analisis penyelesian sengketa kewenangan lembaga negara

18
Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Tidak Diberikan Oleh UUD 1945 (Studi Kasus KPK versus Polri) Kevin Valentino, Makmur Amir Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Kampus FHUI, 16424, Indonesia E-mail : [email protected] Abstrak Skripsi ini menjelaskan mengenai sengketa kewenangan yang terjadi di antara lembaga negara bantu KPK dengan POLRI. Kehadiran lembaga negara bantu berkembang di Indonesia pasca perubahan UUD NRI 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang- undang. Apabila terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menyelesaikan perkara tersebut, namun di dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 membatasi Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antara lembaga negara hanya terhadap lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, Sehingga apabila terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD NRI 1945 akan terjadi kekosongan hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan pendekatan perundang-undangan, yaitu mencari sumber data dan mencari sumber informasi melalui Undang- Undang. Data pada penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberi kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945, Serta belum adanya kepastian hukum mengenai proses penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD NRI 1945. Analysis of Settlement Authority of State Institutions That It’s authority Not Provided by UUD NRI 1945 Constitution (Case Study KPK versus Police) Abstract This thesis explains KPK’s legal standing as a state auxilary organ in the constutional system of Republic of Indonesia, and the analysis of the dispute between KPK and POLRI. The existence of State Auxilary Organ has been developing since the amandment of the Republic of Indonesia Constitution of 1945. Some state auxilary organs were not established at the same legal ground. Some were established by the delegation of The Constitution, some were legitimated by Indonesian laws. In an event of dispute between the organs, The Constitutional Court has the jurisdiction to settle those matters. Article 24C no. 1 of The Constitution limits the Constitutional Court competence to only conduct dispute settlements between the organs established by The Constitution. So, in the matter of disputes between the organs established by another Indonesian laws, it will constitute an absence of law. This thesis uses a jurisdical-normative method. The author uses different sources; laws and codified data such as books, journals, and articles related to this thesis. The conclusion of this thesis is that firstly, KPK belongs to the constitutional system, supported by the authority delegation from The Constitution. Secondly, there is an uncertainty in Indonesian law regarding the competence dispute of the state auxilary organs established by other Indonesian laws. Keywords : State Auxiliary Organs, Authority, Dispute, Corruption, KPK, POLRI, The Constitutional Court. Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Upload: others

Post on 12-Nov-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Tidak Diberikan Oleh UUD 1945 (Studi Kasus KPK

versus Polri)

Kevin Valentino, Makmur Amir

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus Raya, Kampus FHUI, 16424, Indonesia

E-mail : [email protected]

Abstrak

Skripsi ini menjelaskan mengenai sengketa kewenangan yang terjadi di antara lembaga negara bantu KPK dengan POLRI. Kehadiran lembaga negara bantu berkembang di Indonesia pasca perubahan UUD NRI 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang. Apabila terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menyelesaikan perkara tersebut, namun di dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 membatasi Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antara lembaga negara hanya terhadap lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, Sehingga apabila terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD NRI 1945 akan terjadi kekosongan hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan pendekatan perundang-undangan, yaitu mencari sumber data dan mencari sumber informasi melalui Undang-Undang. Data pada penelitian ini juga diperoleh melalui data yang sudah terkodifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah, KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberi kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945, Serta belum adanya kepastian hukum mengenai proses penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD NRI 1945.

Analysis of Settlement Authority of State Institutions That It’s authority Not Provided by UUD NRI 1945 Constitution (Case Study KPK versus

Police)

Abstract

This thesis explains KPK’s legal standing as a state auxilary organ in the constutional system of Republic of Indonesia, and the analysis of the dispute between KPK and POLRI. The existence of State Auxilary Organ has been developing since the amandment of the Republic of Indonesia Constitution of 1945. Some state auxilary organs were not established at the same legal ground. Some were established by the delegation of The Constitution, some were legitimated by Indonesian laws. In an event of dispute between the organs, The Constitutional Court has the jurisdiction to settle those matters. Article 24C no. 1 of The Constitution limits the Constitutional Court competence to only conduct dispute settlements between the organs established by The Constitution. So, in the matter of disputes between the organs established by another Indonesian laws, it will constitute an absence of law. This thesis uses a jurisdical-normative method. The author uses different sources; laws and codified data such as books, journals, and articles related to this thesis. The conclusion of this thesis is that firstly, KPK belongs to the constitutional system, supported by the authority delegation from The Constitution. Secondly, there is an uncertainty in Indonesian law regarding the competence dispute of the state auxilary organs established by other Indonesian laws. Keywords : State Auxiliary Organs, Authority, Dispute, Corruption, KPK, POLRI, The Constitutional Court.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 2: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Pendahuluan

