sengketa kewenangan pengadilan negeri jakarta...
TRANSCRIPT
SENGKETA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT
DENGAN LEMBAGA ARBITRASE TERHADAP PENANGANAN KASUS
NY. SITI HARDIYANTI RUKMANA DAN PT. BERKAH KARYA BERSAMA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh
F. SENTIANA AMARELLA
NIM: 1112048000003
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/ 2016 M
SENGKETA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT
DENGAN LEMBAGA ARBITRASE TERHADAP PENANGANAN KASU'.
I\TY. SITI HAR,DIYANTI RUKI\IANA DAN PT. BERKAH KARYA BERSAMA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri No. I 0/Pdt.G/201 O/PN.Jkt.Pst)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Ur.rtuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh -
F. Sentiana Amarella1112048000003
Dibawah Bimbingan
Dosen Pembimbing
NIP. 19551015 197903 1002
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMUIIUKUM
FAKULTAS SYARI,\H DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
1437 Ht 2AfiM
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI
Skripsi yang berjudul SENGKETA KEWENANGAN PENGADILAN
NEGERI JAKARTA PUSAT DENGAN LEMBAGA ARBITRASE
TERHADAP PENANGANAN KASUS NY. SITI HARDIYANTI
RUKMANA DAN PT. BERKAH KARYA BERSAMA (Studi Putusan
Pengadilan Negeri No. 1OIPdt.Glz0l0tPN. Jkt. Pst) telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
hari Kamis tanggal 16 Juni 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Ilmu
Hukum.
Jakarta, 16 Juni 2016MengesahkanDekan Fakultas Svariah dan Hukum
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua
Sekretaris
Pembitrbing
Penguji i
Penguji II
. dTtrU ,
Drs. Asep Svarifuddin Hidavat. SH..MHNrP. 19691121 199403 1001
Drs. Abu Thamrin. SH.. M.HumNrP. r96s0908 199503 1 001
Dr. Djawahir Heiazziev. SH.. MA.. MHNIP. 19551015 197903 1002
Drs. H. A. Basiq D.ialil. SH.. MANIP. 19500306 197603 1 001
Elvtza Fauzia, SH., MH
aenudin\.Iahar. MA216 199603 r 00r
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Slcripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh strata I di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatull ah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesrai dengan ketenhrm yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini O*- 6a^sil kar5ra asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islarn Negeri (UIN) SyaifHidayahrllah Jakarta-
Jakarta" 15 April 2016
Itl
iv
ABSTRAK
F. Sentiana Amarella. NIM 1112048000003. SENGKETA
KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT DENGAN
LEMBAGA ARBITRASE TERHADAP PENANGANAN KASUS NY. SITI
HARDIYANTI RUKMANA DAN PT. BERKAH KARYA BERSAMA (Studi
Putusan Pengadilan Negeri No. 10/Pdt.G/2010/PN. Jkt. Pst). Konsentrasi Hukum
Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana
kewenangan pengadilan dan lembaga arbitrase terhadap penanganan kasus Ny.
Siti Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama. Serta untuk mengetahui
dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kewenangan Pengadilan dalam
menyelesaikan sengketa bisnis berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst. Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian
yuridis normatif, dengan menjadikan UUD 1945, Peraturan Perundang-Undangan
yang terkait Lembaga Hukum yang berwenang menyelesaikan sengketa bisnis dan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 10/Pdt.G/2010/PN. Jkt. Pst sebagai
bahan hukum primer, buku-buku (textbooks), jurnal-jurnal hukum, pendapat para
sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir
yang berkaitan dengan topik penelitian sebagai bahan hukum sekunder, serta
kamus hukum dan encyclopedia sebagai bahan hukum tersier. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini melalui studi dokumen/ kepustakaan
(library research) dan pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta
Pusatlah yang berwenang menerima, memeriksa dan mengadili sengketa bisnis
antara Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama karena BANI
seharusnya tidak menerima permohonan penyelesaian sengketa oleh PT. Berkah
Karya Bersama. Hal ini disebabkan karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah
menyatakan bahwa RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 tidak sah dan harus
dibatalkan, sehingga PT. Berkah Karya Bersama tidak mempunyai kapasitas
mewakili pengurus PT. CTPI dan meminta penyelesaian sengketa Investment
Agreement kepada BANI. Dengan ini sudah jelaslah kepastian hukum dari
sengketa kewenangan Pengadilan dengan lembaga Arbitrase terhadap penanganan
kasus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama.
Kata Kunci : Sengketa,Wewenang Pengadilan Negeri, Wewenang
Arbitrase dan Putusan Pengadilan Negeri.
Nama Pembimbing : Dr. Djawahir Hejazziey, SH.,MA.,MH
Tahun Terbitan Buku : Tahun 1976 hingga Tahun 2013
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan
rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW, semoga syafaatnya senantiasa tercurahkan kepada seluruh
umat.
Skripsi yang berjudul “Sengketa Kewenangan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan Lembaga Arbitrase terhadap Penanganan Kasus
Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama (Studi
Putusan Pengadilan Negeri No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst) penulis susun
untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (S.H) pada
Konsentrasi Hukum Bisnis Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sadari bahwa tanpa bimbingan, dukungan, nasihat dan motivasi
dari berbagai pihak, maka bukanlah hal yang mudah bagi penulis untuk
menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada Bapak:
1. Dr. Asep Saefudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH.,MH, dan Drs. Abu Thamrin, SH.,MH
selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. Djawahir Hejazziey,SH.,MA.,MH., selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan bimbingan, pengetahuan, saran-saran selama
penyusunan skripsi ini.
4. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Ketua Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) yang telah membantu penulis dalam
memberikan data-data dalam skripsi penulis.
5. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang memberikan ilmunya kepada penulis.
6. Pengelola Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengelola Perpustakaan Utama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan fasilitas buku-buku, jurnal dan sumber kepustakaan lainnya
kepada penulis. Serta Kepala dan Staf Bagian Umum, Bagian Akademik
dan seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Terimakasih yang amat besar kepada Ayah Drs. A. Rahman,SH.,MA.,
sebagai “Penasehat I” penulis yang telah memberikan bimbingan, arahan,
nasihat, doa dan kasih sayang yang luar biasa besar kepada penulis.
Terimakasih yang tak kalah besar kepada “Penasehat II” penulis, Ummi
vii
Dra. Yudarmi Abbas, yang tak pernah lelah memberikan bimbingan,
nasihat, motivasi, semangat, doa dan cinta kasih yang tiada henti kepada
penulis demi keberkahan ilmu dan kesuksesan penulis dunia dan akhirat.
Semoga Allah SWT selalu memberikan nikmat kesehatan dan kebahagiaan
bagi dua insan yang amat penulis cintai ini.
8. Adik penulis F. Miftahul Fitri dengan keceriannya memberikan semangat
kepada penulis. Keluarga Besar Moot Court Community, HMPS Ilmu
Hukum, Angkatan Muda Peduli Hukum (AMPUH), Bisnis Law
Community (BLC), IKMM (Ikatan Keluarga Mahasiswa Minang) Cabang
Ciputat, Terpischore Saman Ilmu Hukum, serta KKN Fireworks yang
telah berbagi ilmu dan pengalaman dengan penulis. Rekan-rekan Ilmu
Hukum, Rekan kelas Konsentrasi Hukum Bisnis 2012, Rekan kelas
Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara angkatan 2012, kalian adalah
rekan yang luar biasa. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis, Feby,
Zidniy, Veny, Qoshy, Sella, dan Cindy yang telah menemani petualangan
ilmu penulis di kampus ini, dan memberikan bantuan selama penyusunan
skripsi penulis serta memberikan semangat pantang menyerah hingga
selesainya skripsi ini. Adik-adik di kamar 102 A ASPI, Mega, Resti dan
Abel yang selalu memberi dukungan dan menemani penulis dalam suka
dan duka.
Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan, motivasi dan doa yang
telah diberikan semua pihak. Semoga Allah membalas semua kebaikannya.
viii
Akhirnya penulis dengan senang hati menerima segala teguran, kritik maupun
saran demi kesempurnaan karya ini.
Jakarta, 15 April 2016
Penulis
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................v
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..............................................................................5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................................6
D. Tinjauan Studi Terdahulu ........................................................................................7
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual ........................................................................10
F. Metode Penelitian ..................................................................................................14
G. Sistematika Penulisan ............................................................................................19
BAB II PENYELESAIAN SENGKETA SECARA LITIGASI DAN NON-LITIGASI ...21
A. Sengketa dan Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa ...........................................21
B. Kelembagaan Peradilan .........................................................................................24
C. Kewenangan Lembaga Peradilan ...........................................................................32
D. Arbitrase .................................................................................................................35
E. Kewenangan Arbitrase ..........................................................................................43
BAB III PROFIL LEMBAGA LITIGASI DAN NON-LITIGASI .....................................45
A. Profil Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ..................................................................45
x
B. Profil Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ..............................................50
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA PENGADILAN
NEGERI JAKARTA PUSAT DENGAN LEMBAGA ARBITRASE
BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN NOMOR
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst. ........................................................................................55
A. Duduknya Perkara ..................................................................................................56
B. Sengketa Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Lembaga
Arbitrase terhadap Penanganan Sengketa bisnis pada Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst .........................................................65
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dalam Menyelesaikan Sengketa Bisnis berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst .........................................................67
D. Analisis Penulis ......................................................................................................70
BAB V PENUTUP ..................................................................................................................73
A. Kesimpulan ............................................................................................................73
B. Saran ......................................................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................76
LAMPIRAN – LAMPIRAN .......................................................................................................79
1. Tentang Putusan Pengadilan Negeri No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst .....................79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Era globalisasi yang melanda seluruh dunia telah mempengaruhi
semua bidang kehidupan, dan yang paling terasa adalah bidang ekonomi,
khususnya perdagangan.1 Era ini ditandai dengan lahirnya berbagai macam
perjanjian bilateral dan multilateral maupun pembentukan blok-blok ekonomi
yang menjurus kepada kondisi borderless dalam dunia perdagangan.
