bab iii hasil penellitian dan pembahasan a. …digilib.uinsgd.ac.id/6688/6/bab iii.pdf · 2arifin...

21
34 BAB III HASIL PENELLITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Kewenangan Legislasi DPD Menurut UUD RI 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2014 Amandemen Undang-undang Dasar 1945 telah mereformasi lembaga- lembaga negara, baik di tingkat legislatif, esksekutif, dan yudikatif. Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga- lembaga negara yang baru diperkenalkan dalam Undang-undang Dasar 1945 (paska perubahan). Kedudukan dan fungsi Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan bagian terpenting dalam reformasi ketatanegaraan Indoensia. Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah dalam ketatanegaraan Indonesia digagas untuk meningkatkan keterwakilan daerah dalam proses pengambilan keputusan politik penyelenggaraan negara dengan harapan agar tercipta integrasi bangsa yang kokoh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehadiran DPD tidak dapat dilepaskan dari hubungan Pusat dan Daerah yang selalu mengalami ketegangan sejak kemerdekaan Indonesia. Dengan terbentuknya DPD, kepentingan-kepentingan daerah dapat terakomodasi. 1 Ada tiga kewenangan DPD yang bersinggungan dengan DPR, Pemerintah Daerah, dan Presiden secara bersamaan; yaitu, pertama kewenangan DPD untuk mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan 1

Upload: nguyendien

Post on 07-Apr-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

34

BAB III

HASIL PENELLITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Kewenangan Legislasi DPD Menurut UUD RI 1945 dan

UU Nomor 17 Tahun 2014

Amandemen Undang-undang Dasar 1945 telah mereformasi lembaga-

lembaga negara, baik di tingkat legislatif, esksekutif, dan yudikatif. Mahkamah

Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga-

lembaga negara yang baru diperkenalkan dalam Undang-undang Dasar 1945

(paska perubahan). Kedudukan dan fungsi Mahkamah Konstitusi, Komisi

Yudisial, dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan bagian terpenting dalam

reformasi ketatanegaraan Indoensia.

Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah dalam ketatanegaraan Indonesia

digagas untuk meningkatkan keterwakilan daerah dalam proses pengambilan

keputusan politik penyelenggaraan negara dengan harapan agar tercipta integrasi

bangsa yang kokoh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kehadiran DPD tidak dapat dilepaskan dari hubungan Pusat dan Daerah yang

selalu mengalami ketegangan sejak kemerdekaan Indonesia. Dengan terbentuknya

DPD, kepentingan-kepentingan daerah dapat terakomodasi.1

Ada tiga kewenangan DPD yang bersinggungan dengan DPR, Pemerintah

Daerah, dan Presiden secara bersamaan; yaitu, pertama kewenangan DPD untuk

mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan

1

35

pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, kewenangan DPD dalam proses

pembahasan dan pertimbangan atas RUU. Ketiga, kewenangan DPD dalam

pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang.2

Pendapat peneliti bagaimana?

1. Peran DPD sebagai Pengusul RUU

Pasal 22D ayat (1) “DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan

undang-undang yangberkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

DPD pada dasarnya tidak memegang kekuasaan untuk membentuk UU.

DPD hanya dapat mengajukan UU kepada DPR. Dengan demikian DPD tidak

mempunyai hak inisiatif mandiri dalam pembuatan UU. Dengan demikian, DPD

tidaklah mempunyai ‘kekuatan konstitusional’untuk berkompetisi. Karena DPD

sesungguhnya tidak mempunyai wewenang sampai pada tingkat pengambilan

keputusan termasuk dalam proses legislasi. Kalaupun DPD dapat mengajukan

RUU, kekuatannya pun tidak mutlak karena secara sistematik ketentuan ini

berkaitan dengan pasal 20 Ayat (1) “DPR memegang kekuasaan membentuk

UU”. Berdasarkan ketentuan ini terlihat jelas, pengambilan keputusan mengenai

2Arifin Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,

Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005. Hlm. 159

36

legislasi hanya dilakukan DPR dan Presiden. DPD dapat ikut membahas, tetapi

tidak untuk mengambil keputusan. Demikian pula dalam hal mengusulkan RUU,

diatur Pasal 42 UU Susduk.3

(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) DPD mengusulkan RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada

DPR dan DPR mengundang untuk pembahasan sesuai Tatib DPR.

