anestesi spinal

36
SPINAL ANESTHESIA PENDAHULUAN Anestesi spinal merupakan salah satu dari sekian banyak teknik anestesi regional yang paling umum dari segi praktis pada saat ini. Anestesi spinal menghasilkan kombinasi anestesi regional yang ideal, termasuk teknik yang mudah, reliabilitas tinggi, komplikasi rendah dan kemampuan untuk menghasilkan kontrol nyeri postoperatif. Anestesi spinal dimulai pertama kali oleh beberapa dokter Jerman. Pada tahun 1884, Dr. Carl Kaler pertama kalinya mengaplikasikan kokain pada kornea dan konjunctiva untuk menghasilkan anestesia topikal. Pada tahun 1897, dr. bedah Jerman, Dr. August Bier memakai jarum spinal yang dikembangkan oleh seorang dokter dari Universitas Berlin, Dr. Iraneus Quincke, untuk menginjeksikan kokain ke ruangan subarachroid. Pada awal eksperimen, Bier dan asistennya saling menyuntikkan anastesi spinal ini satu sama lain. Setelah pulih dari blok motorik dan sensoris, masing-masing peneliti melaporkan timbulnya postdural puncture headache yang parah. 1

Upload: yehezkielyesi

Post on 25-Jul-2015

768 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Anestesi Spinal

SPINAL ANESTHESIA

PENDAHULUAN

Anestesi spinal merupakan salah satu dari sekian banyak teknik anestesi regional

yang paling umum dari segi praktis pada saat ini.

Anestesi spinal menghasilkan kombinasi anestesi regional yang ideal, termasuk

teknik yang mudah, reliabilitas tinggi, komplikasi rendah dan kemampuan untuk

menghasilkan kontrol nyeri postoperatif. Anestesi spinal dimulai pertama kali oleh

beberapa dokter Jerman. Pada tahun 1884, Dr. Carl Kaler pertama kalinya

mengaplikasikan kokain pada kornea dan konjunctiva untuk menghasilkan anestesia

topikal.

Pada tahun 1897, dr. bedah Jerman, Dr. August Bier memakai jarum spinal yang

dikembangkan oleh seorang dokter dari Universitas Berlin, Dr. Iraneus Quincke,

untuk menginjeksikan kokain ke ruangan subarachroid. Pada awal eksperimen, Bier

dan asistennya saling menyuntikkan anastesi spinal ini satu sama lain. Setelah pulih

dari blok motorik dan sensoris, masing-masing peneliti melaporkan timbulnya

postdural puncture headache yang parah.

Anestesi spinal awalnya dihambat oleh nyeri kepala hebat, hipotensi, pilihan

farmakologi yang terbatas dan komplikasi infeksi. Saat ini masing-masing hal

tersebut diatas sudah dapat diatasi. Postdural puncture headache dapat berkurang

hingga < 2,5 % dengan pemakaian pencil point spinal needle dan blood patch telah

dikembangkan untuk terapi yang efektif. Hidrasi intravena dan pemakaian

vasokonstriktor yang bijaksana merupakan terapi yang simpel dan efektif untuk atasi

masalah spinal anesthesia induced hypotensi.

Ada banyak pilihan farmakologi yang tersedia sehingga dapat disesuaikan dengan

kebutuhan ketinggian blok dan durasi kerja yang dibutuhkan sesuai dengan prosedur

bedah tertentu. Akhirnya, teknik yang aseptik dan kit spinal anestesia yang steril dan

sekali pakai akan mengurangi komplikasi infeksi.

ANATOMI

1

Page 2: Anestesi Spinal

Ruangan subarachnoid spinal dimulai dari foramen magnum dan berlanjut dengan

ruang subarachnoid intrakranial (gb. 10-1). Ruang subarachonoid spinal tersebar

sampai dengan kira-kira setinggi sakral 2.

Kolumna vertebralis melindungi spinal cord dan nerve root proksimal dalam suatu

ruangan tulang yang protektif dan dibagi menjadi 7 servikal, 12 thoraks, 5 lumbal

(gb. 10-2). Di caudal dari Lumbal 5 terdapat sacrum dan koksigeal. Diantara sacrum

dan koksigeal terdapat posterior opening disebut sacral hiatus yang secara klinis

dipakai untuk melakukan teknik blok kaudal epidural.

Kolumna vertebralis memiliki beberapa kurve yang relevan secara klinis. Pada saat

pasien dengan posisi supinasi :

Titik paling tinggi (paling anterior) pada kolumna vertebralis adalah C5 dan

L4-5.

Titik paling posterior adalah T5 dan S2

Anatomi ini, bersama dengan barisitas dari anestesi yang disuntikkan dapat dipakai

untuk mengontrol level dermatom dari anestesia. Masing-masing vertebra

dihubungkan olel rangkaian ligament (gb.10-3) yang menjaga kestabilan saat

pergerakan. Di anterior dari kanalis spinalis, korpus vertebra dihubungkan oleh

ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Di posterior dari kanalis spinalis,

rangkaian dari 3 buah ligamen menghubungkan lamina dan processus spinosus dari

vertebra yang saling berdampingan.

Ligamen flavum adalah yang paling kuat, dari processus artikuler ke midline

processus spinosus.

Ligamentum interspinosus menghubungkan dengan ligamentum flavum di

bagian anterior dan di bagian posterior dengan ligamentum supraspinosus. Di

bagian superior dan posterior berhubungan dengan processus spinosus.

Ligamentum supraspinosus dari C7 – S1, menghubungkan apeks dari

processus spinosus di posterior.

Pada kanalis spinalis terdapat elemen saraf (spinal cord dan cauda equina), cairan

serebrospinal (CSF) dan pembuluh darah yang mensuplai spinal cord. Pertimbangan

anatomi yang penting adalah inferior terminus dari spinal cord, yaitu konus

medularis (gb. 10-4). Spinal cord tersebar hingga L 3 pada anak-anak dan L 1-2

pada orang dewasa.

