arti obat esensial bagi pelayanan kesehatan
TRANSCRIPT
-
8/2/2019 Arti Obat Esensial Bagi Pelayanan Kesehatan
1/3
Arti Obat Esensial Bagi Pelayanan Kesehatan
Obat Esensial Sebagai Strategi Dasar Kebijakan Obat Nasional*
Iwan Darmansjah
Dalam Laporan kedua puluh delapan World Health Assembly (1975), Direktur Jendral WHOmerangkum berbagai masalah obat terpenting yang dihadapi negara berkembang dan sekaligus
mengusulkan suatu strategi penanganannya. Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman di beberapa
negara yang telah lama menerapkan konsep pemakaian suatu daftar obat terbatas yang disebut
formulary. Daftar terbatas ini kemudian disebut Essential Drugs dalam WHO Technical Report Series
No. 615, yang merupakan edisi pertama dalam tahun 1977. Strategi ini dengan cepat menyebar
diterima oleh seluruh negara anggota WHO. Untuk pertama kali Indonesia-pun merupakan negara
pertama yang di tahun 1978 sudah menerbitkan Daftar Obat Esensial di Indonesia, yang diterapkan
untuk RS pemerintah dan Puskesmas. Daftar ini berhasil menekan biaya pengobatan dengan mencapai
tujuan efisiensi dan cakupan yang lebih luas untuk masyarakat yang kurang mampu di negara
berkembang, sambil mencapai standard pengobatan yang optimal. Ternyata strategi ini juga
dibutuhkan negara maju karena dalam keadaan berlebihan pun kehausan profesi kesehatan akanteknologi pengobatan canggih tidak terkendali, karena terlalu banyak obat (dan suplemen) yang
mubazir membanjiri dunia, sehingga Amerika Serikat-pun berteriak tentang biaya pemakaian obat di
negerinya.
Mungkin pada waktu seperti ini, kita harus merenungkan kembali cara-cara yang boros, yang hanya
memberi kepuasan semu, tetapi justru merugikan dan membodohkan orang sakit. Hal ini jelas
merupakan akibat dari kurangnya pendanaan pemerintah untuk sektor kesehatan, sehingga pihak
swasta mendominasi pelayanan kesehatan yang mementingkan pendapatan di atas pelayanan -,
tanpa diimbangi oleh standard pelayanan bermutu, dengan akibat negatif seperti yang kita rasakan
sekarang.
Sebagian besar pengambil keputusan di sektor pemerintah sudah lupa atau kurang mengenal tentang
apa yang disebut KEBIJAKAN OBAT NASIONAL, yang merupakan cetak biru negara tentang kebijakan
dalam bidang obat. Sejak tahun 1970-an WHO dihadapkan pada fenomena di negara berkembang
yang situasi obat dan praktek pengobatannya sangat boros, karena menggunakan terlalu banyak obat-
obat yang tidak esensial dan malahan tidak efektif. Hal ini terjadi karena banyak obat baru dipasarkan
dalam jumlah besar sehingga dokter sulit menilai mana yang benar-benar baik dan mana yang kurang
atau tidak efektif. Pada waktu itu tidak satu negara pun di dunia memiliki pernyataan tertulis mengenai
drug policy. Sekarang, hampir semua negara mempunyai dokumen resmi untuk menjadi guidance
dalam farmako-politik obat yang disebut NATIONAL DRUG POLICY, ..... kecuali Indonesia, dan
mungkin Amerika Serikat. Sayangnya dengan open market economy, pemasaran obat dianggap lebihbanyak mempunyai nilai perdagangan daripada nilai sosial-kesehatan, yang semestinya merupakan
hak rakyat menurut UUD-45 dan GBHN. Hal ini juga tercermin dalam struktur organisasi pabrik obat
Indonesia yang tidak mempunyai medical department yang effektif dan etis, tetapi mempunyai
marketing section yang dominan. Juga medical departments berdiri hirarkis dibawah marketing
departments, termasuk keuangannya.