Majunya dunia bisnis dan perdagangan, telah memberikan dampak
positif kepada kehidupan perekonomian dunia, namun disisi lain juga
menimbulkan sisi negatif, diantaranya terjadi perbedaan paham, perselisihan
pendapat maupun pertentangan atau sengketa2 antara pelaku ekonomi seperti
terjadinya wanprestasi dan lain sebagainya. Sengketa tersebut dapat timbul
karena perbedaan penafsiran baik mengenai bagaimana cara melaksanakan
klausul-klausul perjanjian maupun tentang apa isi dari ketentuan-ketentuan di
dalam perjanjian, ataupun disebabkan hal-hal lainnya.3 Perbedaan paham,
perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa bisnis tersebut tidak
1 M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) , h. 1
2 Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase; Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 12
3 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2006), h. 1
2
boleh dibiarkan berlarut-larut dan harus sesegeranya diselesaikan secara
memuaskan bagi semua pihak.4
Peraturan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya telah
menyediakan sarana untuk menyelesaikan sengketa bisnis tersebut, yakni
melalui proses Peradilan Umum (Litigasi) yang berwenang menerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana maupun perdata. Namun
penyelesaian melalui Litigasi ini terdapat beberapa kekurangan, dikarenakan
perkara yang sangat banyak tentunya akan memakan waktu penyelesaian yang
lebih lama serta penyelesaian sengketa tersebut lambat, biaya yang
dibutuhkanpun mahal dan tidak bersifat rahasia. Oleh karena itu beberapa
kekurangan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan itulah sebagian orang
lebih memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan.5
Dalam penyelesaian sengketa bisnis dikenal adanya lembaga Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diatur di dalam undang-
undang. Undang-undang Arbitrase Indonesia menyatakan bahwa upaya
penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan Negara
melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.6
Proses penyelesaian sengketa bisnis di lembaga arbitrase bukan di
dalam lembaga litigasi resmi atau pengadilan, akan tetapi diluar pengadilan
4 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h.1
5 Nazarkhan Yasin, Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa
Konstruksi, (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008) h. 84
6 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesi, 2011), h. 43
3
yang tentunya tata caranya berbeda dengan proses litigasi di pengadilan.
Terjadinya proses arbitrase harus diperjanjikan lebih dahulu dalam bentuk
yang pasti yaitu harus dalam bentuk tertulis oleh para pihak. Oleh karena
bentuknya harus tertulis, maka mempunyai konsekuensi bahwa apabila tidak
ada suatu perjanjian tertulis yang menyatakan akan menyelesaikan
sengketanya melalui jalur di luar pengadilan, maka tidak dapat menyelesaikan
sengketanya melalui arbitrase.7
Salah satu badan arbitrase di Indonesia adalah Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI). BANI berkedudukan otonom dan bebas. BANI
dalam fungsinya sebagai lembaga peradilan mempunyai asas-asas yang sama
dengan lembaga peradilan yang dibentuk oleh Negara.
Pada Pasal 1 Anggaran Dasar BANI dirumuskan bahwa BANI diberi
wewenang oleh para pihak yang bersengketa untuk memeriksa dan mengadili
semua sengketa perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri,
keuangan dan lain-lain yang bersifat nasional maupun internasional. Yang
tidak dapat diselesaikan melalui lembaga arbitase Indonesia adalah sengketa
tentang perumahan, perburuhan/tenaga kerja.
Wewenang atau kompetensi arbitrase/BANI secara hukum terpisah
dan sejajar dengan Pengadilan Negeri, artinya keputusan arbitrase/BANI
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan Pengadilan Negeri.
Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 dan Yurisprudensi
Mahkamah Agung Perkara atau sengketa yang menurut klausula arbitrase atau
7 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis.............h. 94
4
perjanjian arbitrase yang oleh pihak bersengketa diserahkan penyelesaiannya
kepada arbitrase/BANI maka tidak bisa lagi diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Negeri,
Pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
sengketa bisnis telah diselesaikan menggunakan jalur arbitrase di BANI.
Namun perkara yang sama ternyata juga diproses dan diputus oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan Pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBg. setiap tuntutan hak
yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap
menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya, konsekuensinya,
semua perkara untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.
Pengadilan Negeri dan BANI sama-sama merasa berwenang
memproses dan memutus perkara ini. Akibatnya lahirlah dua (2) keputusan
yang berbeda terhadap satu perkara sengketa sehingga terjadilah kebingungan
ditengah masyarakat awam dan seolah-olah tidak adanya kepastian hukum
perkara tersebut.
Fenomena dan dinamika hukum di atas, menggugah penulis untuk
mengkaji lebih jauh mengenai Sengketa Kewenangan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan Lembaga Arbitrase terhadap Penanganan Kasus Ny. Siti
Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama (Studi Putusan
Pengadilan Negeri No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst) a quo yang lebih lanjut
akan penulis formulasikan dalam sebuah skripsi.
5
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara
sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu
penulis uraikan pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan
dan pembatasan masalah.
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka penulis
membatasinya dengan pembahasan mengenai bagaimana kewenangan
pengadilan dan lembaga arbitrase terhadap penanganan kasus Ny. Siti
Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama serta faktor-faktor
yang mempengaruhi kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa bisnis berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst.
2. Rumusan Masalah.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah menurut peraturan
(Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa), suatu
sengketa yang telah diserahkan ke lembaga arbitrase tidak boleh diadili
oleh Pengadilan, tapi kenyataannya sengketa bisnis ini diadili oleh dua
lembaga (PN Jakarta Pusat dan BANI).
Rumusan diatas penulis rinci dengan pertanyaan penelitian
(research question), yaitu:
6
a. Bagaimana sengketa kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan
lembaga arbitrase terhadap penanganan kasus Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kewenangan Pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa bisnis berdasarkan Putusan Pengadilan
Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana sengketa kewenangan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan lembaga arbitrase terhadap
penanganan kasus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya
Bersama.
b. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
kewenangan Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa bisnis
berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst.
2. Kegunaan Penelitian.
Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu
kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.
a. Secara teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi dalam
7
menanggapi masalah hukum, khususnya tentang lembaga hukum yang
berwenang terhadap penyelesaian sengketa bisnis.
b. Kegunaan Praktis.
Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan
menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat
kebijakan-kebijakan dan konsukuensi hukum yang berkaitan dengan
penegakan hukum serta kepastian hukum terhadap lembaga hukum
yang berwenang terhadap penyelesaian sengketa bisnis untuk
terciptanya hukum yang seadil-adilnya bagi kemakmuran hajat hidup
orang banyak, khususnya masyarakat pencari keadilan.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu.
No Nama Penulis/
Judul
skripsi,Tesis,
Buku / Tahun
Substansi Perbedaan dengan
Penulis
1. Muhammad
Andriansyah/
Pembatalan
Putusan Arbitrase
Nasional yang
dilakukan oleh
Pengadilan Negeri
berdasarkan
Dalam skripsi ini
penulis membahas
mengenai putusan
arbitrase yang bersifat
final and binding
dapat dibatalkan oleh
Pengadilan Negeri
dalam perkara No.
Penulis membahas
mengenai sengketa
kewenangan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat
dengan lembaga
Arbitrase terhadap
penanganan kasus Ny.
Siti Hardiyanti
8
Undang-undang
No. 30 Tahun
1999 tentang
Arbitrase dan
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa (Studi
Kasus Putusan
Pengadilan Negeri
No.
270/Pdt.P/2009/P
N.JKT.SEL)/
Skripsi Tahun
2014
270/Pdt.P/2009/PN.Jkt
.Sel. Dalam skripsi ini
hanya membahas
mengenai pembatalan
putusan arbitrase yang
dilakukan oleh
Pengadilan Negeri
dalam perkara No.
270/Pdt.P/2009/PN.Jkt
.Sel
Rukmana dan PT.
Berkah Karya Bersama
serta faktor faktor yang
mempengaruhi
kewenangan Pengadilan
dalam menyelesaikan
sengketa bisnis
berdasarkan Putusan
Pengadilan No.
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.P
st.
2. Didin Rohidin/
Kewenangan
Pengadilan Niaga
Mengadili Perkara
Kepailitan
terhadap Adanya
Klausa Arbitrase
dalam Perjanjian
Penulis Tesis ini
membahas mengenai
wewenang Pengadilan
Niaga dalam
mengadili suatu
Perkara Kepailitan
sedangkan ada klausa
penyelesaian melalui
Penulis memfokuskan
penelitian skripsi ini
mengenai sengketa
kewenangan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat
dengan lembaga
Arbitrase terhadap
penanganan kasus Ny.
9
yang disepakati/
Tesis Tahun 2008
Arbitrase dalam
perjanjian yang
disepakati oleh para
pihak
Siti Hardiyanti
Rukmana dan PT.
Berkah Karya Bersama
serta faktor faktor yang
mempengaruhi
kewenangan Pengadilan
dalam menyelesaikan
sengketa bisnis
berdasarkan Putusan
Pengadilan No.
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.P
st.
3. Cicut Sutiarso/
Pelaksanaan
Putusan Arbitrase
dalam Sengketa
Bisnis/ Buku ini
dibuat Tahun 2011
Buku ini memberikan
gambaran solusi
singkat bagaimana
melaksanakan putusan
arbitrase yang
mempunyai kekuatan
final dan binding,
yakni putusan yang
mengikat dan
merupakan putusan
akhir yang semestinya
Penulis dalam skripsi
ini memfokuskan
penelitian skripsi
mengenai sengketa
kewenangan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat
dengan lembaga
Arbitrase terhadap
penanganan kasus Ny.
Siti Hardiyanti
Rukmana dan PT.
10
dapat dilaksanakan
sesuai dengan asas
pemeriksaan
persidangan cepat,
sederhana dan biaya
ringan.
Berkah Karya Bersama
serta faktor faktor yang
mempengaruhi
kewenangan Pengadilan
dalam menyelesaikan
sengketa bisnis
berdasarkan Putusan
Pengadilan No.
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.P
st.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.
Suatu kerangka konseptual, merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mencakup
definisi-definisi operasional.