2

Page 3: Anestesi Spinal

Di bagian inferior dari titik ini, elemen saraf yang berada pada kanalis spinalis adalah

nerve roots yang terendam di dalam cairan serebrospinal yang disebut Cauda Equina

(merupakan bahasa latin dari “ekor kuda” menggambarkan penampakan nerve roots

pada sakus thekal di bawah konus medularis).

Anestesi spinal diinjeksikan biasanya dibawah L2 untuk mencegah kemungkinan

spinal cord injuri. Disini, nerve roots dari cauda equina relatif mobile dan

tampaknya cenderung tidak tertusuk oleh spinal needle yang masuknya berlebihan.

Spinal cord dibungkus oleh 3 lapisan jaringan penghubung disebut meningen (gb.

10-5). Yang membungkus CSF adalah meningen arakhnoid dan durameter). Ruang

di luar dura disebut ruangan epidural, sedangkan bagian dalam dari arakhnoid

disebut ruang subarakhnoid. Anestesi lokal yang diinjeksikan hanya sampai pada

bagian eksternal dari dura disebut “epidural anestesia”.

Ruangan subarakhnoid disebut juga ruangan “intrathecal”. Anestesi lokal yang

diinjeksikan ke dalam ruang subarakhnoid, menimbulkan anestesia sensoris disebut

“spinal anestesia”.

Piameter adalah lapisan pembungkus ketiga dan merupakan jaringan dengan

vaskularisasi sangat banyak, langsung menempel pada elemen saraf. Diantara

arakhnoid dan piameter terdapat penghubung yang lembut disebut arachnoid

trabeculae.

Elemen saraf dari kolumna spinalis terendam dalam CSF, yang merupakan

ultrafiltrasi dari darah, yang diproduksi dan disekresi oleh pleksus khoroidea pada

ventrikel lateral, III dan IV. Jumlah produksinya relatif sama, kira-kira 500 ml/hari.

Absorpsi CSF sama dengan jumlah produksinya, sehingga total volume CSF sama

dengan jumlah produksinya, total volume CSF adalah 130 – 150 ml. Cerebrospinal

fluid mengandung protein dan elektrolit (utamanya Na dan Cl) dengan berat jenis

1,003 – 1,009 pada suhu 37oC.

3

Page 4: Anestesi Spinal

FISIOLOGI

Injeksi anestesi lokal ke ruang subarakhnoid akan menimbulkan berbagai respon

fisiologis. Pengetahuan terhadap efek ini penting untuk mengoptimalkan keselamatan

pada saat melakukan spinal anestesia.

EFEK KARDIOVASKULER

Respon kardiovaskular adalah akibat blok sistem saraf simpatis yang ditimbulkan

oleh lokal anestesi intratekal. Impuls simpatis dibawa oleh serat saraf A dan C

yang sangat mudah diblok oleh agen lokal anestesi. Sehingga, blok simpatis

biasanya tersebar beberapa dermatom lebih tinggi daripada blok sensoris selama

anestesi spinal. Serat saraf simpatis, keluar dari spinal cord mulai dari T1 – L2,

sehingga blok simpatis total sangat mungkin terjadi pada blok sensoris setinggi

thorakal.

Blok simpatis menimbulkan vasodilatasi arteriole, biasanya akan menurunkan

sistemik vaskular resistensi sebanyak 15% - 20%.

Sebagai catatan, otot polos arteriole masih dapat mempertahankan

autoregulasinya (pada keadaan ini), sehingga tonus vasomotor tetap bisa

dimodulasi oleh kebutuhan metabolik.

Sebaliknya, tonus vena akan terblok total dengan blok simpatis. Sehingga

pooling pada vena sangat menonjol selama spinal anestesia dan venous return

menjadi sangat tergantung pada gravitasi dan tekanan intrathorak negatif selama

ventilasi spontan.

Membalik posisi trendelenburg memiliki efek yang dramatis pada preload

jantung dengan spinal anestesi tinggi. Karena afterload (sistemik vaskuler

resistensi) menurun selama anestesia spinal dan preload akan menjadi penentu

utama dari curah jantung, maka pemberian cairan intravena dan posisi pasien

adalah penentu utama untuk mencegah hipotensi selama anestesi spinal.

Denyut jantung mungkin berkurang dalam hubungan dengan spinal anestesia,

terutama pada blok di tingkat thorak yang tinggi. Bradikardi prinsipnya adalah

akibat blok simpatis preganglionik pada serat kardioakselarator (T1 – T4).

4

Page 5: Anestesi Spinal

Mekanisme bradikardi lainnya pada spinal anestesia tinggi adalah chronotropic

stretch receptor pada atrium kanan. Saat teregang, reseptor ini akan

menimbulkan peningkatan denyut jantung, tapi dengan spinal anestesia yang

menginduksi venodilatasi, aktifasi dari atrial stretch reseptor akan menghilang

dan heart rate berkurang.

Meskipun biasanya denyut jantung hanya berkurang 10 – 20%, pasien atletis

dengan denyut jantung saat istirahat yang rendah, dapat mengalami asistole

selama anestesia spinal. Kasus yang ekstrem ini terutama akibat mediasi dari

reflek Bezold-jarish, reflek yang menimbulkan bradikardi dan hipotensi melalui

pathway aferent dan eferen nervus vagus dan berasal dari kemoreseptor yang

tidak dapat diidentifikasi pada jantung.

Bagaimana peranan reflek Bezold-Jarish menimbulkan bradikardi dan hipotensi

setelah spinal anestesia masih dipertanyakan. Efek kardiak dari spinal anestesia

tergantung dari pemeliharaan preload; spinal anestesia tidak boleh dilakukan

pada pasien hipovolemia yang preload dan aktifitas vasokonstriksi dalam

pertahankan tekanan darahnya sudah berkurang. Pada situasi ini, spinal anestesia

dapat menimbulkan hipotensi yang sangat parah.

