apcd pada bayi

33
BAB I PENDAHULUAN Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan proporsi terbesar kematian balita terjadi pada masa neonatal (43%). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007), penyebab kematian neonatal adalah asfiksia, prematuritas dan BBLR, sepsis, hipotermi, kelainan darah/ikterus, postmatur dan kelainan kongenital. Salah satu bentuk kelainan darah adalah defisiensi vitamin K yang dapat menyebabkan perdarahan intrakranial sehingga berakibat kematian atau kecacatan pada bayi baru lahir (KEMENKES RI, 2011). Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) dapat berakibat fatal dengan insiden diperkirakan 1:100 hingga 1:400 kelahiran. Di Amerika defisiensi vitamin K menyebabkan perdarahan 0,25% hingga 1,7% minggu pertama setelah lahir pada bayi yang sebelumnya terlihat sehat (Ervani, 2008). Di beberapa negara Asia angka kematian bayi karena PDVK berkisar antara 1: 1.200 samapai 1:1.400 kelahiran hidup. Angka kajadian tersebut ditemukan lebih tinggi mencapai 1:500 kelahiran di daerah-daerah yang tidak memberikan profilaksis 1

Upload: dini-sarassati

Post on 18-Jul-2016

195 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

acquired protrombin complex deficiency adalah suatu keadaan perdarahan pada anak yang disebabkan oleh defisiensi vitamin K. Biasanya banyak pada anak yang tidak mendapatkan suntikan vit. K dan hanya diberikan ASI.

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan

proporsi terbesar kematian balita terjadi pada masa neonatal (43%). Menurut Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas 2007), penyebab kematian neonatal adalah asfiksia, prematuritas dan

BBLR, sepsis, hipotermi, kelainan darah/ikterus, postmatur dan kelainan kongenital. Salah

satu bentuk kelainan darah adalah defisiensi vitamin K yang dapat menyebabkan perdarahan

intrakranial sehingga berakibat kematian atau kecacatan pada bayi baru lahir (KEMENKES

RI, 2011).

Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) dapat berakibat fatal dengan insiden

diperkirakan 1:100 hingga 1:400 kelahiran. Di Amerika defisiensi vitamin K menyebabkan

perdarahan 0,25% hingga 1,7% minggu pertama setelah lahir pada bayi yang sebelumnya

terlihat sehat (Ervani, 2008). Di beberapa negara Asia angka kematian bayi karena PDVK

berkisar antara 1: 1.200 samapai 1:1.400 kelahiran hidup. Angka kajadian tersebut ditemukan

lebih tinggi mencapai 1:500 kelahiran di daerah-daerah yang tidak memberikan profilaksis

vitamin K secara rutin pada bayi baru lahir. Angka tersebut turun menjadi 1:10.000 dengan

pemberian profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir (KEMENKES RI, 2011). Di Indonesia

data mengenai PDVK secara nasional belum tersedia, hingga tahun 2004 didapatkan 21 kasus

di RSCM Jakarta, 6 kasus di RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan 8 kasus di RSU Dr. Soetomo

Surabaya (Permono, 2005).

Profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir sangat penting dilakukan karena bayi baru

lahir mengalami defisiensi faktor pembekuan yang tergantung vitamin K secara bermakna

pada saat awal kehidupan. Konsentrasi faktor pembekuan ini rendah dalam plasma beberapa

hari setelah lahir dan mencapai titik terendah pada hari ketiga. Hal ini dikarenakan sedikitnya

vitamin K yang dapat melewati sawar plasenta sehingga menyebabkan rendahnya cadangan

1

vitamin K pada saat lahir, kadar vitamin K yang rendah pada air susu ibu, terlambatnya

kolonisasi bakteri penghasil vitamin K diusus dan beberapa faktor lainnya. Kombinasi

berbagai keadaan ini yang menimbulkan gangguan hemostasis, sehingga bayi baru lahir

rentan mengalami perdarahan akibat kekurangan vitamin K.

Salah satu tindakan pemerintah Indonesia dalam menurunkan angka kematian bayi

adalah dengan terwujudnya kerjasama Departemen Kesehatan RI dengan Tim Ahli dari

berbagai profesi dan Tim Teknis Health Technology Assesment (HTA) Indonesia pada tahun

2002-2003, dimana mereka telah merekomendasikan pemberian profilaksis vitamin K1 pada

semua bayi baru lahir di Indonesia. Sebagai tindak lanjutnya, disusun pedoman teknis

pemberian injeksi Vitamin K1 profilaksis pada bayi baru lahir di tingkat pelayanan kesehatan

dasar yang bertujuan memberikan petunjuk tentang penatalaksanaan pemberian vitamin K1

pada bayi baru lahir untuk mencegah kejadian PDVK (KEMENKES, 2011).