Direktur Jendral WHO , Halfdan Mahler (1978), mengatakan bahwa kemajuan teknologi kesehatan
telah memberi harapan besar pada permulaan, tetapi akhirnya menjadi ancaman dalam anggaran
belanja semua pemerintahan karena ia menjadi raksaksa dengan vested interest sendiri dan menjadi
terlalu mahal untuk dipikul siapapun. Di bawah ini saya quote pernyataan Halfdan Mahler pada tahun
1978, sewaktu beliau menjabat direktur jendral WHO:
Thirty years ago modern health technology had just awakened and was full of promise. Since then, its
expansion has surpassed all dreams, only to become a nightmare. For it has become over-
sophisticated and over-costly. It is dictating our health policies unwisely; and what is useful is being
-
8/2/2019 Arti Obat Esensial Bagi Pelayanan Kesehatan
2/3
applied to too few. Based on these technologies, a huge medical industry has grown up with powerful
vested interests of its own. Like the sorcerers apprentice, we have lost control, over health
technology. The slave of our imagination has become the master of our creativity. We must now learn
to control it again and use it wisely, in the struggle for health freedom. This struggle is important for all
countries; for developing countries it is crucial
Alangkah benarnya visi beliau dan WHO pada waktu itu yang sudah melihat bagaimana melesetnya
arah pembangunan pelayanan kesehatan, namun dunia telah terseret dalam arus globalisasi hingga
kita saksikan kehancuran kesehatan Indonesia dan di banyak belahan dunia.sekarang.
Dengan menerapkan penggunaan Obat Esensial serta penilaian kembali semua obat dan melarang
peredaran obat-obat yang tidak berguna (inefektif), maka mudah-mudahan pengobatan yang efisien
menurut standard profesi bisa ditegakkan kembali. Semoga Depkes dan Badan POM mempunyai
kemauan dan keberanian untuk melakukan revaluasi obat yang sudah sangat dibutuhkan Indonesia.
Banyak obat yang tidak efektif menurut penilaian data yang ada berada di pasar Indonesia (lihat
slides). MIMS Indonesia boleh beredar dengan informasi yang menyesatkan dan bohong, dan tidak
ada instansi yang berani melarangnya beredar, walaupun merusak pola peresepan dokter secara
nyata.
Milestones dari keberadaan obat di Indonesia merupakan suatu hiperbol: dari tidak mengerti
bagaimana melakukan drug regulation dan premarketing evaluation obat baru (1971-an), di tahun
80-an menduduki puncak kehebatan evaluasi obat yang akan dipasarkan sehingga dikenal dunia, yang
kemudian mulai runtuh sejak era 90-an hingga sekarang. Drug evaluation, yang mencakup penilaian
obat sebelum pemasaran dan pemakaian obat setelah dipasarkan, merupakan kunci dan dasar
(linchpin) pemakaian obat oleh dokter yang rasional. Cost-effective prescribing merupakan hasil akhir
kriteria yang dikenal dengan outcome dari drug regulation dan evaluation. Outcome terbaik ialah
situasi obat di negara yang teratur (seperti Norwegia atau Australia), dan yang buruk ialah keadaan
yang tergolong semerawut (seperti Indonesia dan banyak lagi) sudah berlanjut kira-kira dua
dasawarsa terakhir, di bawah mata saya.. Who is to blame? The industry is as good or as bad as the
regulators, kata orang farmakologi klinik.
