sengketa kewenangan antar lembaga negara

57
SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DAN HUKUM ACARANYA OLEH MARUARAR SIAHAAN. PENDAHULUAN Pembicaraan tentang sengketa antar lembaga negara dalam konteks kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 setelah perubahan, sesungguhnya harus dilakukan dalam rangka pembahasan organisasi dan kelembagaan negara. Pembicaraan demikian hanya dapat dimasuki dengan tepat apabila kita juga membicarakan hakikat kekuasaan negara, yang disusun dalam struktur organisasi secara melembaga. Hal tersebut erat kaitannya dengan filsafat hukum dan negara serta perkembangan sejarah baik secara umum maupun secara nasional dimasing-masing negara, yang juga akan tercermin dalam konstitusi negara tersebut. Dalam kaitan itu ajaran teori kedaulatan yang dikenal dalam sejarah, yaitu masing- masing Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Negara, bertumbuh dan

Upload: muhammadarisal

Post on 30-Oct-2014

59 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA DAN HUKUM ACARANYA OLEH MARUARAR SIAHAAN.

PENDAHULUAN

Pembicaraan tentang sengketa antar lembaga negara dalam konteks kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 setelah perubahan, sesungguhnya harus

dilakukan dalam rangka pembahasan organisasi dan kelembagaan negara. Pembicaraan

demikian hanya dapat dimasuki dengan tepat apabila kita juga membicarakan hakikat

kekuasaan negara, yang disusun dalam struktur organisasi secara melembaga. Hal

tersebut erat kaitannya dengan filsafat hukum dan negara serta perkembangan sejarah

baik secara umum maupun secara nasional dimasing-masing negara, yang juga akan

tercermin dalam konstitusi negara tersebut. Dalam kaitan itu ajaran teori kedaulatan yang

dikenal dalam sejarah, yaitu masing-masing Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja,

Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Negara, bertumbuh dan menjadi

landasan penyusunan kekuasaan negara yang kemudian dirumuskan dalam konstitusi.

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshidiqie SH, tiga faham kedaulatan yaitu kedaulatan Tuhan,

kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat dapat dikatakan berlaku secara simultan dalam

khasanah pemikiran bangsa ini tentang kekuasaan negara, dimana kekuasaan kenegaraan

dalam wadah NKRI pada dasarnya adalah derivat dari kesadaran kolektif bangsa

mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam faham

kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.1 Selanjutnya dikatakan prinsip kedaulatan

hukum diwujudkan dalam gagasan rechtsstaat atau the rule of law serta prinsip supremasi

hukum, dimana dalam perwujudannya kebijakan hukum harus disusun melalui

mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan ketentuan sila kerakyatan yang dipimpin

1

? Dalam Firmansyah dkk, Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) cet 1, 2005 hal x-xi.

Page 2: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.2 Ajaran kedaulatan

rakyat akan tercermin bukan hanya dalam pembentukan hukum dan pengambilan

kebijakan dalam penyelenggaraan negara, akan tetapi secara formal juga tercermin dalam

struktur dan organisasi pemegang kekuasaan penyelenggaraan negara.

Faham kedaulatan rakyat yang dalam sejarah sangat mengenal doktrin Trias Politika

dari Montesqieu, menekankan diperlukannya penyusunan kekuasaan negara dengan tidak

memusatkan kekuasaan negara dalam satu tangan atau badan saja, untuk menjamin

perlindungan kebebasan warga negara. Trias politika tersebut didasarkan pada

pemisahan kekuasaan negara yang lazim dikenal dengan separation of powers, tetapi

beberapa sarjana menyebut bahwa karena tidak terdapat pemisahan kekuasaan secara

absolut, maka yang terjadi sesungguhnya adalah pembagian kekuasaan (division of

powers). Kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan dalam tiga kekuasaan pokok, yaitu,

eksekutif, legislatif dan judikatif. Ketiga kekuasaan tersebut kemudian dirinci dan

dilaksanakan dalam banyak organ, badan atau lembaga yang melaksanakan kekuasaan

atau sebagian kekuasaan negara tersebut yang diperlukan dalam menyelenggarakan

kehidupan bersama untuk tujuan yang ditentukan secara bersama pula. Pembagian

kekuasaan negara tersebut dapat terjadi secara horizontal, yaitu diantara cabang eksekutif,

legislatif dan judikatif yang dirinci dalam organ, badan atau lembaga ditingkat pusat

yang setara, dan sebagai akibat tidak dianutnya ajaran pemisahan kekuasaan secara

mutlak, maka konsekwensi logis dari padanya adalah terjadinya proses chekcs and

balances diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut. Checks and balances tersebut

merupakan mekanisme pembatasan dan keseimbangan dari satu cabang kekuasaan

terhadap cabang kekuasaan yang lain.

Secara vertikal pembagian kekuasaanbukan hanya dalam sistem federal, dalam

negara kesatuan seperti Indonesiajuga dilakukan antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintah Daerah, yaitu daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pasal 18 ayat (1), ayat

(2) dan ayat (5) menegaskan pembagian kekuasaan tersebut dengan memberikan kepada

Pemerintahan Daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, dengan hak untuk

menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

2 Ibid.

2

Page 3: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

pembantuan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai

urusan Pemerintah Pusat.

3

Page 4: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

LEMBAGA NEGARA

Pengertian

Lembaga negara, organ negara atau badan negara merupakan nomenklatur yang

diberikan pada pengemban fungsi dalam sistem penyelenggaraan negara, yang harus

bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama yang ditetapkan. Setiap kali dirasakan

kebutuhan untuk membentuk satu organ negara atau lembaga negara dalam rangka

penyelenggaraan kekuasaan negara, maka kita akan menghadapi beberapa persoalan

yaitu: i) pengadaan lembaga negara, dalam arti siapa yang membentuk dan mengadakan

lembaga tersebut, ii) bagaimana mekanisme pengisian lembaga dimaksud apakah

melalui pemilihan atau melalui pengangkatan, iii) apa tugas dan wewenangnya, dan iv)

bagaimana pengaturan hubungan kekuasaan antar lembaga negara satu sama lain.3

Menurut Logeman, negara merupakan organisasi otoritas yang mempunyai fungsi yaitu

jabatan. Jabatan tinggal tetap, pemangku jabatan silih berganti; wewenang dan kewajiban

melekatkan diri pada jabatan; pemangku jabatan mewakili jabatan.4 Dikatakannya lebih

lanjut bahwa negara itu adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsi-fungsi. Maka

dengan fungsi itu dimaksudkan suatu lingkungan kerja yang terperinci dalam rangkaian

keseluruhan. Dalam hubungannya dengan negara ia disebut jabatan. Negara adalah

organisasi jabatan.5

Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya

lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas dan kewenangan

pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan

yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam undang-

undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin

luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan

tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan

demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan-atau organ

yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara

3 Firmansyah Arifin dkk, id hal 15.4 Prof. Dr. J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, diterjemahkan Makkatutu SH dan Drs. J.C. Pangkerego, dari Judul Asli Over de Theori van een Stellig Staatsrecht 1948, hal. 106.5 Idem, hal 117.

4

Page 5: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

pembantu ((auxiliary state organ). Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini,

sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang

dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, disamping

menjadi beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian

masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju

maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif,

pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan

kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal

ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi

Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran Pemerintahan yang

sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif,

effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat

bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi,

pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an.6 Akan tetapi , seperti ditulis oleh

Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen

yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap

penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab

tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce

Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian

telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan

tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad baru

ekplorasi ruang angkasa.7 Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44

lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak

diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh Pemerintahan

masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung

kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi.

Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau

badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut

juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang 6 Prof. Dr. Jimly Asshidiqie,SH, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8.7 Administrative Law In The Political System,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78.

5

Page 6: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

kerap pula disebut dengan nama non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah

lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya

dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu

istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk

dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan

untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan

sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara.8

Dalam topik pembicaraan kita mengenai ”Sengketa Kewenangan Antar Lembaga

Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945,

yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya

adalah ”memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi

dalam pasal 10 ayat (1) UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945

sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik nomor

XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, nomor X/MPRS/1969 dan nomor

III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya

kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut

MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah

Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat

sebagai pemegang kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan

negara yang tertinggi.9 Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat

menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam

UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang

disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945,

atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama

dan wewenangnya diatur dalam undang-undang mengenai lembaga negara tersebut.

Misalnya pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ”pemilihan umum diselenggarakan oleh

suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6)

menentukan bahwa ”ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

8 Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, op.cit. hal 33. 9 Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan.

6

Page 7: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

undang-undang”. Demikian juga pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu

bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan

independensinya diatur dengan undang undang.

Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga

negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan

dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh

kewenangannya dariUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan

penugasan kepada pembuat undang-undang untuk membentuk lembaga negara tersebut

yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu

undang-undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang

memperoleh kewenangannya dari undang-undang.

Kewenangan dan Sengketanya

Kewenangan yang disebut sebagai authority, diartikan sebagai hak untuk bertindak

dan mengeluarkan perintah dengan kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat umum atau

lembaga negara untuk meminta kepatuhan orang atau organ negara pada perintah yang

dikeluarkan secara sah dalam ruang lingkup tugas publiknya (public duties).10

Kewenangan itu dikatakan merupakan wujud nyata dari kekuasaan, sebagai kemampuan

untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku

semua adressatnya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai

kekuasaan.11 Oleh karenannya juga benar bahwa kewenangan merupakan wujud nyata

dari kekuasaan. Dengan mengacu pada sumber kekuasaan negara yang berkaitan dengan

ajaran kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945, maka sumber kekuasaan yang dimiliki

oleh lembaga negara di Indonesia adalah derivat dari kesadaran kolektif bangsa mengenai

Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam faham kedaulatan

hukum, sekaligus faham kedaulatan rakyat.12

Mengacu kepada pembedaan lembaga negara sebagai organ konstitusi yang

memperoleh wewenangnya dari UUD 1945 dan yang bukan, sangat penting untuk diingat

10 Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn. West Publishing Co, 1990.11 Firmansyah Arifin dkk, op.cit hal 16.12 Prof. Dr. Jimly Asshidiqie dalam Firmansyah Arifin dkk, op.cit hal x.

