artikel pilihan media indonesia 13.4.2014

47
Koalisi Perkukuh Presidensial YAHYA FARID NASUTION

Upload: ekho109

Post on 13-May-2017

234 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 2: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Safari nasional Jokowi menghasilkan dukungan pada semangat untuk menghapus politik transaksional.

JOKO Widodo mulai menunjukkan eksistensinya sebagai calon presiden (capres) partai pemenang pemilu, PDIP, dengan menggalang dukungan dari berbagai kekuatan politik.

Selang tiga hari, sejak usainya pemilu legislatif, Jokowi berhasil menjadikan Partai NasDem sebagai partai pendukung utama dalam pemilihan presiden (pilpres) Juli mendatang.

Dalam sebuah safari menggalang dukungan, Jokowi, kemarin, melakukan pertemuan tertutup dengan jajaran pimpinan Partai NasDem. Di Kantor DPP Partai NasDem, Jokowi disambut hangat oleh Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang didampingi Sekjen Patrice Rio Capella dan Ketua Bappilu Ferry Mursyidan Baldan. Jokowi didampingi Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo dan relawan Tim Sukses Jokowi for President Andi Widjajanto.

Pertemuan itu pun menghantarkan Partai NasDem sebagai partai pertama yang mendukung Jokowi sebagai Capres 2014. Pertemuan juga menjadi koalisi pertama setelah hasil pemilu legislatif berdasarkan hitung cepat dirilis lembaga survei.

“Pertemuan ini momen penting. Kami merapatkan barisan mendukung sepenuhnya Jokowi sebagai Capres 2014. Koalisi ini juga berdasarkan platform serta visi dan misi yang sama antara PDIP dan NasDem yang ingin memperkukuh pemerintahan dengan sistem presidensial demi mencapai Indonesia yang kuat, rakyat yang sejahtera, dan bangsa yang bermartabat,“ kata Surya saat jumpa pers di auditorium Kantor DPP Partai NasDem, Gondangdia, Cikini, Jakarta Pusat, kemarin.

Jokowi pun menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Surya Paloh dan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.

“Pertemuan kami tadi yang paling substansi ialah kita ingin mengembalikan lagi roh presidensial yang kuat dalam pemerintahan ke depan. Membuang jauh karakter transaksional, karakter bagi-bagi kursi. Saya sangat setuju dengan Partai NasDem. Saya sendiri sangat menghargai Surya Paloh yang tidak mengedepankan dirinya menjadi nomor dua. Selain itu, saya sangat menghargai Megawati yang memberikan kesempatan regenerasi terhadap yang muda untuk tampil demi bangsa dan negara. Ini sangat dihargai,“ kata Jokowi dalam kesempatan yang sama.

Golkar dan PKB

Jokowi, kemarin, juga menyambangi Kantor DPP Partai Golkar di Slipi, Jakarta Barat. Ia disambut Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham, Ketua Bappilu Sharif Cicip Sutardjo, dan Wasekjen Nurul Arifin. Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie atau Ical datang terlambat.

Page 3: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Seusai pembicaraan alot sekitar 1 jam, dalam jumpa pers, Ical dan Jokowi menyebutkan Golkar dan PDIP akan saling mendukung di parlemen, tetapi tetap bersaing di pilpres.

Dalam pertemuan lain, Jokowi dan Ketua umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar pun sepakat menindaklanjuti pembicaraan dalam tataran konkret untuk membentuk kebersamaan. (Che/X-6) [email protected]

Page 4: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

SELA

E-book dan Buku Konvensional

E-BOOK boleh berkesan lebih keren ketimbang buku konvensional. Nyatanya, studi yang dipaparkan dalam konferensi tahunan American Educational Research Association di Philadelphia, AS, baru-baru ini, menyimpulkan tingkat pemahaman bacaan anak lebih tinggi dengan membaca buku konvensional daripada membaca e-book.

Peneliti menyebut fitur-fitur menggiurkan pada e-book justru mengganggu kemampuan memahami yang sedang dikembang kan anak. Fitur yang digadang sebagai `keunggulan' e-book daripada buku konvensional tersebut malah memutus rangkaian narasi yang sedang dicoba untuk dipahami anak. (Nytimes.com/Wey/X-4)

Page 5: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Keironisan Petani Kopi Indonesia

KOPI bagi Yusuf Limbongan bukan sekadar butiran biji hijau yang lazim disebut green been. Di kebun miliknya, dia memiliki kenangan yang diwariskan oleh orangtuanya. Sembari bercerita, dia menerawang memandang kebun kopi milik keluarga. Katanya, sebagian tanaman kopi di desanya sudah tua.

Hasilnya tidak seberapa, hanya sisa sedikit setelah dikurangi konsumsi kebutuhan sendiri. “Kalau dibawa turun ke Rantepao (pusat Kota Toraja Utara), tidak sebanding dengan ongkos yang harus dikeluarkan, yakni sekitar Rp50 ribu,“ tuturnya.

Karena itu, banyak petani yang tidak lagi merawat tanaman kopi. Yang tersisa dibiarkan tumbuh dengan mengandalkan kemurahan alam. Panen pun dilakukan sendiri. Maklum ongkos tenaga lepas di Toraja Utara Rp60 ribu per hari, belum termasuk tanggungan makan dan rokok.

Alhasil, hampir seluruh petani kopi di Desa Sesean pasrah menjual biji kopi ke tengkulak. Harga yang didapat sangat rendah, Rp8.000-Rp10.000 per liter, bergantung pada kualitas kopi. Hal serupa juga terjadi di Pengalengan, Jawa Barat. Petani di kawasan itu masih banyak yang bergantung pada tengkulak. Kurangnya pengetahuan tentang cara bertanam, proses panen, dan pengolahan membuat mereka jadi bulan-bulanan. Harga per kilogram kopi berkulit dipatok hanya Rp2.500.

“Mengenaskan dan ironis,“ tutur Alexander, volunter kopi yang rajin bergerilya menularkan ilmu kepada para petani kopi di Pengalengan.

Keironisan kian terasa ketika menyambangi kedai-kedai kopi di kota besar. Harga per kg kopi bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu rupiah. Harga secangkir kopi yang hanya membutuhkan satu sampai dua sendok kecil pun bisa mencapai Rp50 ribu/gelas. (Sky/M-7)

Page 6: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Data Masuk ke KPU Baru 7%

ABDUS SYUKUR

Bila pengiriman data scan C1 sesuai dengan arahan, data yang masuk ke KPU sudah signifikan.

ANGKA 0,00% menjadi angka paling banyak dan medominasi data scan (pemindaian) form C1 yang masuk ke website resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hingga tiga hari setelah pelaksanaan pemilihan umum legislatif (pileg) atau H+3, baru 5%-7% laporan data pemindaian C1 hasil penghitungan di tempat pemungutan suara (TPS) yang masuk dan bisa dilihat di website KPU.

Perjalanan form C1 untuk dipindai dimulai dari TPS, PPS, hingga PPS tanpa menunggu rekap selesai dikumpulkan di panitia pemilihan kecamatan (PPK). Begitu pula dari PPK tanpa menunggu rekapitulasi suara selesai, form C1 dibawa ke KPU kabupaten/kota untuk dipindai.

Dengan demikian, semestinya form C1 hasil pemindaian sudah dapat dilihat di website KPU jauh lebih cepat. Namun, hingga saat ini, laporan dari KPU kabupaten/kota masih minim. “Paling lambat delapan harilah. Saat ini mungkin masih diproses di tingkat panitia pemilihan suara (PPS) di tingkat desa,” ujar komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, waktu paling lambat delapan hari itu bila pelaksanaan pemungutan suara di TPS, termasuk proses penghitungannya, tidak mengalami masalah. “Sebenarnya tidak ada batasan waktu asalkan saja semua masalah bisa diselesaikan,” imbuh Ferry.

Proses pengiriman data pemindaian form C1, tambahnya, tetap dari KPU kabupaten/kota. Untuk pengiriman hasil pemindaian form C1 tersebut, KPU pusat menerimanya dalam bentuk e-mail dari KPU kabupaten/kota. “Ada juga yang langsung memasukkan ke server KPU, tapi mungkin dirasa terlalu lama karena data dikirimkan dalam file image dengan ukuran besar sehingga mereka mengirimkan lewat e-mail,” urai Ferry.

Saat ditanyai soal kemungkinan server KPU kewalahan menerima data yang masuk, Ferry membenarkannya. Itu dengan catatan jika semua KPU daerah memasukkan data secara berbarengan. “Kalau jebol tidak, tapi bila data masuk bersamaan dari KPU daerah, otomatis terjadi penumpukan sehingga proses masuk data menjadi lama,” terang Ferry.