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hemostasis

Hemostasis adalah suatu fungsi tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan

keenceran darah sehingga darah tetap mengalir dalam pembuluh darah dan menutup

kerusakan dinding pembuluh darah sehingga mengurangi kehilangan darah pada saat

terjadinya kerusakan pembuluh darah. Proses hemostasis memerlukan tiga langkah untuk

dapat berjalan normal, langkah pertama disebut hemostasis primer dengan pembentukan

“primary plateket plug”, langkah kedua disebut hemostasis sekunder dengan pembentukan

“stable hemostatic plug”, dan langkah yang ketiga fibrinolisis setelah dinding vaskuler

mengalami reparasi sempurna (Bakta, 2007).

Proses hemostasis memiliki mekanisme yang kompleks yang terdiri dari empat fase

yang terdiri atas (Bakta, 2007):

1. Fase vaskular (terjadi reaksi lokal pembuluh darah)

2. Fase trombosit (timbul aktivitas trombosit)

3. Fase plasma (terjadi interaksi beberapa faktor koagulasi spesifik yang beredar

didalam darah)

4. Fase fibrinolosis (proses lisis bekuan darah)

2.1.1 Proses pembekuan darah

Kaskade pembekuan darah terdiri dari jalur ekstrinsik dan intrinsik. Aktivasi

intrinsik dimulai dengan aktivasi faktor kontak (contact factor), yaitu faktor XII, High

Molecular weight Kininogen (HMWK), dan prekalikren. Selanjutnya terjadi aktivasi

faktor XI, X dan IX. Jalur ini dimulai ketika prekalikren, HMWK, fakator XI dan

3

faktor XII bersentuhan dengan permukaan sel endotelial, yang disebut dengan fase

kontak. Dengan adanya fase kontak ini terjadi konversi dari prekalikrein menjadi

kalikrein, yang kemudian mengaktifkan faktor XII menjadi XIIa. Faktor XIIa akan

memacu proses pembekuan melalui aktivasi faktor XI, IX, X dan II secara berurutan.

Aktivasi faktor Xa memerlukan bantuan dari tenase complex, terdiri dari ion Ca2+,

faktor VIIIa, IXa dan X yang terdapat pada permukaan sel trombosit. Faktor VIIIa

pada proses koagulasi bersifat seperti reseptor terhadap faktor IXa dan X. Aktifasi

faktor VIII menjadi VIIIa dipicu oleh terbentuknya trombin. Faktor X yang suda

teraktivasi (Xa) akan mengaktifkan protrombin (faktor II) menjadi trombin (faktor

IIa) Trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan banttuan

komples prtrombinase yang terdiri dari fosfolipid sel trombosit, ion Ca2+, faktor V dan

Xa. Faktor Va dipicu oleh adanya trombin, faktor V merupakan kofaktor dalam

pembentukan kompleks protrombinase. Setelah fibrin monomer terbentuk, dengan

peran trombin, faktor XIII akan teraktivasi menjadi XIIIa yang akan membantu

pembentukan cross-linked fibrin polymer yang lebih kuat (Permono, 2005).

Gambar 1. Kaskade Pembekuan Darah (Permono, 2005)

4

Aktivasi jalur ekstrinsik dimulai ketika terjadi kontak antara jaringan

subendotil dengan darah yang akan membawa faktor jaringan (tissue factor) serta

aktivasi faktor VII. Aktifasi faktor VII terjadi melalui kerja dari trombin dan faktor

Xa. Tissue factor (TF) akan berikatan dengan faktro VIIa yang akan mempercepat

aktivasi fakor X menjadi faktor Xa yang akan membentuk fibrin yang sama seperti

jalur intrinsik. Faktor VIIa dan TF ternyata juga mampu mengaktifkan faktor IX,

sehingga membentuk hubungan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik (Permono, 2005).

2.1.2 Perkembangan hemostasis neonatus

Sistem koagulasi pada masa neonatus masih belum matang, dimana kadar

sistem prokoagulasi seperti protein prekalikrein, HMWK, faktor V, XI, XII dan faktor

koagulasi yang tergantung dengan vitamin K seperti II, VII, IX, X dalam tubuh masih

sangat rendah. Pada bayi cukup bulan kadarnya hanya 15-50% dari kadar dewasa,

dan lebih rendah lagi pada bayi prematur. Kadar antikoagulan seperti antitrombin

protein C dan S juga lebih rendah 50% dari normal. Namun kadar faktor VIII, Von

Willebrand dan fibrinogem setara dengan dewasa. Kadar protein proakuagulan

maupun antukoagulan ini secara bertahap akan meningkat dan dapat mencapai kadar

yang sama dengan dewasa pada usia 6 bulan (Permono, 2005).