Sistem peradilan di Indonesia merupakan peninggalan pemerintah
kolonial Hindia Belanda sebagai penganut sistem hukum Eropa Daratan yang
dalam perjalanan sejarahnya sampai saat ini belum pernah dilakukan suatu
perubahan total yang bisa menunjukkan suatu hasil karya agung atau produk
asli Bangsa Indonesia.8
Kata peradilan yang mempunyai padanan kata Belanda Judicieel atau
kata Inggris Judicature adalah identik dengan kata kehakiman yaitu kekuasaan
8 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan putusan ………...…... h. 33
11
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.9
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagai
pelaksana kehakiman di dalam sistem peradilan Indonesia yang akan
bekerjasama secara terpadu dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman,
terdiri dari 4 (empat) lingkungan yaitu:10
1. Lingkungan Badan Peradilan Umum.
2. Lingkungan Badan Peradilan Agama.
3. Lingkungan Badan Peradilan Militer.
4. Lingkungan Badan Peradilan Tata Usaha Negara.
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, sehingga dapat dilaksanakan
9 Kamus Hukum, Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris, (Jakarta: Aneka
Ilmu, Medio, 1977) h. 492
10 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan putusan …...…..……..h. 61
12
setelah dilakukan pendaftaran di kepaniteraan pengadilan negeri sesuai
ketentuan yang berlaku.11
Menurut HMN. Poerwosutjipto yang menggunakan istilah perwasitan
untuk arbitrase ini, menyatakan bahwa perwasitan adalah suatu peradilan
perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang
hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh
hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan
putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.12
Hakim atau arbiter tersebut
menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan hakim di Pengadilan.13
Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis yang
bersifat final dan mengikat dari para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad
baik.14
Jenis arbitrase yang diakui keberadaan dan kewenangannya untuk
memeriksa dan memutus sengeketa yang terjadi antara para pihak yang telah
11
Cicut Sutiarso, Pelaksanaan putusan ………...…... h. 44
12 HMN. Poerwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang; Pengetahuan Dasar
Hukum Dagang, (Jakarta: Djambatan, 1995), h. 1
13 Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Binacipta, 1981), h. 1-3
14 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan putusan ………..…......h. 45
13
diatur dan disebut-sebut di beberapa peraturan dan di berbagai konvensi yang
ada. Di samping telah diatur di dalam Rv tentang arbitrase ad-hoc, diatur pula
dalam Convention of the Settlement of Investment Desputes Between States
and National Other State atau Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958), serta
ketentuan dari UNCITRAL tentang Arbitration Rules.
Sesuai ketentuan di atas ada 2 (dua) macam jenis arbitrase yang diakui
eksistensi dan kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perselisihan
atau sengketa yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian,
yaitu:
a. Arbitrase ad-hoc.
Jenis arbitrase ad-hoc disebut juga “arbitrase volunter”, Pasal 615
Rv ayat (1) mengatur tentang lembaga arbitrase ad-hoc. Arbitrase ad-hoc
adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus
perselisihan tertentu. Kedudukan dan keberadaannya hanya untuk
melayani dan memutus kasus perselisihan tertentu. Selesai sengketa
diperiksa dan diputus, maka tugas para arbiter ad-hoc sesuai
pembentukannya dengan sendirinya berakhir.
b. Arbitrase Institusional.
Arbitrase institusional (institusional arbitration) merupakan
lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”. Oleh karena
arbitrase institusional merupakan badan yang bersifat permanen, dia
disebut juga “permanent arbitral body”. Nama itulah yang diberikan Pasal
14
1 ayat (2) Konvensi New York 1958 terhadap arbitrase institusional.
Arbitrase institusional adalah badan arbitrase yang sengaja didirikan dan
pembentukannya ditujukan untuk menangani sengketa yang timbul bagi
mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Badan
tersebut merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk menampung
perselisihan yang timbul dari perjanjian. Pihak-pihak yang menghendaki
penyelesaian sengketa mereka dilakukan oleh arbitrase, dapat
memperjanjikan bahwa sengketanya akan diputus oleh arbitrase
institusional yang bersangkutan.15
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mempunyai kedudukan
yang otonom, bebas dan merdeka serta tidak dipengaruhi oleh siapapun,
kekuatan dari luar manapun dan kekuasaan apapun bentuk dan sifatnya.16
Asas otonomi, kemerdekaan dan kebebasan adalah untuk menjamin bahwa
BANI sebagai lembaga peradilan arbitrase, sama seperti lembaga peradilan
umum, dapat berdiri di atas atau disamping segala pihak yang bersengketa
bersikap objektif, adil dan jujur, atas dasar hukum dan keyakinan yang bersih
dan murni.17
F. Metode Penelitian.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
15
Cicut Sutiarso, Pelaksanaan putusan …….……. h. 97
16 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan putusan ……..…….h. 137
17 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Suatu
Pengantar), (Jakarta: Fikahati Aneska, 2002), h. 21
15
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan
suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum yang bersifat perspektif,
bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how penelitian hukum
dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Disinilah
dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum,
melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan
kemudian memberikan pemecehan atas masalah tersebut.18
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk
memenuhi penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode
Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.19
Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe
penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu
gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori
yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.
2. Pendekatan Penelitian.
Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis
penilitian yaitu penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan
data dalam penelitian normatif, penulis menggunakan beberapa
18
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013), Cet. ke VIII, h. 60
19 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.
16
pendekatan, yaitu berupa pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan
historis (historical approach).
Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh
kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai lembaga hukum yang
berwenang ketika ada sengketa bisnis. Sedangkan pendekatan konseptual
dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana konsep dan teori mengenai
lembaga hukum yang lebih berwenang untuk menyelesaikan sengketa
bisnis. Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan lembaga hukum dalam
menyelesaikan sengketa bisnis.
3. Sumber Penelitian.
Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber
penelitian yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta
bahan hukum tersier yang berkaitan secara langsung dengan objek yang
diteliti, dengan rincian sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer.
Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya,
memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan
penelitian ini. Sumber-sumber tersebut berupa UUD 1945, Peraturan
Perundang-Undangan yang terkait sengketa kewenangan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dengan lembaga arbitrase terhadap penanganan
kasus Ny. Siti hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama
17
serta faktor yang mempengaruhi kewenangan Pengadilan dalam
menyelesaikan sengketa bisnis berdasarkan Putusan Pengadilan No.
10/Pdt.G/2010/PN. Jkt. Pst. Bahan hukum primer merupakan data
yang diperoleh dari bahan kepustakaan.20
b. Bahan Hukum Sekunder.
Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai
bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang
memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan
penelitian ini, terdiri dari atas buku-buku (textbooks) yang ditulis para
ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal
hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan
hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian
skripsi ini. Penulis juga menggunakan buku Panduan penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012 sebagai pedoman penulisan skripsi.
c. Bahan Hukum Tersier.
Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.21
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
20
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992)
h. 51.
21 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian……………. h. 296
18
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode
pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research)
yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan
seperti buku-buku yang berkaitan dengan pasar modal, pendapat sarjana,
surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari
internet.
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah
yang dibahas. Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan,
digunakan metode dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari
hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media
online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.22
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data.
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan
hukum sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum
diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan
analisis secara kritis dan mendalam mengenai sengketa kewenangan
22
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian ……………h. 201
19
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan lembaga arbitrase terhadap
penanganan kasus Ny. Siti hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya
Bersama serta faktor yang mempengaruhi kewenangan Pengadilan dalam
menyelesaikan sengketa bisnis berdasarkan Putusan Pengadilan No.
10/Pdt.G/2010/PN. Jkt. Pst.
G. Sistematika Penulisan.
Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika
penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata
pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika
sebagai berikut:
BAB Pertama berisi Pendahuluan memuat Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan
Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
BAB Kedua berisi Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi dan Non-
Litigasi membahas secara umum tentang Sengketa dan Bentuk-bentuk
Penyelesaian Sengketa, Lembaga Peradilan yang meliputi Kelembagaan
Lembaga Peradilan, Kewenangan Lembaga Peradilan, Arbitrase, serta
Kewenangan Arbitrase.
BAB Ketiga berisi Profil Lembaga Litigasi dan Non-Litigasi
membahas mengenai tinjauan umum tentang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
20
BAB Keempat berisi Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga
Pengadilan dengan Lembaga Arbitrase Berdasarkan Putusan Pengadilan
Nomor 10/Pdt.G/2010/Pn.Jkt.Pst. membahas mengenai Duduknya Perkara,
Sengketa Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Lembaga
Arbitrase terhadap Penanganan Sengketa Bisnis pada Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst, Faktor-faktor yang
mempengaruhi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
Menyelesaikan Sengketa Bisnis berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst serta Analisis Penulis.
BAB Kelima berisi Penutup memuat kesimpulan serta saran yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut yang penulis dapatkan dari hasil
menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.10/Pdt.G/PN.Jkt.Pst
21
BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA SECARA
LITIGASI DAN NON-LITIGASI
A. Sengketa dan Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa.
1. Pengertian Sengketa.
Perkembangan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
hukum, begitu pula sebaliknya. Masyarakat sekarang yang modern dengan
segala kompeksitas permasalahan, tidak jarang timbul sengketa. Sengketa
biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan
oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas akan muncul ke
permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan
akan menyampaikan ketidak puasannya pada pihak kedua. Jika kedua pihak
dapat menyelesaikannya berdua, maka sengketa tersebut berakhir. Sebaliknya,
jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki
nilai-nilai yang berbeda, terjadi apa yang dinamakan dengan sengketa.1
Menurut D.Y Witanto, sengketa adalah konflik yang terjadi antara
individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
1 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution (Teknik dan Strategi dalam
Negosiasi, Mediasi dan Arbitrase), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 34
22
kepentingan yang sama atau suatu objek kepemilikan yang menimbulkan
akibat hukum antara satu dengan yang lain.2
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sengketa adalah pertentangan
antara dua pihak atau lebih atas objek tertentu yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
2. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa.
Pola penyelesaian sengketa di Indonesia pada umumnya menerapkan
dua sistem penyelesaian sengketa yang tersedia yaitu menggunakan jalur
(sistem) adjudikasi yaitu pengadilan dan arbitrase, yang sering kali dalam ilmu
hukum dikenal dengan istilah “litigasi” dan menggunakan jalur diluar
pengadilan atau orang mengenalnya dengan istilah non adjudikasi.3
Penyelesaian sengketa secara adjudikatif dibedakan menjadi dua, yaitu
adjudikatif publik dan adjudikatif privat. Adjudikatif publik dilakukan melalui
institusi involuntary, karena hakimnya sudah disiapkan oleh pengadilan dan
para pihak tidak bisa memilih dan menentukan sendiri hakimnya. Sedangkan
adjudikatif privat biasanya dilakukan melalui arbitrase.4
Jalur litigasi merupakan the last resort atau ultimatum remedium, yaitu
sebagai upaya terakhir jika penyelesaian sengketa secara kekeluargaan atau
2 D.Y Witanto, Hukum Acara Mediasi (Dalam Perkara Perdata di Lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan), (Bandung: Alfabeta, 2011), h.2
3 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadila; Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: PT.