Lebih lanjut dijelaskan, hingga Sabtu (12/4) pukul 16.00 WIB, dari 545.803 TPS di seluruh Indonesia, laporan data pemindaian C1 yang sudah masuk paling banyak dari Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dari 1.693 TPS di kabupaten itu, 746 TPS atau 44,06% data pemindaian form C1 dapat dilihat di website KPU pusat.

Page 7: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Berdasarkan persentase, data pemindaian form C1 yang masuk paling tinggi berasal dari Kabupaten Pahuwato, Gorontalo, yakni 97,75%. Dari 267 TPS di kabupaten itu, 261 TPS sudah mengirimkan dan dapat dipantau di website KPU.

Perkembangan lain, delapan parpol di daerah pemilihan Jawa Barat X sepakat menolak hasil rekapitulasi Pemilu Legislatif 2014, sekaligus memboikot hasil penghitungan suara karena diduga terjadi kecurangan. Mereka menduga telah terjadi praktik money politics oleh caleg DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN).

Delapan parpol yang melakukan aksi boikot tersebut ialah NasDem, Gerindra, Golkar, PPP, Demokrat, PDIP, Hanura, dan PBB.

Fungsionaris Partai NasDem Entis Sutisna mengungkapkan penolakan terhadap hasil rekapitulasi itu merupakan bentuk kekecewaan terhadap kecurangan pemilu. (EM/P-3)

Page 8: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Penyebab Surat Suara Tertukar Harus Diselidiki

PENGAMAT politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, mengingatkan KPU agar berhati-hati dalam melaksanakan pemungutan suara ulang akibat surat suara tertukar yang terjadi secara masif di 23 provinsi.

“Pemungutan suara itu kan salah satu tahapan pemilu. Menurut UU Pemilu, kalau sebagian tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan, berlaku pemilu lanjutan,“ ujar Said di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, Pasal 230 UU Pemilu menjelaskan pemilu lanjutan ialah pemilu untuk melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan akibat terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya.

“Nah, karena kasus surat suara tertukar itu terjadi secara masif, sedikitnya di 23 provinsi, bisa saja itu terjadi karena ada suatu gangguan. Gangguan dimaksud ialah ‘gangguan lainnya’ yang disebut dalam UU Pemilu,” jelasnya.

Karena pemungutan suara pada 9 April lalu tidak bisa dilaksanakan di lebih dari 40% provinsi, harus merujuk kepada Pasal 232 ayat (3).

Dalam pasal tersebut dinyatakan, dalam hal pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% provinsi, penetapan pemilu lanjutan dilakukan presiden atas usul KPU. Jadi, itu tidak bisa langsung diputuskan sendiri oleh KPU.

“Dalam hal tertukarnya surat suara itu oleh KPU dianggap bukan diakibatkan adanya suatu gangguan, harus ada investigasi terlebih dahulu untuk memastikan penyebab dari munculnya kasus itu. Kalau hal itu disebut terjadi karena masalah teknis biasa, mengapa bisa luas sekali sebarannya sampai di 23 provinsi? Kita perlu hati-hati dalam menyikapi kasus ini,” ucapnya.

Sementara itu, komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menyatakan tertukarnya surat suara di 649 TPS di 23 propinsi bukan disebabkan kesengajaan, melainkan karena kekurangcermatan saat penyortiran di daerah.

“Kami juga prihatin, peristiwa ini bukan karena kesengajaan, melainkan karena kekurangcermatan saat penyortiran. Akan tetapi, itu sudah terjadi. Terpenting saat ini diperbaiki dan segera dilakukan pemungutan suara lanjutan,” jelas Hadar.

Dijelaskan pula, saat surat suara diterima dari percetakan oleh KPU kabupaten/kota, disortir. Namun, proses sortir kurang cermat sehingga lolos ke daerah pemilihan yang lain. (AB/EM/ Ant/P-3)

Page 9: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Gagal Raih Suara, Sejumlah Caleg Datangi Kiai

HASIL hitung cepat pemilu legislatif bagi sebagian besar caleg ibarat pil pahit. Alih-alih dapat melenggang ke parlemen, tidak sedikit di antaranya dirundung berbagai persoalan. Misalnya, kehilangan banyak materi selama kampanye sehingga utang pun menumpuk.

Seperti yang dialami salah seorang caleg di Kota Kupang, NTT. Istri sang caleg ngotot minta cerai gara-gara partai suaminya tidak memperoleh suara signifikan sehingga peluang untuk menjadi anggota legislatif pupus.

“Saya bingung kenapa begini,” kata caleg dari Dapil Kecamatan Alak yang menolak disebutkan jati dirinya tersebut.

Padahal, tim pemenangan berjanji sang caleg bakal meraup suara signifikan dan lolos meraih kursi di DPRD Kota Kupang.

Caleg tersebut telanjur menggadaikan rumah untuk membiayai pencalonannya tersebut.

“Saya dan istri sepakat menggadaikan rumah. Namun, setelah gagal, istri malah minta cerai dengan alasan mau tinggal di mana. Istri saya benar jika rumah tidak ditebus dalam waktu dekat, kami bakal kehilangan rumah,” keluh sang caleg.

Adapun di Cirebon, Jawa Barat, caleg ramai-ramai mendatangi kiai untuk meminta ketenangan jiwa bahkan berharap diberi jampi-jampi agar uang yang telah dikeluarkan selama kampanye kembali.

“Seusai pencoblosan sudah ada beberapa caleg menelepon saya,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Al Jauhariyah Balerante, Kecamatan Palimanan, Cirebon, KH Anom Kusumajati atau biasa dipanggil Abah Anom.

Si penelepon meminta ditenangkan karena perolehan suaranya amat minim. Abah Anom pun memberikan sejumlah doa untuk wirid. Doa tersebut harus diamalkan setiap saat.

Tidak hanya melalui telepon, sebanyak empat caleg dari Jakarta datang langsung menghadap Abah Anom, Kamis (10/4). “Dua di antaranya caleg petahana untuk DPR,” ungkap Abah Anom.

Menurut psikolog dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Yufi Adriani, ketika seseorang caleg tidak memiliki kesiapan mental mengikuti kontestasi, ia akan mudah menjadi depresi apabila harapannya pupus.

“Dia (caleg) tidak bisa menghadapi beratnya tekanan mental ditambah tidak menemukan jalan keluar sehingga mudah terkena depresi,” kata Yufi . (PO/UL/AF/X-3)

Page 10: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Kecurangan Pemilu Berlangsung Sistematis

DEWAN Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem menengarai penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014 diwarnai praktik kecurangan yang sistematis.

Karena itu, NasDem mengajak semua pihak, baik masyarakat, pengamat, media, maupun saksi partai yang tidak terlibat kecurangan, untuk mengawasi penuh proses penghitungan suara yang masih berjalan.

Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai NasDem Enggartiasto Lukita menyebutkan beberapa indikator kecurangan yang terjadi antara lain kepala daerah yang berasal dari parpol tertentu sejak awal kampanye mengerahkan aparat kecamatan, kelurahan, dan desa, hingga ke petugas KPPS. “Pengerahan disertai intimidasi dan serangan fajar yang mengakibatkan sebagian penyelenggara pemilu ikut terlibat,” ungkap Enggar di Jakarta, kemarin.

Selain itu, lanjutnya, kecurangan dan potensi manipulasi suara terindikasi lewat berlarutnya proses penghitungan suara sejak dari TPS, PPS, hingga PPK. Hal yang dijanjikan KPU bahwa formulir C1 dapat dipindai untuk diunggah langsung ke KPU juga minim terlaksana. Bahkan, kata Enggar, server penampung data yang masuk di KPU dikabarkan jebol hingga dua kali.

Lambannya proses penghitungan dan pengiriman suara serta lamanya form C1 tersimpan di TPS, kata dia, juga sangat rawan menimbulkan manipulasi perolehan suara. Belum lagi dengan berlarutnya proses pengiriman form C1 dari TPS ke PPS dan seterusnya.

Kecurangan, sambung Enggar, kian jelas terjadi dengan banyaknya temuan surat suara sudah dicoblos, rusak, dan tertukar. Temuan-temuan itu semakin mendukung dugaan adanya kecurangan. Di sisi lain, sikap KPU, PPK, dan PPS yang menutup diri atau tidak terbuka memperkuat dugaan bahwa kecurangan dilakukan dengan sangat sistematis.