Suplai dan kebutuhan oksigen miokard sangat dipengaruhi oleh spinal anesthesia.

Suplai O2 miokard adalah berbanding proporsional dan langsung dengan aliran

darah koroner. Aliran darah koroner, dikontrol oleh coronary perfusion pressure

(CPP) dan denyut jantung. Karena kira-kira 80 % aliran darah koroner terjadi

selama diastolik, maka :

Coronary Perfusion = Diastolic Blood - Left Ventricular EndPressure (CPP) Presure (DBP) Diastolic Pressure

(LVEDP)

Spinal anesthesia merubah tiap-tiap parameter diatas. DBP biasanya berkurang

15-20% yang cenderung menurunkan perfusi koroner. Penurunan preload dan

afterload, keduanya mengurangi LVEDP, yang akan menurunkan kebutuhan O2

miokard sehingga menutupi penurunan DBP. Hasilnya hanya terjadi sedikit

penurunan CPP (5-10%).

5

Page 6: Anestesi Spinal

Heart rate juga penting, karena waktu diastolik secara tidak proporsional

memendek (dibandingkan dengan waktu sistolik) akibat peningkatan heart rate.

Heart rate cenderung menjadi stabil / menurun dengan spinal anestesia.

Kebutuhan O2 miokard juga dipengaruhi oleh heart rate, tegangan dinding

ventrikel dan keadaan inotropik. Denervesi (hambatan) simpatis kardiak akan

menurunkan heart rate dan inotropik kira-kira 15 – 20 %. Berkurangnya preload

dan afterload akan mengurangi ukuran ventrikel kiri sehingga akan menurunkan

tegangan dindingnya. Kebutuhan O2 juga menurunkan sejumlah yang kira-kira

sama dengan suplai O2 ke miokard. Sehingga, meskipun suplai dan kebutuhan

berkurang secara keseluruhan, keseimbangan metabolik tetap terpelihara.

Cerebral blood flow juga dibicarakan. Autoregulasi serebral mempertahankan

cerebral blood flow secara konstan, antara mean arterial pressure 50 – 150

mmHg. Hal ini terjadi karena perubahan pada resistensi vaskular serebral yang

timbul secara lokal sebagai kompensasi untuk peningkatan atau pengurangan

tekanan perfusi. Dua kelompok pasien membutuhkan pertimbangan spesial.

Pada pasien dengan hipertensi kronis, autoregulasi serebral berubah ke arah

yang lebih tinggi, biasanya pada kisaran 80 – 180 mmHg. Sehingga hanya sedikit

hipotensi yang boleh terjadi pada pasien hipertensi kronis dengan spinal

anestesia.

Pasien dengan aterosklerosis serebravaskuler yang signifikan lebih sensitif

dengan menurunkan MAP. Karena adanya obstruksi yang menetap dan

signifikan, vasodilatasi serebral sebagai respon hipotensi, tampaknya tidak bisa

mempertahankan cerebral blood flow. Pasien ini harus memiliki MAP pada

kisaran 20 % normal.

PERUBAHAN RESPIRASI

Volume tidal resting, minute ventilasi dan arterial blood gases tidak berubah

dengan spinal anestesi thorak tinggi. Hal ini karena, kontrol inspirasi adalah oleh

fungsi diafragma (n.phrenicus), yang tidak dipengaruhi oleh spinal anestesia.

Ekshalasi normal dikontrol oleh elastic recoil pasif dari paru. Respirasi manuver

yang memerlukan ekshalasi aktif akan dihambat oleh anestesi spinal yang

luasnya sampai ke dermatom thoraks.

6

Page 7: Anestesi Spinal

Maximum breathing capacity, maximum ekspiratory volume dan maximum

ekshalasi pressure ditimbulkan oleh batuk, melibatkan otot nafas aksesoris

termasuk otot abdominal anterior dan otot interkostal. Anestesi spinal yang

meluas sampai dengan dematom thorax akan memblok fungsi motoris otot-otot

ini dan dapat menimbulkan eksaserbasi dispnea pada pasien yang memerlukan

ekshalasi aktif (ashma) atau bronkitis kronis. Tidaklah umum terjadi gagal nafas

sebagai akibat dari hal ini.

Pada keadaan spinal anestesia tinggi (servikal) fungsi n. phrenicus (C3-C5) bisa

terganggu. Konsentrasi yang diperlukan oleh anestesi lokal untuk menimbulkan

blok motoris n. phrenicus lebih tinggi daripada konsentrasi yang biasanya

ditemukan pada total spinal anestesia.

Tampaknya, hipotensi berat akibat anestesi spinal tinggi / total menyebabkan

kurangnya perfusi pada medullary respiratory center, sehingga timbullah apnea.

Pengembalian tekanan darah dan curah jantung biasanya akan mengembalikan

ventilasi spontan.

HEPATIC DAN RENAL BLOOD FLOW

Hepatic blod flow berkurang pada anestesi spinal dengan proporsi yang sesuai

terhadap penurunan MAP. Oksigensi vena hepatika berkurang, menunjukkan

peningkatan ambilan O2 oleh liver. Perubahan yang sama seperti pada general

anestesia.

Tidak ada studi pada manusia, yang menunjukkan apakah spinal atau general

anestesia lebih dipilih pada pasien dengan penyakit hepatik. Manipulasi bedah

pada abdomen atas saja, menimbulkan penurunan hepatic blood flow yang lebih

besar daripada general atau regional anestesia.

Renal blood flow diautoregulasi pada kisaran 50-150 MAP. MAP < 50 mmHg

menimbulkan penurunan renal blood flow dan penurunan urine output. Apabila

tidak ada hipovelemia, fungsi ginjal biasanya dapat mempertahankan dengan

baik, meskipun terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan.