Alumni, 2013), h. 36
4 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan……….. h. 36
23
perdamaian diluar pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan
keluar. Sebaliknya, penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi adalah
mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang menggunakan
mekanisme yang hidup didalam musyawarah, perdamaian, kekeluargaan,
penyelesaian adat dan lain sebagainya. Sebagai salah satu cara yang sekarang
sedang berkembang dan diminati adalah melalui lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS).5
Dalam Islam, jika terjadi suatu sengketa antara satu pihak dengan
pihak yang lain, maka al-quran telah memberikan jalan keluar yang dijelaskan
dalam surat Al-Hujurat ayat 9 dan surat An-Nisa ayat 35, yakni:
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S Al-
Hujurat ayat 9).
5 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan……….. h. 37
24
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S An-nisa
ayat 9).
B. Kelembagaan Peradilan.
1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.6 Amanat
ini adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar
1945 setelah amandemen ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
negara hukum”, karena salah satu prinsip negara hukum adalah adanya
jaminan penyelenggaraan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka, bebas
dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ketertiban, keadilan,
kebenaran dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman
kepada masyarakat.7
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
6 Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR,
(Jakarta: UI Pres, 2004) h. 100
7 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2007), h. 1
25
Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.
Pengertian tersebut merupakan amanat Pasal 24 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen
ketiga tahun 2001, berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan”.
K. Wantjik Saleh mengartikan kekuasaan kehakiman yang
mendasarkan pemikirannya kepada Undang-undang Dasar 1945 sebelum
amandemen, yakni kekuasaan kehakiman dapat di artikan sebagai adanya
.kekuasaan kehakiman yang terpisah dari kekuasaan pemerintah dan
kekuasaan perundang-undangan serta merdeka dari pengaruh kedua kekuasaan
itu, ada suatu Mahkamah Agung sebagai badan peradilan peradilan tertinggi di
Indonesia. Badan-badan peradilan yang lain, akan ditentukan oleh undang-
undang, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung maupun badan-badan
Peradilan yang lainnya diatur oleh Undang-undang, kedudukan yang layak
bagi para hakim dijamin syarat untuk pengangkatan serta pemberhentiannya
diatur oleh undang-undang.8
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan suatu prasyarat dari
negara hukum yang demokratis, sebagaimana yang dituangkan dalam
Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan
8 K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, (Jakarta: Simbur Cahaya, 1976), h. 15
26
nasional sebagai haluan negara, menegaskan perlunya reformasi dibidang
hukum untuk menanggulangi krisis bidang hukum. Salah satu agenda yang
harus dijalankan adalah pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif
dan eksekutif. Pemisahan ini dilaksanakan dengan keharusan pengalihan
organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan yang semula
berada dibawah departemen-departemen sebagai bentuk perpanjangan tangan
kekuasaan eksekutif menjadi berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.9
Pemisahan kekuasaan menurut Jimly Asshiddiqie berarti “Merdeka
dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah,” terkandung pengertian
yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya
membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa
kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau
yang patut diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan
keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh hakim. Karena itu,
kemerdekaan kekuasaan tersebut bertujuan agar para hakim dapat bekerja
secara profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah,
kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.10
Menurut Prof. H. Oemar Seno Adji, SH, suatu peradilan yang bebas
dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang “indispensable” bagi negara
hukum. Bebas berarti tidak ada campur atau turun tangan dari kekuasaan
Executive dan Legislative dalam menjalankan fungsi Judiciari. Ia tidak berarti
9 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman : Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2012), Edisi 1, h. 3
10 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman : Pasca-Amandemen.................... h. 34
27
bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan
tugasnya, ia “sub-ordinated”, terikat pada Hukum.11
Dengan demikian, kekuasaan kehakiman memang sudah seharusnya
merdeka, bebas dari pengaruh pihak-pihak manapun dalam menegakkan
hukum, sesuai dengan amanat konstitusi negara ini yang merupakan dasar
peraturan perundang-undangan tertinggi dalam negara. Sehingga sudah
sepatutnyalah kekuasaan kehakiman menaati dan menjalankan apa yang
diamanatkan oleh konstitusi negara.
2. Asas-asas Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka haruslah digali dari apa yang
terkandung pada kaidah-kaidah yang terdapat didalam peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya. Dari peraturan perudang-undangan yang
mengatur kekuasaan kehakiman tersebut, maka dapat ditemukan asas-asas
kekuasaan kehakiman yang merdeka, diantaranya12
:
a. Asas Kebebasan Hakim.
Asas kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Pasal 24
ayat (1) dan juga pada Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
11
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1985), Cet.
Ke-2, h. 46
12 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman : Pasca-Amandemen.................... h. 50
28
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.”
Oleh karena itu menurut Wahyu Affandi, hakim dalam menjalankan
tugasnya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka harus bebas
dari segala campur tangan pihak manapun juga, baik intern maupun ekstern.
Sehingga hakim dapat dengan tenang memberikan putusan yang seadil-
adilnya.13
Akan tetapi, Sudikno Mertokusumo memberikan batasan-batasan
dalam hal kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hakim dalam melaksanakan
wewenang judicial tidaklah mutlak sifatnya. Secara mikro, hakim dibatasi
oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang, ketertiban
umum, kesusilaan, dan perilaku atau kepentingan para pihak, sedang secara
makro, hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan
sebagainya. Sehingga diperlukannya pengawasan atas kekuasaan kehakiman.
Bentuk pengawasan untuk membatasi kebebasannya, maka putusannya harus
dikoreksi. Oleh karena itu, asas peradilan yang baik (principle of good
judicature) ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.14
Kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent judiciary) telah
menjadi ideologi yang universal masa kini dan masa datang.15
Oleh sebab itu,
13
Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, (Bandung: Alumni, 1981), h. 13
14 Sudikno Mertokusumo, Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman,
http://sudiknoartikel.blogspot.com., h. 2-3. Dikutip pada Kamis, 10 Maret 2016
15 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997), h. 31
29
karena kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka berdasarkan
ideologi negara, maka dalam menegakkan keadilan tidak boleh dipengaruhi
oleh pihak manapun. Namun kekuasaan kehakiman juga tetap dibatasi oleh
aturan-aturan hukum yang ada, agar tercapainya tujuan hukum yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan.
b. Asas Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Dasar hukum asas ini adalah Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar
1945 setelah amandemen, yang berbunyi “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Dan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 setelah
amandemen, yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Asas ini juga berdasarkan Pasal
2 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi “Peradilan
dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
c. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan.
Peradilan adalah tempat bagi rakyat untuk mencari keadilan dan
kepastian hukum, sehingga haruslah dilakukan dengan sesederhana mungkin
dan biaya yang terjangkau dan waktu proses persidangan tidak berlarut-larut.
Karena dengan cepatnya proses peradilan, akan meningkatkan kewibawaan
pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat kepada pengadilan.16
16
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1993), h. 27
30
Sehingga apabila asas sederhana, cepat dan biaya ini dapat diterapkan
dengan baik, maka semakin baik pula pelaksanaan kekuasaan kehakiman di
Indonesia, sehingga masyarakat ataupun para pencari keadilan merasa dapat
mempercayai pengadilan.
d. Asas Persidangan Terbuka untuk Umum.
Asas ini berdasar kepada Pasal 13 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009. Asas ini bertujuan untuk menjamin pelaksanaan
peradilan yang tidak memihak, adil dan melindungi hak asasi manusia dalam
bidang peradilan, sesuai peraturan hukum yang berlaku. Asas ini membuka
social control dari masyarakat, yaitu dengan meletakkan peradilan dibawah
pengawasan umum.17
Sehingga agar masyarakat umum dapat mengetahui perkembangan
perkara tersebut, peradilan haruslah dilaksanakan berdasarkan asas terbuka
untuk umum ini.
e. Asas Susunan Persidangan Majelis.
Susunan persidangan untuk semua pengadilan pada asasnya
merupakan majelis, yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim,
menurut Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009. Akan tetapi
untuk perkara-perkara tertentu hakim dapat dibentuk sebanyak lima orang atau
lebih atau bahkan hanya hakim tunggal. Asas ini dimaksudkan agar majelis
hakim dapat memutus perkara dengan objektif.
f. Asas Objektivitas.
17
Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,
(Jakarta: Pustaka Kartini), h. 10
31
Penyelesaian perkara secara objektif dan tidak memihak dilandasi oleh
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang”. Artinya, hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan
kepadanya haruslah objektif dan tidak boleh memihak kepada pihak tertentu.
Dengan demikian, dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan
haruslah berdasarkan asas objektivitas, yakni dengan memperlakukan semua
pihak sama didepan hukum dan tidak memihak kepada salah satu pihak.
Menurut Jimly Asshiddiqi, Pengadilan adalah lembaga kehakiman
yang menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan
kitab undang-undang (wet en wetboeken) dimaksud. Strukturnya dapat
bertingkat-tingkat sesuai dengan sifat perkara dan bidang hukum yang terkait.
Ada perkara yang cukup diselesaikan melalui peradilan pertama dan sekaligus
terakhir, ada pula perkara yang diselesaikan dalam dua tingkat dan ada pula
perkara yang diselesaikan dalam tiga tahap, yaitu tingkat pertama, tingkat
banding, dan tingkat kasasi.18
Lembaga peradilan juga merupakan tumpuan harapan bagi para
pencari keadilan di seluruh lapisan masyarakat yang mendambakan keadilan.
Dalam memberikan pelayanan hukum, pengadilan mempunyai tugas antara
lain19
:
18
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 314
19 Sholih Mu’adi, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan dengan Cara
Litigasi dan Non Litigasi, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2010), h. 54
32
a. Memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan.
b. Memberikan pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan bagi
pencari keadilan.
c. Memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final
sehingga memuaskan para pihak dan masyarakat.
C. Kewenangan Lembaga Peradilan.
Kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk
memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara
yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan
kehakiman dan peradilan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-
tugasnya sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak
memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan.20
Suatu badan peradilan dalam memutus suatu perkara dapat dibedakan
atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif
berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara
sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah
kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut objek, materi
dan pokok perkara.21
Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana
dimaksudkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
20
Mahfud MD, Badan dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII
Pres, 1993), h. 132
21 Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan……….. h. 44
33
Nomor III/MPR/1978 dan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua
Lingkungan Peradilan sesuai Pasal 24 Undang-undang Dasar RI 1945. Badan
Peradilan dibawah Mahkamah Agung dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya haruslah sesuai dengan amanat undang-undang. Agar tidak
melenceng dari amanat konstitusi negara.