Sejak terjadinya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

selama empat kali mulai dari tahun 1999 sampai dengan 2002 telah banyak terdapat

perubahan yang mendasar pada sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu hasil dari

perubahan konstitusi yang mendasar tersebut adalah beralihnya supremasi MPR menjadi

supremasi konstitusi. Sejak masa reformasi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara

sehingga semua lembaga negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and balances1,

hal ini merupakan konsekuensi dari supremasi konstitusi, dimana konstitusi diposisikan

sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga

penyelenggara negara sehingga hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada bersifat

horizontal saja dan tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.2 Kemudian dalam hal

kelembagaan negara juga banyak mengalami perubahan, mulai dari adanya lembaga negara

baru yang ditambah dalam amandemen dan ada juga lembaga negara yang dihapus dari

struktur kelembagaan negara setelah perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.

Dalam kurun waktu yang cukup lama, konsep klasik trias politica yang dikembangkan oleh

Baron de Montesquieu dikenal luas dan digunakan di banyak negara sebagai dasar

pembentukan struktur kenegaraan. Konsep ini membagi tiga fungsi kekuasaan, yaitu

legislatif, eksekutif, dan yudikatif.3 Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan

negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara yang berbeda. Setiap organ

menjalankan satu fungsi dan satu organ dengan organ lainnya tidak boleh saling mencampuri

urusan masing-masing dalam arti mutlak.

Zaman yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara memiliki struktur organisasi

yang lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat. Terwujudnya efektivitas dan efisiensi

baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan

pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang dibebankan kepada negara.

Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk

bentuk serta fungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan

tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi                                                                                                                

1Jimly Asshiddiqie (a), Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cet. Ke-2, (Jakarta:Konstitusi Press, 2006), hlm. 49.

2Ibid. 3 Jimly Asshiddiqie (b), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),

hlm. 13.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 3: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

(commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).4 Di Indonesia

munculnya lembaga-lembaga negara baru terjadi setelah dilakukannya perubahan terhadap

UUD Negara RI Tahun 1945. Lembaga-lembaga baru itu biasa dikenal dengan istilah state

auxiliary organs atau state auxiliary institutions yang dalam bahasa Indonesia diartikan

sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat sebagai

penunjang.5

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang menjadi bagian dari agenda

pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata

pemerintahan di Indonesia. 6 Berdasarkan hierarki perundang-undangan, maka landasan

yuridis pembentukan dan pemberian wewenang merupakan ketentuan dari Pasal 43 Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan melalui

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya

mulai tanggal 27 Desember 2002.

Tinjauan Teoritis

Kekuasaan dapat dibagi secara horizontal menurut fungsinya dimana pembagian tersebut

berdasarkan perbedaan atas fungsi-fungsi pemerintahan berdasarkan sifat legislative,

eksekutif, dan yudikatif, dimana konsep ini dikenal dengan nama trias politica atau

pembagian kekuasaan (division of power).7 Berdasarkan konsep trias politica, Montesquieu

dalam bukunya L’Esprit des Lois menyatakan bahwa terdapat tiga bagian kekuasaan di setiap

Negara yang dimunculkan kedalam struktur pemerintahan, sebagai berikut: (1) kekuasaan

yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang yang disebut kekuasaan

legislatif; (2) kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan undang-undang yang disebut

kekuasaan eksekutif; serta (3) kekuasaan yang berwenang mengadili atas pelanggaran

undang-undang yang disebut kekuasaan yudikatif.8

                                                                                                               4 Jimly Asshiddiqie (a), Opcit., hlm. 5. 5Ibid., hlm. 8. 6 Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi

(GeRAK) Indonesia, 2004), hlm. 33. 7 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. Ke-27, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2005), hlm. 138. 8Ibid., hlm. 152.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 4: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Sebenarnya awal munculnya konsep mengenai pemisahan kekuasaan dimulai dari buku John

Locke yaitu Second Treaties of Civil Government yang menyatakan bahwa kekuasaan dalam

menetapkan aturan hukum tidak boleh berada di satu pihak yang menerapkan hukum

tersebut.9 Pada Bab XII buku tersebut yang berjudul “Of the Legislative,Executive, and the

Federative Power of the Commonwealth”, John Locke menyatakan terdapat tiga kekuasaan di

dalam suatu Negara yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Perbedaan dengan konsep

