anti inflamasi
DESCRIPTION
docTRANSCRIPT
LAPORAN HASIL PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I
UJI ANTI-INFLAMASI METODE VOLUME UDEM
OLEH:
KELOMPOK 3
1. ADDINA ZULFAH (170)
2. SANNIA RESTIA SARI (172)
3. MUHAMAD ISKANDAR (174)
4. RIRIN PUSPITA (175)
5. MUSTIKA SRI .H (176)
6. RANI EMILIA (177)
7. FIFI SOFIA L (181)
8. DESY NORWAHYU S (182)
9. EVY FEBRY F (183)
PROGRAM PENDIDIKAN FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2013/2014
I. Tujuan
Memahami prinsip eksperimen terhadap efek anti-inflamasi dengan menggunakan alat
plestinometer.
II. Tinjauan Pustaka
Radang (inflamasi) merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan. Radang
bukan suatu penyakit, melainkan suatu manifestasi terhadap suatu penyakit. Radang dapat
mempunyai pengaruh yang menguntungkan, seperti penghancuran mikroorganisme yang
masuk dan pembuatan dinding pada rongga abses, sehingga akan mencegah penyebaran
infeksi. Secara seimbang, radang juga memproduksi penyakit, misalnya abses otak akan
bertindak sebagai lesi ruangan yang menekan bangunan vital di sekitarnya, atau fibrosis
akibat radang kronis dapat mengakibatkan terjadinya distorsi jaringan yang permanen dan
menyebabkan gangguan fungsinya.
Inflamasi dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu :
Radang akut, reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam waktu yang tidak
lama, terhadap cedera jaringan.
Radang kronis, reaksi jaringan selanjutnya yang diperlama mengikuti respons
awal
Respon Imun terjadi bila jumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan
diaktifkan untuk merespon organisme asing atau subtansi antigenik
Pengobatan pasien dengan inflami mempunyai 2 tujuan utama : pertama, meringankan
rasa nyeri, yang sering kali merupakan gejala awal yang terlihat dan keluhan utama terus-
menerus dari pasien, dan kedua memperlambat atau (dalam teori membatasi proses perusakan
jaringan).pengurangan inflamasi dengan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS ;
nonsteoroidal anti-inflamatori drugs= NSAIDS sering kali berakibat meredanya rasa nyeri
selama periode yang bermakna. Lebih jauh lagi, sebagian besar dari nonopioit analgesic
(aspirin,dll) juga mempunyai efek anti-inflamasi, jadi mereka tepat digunakan untuk
pengobatan inflamasi akut maupun kronis.
Obat Anti-Inflamasi
Obat-obat anti inflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau
mengurangi peradangan. Obat ini terbagi atas dua golongan, yaitu golongan anti inflamasi
non steroid (AINS) dan anti inflamasi steroid (AIS). Kedua golongan obat ini selain berguna
untuk mengobati juga memiliki efek samping yang dapat menimbulkan reaksi toksisitas
kronis bagi tubuh (Katzung, 1992).
Ada 2 golongan obat anti-inflamasi, yaitu :
1. Obat Anti-inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Obat anti-inflamasi nonstreoid (OAINS) merupakan kelompok obat yang paling
banyak dikonsumsi di seluruh dunia untuk mendapatkan efek analgetika, antipiretika, dan
anti-inflamasi. OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan-
peradangan di dalam dan sekitar sendi seperti lumbago, artralgia, osteoartritis, artritis
reumatoid, dan gout artritis. Disamping itu, OAINS juga banyak pada penyakit-penyakit non-
rematik, seperti kolik empedu dan saluran kemih, trombosis serebri, infark miokardium, dan
dismenorea.
OAINS merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat
sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini mempunyai banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.15 Prototip obat golongan ini adalah
aspirin, karena itu OAINS sering juga disebut sebagai obat-obat mirip aspirin (aspirin-like
drug).
OAINS diklasifikasikan berdasarkan waktu paruh dan reaksi kimiawinya,. Berdasarkan
waktu paruh OAINS dibedakan menjadi:
a) AINS dengan waktu paruh pendek (3-5 jam), yaitu aspirin, asam flufenamat, asam
meklofenamat, asam mefenamat, asam niflumat, asam tiaprofenamat, diklofenak,
indometasin, karprofen, ibuprofen, dan ketoprofen.
b) AINS dengan waktu paruh sedang (5-9 jam), yaitu fenbufen dan piroprofen.
c) AINS dengan waktu paruh tengah (kira-kira 12 jam), yaitu diflunisal dan
naproksen.
d) AINS dengan waktu paruh panjang (24-45 jam), yaitu piroksikam dan tenoksikam.
e) AINS dengan waktu paruh sangat panjang (lebih dari 60 jam), yaitu fenilbutazon
dan oksifenbutazon.