(3) Pembahsan RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

sebelum DPR membahas RUU dimaksud pada ayat (1) dengan

pemerintah.

Dalam hal pengajuan RUU, Presiden bisa berinisiatif untuk mengajukan

RUU kepada lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan rakyat tersebut

akan menentukan pembahasannya akan dilakukan oleh DPR atau DPD. Jika

inisiatif itu datang dari DPR atau DPD, maka lembaga perwakilan yang lebih dulu

mendaftarkan draf usul rancangannya kepada badan legislasif, itulah yang harus

membahas rancangan undang-undang tersebut. Akan tetapi, bersamaan dengan

itu, ditentukan pula hubungan Check and Balances di antara kedua kamar

3 Bivitri Susanti, Bukan SekedarLembaga Pemberi Pertimbangan: Peran Dewan Perwakilan

Daerah dalam Proses Legislasi, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan 2005. Hlm. 5

37

parlemen itu, termasuk juga dengan Presiden, yaitu dengan mengatur adanya hak

veto di antara mereka.4

2. Peran DPD sebagai Peserta Pembahasan dan Pertimbangan RUU

Pasal 22D ayat (2): “DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran

sertapenggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta peimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan

pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan

pajak, pendidikan, dan agama”.

Apakah yang dimaksud DPD ikut membahas RUU sepintas lalu frasa ini

seperti memberi peran kepada DPD, padahal tidak demikian. Ketentuan ini

menguatkan pendirian, DPD tidak mempunyai hak inisiatif mandiri dalam

membentuk UU (sekalipun dibidang yang berkaitan dengan otonomi daerah).5

Peran DPD sebagai peserta pembahas RUU dinyatakan pasal 43 UU No. 22

Tahun 2002, yaitu:

(1) DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan

4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi Jakarta: Sinar Grafika,

Cetakan kedua 2012. Hlm. 25 5 Efriza dan Syafuan Rozi, Parlemen Indonesia Geliat Volksraad Hingga DPD Mnembus Lorong

Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti. Bandung: Alfabeta 2010. Hlm. 335

38

keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh

Pemerintah.

(2) DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan RUU

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersama dengan pemerintah pada

awal pembicaraan Tingkat I sesuai dengan Tatib DPR.

(3) Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan bersama anatara DPR, DPD, dan pemerintah dalam hal

penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas RUU, serta

tanggapan atas pandangan dan pendapat masing-masing lembaga.

(4) Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) dijadikan sebagai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara

DPR dan pemerintah.

Sama halnya dengan perannya untuk mengusulkan RUU, untuk perannya

yang satu ini, DPD jugatidak memiliki peran yang penting. Pandangan dari DPD

yang didapatkan oleh DPR selama pembahasan, di atas kertas, sifatnya akan sama

dengan pandangan yang didapatkan fraksi-fraksi didalam DPR. Bahkan ada

bagian dari pasal 22D ayat (2) yang melemahkan DPD, yaitu hanya memberi

pertimbangan kepada DPR mengenai RUU APBN, dan RUU yang berkaitan

dengan pajak, pendidikan, dan agama. Justru dalam APBN, pajak, pendidikan,

dan agama harus dibahas bersama DPD karena bukan saja menyangkut politik

negara tetapi kepentingan daerah.6

3. Peran DPD sebagai Pengawas

6 Ibid, Hlm. 336.

39

Pasal 22D ayat (3): “DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan

UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan

sumber daya ekonmi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama

serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan

pertimbnangan untuk di tindaklanjuti”.

Fungsi pengawasan adalah fungsi yang sangat luas cakupannya. Bahkan

dalam kadar tertentu, fungsi legislasi dan anggaran punya dampak pengawasan

yang signifikan. Fungsi pengawasan DPD telah diatur dalam pasal 46:

(1) DPD dapat melakukan pengawasan dan pelaksanaan UU mengenai

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,

pendidikan, dan agama.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud padaayat (1) merupakan

pengawasan atas pelaksanaan UU.

