antibiotika topikal
DESCRIPTION
antibiotik topikalTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pada umumnya, antibiotika topikal memegang peranan penting pada penatalaksanaan
kasus-kasus dermatologi. Antibiotika topikal ini paling sering diresepkan oleh para
dermatologis untuk menangani Akne Vulgaris dengan derajat penyakit ringan hingga sedang
dan juga sebagai terapi adjuvan dengan obat-obatan lain yang dengan cara peroral. Pada
infeksi kulit superfisial seperti Impetigo, penggunaan antibiotik topikal (contohnya
Mupirocin) dapat menghilangkan kebutuhan terhadap antibiotika peroral yang bersifat
sistemik, sehingga tidak terdapat efek samping seperti gangguan gastrointestinal dan juga
tidak terdapat interaksi yang tidak diinginkan dengan obat peroral lainnya. Antibiotika topikal
juga sering diresepkan sebagai terapi profilaksis untuk pasien setelah tindakan bedah minor
dan juga tindakan kosmetika seperti halnya chemical peel atau laser resurfacing untuk
meminimalisir risiko infeksi pada luka bekas operasi dan juga untuk mempercepat
penyembuhan luka.1
Keuntungan antibiotika topikal dibandingkan dengan antibiotika
sistemik di antaranya adalah mencegah terjadinya toksisitas yang bersifat
sistemik dan juga mencegah terjadinya efek samping, menurunkan angka
prevalensi resistensi bakteri terhadap antibiotika tersebut, dan juga
memberikan konsentrasi antibacterial yang tinggi pada lokasi infeksi
tersebut.2
Akan tetapi, antibiotika topikal yang digunakan untuk terapi profilaksis terhadap
infeksi pasca-operasi harus dilakukan secara selektif dan sesuai dengan prosedurnya,
misalnya arthroplasty dan operasi katarak. Pada pasien obesitas yang akan menjalani operasi
di bagian abdominal, maka profilaksis antibiotika topikal sangat dibutuhkan. Selain itu juga
dibutuhkan untuk prosedur operasi di bagian dermatologi maupun bedah plastik.3
Sedangkan penatalaksanaan pada luka terbuka tidaklah sesederhana seperti
mengoleskan antibiotika topikal saja, tetapi pertama kali yang harus dilakukan adalah luka
harus dibersihkan terlebih dahulu dengan antiseptik. Kemudian setelah itu, dioleskan
antibiotika topikal jika luka tersebut sudah dibersihkan dan sudah dijahit jika diperlukan.
Lalu luka tersebut harus ditutup dengan perban atau dibalut lalu dapat juga disemprotkan
spray proteksi luka. Beberapa tahun sebelumnya teori mengenai penyembuhan luka yang
terbaik adalah harus mendapatkan pajanan dengan udara bebas. Akan tetapi dewasa ini telah
ditemukan fakta oleh para ahli bahwa penyembuhan luka yang terbaik adalah dengan cara
dibalut agar luka tersebut tidak terkontaminasi oleh udara luar yang dapat mengakibatkan
terjadinya infeksi sekunder.2
BAB II
II.1 DEFINISI
Definisi antibiotika adalah substansi atau zat yang dihasilkan atau
merupakan derivate dari beberapa jenis jamur, bakteri, maupun
organisme lainnya yang dapat menghancurkan atau menghambat
perkembangan suatu mikroorganisme lainnya.2
Antibiotika juga dapat didefinisikan sebagai suatu subgroup dari
antiinfeksi yang merupakan suatu derivate dari sumber bakteri dan
digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri lainnya.2
Beberapa keadaan berikut ini merupakan kontraindikasi bagi
pemakaian antibiotika topikal sebagai satu-satunya terapi, karena
dibutuhkan penatalaksanaan medis dari bidang lain secara komprehensif,
yaitu:2
- Luka yang luas
- Luka yang dalam
- Luka dengan perdarahan yang sulit dihentikan
- Luka bakar yang diameternya lebih dari 1 inchi
- Luka kotor yang sulit dibersihkan dengan antiseptik
- Gigitan binatang
- Trauma pada mata
II.2 INTERAKSI OBAT
Penggunaan antibiotika topikal tidak boleh digunakan secara
bersamaan dengan Hydrocortisone, yaitu kortikosteroid topikal yang
digunakan untuk mengobati inflamasi. Hal ini dikarenakan akan
menyembunyikan tanda-tanda infeksi ataupun reaksi alergi.2
II.3 PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA TOPIKAL PADA INFEKSI BAKTERI DI
KULIT
Berikut ini adalah jenis-jenis antibiotika topikal yang digunakan pada penatalaksaan
untuk berbagai jenis infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri.