2.1.3 Peran vitamin K terhadap proses hemostasis

Vitamin K adalah vitamin yang larut dalam lemak, sehingga absorbsinya

sangat tergantung pada garam empedu. Diidentifikasi pertama kali oleh ahli biokimia

Denmark pada tahun 1939, hal ini berawal dari penemuan adanya perdarahan yang

terjadi pada ayam yang diberikan diet tanpa lemak.

5

Vitamin K merupakan suatu naftokuinon yang berperan dalam modifikasi dan

aktivasi beberapa protein yang berperan dalam pembekuan darah, seperti faktor

II,VII,IX,X dan antikoagulan protein C dan S, serta beberapa protein lain seperti

protein Z dan M yang belum banyak diketahui peranannya dalam pembekuan darah.

Ada tiga bentuk vitamin K yang diketahui yaitu (KEMENKES, 2011):

a. Vitamin K1 (phytomenadione), terdapat pada sayuran hijau.

b. Vitamin K2 (menaquinone) disintesis oleh flora usus normal seperti

Bacteriodes fragilis dan beberapa strain E. coli.

c. Vitamin K3 (menadione) merupakan vitamin K sintetik tetapi jarang

diberikan lagi pada neonatus karena dilaporkan dapat menyebabkan

anemia hemolitik.

2.2. Perdarahan akibat Defiisiensi Vitamin K (PDVK)

` 2.2.1 Definisi

Perdarahan akibat defisiensi vitamin K didefinisikan sebagai perdarahan

spontan atau akibat trauma pada bayi yang berhubungan dengan defisiensi vitamin K

dan menurunnya aktifitas faktor pembekuan II, VII, IX dan X atau disebut dengan

proteins induced by vitamin K absence or antagonism (PIVKA), dengan nilai

fibrinogen dan trombosit yang normal (NHMRC, 2010).

2.2.2 Klasifikasi

PDVK diklasifikasikan berdasarkan usia timbulnya manifestasi yang terbagi

menjadi onset awal, klasik, lambat dan sekunder.

a. PDVK onset awal, terjadi pada hari pertama kehidupan, jarang terjadi dan

ditemui pada bayi yang ibunya menerima pengobatan yang mempengaruhi

metabolisme vitamin K. Obat-obat tersebut dapat berupa antikonvulsan

fenitoin, barbiturat atau carbamazepin, obat antituberkulosis rifampisin,

6

dan antagonis vitamin K seperti warfarin dan fenindion. Laporan kasus

seperti ini ditemui sekitar 6-12%

b. PDVK klasik, ditemui pada usia satu hari hingga tujuh hari setelah

kelahiran dan lebih sering pada bayi yang keadaan umumnya tidak baik

saat lahir atau yang pemberian makannya tertunda. Perdarahan biasanya

berasal dari umbilikus, saluran gastrointestinal, bekas suntikan pada kulit,

luka operasi dan otak walau jarang.

c. PDVK onset lambat, ditemui pada bayi yang berusia delapan hari hingga 6

bulan setelah kelahiran, namun paling sering pada usia satu hingga tiga

bulan dan pada bayi yang diberi air susu ibu (ASI). Perdarahan intrakranial

yang serius dapat terjadi hingga 30-50%, dapat juga terjadi perdarahan

pada kulit, saluran gastrointestinal dan umbilikus. Sekitar 30% mengalami

memar-memar kecil atau tanda-tanda koagulopati lainnya yang

mendahului terjadinya perdarahan serius.

d. PDVK sekunder, ditemui pada usia 2 minggu hingga satu tahunm keatas.

Penyebabnya dapat dikarenakan oleh malabsorbsi vitamin K di usus,

atresia bilier, dan penyakit hati yang berat seperti obstruksi intrahepatik

bilier, penyakit kolestasis, dan lainnya.

7

Tabel 1. Klasifikasi PDVK

(Permono, 2005)

2.2.3 Epidemiologi

Perdarahan akibat defisiensi vitamin K dapat berakibat fatal dengan insidensi

1: 100 kelahiran di dunia (Asrul, 2007). Angka kejadian PDVK di Eropa, ketika

profilaksis belum dilakukan, sebanyak 5-6: 100.000 kelahiran hidup. Di Amerika

defisiensi vitamin K menyebabkan perdarahan 0,25% hingga 1,7% minggu pertama

setelah lahir pada bayi yang tadinya terlihat sehat. Insidensi PDVK lebih tinggi pada

negara yang masih berkembang. Dibeberapa negara Asia angka kesakitan bayi karena

PDVK berkisar antara 1: 1.200 sampai 1 : 1.400 kelahiran hidup (KEMENKES RI,

2011). Di Indonesia data mengenai PDVK secara nasional belum tersedia, hingga

tahun 2004 didapatkan 21 kasus di RSCM Jakarta, 6 kasus di RS Dr Sardjito

Yogyakarta dan 8 kasus di RSU Dr Soetomo Surabaya (Permono, 2005).