(3) Hasil pengawasan sebgaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan

kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Hal yang dimaksud DPD dapat melakukan pengawasan sebagaimana

ketentuan ini adalah:7

7 Lihat, Penjelasan Pasal 46 ayat (2) UU Susduk.

40

a. DPD menerima dan membahas hasil-hasil pemeriksaan keuangan negara

yang dilakukan oeh BPK untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan

UU tertentu.

b. DPD dapat meminta secara tertulis kepada pemerintah tentang

pelaksanaan UU tertentu.

c. DPD menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat

berkaitan dengan pelaksanaan UU tertentu.

d. DPD mengadakan kunker ke daerah untuk melakukan

monitoring/pemantauan atas pelaksanaan UU tertentu.

Peran DPD sebagai fungsi pegawas sangat kecil karena DPD tidak punya

hak untuk menindaklanjuti pengawasannya. DPD dapat melakukan pengawasan

atas pelaksanaan UU, yang selanjutnya hasil pengawasan tidak dapat

ditindaklanjuti sendir oleh DPD, karena DPD menyampaikan hasil

pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk

ditindaklanjuti. Dengan demikian, DPR lah yang menentukan digunakan atau

tidak digunakannya hasil pengawasan tersebut.

Kewenangan lain dari DPD yaitu memberikan pertimbangan dalam

pemilihan anggota BPK. Dalam hal itu, DPD bersinggungan dengan DPR sebagai

lembaga yang memilih anggota BPK dan Presiden yang berwenang menetapkan

ketua BPK dan anggota BPK. Selain itu, DPD memiliki wewenang untuk

menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK.8

8Ibid, Hlm. 159

41

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau di singkat dengan UU MD3 DPD

mempunyai kewenangan dan tugas sebagai berikut:

1. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaita dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR.

2. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR.

3. Menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan

undang-undang yangberasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan

dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

4. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-

undang tentang APBN, dan rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

42

5. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-

undangmengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

6. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan udang-undang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR

sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.

7. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK

sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN.

8. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota

BPK, dan;

9. Menyesusun programlegislasi nasional yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.9

9 Muslim Mufti dan Ahmad Syamsir, Pembangunan Politik, Pustaka Setia: Bandung 2016. Hlm.

289.

43

Dengan penjabaran di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa

kewenangan DPD dalam proses legislasi baik itu di dalam UUD RI 1945 ataupun

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 bahwa peran DPD dalam proses legislasi

hanya sebatas dalam pengajuan RUU dan pembahasan, akan tetapi dalam hal

keputusan/pengesahan UU, DPD tidak berhak karena yang punya hak adalah DPR

sebagaiman di atur dalam pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945.

Kurang literatur, pendapat peneliti

B. Hubungan Kewenangan DPD dan DPR dalam Proses Legislasi yang

Merepresentasikan Aspirasi Daerah

Ketika pertama kali didirikan pada tahun 1945, struktur parlemen negara

Republik Indonesia di idealkan berkamar tunggal (unikameral) tetapi dengan

variasi yang dikaitkan dengan teori kedaulatan rakyat yang dibayangkan dapat

diorganisasikan secara total kedalam suatu organ bernama Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Majelis inilah yang di anggap sebagai penjelmaan

seluruh rakyat dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu, sehingga diidealkan

menjadi lembaga yang tertinggi dalam bangunan organisasi negara. Pandangan

demikian inilah yang tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) dan diuraikan

lebih lanjut dalam penjelasan UUD 1945 seperti disimpulkan oleh Soepomo pada

Sidang pertama Rapat Besar Panitia Persisapan Kemerdekaan Indonesia pada

tanggal 18 agustus 1945. Jadi, Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu

badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling

tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya.

44

Dalam sistem Check and Balances tidak hanya diperlukan dalam hubungan

antara eksekutif dan legislatif, akan tetapi didalam badan legislatif sendiri perlu

adanya pertimbangan kekuasaan. Terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD

memberikan gambaran bahwa sistem bikameral Indonesia tidak dibangun dalam

kerangka Check and Balances. Keterbatasan itu memberi makna, gagasan

menciptakan sistem dua kamar untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam

menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi suatu yang utopis. Oleh

karena itu dapat dimengerti jika DPD kehilangan kekuatan untuk

mengklasifikasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses perbuatan

keputusan di tingkat nasional. Tidak hanya itu, kalau dilihat dari sudut pandang

proses menjadi anggota parlemen, kewenangan terbatas yang dimiliki DPD

menjadi tidak seimbang dengan tingkat kesulitan untuk menjadi anggota DPD.