A. Terapi Antibiotika Topikal pada Akne Vulgaris dan Rosasea:
Akne Vulgaris adalah kelainan pada kelenjar sebasea dan salurannya yang bersifat
self-limited dan biasanya muncul pada pasien usia awal dewasa.4
Antibiotika topikal yang dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel yang
berperan yang berperan dalam folikel yang berperan dalam etiopatogenesis Akne
Vulgaris, misalnya Oksitetrasiklin 1%, Eritromisin 1% dan Klindamisin Sulfat 1%.5
Efektivitas antibiotika topikal pada penatalaksanaan Akne Vulgaris dan Rosasea
tergantung oleh efek langsung dari antibiotika topikal itu sendiri, akan tetapi banyak juga
antibiotika topikal yang bekerja dengan cara menekan neutrophil chemotactic faktor
sehingga meningkatkan anti-inflamasi atau dengan cara lainnya. Penggunaan antibiotika
topikal untuk Akne Vulgaris pun semakin meningkat karena berkurangnya angka
resistensi terhadap antibiotika topikal dibandingkan dengan antibiotika sistemik.
Sementara itu, kombinasi antara antimikroba Benzoyl Peroxide dengan antibiotika
menurunkan angka resistensi bakteri terhadap antibiotika.1
1. Eritromisin
Eritromisin merupakan antibiotika yang termasuk ke dalam golongan Makrolid
dan efektif untuk Gram positif berbentuk kokus dan juga Gram negatif yang
berbentuk basil. Eritromisin ini sering digunakan untuk penatalaksanaan pada Akne
Vulgaris.1
Cara kerja Eritromisin adalah berikatan dengan ribosom 50S yang ada pada
bakteri, lalu memblokade translokasi molekul tRNA (peptydil-transferase RNA) dari
reseptor menuju donor, mengganggu pembentukan rantai polipeptida, dan juga
menghambat sintesis protein bakteri tersebut. Selain itu juga, Eritromisin dapat
berfungsi sebagai anti-inflamasi.1
Sediaan Eritromisin adalah 1.5%-2% dalam bentuk solusio, jel, dan salep sebagai
terapi topikal tunggal. Eritromisin juga tersedia dalam bentuk kombinasi dengan
Benzoyl Peroksida.1
2. Klindamisin
Klindamisin adalah antibiotika Linkosamid yang bersifat semisintetik dan
merupakan derivate dari Linkomisin. Mekanisme kerja Klindamisin serupa dengan
Eritromisin, yaitu mengikat ribosom 50S bakteri lalu menghambat sintesa protein
bakteri tersebut.1
Sediaan Klindamisin adalah 1% dalam bentuk jel, solusio, suspense atau lotion,
dan bentuk sabun pencuci muka yang biasa digunakan untuk terapi Akne Vulgaris.
Selain itu juga tersedia dalam bentuk kombinasi dengan Benzoyl Peroksida yang
menurunkan perkembangan angka kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotika
Klindamisin. Kolitis Pseudomembranosa pernah dilaporkan sebagai efek samping dari
penggunaan Klindamisin secara topikal, tetapi amat sangat jarang.1
3. Metronidazol
Metronidazol dalam bentuk topikal adalah Nitroimidazol yang biasanya tersedia
dengan konsentrasi 0.75% dalam bentuk jel, krim, dan lotion. Sedangkan
Nitroimidazole 1% berupa jel atau krim digunakan untuk penatalaksanaan Rosasea.
Pada konsentrasi dengan dosis rendah, Nitroimidazol ini digunakan dua kali dalam
sehari, tetapi jika dengan dosis tinggi maka digunakan cukup satu kali perhari.