8

Diantara beberapa klasifikasi PDVK, PDVK onset lambat menjadi perhatian

khusus, terutama di negara-negara Asia Tenggara, karena memiliki prevalensi yang

tinggi yaitu 30-80: 100.000 kelahiran, insiden perdarahan intrakranial yang tinggi

(80%), mortalitas yang tinggi (25%), dan menyebabkan cacat neurologis yang

menetap (50-65%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan

anak perempuan dengan rasio sekitar 2:1. Kebanyakan dari mereka menerima air susu

ibu (90-95%) dan tidak menerima vitamin K profilaksis ketika lahir (80-90%)

(Isarangkura, 1999). Di Hanoi insidensi PDVK onset lambat diperkirakan 116 per

100.000 kelahiran pada bayi yang tidak mendapat vitamin K profilaksis (Ervani,

2008). Hasil penelitian lain yang dilaporkan dari Eropa dan Asia insiden PDVK onset

lambat terjadi berkisar 4,4-7,2: 100.000 kelahiran dan angka tersebut turun menjadi

1,4-6,4: 100.000 kelahiran setelah dilakukan profilaksis vitamin K (Blackmon, 2003).

2.2.4 Etiologi

Defisiensi vitamin K pada bayi baru lahir disebabkan oleh berbagai faktor

antara lain karena rendahnya cadangan vitamin K pada saat lahir, prematuritas, kadar

vitamin K yang rendah dalam air susu ibu, terlambatnya kolonisasi bakteri usus yang

disebabkan oleh terlambatnya pemberian makanan, ASI eksklusif, diare berat dan

pemberian antibiotik (Asrul, 2007). Gangguan pembekuan darah pada masa anak juga

dapat disebabkan oleh (Permono, 2005):

a. Kekurangan faktor pembekuan darah yang tergantung vitamin K

b. Penyakit hati

c. Percepatan penghancuran faktor koagulasi: Disseminates Intravascular

Coagulation (DIC), Fibrinolisis (Penyakit hati, agen trombolitik, pasca

pembedahan)

9

d. Inhibitor terhadapa faktor koagulasi: Inhibitor spesifik, Antibodi

antifosfolipid, Lain-lain: antitrombin, paraproteinemia

e. Lain-lain: Setelah tranfusi masif, setelah mendapatkan sirkulasi

ekstrakorporal, penyakit jantung bawaan, amiloidosis, sindroma nefrotik

2.2.5 Patogenesis

Vitamin K tidak dihasilkan oleh tubuh dan dapat diperoleh melalui konsumsi

sayuran hijau dan sintesis mikroflora usus yaitu Bacteroides Fragilis yang dapat

mensintesis vitamin K dan menjamintidak terjadinya defisiensi pada orang dewasa

(Murray, 2003). Meskipun demikian bayi baru lahir rentan terhadap defisiensi vitamin

K karena saat kehamilan jumlah vitamin K yang melewati sawar plasenta sangat kecil

(<0.05 ng/l) bahkan tidak terdeteksi. Ditambah dengan keadaan kadar vitamin K yang

rendah dalam air susu ibu (1,5-2,1 ng/l), terlambat kolonisasi bakteri usus yang

disebabkan oleh terlambatnya pemberian makanan, ASI eksklusif, diare berat dan

pemberian antibiotik. Kombinasi dari beberapa keadaan ini lah yang menyebabkan

rendahnya cadangan vitamin K pada saat lahir dan beberapa minggu kehidupan

(Ervani, 2008).

Kadar vitamin K yang rendah menyebabkan terhambatnya modifikasi

postranslasional atau reaksi karboksilasi atom C pada gamma-metilen, senyawa asam

glutamat (Glu) tertentu yang terdapat pada prekursor protein pembekuan. Tidak

adanya reaksi karboksilasi ini menyebabkan tidak terbentuknya senyawa

gamakarboksi glutamat (Gla), sehingga PIVKA tidak dapat mengikat ion Ca2+.

Apabila PIVKA tidak dapat berikatan dengan ion Ca2+ maka tidak terjadi aktivasi

serangkaian kaskade pembekuan darah. Kompleks protrombin tidak teraktivasi

10

otomatis fibrin polimer yang berperan dalam penghentian perdarahan tidak terbentuk

sehingga perdarahan tetap berlangsung (Murray, 2003).