Badan peradilan dibawah Mahkamah Agung yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara
memiliki tugas dan wewenang yang berbeda-beda. agar bisa tercapai
kepastian hukum. Wewenang masing-masing peradilan tersebut yakni:
a. Peradilan Umum.
Peradilan Umum diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
dan Perubahannya Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum. Peradilan Umum mempunyai tugas dan wewenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat
pertama.
b. Peradilan Agama.
Peradilan Agama awalnya diatur dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan beberapa perubahannya dalam
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Sedangkan mengenai Mahkamah
Syariah, keberadaannya didasarkan pada Undang-undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang otonomi khusus dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh dan diperkuat oleh Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004. Pengadilan Agama bertugas untuk memeriksa, mengadili,
34
memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama, antara orang-orang
yang beragama Islam dibidang:
Perkawinan;
1) Kewarisan;
2) Waqaf dan Shadaqoh;
3) Infak dan Zakat;
4) Ekonomi Syariah.
c. Peradilan Militer.
Peradilan Militer melaksanakan tugasnya diatur dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Wewenang
Peradilan Militer yaitu:
1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah:
a) Prajurit;
b) Yang berdasarkan Undang-undang dipersamakan denga Prajurit;
c) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan Undang-
undang.
d) Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf
c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri
Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Militer.
35
2) Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata;
3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang
bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat
yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan dan
sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara melaksanakan tugasnya dengan
berlandaskan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahannya
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili,
memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama.
Sedangkan pada tingkat banding diselesaikan oleh Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara.
D. Arbitrase.
1. Pengertian Arbitrase.
Kegiatan bisnis tentunya tidak luput dari perselisihan atau sengketa,
untuk menyelesaikan sengketa tersebut, selain melalui proses Pengadilan juga
bisa diselesaikan melalui Arbitrase. Sengketa yang terjadi tersebut didasarkan
pada perjanjian yang dilakukan secara tertulis dengan menunjuk arbiter untuk
menyelesaikan sengketanya.
Arbitrase di Indonesia bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau Pasal 705
RBg, seiring perkembangan zaman dan perkembangan dunia bisnis nasional
36
dan internasional serta setelah adanya WTO (World Trade Organization)
maka ketentuan-ketentuan mengenai dunia perdagangan yang sebelumnya di
atur dalam HIR, RBg dan Rv sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, sehingga dibutuhkan aturan baru mengenai arbitrase yang akan
dijadikan sebagai pedoman arbitrase.
Tanggal 12 Agustus 1999 Pemerintah mengundangkan Undang-
undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan
mengenai Arbitrase yang terdapat dalam HIR, RBg dan Rv dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Kata arbitrase berasal dari Bahasa latin arbitrare yang artinya
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan”.
Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi
petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam
menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada
kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan
hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.22
Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
22
Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Binacipta, 1981), h. 1-3
37
Menurut Mertukusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian
sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang
berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorag wasit atau
arbiter.23
Menurut Priyatna Abdurrasyid, arbitrase adalah suatu tindakan hukum
dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara
dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seseorang atau
beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu
keputusan final dan mengikat. Apabila para pihak telah terikat dalam
perjanjian arbitrase maka pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak tersebut. Dengan demikian pengadilan wajib mengakui
dan menghormati wewenang dan fungsi arbiter.24
Menurut R.M Gatot P. Soemartono, arbitrase secara umum adalah
suatu proses dimana ada dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka
kepada satu orang atau lebih yang imparsial atau disebut sebagai arbiter untuk
memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat.25
Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa perdata yang diserahkan kepada pihak ketiga atau
arbiter yang didasarkan pada suatu perjanjian tertulis para pihak.
23
Sudikno Metokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1999) h. 144
24 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternative Penyelesaian Sengketa; Suatu
Pengantar, (Jakarta: Fikahati Aneka, 2002) h. 16
25 Gatot P. Soemartono, Arbitrase dan Mediasi………. h. 25
38
2. Perjanjian Arbitrase.
Perjanjian arbitrase secara lisan tidak dapat ditegakkan karena
berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, perjanjian arbitrase yang
diakui adalah yang bersifat tertulis. Arbitrase terdiri dari 2 (dua) bentuk, yakni
pactum de compromittendo dan akta kompromis.26
a. Pactum de Compromittendo.
Pactum de Compromittendo berarti kesepakatan setuju dengan arbiter.
Menurut Yahya Harahap, adanya kebolehan untuk membuat persetujuan di
antara para pihak yang membuat persetujuan, untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari kepada
arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.27
Bentuk perjanjian
arbitrase ini dibuat untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin timbul
dimasa yang akan datang, oleh sebab itu dibuatlah klausul arbitrase.
b. Akta Kompromis.
Akta kompromis diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No. 30
Tahun 1999 yang berbunyi, “dalam hal para pihak memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai
hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak.”
Sebagai layaknya suatu perjanjian, arbitrase sebagai salah satu bentuk
perjanjian harus tunduk pada ketentuan umum tentang syarat-syarat sahnya
26
Priyatna Abdurrasyid dan Bintan R. Saragih. Hukum Penyelesaian Sengketa;
Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 33
27 M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),h. 65
39
perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata yakni mengandung
syarat subjektif dan syarat objektif.
1) Syarat Subjektif.
Arbitrase adalah suatu cara alternatif penyelesaian sengketa, maka dapat
dikatakan bahwa sebagai perjanjian, arbitrase melibatkan dua pihak yang
saling bersengketa mencari penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Pasal 1320 KUHPerdata menjelaskan bahwa untuk memenuhi
syarat subjektif, selain harus dibuat oleh mereka yang dianggap cakap
bertindak menurut hukum, perjanjian arbitrase juga harus dibuat oleh
mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk
melakukan hal yang demikian. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
menentukan bahwa para pihak dalam perjanjian arbitrase tidak dibatasi
hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata melainkan juga
termasuk didalamnya subjek hukum publik. Dari ketentuan dalam Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang No 30 Tahun 1999, sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase ini sifatnya terbatas, relevansi dari
kewenangan para pihak menjadi bagian yang sangat penting bagi para
pihak dalam perjanjian arbitrase.28
2) Syarat Objektif.
Syarat objektif dari perjanjian arbitrase ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Menurut ketentuan undang-undang
arbitrase ini, objek perjanjian arbitrase hanyalah sengketa di bidang
28
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 15
40
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut,
namun jika melihat pada penjelasan Pasal 66 huruf b Undang-undang No.
30 Tahun 1999 yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional, maka yang dimaksud dengan “ruang lingkup perdagangan”
adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang perniagaan, perbankan,
keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.
Selain sengketa tersebut, ketentuan mengenai perdamaian yang diatur
dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab
Kedelapanbelas Pasal 1851 dengan Pasal 1864.29
3. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase.
Lembaga Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
lembaga pengadilan. Munir Fuady, SH, MH.,LL.M, mengatakan bahwa
arbitrase mempunyai kelebihan atau keuntungan dibanding dengan pengadilan
konvesional, antara lain:30
a. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dapat tercapai dalam waktu relatif
singkat.
b. Biaya lebih murah.
c. Dapat dihindari expose dari keputusan didepan umum.
29
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase………………. h.46
30 Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 94
41
d. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks.
e. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh
arbitrase.
f. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter dari kalangan ahli dalam
bidangnya.
g. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.
h. Keputusannya umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau
kasasi).
i. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
Disamping kelebihan arbitrase tersebut diatas, arbitrase juga memiliki
kekurangan. Menurut Dr. H. Sudiarto, SH., M. Hum, dari praktek yang
berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya
eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi
putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.31
Kekurangan arbitrase antara lain sebagai berikut:
a. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk
memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan
para pihak.
b. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase,
maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melaksanakan eksekusi
atas putusan arbitrase tersebut.
31
Sudiarto, Negosiasi, Mediasi dan Arbitrase, Penyelesaian Sengketa Alternatif di
Indonesia, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013), h. 74
42
c. Pada prakteknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing
masih menjadi hal yang sulit.
d. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah
perusahaan-perusahaan besar, oleh karena itu untuk mempertemukan
kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan
arbitrase tidaklah mudah.32
4. Tata Cara Pemeriksaan di Arbitrase.
Tata cara pemeriksaan di arbitrase melalui beberapa proses, yakni:
a. Pengajuan Claim.
Proses pertama yang melahirkan kewenangan arbitrase memeriksa dan
menyelesaikan sengketa secara materiil, dengan adanya pengajuan gugatan
oleh salah satu pihak yang disebut dengan claim. Bentuk surat claim
diajukan dalam bentuk tertulis yang memuat identitas dan pokok sengketa
serta dilampirkan Akta Perjanjian Pokok dan Arbitrase.
b. Pemberitahuan Claim kepada Respondent.
Surat claim harus disampaikan sehelai salinannya kepada pihak
respondent.
c. Isi Statement of Defence.
Secara terinci jawaban yang berupa statement of defence hampir sama
dengan tanggapan yang diberikan dalam proses pemeriksaan sidang
pengadilan.
32
Frans Hendra Winatra, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan
Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 63
43
d. Pembentukan Mahkamah Arbitrase.
Pembentukan majelis arbitrase setelah tahap proses penyampaian
statement of defence oleh respondent.
e. Bahasa yang Digunakan.
Bahasa yang dipergunakan diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan
para pihak, sehingga dibolehkan mempergunakan bahasa manapun asal
berdasar kesepakatan para pihak.
f. Para Pihak dapat menunjuk Kuasa.
Karena proses pemeriksaan di depan Mahkamah Arbitrase tidak berbeda
dengan proses pemeriksaan pengadilan, bentuk dan cara pemberian kuasa
tunduk mengikuti ketentuan yang diterapkan dalam praktek pengadilan.
g. Pemeriksaan dengan Pintu Tertutup.