7

Page 8: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

bahwa sumber kewenangan tersebut merupakan tolok-ukur atau ukuran untuk

menentukan corak lembaga negara yang bersengketa menyangkut kewenangannya.

Tetapi apakah dengan ukuran yang jelas demikian dapat kita mengatakan bahwa satu

lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD, tidak mungkin bersengketa

dengan lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari undang-undang, dan kalau

hal demikian menjadi kenyataan maka hal demikian diluar jurisdiksi MK? Secara pasti

hal tersebut belum dapat dikatakan, karena satu lembaga negara yang ditentukan dalam

UUD 1945 dengan kewenangan pokok disebut dalam konstitusi, tetapi diatur lebih lanjut

dalam undang-undang. Apakah hal pengaturan demikian dalam undang-undang

menyebabkan sumber kewenangan secara langsung lembaga negara tersebut dari undang-

undang atau dari UUD, masih merupakan perdebatan yang akan memperoleh kepastian

dalam kasus-kasus yang dihadapi dan memeroleh putusan yang final dari MK. Oleh

karena belum jelasnya hal ini, Mukhtie Fajar berpendapat bahwa hal tersebut bisa

mengundang beberapa penafsiran, yaitu :

a. penafsiran luas, sehingga mencakupsemua lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut/tercantum dalam UUD 1945;

b. penafsiran moderat, yakni yang hanya membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi dan tinggi negara;

c. penafsiran sempit, yakni penafsiran yang merujuk secara implisit dari ketentuan pasal 67 UU MK;13

Akan tetapi dari bunyi pasal 67 UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

yang berbunyi ”Putusan Mahkamah konstitusi mengenai sengketa kewenangan

disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden”. Hemat saya

dengan penafsiran sempit sekalipun, belum menjadi jelas betul apakah dengan demikian

BPK dan Komisi Yudisial tidak termasuk didalamnya. Mahkamah Agung dalam landasan

berfikir yang keliru juga tidak tepat bila dikeluarkan dari daftar lembaga negara yang

memperoleh kewenangannya dari UUD 1945, yang boleh bersengketa, karena dari kasus

yang pernah timbul dan diputus MK, kasus antara MA dan KY secara riil sesungguhnya

yang dipermasalahkan adalah sengketa kewenangan menurut pasal 24C ayat (1) UUD

1945, meskipun dikemas dalam bentuk pengujian undang-undang tentang pembentukan

Komisi Judisial.14

13 Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press,Jakarta &Citra Media Yogyakarta 2006, hal 184. Hal tersebut juga dikutip dari sumber lain, dalam Firmansyah dkk, hal 65-66.14 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 05/PUU-IV/2006, tanggal 23 Augustus tahun 2006 tentang pengujian undang-undang nomor nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

8

Page 9: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Timbul pertanyaan, mengapa dapat terjadi sengketa kewenangan antara satu lembaga

negara dengan lembaga negara lain? Satu wewenang yang dilimpahkan pada lembaga

negara selalu mempunyai kaitan dengan hukum, yang dapat berwujud Undang-Undang

Dasar, Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah tugas,

fungsi dan wewenang sering dipakai secara interchangeable atau saling dipertukarkan,

sehigga kadang-kadang menjadi tidak jelas artinya. Harjono mengemukakan bahwa

fungsi mempunyai makna yang lebih luas daripada tugas. Tugas katanya, lebih tepat

digunakan untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi terlaksana.

Fungsi memerlukan banyak aktivitas agar fungsi dapat terlaksana. Gabungan dari tugas-

tugas adalah operasionalisasi dari sebuah fungsi yang sifatnya kedalam. Tugas selain

mempunyai aspek kedalam juga memiliki aspek keluar. Aspek keluar dari tugas adalah

wewenang.15 Dalam praktek kata tugas tidak dapat dipisahkan dari wewenang, sehingga

oleh karenanya sering digunakan secara bersama-sama yaitu tugas dan wewenang.

Dikatakan lebih jauh bahwa dengan dinyatakannya satu lembaga mempunyai wewenang,

timbullah akibat yang sifatnya kategorial dan ekslusif.16 Kategorial dikatakan sebagai

unsur yang membedakan antara lembaga yang mempunyai wewenang dengan yang tidak

mempunyai wewenang, sedangkan eksklusif diartikan bahwa lembaga-lembaga yang

tidak disebut merupakan lembaga yang tidak berwenang.Perbedaan tafsir atas

kewenangan yang diberikan dalam aturan perundang-undangan oleh lembaga negara

yang berbeda demikian dapat melahirkan sengketa kewenangan yang merupakan

perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan

antara dua lembaga negara atau lebih.

Dalam laporan penelitian KRHN dikatakan terdapat empat karakeristik utama

sebuah kewenangan yang berbasis peraturan, yaitu:

1. Hak untuk membuat keputusan-keputusan yang berkekuatan hukum. Hal ini

sangat berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan yang dikeluarkan sebagai

bagian dari pelaksanaan kewenangannya.Potensi sengketa kewenangan lembaga

negara sangat mungkin lahir dari produk hukum yang dikeluarkan oleh sebuah

lembaga negara yang kemudian mengikat kepada lembaga negara lain.

dan undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Judisial.15 Sebagaimana dimuat dalam Firmansyah Arifin dkk, op.cit hal 19.16 Idem, hal 14.

9

Page 10: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

2. Perbedaan pelegitimasian antara kekuasaan dengan kewenangan. Hal tersebut

berkaitan dengan beberapa lembaga negara yang secara legitimatif kekuasaannya

diberikan dalam landasan hukum yang berbeda dengan landasam hukum

kewenangannya. Hal itu menibulkan perbedaan tafsiran antara kekuasaan, fungsi,

tugas, wewenang dan kewajiban maupun penjabaran terhadap unsur-unsur

tersebut. Akibatnya sering suatu lembaga negara merasa lebih memiliki

kekuasaan ataupun kewenangan terhadap satu hal daripada lembaga negara lain.

3. Aturan hirarkis yang jelas, seperti lex specialis derogat legi generalis, lex

superiori derogat legi inferiori,diperlukan dalam menjamin kepastian hukum,

dapat membingungkan ketika beberapa jenis peraturan sudah tercabut dengan

azas tersebut.

4. Kewenangan yang terbagi. Beberapa kewenangan dimiliki lembaga negara secara

bersamaan dengan lembaga negara lain. Kerancuan timbul ketika wilayah

kewenangan mulai ditafsirkan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara

lain.

Karena prinsip checks and balances tersebut diantara lembaga-lembaga negara yang

setara setelah amandemen UUD 1945, yang tidak lagi mengenal lembaga tertinggi

yaitu MPR, maka diperlukan adanya satu lembaga untuk menafsir kewenangan

konstitusional lembaga-lembaga negara tersebut untuk memberi penyelesaian pada

sengketa yang timbul.

PIHAK-PIHAK DALAM SENGKETA KEWENANGAN

Objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara, akan membatasi siapa pihak

yang dapat menjadi pemohon dan termohon didepan persidangan Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan lembaga negara yang dapat menjadi objek sengketa hanyalah menyangkut

kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga negara tertentu. Oleh

karenanya tidaklah tiap lembaga negara, yang memenuhi kriteria sebagai organ, badan

atau lembaga negara yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dan

pemerintahan, yang bersengketa dengan lembaga negara lain dapat dengan sendirinya

menjadi pihak dalam sengketa kewenangan dimaksud. Jikalau kita meneliti UUD 1945

10

Page 11: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

setelah perubahan, dapat dinventarisasi 28 lembaga negara yang disebut secara eksplisit

maupun secara tidak langsung disebut tetetapi kemudian diperintahkan akan diatur dalam

undang-undang. Menurut Jimly Asshidiqie, ada 28 lembaga negara, organ atau jabatan

yang disebut dalam UUD 1945 tetapi kewenangannya dirujuk akan diatur lebih lanjut,

atau lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD 1945 maupun

yang sekedar disebut saja,yaitu :

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat.(MPR).2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD).4. Presiden.5. Wakil Presiden.6. Dewan Pertimbangan Presiden.7. Kementerian Negara.8. Duta.9. Konsul.10. Pemerintahan Daerah Propinsi, yang mencakup11. Jabatan Gubernur.12. DPRD Propinsi13. Pemerintahan Daerah Kabupaten, yang mencakup14. Jabatan Bupati15. DPRD Kabupaten16. Pemerintahan Daerah Kota, yang mencakup17. Jabatan Walikota18. DPRD Kota.19. Komisi Pemilihan Umum)KPU), yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-

undang.20. Bank Sentral, yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.21. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).22. Mahkamah Agung (MA)23. Mahkamah Konstitusi (MK).24. Komisi Yudisial.(KY)25. Tentara Nasional Indonesia(TNI).26. Kepolisian Negara Republik Indonesia.27. Pemerintah Daerah Khusus atau istimewa.28. Kesatuan Masyarakat hukum adat.17

Meskipun disebut dan diatur dalam UUD 1945, lembaga negara yang memiliki legal

standing untuk dapat menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan

MK, haruslah secara eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut mendapat

kewenangannya tersebut dari UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi

17 Prof.Dr Jimly Asshidiqie SH, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press & PT Syaamil Cipta Media, 2006 hal 15.

11

Page 12: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

dalam perkara Nomor /PUU-IV/2006, yang kemudian diadopsi sebagai syarat legal

standing dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006,

ditetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut yaitu :

1. Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan

konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan

oleh lembaga negara yang lain.

2. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang

dipersengketakan.

3. Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi,

menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.18

Syarat angka 3 diatas, dapat ditafsirkan sebagai adanya hubungan kausal kerugian yang

dialami kewenangannya dengan kewenangan yang dilaksanakan oleh lembaga lain.19

Dengan kriteria yang demikian maka subjek lembaga negara yang disebut diatas yang

memiliki legal standing untuk dapat menjadi Pemohon dalam sengketa kewenangan

lembaga negara didepan Mahkamah Konstitusi, menjadi semakin sempit dan

berkurang.Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/ 2006

tersebut, yang menentukan :

(1) Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :

a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).d. Presidene. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .f. Pemerintahan Daerah (Pemda); ataug. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Penyebutan huruf g yang kembali seperti mengulang kalimat dalam pasal 24 C ayat

(1) tentang kualifikasi lembaga negara yang memiliki legal standing untuk menjadi

pihak dalam sengketa kewenangan tersebut, yang justru ingin diatur dan diperjelas,

dengan aturan dalam huruf g tersebut persoalannya menjadi terbuka kembali. Hal

18 Syarat yang disebut pada angka (1) pasal 3 PMK nomor 08/PMK/2006 yang berlaku mulai tanggal 18 Juli 2006, adalah mengambil alih pasal 61 ayat (1) UU nomor 24 tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.19 Periksa lebih lanjut Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi MKRI 2006 hal 195.

12

Page 13: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

tersebut terjadi karena adanya perbedaan pendapat atau tafsiran atas penyebutan

lembaga negara tertentu dalam UUD 1945 yang sebagian menganggap

kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD 1945, sebagian lagi menganggapnya

tidak. Oleh karena nya hal demikian akan diputus kelak secara definitif dalam

putusan Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan tetap dan mengikat, yang akan

menjadi jurisprudensi yang kemudian akan menjadi rujukan. Hal ini dapat dilihat dari

rumusan Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah, dimana pasal 18

menentukan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Provinsi

dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabipaten, dan kota itu

mempunyai pemerintahan daerah,yang diberi wewenang untuk mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan

Daerah provinsi, kabupaten dan kota dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-

masing sebagai kepala pemerintah daerah memiliki Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Pemerintahan daerah, yang terdiri dari kepala daerah dan DPRD menjalankan

otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat, dan dalam rangka melaksanakan

otonomi Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lainnya. Dalam satu kasus yang terjadi di Pemerintahan Daerah Bekasi,

seorang Bupati telah diberhentikan sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2004, atas

dasar putusan MA yang menyatakan bahwa prosedur pemilihannya mengalami cacat

hukum dan karenanya pengangkatannya kemudian dibatalkan Presiden. Bupati yang

diberhentikan tersebut kemudian mengajukan perkara permohonan sengketa

kewenangan terhadap (i) Presiden, (ii) Mendagri dan (iii) DPRD Kabupaten Bekasi,

dengan alasan bahwa pemberhentian yang dilakukan berdasar wewenang Presiden,

telah merugikan kewenanganya sebagai Bupati, karena sesungguhnya putusan

Mahkamah Agung yang dijadikan dasar pemberhentian inkonstitusional, karena cacat

dalam persyaratan untuk pilkada bukan merupakan sengketa tatausaha negara yang

menjadi wewenang Pengadilan TUN, dan karenanya juga Presiden tidak boleh

menghentikannya yang wewenangnya dirugikan dengan demikian. DPRD juga

telahmerugikan kewenangan konstitusionalnya, karena DPRD tidak berwenang

mengesahkan Peraturan Daerah yang diusulkan Pejabat atau Pelaksana Bupati, yang

13

Page 14: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

menjadi wewenang Bupati yang dipilih secara demokratis, sedangkan Pelaksana

Bupati tidak dipilih melainkan ditunjuk.

Dalam perkara tersebut berdasarkan kasus posisi yang terjadi, kami berpendapat

bahwa DPRD sebagai lembaga negara memperoleh wewenangnya secara langsung

dari UUD 1945 sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah, yang turut serta dalam

pembentukan dan Pengesahan Peraturan Daerah. Meskipun tatacara tentang

wewenang DPRD diatur dalam undang-undang, hemat kami wewenang DPRD

tersebut berasal dari dan diberikan oleh UUD 1945, dalam rangka otonomi yang

seluas-luasnya. Jika sekiranya dianut pendapat bahwa DPRD, yang juga

dikategorikan sebagai lembaga negara tingkat daerah tidak memiliki legal standing

mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara demikian didepan MK, tidak pula

tepat sengketa demikian diajukan didepan PTUN sebagai sengketa TataUsaha

Negara, karena masalah yang dipersoalkan adalah masalah hukum tatanegara, yang

menjadi kompetensi Peradilan TataNegara. Meskipun dari sudut kriteria objek

sengketa TUN boleh jadi Peraturan Daerah memiliki nuansa keputusan TUN dari

pejabat TUN yaitu pelaksana tugas Bupati yang dapat dipersengketakan didepan

Pengadilan TUN, akan tetapi Peraturan Daerah adalah merupakan algemene regeling

yang mengikat secara umum, dan bukan merupakan beschikking, yang bersifat

individual,final dan kongkrit. Mayoritas Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat

lain tentang status lembaga negara Bupati/KDH dan DPRD tersebut sebagaimana

tampak dalam pertimbangan perkara No. 04/SKLN-IV/2006 sebagai berikut ini :

”...objektum litis antara Pemohon dan Termohon III adalah kewenangan pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pemerintahan daerah adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh pasal 24C UUD 1945 karena diberikan kewenangan oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2)serta pasal 18B ayat (1) UUD 1945.Pemohon yang mendalilkan dalam kapasitasnya sebagai lembaga negara untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 adalah Bupati Bekasi. Dalam hubungannya dengan kapasitas yang didalilkan yaitu, UUD 1945 mengatur dalam pasal 18 ayat (4) bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis. Selain ketentuan tersebut, pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya

14

Page 15: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

dipilih secara melalui pemilihan umum. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas yang telah jelas disebut kewenangannya adalah Pemerintahan Daerah yang kewenangan tersebut diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Meskipun pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota adalah kepala pemerintah daerah, namun pasal ini tidak menyebutkan apa yang menjadi kewenangan kepala pemerintah daerah dan hal ini adalah wajar karena ruang lingkup kewenangan tersebut baru dapat ditetapkan apabila perintah pasal 18,Pasal 18A ayat (4)dan pasal 18B UUD 1945dilaksanakan yaitu ditetapkan dalam undang-undang.Kewenangan kepala daerah sangatlah berkaitan dengan kewenangan pemerintahan daerah, karena kepala daerah adalah kepala pemerintah daerah, tentunya sangat tidak tepat apabila kewenangan kepala daerah tidak dalam rangka melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah. Keseluruhan kewenangan tersebut diatur dalam undang-undang yang melaksanakan pasal 18, Pasal 18A dan pasal 18B UUD 1945. Pasal 18 ayat (6) adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar kepada pemerintahan daerah dan sekaligus juga perintah kepada pembuat undang-undang agar kewenangan tersebut tidak diabaikan dalam melaksanakan ketentuan pasal 18, pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945.Dalam hubungannya dengan pembuatan peraturan daerah, kewenangan kepala pemerintah daerah ditentukan dan diatur oleh undang-undang. Sedangkan yang dilarang oleh undang-undang dasar apabila kewenangan membuat peraturan daerah sama sekali ditiadakan. Pelaksanaan kewenangan tersebut tentunya akan disesuaikan dengan pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan yang diatur oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat mengatur secara berbeda tata cara pembuatan peraturan daerah yang berlaku untuk daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan bahkan daerah yang termasuk satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18B UUD 1945.

...Mahkamah berpendapat bahwa Bupati adalah organ pemerintahan yang juga lembaga negara dalam proses pembuatan peraturan daerah yang diatur dalam UU nomor 32 tahun 2004. Kewenangan Bupati tersebut diberikan oleh undang-undang, dan didalam undang-undang tersebut tidak terdapat kewenangan implisit atau kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang diberikan undang-undang dasar.Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa sengketa yang terjadi...bukanlah sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 sehingga permohonan pemohon tidak beralasan”. Mahkamah Konstitusi dalam kasus Bupati Bekasi perkara

No.04/SKLN-IV/2006 tersebut memutus tidak dapat diterima (niet ontvankelijk

verklaard) sehingga belum mengikat sepanjang mengenai substansinya. Akan tetapi

putusan MK tersebut telah menentukan lembaga negara Bupati dan DPRD tidaklah

15

Page 16: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

memperoleh kewenangannya dalam menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya,

termasuk wewenang untuk membentuk peraturan daerah dalam menjalankan otonomi

daerah. Wewenang tersebut berasal dari undang-undang. Oleh karena MK baru

memutus mana lembaga negara yang boleh bersengketa didepan MK, ada

kemungkinan dimasa depan akan terjadi kasus yang hampir sama dimana MK akan

sampai pada materi atau substansi sengketanya, yang akan diputus dengan kekuatan

hukum yang mengikat. Harus diakui definisi Hukum Tata Negara yang luas yang

mencakup Hukum Tata Usaha Negara, telah menyebabkan timbulnya titik singgung

diantara Pengadilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah MA dengan Pengadilan

TataNegara yang diemban MK, dalam menangani kasus semacam itu, yang boleh

jadi dapat menimbulkan komplikasi yang akhirnya tidak pas. Tetapi dengan

berpedoman pada Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi, dengan mana peraturan

maupun perbuatan semua organ negara harus dapat diuji dengan UUD, yang

merupakan dasar untuk menegaskan bahwa kata akhir dalam hal demikian akan

menjadi jurisdiksi Mahkamah Konstitusi. Secara diametral kami memiliki pendirian

yang berbeda, melalui pendekatan yang tidak semata-mata satu segi, yakni dari segi

sumber kewenangan lembaga negara yang tekstual. Pendirian kami tercantum dalam

dissenting opinion kami yang dikutip berikut ini :

Dalam perkara ini Bupati/Wakil Bupati Bekasi yang dipilih dan ditetapkan

sebagai Bupati terpilih pada tahun 2003 oleh DPRD Kabupaten Bekasi, dan disahkan

dengan Keputusan Mendagri sebagai Bupati/Wakil Bupati Bekasi serta diambil

sumpahnya pada tanggal 8 Januari 2004, telah diberhentikan oleh Mendagri dengan surat

keputusan tertanggal 4 Januari 2006, persis 2 (dua) tahun setelah menjalankan tugasnya.