Gambar 2. Siklus vitamin K dan reaksi karboksilasi (Permono, 2005)

2.2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasis klinis yang sering ditemukan adalah perdarahan yang dapat

terjadi spontan atau akibat trauma terutama trauma lahir. Tempat perdarahan yang

utama adalah umbilikus, membran mukosa, saluran cerna, sirkumsisi dan pungsi vena.

Perdarahan kulit sering berupa purpura, ekimosis dan bekas tusukan jarum suntik

(KEMENKES, 2011).

Perdarahan yang sering terjadi pada PDVK adalah perdarahan intrakranial

yang memiliki prevalensi, penyebab kecacatan dan mortalitas yang tinggi. Manifestasi

klinis yang sering ditemui pada kasus perdarahan intrakranial berdasarkan hasil dari

48 penelitian yang dikumpulkan dari tahun 1990-2013 di Turki, didapatkan 534

pasien dengan perdarahan intrakrania;, dimana keluhan yang sering dilaporkan adalah

sebagai berikut (Unal, 2014):

11

1. Kejang: 212 orang (39,7 %)

2. Muntah ketika pemberian asupan: 164 orang (30,7%)

3. Rewel/ iritabilitas: 158 orang (29,6%)

4. Ekimosis dan perdarahan: 156 orang (29,2%)

5. Bulging pada fontanela : 109 orang (20,4%)

6. Pucat: 83 orang (15,5%)

7. Diare atau melena: 67 orang (12,5%)

8. Jaundis: 20 orang (3,7%)

Hasil pemeriksaan fisik yang juga sering dilaporkan pada pasien dengan

perdarahan intrakranial adalah sebagai berikut (Unal, 2014):

1. Penonjolan / bulging pada fontanela: 103 orang (19,3%)

2. Gangguan kesadaran: 68 orang (12,7%)

3. Penurunan atau hilang reflek neonatal: 67 orang (12,6%)

4. Pallor: 56 orang (10,5%)

5. Kegagalan pada jantung dan paru: 35 orang (6,6%)

6. Peningkatan reflek tendon dalam: 26 oramg (4,9%)

7. Anisokoria: 22 orang (4,1%)

8. Hilang reflek pupil: 17 orang (3,2%)

9. Penurunan reflek tendon dalam: 13 oramg (2,4%)

2.2.7 Diagnosis

Diagnosis PDVK ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa, manifestasi

klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis difokuskan terhadapa awitan perdarahan, lokasi perdarahan,

pemberian ASI eksklusif atau formula, riwayat ibu minum obat-obatan yang

12

dapat mempengaruhi metabolisme vitamin K seperti antikoagulan,

antikonvulsan dan antituberkulostatik, serta anamnesis untuk menyingkirkan

kemungkinan lainnya (Permono, 2005).

b. Pemeriksaan laboratorium, untuk mendeteksi defisiensi vitamin K dapat

dilakukan dengan cara (Ervani, 2008):

1. Skrining perdarahan, dijumpai masa prtorombin (PT) dan activated

partial thromboplastin time (aPTT) memanjang dengan kadar trombosit

dan fibrinogen normal. Adanya respon yang baik setelah pemberian

vitamin K serta perbaikan nilai PT dapat dijadikan konfirmasi diagnosis.

2. Pemeriksaan faktor pembekuan yang tergantung vitamin K.

3. Pemeriksaan kadar vitamin K secara direk atau indirek. Pemeriksaan

konsentrasi vitamin K dalam plasma dengan teknin Fluorometric

Detection dimana kadar normal pada orang dewasa 0,55 ng/l. Dapat juga

dilakukan pemeriksaan vitamin K total dengan pemeriksaan metabolit

Aglycon dalam urin dengan teknik High Performance Liquid

Chromatograph (HPLC).

c. Pemeriksaan penunjang, seperti USG, CT Scan atau MRI dapat dilakukan

untuk melihat lokasi perdarahan, misalnya jika dicurigai terjadi

perdarahan intrakranial.

2.2.8 Pencegahan

Pencegahan perdarahan akibat defisiensi vitamin K dapat dicegah

dengan pemberian vitamin K setelah kelahiran dengan tujuan jangka panjang

hingga tubuh anak mampu mencukupi kebutuhan vitamin K-nya sendiri.