Asas pemeriksaan dilakukan secara “tertutup” dalam setiap tahap. Mulai
dari statement of claim, statement of defence, dokumen, saksi dan ahli
maupun oral hearing dengan para pihak. Begitu juga pemeriksaan
setempat dan pembacaan putusan dilakukan dengan pintu tertutup.33
E. Kewenangan Arbitrase.
Arbitrase bukan badan kekuasaan peradilan (Judicial Power) resmi
yang sengaja didirikan oleh kekuasaan negara berdasarkan konstitusi
ketatanegaraan dari negara yang bersangkutan. Atas dasar bahwa arbitrase
bukan badan peradilan resmi, menyebabkan sebutan populernya lazim
dikatakan ”juri pisah persengketaan”. Seolah-olah dalam menjalankan fungsi
33
M. Yahya Harahap, Arbitrase………. h. 132
44
dan kewenangannya memutuskan sengketa, bukan mengadili, tetapi lebih
mirip menyelesaikan perselisihan.34
Pada dasarnya terdapat 2 (dua) aliran tentang kewenangan arbitrase.
Pertama, aliran yang menyatakan bahwa klausula arbitrase bukan public order
atau bukan ketertiban umum (niet van openbaar order), klausula arbitrase
tidak mutlak menyingkirkan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan
mengadili perkara yang timbul dari perjanjian. Aliran ini memang mengakui
beralihnya kewenangan penyelesaian sengketa dari Pengadilan Negeri ke
arbitrase. Namun peralihan kewenangan tersebut tidaklah mutlak. Oleh karena
itu, meskipun perjanjian dibarengi dengan klausula arbitrase baik yang
berbentuk pactum de compromittendo atau akta kompromis, Pengadilan
Negeri tetap berwenang memeriksa dan mengadili sengketa yang terjadi dari
perjanjian.35
Aliran kedua menyatakan bahwa klausula arbitrase merupakan
pacta sunt servanda. Makna dari asas ini adalah setiap perjanjian yang sah
(legal agreement) mengikat kepada para pihak atau agreement or promise
must be kept, oleh karena itu para pihak harus menaatinya.
34
M. Yahya Harahap, Arbitrase………. h. 83
35 M. Yahya Harahap, Arbitrase………. h. 87
45
BAB III
PROFIL LEMBAGA LITIGASI DAN NON-LITIGASI
A. Profil Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
1. Sejarah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Keberadaan lembaga Peradilan Indonesia telah memakan usia yang
cukup tua. Sejak kompeni masuk di Indonesia hingga pemerintahan Hindia
Belanda, susunan pengadilan mengalami perubahan-perubahan. Hal ini
dilakukan untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pemerintah Hindia-
Belanda. Susunan pengadilan di Jawa dan Madura diatur oleh “Reglement op
de Rechterljike Organisatie 1848”, yang untuk mudahnya selanjutnya disebut
R.O., pada Pasal (1) disebutkan adanya 6 macam pengadilan, yaitu
Districtsgerecht, Regentschapsgerecht, Landraad, Rechtbank van Omgang,
Raad van Justitie, Hooggerechtshof. Selain keenam lembaga tersebut, masih
ada suatu bentuk lembaga peradilan lagi yang tidak disebutkan dalam Pasal 1
R.O., tetapi diatur juga dalam reglement itu, yaitu “Pengadilan Politierol”,
yang dilaksanakan oleh “residen” R.O., 1848 yang mengatur tentang lembaga
peradilan ini, sejak dikeluarkan telah mengalami beberapa perubahan.1
Perubahan-perubahan pun sering terjadi, namun sampai pada saat
pecahnya Perang Pasifik tahun 1941, pengadilan yang dibentuk berdasarkan
pada R.O. adalah:
1 Rusli Muhammad dalam Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 66
46
a. Pengadilan untuk Bangsa Indonesia.
b. Pengadilan untuk Bangsa Eropa.2
Lembaga peradilan kembali mengalami perubahan ketika Indonesia
diduduki oleh Jepang. Pengadilan-pengadilan Hindia-Belanda ditutup.
Perkara-perkara diselesaikan oleh “Pangrehraja”. Keadaan seperti ini
berlangsung hingga bulan Mei tahun 1942.3 Setelah adanya Undang-undang
No. 14 Tahun 1942 yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-
undang No. 34 Tahun 1942, yang mengatur lebih lanjut mengenai susunan
peradilan sipil. Pada saat pemerintahan Jepang, susunan badan peradilan
menjadi: Landraad menjadi Tihoo Hooin (Peradilan Negeri), Landgerecht
menjadi Keizai Hooin (Peradilan Kepolisian), Regentschapsgerecht menjadi
Ken Hooin (Peradilan Kabupaten), Districtsgerecht menjadi Gun Hooin
(Peradilan Kawedanan), Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), dan Saikoo Hooin
(Mahkamah Agung). 4
Setelah kemerdekaan, kedua pengadilan tersebut dilebur menjadi
Pengadilan Negeri. Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang No. 19 Tahun 1948,
dalam negara Republik Indonesia dikenal adanya 3 (tiga) lingkungan
peradilan, yaitu Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Tata
Usaha Pemerintahan, dan Lingkungan Peradilan Ketentaraan.
2 Rusli Muhammad dalam Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu …………. h. 67
3 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di
Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia,
(Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1983), h. 14
4 Soetandyo Wignjosoebroto dalam Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di
Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 69
47
Sebelum dilakukan beberapa kali amandemen, dan terakhir
amandemen keempat UUD 1945 menentukan: Susunan dan kekuasaan badan-
badan peradilan diatur dalam Pasal 25 ayat (2). Kemudian lahirlah berbagai
undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman.5 Salah satu
undang-undang tersebut adalah Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan lainnya. Berdasarkan undang-
undang tersebut, terdapat 4 (empat) lingkungan lembaga peradilan yang
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan
kehakiman tertinggi untuk semua lingkungan peradilan, yaitu, Lingkungan
Badan Peradilan Umum, Lingkungan Badan Peradilan Agama, Lingkungan
Badan Peradilan Militer, dan Lingkungan Badan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Dahulu Pengadilan di Jakarta hanya satu sebelum tahun 1969 yang
disebut “Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta” (yang sekarang kantornya
menjadi gedung Pengadilan Negeri Jakarta Barat). Dan tahun 1970 Pengadilan
Negeri Jakarta ada tiga yaitu:6 Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Pengadilan
Negerai Jakarta Barat dan Selatan, dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan
Utara.
5 Bagir Manan dalam dalam Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 81
6 http://pn-jakartapusat.go.id/ diakses pada Kamis, 10 Maret 2016
48
Pada tahun 1973 dibangun gedung Pengadilan Negeri Jakarta Barat
dan Selatan. Kemudian pada tahun 1978 dipecah menjadi lima Pengadilan
yaitu: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta Barat.,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara. 7
2. Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
7 http://pn-jakartapusat.go.id/ diakses pada Kamis, 10 Maret 2016
KETUA
Dr. Gusrizal, SH., M.Hum
WAKIL KETUA
Sumpeno, SH., MH
PARA HAKIM
WAKIL PANITERA
Wati Wiarti, SH., MH WAKIL
SEKRETARIS
PANITERA/SEKRETARIS
Edy Nasution, SH., MH
PANM
UD
PDT
Suyanto
,SH.,M
H
PANM
UD PID
Edy
Wiyono
PANM
UD
NIAGA
Revita
Lina
PANMU
D
TIPIKO
R
Roma
Sialagan
KABAG
UMUM
Dendry
Purnama
SH
KABAG
KEPEGA
WAIAN
KASUB
KEUA
NGAN
Rochae
ni
PANITERA
PENGGANTI
/ JURU SITA
KABA
G
HUKU
M
49
3. Letak Yuridiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan luas 48,17
Km2, dengan kondisi tipografi relatif datar dan secara administratif dibagi
menjadi 8 (delapan) kecamatan, 44 (empat puluh empat) kelurahan, 388 (tiga
ratus delapan puluh delapan) RW, dan 4784 (empat ribu tujuh ratus delapan
puluh empat) RT.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat masuk dalam wilayah hukum
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan daerah hukumnya meliputi wilayah
Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas wilayah kurang lebih 48.17 km2 yang
terdiri dari 8 kecamatan yakni Kecamatan Gambir, Kecamatan Sawah Besar,
Kecamatan Kemayoran, Kecamatan Senen, Kecamatan Cempaka Putih,
Kecamatan Menteng, Kecamatan Tanah Abang, dan Kecamatan Johar Baru.
4. Visi dan Misi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
a. Visi.
Menegakkan Hukum secara Maksimal, Adil, dan Bijaksana dengan
Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia, Efisien dan Transparan.
b. Misi.
50
1) Mengedepankan rasa keadilan kepada masyarakat dengan cepat
dan jujur.
2) Melaksanakan penerapan hukum yang mandiri, tidak memihak,
dan berkualitas.
3) Memperbaiki pelayanan peradilan pada masyarakat.
4) Mewujudkan institusi Pengadilan yang efisien, efektif, dan
bermartabat, serta berwibawa.
5) Mewujudkan Pengadilan yang bebas dari campur tangan dan
intervensi dari pihak lain.8
B. Profil Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
1. Tinjauan Umum BANI.
Meningkatnya perkembangan perdagangan, keuangan dan industri
akhir-akhir ini, baik nasional maupun internasional tentunya akan
menimbulkan kebutuhan akan penyelesaian sengketa perdagangan dengan
cepat dan murah serta juga dapat menjaga nama baik pihak yang bersengketa.
Berdasarkan hal tersebut banyak usahawan yang memilih menyelesaikan
sengketa perdagangannya kepada peradilan arbitrase, salah satunya adalah
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI didirikan sebagai lembaga
penyelesaian sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen.9
BANI didirikan di Indonesia atas prakarsa Prof. R. Subekti, mantan
Ketua Mahkamah Agung, Harjono Tjitrosubono, SH., Ketua Ikatan Advokat
8 Hasil riset penulis ke PN Jakarta Pusat pada hari jum’at 11 Maret 2016
9 Gatot P. Soemartono, Arbitrase dan Mediasi…………. h. 97
51
Indonesia dan A.J. Abubakar, SH. Pendirian BANI ini sendiri didukung penuh
oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia, yaitu oleh Marsekal (Purn)
Suwoto Sukendar (Ketua) dan Julius Tahya (Anggota Pengurus).10
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Anggaran Dasar BANI, BANI adalah
sebuah badan yang didirikan atas prakarsa KADIN Indonesia, yang bertujuan
untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa
perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan,
baik yang bersifat nasional maupun internasional. BANI merupakan lembaga
peradilan yang mempunyai status yang bebas, otonom dan juga independen,
artinya BANI tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan yang lain, selayaknya
lembaga peradilan yang independen.11
Salah satu hal yang dapat menunjukkan keindependenan BANI adalah
dengan metode pengangkatan kepengurusannya yang untuk pertama kali
diangkat oleh Ketua KADIN, dan selanjutnya berbentuk yayasan. Proses
pembentukan yayasan inilah yang dapat menunjukkan kemandirian dan
independensi BANI, sebagai lembaga yang bukan berada dibawah
kepentingan lembaga (KADIN).