SK Mendagri tersebut dikeluarkan sebagai lanjutan dari Putusan Mahkamah Agung

Nomor 436 K/TUN/2004 yang menyatakan batal SK Mendagri tentang pengangkatan

Bupati dan Wakil Bupati terdahulu dan memerintahkan Mendagri mencabut surat

keputusan tersebut. Sebagai akibatnya kemudian dalam SK Mendagri tentang pembatalan

SK pengangkatan terdahulu, Bupati dan wakil Bupati diberhentikan. Berbeda dengan

mayoritas hakim MK, kami berpendapat ini merupakan kewenangan MK yang harus

diputus MK.

16

Page 17: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Bupati dan DPRD sebagai Lembaga Negara

Sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena digunakannya kewenangan lembaga

negara yang diperolehnya dari UUD 1945, dan kemudian dengan penggunaan

kewenangan tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain.

Dalam arti ini, maka lembaga negara yang lebih rendah kedudukannya, dalam arti yang

secara stricto sensu juga tidak disebut lembaga negara, tetapi yang juga lembaga negara

yang memiliki tugas-tugas secara konstitusional menurut UUD, termasuk dalam kategori

ini. Apapun tafsiran yang diberikan terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD, jelas bahwa

wewenang sebagai kepala daerah, yang memimpin sebagian tugas pemerintahan daerah

dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, maka kewenangan itu diberikan UUD

1945 melalui ”Pemilihan secara demokratis”. Wewenang menjalankan

Pemerintahan Daerah, diberikan kepada Bupati, dan lembaga DPRD, jelas adalah

berasal dari UUD 1945. Tidak ada faedahnya untuk menafsirkannya secara lain, karena

perolehan kewenangan untuk menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan tersebut

dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, menetapkan peraturan daerah dan peraturan

lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan tersebut, tidak berbeda dengan

kewenangan yang diterima dan diberikan UUD 1945 kepada Presiden dan DPR. Justru

akan terasa kegagalannya untuk menegakkan Konstitusi sebagai hukum tertinggi yang

menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan hukum dan Konstitusi, jikalau

mengambil tafsiran yang bersifat restriktif dan tanpa dasar yang cukup. Original intent

dari pembuat UUD, merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, akan tetapi

merupakan fakta yang diakui secara universal, bahwa pembuat UUD juga harus

memberikan keleluasaan bagi Mahkamah untuk melakukan penyesuaian dalam

memenuhi tuntutan dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan praktek (The Court

needs to adapt to meet the demands of the unknown future), dan hemat kami pembuat

UUD tidaklah pernah bermaksud menghambat Mahkamah untuk memiliki keleluasaan

melakukan penyesuaian akan tuntutan kebutuhan dalam rangka melaksanakan tujuannya

mengawal Konstitusi. Demokrasi dan keseluruhan sistem kelembagaannya adalah satu

karya yang terus tumbuh, sebagaimana juga ditunjukkan oleh negara-negara yang lebih

dulu maju, yang tidak mampu diatur oleh pembuat UUD secara sempurna sehingga tidak

lagi membutuhkan tafsiran dalam kenyataan politik.

17

Page 18: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Persoalan pokok yang harus dijawab terlebih dahulu adalah, apakah keputusan

pengangkatan dan pemberhentian Bupati, yang merupakan kelanjutan pemilihan kepala

daerah, tunduk dan menjadi objek sengketa TUN? Sebelum melihat ketentuan UU

Pemerintahan Daerah, maka jika memang aturan dalam UU memberi peran pada Presiden

dan Mendagri untuk mengeluarkan SK pengangkatan Bupati dimaksud, tetapi Pejabat

TUN dimaksud tidak memiliki diskresi penuh untuk menilai kecakapan dan kelayakan

seseorang sebelum mengangkat/menghentikannya menjadi Bupati/Wakil Bupati atau

kemudian hal itu dilakukan Mendagri hanya berdasarkan Putusan MA yang telah

berkekuatan, ukuran atau tolok ukur yang digunakan dalam menentukan apakah ini

merupakan sengketa kewenangan yang disebut Pasal 24C UUD 1945, ialah apakah

keputusan Mendagri tersebut didasarkan pada kebebasan diskresi. Hal demikian juga

menjadi relevan kalau terjadi kelalaian Hakim dalam menerapkan aturan UU dan

Konstitusi, sebagaimana didalilkan Pemohon, maka sengketa ini tunduk pada jurisdiksi

MK, sehingga karenanya MK berwenang mengadili perkara ini, karena penggunaan

wewenang Mendagri secara tidak tepat telah menghilangkan kewenangan yang diemban

oleh Bupati yang telah bertugas sebagai Kepala Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan

Pemerintahan di Daerah Kabupaten Bekasi.

Persoalan kewenangan ini harus dilihat dari segi batasan antara hukum tata

negara dengan Hukum Administrasi Negara, yang keduanya masuk dalam domain hukum

publik. Dalam arti yang luas, Hukum Tata Negara meliputi juga Hukum Administrasi

Negara, yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antar perlengkapan negara

secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warganegara dan hak asasinya. Jadi

dalam arti luas juga mencakup hubungan bukan saja antar lembaga negara, tetapi juga

antara lembaga negara dengan warganegara. Oleh karena definisi yang demikian, maka

tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan antara

PTUN dengan Mahkamah Konstitusi, dengan akibat terjadinya kemungkinan overlap

diantara kedua kewenangan tersebut. Tetapi satu ukuran yang jelas dapat dilihat dari

batasan yang ditetapkan sebagai diluar kewenangan PTUN yaitu hasil pemilihan sebagai

lembaga demokrasi. Pengesahan atau pengukuhan hasil pemilihan kepala daerah berupa

keputusan Presiden atau Mendagri, meskipun formil adalah satu keputusan TUN yang

final, individual dan konkrit, akan tetapi Mendagri sebagai pejabat TUN dalam kaitan

18

Page 19: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

pengesahan Bupati/Kepala daerah hasil Pilkada, berwenang membuat SK bukan dengan

satu kewenangan diskresioner, yang menilai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh

UU, melainkan hal itu hanya pengesahan/pengukuhan. Perselisihan tentang dipenuhi

tidaknya syarat untuk ikut pemilihan terletak dalam wewenang panitia pemilihan

(sekarang KPUD), dan Mendagri sebagai pejabat TUN tidak memiliki kewenangan

diskresioner untuk menentukan seorang Bupati terpilih tidak memenuhi syarat itu,

sebagaimana kewenangan TUN dalam mengangkat pejabat TUN atau pegawai lainnya.

Dalam UU Pemerintahan Daerah yang menetapkan sebagai Kepala Daerah berdasarkan

hasil pemungutan suara, adalah DPRD dan Mendagri bertugas mengukuhkan atau

mengesahkan. Hal tersebut harus dilihat dan dinilai bukan dari segi hukum tata usaha

negara, melainkan dari segi hukum tata negara, yaitu sebagai satu mekanisme hubungan

antar lembaga negara yang pejabatnya diisi secara demokratis. SK pengangkatan atau

pengesahan itu tidak dapat dilihat sebagai keputusan TUN yang murni, karena

sesungguhnya hal itu hanya merupakan satu perbuatan hukum tata negara sebagai

kewenangan yang diatur secara konstitusional dan karenanya harus dinilai secara

konstitusional, yang menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dengan

pemerintahan daerah di dalam prinsip negara kesatuan. Pengukuhan dengan SK

Mendagri tersebut merupakan satu penyelesaian administrasi ketatanegaraan bukan

Keputusan TUN, karena menyangkut pengisian pejabat publik melalui mekanisme

demokratis sebagaimana ditentukan UUD 1945. Kalau SK Mendagri demikian memiliki

fungsi konstitutif dalam menentukan kedudukan kepala daerah, maka yang menetapkan

seorang menjadi kepala daerah bukan pemilihan secara demokratis, melainkan

pengangkatan oleh Mendagri atau Presiden. Hal demikian, jika benar, jelas bertentangan

dengan UUD 1945, karena yang menentukan dan menetapkan seorang menjadi kepala

daerah adalah pemilihan demokratis.

Wilayah kekuasaan MK adalah untuk menjaga jangan sampai ada ketentuan

Konstitusi yang dilanggar dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara, dengan

menerapkan uji konstitusionalitas juga ketika terjadi perselisihan (dispute) yang

didalilkan bahwa lembaga negara tertentu melaksanakan kewenangannya justru

menghilangkan kewenangan lembaga negara lain atau melanggar kewenangan

19

Page 20: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

konstitusionalnya. Atas dasar uraian dan alasan-alasan diatas, kami berpendapat MK

berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa ini.

Kewenangan Bupati Secara Derivatif dari UUD 1945.