Pemberian satu dosis intramuskular sudah dapat mencegah perdarahan onset

13

awal, klasik dan lambat. Pemberian satu dosis oral hanya mencegah onset dini

dan klasik. Berikut beberapa rekomendasi pencegahan PDVK berdasarkan

onset kejadiannya (NHMRC, 2010):

a. PDVK onset awal, dapat muncul pada saat kelahiran sehingga

direkomendasikan bagi wanita yang menjalani pengobatan yang dapat

mempengaruhi metabolisme vitamin K harus menerima 20 mg vitamin K

harian selam 2 minggu sebelum kelahiran. Selain itu, bagi bayi yang lahir

dari seorang ibu tersebut harus menerima vitamin K intramuskular

sesegera mungkin setelah lahir.

b. PDVK klasik dapat dicegah dengan pemberian dosis tunggal vitamin K

yang dapat diberikan secara intramuskular maupun oral saat setelah

kelahiran.

c. PDVK onset lambat, direkomendasikan dengan pemberian dosis tunggal

vitamin K 1 mg secara intramuskular ketika kelahiran.

Di Indonesia rekomendasi pemberian vitamin K profilaksis diajukan

Health Technology Assesment (HTA) Departemen Kesehatan RI tahun 2003.

Rekomendasi yang diajukan HTA adalah sebagai beikut (HTA, 2003):

1. Semua bayi baru lahir harus mendapat profilaksis vitamin K1.

2. Jenis vitamin K yang digunakan adalah vitamin K1.

3. Cara pemberian vitamin K1 adalah secara intramuskular atau oral.

4. Dosis yang diberikan untuk semua bayi baru lahir adalah:

a. Intramuskular, 1 mg dosis tunggal atau

b. Oral, 3 kali masing-masing 2 mg, diberikan pada waktu bayi

baru lahir, umur 3-7 hari, dan pada saat bayi berumur 1-2 bulan.

14

5. Untuk bayi yang lahir ditolong oleh dukun maka diwajibkan pemberian

profilaksis vitamin K1 secara oral.

6. Kebijakan ini harus dikoordinasikan bersama Direktorat Pelayanan Farmasi

dan Peralatan dalam penyediaan vitamin K1 dosis injeksi 2 mg/ml/ampul,

vitamin K1 dosis 2 mg/tablet yang dikemas dalam bentuk strip 3 tablet atau

kelipatannya.

7. Profilaksis vitamin K1 pada bayi baru lahir dijadikan sebagai program

nasional.

2.2.9 Cara pemberian vitamin K

Cara pemberian profilaksis injeksi vitamin K1 adalah sebagai berikut

(KEMENKES, 2011):

a. Masukkan vitamin K1 ke dalam semprit sekali pakai steril 1ml, kemudian

disuntikkan secara intramuskular di paha kiri bayi bagian anterolateral

sebanyak 1 mg dosis tunggal, diberikan paling lambat 2 jam setelah lahir.

b. Vitamin K1 injeksi diberikan sebelum pemberian imunisasi hepatitis B

dengan selang waktu 1-2 jam

c. Pemberian Vitamiin K1 (paha kiri anterolateral)

Persiapan Melakukan Suntikan Intra Muskular

1. Letakan bayi dengan posisi punggung di bawah

2. Lakukan desinfeksi pada bagian tubuh bayi yang akan diberikan

suntikan intramuskular (IM). Muskulus Kuadriseps pada bagian

antero lateral paha (lebih dipilih karena resiko kecil terinjeksi secara

IV atau mengenai tulang femur dan jejas pada nervus skiatikus)

Cara Memberikan Suntikan Intra Muskular

15

1. Pilih daerah otot yang akan disuntik. Untuk memudahkan identifikasi

suntikan vitamin K1 di paha kiri dan suntikan imunisasi Hepatitis B

di paha kanan.

2. Bersihkan daerah suntikan dengan kasa atau bulatan kapas yang telah

direndam dalam larutan antiseptik dan biarkan mengering.

3. Yakinkan bahwa jenis dan dosis obat yang diberikan sudah tepat.

4. Isap obat yang akan disuntikkan kedalam semprit dan pasang

jarumnya.

5. Bila memungkinkan pegang bagian otot yang akan disuntik dengan

menggunakan ibu jari dan jari telunjuk.

6. Dengan satu gerakan cepat, masukkan jarum tegak lurus melalui kulit

7. Tarik tuas semprit perlahan untuk meyakinkan bahwa ujung jarum

tidak menusuk dalam vena

a. Bila dijumpai darah:

i. Cabut jarum tanpa menyuntikkan obat

ii. Pasang jarum steril yang baru ke semprit

iii. Pilih tempat penyuntikkan yang lain

iv. Ulangi prosedur diatas

b. Bila tidak dijumpai darah, suntikkan obat dengan tekanan kuat

dalam waktu 3-6 detik.