7

Page 8: Anestesi Spinal

EFEK FISIOLOGI SPINAL ANESTESIA LAINNYA

Hormonal dan stres respon metabolik yang diinduksi oleh stimulasi bedah,

dihambat lebih baik oleh spinal anestesia daripada general anestesia. Tetapi,

setelah pulih dari blok spinal, stres respon postoperatif adalah sama pada pasien

dengan spinal anestesia atau general anestesia.

Motilitas gaster biasanya meningkat dengan anestesi spinal. Inervasi simpatis

pada usus besar dan kecil adalah lewat spinal nerve root T5 – L1. Dengan blok

simpatis, tidak ada yang menghambat intervasi vagal sehingga peristaltik lebih

aktif.

PEMAKAIAN KLINIS

Anestesia spinal sesuai untuk sebagian besar prosedur pada ekstremitas bawah dan

genitourinari. Prosedur pada abdomen bawah seperti melahirkan lewat caesar, ligasi tuba

postpartum dan histerektomi tanpa komplikasi juga sesuai dengan anestesia spinal.

Kebanyakan prosedur yang melibatkan bedah pada abdomen atas lebih baik

dikerjakan dengan general anestesia. Meskipun level sensoris dapat dikendalikan

dengan adekuat oleh spinal anesthesia, tetapi tarikan peritoneal dan retraksi bedah

seringkali menyebabkan ketidaknyamanan.

Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan antara spinal atau general anestesia.

Hampir tidak ada batasan waktu anestesia dapat diperoleh dengan melakukan CSE

atau continous spinal anestesia. Bagaimanapun juga, seleksi pasien dan pemakaian

sedasi yang bijaksana adalah penting, karena banyak pasien akan merasa tidak

nyaman bila berada dalam posisi yang sama untuk waktu lama.

Kebanyakan studi melaporkan, lebih sedikit nausea dan vomiting akan mengikuti

spinal anestesia daripada general anestesia. Penambahan opoid neuroaxial seringkali

dapat meningkatkan kontrol nyeri setelah pembedahan. Tampaknya tidak ada

perbedaan klinis yang signifikan pada outcome cardiac antara spinal atau general

anestesia, bahkan pada pasien dengan resiko tinggi.

Outcome pulmoner secara signifikan lebih baik pada pasien resiko tinggi (misal :

obese dengan insisi abdomen atas) yang mendapat kontrol nyeri setelah pembedahan

dengan infus anestesi lokal kontinyu via epidural. Yang dimaksud dengan outcome

8

Page 9: Anestesi Spinal

pulmoner adalah lebih sedikit ateletaksis postoperatif, desaturasi oksigen dan

pneumonia. Meskipun belum ada peningkatan yang demonstratif pada outcome

pasien yang menerima anestesia spinal untuk pembedahan.

Ini tampaknya menunjukkan kebutuhan analgesia sampai dengan beberapa hari

setelah pembedahan untuk meningkatkan pulmonary toilet dan fakta bahwa

kebanyakan spinal anestesia dilakukan pada prosedur paru beresiko rendah yang

melibatkan ekstremitas bawah.

Kontra indikasi untuk neuroaxial regional aneshtesia dibicarakan pada bab 9, 13 dan

16. Spinal anestesia tidak boleh dilakukan pada keadaan dengan koagulopati, akibat

resiko epidural hematom. Infeksi sistemik atau lokal pada regio lumbal merupakan

predisposisi terbentuknya abses lokal / meningitis. Hipovolemia yang signifikan

merupakan predisposisi timbulnya hipotensi berat dan potensial menyebabkan

cardiac arrest pada spinal anestesia. Akhirnya, spinal anestesi seringkali dihindari

pada pasien dengan kelainan spesifik intrakardiac, dimana pemeliharaan preload dan

afterloadnya kritis.

TEKNIK

PRE BLOCK PREPARATIONS

Karena induksi spinal anestesia seringkali menimbulkan perubahan hemodinamik

yang cukup bermakna, pasien harus dimonitor kontinyu, obat-obat resusitasi dan

peralatan harus dapat disediakan dengan segera.

Adalah sangat membantu untuk memiliki seorang asisten untuk memposisikan

pasien dan memberikan suport psikologis. Sedasi (analgetik dan anxiolitik)

seringkali diberikan sebelum melakukan anestesi spinal untuk mengurangi rasa

tidak nyaman dan anxietas.

Obat-obat ini dapat menyebabkan gangguan yang signifikan pada kardiorespirasi

dan dapat menutupi nyeri / parastesia akibat injeksi intraneural. Adalah penting

untuk mengingat bahwa tidak semua spinal anestesia sukses dan spinal anestesia

itu sendiri bisa mengakibatkan gangguan respirasi.

9

Page 10: Anestesi Spinal

Sehingga, setiap anestesia spinal potensial memerlukan perubahan yang cepat ke

general anestesia. Obat-obat dan peralatan untuk airway management yang tepat

harus bisa disediakan dengan cepat.

PATIENT POSITIONING

Lateral dekubitus, duduk dan prone posisi, semuanya dapat digunakan untuk

melakukan anestesia spinal. Tiap posisi memiliki kelebihan dan kekurangan.

Lateral dekubitus adalah posisi yang paling sering dipakai. Pasien biasanya

merasa nyaman dengan posisi ini dan lebih sedikit menelungkup dalam bergerak,

dibandingkan posisi duduk. Sinkop lebih jarang terjadi daripada posisi duduk.

Pasien diposisikan pada pinggir meja operasi (gb. 10-6) dengan pinggul dan bahu

diposisikan vertikal. Laki-laki dewasa biasanya memiliki axis vertebral sedikit

naik, karena bahu yang sedikit lebih besar daripada lebar pinggul.

Wanita dewasa biasanya memiliki axis vertebral sedikit turun. Kedua pinggul

dan thorax bagian atas harus difleksikan untuk memperoleh reverse lordotik

posisi, yang memaksimalkan jarak antara prosedur spinosus dari lumbal.