Setelah lolos menjadi calon, perjuangan untuk terpilih jauh lebih berat dan sulit

dibandingkan menjadi anggota DPR.10

Salah satu perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 ialah dibentuknya

badan baru yang bernama DPD. Raison d’etre dari keberadaan DPD, untuk

mengakomodasikan semangat Check and Balances tidak hanya antar pusat dan

daerah, tapi juga didalam parlemen itu sendiri. Namun, tidak adanya posisi equal

melainkan inequality (ketidaksetaraan) antara hubungan kerjasamanya dengan

DPR, serta posisi DPD kembali timpang dan/atau lebih subordinated bukan

coordinated dengan DPR ketika Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang

susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang disahkan Presiden Megawati pada 31

10M. Arsyad Mawardi, Pengawasan dan Keseimbangan Antara DPR dan Presiden dalam Sistem

Ketatanegaraan RI, Jurnal Hukum No.1 Vol.15. Hlm. 76.

45

juli 2003 banayak mereduksi kewenangan ideal yang seharusnya dimiliki kamar

kedua dalam sebuah sistem bikameral.11

Dengan kata lain, ketentuan dalam UU susduk sangat membatasi kewenangan

DPD untuk terlibat dalam proses pembuatan sebuah Undang-undang. DPD hanya

dapat sebatas mengajukan usul dan ikut dalam pembahasan serta memberikan

pertimbangan tanpa diiringi kewenangan untuk mengambil keputusan.12

Hal yang menarik juga adalah upaya untuk kembali melakukan amandemen

UUD 1945 bukan hal yang mudah. Dengan jumlah anggota DPD yang tidak

cukup untuk mengajukan amandemen atau bahkan pengajuan konstitusi baru

membuat DPD secara prinsip membutuhkan sokongan politik dari anggota DPR

untuk bersama-sama mendorong terjadinya amandemen atau pengajuan konstitusi

baru. Permasalahannya, apakah kita melakukan amandemen UUD 1945 atau

bahkan mengajukan satu draf konstitusi baru adalah bagian dari proses penguatan

DPD dalam sistem bikameral, secara prinsip keberadaan UUD 1945 tidak lagi

cukup mampu menjadi satu perangkat konstitusi yang dapat menjembatani dan

memayungi semua proses politik kenegaraan.13

Upaya tambal sulam, telah dilakukan empat kali amandemen terhadap UUD

1945, bandingkan dengan Thailand misalnya, telah melakukan 14 kali

amandemen konstitusinya. Sebaliknya, apabila pergantian konstitusi, dari UUD

1945 ke konstitusi baru telah terjadi dua kali yakni ke RIS, dan UUDS 1950,

11Efriza dan Syafuan Rozi, Parlemen Indonesia Geliat Volksraad Hingga DPD Menembus lorong

Waktu Doeloe, Kini, dan Nanti. Bandung: Alfabet, 2010. Hlm. 329 12Ibid, Hlm. 329 13Ibid, Hlm. 329

46

keduanya ternegasikan dengan dengan adanya dekrit Presiden 5 juli 1959, yang

memutuskan kembali menggunakan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara. Dalam

upaya mengganti konstitusi, kita bisa berkaca pada proses perubahan konstitusi

Perancis. Kedua-duanya; amandemen atau konstitusi baru adalah upaya

membangun penguatan sistem ketatanegaraan yang efektif, efisien, adil dan

adanya mekanisme Check and Balances.14

Permasalahan antara DPD dengan DPR adalah kerdilnya fungsi DPD dalam

konstitusi dan dari berbagai UU turunannya. Diakui, kelahiran DPD sebagai

lembaga pewrwakilan belum mengarah kepada adanya tugas, fungsi, dan

wewenang yang sama dengan DPR. UUD 1945 yang mengatur DPD, dan UU

turunannya seperti UU Susduk, dalam hubungan antara DPD dan DPR,

kedudukan DPD sangat lemah karena fungsinya hanya memberi pertimbangan

kepada DPR. Dikemukakan Muswadi Rauf, “Mekanisme kerja dalam hubungan

DPD dengan DPR, hanya memberikan masukan tentang legislasi dalam hal ini

memberikan masukan RUU daerah tapi yang memutuskan adalah lembaga DPR.