Montesquieu maka pada konsep trias politica Locke tidak mengenal kekuasaan yudikatif,

namun terdapat kekuasaan federatif yang meliputi kekuasaan mengenai perang dan damai,

pembuatan perserikatan dan aliansi, serta berbagai tindakan yang berkaitan dan dilakukan

oleh pihak-pihak baik badan maupun perorangan yang ada di luar negeri.10

Kesamaan pemikiran Locke dan Montesquieu adalah keduanya menempatkan kekuasaan

eksekutif sebagai kekuasaan yang menjalankan undang-undang. Perbedaannya adalah Locke

menyatakan wewenang untuk mengadili berada pada lingkup eksekutif sementara

Montesquieu menempatkan kewenangan mengadili pada kekuasaan yudikatif. Selain itu

Montesquieu memposisiskan kewenangan federatif pada kekuasaan eksekutif sementara

Locke menyatakan bahwa kekuasaan federatif tidak boleh digabungkan kedalam kekuasaan

eksekutif.11

Selain teori-teori yang diungkapkan oleh Locke maupun Montesquieu adapun ahli hukum

dari Belanda yaitu Cornelis Van Vollenhoven yang memiliki pernyataan bahwa didalam

suatu Negara harus terdapat pembagian fungsi kekuasaan. Konsep yang dikemukakan oleh

Van Vollenhoven ini sering disebut dengan nama catur praja yang membagi fungsi

kekuasaan menjadi empat bagian dimana keempat bagian tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, regeling atau fungsi pengaturan yang menyerupai fungsi legislatif dalam konsep

trias politica.12 Fungsi kedua yaitu bestuur yang artinya pemerintahan dalam arti sempit dan

menyerupai kekuasaan eksekutif dalam konsep Montesquieu. Dalam hal ini terdapat

perbedaan antara konsep Montesquieu dengan bestuur dimana menurut Van Vollenhoven

tidak hanya menjalankan undang-undang namun juga bertugas dalam melaksanakan seluruh

kewajiban Negara, termasuk dalam hal menyelenggarakan kepentingan umum,

                                                                                                               9 Jimly Asshiddiqie (b), Op. cit, hlm. 15. 10 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. ke-7, (Jakarta:

Pusat Studi Hukum Tata NegaraFakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm. 140. 11Ibid., hlm. 141. 12 Jimly Asshiddiqie (b), Op. cit., hlm. 14.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 5: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

mempertahankan hukum secara preventif, mengadili (menyelesaikan perselisihan), dan

membuat peraturan.13 Fungsi yang ketiga yaitu rechtspraak atau fungsi peradilan yang

menyerupai dengan kekuasaan yudikatif dalam konsep trias politica. Fungsi terakhir yaitu

politie adalah fungsi dalam menjaga ketertiban di masyarakat (social order) dan

perikehidupan bernegara.14

Selanjutnya didalam buku The Law and the Constitution yang ditulis oleh Sir Ivor Jennings

mengeluarkan teori yang menyanggah pemisahan kekuasaan dalam trias politica berdasarkan

pada apa yang terjadi di Inggris, dimana lembaga eksekutif turut serta dalam proses

pembuatan undang-undang.15 Jennings menyatakan bahwa trias politica yang dikemukakan

oleh Montesquieu sulit untuk diterapkan dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan.

Seringkali kenyataan menunjukkan bahwa konsep pemisahan kekuasaan hanya dilakukan

secara formil namun tidak dapat dipertahankan secara tegas, dimana konsep ini lebih tepat

disebut pembagian kekuasaan (distribution of power).16 Jennings memberikan gambaran jika

pembuatan undang-undang di suatu Negara dilakukan oleh lembaga legislatif dan lembaga

eksekutif maka konstitusi negara tersebut menganut asas pembagian kekuasaan.17 Disisi lain

Arthur Mass menggunakan istilah divison of power dalam menyebut pembagian kekuasaan

dimana terminologi tersebut dibagi menjadi dua, yaitu: (1) capital division ofpower yang

artinya pembagian kekuasaan yang bersifat fungsional serta mengandung pengertian

pembagian kekuasaan secara horizontal; serta (2) territorial division of power yang artinya

pembagian kekuasaan secara vertikal untuk menyebut pembagian kekuasaan yang bersifat

wilayah atau daerah.18

Untuk memahami istilah organ atau lembaga negara secara lebih dalam, kita dapat

mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State Organ dalam

bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa ”Whoever

fulfills a function determined by the legal order is an organ” yang dapat diartikan siapa saja

                                                                                                               13 Kusnardi dan Ibrahim, Op. cit., hlm. 147. 14Ibid. 15Ibid., hlm. 143. 16Ibid. 17Ibid. 18 Jimly Asshiddiqie (b), Op. cit., hlm. 18

