anestesi lokal.doc

11
Anestesi Lokal 2.1 Anestesi Lokal 2.1.1 Definisi Anestetik lokal adalah obat yang menghasilkan blockade konduksi atau blockade lorong natrium pada dinding saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. 1 Anestesi lokal adalah obat – obat yang menghalangi penghantaran impuls – impuls saraf ke susunan saraf pusat secara reversible pada penggunaan lokal. 2 2.1.2 Struktur Anestetik Lokal Anestetik lokal merupakan gabungan dari garam laut dalam air dan alkaloid larut dalam lemak dan terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian ekor yang terdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik. Anestetik lokal dibagi menjadi dua golongan: 1 i) Golongan ester (-COOC-) Obat – obat ini termetabolisme melalui hidrolisis. Yang termasuk kedalam golongan ester, yakni : Kokain, Benzokain, ametocaine, prokain, piperoain, tetrakain, kloroprokain. ii) Golongan amida (-NHCO-) Obat – obat ini termetabolisme melalui oksidasi dealkilasi di dalam hati. Yang termasuk kedalam golongan amida, yakni : Lidokain, mepivakain, prilokain, bupivacain, etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivacaine.

Upload: sheilla-elfira

Post on 24-Nov-2015

23 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

farmako

TRANSCRIPT

Anestesi Lokal

2.1 Anestesi Lokal2.1.1 Definisi Anestetik lokal adalah obat yang menghasilkan blockade konduksi atau blockade lorong natrium pada dinding saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. 1 Anestesi lokal adalah obat obat yang menghalangi penghantaran impuls impuls saraf ke susunan saraf pusat secara reversible pada penggunaan lokal. 22.1.2 Struktur Anestetik LokalAnestetik lokal merupakan gabungan dari garam laut dalam air dan alkaloid larut dalam lemak dan terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian ekor yang terdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik. Anestetik lokal dibagi menjadi dua golongan: 1i) Golongan ester (-COOC-)

Obat obat ini termetabolisme melalui hidrolisis. Yang termasuk kedalam golongan ester, yakni : Kokain, Benzokain, ametocaine, prokain, piperoain, tetrakain, kloroprokain.

ii) Golongan amida (-NHCO-)

Obat obat ini termetabolisme melalui oksidasi dealkilasi di dalam hati. Yang termasuk kedalam golongan amida, yakni : Lidokain, mepivakain, prilokain, bupivacain, etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivacaine.

Kecuali kokain, maka semua anestesi lokal bersifat vasodilator (melebarkan pembuluh darah). Sifat ini membuat zat anestesi lokal cepat diserap, sehingga toksisitasnya meningkat dan lama kerjanya jadi singkat karena obat cepat masuk ke dalam sirkulasi. Untuk memperpanjang kerja serta memperkecil toksisitas sering ditambahkan vasokonstriktor. Vasokonstriktor merupakan kontraindikasi pada keadaan-keadaan sebagai berikut: 2(1) Anestesi end organ, misalnya telinga dan jari.

(2) Infiltrasi, blok saraf pada persalinan spontan.

(3) Penderita usia lanjut.

(4) Penderita hipertensi.

(5) Penderita dengan penyakit-penyakit kardiovaskuler.

(6) Penderita diabetes mellitus.

(7) Penderita tirotoksikosis.

2.1.3 Cara Pemberian 2,5,6,71. Topikal : melalui cara ini obat dioleskan/ disemprotkan pada mukosa daerah tindakan, misalnya pada mata, rongga hidung, faring, laring, traktus respiratorius bagian bawah, telinga, uretra dan jalan lahir. Agen anestesi lokal yang digunakan yang mudah diserap permukaan mukosa, seperti lignokain 4%, kokain 5%, tetrakain, dan lidokain.

2. Infiltrasi : obat disuntikkan langsung ke dalam jaringan yang akan dimanipulasi, tanpa mempertimbangkan persarafannya. Anestesi berdifusi dan khasiatnya dicapai melalui penghambatan ujung saraf perasa di jaringan subkutan. Cara pemberian ini dipakai pada pembedahan kecil, penjahitan luka, pengambilan kulit untuk transplantasi, pencabutan gigi. Keuntungan teknik ini adalah sederhana, mudah dan dapat diandalkan. Sedangkan kerugiannya ialah struktur jaringan di lapangan bedah disamarkan.

3. Field block : obat disuntikkan mengelilingi daerah tindakan, misalnya pada pengangkatan kista di kulit, tumor-tumor kulit.

4. Blok saraf : Melalui cara ini yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Dengan cara ini daerah yang dipersarafi akan teranestesi, misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah dengan memblok saraf brakialis.