Secara umum, BANI didirikan untuk tujuan berikut:
a. Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia
menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi
di berbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase
dan bentuk bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di
10
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternative……..… h. 223
11 Priyatna Abdurrasyid dan Bintan R. Saragih. Hukum Penyelesaian ……...h. 97
52
bdang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan, fabrikasi, hak
kekayaan intelektual, lisesnsi, franchise, konstruksi, pelayaran/ maritim,
lingkungan hidup, penginderaan jarak jauh, dan lain-lain dalam lingkup
peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
b. Menyelenggarakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa
lainnya, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat
yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau peraturan
prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.
c. Bertindak secara otonom dan independen di dalam penegakan hukum dan
keadilan.
d. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan
atau pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. 12
2. Kedudukan dan Fungsi BANI.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berkedudukan otonom
dan bebas. Kedudukan yang otonom dan bebas tersebut merupakan
konsekuensi dari fungsi BANI sebagai Peradilan Arbiter. BANI dalam
fungsinya sebagai lembaga peradilan mempunyai asas-asas yang sama dengan
lembaga peradilan yang dibentuk oleh Negara. BANI mempunyai kedudukan
yang otonom, bebas dan merdeka tidak dipengaruhi oleh siapapun. Asas
otonomi, kemerdekaan dan kebebasan adalah untuk menjamin bahwa BANI
12 http://www.bani.arb.org/bani.main.ind.html diunduh pada Kamis, 10 Maret 2016.
53
bersikap objektif, adil dan jujur, atas dasar hukum dan keyakinan yang bersih
dan murni.13
3. Kewenangan BANI.
Pasal 1 Anggaran Dasar BANI dirumuskan bahwa BANI diberi
wewenang oleh para pihak yang bersengketa untuk memeriksa dan mengadili
semua sengketa perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri,
keuangan dan lain-lain yang bersifat nasional maupun internasional. Sengketa
yang tidak dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase adalah sengketa
tentang perumahan, perburuhan/tenaga kerja. Ketentuan mengenai wewenang
lembaga arbitrase dalam anggaran dasar BANI tersebut sesuai dengan
pengertian yang berkembang di luar negeri, yang tercakup dalam kata-kata
“Commercial Arbitration”. Wewenang atau kompetensi arbitrase/ BANI
secara hukum terpisah dan sejajar dengan Pengadilan Negeri, artinya
keputusan arbitrase/BANI mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
keputusan Pengadilan Negeri.14
4. Dewan Penasehat dan Dewan Pengurus BANI.
a. Dewan Penasehat BANI.
Berdasarkan Peraturan dan Prosedur BANI, Dewan Penasehat
BANI antara lain:
a) Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmaja, SH., LL.M
b) Prof. Dr. I. H. PH. Diederiks-Verschoor
13
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternative……. h. 21
14 Cicut Sutiarso, Pelaksanaan putusan ………...…... h. 138
54
c) Prof. Dr. Karl-Heinz Bockstiegel
d) Prof. Dr. Colin Yee Cheng Ong
b. Dewan Pengurus BANI.
Dewan Pengurus BANI terdiri dari:15
Ketua : M. Husseyn Umar, S.H.,
Wakil Ketua : Prof. Huala Adolf, S.H., LL.M., Ph.D.,
Wakil Ketua : Harianto Sunidja
Sekretaris Jendral : N. Krisnawenda, M.Si., MH
5. Arbiter BANI.
Para Arbiter BANI telah dipilih dari antara mereka yang memiliki
keahlian dalam suatu atau beberapa bidang seperti bidang perbankan, asuransi,
konstruksi dan sebagainya, dan didukung oleh pengalaman yang cukup lama
serta mempunyai nama yang bersih dan integritas yang tinggi.16
Pada saat ini, BANI memiliki 68 (enam puluh delapan) arbiter
Indonesia (Indonesia arbitrators) dan 53 (lima puluh tiga) arbiter asing
(foreign arbitrators).17
15
http://www.baniarbitration.org diakses pada kamis, 10 maret 2016
16 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternative……. h. 21
17 http://www.baniarbitration.org diakses pada kamis, 10 maret 2016
55
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA
PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT DENGAN
LEMBAGA ARBITRASE BERDASARKAN PUTUSAN
PENGADILAN NOMOR 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst.
Kasus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dengan PT. Berkah Karya
Bersama, pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
sengketa bisnis yang terjadi telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Namun perkara yang sama ternyata juga diproses dan diselesaikan
menggunakan jalur arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, suatu perjanjian arbitrase
tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa
yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Bahkan Pengadilan
Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam
hal-hal tertentu yang telah ditetapkan dalam undang-undang arbitrase tersebut.
Sedangkan pada Pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBg. telah dijelaskan
bahwa setiap tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang
berkepentingan, sedang Hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak
yang diajukan kepadanya, konsekuensinya Hakim harus menerima semua
56
perkara, memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas. Sehingga pada kasus ini Majelis Hakim telah
menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa
dan mengadili perkara ini.
A. Duduknya Perkara.
Perkara Pengadilan Negeri No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst diajukan atas
gugatan Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, dkk yang menggugat PT. Berkah Karya
Bersama, dkk dengan gugatan melawan hukum.
Pada tanggal 17 Maret 2005, Para Penggugat (Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana, dkk dalam TPI mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar
biasa(RUPSLB). RUPSLB ini dihadiri /diwakili oleh seluruh pemegang
saham TPI dengan hak suara yang sah, yaitu sebanyak 411.700.000 (empat
ratus sebelas juta tujuh ratus ribu) saham yang merupakan seluruh saham yang
telah dikeluarkan oleh dan disetor penuh kepada TPI.1
Selain itu hasil RUPSLB tersebut juga memutuskan untuk
menghentikan dengan hormat seluruh anggota Direksi dan Dewan Komisaris
TPI terhitung sejak tanggal ditutupnya RUPSLB 17 Maret 2015, dan
mengangkat anggota Direksi dan Dewan Komisaris TPI yang baru dengan
susunan sebagai berikut:
Direksi
Direktur Utama: Dandy Nugroho Hendro Mariyanto Rukmana
Direktur: Mohamad Jarman, S.E.
1 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
57
Dewan Komisaris
Komisaris Utama: Danny Bimo Hendro Utomo
Hasil RUPSLB 17 Maret 2005 termasuk keputusan pemberhentian
anggota Direksi dan Dewan Komisaris TPI tertuang dalam Akta Pernyataan
Keputusan Rapat TPI No. 114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat dihadapan
Buntario Tigris Darmawa Ng, SH., SE., MH. Notaris di Jakarta dan telah
dilaporkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia pada
tanggal 17 Maret 2005 guna pencatatan perubahan susunan pengurus TPI.
Pada tanggal 18 Maret 2005, telah diadakan Rapat Umum Pemegang
Saham Luar Biasa TPI yang dihadiri oleh PT. Berkah Karya Bersama saja,
yang mengaku sebagai kuasa yang sah dari seluruh pemegang saham TPI dan
melakukan perbuatan hukum pengambilan keputusan dalam RUPSLB 18
Maret 2005 yang mengatas namakan keputusan seluruh pemegang saham
TPI.2
RUPSLB 18 Maret 2005 memutuskan 2 (dua) hal, yang pada intinya
adalah sebagai berikut:
a. Persetujuan tentang cara penyelesaian transaksi antara Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana secara pribadi (yang dalam RUPSLB tersebut diwakili oleh PT.
Berkah Karya Bersama) dengan PT. Berkah Karya Bersama itu sendiri.
Keputusan tersebut kemudian dituangkan dalam Akta Pernyataan
Keputusan Rapat No. 16 tanggal 18 Maret 2005 yang dibuat dihadapan
Notaris Bambang Wiweko, SH.,MH. Notaris di Jakarta.
2 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
58
b. Persetujuan perubahan pengurus TPI. Keputusan tersebut kemudian
dituangkan dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 17 tanggal 18
Maret 2005 yang dibuat oleh Bambang Wiweko, SH., MH. Notaris di
Jakarta.3
Menurut Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, dkk. TPI dalam RUPSLB 18
Maret 2005, telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Para
Penggugat yang merupakan pemegang saham TPI yang sah, hal mana ternyata
dari perbuatan hukum PT. Berkah Karya Bersama sebagai berikut:
a. Dalam RUPSLB 18 Maret 2005, PT. Berkah Karya Bersama hadir dan
mengaku sebagai kuasa yang sah dari seluruh pemegang saham TPI dan
mengambil keputusan mengenai tata cara dan pelaksanaan penyelesaian
tranksaksi antara Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya
Bersama sendiri. Padahal, PT. Berkah Karya Bersama tidak berwenang
untuk hadir dalam RUPSLB 18 Maret 2005 tersebut serta membuat
keputusan mengenai masalah penyelesaian transaksi Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana pribadi dengan PT. Berkah Karya Bersama dalam RUPSLB 18
Maret 2005 TPI. Karenanya, keputusan yang diambil dalam RUPSLB 18
Maret 2005 adalah jelas tidak sah dan cacat hukum sehingga tidak
mengikat para pemegang saham TPI, termasuk Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana, serta TPI karena didasari oleh perbuatan hukum PT. Berkah
Karya Bersama yang tidak patut.