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 6: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legalorder) adalah

suatu organ.19

Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk

organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ,

asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat

menjalankan norma (norm applying).20 Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga

menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ

dalam arti materiil. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki

kedudukan hukum yang tertentu (...he personally has a spesific legal position).21

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif,

artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-

undangan serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.22 Secara spesifik penelitian

ini merupakan penelitian perbandingan hukum, yakni penelitian yang dilakukan terhadap

berbagai sistem hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, atau membandingkan

pengertian dasar dalam tata hukum tertentu.23 Dalam penelitian ini, sifat penelitiannya adalah

deskriptif analitis dimana penulis akan menyajikan analisis dan gambaran lengkap prinsip

tanggung jawab hukum maskapai penerbangan dalam pemberian ganti kerugian yang

digunakan dalam masyarakat internasional dan nasional.

Hasil Penelitian

Dalam naskah UUD NRI Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara

eksplisit namanya, dan adapula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga                                                                                                                

19 Jimly Asshiddiqie (a), Opcit., hlm. 36. 20Ibid. 21Ibid., hlm. 37 22 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Pengunaan Kepustakaan di dalam Penelitian

Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979), hlm. 18.

23 Sri Mamudji,et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.7-11.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 7: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

atau organ negara yang disebut baik namanya maupun fungsinya akan diatur dengan

peraturan yang lebih rendah. Dalam perkembangannya, pasca amandemen UUD 1945

terdapat dua pendapat yang berbeda dalam menafsirkan mana lembaga negara dan mana yang

bukan lembaga negara yang kewenangannya diberikan lebih lanjut dalam/oleh undang-

undang. Selain itu pula berkembang pula pembagian antara antara lembaga negara utama

(main state organ) dan lembaga negara bantu (auxilary state organ) yaitu pembagian

lembaga negara yang mengacu pada ajaran trias politica.24 Secara teoritis ada dua jenis

lembaga negara yaitu:

1. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 (constituanally

entrusted power); dan

2. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh norma hukum lainnya

(legislatively entrusted power).25

Pengklasifikasian semacam ini didasarkan pada salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan

oleh UUD sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945.

Titik Triwulan Tutik menyatakan bahwa UUD NRI 1945 menetapkan 4 (empat) kekuasaan

dan 7 (tujuh) lembaga negara yakni,

1) Kekuasaan eksaminatif (inspektif) yaitu Badan Pemeriksa Keuangan;

2) Kekuasaan legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang

tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah

(DPD);

3) Kekuasaan eksekutif (pemerintahan negara) yaitu Presiden dan Wakil Presiden;

4) Kekuasaan kehakiman (yudikatif) yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi; dan

5) Lembaga negara bantu (the auxiliary body).26

Sedangkan Menurut Jimly Asshiddiqie, di tingkat pusat dapat dibedakan ke dalam empat

tingkatan kelembagaan, yaitu:

                                                                                                               24 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Makasar: PUKAP,

2008), hlm. 51. 25Ibid., hlm. 53. 26 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,

(Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008), hlm. 91.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 8: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

1) Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih

lanjut dalam atau dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, Keputusan Presiden;

2) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang diatur atau

ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, dan Keputusan Presiden;

3) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan

Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden; dan

4) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih

lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat di bawah menteri.27

Lembaga Negara pada tingkatan konstitusi misalnya adalah Presiden, Wakil Presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), Kewenangannya diatur dalam UUD, dan dirinci lagi dalam UU, meskipun

pengangkatan para anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagai pejabat

administrasi negara yang tertinggi.28 Lembaga negara tingkat kedua adalah lembaga negara

yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang berarti sumber kewenangannya bersumber

dari pembentuk undangundang. Sehingga pembentukan dan pembubaran lembaga-lembaga

negara tersebut melibatkan DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang. Lembaga

negara tingkat kedua ini seperti Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (KPK), dll.29

Terdapat beberapa istilah yang berkenaan dengan state auxiliary organs. Ada yang

menyebutnya sebagai komisi negara, state auxiliary agencies, state auxiliary bodies, serta

ada yang menyebutnya sebagai lembaga negara independen. Pengertian state auxiliary

organs menurut beberapa pakar adalah sebagai berikut, Asimow mengungkapkan bahwa

komisi negara adalah “units of government created by statute to carry out spesific tasks in

implementing the statute. Most administrative agencies fall in the excecutive branch, but

some important agencies are independent”.30 Lebih lanjut, Funk dan Seamon menyatakan