Sedangkan menurut reaksi kimiawinya dibedakan menjadi :
1) Nonselective Cyclooxygenase Inhibitors
a) Derivat asam salisilat: aspirin, natrium salisilat, salsalat, diflunisal, cholin
magnesium trisalisilat, sulfasalazine, olsalazine
b) Derivat para-aminofenol: asetaminofen
c) Asam asetat indol dan inden: indometasin, sulindak
d) Asam heteroaryl asetat: tolmetin, diklofenak, ketorolak
e) Asam arylpropionat: ibuprofen, naproksen, flurbiprofen, ketoprofen,
fenoprofen, oxaprozin
f) Asam antranilat (fenamat): asam mefenamat, asam meklofenamat
g) Asam enolat: oksikam (piroksikam, meloksikam)
h) Alkanon: nabumet
2) Selective Cyclooxygenase II inhibitor:
a) Diaryl-subtituted pyrazoles: celecoxib
b) Asam asetat indol : etodolac
c) sulfonanilid
Obat Anti Inflamasi Steroid (AIS)
Obat ini merupakan anti-inflamasi yang sangat kuat. Karena Obat-obat ini menghambat
enzim phospholipase A2 sehingga tidak terbentuk asam arakidonat. Asam arakidonat tidak
terbentuk berarti prostaglandin juga tidak akan terbantuk. Namun, obat anti inflamasi
golongan ini tidak boleh digunakan seenaknya. Karena efek sampingnya besar. Bisa
menyebabkan moon face, hipertensi, osteoporosis dll.
Senyawa steroid adalah senyawa golongan lipid yang memiliki stuktur kimia tertentu
yang memiliki tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana. Suatu molekul steroid
yang dihasilkan secara alami oleh korteks adrenal tubuh dikenal dengan nama senyawa
kortikosteroid.
Kortikosteroid sendiri digolongkan menjadi dua berdasarkan aktifitasnya, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki peranan pada metabolisme
glukosa, sedangkan mineralokortikosteroid memiliki retensi garam. Pada manusia,
glukortikoid alami yang utama adalah kortisol atau hidrokortison, sedangkan
mineralokortikoid utama adalah aldosteron. Selain steroid alami, telah banyak disintetis
glukokortikoid sintetik, yang termasuk golongan obat yang penting karena secara luas
digunakan terutama untuk pengobatan penyakit-penyakit inflasi. Contoh antara lain adalah
deksametason, prednison, metil prednisolon, triamsinolon dan betametason (Ikawati,
2006). Aldosteron adalah hormon steroid dari golongan mineral kortikoid yang disekresi dari
bagian terluar zona glomerulosa pada bagian korteks kelenjar adrenal, yang berpengaruh
terhadap tubulus distal dan collecting ductsdari ginjal sehingga terjadi peningkatan
penyerapan kembalipartikel air, ion, garam oleh ginjal dan sekresi potasium pada saat yang
bersamaan. Hal ini menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah.
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintetis protein. Molekul
hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target
hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan komformasi, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintetis protein spesifik.
Induksi sintetis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid
Berdasarkan masa kerjanya golongan kortikosteroid dibagi menjadi :
Kortikosteroid kerja singkat dengan masa paruh < 12 jam, yang termasuk
golongan ini adalah kortisol/hidrokortison, kortison, kortikosteron, fludrokortison
Kortikosteroid kerja sedang dengan masa paruh 12 – 36 jam, yaitu
metilprednisolon, prednison, prednisolon, dan triamsinolon.
Kortikosteroid kerja lama dengan masa paruh >36 jam, adalah parametason,
betametason dan deksametason.