Keuntungan lain yang akan diperoleh dari pemakaian obat yang esensial ialah bahwa dengan
sendirinya biaya pengobatan akan menurun secara menyolok (sekalipun dengan harga satuan obat
yang tinggi). Bayangkan, bila sebenarnya menurut standard profesi dibutuhkan 1 macam obat, lalu
penderita diberi 6-12 macam obat (yang merupakan tambahan mubazir), berapa perbedaan biaya
resepnya? Semua dokter di seluruh Indonesia juga harus dapat melepaskan kebiasaan untuk
menerima komisi dari pabrik obat sehingga memakai obat tidak lagi didasarkan keuntungan materi
(yang tidak etis) tetapi ditentukan oleh integritas intelektual dan hati nurani yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan keterbukaan, kejujuran, dan empati dari dokter, penderita juga tidak
akan merasa perlu berobat ke luar negeri, sehingga terpupuk kepercayaan terhadap profesi
kedokteran (dan rumah sakit), yang sekarang telah sangat menurun. Rumah sakit atau perusahaan
asuransi kesehatan yang melakukan pengobatan tanpa suatu daftar obat terbatas (formularium yang
dipilih dengan profesional) akan menghamburkan biaya tanpa hasil pengobatan yang baik, karena
tidak cost-effective.
Kunci utama dalam membuat formularium yang bertanggungjawab ialah pemilihan anggota panitia
yang sering sarat dengan KKN. If you let a committee of wolves decide on peace, you get war kata
orang Inggris. Bila salah pilih anggota penilai, maka hasilnya akan merupakan hanya keinginan hati
anggota panitia tersebut yang kurang bijak. Kemarin saya baru menemukan suatu concensus report
dari American Diabetic Association yang ditulis oleh 7 orang ahli, yang semuanya mengaku mempunyai
conflict of interest yang berat (bekerja dan menerima uang dari berbagai produsen obat diabetes).Saya menemukan beberapa biased statements dari penilaian mereka. Semua kepustakaan obat
sekarang dibawah kuasa industri, karena hampir semua uji klinik dibiayai industri. Para spesialis kita
harus bisa menangkap apa yang tidak ditulis bila menilai publikasi, juga harus paham membaca di
antara kalimat (reading between the lines). Selain cakap dan mengerti ilmunya, anggota panitia harus
-
8/2/2019 Arti Obat Esensial Bagi Pelayanan Kesehatan
3/3
dipilih benar bebas konflik kepentingan yang berat, bukan serigala.
Mulai bulan April 2008 telah dipersiapkan revisi dan revaluasi semua obat yang ada dalam daftar DOEN
2005 (terakhir). Selain itu panitia penilai juga menilai permintaan pendaftaran obat yang baru. Proses
ini telah terjadi dengan keterbukaan dan perbaikan sistem penilaian DOEN untuk pertama kali. Selain
itu, saya juga diberi kekuasaan penuh untuk menjadi ketua, yang biasanya hanya menjadi ketua
marionet, yaitu kebiasaan yang terjadi rutin di Indonesia. Semoga ini dibiasakan di DepKes dan
instansi lain untuk tidak mengikuti manajemen seperti hierarki militer dan mempelopori kelanjutan dari
proses Kebangkitan Nasional yang masih tetap jongkok. Di universitas, misalnya, peran rektor dan
dekan serta bawahannya merupakan lambang jendral, membuat peraturan2 yang tidak dapat diterima
para dosen karena tidak pas (just) dan berjiwa tidak demokratis dalam manajemen ilmu. Seharusnya
roh universitas berada dalam fungsi para guru besar dan dosen (yang pintar dan benar), yang perlu
dibantu pekerjaannya sehingga meraih puncaknya, bukan membatasi pendapatan dan kebebasan
ilmiah di departemen-departemen. Kehebatan dosen juga merupakan kebanggaan pemimpin institut.
Peraturan perlu dibuat, namun perlu disesuaikan dengan kelaziman universitas secara universal.
Proses strategic planning perlu dibuat dengan benar di semua institut (contohnya ialah Malaysia) untuk
dapat memastikan keberadaan Indonesia lebih ke depan di tahun-tahun mendatang demi mengisi
Kemerdekaan.
*Sambutan pada launching buku Daftar Obat Nasional 2008 di Departemen Kesehatan
Jakarta, 4 Nop. 2008