antihistamin ( hemaa)

28
CLINICAL SCIENCE SESSION ANTIHISTAMIN Disusun oleh : Then Moli Othayamoorthy 1301- 1209- 3066 Hemaarubeni Murugan 1301- 1210- 0219 Mohd Nizam Bin Roslan 1301- 1210- 0251 Preceptor : dr. Inne Arline Diana, SpKK (K) 1

Upload: abu-ridhuwan

Post on 19-Jan-2016

66 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

CLINICAL SCIENCE SESSION

ANTIHISTAMIN

Disusun oleh :

Then Moli Othayamoorthy 1301- 1209- 3066 Hemaarubeni Murugan 1301- 1210- 0219 Mohd Nizam Bin Roslan 1301- 1210- 0251

Preceptor :

dr. Inne Arline Diana, SpKK (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTERBAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKINFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG 2010

1

Page 2: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

ANTIHISTAMIN

ABSTRAK

Antihistamin (AH) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau

menghambat kerja histamine pada reseptornya. Antihistamin secara luas telah

digunakan sebagai pengobatan dalam bidang dermatologi, terutama antihistamin

H1 dan H2. Secara umum, AH dapat menghambat efek yang ditimbulkan oleh

histamine, yaitu menghambat vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler

yang secara klinis berupa eritem, urtika dan rasa gatal. Antihistamin yang sering

digunakan yaitu; klorferamin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin, cetirizin dan

feksofenadin.

I. PENDAHULUAN

Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau

menghambat kerja histamin pada reseptornya. Histamin sendiri berasal dari

bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan, adalah autakoid yang berperan

penting pada aktivitas organ tubuh baik pada proses yang fisiologis maupun

patologis

Aktivitas blokade histamin pertama kali diketahui pada tahun 1937 oleh

Bovet dan Staub pada sebuah rangkaian amin dengan fungsi eter fenolik. Senyawa

ini, 2-isopropil-5-metilfenoksietildietilamin, melindungi hewan percobaan dari

berbagai dosis letal histamin, mengantagonisasi spasme berbagai otot polos yang

diinduksi oleh histamin, dan menurunkan gejala-gejala renjatan anafilaksis.

Senyawa ini terlalu toksis untuk penggunaan klinis, tetapi pada tahun 1944, Bovet

dkk telah memperkenalkan pirilamin maleat yang hingga saat ini masih menjadi

salah satu antagonis histamin yang efektif, selanjutnya diikuti perkembangan

antihistamin di Amerika yang bersifat kurang toksik seperti tripelenamin,

difenhidramin dan prometazin pada tahun 1945 dan 1946. Antara akhir tahun

1980-an hingga 1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari antihistamin 1

yang tidak menembus sawar otak untuk mengurangi efek sedasi yang sering

mengganggu. Antihistamin golongan ini sering disebut sebagai antihistamin

2

Page 3: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

generasi kedua atau antihistamin non-sedasi. Terfenadin dan astemizole

merupakan antihistamin generasi kedua yang pertama kali dikeluarkan, namun

pada beberapa penelitian di Amerika, terfenadin dan astemizol sudah ditarik dari

peredaran karena memiliki bahaya interaksi obat yang serius berupa pemanjangan

Q-T interval. Dengan adanya efek kardiotoksik ini maka dikembangkan suatu

antihistamin yang non-kardiotoksik dan non-sedatif seperti desloratadin,

levocetirizin dan fexofenadin.

Antagonis reseptor H2 pertama kali disintesis pada tahun 1969. Reseptor

H2 terdapat pada pembuluh darah, jantung, kulit dan lambung , sedangkan

reseptor H3 pada manusia diyakini terdapat dalam otak dan paru, tetapi tidak

terdapat di kulit. Reseptor histamin intraseluler dan reseptor H4 dilaporkan

terdapat pada sel-sel dan jaringan tubuh, dan seperti halnya reseptor H3, tidak

terdapat di kulit.

Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan

sebagai terapi. Sangatlah penting untuk mengetahui farmakologi antihistamin

yang akan diberikan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai klasifikasi,

farmakologi, efek samping maupun beberapa penggunaan klinis dari antihistamin

terutama antihistamin (AH1) baik klasik maupun non sedasi yang sering

digunakan diantaranya klorfeniramin, difenhidramin, hidroksizin, loratadin,

cetirizin dan fexofenadin.