                                                                                                               27 Jimly Asshiddiqie (a), Op. cit., hlm. 49-51. 28 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2007),

hlm. 90. 29Ibid. 30 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan, (Jakarta:

Kompas Media Nusantara, 2008), hlm. 264-265.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 9: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan “quasi legislative”, “executive

power”, dan “quasi judicial”.31

Menurut John Alder yang berjudul Constitutional and Administrative Law, terdapat

pemaparan 5 (lima) alasan utama dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu

pemerintahan, yaitu sebagai berikut:32

a. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat

personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.

b. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.

c. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti

profesi di bidang kedokteran dan hukum.

d. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.

e. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semi yudisial dan berfungsi untuk

menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/ alternatif

penyelesaian sengketa).

Kemudian menurut Gerry Stoker, terdapat pembagian bentuk lembaga negara bantuan

yang didasarkan atas asal sumber daya pelaksanaan lembaga tersebut, dan latar belakang

pengisian anggota-anggotanya. Bentuk-bentuk lembaga tersebut adalah:33

a. Central government’s ‘arm’s-length’ agency, yaitu lembaga yang penyediaan sumber

dayanya terutama berasal dari pemerintah pusat dan keanggotaannya diisi atas

perintah pemerintah pusat.

b. Local authority implementation agency, yaitu lembaga yang penyediaan sumber

dayanya terutama melalui pemerintah daerah/lokal dan pengisian keanggotaannya

menjadi wewenang pemerintah daerah/lokal.

c. Public/private partnership organisation, merupakan lembaga yang dibentuk atas

partisipasi badan-badan lain yang bersifat publik maupun privat. Anggotanya adalah

individu-individu yang berasal dari badan partisipan.

                                                                                                               31Ibid., hlm. 266. 32 John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: The Macmillan Press LTD, 1989), hlm.

225. 33 Gerry Stoker, The Politics of Local Government, 2ndedition, (London: The Macmillan Press LTD,

1991), hlm. 64-77.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 10: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

d. User organisation, yaitu lembaga yang sumber dananya berasal dari sektor publik dan

komposisi anggotanya didominasi oleh para pengguna jasa.

e. Inter-governmental forum, merupakan lembaga yang mewakili badan-badan di sektor

publik dan pendanaannya berasal dari badan-badan yang berpartisipasi tersebut.

f. Joint boards, yaitu lembaga yang didirikan oleh pemerintah-pemerintah daerah/lokal

yang ingin berpartisipasi.

Inisiatif dibentuknya Lembaga Negara Bantu di Indonesia bermula dari kehendaknegara

untuk membuat lembaga negara baru yang independen. Independensi tersebut terlihat dari

perekrutan anggota dariunsurnon-negara, tetapi tidak lepas dari otoritas negara, digaji oleh

negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya

berawal dari keinginan negara yang kuat untuk berhadapan langsung dengan masyarakat dan

untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam hal pengawasan.

Hubungan antar lembaga negara diikat oleh prinsip checks and balances, dalam

prinsiptersebut lembaga-lembaga negara itu diakui sederajat dan salingmengimbangi satu

samalain.Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang

sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga

negara timbul perselisihan. Mekanisme hubungan satu sama lain sangat perlu diatur

menurut prinsip hukum. Jika timbul persengketaan dalam menjalankan kewenangan

konstitusionalnya masing-masing, diperlukan lembaga pemutus menurut UUD 1945.

Fungsi pemutus itulah yang diamanatkan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai

salah satu kewenangannya dalam mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi

(the highest law of the land).34

Pembahasan

Masalah korupsi sepertinya akan selalu menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Urusan pemberantasan kejahatan korupsi selalu menjadi perhatian masyarakat

yang cukup menyibukan pemerintah. Kemudian, salah satu inisiatif pemerintah yaitu dengan

membuat sebuah regulasi guna pencegahan adanya tindak pidana korupsi, kolusi dan                                                                                                                

34 Jimly Asshiddiqie (d), Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 11.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 11: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

nepotisme yang terdapat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara

Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai dasar dari pembuatan

regulasi yang terkait dengan tindak pidana korupsi.35 Dengan diundangkannya UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dilakukannya

perubahan menjadi UU No. 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara substansial mengamanahkan adanya

pembentukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).36

KPK adalah lembaga negara yang memiliki sifat independen dengan memiliki tugas serta

beberapa wewenang dalam pelaksanaannya serta terbebas dari pengaruh maupun kekuasaan

manapun.37 Oleh karena itu, KPK dibentuk berdasarkan pada UU No. 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan TIndak Pidana korupsi, KPK diberikan amanat untuk

melakukan pemberantasan di bidang korupsi secara profesional, intensif, dan

berkesinambungan yang memiliki sifat independen dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya.38