8. Bila telah selesai, tarik jarum dengan sekali gerakan halus dan tekan

dengan bola kasa steril kering

9. Catat tempat penyuntikan untuk memudahkan identifikasi

16

2.2.10 Penatalaksanaan

Bayi yang dicurigai mengalami PDVK harus segera mendapatkan penanganan

sebagai berikut:

a. Vitamin K1 dengan dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari secara subkutan (Permono,

2005). Untuk kasus yang berat dapat diberikan 2 mg dua atau tiga dosis dengan

interval 4-8 jam. Pemberian intramuskular tidak dianjurkan untuk pengobatan

PDVK karena dapat menyebabkan hematom yang besar pada tempat suntikan, dan

lebih cepat absorbsninya apabila diberikan secara subkutan (Ervani, 2008).

b. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat dipertimbangkan pada bayi dengan

perdarahan yang luas dengan dosis 10-15 ml/kg, meningkatkan kadar faktor

koagulasi tergantung vitamin K sampai 0,1-0,2 unit/ml. Respon pengobatan terjadi

dalam waktu 4-6 jam, ditandai dengan berhentinya perdarahan dan pemeriksaan

faal hemostasis yang membaik. Jika tidak ada perbaikan dalam 24 jam pada kasus

bayi aterm kemungkinan terdapat kelainan yang lain misalnya penyakit hati

(Ervani, 2008).

c. Pada perdarahan yang hebat dengan penurunan Hb di bawah 12 mg/dl, dapat

diberikan Packed Red Cells (PRC) (Ervani, 2008).

d. Pada perdarahan yang mengancam jiwa seperti perdarahan intrakranial, untuk

memperbaiki hemostasis secara cepat dapat diberikan Prothrombin Complex

Concentrates (PCCs) (Ervani, 2008).

2.2.11 Kontroversi pemberian vitamin K profilaksis

Penelitian yang dilakukan Golding dkk. memaparkan bahwa ada hubungan

antara pemberian vitamin K intramuskular pada bayi baru lahir dengan peningkatan

insiden kanker pada anak. Penelitian Golding ini mendapat perhatian khusus para ahli.

17

Untuk mengkaji ulang penelitian Goding dkk. Draper dan Stiller menggunakan data

dari National Registry of Childhood Cancer, mereka memperkirakan jumlah insidensi

leukemia pada anak. Tiga sumber data, termasuk data dari penelitian Golding dkk.

dianalisis dan ternyata penelitian mereka gagal menunjukkan adanya hubungan antara

peningkatan penggunaan vitamin K intramuskular dengan peningkatan insidensi

leukemia pada anak (Blackmon, 2003).

The American Academy of Pediatrics juga mengkaji ulang laporan dari

Golding dkk. dan informasi lain yang berkaitan dengan pengalaman di Amerika

Serikat dan menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian vitamin K

intramuskular dengan insidensi leukemia ataupun kanker lainnya pada anak.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Ross dan Davies yang mempublikasikan hasil dari

pengkajian ulang pada tahun 2000. Mereka menemukan bukti bahwa tidak adanya

hubungan vitamin K intramuskular dengan kejadian kanker pada anak. Hasil

penelitian mereka adalah dari sepuluh kasus kontrol telah diidentifikasi, tujuh

diantaranya tidak ada hubungan dan tiga lainnya menunjukkan hubungan yang lemah

(Blackmon, 2003).

18

BAB III

KESIMPULAN

Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) didefinisikan sebagai

perdarahan spontan atau akibat trauma pada bayi yang berhubungan dengan defisiensi

vitamin K dan menurunnya aktifitas faktor pembekuan II, VII, IX dan X. PDVK

memiliki insidensi 1: 100 kelahiran di dunia. Dibeberapa negara Asia angka kesakitan

bayi karena PDVK berkisar antara 1: 1.200 sampai 1 : 1.400 kelahiran hidup. PDVK

diklasifikasikan berdasarkan usia timbulnya manifestasi yang terbagi menjadi onset

awal, klasik, lambat dan sekunder.

Defisiensi vitamin K pada bayi baru lahir disebabkan oleh berbagai faktor antara

lain karena rendahnya cadangan vitamin K pada saat lahir, prematuritas, kadar

vitamin K yang rendah dalam air susu ibu, dan terlambatnya kolonisasi bakteri usus.

Kadar vitamin K yang rendah menyebabkan tidak terjadinya aktivasi serangkaian

kaskade pembekuan darah. Manifestasis klinis yang sering ditemukan adalah

perdarahan yang dapat terjadi spontan atau akibat trauma terutama trauma lahir.