II. KLASIFIKASI

1. Antihistamin tipe H-1

a. AH-1 generasi I (klasik/sedatif)

Yang termasuk golongan ini adalah:

Alkilamin (propilamin) : bromfeniramin maleat, klorfeniramin

maleat dan tanat, deksbromfeniramin maleat, deksklorfeniramin

maleat, dimentinden maleat, tripolidin hidroklorida, feniramin

maleat/pirilamin maleat

3

Page 4: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

Etanolamin (Aminoalkil eter) :karbioksamin maleat, difenhidramin

sitrat dan hidroklorida, doksilamin suksinat, embramin

hidroklorida, mefenhidramin metilsulfat, trimetobenzamin sitrat,

dimenhidrinat, klemastin fumarat

Etilendiamin : mepiramin maleat, pirilamin maleat, tripenelamin

sitrat dan hidroklorida, antazolin fosfat

Fenotiazin : dimetotiazin mesilat, mekuitazin, metdilazin dan

metdilazin hidroklrida, prometazin hidroklorida dan teoklat,

trieprazin tartrat

Piperidin : azatadin maleat, siproheptadin hidroklorida,

difenilpralin hidroklorida, fenindamin tartrat

Piperazin : hidroksizin hidroklorida dan pamoat (fitzpatrick)

Rumus bangun

Antihistamin pada umumnya

Difenhidramin Tripelenamin

4

Page 5: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

Ciproheptadin Hidroksizin

Klorfeniramin Prometazin

b . AH-1 non sedatif (AH-1 GENERASI II dan III )

Beberapa AH-1 yang diperkenalkan dalam 2 dekade terakhir

ditemukan dengan cara menyaring beberapa komponen dan secara kimia

berhubungan AH-1 generasi yang lama. Sebagai contoh misalnya:

akrivastin berhubungan dengan tripolidin, cetirizin adalah metabolit dari

hidroksizin, levocetirizin adalah enantiomer dari cetirizin, desloratadin

adalah metabolik dari terfenadin.

- AH 1 generasi II

Yang termasuk golongan ini adalah:

Akrivastin

Astemizole

Cetirizin

Loratadin

Mizolastin

Terfenadin

Ebastin

-

Rumus bangun

5

Page 6: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

Cetirizine

- AH-1 generasi III

Yang termasuk golongan ini adalah:

Levocetirizin

Desloratadin

Fexofenadin

Rumus bangun

Fexofenadine Desloratadine

Levocetirizine

6

Page 7: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

2. Antihistamin tipe H-2

Yang termasuk golongan ini adalah :

Simetidin

Ranitidin

Famotidin

Nizatidin

Rumus bangun

7

Page 8: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

Nizatidine

III. Antihistamin tipe H1 Klasik

a ) Mekanisme kerja:

Antihistamin tipe H1 bekerja sebagai competitif inhibitor terhadap

histamin pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan dan

mengaktivasi reseptornya. Ikatannya antara antihistamin dan reseptornya bersifat

reversibel dan dapat digantikan oleh histamin dalam kadar yang tinggi. Dengan

menghambat kerja dari histamin, terjadi berbagai pengaruh yang ditimbulkan

antihistamin, yaitu menghambat peningkatan permeabilitas kapiler dan edema

yang disebabkan oleh histamin serta menghambat vasokonstriksi. Obat ini lebih

efektif jika diberikan sebelum pelepasan histamin. Pada pemberian awal,

antihistamin dapat mencegah edema dan pruritus selama reaksi hipersensitivitas,

sehingga banyak keuntungan yang didapat jika digunakan untuk pencegahan

urtikaria kronik idiopatik. Antihistamin tipe H1 klasik ini juga memiliki aktivitas

antikolinergik, efek anestesi lokal, antiemetik, dan anti mabuk perjalanan.