2.1 Karagenin
Karagenin merupakan senyawa yang dapat menginduksi cedera sel dengan melepaskan
mediator yang mengawali proses inflamasi. Udema yang terjadi akibat terlepasnya mediator
inflamasi seperti: histamin, serotin, bradikinin, dan prostagladin. Udem yang disebabkan oleh
injeksi karagenin diperkuat oleh mediator inflamasi terutama PGE1 dan PGE2 dengan cara
menurunkan permeabilitas vaskuler. Apabila permeabilitas vaskuler turun maka protein-
protein plasma dapat menuju ke jaringan yang luka sehingga terjadi udema. Karagenin
merupakan suatu mukopolisakarida yang diperoleh dari lumut laut Irlandia, Chondrus
crispus. Karagenin polisakarida berasal dari algae, suatu ekstrak rumput laut, yang memiliki
sejumlah manfaat, terutama dalam industri makanan dan sejenisnya. Karagenin juga
merupakan suatu senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium, natrium dan magnesium
atau kalsium sulfat dengan galaktosa dan kopolimer 3,6 anhidrogalaktosa (Fajar RP,
2005). Menurut Guiseley et. Al, karagenin adalah polisakarida dengan rantai lurus (linier)
yang terdiri dari D-glukosa 3.6 anhidrogalaktosa dan ester sulfat.
Berdasarkan kandungan sulfatnya, karagenan dibedakan menjadi 2 fraksi, yaitu kappa-
karagenan dengan kandungan sulfat kurang dari 28% dan iota-karagenan dengan kandungan
sulfat lebih dari 30%. Sedangkan menurut Peterson and Johnson, berdasarkan struktur
pendulangan unit polisakarida, karagenan dapat dibagi menjadi tiga fraksi utama (k-
(kappa),λ-(Lambda), dan ί-(iota) karagenan. Secara prinsip fraksi-fraksi karagenan ini
berbeda dalam nomor dan posisi grup ester. (Jatilaksono, 2007). Senyawa-senyawa yang
dapat digunakan untuk menginduksi inflamasi antara lain formalin dan ovalbumin, mustard,
kaolin, racun ular, polivinilpirolidin, yeast, dan mediator kimia inflamasi seperti histamin,
serotonin, atau bradikinin serta enzim hidrolitik seperti kolagenase, tripsin, lipase,
fosofolipase, A2, elastase, danhyaluronidase. Namun Karagenin lebih sering digunakan
karena tidak meimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas, serta menimbulkan
respon yang paling peka terhadap obat antiflamasi dibandingkan senyawa iritan lainnya. Pada
proses pembentukan udema, karagenin akan menginduksi cedera sel denagan dilepaskannya
mediator yang mengawali proses inflamasi. Udema yang disebabkan induksi karagenin dapat
bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam (Sumarny dan
Rahayu, cit Mukhlisoh, 1998). Karagenin bersifat sebagai pengembang, tidak diabsorbsi,
tidak merusak sel, jika karagenin habis maka sel akan kembali ke bentuk semula.
2.2 Natrium Diklofenak
Natrium diklofenak adalah obat antiinflamasi yang mekanisme kerjanya
juga menghambat enzim siklooksigenase. Diklofenak adalah derivat sederhana dari
asam fenilasetat yang menyerupai flurbiprofen dan meclofenamate. Obat ini
adalah penghambat siklooksigenase yang relatif non-selektif dan kuat, juga mengurangi
bioavaibilitas asam arakidonat. Obat ini memiliki sifat-sifat antiinflamasi,
analgesik, dan antipiretik. Obat ini cepat diserap sesudah pemberian secara
oral, tetapi bioavailabilitas sistemiknya hanya antara 30-70% karena
metabolisme lintas pertama (Katzung, 2002). Absorpsi obat ini melalui saluran cerna
berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan
mengalami efek lintas awal (first pass effect) sebesar 40-50%. Walaupun waktu
paruh singkat yakni 1 sampai dengan 2 jam (Katzung, 2002). Efek samping yang
lazim adalah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala seperti semua obat AINS,
pemakaian obat ini harus berhati-hati pada penderita tukak lambung (Wilmana, 1995).