Posisi duduk, rutin dipilih oleh beberapa praktisi dan seringkali dipilih saat

dilakukan pada pasien obese. Pada populasi obese, palpasi dimidline processus

spinosus seringkali sulit / tidak memungkinkan. Pada kasus ini, posisi midline

dapat diperkirakan dengan menghubungkan garis imaginer antara vertebra

cervical yang paling menonjol (C7) dan cekungan intergluteal dan hal ini lebih

mudah dilakukan saat pasien duduk. Seorang asisten diperlukan untuk

mempertahankan posisi stabil, terutama apabila pasien telah tersedasi.

Pasien diminta untuk menundukkan bahu ke depan dan berusaha memfleksikan

tulang belakangnya (gb.10-7). Kesalahan yang tersering adalah karena pasien

seringkali melekukkan pinggangnya ke depan.

Posisi duduk juga memberikan teknik spinal anestesia yang terbatas pada daerah

pelvis. Ini menimbulkan “saddle block” atau blok sensoris yang terbatas pada

permukaan perineum, umumnya seperti pada bagian yang kontak dengan tempat

duduk (sadel) saat mengendarai punggung kuda (gb. 10-8). Injeksi anestesi lokal

hiperbarik pada CSF dengan posisi duduk menyebabkan pooling obat di daerah

subrachnoid yang paling dependent (sakrum). Teknik ini seringkali berguna

untuk melahirkan per vagina, seperti juga pada bedah urologi dan ginekologi.

10

Page 11: Anestesi Spinal

Posisi telungkup kadangkala dipilih untuk melakukan spinal anestesia pada

pasien yang akan dilakukan anal surgery dengan posis jack-knife (gb. 10-9).

Pasien diposisikan sesuai pembedahan lalu dilakukan lumbal punksi. Anestesi

lokal hipobarik dipergunakan untuk membatasi efek anestesi pada dermatom

sakral dan lumbal bawah.

PUNCTURE SITE

Punksi dura biasanya dilakukan dibawah L2 untuk menghindari spinal cord yang

berakhir pada L1-L2. Meskipun terdapat variasi dari masing-masing individu,

sebuah garis yang melalui Krista iliaca biasanya akan melalui ruang diantara L4-

L5 (gb. 10-7). Teknik aseptik yang baik adalah penting. Hal ini termasuk

melapisi regio lumbal dengan iodine dan atau larutan alkohol dan memakai

penutup steril.

MIDLINE ATAU PARAMEDIAN APPROACH

Dua pendekatan ke ruang subarachnoid seringkali dipakai yaitu midline dan

paramedian (gb. 10-10). Keduanya simpel dan efektif. Praktisi harus familiar

dengan kedua pendekatan ini, sehingga mereka memiliki teknik alternatif pada

saat pendekatan pertama gagal dilakukan.

Untuk pendekatan midline, processus spinosus dipalpasi di regio lumbal. Setelah

membersihkan regio dan mendapatkan posisi kulit dimana terletak processus,

jarum spinal dimasukkan dengan sagittal plane, dengan orientasi jarum 10o ke

cephalad. Orientasi ini diperlukan karena ruang interlaminer adalah sedikit

cephalad daripada intrespinosus space yang kita palpasi.

Pendekatan paramedian seringkali dipilih pada pasien dengan lordosis lumbal

berlebihan dan pasien hamil yang tidak bisa memfleksikan kolumna vertebra

mereka. Dengan lordosis berlebihan, processus spinosus mereka jadi lebih

berdekatan di midline, mencegah pasase jarum spinal ke kanalis spinalis.

Pendekatan paramedian kurang dipengaruhi oleh fleksi suboptimal dari spine.

Pendekatan paramedian juga dipilih pada pasien tua dengan kalsifikasi ligamen

interspinosus. Dengan pendekatan paramedian, kulit disuntikkan dengan anestesi

lokal sekitar 1 – 1,5 cm ke inferior dan lateral dari interspace vertebra yang

11

Page 12: Anestesi Spinal

diinginkan. Jarum spinal disuntikkan dengan orientasi 15o ke cephalad dan

medial.

Taylor approach adalah varian dari pendekatan paramedian yang dipakai untuk

memasuki interspace L5-S1. Interspace ini adalah interspace lumbal terbesar

dan seringkali dipakai sebagai jalan masuk, apabila jalan masuk di interspace

yang lebih tinggi sulit dilakukan. Palpasi bagian inferior dari posterior iliaca

spine (PSIS). Punksi jarum dilakukan 1 cm medial dan 1 cm inferior dari batas

PSIS inferior (gb. 10-10). Jarum spinal disuntikkan dengan angulasi jarum ke

midline (45 – 55o) dan kemudian cephalad (45-55o). Pada pasien obese, arah

jarum harus 30 – 45o ke cephalad dan orientasi medial untuk mengatasi

ketebalan jaringan. Jika terjadi kontak dengan tulang jarum diarahkan lebih

cephalad melewati tulang lamina menuju interspace.

CONTINOUS SPINAL ANESTHESIA

Untuk menghasilkan spinal anestesia yang kontinyu, kateter diletakkan dalam

ruang subarachnoid. Biasanya jarum epidutal Tuohy g 18 diletakkan di ruang

subarachnoid melalui pendekatan midline / paramedian.

Setelah punksi duramater, kateter dimasukkan 2 – 5 cm ke ruang lumbal (metode

paling sering dipakai adalah memakai kateter yang sama seperti saat melakukan

anestesia epidural). Hal ini memungkinkan titrasi yang cepat dan reliabel dari

blok spinal (dosis kecil berulang dapat dilakukan) dan durasinya tidak terbatas

(kateter memungkinkan dosis ulangan saat blok mulai melemah).