Bawaslu tidak berdaya, bahkan ada yang menduga sebagian di antara mereka telah masuk angin. Hal itu tampak dengan tidak adanya langkah apa pun untuk menindak pelanggaran-pelanggaran yang sangat kasatmata.

“Praktik serangan fajar yang dilakukan secara masif masih banyak ditemui, bahkan dengan angka fantastis (Rp100 ribu-Rp150 ribu) per suara. Belum lagi bagi-bagi dana aspirasi ataupun jatah yang dimiliki para caleg incumbent yang bersumber dari APBN dan/atau APBD,” papar Enggar.

Page 11: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Sementara itu, Panwaslu Manado, Sulawesi Utara, menyatakan menemukan pelanggaran sejak pencoblosan hingga penghitungan suara.

“Pada hari H, ada surat suara tertukar, formulir tidak lengkap, dan tertukar satu daerah pemilihan satu dengan lainnya,” kata Ketua KPU Manado Heard Runtuwene.

(Yah/Ant/P-3)

Page 12: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Keharuman Kopi Mendahului Kesejahteraan Petani

LINTANG ROWE

Perjuangan petani kopi Indonesia masih sangat panjang untuk menyamai keharuman nama kopi dari tiap-tiap daerah yang sudah terlebih dahulu terbang ke mancanegara.

SUASANA di sebuah lelang kopi spesial dua tahun lalu begitu meriah. Kopi Toraja menembus angka mencengangkan, US$45, dan menjadi pembicaraan dunia. Tahun lalu, di acara pameran kopi yang lebih kecil di Surabaya, lagi-lagi kopi Toraja memikat pembeli luar negeri. Kali ini pembeli dari Jepang jatuh cinta dan langsung memesan dua kontainer.

Pesanan itu tentu menggembirakan. Namun, beberapa hari kemudian, Plt Kepala Dinas dan Kehutanan Toraja Utara Yusuf Gelong duduk terhenyak. Ternyata, untuk mengumpulkan satu kontainer kopi sulit bukan main.

“Persoalan kopi yang kami hadapi memang panjang. Rata-rata pembeli batal beli karena takut dengan kemampuan kontinuitas kita dalam menyediakan produksi kopi. Belum lagi masalah stabilitas kualitas,“ katanya ketika diwawancara baru-baru ini.

Meski bantuan berdatangan dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan departemen atau kementerian lain, perjuangan masih panjang. Bukan hanya meningkatkan pengetahuan petani, melainkan juga membangun akses jalan dari kebun menuju kota, memberantas tengkulak, dan ditambah lagi kendala yang datang seperti soal budaya dan adat.

Fakta lapangan

Meski perjuangan masih panjang, kekayaan variasi (speciality) kopi Indonesia tidak perlu lagi diragukan. Tapi itu tadi, kekayaan belum disertai dengan stabilitas kualitas dan produksi.

“Padahal, kualitas menentukan harga dan stabilitas produksi menjadi salah satu persyaratan yang diajukan pembeli luar negeri,“ papar Jamil Budiono, Kabid Analisis Potensi dan Evaluasi Pengembangan Komoditas Unggulan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Ia antara lain memiliki program Prukab (Produk Unggulan Kabupaten) sesuai cluster, misalnya cluster kopi.

Temuan di lapangan yang paling menonjol, menurut Jamil, terletak dari kurangnya pengetahuan petani mengenai cara bertanam, panen, pengolahan, dan penyimpanan. Akibatnya, harga kopi jatuh dan petani jadi mainan para tengkulak. Masalah lain yang sering dijumpai di pedalaman adalah akses jalan yang masih buruk sehingga ongkos angkut dari perkebunan kopi ke penjual jadi sangat mahal.

Page 13: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

“Lewat program Prukab kami terus berusaha membantu meningkatkan nasib petani. Tidak mudah. Perlu kerja sama semua pihak. Petani kopi Bondowoso di Jawa Timur bisa menjadi salah satu contoh daerah yang berhasil keluar dari cengkeraman tengkulak,“ papar Jamil.

Produktivitas

Saat ini, Indonesia tercatat sebagai penghasil kopi ketiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Vietnam. Meski demikian, jika dibandingkan dengan Vietnam yang lahan kopinya separuh lebih kecil, produktivitas kopi Indonesia masih tertinggal jauh.

Produktivitas tanaman kopi Indonesia tercatat baru mencapai 700 kg biji kopi/ha per tahun untuk robusta dan 800 kg biji kopi/ha per tahun untuk arabika. Adapun produktivitas Vietnam telah mencapai lebih dari 1.500 kg-3.000 kg/ha per tahun.

Pada 2012, Indonesia tercatat memproduksi sedikitnya 748 ribu ton atau 6,6 % dari produksi kopi dunia. Data Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perdagangan dan Perindustrian menyebutkan, dari jumlah tersebut, produksi kopi robusta mencapai lebih dari 601 ribu ton (80,4%) dan produksi kopi arabika mencapai lebih dari 147 ribu ton (19,6%).

Peluang

Jumlah produksi yang dicapai tentu masih jauh bila dibandingkan dengan peningkatan kebutuhan kopi dalam negeri dan dunia. Di dalam negeri, kebutuhan kopi berkembang sekitar 7,5% per tahun. Di luar negeri lebih pesat lagi. Seharusnya, perkembangan kebutuhan itu bisa menjadi peluang perdagangan yang sangat baik.

Data dari Kementerian Perdagangan dan Perindustrian menunjukkan kopi merupakan komoditas ekspor nonminyak nomor 6 terbesar di Indonesia. Angka itu jelas masih bisa dimaksimalkan mengingat masih banyak perkebunan kopi yang belum tergarap dengan baik.

Banyak pula petani yang belum maksimal mengurus lahan kopi karena keterbatasan akses, pengetahuan, dan ganjalan berbagai persyaratan terkait dengan standarisasi kopi dunia.

Belum lagi permainan pengepul (tengkulak) di daerah-daerah terpencil dan tertinggal yang memanfaatkan keterbatasan akses dan pengetahuan petani kopi.

Alhasil, cerita tentang rendahnya kesejahteraan petani kopi bukan isapan jempol. Perjuangan mereka masih sangat panjang untuk menyamai keharuman nama kopi dari tiap-tiap daerah yang terlebih dahulu terbang ke mancanegara. (M-3)

[email protected]

Page 14: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Kopi Jawa Barat Riwayatmu Kini

“PAK Asep, ini daun pinus sifatnya panas dan tajam, tidak baik untuk perkembangan pohon kopi. Ini juga ada hama penggeret buah, ini harus dibersihkan. Kalau tidak, buahnya saja yang merah, tapi dalamnya kosong,“ ujar Alexander Merdeka, 34, volunter dan praktisi kopi yang turut membina para petani di kawasan Desa Lamajang, Pengalengan, Jawa Barat.

“Oooo begitu, ya, Pak... Saya tak tahu. Habis bagaimana, kami juga tak punya modal pemeliharaan. Yah, jadi kalau ada dedaunan kami biarkan saja,“ jawab Asep.

Percakapan itu terjadi antara Asep (petani kopi) dan Alexander Merdeka, 34, penggiat yang membina petani kopi di kawasan tersebut. Percakapan berlangsung di tengah kebun kopi yang lokasinya sekitar 5 km dengan mendaki Gunung Tilu di Pengalengan, Jawa Barat.

Kendala

Menurut Alex, ada dua permasalahan besar yang terjadi pada petani kopi di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Pertama, sumber daya manusia (SDM) yang masih belum terbina dengan baik sehingga menghasilkan kopi yang kurang bermutu dan penurunan produktivitas, kedua masalah akses jalan yang belum memadai.

Masalah SDM tidak bisa lepas dari minimnya pengetahuan, mulai teknik tanam, pemeliharaan, panen, hingga pengolahan. “Bisa dibilang, 80% petani Jabar belum mengerti budi daya kopi yang benar. Hal itu diperparah lagi dengan proses panen yang salah,“ papar Alex.

Engkan, petani yang datang bersama Asep, mengakui keterbatasan pengetahuan soal penanaman, pemeliharaan, dan pengolahan kopi. Dia sempat tertipu membeli bibit yang ternyata tidak baik. “Memang tumbuh, tapi tahun ketiga mati. Kapok saya,“ kisahnya.

Kendala lain menyangkut akses jalan. Kelompok tani Engkan, yang berjumlah tujuh orang dengan total lahan 15 hektare, selalu kesulitan mengakut hasil panen. Maklum, jalanan ke kebun menanjak dan tidak bisa dilalui mobil.