III. Prosedur Pelaksanaan Praktikum
Alat :1. Pletismometer2. Spuit3. Sonde4. Spidol
Bahan :1. Tikus2. Larutan Karagenin 1%3. Aquadest 2,5 ml/20 g BB (kontrol negatif)4. Na diklofenak 6,75 mg/kg BB (kontrol positif)5. Infus Rimpang temu putih 5 % (dosis 0,625g/ kg BB)6. Infus Rimpang Temu putih 10 %(dosis 1,25 g/kg BB)7. Infus Rimpang Temu putih 20 % (dosis 2,5 g/kg BB)
Prosedur Kerja :1. Mula-mula semua hewan uji dipuasakn 6-8 jam. Pengosongan lambung bermanfaat terhadap
absorbsi obat. Keberadaan makanan dalam GIT sering kali menggangu proses absorbsi, sehingga terjadi manipulasi efek obat
2. Salah satu belakang tikus diberi tanda , kemudian diukur volume dengan cara mencelupkannya kedalam tabung air raksa pada alat pletismometersampai dengan batas tanda tersebut
3. Pemberian bahan uji semua kelompok diberikan masing –masing bahan uji secara per oral 2,5 ml/200 g BB
4. Selang 10-15 menit,kemudian pada masing-masing tikus diberikan penginduksi udem larutan karagenin 1 % 0,1 ml secara subcutan pada bagian dorsal kaki yang sama
5. Volume kaki tikus diukur kembali pada setiap interval waktu 5 menit sampai efek udemnya hilang
6. Data-data yang perlu dicatat adalah :a. Mula kerja dan durasi aksi bahan penginduksib. Mula kerja dan durasi aksi obat antiinflamasi
IV. Hasil Pengamatan
Dosis Tikus I
BB : 94 g
Aquadest : 0,729 g
Tikus II
BB : 108 g
Na diklofenak : 50 mg/50 ml
Dosis : 6,75 mg/kg BB
à16,75 mg x 108g/1000 g = 0,729 ml
Tikus III
BB 113 g
Infus rimpang temu putih 5 %
Dosis : 0,625 g/kg BB
à625 mg x113 g/1000 g = 0,07 g
Sediaan yang diambil : 0,07 gx 100 ml/ 5 g = 1,4 ml
Tikus IV
BB : 121 g
Infus rimpang temu putih 10 %
Dosis : 1,25 g/kg BB
à1250 mg x 121 g/1000 g = 151,25 mg =0,15 g
Sedian yang diambil : 0,15 g / 10 g x 100 ml = 1,5 ml
Tikus V
BB : 101 g
Infus rimpang temu putih 20 %
Dosis : 2,5 g/kg BB
à2500mg x 101 g/ 1000 g = 252 mg = 0,252 g
Sedian yang diambil : 0,252 g x 100 ml / 20 g =1,26 ml
Volume Udem
Kelompok Volume Udem Pada Kaki Tikus Rata2Volume Udem
% Hamba
tan
Awal Setelah Diberi Air Suling + Penginduksi Radang
Volume Udem
0 15 30 45 60 0 15 30 45 60
Kontrol Negative
(aquadest)
0.2 ml
0,56 0,53 0,53 0,50 0,86 0,3 0,27 0,27 0,24 0,6 O,336 -
Kontrol Positif
(Na Diklofenak)
0,3 ml
0,66 0,70 0,60 0,40 0,56 0,36 0,4 0,3 0,1 0,26 0,284 -
Infus 5 %
0,4 ml
1,4 0,73 0,73 0,46 0,53 1 0,33 0,33 0,06 0,13 0,37 -10,12%
Infus 10 %
0,43 ml
0,3 O,76 0,86 0,73 0,46 -0,13
0,33 0,43 0,3 0,03 0,192 42,86%
Infus 20 %
0,3 ml
1,6 0,4 0,70 0,73 0,26 0,2 0,1 0,4 0,43 -0,04 0,238 29,17%
V. Pembahasan
Inflamasi (radang) biasanya dibagi menjadi tiga fase : inflamasi akut , respon imun, dan
inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan proses awal respon awal terhadap cedera. Respon
imun terjadi bila jumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon
organisme asing atau subtansi antigenic. Bila suatu jaringan mengalami inflamasi maka akan
timbul gejala sebagai berikut :
a) Eritema (kemerahan)
Kemerahan terjadi pada tahap pertama dari proses inflamasi. Darah berkumpul pada
daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator-mediator kimia tubuh (kinin,
prostaglandin, histamin)
b) Edema (pembengkakan)
Pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi. Plasma merembes ke dalam
jaringan intestinal pada tempat cedera. Kinin mendilatasi arteriol meningkatkan
permeabilitas kapiler
c) Kolor (panas)
Panas pada tempat inflamasi disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah dan
mungkin juga karena pirogen (substansi yang menimbulkan demam) yang
mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus
d) Dolor (nyeri)
Nyeri disebabkan oleh pembengkakan dan pelepasan mediator-mediator kimia
e) Functio laesa (hilangnya fungsi )
Karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri, yang
mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena (Kee dan Hayes, 1996).