Beberapa antihistamin tipe H1 mempunyai kemampuan untuk menghambat

reseptor α-adrenergik atau reseptor muskarinik kolinergik, sedangkan obat lain

mempunyai efek antiserotonin.

b) Farmakologi

Setelah pemberian secara oral, antihistamin akan diabsorbsi dengan baik

dalam saluran cerna. Efeknya dapat terlihat dalam 30 menit, mencapai konsentrasi

puncak plasma dalam 1-2 jam, dan dapat bertahan 4-6 jam, dan beberapa obat

lainnya dapat bertahan lebih lama. Antihistamin tipe H1 dimetabolisme oleh

sistem enzim sitokrom hepar P450 (CYP) CYP3S4, dikonjugasi membentuk

glukuronida dan hampir seluruhnya diekskresikan ke urin setelah 24 jam

pemberian.

8

Page 9: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

c ) Kegunaan klinis

Antihistamin tipe H1 generasi I digunakan untuk menghilangkan pruritus,

pengobatan urtikaria akut, urtikaria kronis, angioedema dan reaksi alergi kulit

lainnya temasuk reaksi obat. Apabila salah satu dari kelompok antihistamin tipe

H1 tidak efektif, maka dapat diganti dengan obat dari kelompok yang lain.

Antihistamin tipe H1 digunakan untuk terapi pruritus pada penderita

dermatitis atopik. Efeknya berhubungan dengan menekan ansietas dan sedasinya.

Pruritus yang disebabkan hal lain, seperti dermatitis kontak alergi dan bentuk lain

dermatitis, liken planus, gigitan nyamuk dan pruritus yang terjadi sekunder karena

penyakit lain atau yang bersifat idiopatik, juga dapat dihilangkan dengan

penggunaan antihistamin tipe H1.

Kontraindikasi pemberian obat ini adalah pada bayi baru lahir atau bayi

prematur, kehamilan, ibu menyusui, glaukoma sudut sempit, retensi urin, dan

asma.

Panduan penggunaan antihistamin tipe H1 wanita hamil terbatas. Sebagian

besar antihistamin tipe H1 pada wanita hamil oleh United States of Food and Drug

Administration (FDA) digolongkan sebagai kategori B atau C.a

d) Efek samping:

Sifat lipofilik dari antihistamin AH1 klasik menyebabkan distribusi

jaringan yang luas dan dapat melewati sawar darah otak, plasenta dan air susu ibu,

karena itu dapat memberikan efek pada:

Sistem saraf pusat

Komplikasi tersering pada orang dewasa adalah depresi SSP,

sedasi dan pusing. Pada anak-anak dan orang tua dapat terjadi:

kecemasan, iritabilitas, insomia, tremor dan mimpi buruk.

Bangkitan dapat terjadi, walaupun jarang. Pernah dilaporkan

terjadinya diskinesia wajah dan mulut pada penggunaan kombinasi

antihistamin-dekongestan.

Gastrointestinal

Dapat terjadi mual, muntah, anoreksia, konstipasi dan diare.

9

Page 10: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

Jantung

Takikardia, disritmia, hipotensi yang bersifat sementara

Genitourinaria

Disuria, disfungsi ereksi, retensi urin

Darah

Klorfeniramin dapat menebabkan pansitopenia, agranulositosis,

trombositopenia, leukopenia dan anemia aplastik.

Kulit

Reaksi kulit yang dapat terjadi berupa dermatitis, petekie, fixed

drug eruption dan fotosensitif.

Efek samping lainnya

Terdapat efek samping antikolinergik yang dapat berupa muka

merah, dilatasi pupil, hipertermia kekeringan pada membran

mukosa dan penglihatan yang buram.

e) Interaksi obat

Efek depresi SSP akan semakin meningkat apabila antihistamin tipe H1

diminum bersamaan dengan alkohol atau obat lain yang bersifat depresif terhadap

SSP seperti diazepam. Antihistamin kelompok fenotiazin menghambat dan

sebaliknya epinefrin mempunyai efek vasosupresi. Kontra indikasi pemberian

antihistamin tipe H1 adalah penderita yang mendapat inhibitor monoamine

oksidase, seperti isokarboksazid, nialamid, moklobemid, ranilsipromin, fenelzim.