5. Intravascular : obat dimasukkan langsung ke dalam vena atau arteri besar pada ekstremitas yang bersangkutan, sedangkan aliran darah dibendung dengan manset tensimeter, sehingga obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Cara ini dipakai pada reposisi patah tulang, amputasi, dan debridement.

6. Spinal : zat anastesi lokal disuntikkan ke dalam rongga subaraknoid atau ke ruang epidural di dalam kanalis vertebralis pada ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi persarafan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit.

2.1.4 Mekanisme KerjaMembran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan membrane otot jantung dan badan sel saraf mempertahankan potensial transmembran seitar -90 sampai -60 mV. Selama eksitasi, saluran natrium terbuka dan arus natrium yang masuk cepat ke dalam sel dengan cepat mendepolarisasi membrane ke arah keseimbangan potensial natrium (+40mV). Sebagai akibat depolarisasi ini maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka. Aliran kalium keluar sel merepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial kalium (-95mV), terjadi lagi repolarisasi saluran natrium menjadi keadaan istirahat. Perbedaan ionic transmembran dipertahankan oleh pompa natrium. Sifat ini mirip dengan yang terjadi pada otot jantung, dan anestesi lokal pun mempunyai efek yang sama pada kedua jaringan tersebut. 8Obat anestesi lokal bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel), mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf. Potensi kerja obat anestesi lokal dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja. 1Kosentrasi minimal anestetik lokal (analog dengan mac, minimum alveolar concentration) dipengaruhoi oleh ; 11. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf

2. pH (asidosis menghambat blockade saraf)

3. frekuensi stimulasi saraf

Mula kerja bergantung beberapa faktor, yaitu : 11. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat.

2. Alkalinisasi anestetik lokal membuat mula kerja cepat

3. Konsentrasi obat anestetik lokal

Lama kerja dipengaruhi oleh : 11. Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetik lokal adalah protein

2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi.

3. Dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah pemberian.

2.1.5 FarmakokinetikAnestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut saraf yang akan dihambat. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak begitu penting dalam memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja anestesi dan seperti halnya mula kerja anestesi umum terhadap SSP dan toksisitasnya pada jantung. Aplikasi topical anestesi lokal bagaimanapun juga memerlukan difusi obat guna mula kerja dan lama kerja efek anestesinya. 8i) Absorpsi sistemik

Absorpsi sistemik dipengaruhi oleh : 1(1) Tempat suntikan

Kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya vaskularisasi tempat suntikan (absorpsi intravena > trakeal > interkostal > kaudal > para-servikal > epidural > pleksus brakialis > skiatrik > subkutan)

(2) Penambahan vasokonstriktor

Adrenalin 5 g/ml membuat vasokonstriksi pembuluh darah pada tempat suntikan sehingga dapat memperlambat absorpsi sampai 50%

(3) Karakteristik obat anestetik lokal

Obat anestetik lokal terikat kuat pada jaringan sehingga dapat diabsorpsi secara lambat

ii) Distribusi

Distribusi obat anestetik lokal dipengaruhi oleh ambilan organ (organ uptake) dan ditentukan oleh faktor-faktor :

(1) Perfusi jaringan

(2) Koefisien partisi jaringan/ darah

Kelarutan dalam lemak tinggi meningkatkan ambilan jaringan

(3) Massa jaringan

Otot merupakan tempat reservoir bagi anestetika lokal

iii) Metabolisme dan ekskresi

Anestesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena anestesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan. Pengasaman urin akan meningkatkan ionisasi basa tersier menjadi bentuk bermuatan yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diekskresikan karena bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal. 8Tipe ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh butirikolinesterase (pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obat ini khas sekali mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain dan kloroprokain. 8Ikatan amida dari anestesi lokal amida dihidrolisis oleh enzim mikrosomal hati. Kecepatan metabolisme senyawa amida di dalam hati ini bervariasi bagi setiap individu, perkiraan urutannya adalah Prilokain (tercepat) > etidokain > lidokain > mepivakain > bupivakain (terlambat). Akibatnya, toksisitas dari anestesi lokal tipe amida ini akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Sebagai contoh, waktu paruh lidokain rerata akan memanjang dari 1,8 jam pada pasien normal menjadi lebih dari 6 jam pada pasien dengan penyakit hati yang berat. 8 Penurunan pembersihan anestesi lokal oleh hati ini harus diantisipasi dengan menurunkan aliran darah ke hati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain oleh hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan mikrosom hati karena halotan. Propanolol dapat memperpanjang waktu paruh anestesi lokal amida. 8(1) Golongan ester

Metabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase (kolinesterase plasma). Hidrolisa ester sangat cepat dan kemudian metabolit diekskresi melalui urin.