Metronidazol oral berfungsi sebagai antibiotika broad-spectrum.1
4. Asam Azeleat
Merupakan asam dikarboksilat yang ditemukan pada makanan yaitu sereal
gandum dan juga makanan yang berasal dari hewani. Di dalam plasma darah manusia,
kadar normal Asam Azeleat in adalah 20-80 ng/ml. Mekanisme kerja dari Asam
Azeleat yaitu menormalkan proses keratinisasi dengan cara mengurangi ketebalan
stratum korneum, mengurangi jumlah dan ukuran granula keratohyalin, serta
menurunkan jumlah filagrin. Pada bakteri Propiniobacterium acnes dan
Staphylococcus epidermidis, Asam Azeleat juga dilaporkan berfungsi untuk
menghambat sintesis protein pada bakteri tersebut. Pada mikroorganisme aerob, Asam
Azeleat dapat menghambat enzim oksidoreduktase yaitu tirosinase, 5-alfa reduktase
dan DNA polimerase. Sedangkan pada mikroorganisme anaerob, Asam Azeleat ini
berfungsi untuk menurunkan proses glikolisis. Asam azeleat sering digunakan pada
pengobatan Akne Vulgaris dan Rosasea, meskipun fungsi utamanya adalah untuk
menghilangkan hiperpigmentasi seperti misalnya pada Melasma. Asam Azeleat
tersedia dalam bentuk jel dengan konsentrasi 15% dan dalam bentuk krim dengan
konsentrasi 20%.1
Pada sebuah penelitian, efektivitas Klindamisin fosfat topikal dibandingkan
dengan Asam Azeleat topikal yang keduanya telah lazim digunakan pada pengobatan
Akne Vulgaris. Pada penelitian-penelitian sebelumnya disebutkan bahwa terdapat
perkembangan yang signifikan terhadap angka resistensi bakteri terhadap
Klindamisin, tetapi belum pernah dilaporkan adanya resistensi bakteri tersebut
terhadap Asam Azeleat. Pada akhir penelitian tersebut disimpulkan bahwa kedua
antibiotika tersebut sama-sama memiliki efektivitas yang baik pada penatalaksanaan
Akne Vulgaris, tetapi ternyata Asam Azeleat lebih efektif untuk mengurangi derajat
keparahan Akne Vulgaris.6
5. Sulfonamid (Sulfasetamid)
Sulfasetamid merupakan Sulfonamid topikal yang digunakan untuk pengobatan
Akne Vulgaris dan Rosasea. Pada umumnya, Sulfonamid bekerja sebagai antibakteri
dengan cara menjadi kompetitor bagi PABA (Para-aminobenzoid acid) dalam
pembentukan asam folat pada bakteri tersebut. Akan tetapi mekanisme kerja
Sulfasetamid pada pengobatan Rosasea masih belum dapat diketahui hingga saat ini.
Sulfasetamid tersedia dalam bentuk lotion berkonsentrasi 10%, sedangkan
Sulfasetamid 5% tersedia dalam bentuk jel, krim, suspense, dan masker wajah.1
B. Terapi Antibiotika Topikal Pada Infeksi Bakterial Superfisial dan Luka Bakar
Impetigo yang luas, infeksi pada kulit di ekstremitas inferior, atau pasien yang disertai
dengan keadaan immunocompromised, maka terapi yang tepat digunakan adalah
antibiotika topikal untuk menurunkan risiko terjadinya komplikasi yang lebih serius.