Dengan kondisi seperti itu, tidak mengherankan jika petani di Desa Lamajang, Pengalengan, yang jumlahnya ratusan orang, sebagian besar terjerat tengkulak. Tengkulaknya justru banyak yang berasal dari luar Jawa. Kopi-kopi hasil petani Jawa Barat banyak dibawa ke Sumatra dan Surabaya, kemudian berganti nama.

Tengkulak, menurut Alex, bekerja dalam banyak cara, misalnya, dengan ijon. “Para petani, jika sabar bisa mendapat penghasilan Rp25 juta, tapi tergiur dengan iming-iming ijon yang

Page 15: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

dihargai Rp10 juta. Mengenaskan. Kesejahteraan mereka jadi rendah, nama kopi Jawa Barat pun tenggelam,“ paparnya.

Pembinaan

Beruntung, kini, Engkan, Asep, Nana, dan juga 70 rekan petani lain di Pangalengan sejak 7 bulan lalu tergabung dalam kelompok tani di Lembaran Kopi Rakyat Merdeka yang dimiliki Alex. Para petani dibina, diberi bantuan, dan kopinya dibeli dengan harga lebih tinggi.Alexander mendekati para pembeli kopi, menjual, dan menjamin kualitas serta kuantitas kopi. Setelah itu, beberapa persen dari hasil penjualan yang lebih tinggi dikembalikan dalam bentuk pupuk. Cara tersebut ternyata manjur. “Dulu tengkulak menghargai Rp2.500 per kg, sekarang kami beli Rp6.000 per kg,“ ujar Alex.

Alexander memiliki cita-cita menghidupkan kembali kopi Jabar yang dulu pernah berjaya, tapi sempat menghilang dan baru belakangan muncul kembali. “Padahal, kopi arabika itu pertama kali tumbuh di Indonesia, ya, di Pengalengan, Jawa Barat ini,“ tuturnya.

Kini, berkat binaannya, sudah ada dua sentra kopi di Jabar yang memiliki produksi kopi paling baik sesuai standar ekspor, yakni di Sumedang dan Sukabumi. “Masih jauh dari ideal karena masih banyak petani kopi yang belum mau dan belum bisa lepas dari tengkulak,“ pungkasnya. (Sky/M-7)

Page 16: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Kebangkitan Mutiara Hijau

INI sedikit kisah sukses petani kopi di Indonesia yang kebetulan mendapat dukungan solid dari pemerintah daerah dan berbagai pihak terkait lainnya.

Bondowoso merupakan salah satu penghasil kopi di Jawa Timur. Keberadaan perkebunan kopi di Bondowoso dimulai pada 1895. Meski budi daya sudah lama dilakukan, kilap mutiara hijau--julukan kopi Arabika Bondowoso--sempat memudar. Sebelum 2010, kopi Bondowoso (perkebunan rakyat) hidup ala kadarnya.

Kondisi mulai berubah ketika sistem klaster dibentuk pada 2010 dan kopi menjadi produk unggulan kabupaten. Pemkab Bondowoso serius menangani perkebunan kopi, melakukan sinergi antarinstansi pemerintah, swasta, dan petani.

Komitmen 7 Pihak

Pada 2010, pemda melakukan identifikasi areal perkebunan, kemudian dilanjutkan dengan SDM. Langkah selanjutnya program intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas dan perbaikan kualitas kopi. Penangan dilakukan dari hulu ke hilir. Pemda Bondowoso melakukan koordinasi ke dalam dan ke luar, hingga tercapailah kesepakatan tujuh pihak untuk membina petani kopi di Bondowoso.

Tujuh pihak yang terlibat dalam komitmen pengembangan kopi ialah Pemda Bondowoso (termasuk di dalamnya dinas-dinas terkait), Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Bank Indonesia Jember, Bank Jatim, Perhutani, Indocom Citra Persada (pengekspor kopi), dan Asosiasi Petani Kopi Indonesia cabang Bondowoso.

Hasilnya, dalam waktu dua tahun, kilau mutiara hijau mulai cemerlang. Tengkulak jauh berkurang, pendapatan petani pun jauh lebih baik karena kualitas kopi meningkat. Melalui Indocom, kopi Bondowoso telah melaju hingga Swiss dan negara-negara Eropa lainnya.

Batasi gerak tengkulak

Para tengkulak banyak mati kutu begitu kelompok tani berkembang. Ketua Koperasi Rejo Tani Bondowoso yang juga duduk di Kelompok Tani Tunas Harapan 2 Abdul Latief menyebutkan peran tengkulak sudah berkurang sekitar 70%.

“Kami masih terus mengajak petani-petani lain yang belum bergabung agar bisa membatasi gerak tengkulak hingga petani bisa lebih sejahtera,“ papar Yusriyadi, Ketua Asosiasi Kopi Indonesia cabang Bondowoso. Dia menambahkan, pada 2010 hanya ada 5 kelompok tani, tapi sekarang sudah ada 35 kelompok tani yang masing-masing beranggotakan sekitar 125 petani.

Page 17: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Bondowoso terbukti menjadi salah satu daerah yang sukses melakukan koordinasi, memegang komitmen, dan mengangkat nasib petani kopi. (Lin/M-3)

Page 18: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Perempuan-Perempuan

ANA MUSTAMIN

TELEPON genggam itu bergetar lagi. Dan untuk ke sekian kali, ia meraihnya dengan perasaan rawan.

“Ya?“ Telinganya menguping lebih tajam. “Sa... saya akan bicara dengan Ibu!“ Suara dengan timbre kasar menghardik. Membuatnya seperti terjengkang.

“Se... sebelum jam sembilan!“ Meski tergeragap, ia berusaha meyakinkan.

Telepon di seberang ditutup. Ia meletakkan benda itu dengan hati-hati di atas meja dapur. Hatinya lungkrah.

Ini telepon ketiga sejak ia menunaikan salat subuh tadi. Jika ia boleh memilih, ia tidak ingin memiliki telepon genggam. Ia tahu, tidak seorang pun yang akan menghubunginya melalui benda kecil itu, kecuali lelaki itu. Lelaki dengan racun di kepalanya.

“Anakmu harus membayar uang sekolah!“ begitu biasanya ia memulai.

Padahal, pekan lalu, ia mengirim uang ke kampung.

“Itu SPP. Yang ini uang buku!“ Bisa akhir bulan padahal.

“Harus hari ini. Kalau enggak, anakmu akan dikeluarkan dari sekolah!“

“Tapi...“

“Hei! Kalau ndak bisa cari biaya sekolah, suruh anak itu ngamen saja. Jadi kuli. Buruh tani. Jangan sok-sokan jadi anak sekolahan!“ Lalu telepon dibanting. Menyisakan pedih yang melolong panjang di lorong hatinya.

Ia mengusap dadanya. Sambil menarik napas, tangannya mulai menyiapkan minum dan sarapan. Tapi kali ini pikirannya bercabang-cabang. Kepalanya berisik. Suara-suara berseliweran dan bertalu. Ngamen saja! Jadi kuli! Buruh tani! Kalimat itu terus menggedor-gedor. Berkelindan dengan suara dan rupa putranya. Sungguh, anaknya tidak boleh mengulang jejak bapaknya yang preman kampung. Ia mau mempertaruhkan apa pun demi keinginannya menisik hari depan yang lebih baik. Bukankah ia pernah merelakan diri menjauh ribuan mil, melewatkan hari dengan mimpi buruk yang mengerikan, hanya untuk sebuah keinginan sederhana: menyekolahkan anak.

Page 19: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Dan laki-laki itu! Laki-laki yang ditakdirkan menjadi bapak, namun tak pernah jera menjadikan anaknya sebagai tameng untuk memeras keringatnya. Perempuan itu mendadak pening. Kepalanya kian berisik. Sekujur tubuhnya seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Dan punggungnya, oh, ia kembali merasakan nyeri. Ketika kulit yang tipis itu mulai mengelupas, menyisakan kawah yang menganga perih.

“Mbak... mbak...,“ ia mendengar suara cemas si ibu.

Ia merasa kepalanya tersedot ke dalam kotak televisi di sudut dapur. Ia mendengar suara mendengung, hiruk pikuk, makian, dan umpatan dalam bahasa yang sebagian besar tidak dia pahami. Lalu sebuah wajah berputar bagai gasing: perempuan bercadar yang rajin membenturkan kepalanya di tembok, menyetrika punggungnya, dan menyekapnya berjam-jam di kamar mandi.

Lidahnya kelu, suaranya tercekat. Padahal, ia ingin berteriak. Jenak berikutnya, ia merasakan semuanya berputar, berpusar. Menenggelamkannya ke lubang hitam. Sumur tanpa dasar.