(2) Golongan amida

Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal di hati. Kecepatan metabolisme tergantung kepada spesifikasi obat anestetik lokal. Metabolismenya lebih lambat dari hidrolisa ester. Metabolit diekskresi lewat urin dan sebagian kecil diekskresi dalam bentuk utuh.

2.1.6 Indikasi1. Jika nyawa penderita dalam bahaya karena kehilangan kesadarannya, sebagai contoh sumbatan pernafasan atau infeksi paru.

2. Kedaruratan karena tidak ada waktu untuk mengurangi bahaya anestesi umum. Hal ini dapat terjadi pada kasus seperti partus obstetik operatif, diabetes, penyakit sel bulan sabit, usia yang sangat lanjut, dan pembedahan yang lama.

3. Menghindari bahaya pemberian obat anestesi umum, seperti pada anestesi halotan berulang, miotonia, gagal ginjal atau hepar dan porfiria intermiten akut.

4. Prosedur yang membutuhkan kerjasama dengan penderita, seperti pada perbaikan tendo, pembedahan mata, serta pemeriksaan gerakan faring.

5. Lesi superfisial minor dan permukaan tubuh, seperti ekstraksi gigi tanpa penyulit, lesi kulit, laserasi minor, dan revisi jaringan parut.

6. Pemberian analgesi pascabedah, contohnya sirkumsisi, torakotomi, herniorafi, tempat donor cangkok kulit, serta pembedahan abdomen.

7. Untuk menimbulkan hambatan simpatik, seperti pada free flap atau pembedahan reimplantasi, atau iskemia ekstremita. 32.1.7 Syarat syarat Anestesi lokal yang baik1. Tidak merangsang jaringan

2. Toksisitas sistemisnya kecil

3. Tak merusak saraf secara permanen

4. Efektif melalui penggunaan suntikan atau topical pada mukosa

5. Mula kerja cepat

6. Lama kerjanya lambat

7. Larut dan stabil dalam air serta stabil pada pemanasan (sterilisasi). 22.1.8 Kontra Indikasi1. Alergi atau hipersensitivitas terhadap obat anestesi lokal yang telah diketahui. Kejadian ini mungkin disebabkan oleh kelebihan dosis atau suntikan intravaskular.

2. Kurangnya tenaga terampil yang mampu mengatasi atau mendukung teknik tertentu.

3. Kurangnya prasarana resusitasi.

4. Tidak tersedianya alat injeksi yang steril.

5. Infeksi lokal atau iskemik pada tempat suntikan.

6. Pembedahan luas yang membutuhkan dosis toksis anestesi lokal.

7. Distorsi anotomik atau pembentukan sikatriks.

8. Risiko hematoma pada tempat-tempat tertentu.

9. Pasien yang sedang menjalani terapi sistemik dengan antikoagulan.

10. Jika dibutuhkan anestesi segera atau tidak cukup waktu bagi anestesi lokal untuk bekerja dengan sempurna.

11. Kurangnya kerja sama atau tidak adanya persetujuan dari pihak penderita. 3,42.1.9 Efek samping / tosisitas1. Sistem saraf pusat (SSP)

SSP rentan terhadap toksisitas anestetik lokal, dengan tanda-tanda awal parestesi lidah gelisah, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur, tinnitus, mual, muntah, tremor, gerakan koreatosis, rasa logam di mulut, inkoherensia, kejang koma.

2. Sistem Pernafasan

Relaksasi otot polos bronkus. Henti nafas akibat paralise daraf frenikus, paralise interkostal atau depresi langsung, pernafasan dalam dan kemudian tak teratur, sesak nafas hingga apneu, hipersekresi dan bronkospasme.

3. Sistem kardiovaskuler : vasodilatasi, hipotensi, bradikardi, nadi kecil dan syok.

4. Reaksi hipersensitivitas berupa urtikaria, dermatitis, edema angioneurotik, `bronkospasme, status asmatikus,sinkop dan apneu. 2

Daftar Pustaka

1. Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2009.p.97-104. 2. Karakata S, Bob Bachsinar. Bedah Minor. Edisi 2. Jakarta: Hipokrates; 1996.3. Dobron, Michael B. Penuntun Praktis anestesi.Jakarta: EGC. 1994.p. 89-1034. Boulton TB, Colin EB. Anestesiologi. Jakarta: EGC; 1994.p.108-1335. Bisono. Operasi Kecil. Jakarta: EGC. 2003.p. 24-296. Schrock TR. Ilmu Bedah. Edisi 7. Jakarta: EGC; 1995.p.113-119.7. Sabiston. Buku Ajar Ilmu Bedah.bagian I. Jakarta: EGC. 1995.8. Katzung, Bertram G. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: EGC, 19979. Sjamsuhidayat R, Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.p.247-253.10. Syarif, Amin. dkk. Farmakologi dan Terapi. Jakarta. Gaya Baru. 2007