Pemberlakuan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ini, maka resmi muncul

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Status hukum komisi ini secara tegas ditentukan sebagai

lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan

bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pembentukan komisi ini bertujuan untuk

meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang

sudah berjalan sejak sebelumnya. Dalam menjalankan tugas dan wewenang itu, komisi

bekerja berdasarkan asas-asas:

a. Kepastian hukum;

b. Keterbukaan;

c. Akuntabilitas;

d. Kepentingan umum; dan

e. Proposionalitas.39

                                                                                                               35 Komisi Pemberantasan Korupsi, “Rencana Stratejik Komisi Pemberantasan Korupsi”,

http://acch.kpk.go.id/documents/10180/21464/Strategic_plan_2008_to_2011_id.pdf., diunduh 1 Desember 2015.

36Ibid. 37Ibid. 38Komisi Pemberantasan Korupsi, “Sekilas KPK”, http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk,

diunduh 1 Desember 2015. 39 Indonesia, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002, LN No. 137

Tahun 2002, TLN No. 4250, Ps. 5.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 12: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Namun adanya pergantian terhadap UU yang terkait dengan pemberantasan korupsi dengan

perubahan atas perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi, senantiasa terjadi

pada masa-masa peralihan situasi politik. Sebagai contoh, lahirnya Peraturan Penguasa

Militer Nomor: Prt/PM/06/1957 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor:

PRT/PEPERPU/013/1958 yang berada dalam situasi politik setelah Republik Indonesia

memperoleh kemerdekaan dan sistem politik pemerintahan berdasarkan UUD sementara

1950.40

Dilihat dari kelembagaannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara

yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada

dibawah kekuasaan kehakiman. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia yang

sifatnya independen masih sering di perdebatkan karena masih kurang jelasnya keberadaan

lembaga tersebut. Hal ini sangat mencemaskan banyak kalangan terkait penataan

kelembagaan yang kurang sempurna dalam sistem ketatanegaraan. Disamping itu, arti dari

sistem ketatanegaraan tersebut mengacu kepada pengaturan lembaga negara. Dengan adanya

permasalahan tersebut maka pengaturan negara masih sangat kurang dan belum mencapai

sistem ketatanegaraan yang baik. Sehingga diperlukan suatu penataan sistem ketatanegaraan

yang lebih efektif dan efisien dengan adanya banyaknya lembaga negara yang baru seperti

Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan melihat keadaan negara ini, maka masih di

perlukannya lembaga yang menangani khusus tentang tindak pidana korupsi dikarenakan

adanya suatu akibat dari sistem pada penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara

tertib serta tidak ada pengawasan ketat, dikarenakan landasan hukum yang di pergunakan

secara substansial masih memiliki banyak kelemahan-kelemahan dalam penerapannya.41

Dengan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi menjelaskan tentang kelahiran institusi

institusi demokrasi dan “lembaga-lembaga negara” dalam berbagai bentuk diantaranya yang

paling banyak di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Dalam penjelasan MK

disebutkan bahwa:42

                                                                                                               40 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, “Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional”, 1999,

hlm. 23. 41 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek International, (Bandung:

Mandar Maju, 2004), hlm. 2. 42 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.005/PUUI/ 2003, hlm. 13.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 13: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

“Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekwensi logis

dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna

menjalankan prinsip check and banlances untuk kepentingan yang lebih besar”.

Sebagaimana yang terdapat dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tentang kasus ini,

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah

“lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang

dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga termasuk lembaga negara lain yang

dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan-peraturan yang ada di bawah konstitusi, seperti

Undang-Undang maupun Keputusan Presiden (Keppres).

Kepolisian dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diartikan sebagai segala hal-

ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada

Kepolisian Negara Republik Indonesia sedangkan Pejabat Kepolisian Negara adalah anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki

wewenang umum kepolisian. Peraturan kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan

oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan

menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.43 Norma hukum

memiliki tugas sangat penting yakni untuk menjaga kedamaian hidup bersama. Kedamaian

hidup bersama berarti di dalam masyarakat terdapat ketertiban atau keamanan dan

ketentraman atau ketenangan. Berbeda dengan norma-norma lainnya terdapat kemungkinan

bagi norma hukum untuk dipaksakan kepada tiap individu dalam masyarakat oleh suatu

otoritas bahwa norma hukum ini memiliki daya ikat bagi tiap individu, serta kemungkinan

untuk dijatuhkannya sanksi bagi individu yang melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan norma hukum.44