Dalam fungsi pengawasan mengundang menteri, dengar pendapat umum, rapat

kerja menteri namun keputusan akhir ditangan DPR. Begitu juga dengan RAPBN,

sama, semua diputuskan DPR sementar DPD tidak memutuskan”.15

Pandangan senada juga dikemukakan pengamat politik CSIS, Indra Jaya

Piliang, yakni: “DPD itu berhak mengajukan RUU. Artinya harus dirumuskan

DPD, diberikan kepada PAH versi DPD, lalu mengajukan kepada DPR dalam

14 http:// muradi.wordpress.com/2007/01/06/akseptabilitas-politik-dpd-dan-amandemen-kembali-

uud-1945/ 15 Ibid, Efriza dan Syafuan Rozi. Hlm. 329

47

legislasi nasional. Apabila DPR setuju, maka terbentuk. Tapi, apakah DPR akan

menerima hak inisiatif dari DPD? karena ada perbedaan pandangan dan

kepentingan. Karena DPR yang mengatasnamakan parpol lebih mementingkan

kepentingannya, sementara DPD konsituen di daerah. Dalam pengawasan BPK.

DPD memberikan rekomendasi, bukan keharusan karena DPD cuma dapat

mengajukan pengawasan kepada DPR. Begitu juga dengan hal APBN, DPD tidak

dapat berbuat banyak, karena DPR minta pertimbangan dalam hal yang mepet

yakni satu sampai dua hari, sehingga kurang sempurna. Kecuali DPD menjadi

MPR dalam hal impeachment terhadap Presiden, maka kewenangan mereka

adalah setara. Jadi, bisi dilihat dalam hal perubahan UUD 1945 , DPD

kewenangannya masih sangat terbatas”.16

C. Analisis Siyasah Dusturiyah Terhadap Kewenangan DPD Menurut

UUD RI 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2014 yang Merepresentasikan

Aspirasi Daerah

Kewenangan DPD yang termaktub dalam UUD NRI 1945 dan Undang-

undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan

kabupaten kota, bahwa DPD mempunyai kewenangan dalam legislasi yang

berkaitan dengan daerah. Yang menjadi cakupan DPD itu adalah dalam hal RUU

otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran

serta penggabungan daearah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

16 Ibid, Efriza dan Syafuan Rozi. Hlm. 329.

48

Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama

mencerminkan kedaualatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah

untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebeb itu, kewenangan menetapkan

peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat

atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh

para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu: (i) pengaturan yang dapat mengurangi

hak dan kebebasan warga negara; (ii) pengaturan yang dapat membebani harta

kekayaan warga negara; dan (iii) pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran

oleh penyelenggara negara. Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat

dilakukan atas persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantaraan

wakil-wakil mereka diparlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.17

Dalam hal ini, tanpa delegasi pun pemerintah dianggap berwenang

menetapkan peraturan dibawah undang-undang secara mandiri atau otonomi,

meskipun tidak diperintah oleh undang-undang. Selain itu, fungsi legislatif juga

menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu:

1) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);

2) Pembahasan rancangan undang-undang (law making proces);

3) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law

enactment approval);

4) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian

atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang

17Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cetakan ke 7, edisi revisi, Jakarta:

Rajawali Pers, 2016. Hlm. 299.

49

mengikat lainnya (binding decision making on international

agreement and treaties or other legal binding document).18

Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok

sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga

perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam

hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian representation in presence dan

representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan

yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian keterwakilan

yang kedua bersifat substansif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea.

Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila

secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk dilembaga

perwakilan rakyat. Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri

baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat

rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian

dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang

bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar

diperjuangkan sehingga memengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh

parlemen. Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi dikenal pula adanya

tiga sistem perwakilan yang dipraktikan di berbagai negara demokrasi. Ketiga

fungsi itu adalah:

1. Sistem perwakilan politik (political representation)

2. Sistem perwakilan teritorial (territorial atau regional representation)

18Ibid, Hlm. 300.