MEMPOSISIKAN PASIEN DAN BLOK YANG DIINGINKAN

Dengan memilih posisi pasien bersamaan dengan jumlah dan barisitas larutan

lokal anestesia, ketinggian blok dapat relatif terkontrol, dan dapat dicapai derajat

dari blok unilateral. Bagaimanapun, dapat dicapai selama 15 – 20 menit pada

posisi lateral untuk blok unilateral yang memuaskan. Yang lebih umum, pasien

tetap dipertahankan pada posisi mereka untuk beberapa menit lalu diposisikan

supine kembali. Hal ini akan menghasilkan blok bilateral yang hampir sama

setelah beberapa menit.

12

Page 13: Anestesi Spinal

Sebagai contoh saat memakai barisitas dan posisi pasien, istilah “saddle block”

dimaksud untuk menyuntikkan dosis kecil dari lidocaine hiperbaric (misal 25 mg

dari 5% lidocaine dalam 7,5 % dekstrose) ke ruang lumbal pada pasien dengan

posisi duduk pasien dibiarkan pada posisi ini selama 5 – 10 menit setelah injeksi,

menyebabkan larutan anestesi lokal mengalami pooling pada nerve roots sacral.

Anestesia perineal akan terjadi (gb. 10-8) dengan minimal hipotensi (karena

ketinggian blok adalah dibawah L2 – ujung dari serta saraf simpatis).

PEMILIHAN FARMAKOLOGI

Hampir semua anestesia spinal melibatkan injeksi anestetik lokal, baik tanpa maupun

dengan kombinasi obat-obat adjuvant. Farmakologi dari obat ini telah dibahas pada

bab awal. Bagian ini memfokuskan pada pemakaian spesifik dari obat-obat ini di

ruangan subarachnoid (tabel 10-1).

ANESTESI LOKAL

Lidokain, bupivacaine & tetracaine, semuanya umum dipakai untuk spinal anestesia.

- Lidokain

Lidokain (durasi pendek – intermediate spinal anestesia) dengan dosis 20 – 100

mg seringkali dipilih untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu 75

menit atau kurang. Lidokain umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 %

dektrose meskipun 1,5 dan 2 % lidokain juga berguna.

Penambahan epinephrine 0,2 mg memanjangkan anestesia 15 – 40 menit,

tergantung dosis anestesi lokal yang dipakai, tetapi berhubungan dengan blok

motoris yang memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat.

Fentanyl 15 – 25 gr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi

substansial pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan

insiden transient neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok

nyeri torniquet pada ekstremitas bawah.

- Bupivakain

Bupivacaine (durasi intermediate spinal anestesia) dengan dosis 5 – 15 mg adalah

sesuai untuk pembedahan selama 50 – 150 menit, meskipun durasi dari

13

Page 14: Anestesi Spinal

bupivakain tampaknya memiliki deviasi yang lebih lebar daripada standar, bila

dibandingkan dengan lidokain.

Spinal anestesia umumnya dilakukan dengan 0,75% bupivacaine dalam 8,25 %

dekstrosa. Larutan bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit

hipobarik dan umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah.

Epinephrine memanjangkan blok sensoris dan motoris kira-kira 30 – 45 menit

saat ditambahkan pada bupivakain dosis kecil (7,5 mg).

Fentanyl juga dipakai sebagai adjuvant untuk mengurangi dosis bupivakain

(sehingga hipotensi lebih sedikit) dan meningkatkan analgesia.

- Tetrakaine

Tetrakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 4 – 12 mg dipakai

untuk pembedahan dengan durasi 3 – 4 jam. Tetracaine merupakan salah satu

dari agen spinal anestesi tertua. Tersedia dalam sediaan komersial sebagai kristal

niphanoid (20 mg) atau larutan 1 %. Tetracaine kurang stabil pada bentuk

larutan cair (daripada lidokain) dan menghasilkan tetracaine ampul dengan

potensi rendah karena sebagian obat didegradasi selama penyimpanan.

Tetracaine adalah unik diantara agen spinal anestesi lainnya, karena keberhasilan

untuk memblok sangat tergantung dengan co-administration epinephrine.

Kegagalan blok hampir 35 % pada plain tetracaine. Tetracaine & epinephrine

adalah spinal anestetic agent paling lama, menghasilkan anestesia pada abdomen

bawah kira-kira 4 jam dan ekstremitas bawah 5 – 6 jam.

ADITIF PADA SPINAL ANESTESIA

- Vasokontriktor

Vasokontriktor seringkali ditambahkan pada lokal anestetik intrathecal untuk

menghambat uptake vaskuler sehingga memanjangkan blok. Epinephrine dan

lebih jarang phenylephrine adalah agen yang dipakai untuk tujuan ini. Selain

vasokontriksi, epinephrine juga menimbulkan analgesia lewat stimulasi 2

receptor. Klonidine, 2 agonis memperpanjang blok motoris dan sensoris pada

tetracaine, lebih besar daripada epinephrine.

14

Page 15: Anestesi Spinal

Selain memanjangkan blok sensoris, penambahan epinephrine pada spinal

anestetik lokal juga memanjangkan blok motoris dan memperlambat miksi. Dua

faktor ini menghambat pulih dari anestesi spinal. Untuk outpatient surgery,

kebanyakan center menghindari epinephrine intrathecal. Sesungguhnya,

pemakaian opoid lipofilik intratekal akan meningkatkan dan memanjangkan

anestesia tanpa menghambat pemulihan.

- Opioids

Analgesik opioid dapat ditambahkan pada spinal anestesia. Opioid nampaknya

menimbulkan supra-aditif (sinergistik) anestesia saat ditambahkan pada intratekal

lokal anestetik. Efek sinergis ini tampak menonjol terutama pada nyeri visceral.

Opioid spinal memblok pathway nyeri dengan tambahan minimal pada blok serat

motoris dan simpatis. Dua klas opioid dipakai pada spinal anestesia dan analgesia.