Pemohon adalah lembaga negara yang telah diuraikan di atas, memperoleh

kewenangannya dari UUD 1945 meskipun rincian wewenangnya secara derivatif diatur

kemudian dalam UU. Pemohon sebagai pemegang jabatan (ambtsdrager) tidak dapat

dipisahkan dari jabatan bupati (ambt) tersebut, terutama dalam kondisi dinamis,

wewenang lembaga (ambts) yang memperoleh wewenang tersebut dari UUD 1945 hanya

dapat dilaksanakan melalui pejabatnya (ambtsdrager). Pemohon sebagai Bupati yang

telah dipilih dalam Pilkada oleh DPRD secara demokratis, sesuai dengan Pasal 18 ayat

(4) UUD 1945, dan kemudian disahkan dengan mengangkat yang bersangkutan dengan

SK Mendagri dan disumpah di depan Gubernur Jabar, adalah sebagai Kepala Pemerintah

Daerah Kabupaten, yang bersama-sama DPRD menjalankan otonomi seluas-luasnya, dan

berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan

tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (4) dan (5) UUD 1945]. Dengan demikian

wewenangnya sebagai Bupati didasarkan atas pemilihan yang demokratis, untuk

menyelenggarakan pemerintahan di daerah dengan otonomi yang seluas-luasnya, yang

dilengkapi dengan kewenangan menetapkan Perda dan peraturan lainnya. Dengan ukuran

demikian, lepas dari keterangan Termohon I (Presiden) tanggal 19 April 2006, dan ahli

yang diajukan Termohon I yang menunjukkan original intent drafter amandemen UUD

1945 tidak bermaksud demikian, tidaklah bermanfaat untuk menyatakan bahwa Bupati

bukan lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, meskipun

kemudian diperinci dalam UU Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh

UUD 1945, karena perkara casu quo, sesungguhnya tidak dapat dibayangkan sebelumnya

oleh Pembuat perubahan UUD. Peristiwa hukum (tata negara) yang tidak bersesuaian

dengan UUD, tidak boleh dibiarkan hanya karena tidak disebut secara tegas apakah

sengketa yang dihadapkan kepada MK masuk dalam kategori pengaduan konstitusi

(constitutional complaint) yang belum merupakan kewenangan MK dalam tugasnya

untuk mengawal konstitusi. Lepas dari original intent para perancang perubahan UUD

1945 dan tidak adanya aturan yang tegas yang memberikan kewenangan demikian

20

Page 21: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

kepada MK, menurut hemat kami, Hakim Konstitusi justru berkewajiban untuk

menemukan hukumnya, baik melalui interpretasi maupun konstruksi atau penghalusan

hukum. Hal ini menjadi sangat penting, karena hemat kami tidak boleh dibiarkan

timbulnya keadaan dimana pemerintahan (daerah) menjadi tidak stabil, tidak effektif dan

tidak effisien karena MK tidak menemukan hukum yang menjadi dasar

kewenangannya menyelesaikan perkara a quo. Asas pokok yang diletakkan dalam

konstitusionalisme, yang meletakkan UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi, harus

menjadi sumber legitimasi dan dasar keberadaan aturan perundang-undangan yang lebih

rendah maupun keputusan pemerintahan (government act). Dari asas tersebut Hakim

dapat merumuskan norma konstitusi (Judge-made constitutional law) bahwa semua

lembaga negara yang beroleh kewenangannya dari UUD 1945, tidak diperkenankan

untuk mengeluarkan aturan perundang-undangan ataupun membuat keputusan yang

bertentangan dengan UUD. MK sebagai forum penyelesaian sengketa ketata negaraan

demikian, tidak boleh membiarkan dirinya untuk tidak mengambil keputusan secara aktif

dan substantif jika dihadapkan pada persoalan yang demikian, karena membiarkan hal

demikian tidak menyumbang terhadap pengelolaan kehidupan bernegara yang stabil

berdasar Konstitusi yang justru menjadi tugasnya.

Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Tata Negara melalui perubahan

besar UUD 1945, dengan kewenangannya terutama untuk memeriksa dan memutus

sengketa kewenangan lembaga negara, akan memiliki titik singgung dengan kewenangan

peradilan TUN. Hal tersebut akan terjadi jika sengketa kewenangan lembaga negara juga

dilihat dari aspek penggunaan kewenangan lembaga negara dengan mengeluarkan surat

keputusan (SK), terutama dalam pengesahan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme

yang ditentukan dalam UUD 1945, yaitu pemilihan secara demokratis. Mekanisme

menyelesaikan titik singgung antara dua badan peradilan yang setara demikian, tidak

tersedia sebagaimana halnya Mahkamah Agung berwenang memutus sengketa

kewenangan mengadili antara pengadilan ditingkat yang lebih rendah. Oleh karena itu,

selama meeting of mind antara MA dan MK belum tercapai dalam hal seperti itu, maka

MK mau tidak mau harus melakukan penilaian sendiri berdasar bukti-bukti dan

keyakinannya untuk mempertimbangkan dan memutus apakah benar ada kewenangan

absolut PTUN yang dilanggar jika MK memeriksa dan memutus perkara yang demikian.

21

Page 22: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Perubahan UUD 1945 yang terjadi secara revolusioner tersebut, seharusnya memaksa

lembaga judikatif untuk melakukan pemahaman bersama atas implikasi perubahan UUD

1945 terhadap kewenangan masing-masing. Kalau itu tidak terjadi, MK harus

mempertimbangkannya sendiri, baik kewenangan MK maupun MA.20

Titik Singgung Kewenangan PTUN dan MK

Sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari

UUD 1945 dapat didefinisikan sebagai “sengketa yang timbul dalam bidang tata negara

sebagai akibat satu lembaga negara menjalankan kewenangannya yang diberikan

UUD 1945, telah menghilangkan, merugikan atau mengganggu kewenangan lembaga

negara lain”. Dengan definisi yang demikian, maka satu sengketa kewenangan lembaga

negara dapat terjadi karena satu lembaga negara menjalankan wewenangnya secara

bertentangan dengan UUD 1945, yang merupakan perbuatan lembaga negara yang dapat

disebut Perbuatan Melawan Hukum Konstitusi (PMHK). Seorang Bupati/Wakil

Bupati terpilih secara demokratis yang ditetapkan oleh DPRD -sekarang oleh KPUD-

tetap dianggap sebagai Bupati/Wakil Bupati, selama belum diberhentikan karena masa

jabatannya habis, atau karena alasan melakukan melakukan tindak pidana diberhentikan

Presiden tanpa usul DPRD, atau atas usul DPRD (vide Pasal 29, 30, 31, dan 32 UU

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Persoalan titik singgung antara

kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan Peradilan TUN harus dilihat dari segi batasan

antara hukum tata negara dengan hukum administrasi negara, yang keduanya masuk

dalam domain hukum publik. Dalam arti yang luas, hukum tata negara juga meliputi

hukum administrasi negara, yang mengatur organisasi negara, hubungan antar

perlengkapan negara secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warga negara

serta hak asasinya. Oleh karena definisi sengketa tata negara dan batasan hukum tata

negara dan administrasi negara yang ada dalam domain hukum publik yang sama, maka

tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan PTUN

dengan MK, yang berakibat boleh jadi timbul overlap kewenangan, karena lembaga

negara juga dapat mengeluarkan keputusan yang sifatnya”individual, konkrit dan final”,

akan tetapi dikeluarkan bukan atas dasar kebebasan diskresioner pejabat Negara.

20 The Italian Constitutional Court, Corte Coztitutionale, 2004, hal 37-38.

22

Page 23: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Memang benar bahwa SK Mendagri dalam pengangkatan dan pemberhentian seorang

kepala/wakil kepala daerah merupakan tindakan pejabat TUN, yang didasarkan pada UU

Pemda (UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagai mana diubah dengan UU Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto

Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa: “Keputusan TUN adalah suatu penetapan

tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN yang berisi tindakan hukum

TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau

badan hukum perdata”.

Menurut Pasal 47 juncto Pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto Nomor 9

Tahun 2004, keputusan yang memenuhi syarat demikian merupakan objek sengketa yang

menjadi kewenangan Peradilan TUN untuk memeriksa dan memutus. Yang menjadi

persoalan apakah setiap penetapan tertulis pejabat TUN yang memenuhi syarat konkrit,

individual dan final demikian harus selalu menjadi objek sengketa yang menjadi

kewenangan PTUN? Hemat kami jelas tidak. Ketentuan yang memuat batasan apa yang

menjadi penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final yang dikeluarkan

badan atau jabatan TUN, untuk dapat dikatakan menjadi objek sengketa TUN, masih

memiliki syarat lain dan mengenal pengecualian tertentu. Keputusan TUN yang dapat

menjadi objek sengketa TUN adalah keputusan dimana pejabat yang berwenang

mengeluarkannya memiliki kebebasan (diskresi) untuk mengeluarkan keputusan tersebut

atau tidak, serta ada kebebasan dalam menentukan kapan dan bagaimana caranya

keputusan dikeluarkan. Penetapan yang bersifat deklaratoir selalu dianggap bersifat

terikat, dan dikatakan demikian jika eksistensi penetapan tersebut didikte saja (letterlijk)

oleh peraturan dasarnya.21 engecualian lain yang disebut secara tegas adalah Keputusan

Panitia Pemilihan yang berkenaan dengan hasil pemilihan umum, baik di pusat maupun

di daerah (Pasal 2 huruf g UU Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diperbaharui dengan

UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Surat Keputusan

Mendagri dalam pengangkatan Kepala Daerah terpilih bukanlah sebagai penetapan

pejabat TUN yang didasarkan pada kebebasan diskresi pejabat TUN, melainkan

21 Indroharto SH, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Bogor-Jakarta 1999, hal 153.

23

Page 24: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

hanyalah satu penetapan deklaratoir yang bersifat terikat, yang diperintahkan oleh Pasal

40 UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 32 Tahun

2004 Pasal 109 ayat (2) di mana Kepala Daerah terpilih disahkan oleh Presiden. Yang

memilih, menetapkan dan mengangkat seseorang menjadi kepala daerah sesungguhnya

adalah mekanisme demokrasi itu sendiri, dan tidak ada kebebasan diskresioner bagi

Presiden atau Mendagri untuk mengeluarkan penetapan lain bagi orang yang tidak dipilih

oleh DPRD atau rakyat. Persoalan pokok yang harus dijawab sekarang adalah apakah

keputusan TUN yang menyangkut pengangkatan dan pemberhentian Bupati, yang

merupakan kelanjutan pemilihan Kepala Daerah, tunduk dan menjadi objek sengketa

TUN? Hemat kami dengan definisi dan pengecualian apa yang menjadi keputusan TUN

yang menjadi objek sengketa TUN sebagaimana telah diuraikan di atas, jawabannya telah

jelas tidak.