50

3. Sistem perwakilan fungsional (functional representation).19

Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik (political

representatives), sistem perwakilan teritorial menghasilkan wakil-wakil daerah

(territorial reprentatives atau regional representatives). Sementara itu, sistem

perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional (functional

representatives). Misalnya anggota DPR yang berasal dari partai politik

merupakan contoh dari perwakilan politik, sementara anggota DPD yang berasal

dari tiap-tiap daerah provinsi adalah contoh dari perwakilan teritorial atau

regional representation. Sedangkan, anggota utusan golongan dalam sistem

keanggotan MPR di masa Orde Baru (sebelum perubahan UUD 1945) adalah

contoh dari sistem perwakilan fungsioanl (functional representation).20

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), “dewan” berasal dari bahasa persia

diwan yangartinya lembaga atau badan; “perwakilan” dari kata wakil dalam

bahasa Arab, artinya orang atau pihak yang mendapatkan mandat atau amanat

untuk bertindak atas nama dan demi kepentingan pihak yang diwakili; “rakyat”,

sudah dijelaskan dalam syarah tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (lihat

Syarah No. 18 Bab II). Meskipun secara formal kedudukan DPD lebih rendah

dibandingkan dengan DPR, tetapi fungsinya tidak kalah penting dan strategis.

Lebih-lebih dalamsistem ketatanegaraan Republik Indonesia di Era Reformasi,

19 Ibid, Hlm. 305 20 Ibid, Hlm. 306

51

atau pasca Orde Baru, seperti terlihat dalam pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945

versi Amandemen, yang tampak benar sejajar dengan kedudukan DPR.21

Dalam perspektif Islam, yang jadi masalah dari lembaga tinggi negara ini

bukan perihal kedudukan dan kewenangannya dalam UUD, melainkan pada bobot

komitmen dan kualitas kerja para anggotanya yang pada gilirannya bermuara pada

kinerja kelembagaannya, sebagai wakil rakyat. Dalam ajaran Islam, seseorang

atau lembaga disebut wakil apabila yang bersangkutan secara sadar dan atas

pilihannya sendiri siap untuk mengambil amanat dan mandat dari pihak lain yang

diwakili. Dalam konteks DPD, pihak lain yang dimaksud adalah rakyat, rakyat

yang telah memilihnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Memang

dalam pengertian sebagai pemikul amanat, lembaga DPD dan orang-orangnya

sama dengan lembaga Pemerintah dan pejabat-pejabatnya. Mereka adalah para

pemikul amanat rakyat dengan tugas dan kewenangan masing-masing.22

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang terpenting dalam

pemerintahan Islam, orang-orang yang duduk di lembaga legislatif ini terdiri dari

para mujtahid dan ahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang.

Karena menetapkan syariat sebenarnya hanyalah wewenang Allah, maka

wewenang dan tugas lembaga legislatif hanya sebatas menggali dan memahami

sumber-sumber syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dan menjelaskan

hukum-hukum yang terkandung didalamnya. Undang-undang dan peraturan yang

akan dikeluarkan oleh lembaga legislatif harus mengikuti ketentuan-ketentuan

21 Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945 Perspektif Islam, Tangerang: Pustaka Alfabet, Edisi

baru 2013. Hlm. 138. 22 Ibid, Hlm. 138-139

52

kedua sumber syariat Islam tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini terdapat dua

fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-hal yang ketentuannya sudah

terdapat di dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan

al-sulthah al-tasyri’iyah adalah undang-undang ilahiyah yang disyariatkan-Nya

dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi SAW dalam Hadis. Kedua, yaitu

melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan-permasalahan yang

secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Disinilah perlunya al-sulthah al-

tasyri’iyah tersebut di isi para mujtahid dan ahli fatwa sebagaimana yang telah

dijelaskan diatas.23

Titik sentral teori kelegislatifan Islam adalah Syura. Kata ini disebutkan

satu kali dalam Al-Qur’an. Para pemikir politik Islam menjadikan kata Syura ini

sebagai landasan normatif teori kelegislatifan. Syura diturunkan oleh mereka dari