2

“Mbak masih trauma!“ Lelaki di hadapannya menatap lunak, mendengarnya penuh perhatian. Tangannya sibuk mengencangkan ikat dasi.

“Suaminya juga terus memerasnya. Mbak minjam uang lagi untuk dikirim ke kampung.“

Lelaki itu masih terdiam. Tapi perempuan itu tahu, suaminya sedang mencerna kalimatnya satu per satu.

“Saya masih harus membawanya terapi hari ini!“ Ia lantas termangu, membayangkan rupa kuyu yang sedang terbaring di kamar belakang.

Perempuan yang dipanggilnya si Mbak itu resmi menjadi bagian dari keluarganya sejak enam bulan lalu. Ia jatuh iba. Ini kasus terparah yang pernah ditanganinya. Ia memperjuangkan kasus ini melalui proses panjang dan berliku, dengan cara diam-diam. Karena harus meminjam mulut suaminya.

Meski mengeram di rumah, sejatinya ia perempuan yang bekerja sungguh-sungguh di malam-malam lengang. Mengumpulkan data, mengolah, dan menyusunnya menjadi sejumlah rekomendasi. Ia seperti menanam biji harapan di sebuah kota yang asing, dengan pemerintah yang hanya bisa mabuk, dan penduduk yang ingin memberontak tapi tak berdaya. Sebuah kota purba. Setiap pagi saat terbangun, ia mengumpulkan potongan puzzle nasib sejumlah perempuan. Perempuan yang rela mengembara ke negeri jauh, dengan mimpi mengangkasa, namun kemudian jatuh berdebum sebelum akhirnya terperosok dalam labirin hitam dan sunyi, nyaris tanpa ujung.

Page 20: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Tahun ini ia mencatat puluhan kasus tenaga kerja perempuan yang mengalami kekerasan di berbagai negara. Kasus terkini ialah seorang perempuan yang harus mengakhiri hidup dengan cara meloncat dari jendela apartemennya.

“Ia mengalami kekerasan seksual dari majikannya,“ kata pewarta di TV.

Bagi banyak orang, berita itu mirip sarapan. Tak mengirimkan daya kejut. Tapi tidak baginya. Tetap saja hatinya serasa terbentur-bentur.

“Papa jadi meeting dengan Menteri Tenaga Kerja? Data dan agenda yang papa butuhkan sudah saya susun,“ Ia menyodorkan komputer tablet. “Termasuk Komnas Perempuan. Khusus kasus Thailand, masih saya dalami. Siang nanti saya kirim ke e-mail Papa...“

Laki-laki itu menyudahi sarapannya. Lalu mencium ubun-ubunnya. Panjang dan dalam. Sebelum akhirnya berbisik pamit. “Terima kasih, Sayang. Papa berangkat....“

Ia mengantar sampai mobil yang menelan tubuh suaminya menghilang dari pandangan. Perasaannya masih hangat. Pikirannya hangat. Selalu hangat.

Ia ingat, dulu ia menemukan lelaki itu sebagai sesama aktivis di kampus. Lelaki berwajah sejuk, namun sangat hemat suara. Awalnya, lelaki itu membangun karier sebagai arsitek, sebelum akhirnya mengikuti jejak kakeknya jadi politikus.

Ia mendukung. Termasuk memilih menyurutkan diri dari lingkaran aktivis perempuan. Ia menggunakan bekal ijazahnya tentang studi gender untuk membuat lelakinya bersinar sebagai legislator, anggota dewan yang bukan hanya bersih dari segala tindak korupsi, tapi juga dikenal vokal terhadap nasib perempuan. Mengingat semuanya, ia tak henti bersyukur. Kebahagiaannya paripurna. Kalau saja semua perempuan seberuntung dirinya....

3

Malam merangkak tergesa. Tak ada bintang yang mampir di jendela kaca. Hanya sinar yang membias dari berbagai gedung jangkung di sekitarnya. Ia baru selesai menyeduh kopi ketika menangkap suara yang begitu akrab di telinganya. Suara yang membuatnya meloncat meraih remote control TV, membesarkan volume. Tubuhnya yang mungil pun serasa ikut mengembang di sofa.

Ia sungguh tidak ingin melewatkan pemandangan indah di depannya. Pemandangan yang, entah kenapa, senantiasa membuat dadanya berdenyar. Lelaki itu seolah menyimpan magnet pada seluruh permukaan wajahnya.

Suaranya yang magis mengkritisi langkah diplomasi pemerintah yang dinilainya lemah. Intonasinya tenang, tegas, dan dalam. Dan yang lebih penting, ia selalu bicara sistematis penting, ia selalu bicara sistematis di hadapan wartawan, dengan data dan analisis yang komprehensif.

Page 21: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Dan, demi Tuhan, mengapa laki-laki pintar selalu membuat perasaannya meleleh? “Saya belum bisa membuat kesimpulan final,“ suara itu terekam ratusan mikrofon wartawan.... “Saya akan berangkat ke Bangkok besok untuk menggali informasi yang lebih lengkap....“

Ia terlonjak. Bangkok? Besok? Ia melenguh. Waktu melesat seperti pembalap Formula One. Kepalanya yang sibuk, kerap tidak bisa mengejar peristiwa.

Pekan lalu, semua stasiun TV menyoal kekerasan yang menimpa tenaga kerja perempuan di Hong Kong. Kemarin di Arab Saudi, dan malam ini di Bangkok.

Perempuan-perempuan malang, keluhnya.

Tiba-tiba ada sekelebat cemas. Ia meraih telepon, dan tak sabar mengirim pesan pendek. Sesuatu sedang mendesak desak di dadanya. Tak bisa menunggu.

Tidak seperti lampu merkuri yang sabar menerangi malam, bahkan ketika malam berkhianat dengan pesta kembang api.

Butuh sekitar 30 menit bagi lelaki itu untuk mencapai apartemennya di lantai 27. Ketika daun pintu terkuak, ia tak sabar untuk tidak melompat ke pelukannya.

Dadanya gemuruh.

“Aku memastikan diri untuk mencalonkan diri kembali!“ Itu kabar pertama yang dibawa tamunya.

Perempuan itu tersenyum ringan. Lelaki itu sudah mantap untuk maju kembali di pemilu legislatif. “Kenapa enggak korupsi seperti yang lainnya?“ Suaranya menggoda.

“Hanya jika kamu izinkan,“ suaranya merajuk. “Mereka memilihku dengan satu alasan: aku tidak membiayai kampanye dari hasil korupsi.“

Ah, percakapan yang menjemukan.

Padahal, waktu mereka tidak banyak.

Dan ia sedang tidak ingin menyusul ke Bangkok.

“Atau, aku harus berhenti....“

Perempuan itu meletakkan jemarinya yang lembut di mulut lelaki itu.

“Bisakah kita bicara sesuatu yang lebih menyenangkan?“ Napasnya yang halus mulai memburu. Bukankah ia selalu mempersetankan berapa pun cek yang harus ia tanda tangani untuk memuluskan jalan lelakinya ke gedung parlemen? “Aku kangen....“

Page 22: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Dan si suara magis itu, seperti biasa, tahu betul kapan harus diam.

Di apartemen itu, ia selalu lebih suka membiarkan mulutnya tersesat pada bibir dan sepasang bulu mata di depannya, pada tubuh mungil di balik gaun tipis yang meringkuk di sofa. Lalu merelakan setiap yang berdetak merajai waktu: jam dinding, denyut jantung, dan aliran darah yang menderas membuncah. Di saat seperti itu, waktu berhenti. Meski di luar jendela, udara menyusut.

***

Ana Mustamin, sastrawan yang telah menulis sejak 1980-an. Karya-karyanya tersebar di sejumlah media. Selain menulis fiksi, ia bergiat sebagai praktisi asuransi.

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal, dan belum pernah diterbitkan di media massa lain.

Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected] @Cerpen_MI

Page 23: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

PIGURA

Jangan Lamis

ONO SARWONO

AJA sok gampang janji wong manis yen to amung lamis, Becik aluwung prasaja nimas ora agawe cuwa...(Jangan sok mudah berjanji sayang kalau hanya di mulut, Lebih baik apa adanya dinda, tidak membuat kecewa)

ITULAH lirik awal lagu Aja Lamis karya (alm) Ki Narto Sabdo, dalang linuwih (terhebat). Lagu itu berulang kali ditembangkan Limbuk di kala senggang dan atau sambil beres-beres pekerjaannya sebagai abdi dalem istana Kerajaan Astina.