Diagnosis PDVK ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa yang difokuskan

terhadapa awitan perdarahan, lokasi perdarahan, pemberian ASI eksklusif atau

formula, dan riwayat ibu minum obat-obatan tertentu. Pemeriksaan laboratorium

seperti skrining perdarahan, dijumpai masa prtorombin (PT) dan activated partial

thromboplastin time (aPTT) memanjang dengan kadar trombosit dan fibrinogen

normal. Adanya respon yang baik setelah pemberian vitamin K serta perbaikan nilai

PT dapat dijadikan konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang lain, seperti USG,

CT Scan atau MRI juga dapat dilakukan untuk melihat lokasi perdarahan, misalnya

jika dicurigai terjadi perdarahan intrakranial.

19

Pencegahan PDVK dapat dilakukan dengan rekomendasi pemberian vitamin K

profilaksis yang diajukan Health Technology Assesment (HTA) Departemen

Kesehatan RI tahun 2003 yaitu semua bayi baru lahir harus mendapat profilaksis

vitamin K1 yang dapat diberikan dengan cara intramuskular atau oral. Intramuskular,

diberikan sebanyak 1 mg dosis tunggal atau secara oral, dengan tiga kali pemberian

yaitu pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari, dan pada saat bayi berumur 1-2

bulan.

Bayi yang dicurigai mengalami PDVK harus segera mendapatkan penanganan

dengan pemberian vitamin K1 dengan dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari secara

subkutan. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat dipertimbangkan pada bayi

dengan perdarahan yang luas dengan dosis 10-15 ml/kg. Pada perdarahan yang hebat

dengan penurunan Hb di bawah 12 mg/dl, dapat diberikan Packed Red Cells (PRC).

Pada perdarahan yang mengancam jiwa seperti perdarahan intrakranial, untuk

memperbaiki hemostasis secara cepat dapat diberikan Prothrombin Complex

Concentrates (PCCs).

Kontroversi dalam pemberian vitamin K secara intramuskular pernah menjadi

perhatian khusus karena penelitian yang dilakukan oleh Golding dkk. memaparkan

bahwa ada hubungan antara pemberian vitamin K intramuskular pada bayi baru lahir

dengan peningkatan insidensi kanker pada anak. Namun hasil penelitian ini banyak

ditolak setelah dilakukan pengkajian ulang oleh beberapa peneliti, yang

menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian vitamin K intramuskular

dengan insidensi leukemia ataupun kanker lainnya pada anak.

20

DAFTAR PUSTAKA

Asrul, Ervani, N, Lubis, BM, Azlin, E, Emsyah, L, Lubis, B, Tjipta, GD 2007, ‘Perbandingan Pemberian Vitamin K Dosis Tunggal Intramuskular pada Bayi Prematur dan Aterm Terhadap Masa Protrombin’, Sari Pediatri, vol. 9, hal. 17-22.

Bakta, IM 2007, Hematologi Klinik Ringkas, EGC, Jakarta.

Blackmon, L, Batton, DG, Bell, EF, Engle, WA, Kanto, WP, Martin, GI, Rosenfeld, W, Stark, AR 2003, ‘Controversies Concerning Vitamin K and the Newborn’, American Academy of Pediatrics, vol.112, hal.191-192.

Ervani, N 2008, Perbandingan Masa Protrombin Setelah Pemberian Vitamin K Dosis Multipel Oral dengan Dosis Tunggal Intramuskuler pada Bayi Aterm, Tesis, Universitas Sumatera utara, Medan.

Health Technology Assesment 2003, Pemberian Profilaksis Vitamin K pada Bayi Baru Lahir, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Isarangkura, P, dan Chuansumrit, A 1999, ‘Vitamin K Deficiency in Infants’, Thailand, hal. 154-159.

KEMENKES RI 2011, Pedoman Teknis Pemberian Injeksi Vitamin K1 Profilaksis pada Bayi Baru Lahir, Direktorat Bina Kesehatan Anak, Jakarta.

Murray, RK, Granner, DK, Mayes PA, Rodwell, VW 2003, Biokimia Harper, EGC, Jakarta.

NHMRC (National Health and Medical Research Council) 2010, Joint statement and recommendations on Vitamin K administration to newborn infants to prevent vitamin K deficiency bleeding in infancy – October 2010, Australian Government, Australia.

Permono, B 2005, ‘Perdarahan yang Terjadi Akibat Defisiensi Kompleks Protrombin’, Kuliah Pengantar, Divisi Hematologi Onkologo Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo FK Unair, Surabaya.

Unal, E, Ozsoylu, S, Bayram, A, Ozdemir, MA, Yilmaz, E, Canpolat, M, Tumturk, A, dan Per, H 2014, ‘Intracranial Hemorrhage in Infants as a Serious, and Preventable Consequence of Late Form of Vitamin K Deficiency’, Childs Nerv Syst, vol. 30, hal, 1375-1382.

21