Satu hal yang amat penting untuk dijadikan ukuran menentukan batas

kewenangan antara peradilan TUN dengan peradilan tata negara, adalah dengan melihat

kewenangan konstitusional Bupati Kepala Daerah. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2), (3),

(4), (5), dan (6), maka Bupati Kepala Daerah yang bersama sama dengan DPRD

menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, dan untuk itu berwenang menetapkan perda

dan peraturan lain. Pelaksana tugas Bupati yang ditunjuk oleh Mendagri yang tidak

dipilih secara demokratis, tidak memiliki kewenangan konstitusional demikian untuk

turut serta dalam pembuatan Perda dan/atau pengesahan Perda, dan pengesahan

rancangan Perda APBD menjadi Perda APBD. Kewenangan konstitusional demikian

hanya diberikan UUD 1945 kepada Bupati yang dipilih secara demokratis. Oleh

karenanya DPRD Kabupaten Bekasi yang turut serta bersama dengan Plt. Bupati Bekasi,

yang tidak dipilih secara demokratis menetapkan Perda yang demikian, telah turut

melakukan perbuatan yang melanggar konstitusi (Perbuatan Melawan Hukum

Konstitusi), hal mana merupakan kewenangan konstitusional Bupati yang dipilih secara

demokratis. Tentu saja sengketa ini adalah sengketa tata negara, yang menjadi

kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Masih terdapat dua argumentasi yang diajukan dalam menilai kewenangan MK

dan bukan kewenangan PTUN MA yang akan menjadi forum mengadili sengketa ini,

24

Page 25: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

yaitu karena dikatakan (i) yang menjadi sengketa adalah prosedur administratif yang

ditempuh Mendagri dalam menindak lanjuti dan melakukan tindakan hukum tata usaha

negara setelah selesai proses pemilihan tersebut, yaitu adanya masalah izin atasan yang

harus dimiliki seorang calon Bupati untuk ikut dalam pemilihan dan prosedur pengiriman

berkas pengesahan calon pasangan Bupati terpilih; (ii) dikeluarkannya SK Mendagri yang

membatalkan pengesahan pasangan Bupati/Wakil Bupati terpilih, adalah sebagai

pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan tetap yang merupakan

kewajiban hukum Mendagri. Dalam masalah prosedur administratif yang dianggap cacat,

sesungguhnya hal itu merupakan kewenangan Panitia Pemilihan untuk menentukannya,

karena syarat izin adalah masalah eligibility seorang calon, yang sebelum pemilihan

dilaksanakan sudah harus menampung setiap keberatan tentang itu, dan akan menerima

atau menolak keberatan demikian, yang menjadi kewenangan adminsitratif Panitia

Pemilihan dan bukan merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kewenangan

PTUN. Hal demikian analog dengan seluruh penyelesaian sengketa administratif dalam

pemilihan umum, yang bukan merupakan sengketa hukum yang menjadi kewenangan

badan peradilan tetapi kewenangan adminsitratif KPU/KPUD. Kalau masalah ini

ditangani sebagai sengketa TUN, akan terjadi ketidakpastian hukum yang luas atas hasil

pemilihan kepala daerah yang juga menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan.

Ketidaksempurnaan prosedur administratif dalam pengiriman berkas penetapan pasangan

calon terpilih oleh DPRD, tidak selalu berakibat kebatalan surat keputusan yang dibuat

atas dasar berkas penetapan pasangan calon terpilih, karena asas proporsionalitas juga

harus diperlakukan dalam menilai hal ini, yaitu apakah kekurangan tersebut sedemikian

rupa tidak dapat diperbaiki sehingga harus dibatalkan, terutama dengan melihat ukuran

pada berpengaruh tidaknya hal tersebut pada hasil pilihan suara yang diperoleh Bupati

terpilih dan implikasi pembatalan pada masa jabatan yang telah berlangsung untuk masa

yang signifikan. Asas Proporsionalitas sesungguhnya hanya satu asas yang didasarkan

pada akal sehat (common sense) yang merupakan asas dasar satu pemerintahan yang baik

(good governance). Asas itu dapat ditafsirkan bahwa akibat kebatalan dapat diterapkan:

(a) jika tujuan untuk menertibkan tidak dapat dicapai melalui tindakan lain; (b) jika

tujuan itu dapat dicapai lebih baik atau lebih effektif melalui tindakan pembatalan,

berdasar kriteria effisiensi dengan hasil yang lebih baik, dan (c) jika persoalan yang

25

Page 26: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

dihadapi dapat diselesaikan dengan lebih effektif melalui kewenangan pembatalan

(dirumuskan dari prinsip subsidiaritas atau proporsionalitas yang diatur dalam Pasal 5

Perjanjian Masyarakat Eropa/European Community Treaty) sebagaimana ditafsirkan

dalam pelaksanaannya.22

Di samping alasan bahwa sengketa seperti kasus Bupati Bekasi a quo yang bukan

merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kompetensi absolut PTUN MA,

melainkan merupakan sengketa tata negara yang menjadi kompetensi absolut MK, maka

argumen yang menyatakan lahirnya SK Mendagri yang membatalkan pengesahan

pengangkatannya sebagai pelaksanaan kewajiban hukum akibat putusan Mahkamah

Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, maka Presiden dan Mendagri tetap memiliki

kewajiban untuk menilai, apakah pelaksanaan kewajiban hukum demikian tidak

bertentangan dengan kewajiban konstitusional yang lebih tinggi. Jika terjadi pertentangan

antara dua kewajiban hukum, maka Presiden juga harus memilih untuk melaksanakan

kewajiban hukum yang lebih tinggi yang diatur dalam UUD 1945, dan mengesampingkan

kewajiban hukum yang lebih rendah. Kewajiban konstitusional demikian lahir dari Pasal

18 ayat (4) dan ayat (5) dan (6) yang menentukan kewajiban konstitusional Presiden

untuk menghormati masa jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang terpilih secara

demokratis. Dia tetap akan menjalankan Pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-

luasnya melalui wewenang konstitusional untuk menetapkan peraturan daerah dan

peraturan lainnya, terkecuali karena alasan meninggal dunia, atau melakukan tindak

pidana maupun karena adanya proses impeachment yang dilakukan DPRD. Dapat

dipastikan kewajiban hukum untuk menghormati dan melaksanakan Putusan Mahkamah

Agung yang demikian pasti berada dalam hirarki yang lebih rendah dilihat dari hirarki

aturan perundang-undangan yang melahirkan kewajiban hukum yang dimuat dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Konsolidasi di bidang kewenangan ini sangat perlu

disegerakan, agar tidak menimbulkan akibat pada stabilitas pemerintahan daerah yang

telah dipangku untuk masa yang signifikan, tetapi terganggu akibat penerapan

kewenangan yang tidak proporsional.

22 Hilaire Barnet, Constitutional & Administrative Law,Fourth Edition, Cavendish Publishing Limited, London-Sidney, 2003 hal 244-245.

26

Page 27: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Putusan MA yang telah berkekuatan tetap, tidak relevan diajukan untuk

membenarkan tindakan Termohon II karena putusan yang demikian tidak mempunyai

kekuatan mengikat sama sekali (buiten effect) karena bertentangan dengan kewajiban

Termohon I dan II berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU

Nomor 32 Tahun 2004. Meskipun bukan merupakan kewenangan MK untuk menilai

putusan MA, namun konsekuensi bahwa Konstitusi sebagai hukum tertinggi yang

menjadi dasar legitimasi segala aturan di bawahnya, termasuk putusan MA,

menyebabkan hal ini tidak dapat dielakkan. Apalagi UU Nomor 5 Tahun 86 juncto UU

Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, mengecualikan sengketa hasil pemilihan

demikian sebagai objek sengketa TUN. Seandainya juga benar ada proses administratif

yang dilalaikan sebelum dikeluarkannya SK Mendagri yang mengesahkan pengangkatan

Bupati terpilih, maka ukuran relevansi dan signifikansi yang diletakkan pada akibat

hukum kelalaian administrasi demikian tergantung pada berpengaruh tidaknya kelalaian

administratif tersebut pada hasil pemilihan yang dilakukan secara demokratis dalam

perolehan angkanya, sebagai wujud kedaulatan rakyat. Kalau tidak, maka alasan itu tidak

cukup signifikan dan tidak proporsional untuk membatalkan hasil pemilihan demokratis;

langkah yang benar untuk itu adalah memberi kesempatan memperbaiki kekurangan

administratif tersebut. Stabilitas Pemerintahan harus menjadi faktor yang harus

dipertimbangkan sebelum pengambilan putusan pembatalan pengangkatan Bupati/Wakil

Bupati, apalagi setelah menjalankan roda Pemerintahan Daerah selama 2 (dua) tahun, dan

dengan jangka masa jabatan yang terbatas, lamanya proses pengambilan putusan harus

turut menjadi faktor yang dipertimbangkan. Hakim Konstitusi dalam menjalankan

kewenangannya, akan selalu turut menjaga stabilitas pemerintahan tersebut.

Sengketa Kewenangan di MK Udalah Uji Konstitusionalitas Kewenangan.