Opioid hidrofilik biasanya ditambahkan untuk prolong postop analgesia.

Morphine sulfat 0,1 – 0,3 mg adalah yang umum dipilih. Agen ini memiliki efek

analgesik dalam 45 menit pada pemberian lumbal dan mengurangi kebutuhan

tambahan analgesia postop selama 12 – 24 jam.

Morpin perlahan naik pada spinal colum dan mencapai sirkulasi LCS kira-kira 8

jam setelah pemberian lumbal. Hal ini sesuai dengan depres nafas yang

terjadinya delayed, yang dilaporkan pada pemberian morphine intralekal; efek

puncaknya tampak pada 8 – 10 jam setelah pemberian.

Morphin spinal memiliki beberapa efek lain yang tidak diinginkan. Nausea dan

vomiting tampaknya lebih banyak daripada opioid sistemik. Pruritus yang umum

(60 – 80 %) dan yang parah (20 %). Miksi secara substansial dihambat, mungkin

karena hambatan pada mekanisme detrusor. Karena adanya sedikit resiko dari

depres nafas yang delayed dan gangguan fungsi kencing, obat ini tidak sesuai

untuk bedah pada outpatient.

Opioid Lipofilik (fentanyl dan sulfentanyl) populer pada spinal anestesia.

Fentanyl 10-25 g atau sulfentanyl 2,5 – 10 gr dapat ditambahkan pada

anestesia spinal untuk mencapai beberapa tujuan. Agen ini memiliki onset cepat

terhadap sinergis anestetik dan meningkatkan anestesia intraoperatif. Hal ini

seringkali ditunjukkan dengan berkurangnya nyeri torniquet saat prosedur bedah

15

Page 16: Anestesi Spinal

ortophedi, seperti juga berkurangnya nyeri dan muntah selama proses melahirkan

seksio cesarea.

Opioid lipofilik juga mengurangi dosis co-administered anestesi lokal, sehingga

pulih motoris dari anestesi spinal lebih cepat pada outpatient. Lidokain 30 mg

(0,5 %) diskombinasi dengan fentanyl 20 g menimbulkan anestesi yang baik

untuk arhtroskopi lutut dengan insiden nausea lebih rendah dan peningkatan

kontrol nyeri postoperatif, bila dibandingkan dengan dosis standar lidokain

hiperbarik.

Demikian juga 3,75 mg bupivakain (0,75% dalam 8,25% dekstrosa) dikombinasi

dengan 25 g tentanil menghasilkan anestesia yang sangat baik untuk outpatient

yang mendapatkan oocyte selama fertilisasi invitro. Depres respirasi jarang

terjadi pada opioid lipophilic intralekal. Tidak seperti morphin, miksi tidak

dihambat, diantara efek spinal lokal anestetik agen.

PROPERTI FISIK KIMIA

- Barisitas Injeksi

Tiga definisi penting untuk mengerti barisitas dan injeksi lokal anestesi :

DENSITY

Densitas larutan adalah massa dalam gram dalam 1 mililiter larutan pada suhu

standar.

SPECIFIC GRAVITY

Adalah ratio yang membandingkan densitas larutan terhadap densitas air.

BARISITAS

Adalah ratio yang membandingkan spesifik gravity dari sebuah larutan

dengan larutan lain. Jika larutan yang kedua adalah air, maka barisitasnya

akan sama dengan spesifik gravity.

Injeksi Intratekal biasanya dideskripsikan sebagai :

Hipobarik (spesifik gravity lebih rendah daripada LCS)

Isobarik (Spesifik gravity sama dengan LCS)

Hyperbarik (Spesifik gravity lebih tinggi daripada LCS)

Specific gravity LCS berkisar 1,003 – 1,009.

16

Page 17: Anestesi Spinal

Dengan variasi posisi pasien dan memperhatikan barisitas saat injeksi, lokasi dan

level blok dapat dikontrol dengan signifikan. Pada praktek klinis, injeksi

hiperbarik lebih sering. Larutan ini dibuat hiperbarik dengan menambahkan

dekstrosa ke dalam larutan anestesi lokal.

Penambahan dekstrosa akan meningkatkan densitas, sehingga spesific gravity

akan meningkatkan lebih besar daripada spesific gravity LCS. Karena larutan ini

lebih dense daripada LCS, mereka cenderung berada (mengendap) pada area

dependent dari space intrathekal.

Injeksi anestetik lokal isobarik juga populer. Posisi pasien tidak mempengaruhi

penyebaran blok dengan injeksi isobarik. Sehingga tidak penting untuk

pertahankan pasien pada posisi tertentu untuk menimbulkan blok pada posisi

supine. Larutan isobarik cenderung tetap berada lokal didekat lokasi injeksi.

Klinis, larutan isobarik dipakai termasuk 0,5 atau 0,75 % bupivacaine dan 2 %

lidokain. Harus diingat bahwa 0,5 % bupivacaine dan 2% lidokaine memiliki

spesific gravity dekat dengan kisaran batas bawah spesific gravity LSF.

Sehingga obat ini bisa jadi beraksi seperti hipobarik pada pemakaian klinis (regio

nondependent terblok lebih banyak).

Juga menghangatkan larutan pada 37oC mengurangi densitas larutan dan

membuat 0,5 % bupivacaine dan 2 % lidokaine secara klinis hipobarik. Karena

penyebaran bloknya yang terbatas, larutan isobarik ideal dan cocok untuk bedah

ekstremitas bawah dan pelvis ekstraperitoneal. Bedah intraabdomen biasanya

tidak memakai agen hipobarik.

Larutan hipobarik kadangkala juga dipakai secara klinis. Bupivacaine 0,25 – 0,5

% dan lidokaine 1 – 1,5 % adalah hipobarik saat dihangatkan dengan suhu tubuh.