Tidak biasanya Limbuk nyekar lagu tersebut. Ia mulai melakukan itu persis seusai pemungutan suara pemilu legislatif yang lalu. Setiap hari, terutama waktu matahari telah panglong (condong) ke barat dan pada sore hari, Limbuk merengeng-rengeng lagu tersebut.Sebelumnya, gending-gending yang ia suka bawakan seperti Jineman Uler Kambang, Glathik Glindhing, atau Sinom Parijatha.

Seperti halnya pada suatu hari, Jumat kliwon lalu, Limbuk merengeng-rengeng lagu Aja Lamis di dapur bagian puri belakang sambil mususi (mencuci) beras untuk buat tumpeng syukuran atas aman dan lancarnya pemilu. Bagi Limbuk dan emaknya, Cangik, serta para abdi dalem lainnya, sudah menjadi kelumrahan bila ada gawean besar di Astina dan itu berlangsung sukses, mereka tumpengan.

Meracik tumpeng dengan gudangan (sayuran), kemudian didoakan dan lantas dimakan bersama merupakan tradisi yang masih awet dan teruri-uri. Itu kearifan lokal warisan leluhur yang muatannya ialah ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Yang Mahakuasa.

Menyimak perilaku Limbuk yang agak menganehkan itu, Cangik, sambil tersenyum dengan pipinya yang kempot, mengangguk-angguk. Sesekali ia mencuri pandang ke anak tunggalnya

Page 24: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

yang sedang puber itu. Dalam benak Cangik, terlintas pikiran, jangan-jangan putrinya sedang dicampakkan laki-laki pujaannya yang lupa akan janji dan prasetianya.

Memang, lagu Aja Lamis itu bercerita tentang seseorang yang menunggu cinta dari orang yang dikasihi, tetapi ternyata hanya pepesan kosong. Padahal, ia sudah sabar dan lama menunggu cinta sang kekasih.

Untuk mendapatkan kepastian, Cangik bertanya, “Kenapa Ndhuk (gendhuk, panggilan untuk anak perempuan), kok bolak-balik (berulang kali) nembang Aja Lamis. Memangnya siapa yang lamis padamu, Ndhuk?“ Sejurus kemudian, sambil membenarkan gelungannya yang melorot, Cangik melanjutkan, “Lelaki mana yang membuat kamu begitu itu, Ndhuk?“ Mendengar pertanyaan bernada selisik itu, Limbuk yang sedang mengemasi beras yang telah dicuci untuk dikukus menoleh ke arah emaknya sambil mesem. “Oh...enggak kok, Mak. Enggak ada yang lamis pada saya.“

“Lalu? Kok aneh, enggak biasanya kamu nembang lamis-lamis begitu?“ saut Cangik.“Begini lo, Mak, saya ini hanya berharap para calon pemimpin yang kemarin kampanye itu untuk tidak lamis setelah menang atau duduk di kursi parlemen. Aja lamis. Jangan sampai mereka mengingkari janji karena itu membuat rakyat kecewa,“ jelas Limbuk.

“Oalah... Ndhuk, mbok ya sudah. Kita ini wong cilik, jika disanjung dan di-ndara-kan (dijadikan seperti majikan) di masa kampanye saja, kemudian dilupakan, itu sudah biasa,“ tuturnya. Cangik, meski pendidikannya tidak tinggi, memang cukup cerdas membaca mental dan tabiat elite dari hasil pemilu ke pemilu yang tetap suka menipu.

“Kenapa sih ya, Mak, kok banyak pemimpin suka cidra?“ rajuk Limbuk. “Itulah yang ada. Mereka umumnya hanya orang-orang yang sekadar nekat tanpa memiliki bekal kepemimpinan,“ jelas Cangik.

***

ITULAH rasan-rasan Cangik dan Limbuk terhadap para elite dan pemimpin mereka.

Harapan rakyat kecil agar para pangembating praja (pemimpin) untuk selalu ingat dengan apa yang pernah diomongkan, apalagi dijanjikan.

Bagi rakyat, tiada ada nilai yang lebih mulia pada seorang pemimpin selain komitmennya terhadap apa yang telah diucapkan.

Sesungguhnya, bagi rakyat, siapa pun pemenang pemilu, jika mereka semua teguh memegang janji, tidak menjadi soal. Kenapa demikian? Karena semua kompetitor menjanjikan kepada rakyat akan kehidupan yang makmur dan sejahtera. Akan tetapi, masalahnya rakyat mencatat. Dari pemilu-pemilu sebelumnya, juga berhambur janji-janji dari para elite ketika berkampanye. Namun faktanya? Rakyat bisa melihat, kekuasaan parlemen lima tahun lalu yang didominasi keluarga Kurawa, telah dijadikan sebagai ajang transaksional demi

Page 25: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

kenikmatan diri dan kelompok. Setiap lenguh dan langkah politisi asuhan Sengkuni itu selalu dikonversikan dengan duit.

Kedaulatan rakyat hanya berlangsung di bilik suara. Setelah itu, kekuasaan yang mereka amanatkan kepada para wakil mereka dikunyah-kunyah para elite yang mereka pilih, tanpa risi.

Dari itulah Limbuk berharap untuk kali ini para elite tidak lagi mengulang kebiasaan buruk yang sudah-sudah. Ia menginginkan para pemimpin tidak lamis dan sungguh-sungguh berjuang untuk rakyat. Ruang dan kamar parlemen adalah milik rakyat yang semestinya sebagai panggung pengabdian luhur.

Karena harapan itu, Limbuk, selain Aja Lamis, juga sesekali mendendangkan lagu lain, Aja Korupsi, karya Cakrawasita, abdi dalem Paku Alam, Yogyakarta. Lagu itu diciptakan pada 1950-an, ketika kondisi berbangsa dan bernegara masih jauh dari maraknya korupsi seperti zaman edan saat ini.

Petikannya, `Kuwi apa kuwi, e kembang melati, ya tak puja-puji, ja pada korupsi, merga yen korupsi, negarane rugi (Itu apa itu, e kembang melati, yang kami harapkan, jangan korupsi, karena bila korupsi, negaranya rugi)....' Itulah harapan sederhana Limbuk, dan begitu juga Cangik. Jika toh akhirnya elite dan pemimpin tidak menepati janji pun, bagi keduanya, ora apa-apa (rapapa) karena memang selama ini mereka sudah terbiasa hidup mepet. Namun, mereka hanya berharap yang terakhir, jangan korupsi! Itu saja sudah cukup. (M-3)

Page 26: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Menjadi Raja berkat Karya

ROSMERY C SIHOMBING

Raja dalam kultur Batak bukanlah gelar yang diwariskan, melainkan ganjaran bagi mereka yang sudah berkarya dan berkontribusi untuk masyarakat.

DENGAN diiringi musik tradisional Batak gondang dan uning-uningan, lima pasangan suami istri dari perwakilan marga Parapat se-Indonesia manortor sambil membawa bulang-bulang.

Bulang-bulang terdiri dari hohop, sampe-sampe, sortali, hajut piso halasan, dan tongkat tunggal panaluan.

Atribut berupa perangkat pakaian kebesaran adat Batak, yakni pengikat kepala dan sarung berwarna keemasan, tas anyaman manik-manik kecil tempat sirih, makanan, serta perhiasan sang istri, pisau berbentuk keris dan tongkat berhiaskan kepala orang itu, diberikan kepada Laksda (Purn) Farel Mangapul Parapat PhD, 81, beserta sang istri Rusti Lukeria Harianja, pada Sabtu (22/3) di sebuah balai pertemuan di Bekasi, Jawa Barat.

Pada acara paampehon (pemberian) bulang-bulang atau pemberian gelar Raja Mangaranap itu, atribut bulang-bulang langsung dikenakan kepada Farel dan sang istri, sebagai tanda penobatan raja. Acara adat pagi itu disaksikan sekitar 500-an perwakilan marga Parapat se-Indonesia. Selain marga Parapat, hadir pula perwakilan marga-marga bor-bor marsada (masih satu rumpun dengan Parapat), seperti Matondang, Sipahutar, Batubara, Pasaribu, Hararap, Pasaribu, dan Tahihoran.

Kemudian disaksikan pula oleh utusan hula-hula (paman dari pihak keluarga istri dan ibu), yakni hula-hula Masopang, Bonatulang Simangunsong, tulang rorobot Lumban Tobing, tulang Panggabean, dan hula-hula Harianja.