Tugas untuk mengawasi dan memelihara agar norma-norma hukum (Undang-Undang)

tersebut terpelihara dengan baik dalam masyarakat merupakan tugas utama yang diemban

oleh lembaga kepolisian. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa terjadi suatu

pengkhususan dari fungsi yang semula meliputi semua bidang kenegaraan menjadi fungsi

                                                                                                               43 Sutrisno, POLRI PASCA 1998, Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat Sipil, (Jakarta:

Universitas Indonesia, 2012), hlm. 91. 44 Sadjijoneo, Memahami Hukum Kepolisian, (Surabaya: Laksbang, 2009), hlm. 1.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 14: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

yang khusus memelihara keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat. Sifat dari tugas

polisi adalah:45 Preventif (sifat mencegah), yaitu menjaga jangan sampai terjadi perbuatan

atau kelalaian yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan. Represif (sifat

memberantas) yaitu mencari dan menyelidiki peristiwa-peristiwa yang telah mengganggu

ketertiban dan keamanan, Disebut juga justitionele atau rechterlijke taak der politie karena

berhubungan dengan pengadilan.

Pelaksanaan wewenang kepolisian didasarkan pada tiga asas yakni:46 asas legalitas, asas

plichmatigheid, dan asas subsidiaritas. Asas legalitas adalah asas di mana setiap tindakan

polisi harus didasarkan kepada undang-undang/peraturan perundang-undangan. Bilamana

tidak didasarkan kepada undang-undang/peraturan perundang-undangan maka dikatakan

bahwa tindakan polisi itu melawan hukum (onrechtmatig). Asas plichmatigheid ialah asas di

mana polisi sudah dianggap sah berdasarkan sumber kepada kekuasaan atau kewenangan

umum. Dengan demikian bila memang sudah ada kewajiban bagi polisi untuk memelihara

keamanan dan ketertiban umum, asas ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan.

Polisi dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri untuk memelihara keamanan dan

ketertiban umum. Undang-undang Kepolisian menyebutkan bahwa tugas pokok kepolisian

Negara Repubik Indonesia adalah:47 Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

Menegakkan hukum, dan Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen diberi kewenangan khusus

untuk menangani masalah korupsi di Indonesia. KPK ada karena tuntutan masyarakat

Indonesia dan juga masyarakat bangsa-bangsa internasional akibat perbuatan korupsi yang

cukup meresahkan dan merugikan masyarakat Indonesia dan internasional dalam segala

bidang kehidupan. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Kepolisian

Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan dua institusi penegak hukum yang secara

khusus memiliki kewenangan menangani tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan

bahwa fungsi kepolisian adalah pelaksana fungsi pemerintahan negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan,                                                                                                                

45 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia), hlm. 12. 46Ibid., hlm. 98. 47 Indonesia, Undang-Undang Kepolisian, UU No. 2 Tahun 2002, LN No. 2 Tahun 2002, TLN No.

4168, Ps. 13.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 15: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK

dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi.Dengan adanya dua lembaga negara yang sama-sama

mempunyai wewenang untuk menangani tindak pidana korupsi maka hal tersebut dapat

menjadi potensi akan timbulnya konflik atau sengketa kewenangan. Pada pelaksanaannya

pun pada akhirnya banyak menimbulkan konflik atau sengketa antara KPK dan POLRI.

Kesimpulan

1. KPK dan POLRI memiliki kewenangan yang sama dalam penanganan tindak pidana

korupsi. KPK berdasarkan Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 dibatasi hanya terhadap

tindak pidana korupsi yang paling sedikit 1 milyar rupiah, sedangkan POLRI tidak

dibatasi secara spesifik. Kemudian KPK dalam penanganan korupsi memiliki

wewenang supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 6, dan berwenang untuk mengambil alih

penyidikan atau penuntutan dari Kepolisian berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU KPK.

Dengan adanya kewenangan tersebut maka tidak menutup kemungkinan terjadi potensi

sengketa kewenangan antara KPK dan POLRI. Oleh karena itu, kedua instansi tersebut

juga harus selalu berkoordinasi dengan intensif terkait penanganan tindak pidana

korupsi berdasarkan Pasal 6 huruf a UU KPK, agar tidak terjadi tumpang tindih yang

pada akhirnya dapat menimbulkan konflik antar kedua lembaga tersebut. KPK sebagai

lembaga pemberantas korupsi yang diberi kewenangan yang kuat bukan berada di luar

sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem

ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. KPK juga tidak

“memonopoli” tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,

melainkan “diberi” atau “mendapat” kewenangan yang secara khusus diberikan oleh

Undang-Undang dengan berdasar pada prinsip lex specialis derogat legi generali.