Larutan hipobarik akan terapung pada regio nondependen di space intrathekal.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEBARAN BLOK

Banyak faktor telah dipelajari untuk membantu memperkirakan ketinggian blok.

Variabel-variabel prosedur berikut sudah jelas memberikan efek pada penyebaran

blok :

Jumlah obat

Barisitas obat

17

Page 18: Anestesi Spinal

Posisi pasien dan

Arah dari apertura jarum (dengan jarum pencilpoint).

Usia memiliki efek pada ketinggian blok, dengan usia tua biasanya blok

mencapai 2 – 3 dermatom lebih tinggi daripada dewasa muda.

Dengan agen spinal anestesi hiperbarik, tinggi pasien merupakan variabel

minor, seperti juga anatomi spinal menentukan penyebaran blok.

Sesungguhnya faktor terbaik dalam menentukan ketinggian blok tidak bisa

diukur secara klinis. Variasi volume LCS dilumbosacral menjelaskan mayoritas

terbanyak (80 %) dari perbedaan ketinggian blok pada spinal anestesia.

Tinggi, jenis kelamin dan usia tidak secara adekuat dapat memperkirakan volume

LCS. Tinggi pasien berhubungan dengan volume spinal tapi hubungan ini tidak

cukup dekat untuk dipakai secara klinis. Akhirnya, ketinggian blok telah

ditunjukkan berhubungan langsung dengan densitas LCS.

KOMPLIKASI

Komplikasi anestesia spinal termasuk sakit kepala, gejala neurologis, hipotensi,

depres respirasi dan cardiac arrest. Postdural puncture headache dan neurologic

injury didiskusikan pada bab 12 dan 14.

Hipotensi umum menyertai spinal anestesia. Tergantung pada populasi pasien dan

pemakaian agen anestetik spinal, hipotensi (penurunan tekanan sistolik > 20 %)

terjadi pada 20 – 70 % anestesia spinal. Meskipun bolus cairan sebelum anestesia

spinal seringkali diberikan untuk mencegah, efektifitasnya rendah. Cardiac output

lebih baik dipelihara dengan pre-hidrasi, tapi tekanan darah sangat sedikit

terpengaruhi.

Pemberian volume simultan dengan spinal anestesi blokade dan vasokonstriktor lebih

efektif daripada prehidrasi. Pendekatan yang efektif untuk meminimalkan hipotensi

adalah mengubah obat yang dipakai pada anestesia spinal. Opioid lipofilik seringkali

ditambahkan pada agen anestetik local dan secara dramatis mengurangi (50 – 70%)

dosis anestetik lokal ini. Hal ini bentuknya, mengurangi secara signifikan jumlah dan

keparahan hipotensi, pemakaian vasopresor dan kebutuhan cairan.

18

Page 19: Anestesi Spinal

Sebuah analisis dari ASA closed claims database, mengungkapkan 14 kasus cardiac

arrest selama spinal anestesia. Dua buah pola teridentifikasi :

Pola pertama adalah terjadi pada pasien yang menerima sedasi intravena

sehingga membuatnya mengalami keadaan “sleep-like” dengan tidak adanya

verbalization spontan. Pada kasus ini, cardias arrest seringkali diikuti dengan

sianosis, yang terjadi sebelum insufisiensi respirasi yang menimbulkan arrest.

Pola kedua adalah pada grup penderita yang mengalami blok spinal tinggi dan

hipotensi parah sebelum cardiac arrest.

Analisis terhadap hal ini menunjukkan pentingnya

- Perubahan posisi (trendelenburg) dengan tepat akan meningkatkan central

venous filling dan

- Pemakaian tepat dan agresif dari dan agonis (epinephrine) untuk mengembalikan

curah jantung.

Beberapa faktor dapat menyebabkan cardiac arrest, yang berhubungan dengan

spinal anestesia yang secara signifikan telah banyak terjadi daripada anestesia

epidural atau blok saraf tepi.

Hipotensi yang berat dapat menyebabkan cardiac aritmia, pengurangan perfusi

central nervous system dan apneu. Semua faktor ini dapat menyebabkan cardiac

arrest. Juga terdapat grup penderita, yang secara mengejutkan tampaknya beresiko

tinggi untuk mengalami cardiac arrest. Lebih muda, pasien atletis dengan denyut

jantung istirahat yang rendah, tampaknya beresiko untuk mengalami bradikardi dan

asistole selama anestesia spinal.

Faktor resiko lainnya yang telah diidentifikasi untuk “athletic heart syndrome” ini

termasuk pemanjangan PR interval dan blok spinal diatas T4. Faktor terakhir ini

mungkin mengindikasikan blok simpatis di T2 – T4 (serat cardiac accelarator)

sehingga input vagal ke jantung tidak tertutupi.

Depres respirasi tidak umum dengan anestesia spinal dilaporkan 0,2 – 1,0 %.

Beberapa penyebab depres respirasi, terutama dengan dosis tinggi morphin

intrathekal. Puncak dari depres respirasi ini adalah 8 – 10 jam setelah pemberian

morphin spinal.

Depres respirasi juga dapat terjadi akibat blok spinal tinggi. Hilang kesadaran dan

apneu kemungkinan terjadi skunder akibat hipotensi dan perfusi central nervous

19

Page 20: Anestesi Spinal

system yang tidak adekuat. Kemungkinan penyebab tersering dari depres respirasi

adalah over-sedasi.

Monitoring pasien dengan kontak suara, pulse oksimetri dan capnography akan

membantu mencegah terjadinya over sedasi.

KESIMPULAN

Anestesi spinal tetap merupakan salah satu bentuk regional anestesia yang paling

umum. Dengan kemahiran pada prosedur, farmakologi, dan aspek fisiologi, blok

spinal dapat dilakukan dengan aman, tepat dan efisien.

20

Page 21: Anestesi Spinal

21

Page 22: Anestesi Spinal

22

Page 23: Anestesi Spinal

23

Page 24: Anestesi Spinal

24