teks menjadi teori.24

Sebelum direduksi menjadi suatu institusi politik, Syura merupakan

landasan praktik politik umat Islam. Oleh para pemikir Islam Syura dijadikan

antitesis terhadap demokrasi modern yang tidak mengenal batas. Syura sebagai

ideologi, merupakan suatu dasar pijakan bahwa kekuasaan politik adalah kesatuan

antara kehendak Tuhan dan rakyat. Walaupun cukup beragam dalam memberi

pengertian Syura, para pemikir muslim tetap punya kesamaan visi bahwa Syura

23 Muhammad Iqbal, Op.Cit. Hlm. 188-189 24 Ija Suntana, Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan Islam, Bandung: Refika

Aditama, 2007. Hlm. 10

53

adalah suatu mekanisme politis yang melibatkan rakyat, baik secara langsung atau

tidak, yang cara kerjanya adalah musyawarah.25

Melihat corak pemikiran penulis klasik, dapat tergambar bahwa posisi

anggota majlis syuro istilah teknis mereka ahl al-hallwa al-‘aqd hanyalah

berfungsi secara politis, yaitu memilih pemimpin, bai’at, mengoreksi atau

mengontrol tugas-tugas anggotanya, dan memecat seorang Imam jika telah

terbukti secara jelas menyimpang dari janjinya. Dalam pandangan para penulis

klasik tidak ada fungsi lain yang diemban oleh para anggota majlis syuro.26

Menurut Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Ija Suntana (Model Kekuasaan

Legislatif dalam sistem ketatanegaraan Islam), menyebutkan bahwa kewenangan

majlis syuro ada dua, yakni: pertama, melakukan pengawasan (muhasabah); dan

kedua, membuat undang-undang (tasyri’). Qaradhawi memaknai muhasabah

dengan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu melakukan pelurusan terhadap perilaku

menyimpang orang yang diberi kepercayaan oleh mereka. Adapun yang dimaksud

dengan tasyri’ oleh Qaradhawi adalah melakukan penalaran terhadap berbagai

masalah untuk diidentifikasi secara syariat. Istilah yang dekat dengan pengertian

tasyri’ ini adalah ijtihad, istinbath, tafshil, atau takyil.

Sedangkan menurut Taufik al-Syawi menyebutkan bahwa muhasabah

yang sangat penting dilakukan adalah melakukan pengawasan atas komitmen para

penguasa eksekutif untuk menetapi al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad

SAW. Muhasabah dalam bentuk ini menggambarkan bahwa penyerahan

25 Ibid, Hlm. 10 26 Ibid, Hlm. 79

54

kepercayaan kepada pihak eksekutif bukan penyerahan total tanpa catatan tetapi

penyerahan seiring pengikatan dengan janji atau komitmen pada kedua sumber

hukum di atas. Taufik al-Syawi melandasi pemikirannya dengan apa yang

dikatakan oleh Abu Bakar pada saat dirinya telah diberi kepercayaan: “Taatlah

kalian kepadaku selama aku masih taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku

sudah membangkang kepada-Nya kalian tidak boleh taat kepadaku”.27

Argumentasi analisis yang bisa dikemukakan oleh penulis mengenai

kewenangan DPD dalam legislasi menurut peraturan perundang-undangan dilihat

dari siyasah dusturiyah adalah berkaitan tentang posisi dan kedudukan DPD

sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam hal legislasi. Secara

siyasah dusturiyah yang dimana didalamnya berbicara legislasi, lembaga legislasi

tersebut direpresentasikan melalui sebuah lembaga yang diformalkan, yaitu

majelis syuro dan al-sulthah al-tasyri’iyah. Menurut Yusuf Qaradhawi majelis

syuro mempunyai dua kewenangan, yaitu: melakukan pengawasan dan membuat

undang-undang. sedangkan al-sulthah al-tasyri’iyah yaitu kekuasaan pemerintah

dalam membuat dan mentapkan hukum. Ketika melihat peran DPD, hampir sama

dengan kedua lembaga tersebut yaitu membuatundang-undang, mentapkan

hukum, dan melakukan pengawasan.

27 Ibid, Hlm. 79.