2. Keberadaan dan kedudukan lembaga negara ada yang tercantum di dalam UUD NRI

1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam UUD NRI 1945, melainkan dibentuk

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 16: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

berdasarkan Undang-Undang, atau bahkan melalui Keputusan Presiden. Apabila

terdapat sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenanganya diberikan oleh

UUD Negara Republik Indonesia 1945 dapat diselesaikan melalui Mahkamah

Konstitusi. Namun, apabila sengketa kewenangan lembaga negara terjadi pada lembaga

negara yang kewenangannya tidak diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia

1945, maka terjadi kekosongan hukum. Sengketa antara KPK dan Polri merupakan

sengketa lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur dalam UUD NRI 1945.

Sumber kewenangan KPK adalah UU KPK, sedangkan kewenangan Polri adalah UU

POLRI. Ini berarti bahwa kedua lembaga tidak dapat menjadi pemohon dalam sengketa

lembaga negara yang menjadi otoritas Mahkamah Konstitusi. Sengketa kewenangan

yang terjadi antara lembaga KPK dengan POLRI diselesaikan oleh Presiden dengan

cara mempertemukan pimpinan lembaga negara yang sedang bersengketa. Namun,

Penyelesaian dengan model demikian bukanlah penyelesaian yudisial, penyelesaian ini

tidak memiliki kekuatan hukum dan dapat tidak dipatuhi.

Saran

1. Perlu dilakukan harmonisasi kembali Undang-Undang KPK baik antar pasalnya

maupun dengan peraturan perundang-undangan lainyang terkait agar tidak terjadi

tumpang tindih kewenangan dengan lembaga penegak hukum lainnya.

2. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi terkait

mengenai pengaturan sengketa kewenangan antar lembaga negara, atau dengan cara

amandemen UUD NRI 1945 sehingga lebih memperjelas mengenai lembaga negara

yang ada di Indonesia serta merevisi pasal terkait Mahkamah Konstitusi yang

membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal penyelesaian sengketa

kewenangan antar lembaga negara hanya terhadap lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945.

3. Perlu adanya lembaga yudisial yang dapat menyelesaikan sengketa lembaga negara

yang kewenangannya tidak diatur oleh UUD 1945 demi adanya kepastian hukum.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 17: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Kepustakaan

Buku:

Alder, John. Constitutional and Administrative Law, London: The Macmillan Press LTD,

1989.

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Konstitusi Press,

2006.

Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet.

2. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Asshiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta:

Konstitusi Press, 2006.

Atmasasmita, Romli. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek International,

Bandung: Mandar Maju, 2004.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. Ke-27, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2005.

Huda, Ni’matul. Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press,

2007.

Indrayana, Denny. Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan,

Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008.

Kelana, Momo. Hukum Kepolisian, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994.

Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet 7,

Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata NegaraFakultas Hukum Universitas Indonesia,

1988.

Librayanto, Romi. Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Makasar:

PUKAP, 2008.

Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Muslim, Mahmuddin. Jalan Panjang Menuju KPTPK, Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi

(GeRAK) Indonesia, 2004.

Sadjijoneo. Memahami Hukum Kepolisian, Surabaya: Laksbang, 2009.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016

Page 18: Analisis Penyelesian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Pengunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979.

Stoker, Gerry. The Politics of Local Government, 2nd edition, London: The Macmillan Press

LTD, 1991.

Sutrisno. POLRI PASCA 1998, Relasi Kuasa Polisi dengan Organisasi Masyarakat Sipil,

Jakarta: Universitas Indonesia, 2012.

Tutik, Titik Triwulan. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD

1945, Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008.

Artikel: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, “Strategi Pemberantasan Korupsi

Nasional”, 1999.

Publikasi Elektronik: Komisi Pemberantasan Korupsi, “Rencana Stratejik Komisi Pemberantasan Korupsi”,

http://acch.kpk.go.id/documents/10180/21464/Strategic_plan_2008_to_2011_id.pdf.

, diunduh 1 Desember 2015.

Komisi Pemberantasan Korupsi, “Sekilas KPK”, http://www.kpk.go.id/id/tentang-

kpk/sekilas-kpk, diunduh 1 Desember 2015.

Peraturan: Indonesia. Undang-Undang Kepolisian, UU No. 2 Tahun 2002.

Indonesia. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003.

Analisis Penyelesaian ..., Kevin Valentino, FH UI, 2016