Sumber kewenangan Pemohon adalah UUD 1945, tidak dapat diukur atau dinilai

dengan aturan yang lebih rendah yang tidak serasi/incompatible dengan Konstitusi

tersebut. Kalau hal itu dilakukan, maka setiap organ yang menilai dan melaksanakan hasil

penilaian tersebut secara demikian, telah melanggar kewajiban konstitusionalnya untuk

27

Page 28: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

menjalankan dan menjunjung tinggi UUD 1945 sebagai aturan dasar. Termohon I, II, dan

III yang menjalankan kewenangannya atas dasar Putusan TUN Mahkamah Agung

tersebut, didasarkan pada hukum yang lebih rendah secara bertentangan dengan UUD

1945, yang merupakan aturan dasar sebagai hukum tertinggi tersebut, dan telah

melaksanakannya bertentangan dengan kewajiban konstitusionalnya. Putusan badan

peradilan yang berkekuatan demikian seharusnya diperlakukan sebagai putusan yang

tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (buiten effect) dan tidak dapat

dilaksanakan sama sekali (non-executabel), kerena jika terjadi pertentangan antara 2

(dua) kewajiban yang didasarkan atas dua tingkat aturan hukum yang berbeda, baik

lembaga negara yang memiliki wewenang maupun MK yang memutus sengketa

kewenangan lembaga negara harus mendahulukan Konstitusi. Terutama juga hal

demikian dapat disimpulkan dari sumpah jabatan Presiden yang akan memenuhi

kewajibannya dengan sebaik-baiknya dengan memegang teguh UUD dan

menjalankannya dengan selurus-lurusnya Sistem Konstitusi dalam dirinya mengandung

uji Konstitusional, dan ketika timbul benturan antara aturan konstitusi dan aturan

perundang-undangan yang lebih rendah, pejabat negara wajib terikat untuk menghormati

aturan Konstitusi dan mengesampingkan aturan perundang-undangan yang lebih rendah.

Hal ini lahir dari prinsip bahwa setiap tindakan/perbuatan dan aturan perundang-

undangan dari semua otoritas yang diberi wewenang oleh konstitusi, tidak boleh

bertentangan dengan basic rights dan UUD itu sendiri sebagai hukum yang tertinggi,

dengan konsekuensi bahwa aturan atau tindakan demikian menjadi “batal demi hukum”

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyangkal hal ini akan mengingkari

kedudukan UUD sebagai Hukum Dasar yang tertinggi dan sumber kewenangan lembaga

negara. Hal itu secara tidak sah akan mengukuhkan keadaan bahwa wakil atau

pelaksana itu lebih besar dari prinsipal atau pelayan lebih besar dari majikannya.

”To deny this would be to affirm that the deputy is greater than his principal; that the

servant is above his master; that the representatives…are superior to the people

themselves”.23

23 Alexander Hamilton, The Federalist Papers, Mentor Book, The New American Library, 1961, hal 467.

28

Page 29: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

PROSEDUR DAN TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA

Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara,

digerakkan oleh lembaga negara yang merasa kewenangan konstitusionalnya diambil,

dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembgaga negara lain, dengan

mengajukan permohonan dalam 12 (dua belas) rangkap kepada MK yang akan memuat :

1. Data tentang :

a. Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga

negara, nama ketua lembaga negara dan alamatnya.

b. Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;

c. Uraian jelas tentang :

i. kewenangan yang dipersengketakan;

ii.kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut.

iii. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.

2. Alat-alat bukti tertulis 12(dua belas) rangkap yang diberi meterai yang cukup.

3. Daftar ahli-jika ada- dan pokok keterangan yang akan diberikan.24

Permohonan harus terlebih diteliti kelengkapannya oleh Kepaniteraan. Apabila

belum lengkap, Pemohon diwajibkan melengkapi dalam jangka waktu 7(tujuh) hari kerja

sejak pemberitahun kekuranglengkapan tersebut diterima oleh Pemohon. Apabila dalam

jangka waktu tujuh hari tersebut permohonan tidak dilengkapi atau disempurnakan

sebagaimana ditentukan, maka Kepaniteraan tidak mendaftarkan perkara tersebut dengan

mengeluarkan akte yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi. Dalam hal demikian

berkas permohonan akan dikembalikan kepada Pemohon. Sebaliknya permohonan yang

memenuhi syarat karena dipandang sudah lengkap, akan didaftarkan dalam Buku

Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), dan dalam jangka waktu tujuh hari sejak registrasi

tersebut, permohonan Pemohon tersebut sudah harus disampaikan kepada Termohon oleh

Juru Panggil. Hal demikian dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi Pemohon

mempersiapkan pembelaannya secara sempurna. Setelah registrasi dan pengiriman satu

salinan permohonan tersebut kepada Termohon, Panel Hakim-yang terdiri dari 3(tiga) 24 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, Pasal 5 dan Pasal 6.

29

Page 30: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

orang yang ditunjuk Ketua MK, dalam waktu 14( empat belas) hari sejak registrasi

perkara sudah harus menetapkan sidang pertama, untuk pemeriksaan pendahuluan.

Penetapan hari sidang demikian harus diberitahukan kepada Pemohon dan Termohon,

serta diumumkan kepada masyarakat melalui papan pengumuman MK dan situs

MK(www.mahkamahkonstitusi.go.id) serta media lainnya. Pemberitahuan tadi

merupakan panggilan, yang harus sudah diterima para pihak dalam jangka waktu paling

lambat 3 hari.

Pemeriksaan Pendahuluan

Sidang pertama untuk pemeriksaan pendahuluan akan melakukan pemeriksaan

kelengkapan dan kejelasan permohonan. Meskipun tampak seperti memiliki duplikasi

dengan wewenang kepaniteraan untuk memeriksa kelengkapan permohonan, maka

pemeriksaan pendahuluan yang diakukan oleh panel hakim tidak lagi menyangkut

kelengkapan administrasi permohonan, tetapi menyangkut substansi permohonan, yaitu

untuk melihat dasar-dasar legal standing dan uraian posita maupun petitum permohonan.

Tahap pemeriksaan ini untuk menentukan apakah menentukan apakah memang cukup

layak untuk diteruskan dalam pemeriksaan pleno yang harus menghadirkan Termohon.

Oleh karenanya dalam pemeriksaan pendahuluan ini, sama dengan pemeriksaan

pendahuluan dalam pengujian undang-undang, yang dipanggil untuk menghadiri

persidangan adalah Pemohon atau Kuasanya, tanpa kehadiran Termohon, karena memang

pemeriksaan baru untuk melihat kelayakan yang berkaitan dengan kejelasan dan

kelengkapan permohonan. penting dalam acara ini, yaitu jika permohonan meminta

dikeluarkannya satu putusan sela, yang umumnya menyangkut dihentikannya wewenang

yang dijalankan oleh Termohon sampai perkara telah diputus, kehadiran termohon

menjadi satu keharusan. Hal tersebut disebabkan adanya prinsip mendengar pihak

sebelum dikeluarkannya putusan, meskipun hanya bersifat putusan sela, tetapi

mengandung dampak mendasar bagi satu lembaga negara yang digugat

kewenangannya.25 Satu permohonan yang dipandang masih kurang layak atau kurang

memenuhi syarat, melalui nasihat yang diberikan oleh Panel, akan diperbaiki oleh

25 Pasal 11 ayat (2) dan ayat 3 huruf d.

30

Page 31: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

pemohon dalam jangka waktu 14(empat belas) hari.26 Nasihat Hakim yang demikian

tidak mengikat pemohon, dan juga dapat dikesampingkan, meskipun dapat mengandung

konsekwensi bahwa Permohonan dapat dengan segera disimpulkan tidak dapat diterima.

Dalam beberapa hal nasihat hakim yang diberikan dalam pemeriksaan pendahuluan itu,

sesungguhnya merugikan dilihat dari segi terbacanya pendirian hakim tentang kasus yang

sedang dihadapi. Hal yang kurang lebih sama tetapi dengan nama dan prosedur berbeda

dapat kita jumpai dalam hukum acara Pengadilan TUN, dimana dalam tahap pemeriksaan

persiapan Hakim TUN juga kurang lebih melakukan hal yang sama. Tetapi bedanya, di

PTUN, satu gugatan yang tidak memiliki dasar atau kurang layak, akan berakhir dengan

pernyataan dismissal. Karena itu pula pemeriksaan persiapan tersebut merupakan satu

dismissal process. Di MK hal semacam itu tidak dikenal. Satu permohonan yang

dipandang kurang layak, tidak mempunyai dasar standing yang cukup, tetap akan diputus

dalam sidang pleno, meskipun terbatas dengan diktum ”permohonan tidak dapat

diterima”. Oleh karena itu sesunguhnya, tujuan ditentukannya setiap perkara harus

melalui tahap pemeriksaan pendahuluan dengan kewajiban hakim memberi nasihat dan

pemohon kemudian diberi waktu memperbaiki permohonan, adalah untuk

mempersiapkan kelayakan permohonan tersebut untuk didengar dan dipertimbangkan

Mahkamah Konstitusi dengan menghadirkan lembaga negara lain sebagai termohon

sebagai organ konstitusi, agar permohonan dan persidangan MK tidak merupakan

pemborosan yang sia-sia untuk hal-hal yang boleh jadi irrelevan untuk dipermasalahkan.

Pemeriksaan Persidangan (Pleno)

Kelayakan dan kejelasan permohonan yang telah diperiksa Panel Hakim dan

diperbaiki pemohon setelah diberi nasehat dalam pemeriksaan pendahuluan, akan

dilaporkan dalam Rapat Permusyawaratn Hakim (RPH) disertai oleh Rekomendasi, yang

menyangkut hal berikut :

1. Permohonan kurang mempunyai dasar yang cukup, baik karena syarat legal standing

tidak dipenuhi atau alasan konstitusional yang tidak cukup, oleh karenanya diusulkan

26

31

Page 32: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

untuk segera diambil keputusan oleh Pleno berdasarkan bahan yang diperoleh dari

permohonan dan perbaikan serta hasil persidangan Panel.

2. Permohonan tidak begitu relevan, akan tetapi bagi berlangsungnya satu proses hukum

yang baik (een goode process), karena Pemohon masih akan mengajukan ahli untuk

mendukung permohonannnya, meminta agar sidang diteruskan ketahap pemeriksaan

persidangan, akan tetapi agar Panel diberi mandat untuk mendengar kesaksian

tersebut. Hasil persidangan tersebut kemudiandilaporkan pada Pleno, untuk

dipertimbangkan dan diputus.