Dalam praktikum ini obat anti-inflamasi yang digunakan, yaitu Na-Diklofenat
dan infus rimpang temu putih dengan kadar 5%, 10% dan 20 %. Pengamatan ini
bertujuan untuk melihat apakah infus rimpang temu putih memberikan efek anti-
inflamasi atau tidak dan pada kadar berapa efek anti-inflamasinya di dapatkan. Oleh
sebab itu obat ini akan dibandingkan dengan Na-Diklofenat, yaitu suatu obat yang
telah diketahui memberikan efek anti-inflamasi.
Pertama-tama tikus coba diberikan Na-Diklofenat dan infus rimpang temu
putih dengan kadar 5%, 10% dan 20 %. . Setelah beberapa saat, tikus coba diberi
obat karagenin yaitu obat yang memberikan efek inflamasi. Dari pengamatan ini
didapatkan hasil sebagai berikut :
Tikus 1 dengan kontrol (-) Aquadest à memberikan volume udem yang besar.
Hal ini dikarenakan tikus 1 mengalami inflamasi setelah diberikan karagenin dan
aquades tidak memberikan efek apapun.
Tikus 2 dengan kontrol (+) Na-Diklofenat à memberikan volume udem 0,284.
Tikus ini mengalami inflamasi setelah diberikan karagenin, namun efek inflamasi
itu telah diminimalisir oleh Na-Diklofenat yang telah diketahui memberikan efek
anti-inflamasi.
Tikus 3 dengan pemberian infus 5% à memberikan volume udem yang lebih
besar dari pada kontrol (-) aquadest dan % hambatan yang di dapat hasilnya
negatif (-). Hal ini menunjukkan bahwa pada kadar 5% infus rimpang temu putih
belum memberikan efek anti-inflamasi
Tikus 4 dengan pemberian infus 10% à memberikan volume udem yang lebih
kecil dari pada kontrol (-) aquadest dan % hambatan yang di dapat hasilnya positif
(+). Hal ini menunjukkan bahwa pada kadar 10% infus rimpang temu putih
memberikan efek anti-inflamasi .
Tikus 5 dengan pemberian infus 20% à memberikan volume udem yang lebih
kecil dari pada kontrol (-) aquadest dan % hambatan yang di dapat hasilnya positif
(+). Hal ini menunjukkan bahwa pada kadar 20% infus rimpang temu putih
memberikan efek anti-inflamasi.
Berdasarkan pengamatan ini, efek anti-inflamasi pada kadar 10% lebih besar
dibandingkan dengan kadar 20% padahal pada kadar 20 % seharusnya memberikan
efek anti-inflamasi yang lebih besar. Hal ini mungkin saja terjadi kesalahan waktu
melakukan pengamatan atau pada saat memberikan sediaan pada hewan coba. Efek
anti-inflamasi yang dihasilkan oleh infus rimpang temu putih di sebabkan oleh zat
kurkumin yang terkandung didalam rimpang temu putih.
Didalam tumbuhan rimpang temu putih memiliki zat berkhasiat kurkumin
yaitu zat yang sangat aktif dalam menghambat peradangan baik secara akut maupun
kronis pada hewan coba, hal ini dikarekan kurkumin memiliki strukutur yang hampir
sama dengan fenilbutason dan kortison yang merupakan obat anti-inflamasi yang
paling kuat efeknya.
Rimpang temu putih dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Jenis : Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe
Nama lain : Curcuma pallida, Costus nigricans,Roscoea nigro-
ciliata, Roscea lutea, temu putih (melayu),fung ngo suk (tionghoa).
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan
air pada suhu 90o C selama 15 menit.
VI. Kesimpulan
Dari hasil praktikum pada pemberian infus rimpang temu putih dengan
konsentrasi yang berbeda-beda (5%,10%,20%) didapatkan hasil pada pemberian infus
rimpang temu putih 10 % yang memberikan efek anti-inflamasi terbesar.
VII. SARAN
1. Pada praktikum selanjutnya hendaknya praktikan lebih teliti dalam mengamati
perubahan yang terjadi pada hewan coba.
2. Praktikan hendaknya telah memiliki bekal pengetahuan tentang obat yang akan
digunakan sehingga praktikan akan lebih memahami efek seharusnya obat pada
hewan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Goodman & Gilman.2011. Manual farmakologi dan Terapi. Jakarta:Penerbit Buku
Kedokteran EGC
2. Katzung, Bertram.G .2007.Farmakologi dasar Klinik.Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
3. http://backupccrc.wordpress.com/ensiklopedia/eksiklopedia-tanaman-anti-kanker/t/
temu-putih-curcuma-zedoaria/