Seusai mengenakan atribut bulang-bulang, Farel pun mandok hata (pidato sambutan). Dalam sambutannya, kakek enam cucu tersebut mengajak marga Parapat, khususnya generasi muda, untuk bersatu. Ia pun mengatakan setiap marga Parapat adalah Raja Mangaranap.

Setelah upacara paampehon bulang-bulang tersebut, kegiatan dilanjutkan dengan acara manortor (menari). Pihak pertama yang manortor ialah keluarga besar Parapat, kemudian marga-marga yang masih serumpun dengan Parapat (bor-bor marsada), dan terakhir tortor hula-hula.

Langka

Page 27: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

“Upacara pemberian gelar raja ini termasuk langka di kalangan orang Batak. Sebabnya, tidak sembarang orang bisa menerimanya,“ ujar Bertho Pasaribu, 55, pemangku adat dari Lembaga Adat Tapanuli Utara di Tarutung, Sumatra Utara.

Bertho yang hadir dari Tarutung untuk menjadi pemandu upacara pemberian gelar tersebut mengatakan gelar raja bukanlah ketua persatuan marga yang lazim ada pada masyarakat Batak.

“Ketua marga itu dipilih per periode, kalau raja selamanya melekat pada diri orang yang mendapat gelar,“ tambah Bertho.

Pemberian gelar raja itu, jelasnya, ada dua jenis, yakni formal dan seremonial. Dalam acara seremonial, pemberian gelar raja diberikan kepada pihak luar, misalnya pejabat atau tokoh yang datang ke tanah Batak. Adapun pemberian gelar yang diterima Farel masuk kategori formal yang melekat selamanya.

Lebih lanjut, Bertho menjelaskan, konsep penobatan raja pada marga Batak berbeda dengan konsep di masyarakat Jawa (Yogyakarta dan Solo) yang didasarkan garis keturunan. “Orang Batak tidak mengenal darah biru atau ningrat. Kalau di Jawa kan gelar raja melekat sejak lahir bagi mereka yang punya garis keturunan raja.“

Sebaliknya, gelar raja pada marga Batak, lanjutnya, diberikan kepada mereka yang sudah berkarya atau berbuat banyak bagi masyarakat umum, di masyarakat Batak, khususnya di marga Parapat. Itulah sebabnya sekalipun seseorang itu kaya raya belum tentu bisa diberi gelar raja. Dan pemberian gelar bukan cuma melihat track record si suami, melainkan juga sang istri.

Gelar raja di marga Batak, lanjut Bertho, bukan diminta, melainkan diberikan melalui proses penilaian terhadap perjalanan hidup si calon penerima gelar.

Rapat yang memakan waktu lumayan lama (enam bulan) itu akhirnya memutuskan gelar Raja Mangaranap yang artinya memikirkan visi ke depan untuk generasi mendatang. Selain itu, sang raja menoleh atau merangkul semua.

Gelar serupa juga pernah diberikan marga Silalahi untuk TB Silalahi, marga Sitorus untuk pengusaha DL Sitorus, Gus Irawan Pasaribu, Dirut Bank Sumut, dan beberapa tokoh lainnya.

Pada kesempatan yang sama, ketua panitia pemberian gelar raja, Sabungan Parapat, menambahkan pemberian gelar Raja Mangaranap didasari alasan bahwa Farel dinilai tidak sombong, berbuat, dan memikirkan ke depan untuk generasi selanjutnya.

Ingin bersatu walau kecil

Seusai menyandang gelar Raja Mangaranap, pasangan Farel dan Rusti merasa tidak ada yang berubah dalam menjalani hidup sehari hari. Semua berjalan normal.

Page 28: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

“Karena sejak dulu pun rumah saya selalu terbuka bagi marga Parapat. Saya ingin marga Parapat bersatu walau kecil,“ ujar pensiunan perwira AL itu.

Bahkan dalam sebuah Rapim ABRI waktu itu, Farel sepanjang karier militernya di bidang pendidikan mengatakan ia memiliki lima minoritas.

“Saya bilang minoritas pertama saya bukan orang Jawa, kedua saya bukan muslim, ketiga saya bukan angkatan darat, keempat karier militer saya bukan di jalur teritorial, dan di kalangan masyarakat Batak pun marga saya minoritas,“ tutur Farel berkelakar.

Itulah sebabnya, saat memberi kata sambutan seusai penganugerahan gelar raja, pemilik SMK di Sipoholon Tarutung itu mengatakan bahwa semua marga Parapat adalah Raja Mangaranap yang artinya harus bisa mengayomi. Di sisi lain, Rusti mengatakan gelar raja yang disandang sang suami justru menjadi beban moral, dalam arti keluarga besarnya harus menjaga sikap, etika, norma-norma, martabat, serta harus lebih terbuka lagi terhadap marga Parapat. (M-3) a [email protected]

Page 29: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

PERGOLAKAN PEMIKIRAN ISLAM

Warisan bagi Pembaruan Islam

USMAN KANSONG

Ahmad Wahib berpulang meninggalkan catatan harian. Catatan harian itu kemudian dibukukan dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.

PERGOLAKAN Pemikiran Islam bukan sekadar catatan di buku harian yang berisi curahan hati belaka. Lebih hebat dari itu, ia berisi pergolakan pemikiran dan pencarian sang penulis tentang berbagai hal, terutama, sesuai dengan judulnya, yakni tentang Islam.

Wahib wafat pada usia belia, tetapi ia mewariskan pemikiran yang matang dan dewasa. Ia berumur pendek, tetapi pemikirannya terentang sepanjang zaman. Pemikirannya pun lapang dan luas meski dihasilkan di kamar indekos yang sumpek dan sempit.

Kedewasaan Wahib tergambar dari pemikirannya yang mempertanyakan hal-hal yang sejak lama terlanjur dianggap sebagai kebenaran absolut. Ia menolak takluk begitu saja. Pada titik ini, ia mengedepankan konsep berpikir bebas atau ijtihad dalam terminologi agama. Baginya, orang-orang yang berpikir, walaupun salah, masih jauh lebih baik dari pada mereka yang tidak pernah salah karena tak pernah berpikir.

Wahib, misalnya, mempertanyakan apakah Tuhan begitu tega memasukkan Romo Stolk dan Romo Willen ke neraka hanya karena mereka Katolik. Romo Stolk dan Romo Willen sangat baik kepada Wahib hingga ia menganggap mereka seperti bapaknya sendiri. “Aku tak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga tidak,“ tulis Wahib.

Dengan mempertanyakan itu, Wahib sesungguhnya hendak menggugat klaim kebenaran (truth claim) bahwa hanya orang Islam yang masuk surga dan selainnya pasti masuk neraka. Dalam pengertian luas, ia menggugat klaim kebenaran tunggal agama bahwa satu-satunya yang benar cuma agama saya dan agama-agama lainnya sesat.

Bagi Wahib, agama, termasuk Islam, agama yang dianutnya, memerlukan pemahaman dan penafsiran yang dinamis sesuai dengan gerak zaman. Ia tidak sependapat dengan pernyataan bahwa Islam cocok dengan segala zaman. Baginya, pernyataan bahwa Islam sesuai dengan segala zaman barulah keinginan atau cita-cita, belum menjadi rumusan ilmiah.

Untuk menghasilkan pemahaman yang dinamis tentang Islam, Wahib mengajak kita untuk menengok sejarah Muhammad. Pasalnya, baginya, Islam bukan bersumber pada Alquran dan hadis, melainkan pada sejarah Muhammad. Bukankah sejarah bersifat dinamis? Wahib

Page 30: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

bahkan tanpa sungkan mempertanyakan Tuhan. Ketika kebanyakan orang menganggap mempertanyakan Tuhan adalah tabu, Wahib menganggapnya sebagai kewajaran. “Andaikata Tuhan sendiri juga berpendapat bahwa inti dari Islam itu tauhid, apakah itu tidak nenunjukkan bahwa Tuhan itu egoistis?“ tulis Wahib.

Pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan pencarian Wahib akan Tuhan. Wahib bisa dikategorikan golongan para pencari Tuhan.

“Adakah Tuhan besar karena manusia merasa kecil di hadapan ombak yang gemuruh bergelora? Adakah Tuhan agung karena manusia merasa tidak berdaya di hadapan alam yang luas, laut yang tiada bertepi? Kalau begitu Tuhan besar karena kekecilan manusia. Alangkah sederhananya ketuhanan yang demikian. Aku tak mau Tuhan seperti itu! Bagiku Tuhan tidak kontradiksi dengan manusia. Aku mencari Tuhan yang lain,“ tulisnya pula.