3. Pemeriksaan persidangan dilakukan dengan menghadirkan lembaga negara yang

dianggap merugikan kewenangan konstitusional Pemohon untuk didengar, dengan

sekaligus mendengar ahli-ahli yang diajukan kedua belah pihak.

Pada tahap pemeriksaan persidangan ini, setelah pemohon diberi waktu yang cukup

untuk membuktikan permohonan, maka termohon diberikan kesempatan yang sama

untuk membuktikan sebaliknya. Meskipun beban pembuktian diletakkan pada Pemohon,

sesuai dengan prinsip beban pembuktian yang dikenal secara umum dan universal, akan

jika terdapat alasan yang cukup kuat Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian

kepada pihak Termohon. Alat-alat bukti yang dapat dujukan tersebut adalah :

a. Bukti surat atau tulisan.

b. Keterangan Saksi.

c. Keterangan Ahli.

d. Keterangan para pihak.

e. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau

disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan

itu.27

PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA

Satu perselisihan atau sengketa kewenangan lembaga negara yang telah diajukan

kehadapan Mahkamah Konstitusi dapat memperoleh penyelesaian dengan beberapa cara.

27 Pasal 36 undang-undang nomor 24 tahun 2003, yang ditegaskan kembali dalam Pasal 17 PMK nomor 08/PMK/2006.

32

Page 33: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

Penyelesaian itu dapat terjadi bersifat sementara atau dapat bersifat permanen dengan

satu putusan yang bersifat final dan mengikat dengan dicapainya satu putusan akhir oleh

Mahkamah Konstitusi. Satu penyelesaian yang bersifat sementara, terjadi misalnya,

karena sebelum proses persidangan dimulai atau selama proses persidangan berlangsung

tetapi belum mencapai keputusan, Pemohon menarik permohonannya. Sangat menarik

misalnya untuk memperhatikan, karena budaya atau kultur birokrasi dan pemerintahan

yang belum terbiasa untuk menggunakan mekanisme hukum dan peradilan bagi

penyelesaian perbedaan pendapat dan sengketa kewenangan antara lembaga negara, maka

pengaruh pimpinan Negara dan Pemerintahan berpengaruh besar dalam menentukan

diteruskan tidaknya penyelesaian sengketa melalui mekanisme hukum dan peradilan

tersebut.28

Dalam hal penarikan sebelum persidangan dilakukan maka Ketua Mahkamah

Konstitusi akan mengeluarkan Ketetapan tentang penarikan tersebut. Sedang apabila

penarikan permohonan dilakukan pada saat proses sedang berjalan, maka setelah

mendengar pendapat pemohon, maka Mahkamah mengeluarkan Ketetapan yang

mengabulkan penarikan permohonan tersebut, dan mencatat penarikan permohonan

tersebut dalam buku register perkara. Dapat terjadi bahwa setelah penarikan permohonan,

termohon tidak menyetujui, dan meminta sengketa diakhiri dengan satu putusan yang

akan dijadikan pedoman dalam melaksanakan kewenangan tersebut secara tegas dan

jelas. Dalam hal penarikan dikabulkan, maka timbul satu akibat hukum bahwa

permohonan yang sama yang menyangkut sengketa kewenangan tersebut tidak dapat lagi

diajukan kehadapan MK untuk diputus. Tetapi hal itu hanya merupakan satu prinsip

umum. Dalam keadaan tertentu yang penting, sebagai pengecualian, permohonan

demikian dapat diajukan kembali karena alasan, (i) substansi sengketa memerlukan

penyelesaian secara konstitusional,(ii) tidak terdapat forum lain untuk menyelesaikan

sengketa dimaksud; dan (iii) adanya kepentingan hukum yang memerlukan kepastian

hukum.29 Ketiga alasan ini sebagai dasar untuk meperbolehkan permohonan yang sudah

ditarik dapat diajukan kembali, lahir berdasar pengalaman ketika kultur penyelesaian

28 Sengketa kewenangan antara Gubernur Lampung dengan DPRD, Perkara nomor 25 /SKLN-III/2005 ditarik dengan alasan bahwa suasana sudah kondusif. Alasan yang kabur demikian ketika diklarifikasi tampak ada permintaan dari pimpinan pusat Pemerintahan untuk menariknya. Tetapi dalam kenyataanya perselisihan dan sengketa tidak pernah diselesaikan secara tuntas.29 Pasal 19 PMK No. 08/PMK/2006

33

Page 34: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

perbedaan pendapat ditingkat lembaga negara diluar jalur hukum dan peradilan tidak

membawa kepastian hukum menjurus pada kemacetan penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan. Kewenangan MK untuk mengatur ini didasarkan pada delegasi

wewenang yang ditetapkan dalam pasal 86 undang-undang nomor 24 tahun 2003 yang

berbunyi :”Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan

bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut undang-undang ini”.

Dalam penjelasan pasal 86 tersebut disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk

mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara

berdasarkan undang-undang MK.Secara universal kewenangan rule making power

khususnya untuk melengkapi hukum acara yang kurang, dimiliki oleh Mahkamah Agung

atau Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung Indonesia juga diberi kewenangan rule

making power demikian dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Untuk mengakhiri sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan kehadapan

Mahkamah Konstitusi, akan diselesaikan secara permanen dengan putusan tingkat

pertama dan terakhir yang mengikat secara umum. Putusan Mahkamah atau putusan

Pengadilan pada umumnya didefinisikan ”perbuatan hakim sebagai perjabat yang

berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis

untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan kepadanya.30 Oleh karena sifatnya yang

mengakhiri sengketa, maka putusan demikian disebut juga sebagai putusan akhir.

Disamping itu selama prose berjalan, sebagaimana telah disinggung dimuka, maka MK

juga boleh mengambil putusan sela, yang bersifat sementara, yang memerintahkan

kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan

kewenangan yang dipersengketakan, yang berupa tindakan nyata maupun tindakan

30 Bandingkan dengan definisi M.P. Stein yang mengatakan : een vonnis dient men te verstaan de door de Rechters als bevoegd overheids orgaan verrichte rechtshandeling, strekkend tot beslissing van het aan hen voorgelegde geschill tussen partijen.(Compendium Van Het Burgerlijke Processrecht,4e druk, Kluwer, 1977 hal 119-123).

34

Page 35: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

hukum yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.31 Alasan

pengambilan putusan sela tersebut, disebutkan 2(dua) macam, yaitu :

a. Terdapat kepentingan yang mendesak, yang apabila pokok permohonan

dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih serious.

b. Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan merupakan pelaksanaan putusan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.32

Putusan Akhir, yang dijatuhkan berdasarkan keyakinan hakim , harus didukung oleh

sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti yang sah. Putusan tersebut dapat berbunyi:

a. permohonan tidak dapat diterima.

b. Permohonan dikabulkan; atau

c. Permohonan ditolak.33

Dalam hal permohonan dikabulkan, maka dalam amar harus juga dinyatakan dengan

tegas bahwa Pemohon berwenang untuk melaksanakan kewenangan yang

dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan

kewenangan yang dipersengketakan. Jikalau putusan sela telah pernah dikeluarkan yang

memerintahkan penghentian sementara pelaksanaan kewenangan dimaksud, maka dalam

putusan akhir harus juga ditegaskan status putusan sela tersebut. Jika putusan

mengabulkan permohonan, maka putusan sela tersebut dinyatakan sah sedang sebaliknya

jika putusan akhir menolak permohonan, maka putusan sela harus dinyatakan tidak sah,

dan dinyatakan dicabut. Hal ini berkaitan dengan segala tindakan hukum yang diambil

setelah putusan sela tersebut, untuk diketahui apakah perbuatan hukum demikian sah dan

mengikat secara hukum, berkenaan dengan ketentuan pasal 58 UU MK yang menentukan

bahwa putusan Mahkamah tidak berlaku surut.

RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM

Pengambilan keputusan Hakim dilakukan secara tertutup dan rahasia dalam Rapat

Permusyawaratan Hakim(RPH). Pengambilan keputusan tersebut harus memenuhi korum

31 Pasal 12 PMK nomor 08/PMK/2006.32 Pasal 13 ayat (5) PMK nomor 08/PMK/2006.33 Pasal 27 ayat (1) PMK nomor 08/PMK/2006.

35

Page 36: Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara

sekurang-kurangnya 7 orang Hakim diantara 9 Hakim Konstitusi, dengan cara

musyawarah untuk mufakat. Itu berarti, Ketua Majelis harus terlebih dahulu berusaha

mendekatkan pendapat yang saling berbeda, dengan harapan tercapai suara yang utuh,

yang tentu akan menambah legitimasi putusan, yang sangat berpengaruh pada

implementasi. Akan tetapi apabila musyawarah yang telah dilakukan dengan sungguh-

sungguh namun mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan dengan

suara terbanyak.34 Dalam hal demikian ada kemungkinan Hakim yang berbeda akan

memberikan pendapat tersendiri, baik yang pendapatnya berbeda (dissenting opinion)

atau sekedar alasannya yang berbeda tapi hasilnya sama (concurring opinion). Kedua

pendapat tersebut dimuat dalam putusan, meskipun secara terpisah dari putusan

mayoritas yang akan berlaku sebagai putusan yang mengikat. Putusan yang diambil harus

didasarkan kepada ketentuan UUD 1945, yang diyakini oleh hakim berdasar sekurang-

kurangnya 2(dua) alat bukti, yang akan diuraikan dalam bagian fakta atau duduk perkara

dan pertimbangan hukum, atas dasar mana Hakim sampai kepada diktum putusannya.

Jakarta, 21 Juni 2011.

34 Pasal 45 ayat (7) Undang-undang nomor 24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi.

36