IV . Antihistamin H1 Non Sedatif

a) Mekanisme kerja

Antihistamin tipe H1 non sedatif merupakan antagonis dari histamin pada

reseptor H1,berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti oleh histamin,

dilepaskan secara perlahan dan kerjanay lebih lama. Antihistamin H1 non sedatif

ini kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih

mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik. Walaupun golongan ini

sering dikatakan nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan efek sedasi,

10

Page 11: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih sedikit

dibandingkan antihistamin H1 klasik, demikian pula efek antikolinergiknya lebih

jarang terjadi dibanding antihistamin H1 klasik. Salah satu penelitian yang

membandingkan efek sedasi dari 4 macam antihistamin nonsedatif yang berbeda,

yaitu loratadin, akrivastin, setirisin dan feksofenadin, didapatkan hasil loratadin

paling tidak menyebabkan sedasi, kemudian secara berurutan diikuti oleh

feksofenadin, akrivastin dan setirisin. Setirisin memiliki efek anti inflamasi seperti

hambatan aktivasi eosinofil, neutrofil, limfosit dan kemotaksis dengan jalan

menghambat:

- Adhesi leukosit ke endotel

- Efek kemotaksis sehingga terjadi migrasi melalui jaringan ke tempat

radang

- Aktivasi sel radang/ pelepasan mediator

- Ekspresi adhesi molekul oleh endotel/sel target

b) Farmakodinamik dan farmakokinetik:

Antihistamin tipe H1 non sedatif diabsorbsi dari saluran cerna dan

mencapai puncak konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut dapat

menghilangkan urtikaria dan reaksi eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin,

astemisol, loratadin, aktivastin, mizolastin, ebastin dan oksatomid dimetabolisme

di hepar melalui sistem enzim sitokrom P450 3A4 dalam hepar. Setirisin,

feksofenadin, dan desloratadin tidak dimetabolisme dalam hepar.

Astemisol mempunyai efek jangka panjang dibandingkan dengan AH-1

yang lain. Astemisol mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor H1

sehingga khasiat anti urtikaria masih dapat berlangsung 4 minggu setelah obat

dihentikan. Waktu paruh eliminasi setirisin dan feksofenadin pada anak-anak

sama dengan dewasa yaitu 7-8 jam.

c) Kegunaan klinis

Antihistamin tipe H1 non sedatif digunakan terutama untuk pengobatan

rinitis alergi dan urtikaria kronis.

11

Page 12: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

d) Kontraindikasi

Kehamilan

Ibu menyusui

e) Efek samping

Antihistamin ini memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang sedikit,

sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan

antihistamin tipe H-1 klasik.

Sistem saraf pusat

Dalam beberapa penelitian dikatakan tefenadin, astemizol dan loratadin

memiliki efek sedasi yang lebih rendah dibandingkan antihistamin H1 klasik.

Kardiovaskular

Efek samping kardiovaskular berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan interval

QT serta aritmia ventrikular torsades de pointes yang berhubungan dengan

pemakaian astemizol dan terfenadin. Kelainan ini dapat terjadi terutama pada

wanita dan penderita dengan kelainan jantung organik yang sebelumnya telah

ada (seperti iskemia, kardiomiopati), aritmia, ataupun penderita dengan

gangguan elektrolit (seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia)

Hepar

Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus hepatitis yang

berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5 bulan. Peningkatan

serum transaminase dengan kadar ringan sampai sedang dapat terjadi.

Kulit

Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta pengelupasan

kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya reaksi fotoalergi dan

alopesia yang diduga berhubungan dengan penggunaan terfenadin. Dilaporkan

juga suatu kasus psoriasis yang mengalami eksaserbasi selama menggunakan

terfenadin.

Efek samping lainnya

Dilaporkan adanya sakit kepala, mual, kekeringan pada mukosa mulut dan

beberapa efek antikolinergik lainnya, namun insidensinya sangat rendah.

12

Page 13: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

Karena terbatasnya penelitian pada manusia, penggunaan antihistamin non

sedasi pada wanita hamil dan ibu menyusui sebaiknya dihindari.

f) Interaksi obat

Perpanjangan interval QT dapat terjadi pada penderita yang

mengkonsumsi terfenadin bersamaan dengan ketokonazol dan itrakonazol,

antibiotik makrolid, seperti eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin,

lovastatin, protease inhibitor dan flavonoid, seperti naringin dalam grapefruit

juice.

Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar

antihistamin serum dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human

Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective Serotonin

Reuptake Inhibitors (SSRI) antidepresant, seperti quinin, zileuton.

V. Klorfeniramin

Klorfeniramin merupakan antihistamin sedatif dari golongan alkilamin

yang paling poten dan stabil. Setelah pemberian dosis tunggal per oral,

klorfeniramin diabsorbsi dengan baik dan cepat pada saluran pencernaan,

mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 30-60 menit, melalui metabolisme

pertama di hati dan di mukosa saluran pencernaan selama proses absorbsi,

kemudian didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh termasuk susunan saraf

pusat. Sebanyak 50% dari dosis yang diberikan diekskresikan terutama melalui

urin dalam waktu 12 jam dalam bentuk asal dan metabolitnya.

Lama kerja dari klorfeniramin adalah 4-6 jam. Dosis yang diberikan 4-6

mg peroral dapat diberikan 3-4x/hari, dengan dosis maksimal 24 mg per hari baik

pada anak-anak dan dewasa.

Sediaan:

- Klorfeniramin elixir, 2 mg/5ml: 120 ml, 480 ml

- Klorfeniramin tablet 2 mg dan 4 mg

- Klorfeniramin retarded tablet 8 mg dan 12 mg

VII. Difenhidramin

13

Page 14: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

Difenhidramin adalah derivat etanolamin yang sering digunakan dalam

praktek sehari-hari, diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral. Obat ini

mengalami metabolisme pertama di hati, dan hanya 40%-60% dari dosis

pemberian yang mencapai sirkulasi sistemik, didistribusikan secara luas ke

seluruh tubuh, termasuk sistem saraf pusat. Kadar puncak plasma dicapai dalam

waktu kurang lebih 1-5 jam dan bertahan selama 2 jam. Waktu paruh bervariasi

dari 2,4 sampai 10 jam.

Difenhidramin tidak dapat diberikan secara subkutan, intradermal atau

perivaskular karena sifatnya yang iritatif dan dapat menyebabkan nekrosis

setempat pada pemberian secara subkutan dan intradermal. Difenhidramin tidak

dapat menembus jaringan kulit yang intak pada pemberian secara topikal, bahkan

dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas.

Dosis pemberian adalah 25 mg-50 mg per oral, dosis maksimal 300

mg/hari, dengan lama kerja 4-6 jam. Pemberian 100 mg atau lebih dapat

menyebabkan hipertensi dan takikardia.

Sediaan :

- Difenhidramin kapsul 25 dan 50 mg

- Difenhidramin elixir (12,5 mg/5 ml): 120 cc, 480 cc

- Difenhiramin injeksi (50 mg/ml) : 1 ml ampul

- Difenhidramin spray : 60 ml4

VIII. Hidroksizin

Hidroksizin merupakan derivat dari piperazin, sering digunakan sebagai

transquilizer, sedatif, antipruritus dan antiemetik. Kadar plasma biasanya dicapai

14

Page 15: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

dalam 2-3 jam setelah pemberian per oral, dengan waktu paruh 6 jam kemudian

diekskresikan ke dalam urin. Hidroksizin merupakan obat pilihan untuk

pengobatan dermatografisme dan urtikaria kolinergik, dapat digunakan sendirian

ataupun kombinasi dengan antihistamin lainnya untuk manajemen pengobatan

urtikaria kronis, urtikaria akut, dermatitis kontak, dermatitis atopik dan pruritus

yang diinduksi oleh histamin. Lama kerja dari obat ini adalah 6-24 jam dengan

dosis pemberian 10 mg sampai 50 mg peroral, setiap 4 jam

Sediaan:

- Hidroksizin tablet 10 mg, 25 mg, 50 mg dan 100 mg

- Hiroksizin injeksi 25 mg/ml, 50 mg/ml

- Hidroksizin sirup 10 mg/5ml: 240 ml, 480 ml

IX. Loratadin

Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas

yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis

yang direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja

yang lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal

aktifnya.

Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari

dan mencapai konsentrasi plasma maksimum dalam 1-1,5 jam. Eliminasi waktu

paruhnya sekitar 8-11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air

susu 0,029%. Loratadin diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik

idiopatik pada pasien diatas 6 tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi

dari miokardial potasium channel tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung.

15

Page 16: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

Loratadin merupakan long acting antihistamin dengan lama kerja 24 jam.

Dosis yang direkomendasikan 10 mg dosis oral, pada anak-anak (< 30 kg) adalah

5 mg/kg BB dosis tunggal. Meskipun loratadin tidak mempunyai kontraindikasi

pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan untuk mengurangi dosis yang

diberikan.

Sediaan:

- Loratadin sirup (1 mg/ml): 480 ml

- Loratadin tablet 10 mg

- Loratadin reditabs 10 mg

X. Cetirizin

Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksin. Obat ini pada manusia

hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi bentuk metabolit

aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena cetirizin cepat diabsorbsi

dan sedikit yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin, maka dosis obat

ini harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal.

Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar

7 jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%. Cetirizin dapat

menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta

menurunkan prostaglandin D2. Cetirizin diindikasikan untuk terapi urtikaria

kronik di Amerika Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin

untuk kondisi ini dan juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urtikaria.

Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg)

dosis tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien dengan

16

Page 17: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari. Lama

kerja dari cetirizin adalah 12-24 jam.

Sediaan:

- Cetirizin tablet 5 mg, 10 mg

- Cetirizin sirup 5mg/ml: 120 ml

XII. Feksofenadin

Feksofenadin, metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor

kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping

antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik.

Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua

kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma maksimum 1-3

jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada protein plasma sekitar

60-70%, terutama pada albumin dan 1-acid gylcoprotein. Waktu paruh

feksofenadin adalah 11-15 jam, diekskresikan sebanyak 80% pada urine dan 12%

pada feses.

Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis alergi dan urtikaria

idiopatik kronis. Pemberian feksofenadin bersama antibiotik golongan makrolid

dan obat anti jamur golongan imidazol tidak menunjukkan adanya interaksi obat

sehingga tidak terdapat pemanjangan interval QT.

Sediaan :

- Feksofenadin kapsul 30 dan 60 mg

- Feksofenadin tablet 60 mg

17

Page 18: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

RINGKASAN

Antihistamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau

menghambat kerja histamin pada reseptornya. Anti histamin tipe H1 banyak

digunakan dalam bidang dermatologi, terbagi atas AH-1 sedatif dan AH-1 non

sedatif.

Antihistamin sedatif bersifat lipofilik, sehingga dapat terdistribusi secara

luas terutama pada sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan depresi SSP.

Antihistamin non sedatif kurang bersifat lipofilik dan sangat sedikit menembus

sawar darah otak, sehingga efek samping yang terjadi lebih sedikit bila

dibandingkan dengan AH-1 yang sedatif.

Terfenadin dan astemisol dapat menyebabkan perpanjangan interval QT,

aritmia dan takikardi ventrikular (torsades de pointes), penggunaannya dapat

digantikan oleh feksofenadin yang bersifat non kardiotoksik. Setirisin

berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya, pelepasan

atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi molekul adhesi.

Antihistamin yang sering digunakan diantaranya adalah klorfeniramin,

difenhidramin, hidroksizin, loratadin, setirisin, dan feksofenadin.

18

Page 19: ANTIHISTAMIN ( HEMAA)

DAFTAR PUSTAKA

1. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York:

McGraw-Hill Incorporation; 2003.h.2420-6

2. Comprehensive dermatologic drug therapy. Edisi ke-1. New York: W.B.

Saunders Company; 2001.h.360-74

3. Systemic drugs for skin diseases. Edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders

Company; 1991.h.285-321

4. Manual of dermatologic therapeutics with essentials of diagnosis. Edisi

ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company; 2002.h.294-303

5. Goodman & Gillman’s the pharmacological basis of therapeutics. Edisi

ke-6. New York: Mc Graw-Hill Publisher; 2001.h.645-67

19