Pemikiran Wahib tentang Islam dan Tuhan bisa kita baca sebagai sebuah kehendak untuk menampilkan wajah Islam dan Tuhan yang ramah, bukan Islam dan Tuhan yang marah. Ia tak menghendaki peradaban Indonesia tersekat-sekat oleh perbedaan keagamaan dan ketuhanan.

Bukan Wahib kalau pemikirannya tidak mengejutkan sekaligus menakjubkan. Dalam perkara suku bangsa, misalnya, ketika kebanyakan orang berupaya merawatnya, Wahib justru mengucapkan selamat tinggal.

Wahib berharap suatu ketika suku-suku bangsa harusnya tidak ada lagi di bumi Indonesia. Untuk itu, menurutnya, pemerintah punya empat tugas. Pertama, membiarkan sifat-sifat khas daerah itu `mati' dengan sendirinya atau larut dalam totalitas bangsa. Kedua, mendorong perkawinan antarsuku. Ketiga, menyebar-ratakan kepadatan penduduk. Keempat, memajukan kesenian modern.

Kita bisa membaca pemikiran Wahib tentang matinya suku-suku bangsa sebagai sebuah cita-cita dan kerinduan akan keindonesiaan dan kemodernan. Wahib membayangkan sebuah Indonesia modern tanpa sekat-sekat suku bangsa.

Pancasila, bagi Wahib, ialah perekat yang membongkar sekat-sekat etnik, juga agama. “Pancasila adalah bendera bersama,“ tulisnya. Pemikiran-pemikiran Wahib jelas sekali relevan hingga saat ini. Di era reformasi sekarang ini, ketika terjadi penguatan identitas, terutama identitas agama, bangsa ini layak membaca ulang catatan harian Ahmad Wahib. Tak diragukan pula pemikiran Wahib telah menjadi semacam legacy bagi pembaruan keagamaan untuk tercapainya Indonesia modern. Dalam konteks ini, pemikiran Wahib bisa disetarakan dengan pemikiran lokomotif pembaruan Islam, Nurcholish Madjid. Wahib memang sahabat karib Nurcholish yang sama-sama berkhidmat dalam kelompok diskusi terbatas semasa mahasiswa di akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Wahib, juga Nurcholish, ketika itu ialah anak-anak muda yang menjadi peletak dasar Islam liberal di Indonesia. Perbedaannya, Wahib menyampaikan gagasan-gagasannya secara

Page 31: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

mengalir begitu saja melalui catatan harian, sedangkan Nurcholis menuangkan pemikirannya secara ilmiah.

Catatan harian Wahib dibaca luas. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam memasukkannya ke daftar buku wajib baca. Itu bukan karena Wahib juga aktivis HMI, melainkan karena pemikirannya yang mengejutkan, menyegarkan, dan menakjubkan. Buku Pergolakan Pemikiran Islam mengalami cetak ulang beberapa kali.

(M-2) [email protected]

Orang di Belakang Layar

SEBUAH sepeda motor berkecepatan tinggi menabrak Ahmad Wahib di persimpangan jalan Senen Raya-Kalilio, Jakarta Pusat. Malam itu, 30 Maret 1973, Wahib baru saja keluar dari Kantor Majalah Tempo, tempat ia bekerja sebagai calon reporter.

Dalam keadaan luka parah, Wahib ditolong dan dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto oleh beberapa gelandangan. Dari Gatot Subroto ia dibawa ambulans ke Rumah Sakit Umum Pertamina. Dalam perjalanan Wahib menghembuskan napas terakhir.

Beberapa waktu kemudian, Djohan Effendi, teman Wahib dalam kelompok diskusi, mendatangi tempat kos Wahib di sebuah gang sempit di bilangan Kebon Kacang, Jakarta Pusat.

Djohan menemukan catatan harian yang tersusun rapi. Catatan harian itu terdiri dari 17 buku tebal dalam tulisan tangan. Juga, tulisan-tulisannya sudah terbundel dengan baik dalam beberapa map. `Aneh sekali, seakan-akan Wahib sudah mempersiapkannya', tulis Djohan dalam bab pendahuluan buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib.

Kawan-kawan Wahib, semisal Syubah Asa, Dawam Rahardjo, termasuk Djohan Effendi, ingin melihat catatan harian itu terbit. Djohan sendiri berpendapat Wahib memainkan peran sebagai `orang di belakang layar', tak begitu dikenal umum.

Catatan harian yang ditulis dengan tangan setelah diketik kembali menjadi 662 halaman. Setelah dibukukan, ia menjadi 300 halaman lebih.

Bila saja catatan hariannya tidak diterbitkan, publik tak akan pernah mengenal Wahib. Tanpa penerbitan catatan hariannya, orang mungkin tak akan menghubungkan Wahib dengan proses atau gerakan pembaruan Islam di Indonesia. (Uka/M-2)

Page 32: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

BIDASAN BAHASA

Hadir, kok, Minta Diabsen?

EMANUEL DAPA LOKA Penulis Buku dan Biografi, Wartawan

Kalau konsisten dengan arti absen yang berarti `tidak hadir' atau `tidak masuk', mengabsen berarti `membuat tidak hadir' atau `membuat tidak masuk'.

“HEI! Saya hadir, tolong absen juga, ya!“ Begitu seseorang setengah berteriak kepada temannya yang sedang memegang selembar kertas berwarna putih lengkap dengan lajur-lajur. Sepertinya, dia ialah seorang wartawan yang biasa menyisir hotel-hotel di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Menyisir? Ya, hampir setiap hari dia dan beberapa temannya keluar masuk hotel-hotel tersebut untuk mencari tahu acara-acara yang digelar di sana.

Selidik punya selidik, ternyata dia ialah wartawan gadungan alias wartawan tanpa surat kabar. Tujuannya hanya satu, yakni mengejar amplop dari para panitia penyelenggara. Modal utamanya ialah tape recorder dan sebuah kamera digital. Pernah saya memperhatikan, tidak ada kaset di dalam tape yang ia sodorkan kepada narasumber saat wawancara `keroyokan' bersama wartawan lain.

Sudah hampir 15 tahun saya bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Hampir pasti, setiap kali (tidak sering) saya meliput di kawasan Sudirman, saya berjumpa dengan beberapa orang yang `berprofesi' sama.

Sebenarnya, pokok persoalan dalam tulisan ini terletak pada judul Hadir, kok, Minta Diabsen?, atau jelas-jelas hadir (present), tapi kok minta dinyatakan tidak hadir (absent)? Tidak masuk akal, bukan?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga cetakan kedua 2002, halaman 3 mencatat absen berarti `tidak masuk (sekolah, kerja, dsb); tidak hadir'. Lalu kata derivasinya ialah mengabsen yang berarti `memanggil (menyebut, membacakan) nama-nama orang pada daftar nama untuk memeriksa hadir tidaknya orang'. Diberi contoh dalam kamus tersebut, Setiap pagi guru mengabsen murid muridnya. Derivasi lanjutan kata tersebut adalah absensi yang berarti `ketidakhadiran'.

Kamus Inggris-Indonesia yang disusun John M Echols dan Hassan Shadily, terbitan Gramedia (1990), cetakan XVIII, halaman 3, menerjemahkan kata absent dengan mangkir, tak hadir.

Kedua munsyi tersebut memberi contoh Three were absent on account of illness, yang berarti `tiga orang absen karena sakit'. Contoh lain Revenge is absent from his mind yang berarti `tak ada perasaan dendam di dalam hatinya', dan beberapa contoh lagi.

Page 33: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014

Ada sesuatu yang mengherankan antara arti kata absen sebagai kata dasar, yakni `tidak masuk' atau `tidak hadir' dan arti derivasinya mengabsen dan absensi. Kalau konsisten dengan arti absen yang berarti `tidak hadir' atau `tidak masuk', mengabsen berarti `membuat tidak hadir' atau `membuat tidak masuk'.

Argumentasi tersebut sejalan dengan arti kata mangkir atau tak hadir sebagai terjemahan kata absent dalam bahasa Inggris.

Jadi, menurut saya, absen tetaplah berarti `tidak hadir' atau `mangkir'. Kemudian untuk mengganti kata mengabsen, pakai saja kata mempresensi atau kalau mau lebih Indonesia, gunakan saja kata panggil. Daripada jelas-jelas hadir tapi minta diabsen, kan? Ada kerancuan di sana.

***

Media Indonesia menerima kiriman artikel yang terkait dengan bahasa, dengan panjang naskah 400 kata dan berformat .doc (word document). Naskah dikirim ke alamat surat elektronik [email protected].

Page 34: Artikel Pilihan Media Indonesia 13.4.2014