Antibiotika topikal juga sering digunakan pada prosedur bedah minor.1
Adapun antibiotika topikal yang sering digunakan pada infeksi bacterial superficial
dan juga luka bakar adalah sebagai berikut:
1. Mupirosin
Mupirosin dikenal dengan nama Pseudomonic Acid A, merupakan derivat dari
Pseudomonas fluorescens. Cara kerjanya adalah berikatan dengan iso-leucyl t-RNA
dan mencegah sintesis protein bakteri. Aktivitas Mupirosin hanya terbatas pada Gram
positif, terutama Staphylococci dan juga Streptococcui pada umumnya. Mupirosin
dapat aktif bekerja pada keadaan dengan pH sekitar 5,5 yaitu pada kulit yang
memiliki pH normal misalnya. Karena Mupirosin sangat sensitive pada perubahan
temperature, maka antibiotika ini akan rusak jika pada keadaan suhu yang sangat
tinggi. Salep Mupirosine 2% dioleskan 3x/hari dan terutama diindikasikan untuk
pengobatan Impetigo dengan lesi terbatas, yang disebabkan oleh S.aureus dan
S.pyogenes. tetapi pada penderita immunocompromised terapi yang diberikan harus
secara sistemik untuk mencegah komplikasi serius. Pada tahun 1987 dilaporkan
resistesi Mupirosin karena pemakaian antibiotika topical untuk Methicillin-resistant
S.aureus (MRSA).1
Penelitian terakhir di Tennessee Veterans’ Aggairs Hospital menunjukkan bahwa
penggunaan jangka panjang salep Mupirosine untuk mengontrol MRSA, khususnya
pada penderita ulkus dekubitus,meningkatkan resistensi yang bermakna. Lebih lanjut,
peneliti Jepang menemukan bahwa Mupirosin konsentrasi rendah dicapai setelah
aplikasi intranasal dan dipostulasikan bahwa mungkin ini menjelaskan resistensi
terhadapt Mupirosin pada strain S.aureus.1
Suatu studi percobaan menggunakan salep antibiotika kombinasi yang
mengandung Basitrasin, Polimiksin B, dan Gramisidin berhasil menghambat
kolonisasi pada 80% (9 dari 11) penderita yang setelah di-follow up selama 2 bulan
tetap menunjukkan dekolonisasi. Semua kasus (6 dari 6) terhadap Mupirosin-sensitive
MRSA dieradikasi, sedangkan 3 dari 5 kasus terhadap Mupirosin-sensitive MRSA
dieliminasi. Formulasi baru yang menggunakan asam kalsium (kalsium membantu
dalam stabilisasi bahan kimia) tersedia untuk penggunaan intranasal dalam bentuk
salep 2% dan krim 2%.1
Pelaporan dari seluruh dunia mengenai resistensi S. aureus terhadap mupirosin
adalah sebagai berikut: Spanyol 11,3%, Amerika Serikat 13,2%, Trinidad Tobago
26,1%, Cina 6,6%, India 6%, Turki 45% dan Korea 5%, dan bagaimanapun ini
menunjukkan bahwa peningkatan resistensi S. aureus terhadap mupirosin ini sudah
meluas. Sedangkan berdasarkan 2 penelitian yang dilakukan di Iran, prevalensi S.
aureus yang resisten terhadap mupirosin adalah 2,7% dan 0%.7
Adapun resistensi Mupirosin itu dapat diketahui melalui sebuah pemeriksaan
yang disebut E-Test atau Uji E. Melalui pemeriksaan ini didapatkan dua kategori
resistensi Mupirosin, yaitu resistensi tingkat rendah (disebut MupI) dengan MIC 4-
256 µg/ml dan resistensi tingkat tinggi (disebut MupR) dengan MIC yang lebih dari
512 µg/ml.8
2. Basitrasin
Antibiotika polipeptida topikal yang berasal dari isolasi strain Tracy-I Bacillus
subtilis, yang dikultur dari penderita dengan fraktur compound yang terkontaminasi
tanah. Basil ini diturunkan dari Bacillus, dan trasin berasal dari penderita yang
mengalami fraktur compound (Tracy). Basitrasin merupakan polipeptida siklik yang
memiliki banyak komponen yaitu A, B dan C. Basitrasin sering digunakan sebagai
Zinc Salt. Basitrasin menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara
berikatan dan menghambat defosforilasi pada lemak pirofosfat. Kebanyakan
organisme Gram negatif dan jamur resisten terhadap obat ini. Sediaan tersedia dalam
bentuk salep Basitrasin dan sebagai Basitrasin Zinc, mengandung 400-500 unit
pergram.1
Basitrasin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri superfisial pada kulit
seperti Impetigo, Furunkulosis, dan Pioderma. Obat ini juga sering dikombinasikan
dengan Polimiksin B dan Neomisin sebagai salep antibiotika tripel yang dipakai
beberapa kali sehari untuk pengobatan dermatitis atopi, numularis, atau stasis yagn
disertai dengan infeksi sekunder. Sayangnya, aplikasi Basitrasin topical memiliki
risiko untuk timbulnya sensitisasi kontak alergi dan meski jarang dapat menimbulkan
syok anafilaktik. 1
3. Polimiksin B
Adalah antibiotika topikal yang diturunkan dari B.polymyxa, yang asalnya
diisolasi dari contoh tanah di Jepang. Polimiksin B adalah campuran dari polimiksin
B1 dan B2, keduanya merupakan polipeptida siklik. Fungsinya adalah sebagai detergen
kationik yang berinteraksi secara kuat dengan fosfolipid membran sel bakteri,
sehingga menghambat integritas sel membran.1
Polimiksin B aktif melawan organism gram negatif secara luas termasuk
P.aeruginosa, Enterobacter, dan E.coli. Polimiksin B tersedia dalam bentuk salep
(5000-10.000 unit pergram) dalam kombinasi Basitrasin atau Neomisin. Cara
pemakaiannya dioleskan 1-3x/hari.1
4. Aminoglikosida Topikal (Neomisin dan Gentamisin)
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotika yang penting digunakan baik secara
topikal ataupun sistemik untuk pengobatan infeksi yang disebabkan bakteri Gram
negatif. Aminoglikosida memberi efek membunuh bakteri melalui pengikatan subunit
ribosomal 30S dan mengganggu sintesis protein pada bakteri tersebut.1
Neomisin sulfat, aminoglikosida yang sering digunakan secara topical adalah hasil
fermentasi Streptomyces fridae. Neomisin sulfat memiliki efek mematikan bakteri
gram negatif dan sering digunakan sebagai profilaksis infeksi yang disebabkan oleh
abrasi superfisial, luka terbuka atau luka bakar. Tersedia dalam bentuk salep (3,5
mg/g) dan dikemas dalam bentuk kombinasi dengan antibiotika lain seperti Basitrasin,
Polimiksin, dan Gramisidin. Bahan lain yang sering dikombinasikan dengan
Neomisin adalah Lidokain, Pramoksin, atau Hidrokortison.1
Neomisin tidak direkomendasikan oleh banyak ahli kulit karena dapat
menyebabkan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak karena pemakaian
Neomisin memiliki angka prevalensi yang tinggi, dan pada 6-8% penderita yang
dilakukan Patch Test memberi hasil positif. Neomisin sulfat 20% dalam Petrolatum
digunakan untuk menilai alergi kontak.1
Gentamisin sulfat diturunkan dari hasil fermentasi Micromonospora purpurea.
Tersedia dalam bentuk topikal berupa krim atau salep 0.1%. antibiotika ini banyak
digunakan oleh ahli bedah kulit ketika melakukan operasi telinga, terutama pada
penderita DM atau keadaan immunocompromised lain, sebagai profilaksis terhadap
Otitis Eksterna Maligna akibat P.aeruginosa.1
5. Sulfonamid (Sulfadiazin Perak dan Mafenid Asetat)
Sulfonamid dapat digunakan untuk pengobatan Akne Vulgaris, Rosasea, dan luka
bakar. Sulfadiazin Perak bekerja dengan cara menghambat pembentukan dinding sel
bakteri dan membrannya. Sedangkan mekanisme kerja Mafenid Asetat berbeda
halnya dengan Sulfadiazin. Jika Mafenid Asetat ini digunakan pada area kulit dengan
luka bakar yang luas, maka akan memiliki risiko terjadinya Asidosis Metabolik.
