positif, yaitu : Faktor internal
dan faktor eksternal .Faktor internal
adalah : faktor yang berasal dari
dalam diri subjek. Faktor internal
adalah salah satu motivasi subjek
untuk melakukan penyesuaian diri di
rumah mertua. Hal ini dikarenakan
oleh keinginan subjek agar bisa
diterima di rumah mertuanya sangat
kuat. Faktor eksternal adalah :
tuntutan-tuntutan yang berasal dari
luar individu. Subjek dituntut untuk
menyesuaiakan diri agar bisa
diterima dilingkungannya. Suami dan
mertua perempuan subjek sangat
berperan dalam proses penyesuaian
diri yang dilakukan subjek.
Suaminya selalu memberi support
jika dirinya enggan melakukan
penyesuaian diri dikala sedang
berselisih dengan mertua
perempuannya. Mertua perempuan
subjek banyak mengatur subjek
dalam berbagai hal, seperti : cara
berpakaian. Pada awalnya subjek
merasa tidak nyaman, akan tetapi
lama kelamaan subjek menjadi
terbiasa dengan gaya berpakaian
seperti yang diatur oleh mertuanya.
Kedua faktor tersebut menyebabkan
subjek memiliki penyesuaian diri
yang positif. Seperti : memiliki
persepsi yang akurat terhadap
realitas, subjek mengikuti berbagai
aturan di rumah mertuanya dengan
cara mengerjakan pekerjaan rumah,
mempelajari dan mengikuti adat
istiadat mertua dan menggunakan
kerudung
3. Permasalahan yang muncul pada saat
subjek tinggal dirumah mertua yang
berbeda suku berasal dari masalah
eksternal hal ini ditandai dengan
sikap mertua perempuan subjek
yang kurang menyetujui
pernikahannya karena subjek bukan
berasal dari Padang, hal ini
menyebabkan mertua perempuan
subjek menjodohkan suami subjek
dengan wanita lain yang bersuku
Padang, selain itu juga mertua
perempuan subjek banyak ikut
campur dalam hal mengasuh
putranya hal ini dikarenakan mertua
perempuannya menganggap subjek
tidak mampu mengurus putranya
dan belum bisa menerima subjek
sebagai menantunya. Melalui hasil
observasi dan wawancara, dengan
beberapa saran dapat peneliti
sumbang, antara lain sebaiknya :
1. Kepada subjek agar melakukan
introspeksi diri, dan juga
meningkatkan kualitas hubungan
dengan keluarga suami, khususnya
dengan mertuanya, agar didapat
mengertian bagi masing-masing
pihak.
2. Untuk keluarga agar bisa lebih
menerima kehadiran anggota
keluarga baru yang berbeda latar
belakang budaya dirumahnya,
dengan cara bersikap terbuka dan
mendukung penyesuaian diri yang
dilakukan subjek selama tinggal di
rumah mertua.
3. Bagi peneliti selanjutnya, sebaiknya
menggunakan jumlah subjek yang
banyak, metode yang digunakan
sebaiknya menggunakan metode
kuantitatif , mengembangkan topik
yang telah ada dengan
menggumnakan teori lain. Sehingga
bisa mendapatkan hasil yang lebih
baik