Sulfadiazin dan Mafenid Asetat ini merupakan antibiotika broad-spectrum. Selain itu,
superinfeksi yang disebabkan oleh Candida pun dapat terjadi pada penggunaan
Mafenid Asetat.1
6. Nitrofurazon
Nitrofurazon atau Furacin adalah derivate dari Nitrofuran yang digunakan dalam
penatalaksanaan pasien luka bakar. Mekanisme kerja dari Nitrofurazon adalah
menghambat aktivitas enzim yang berperan dalam degradasi glukosa dan piruvat baik
secara aerob maupun anaerob. Nitrofurazon tersedia dengan konsentrasi 0.2% dalam
bentuk krim, solusio dan juga dalam bentuk pembalut luka. Nitrofurazon sangat baik
aktivitasnya pada Staphylococci, Streptococci, E.coli, Clostridium perfringens dan
Proteus sp.1
C. Antibiotika Topikal Lainnya.
1. Gramisidin
Merupakan derivate B. brevis, berupa peptide linier yang membentuk stationery
ion channel pada bakteri yang sesuai. Aktivitas antibiotika Gramisidin terbatas pada
bakteri Gram positif.1
2. Kloramfenikol
Di Amerika Serikat, penggunaannya terbatas untuk pengobatan infeksi kulit yang
ringan. Mekanisme kerjanya hampir mirip dengan Eritromisin dan Klindamisin, yaitu
menghambat ribosom 50S memblokade translokasi peptidil tRNA dari akseptor ke
penerima. Tersedia dalam krim 1%. Obat ini jarang digunakan karena dapat
menyebabkan Anemia Aplastik yang fatal atau depresi sumsum tulang.1
3. Cliquinol/Iodochlorhydroxiquin
Clioquinol adalah antibakteri dan antijamur yang diindikasikan untuk pengobatan
kelainan kulit yang disertai peradangan dan tinea pedis serta infeksi bakteri minor.
Kerugiannya adalah mengotori pakaian, kulit, rambut dan kuku serta potensial
menyebabkan iritasi. Clioquinol mempengaruhi penilaian fungsi tiroid (efek ini dapat
berlangsung hingga 3 bulan setelah pemakaian). Tetapi Clioquinol tidak
mempengaruhi hasil tes untuk pemeriksaan T3 dan T4.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonner, Mark W. Benson, Paul M. James, William D. Topical Antibiotics. In: Wolff,
Klaus. Glodsmith, Lowell A. Katz, Stephen I. Glichrest, Barbara A. Paller, Amy S.
Leffel, David J. FitzPatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th ed. New York:
McGraw Hill; 2008. Vol 2. p. 2113-2115
2. Schwartz, Robert A. Al-Mutairi, Nawaf. Topical Antibiotics In Dermatology: An Update.
USA and Kuwait: The Gulf Journal of Dermatology and Venerology; 2010.
3. McHugh, S.H. Collins, C.J. Corrigan, M.A. Hill, A.D. Humphreys, H. The Role of
Topical Antibiotics Used as Prophylaxis in Surgical Site Infection Prevention . Dublin:
Journal of Antimicrobial Chemotherapy; 2011.
4. Zaenglein, Andrea L. Graber, Emmy M. Thiboutot, Diane M. Strauss, John S. Acne
Vulgaris and Acneiformis Eruption. In: Wolff, Klaus. Glodsmith, Lowell A. Katz,
Stephen I. Glichrest, Barbara A. Paller, Amy S. Leffel, David J. FitzPatrick’s
Dermatology In General Medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill; 2008. Vol 1. p. 690.
5. Wasitaatmadja, Sjarif M. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea dan Rinofima. In: Djuanda,
Adi. Hamzah, Mochtar. Aisah, Siti. Ilmu Penyait Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
6. Ozkan, Metin. Dormaz, Gul. Sabuncu, Ilham. Saracoglu, Nurhan. Akgun, Yurdanur.
Urar, Selim. Clinical Efficacy of Topical Clindamycin Phosphate and Azelaic Acid on
Acne Vulgaris and Emergence of Resistant Coagulase-Negative Staphylococci. Tubitak:
Turk Journal Medical Science; 2000.
7. Mohajeri, P. Gholamine, B. Rezai, M. Khamisabadi, Y. Frequency of Mupirocin
Resistant Staphylococcus aureus Strain Isolated From Nasal Carriers in Hospital
Patients in Kermanshah. Kermanshah: Jundishapur Journal of Microbiology; 2012; 5:
p.560-563
8. Mondino, P. Santos, K. Bastos, M. deMarval, M. Improvement of Mupirocin E-Test for
Susceptibility Testing of Staphylococcus aureus. Rio de Janeiro: Journal of Microbiology;
2003.