3 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
59
b. PT. Berkah Karya Bersama telah mengambil tindakan yang
menguntungkan diri sendiri dan dengan sengaja melanggar hak dan
kepentingan orang lain, dalam hal ini hak dan kepentingan Ny. Siti
Hardiyanti Rukmana, melalui pengambilan keputusan secara melawan
hukum dalam RUPSLB 18 Maret 2005 di TPI mengenai penyelesaian
urusan/masalah tagihan PT. Berkah Karya Bersama kepada Ny. Siti
Hardiyanti Rukmana pribadi yang jelas-jelas merupakan permasalahan
yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan PT. TPI.4
Pemanggilan RUPSLB 18 Maret 2005 telah menyalahi ketentuan Pasal
20 ayat (2) Anggaran Dasar Pt. Cipta Televisi Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pemanggilan rapat harus dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal rapat, dan jangka waktu
pemanggilan rapat hanya dapat dipersingkat menjadi paling lambat 7 (tujuh)
hari sebelumnya dalam hal yang mendesak. Pada kenyataannya, pemanggilan
RUPSLB 18 Maret 2005 tidak dilakukan sesuai ketentuan Anggaran Dasar
TPI. Pemanggilan RUPSLB 18 Maret 2005 yang dilakukan dalam waktu 7
(tujuh) hari sebelum RUPSLB 18 Maret 2005, faktanya tidak menjelaskan
adanya suatu keadaan mendesak yang mengharuskan rapat segera diadakan.5
Undangan RUPS 18 Maret 2005 tidak ditujukan kepada Para
Penggugat selaku Para Pemegang Saham TPI secara langsung, melainkan
dialamatkan kepada PT. Berkah Karya Bersama yang dalam undangan
4 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
5 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
60
tersebut dicantumkan sebagai penerima kuasa Para Penggugat. Padahal Para
Penggugat tidak pernah memberikan kuasa khusus kepada PT. Berkah Karya
Bersama untuk mewakili Para Tergugat membicarakan dan membahas agenda
dalam undangan RUPSLB 18 Maret 2005 serta memutuskan hal-hal terkait
dengan agenda RUPSLB 18 Maret 2005.6
Tambahan pula, melalui surat tanggal 16 Maret 2005, Para Penggugat
telah mencabut Surat Kuasa (Power of Attorney) tertanggal 3 Juni 2003 yang
dipergunakan oleh PT. Berkah Karya Bersama untuk hadir dalam RUPSLB 18
Maret 2005 di TPI dengan mengatas-namakan dirinya sebagai wakil/kuasa
yang sah dari seluruh pemegang saham TPI, termasuk Para Penggugat, dan
melakukan pengambilan keputusan dalam RUPSLB 18 Maret 2005 di TPI
secara melawan hukum. RUPSLB 18 Maret 2005 diselenggarakan oleh
mantan Direksi TPI yang telah diberhentikan oleh RUPSLB 17 Maret 2005
terhitung sejak tanggal 17 Maret 2005. Perbuatan melawan hukum Tergugat-I
terus berlanjut, hal mana terungkap dari fakta hukum telah
diselenggarakannya RUPSLB TPI tanggal 19 Oktober 2005 dan tanggal 23
Desember 2005, karena pemanggilan kedua rapat tersebut dilakukan oleh
anggota Direksi TPI yaitu Turut Tergugat-III yang diangkat oleh RUPSLB 18
Maret 2005 yang jelas-jelas tidak sah dan cacat hukum.7
Seluruh hasil keputusan RUPSLB 17 Maret 2005 adalah Sah secara
hukum dan Patut Dicatat Pelaporannya, karena RUPSLB 17 Maret 2005 telah
6 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
7 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
61
memenuhi ketentuan Anggaran Dasar TPI. Namun demikian, pada
kenyataannya, pada saat Notaris Buntario Tigris darmawan Ng melaporkan
hasil keputusan RUPS Luar Biasa tersebut melalui online Sistem Administrasi
Badan Hukum (SISMINBAKUM) yang ada pada Kementerian Hukum dan
HAM RI, sistem tersebut tidak bekerja sebagaimana mestinya.8
Berdasarkan keterangan yang diberikan Notaris Buntario Tigris
Darmawan Ng, data perubahan anggaran dasar sebagaimana telah diputuskan
secara sah dalam RUPSLB 17 Maret 2005 yang akan dimasukkan ke dan
diproses pelaporannya melalui SISMINBAKUM Menteri Hukum dan HAM
RI tidak dapat dilakukan. Khusus untuk TPI, SISMINBAKUM menolak
adanya input seolah-olah ada perubahan Anggaran Dasar TPI yang sedang
diproses oleh Menteri Hukum dan HAM RI. Namun, faktanya setelah
dilakukan pengecekan sama sekali tidak ada perubahan Anggaran Dasar TPI
yang sedang di proses oleh Menteri Hukum dan HAM RI pada waktu itu.9
Mengatasi hal tersebut, pada hari itu juga, PT. Cipta Televisi
Pendidikan Indonesia mengajukan surat permohonan pencatatan perubahan
Anggaran Dasar TPI yang merupakan hasil keputusan RUPSLB 17 Maret
2005 secara manual kepada Menteri Hukum dan HAM RI, yaitu melalui surat
tanggal 17 Maret 2005 agar dicatatkan perubahan yang dilakukan. Namun atas
permohonan tersebut Para Penggugat tidak mendapatkan penjelasan secara
benar, tepat dan jelas menurut ketentuan hukum yang ada perihal pelaporan
8 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
9 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
62
PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia pada tanggal 17 Maret 2005 yang
gagal/tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, Para
Penggugat merasa hak hukumnya untuk mendapatkan keadilan telah
terabaikan, sehingga patut diduga terjadi ‘permainan’ dalam SISMINBAKUM
pada saat itu.10
Sehubungan dengan adanya indikasi permainan dalam
SISMINBAKUM Menteri Hukum dan HAM RI, Ny. Siti Hardiyanti Rukmana
melalui surat tanggal 18 Maret 2005 kepada Menteri Hukum dan HAM RI
telah mengajukan Permohonan Pemberhentian Sementara Persetujuan Menteri
Hukum dan HAM RI atas akta-akta Anggaran Dasar TPI karena adanya
ketidak-sesuaian dan permasalahan antara para pemegang saham dan pengurus
TPI yang belum terselesaikan. Pada kenyataannya yang terjadi adalah
sebaliknya, RUPSLB 18 Maret 2005 TPI yang jelas-jelas tidak sah dan cacat
hukum dicatatkan perubahannya oleh Menteri Hukum dan HAM RI.11
Dari gugatan Para Penggugat dan jawaban Para Tergugat Majelis
Hakim menyimpulkan esensi dari permasalahan yaitu:
1. Apakah RUPSLB Turut Tergugat-I pada tanggal 17 Maret 2005 yang
dilaksanakan oleh Para Penggugat telah sesuai dengan aturan yang
berlaku;
10
Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
11 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
63
2. Apakah RUPSLB Turut Tergugat-I yang dilaksanakan Tergugat-I pada
tanggal 18 Maret 2005, berikut surat kuasa tanggal 3 Juni 2002 dan RUPS-
RUPS lanjutan telah sesuai dengan aturan yang berlaku;
3. Apakah pelaporan hasil RUPSLB tanggal 17 Maret 2005 melalui Sistem
Administrasi Badan Hukum pada Turut Tergugat-VI telah sesuai dengan
prosedur yang berlaku.12
Menurut majelis penyelenggaraan RUPSLB tanggal 17 Maret 2005
yang dilaksanakan oleh Para Penggugat telah memenuhi ketentuan Anggaran
Dasar Turut Tergugat-I dan ketentuan dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas dan dengan demikian, menurut hemat majelis
penyelenggaraan RUPSLB tanggal 17 Maret 2005 tersebut telah sah menurut
hukum. Karena RUPSLB tanggal 17 Maret 2005 sah, maka menurut anggaran
dasar Turut Tergugat-I, RUPSLB sah berwenang untuk mengambil keputusan-
keputusan yang sah dan mengikat tentang hal-hal yang dibicarakan dalam
rapat tersebut.13
Dari berbagai pertimbangan majelis berkesimpulan bahwa pelaksanaan
RUPSLB PT. CTPI tanggal 18 Maret 2005 yang dilaksanakan oleh Tergugat-I
tidak memenuhi prosedur sebagaimana diamanatkan Undang-undang No. 1
Tahun 1995 dan Anggaran Dasar PT. CTPI dengan pertimbangan sebagai
berikut:
12
Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
13 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
64
- Bahwa prosedur pemanggilan terhadap pemegang saham in casu para
penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 69 Undang-undang No. 1
Tahun 1995 dan ketentuan Pasal 20 Anggaran Dasar PT. CTPI No. 94
Tahun 1997;
- Bahwa panggilan rapat yang hanya ditujukan kepada Tergugat-I sebagai
kuasa dari Para Penggugat adalah tidak sah, karena surat kuasa yang
dibuat pada tanggal 3 Juni 2003 telah dicabut dan pencabutan surat kuasa
mutlak tersebut adalah sah menurut hukum;14
Dengan demikian pelaksanaan RUPSLB Turut Tergugat-I yang
dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 2005 menurut Majelis adalah tidak sah
secara hukum. Karena RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 telah dinyatakan tidak
sah secara hukum, maka pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa (RUPSLB) tanggal 19 Oktober 2005 dan RUPSLB pada tanggal 23
Desember 2005 sudah sepatutnya dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum tetap. Perbuatan penutupan akses atau pemblokiran hasil
RUPSLB Turut Tergugat-I yang dilakukan para tergugat adalah merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dan kewajiban para
tergugat karena tidak berdasarkan perintah yang berwenang yaitu Dirjen
Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia. Dengan demikian menurut hemat majelis hakim
perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan melawan hukum. 15
14
Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
15 Putusan Pengadilan No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
65
B. Sengketa Kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
Lembaga Arbitrase terhadap Penanganan Sengketa Bisnis pada Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst.
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst antara
Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, dkk dan PT. Berkah Karya Bersama mengenai
sengketa bisnis telah diproses dan diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Namun perkara yang sama ternyata juga diselesaikan menggunakan
jalur arbitrase di BANI.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 10/
Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst, dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menolak eksepsi Para Tergugat untuk seluruhnya, dalam pokok perkara
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan para pihak sebagian,
dan Para Tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam eksepsi kompetensi absolut Tergugat-I, Turut Tergugat-I dan
Turut Tergugat-III, pada intinya menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta
pusat tidak memiliki kompetensi absolut karena perkara a quo merupakan
sengketa pelaksanaan Investment Agreement yang mengandung klausula
arbitrase yang tegas. Eksepsi kompetensi absolut ini telah ditolak oleh Majelis
Hakim dengan menjatuhkan Putusan Sela No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst
Berdasarkan keputusan ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara ini sesuai dengan Putusan Sela yang telah diberikan oleh Majelis
Hakim. Berdasarkan pertimbangan hukum majelis hakim, Pengadilan Negeri
66
Jakarta Pusat berwenang untuk mengadili perkara ini karena perkara yang
digugat merupakan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan Undang-undang
kekuasaan kehakiman, sudah menjadi wewenang Pengadilan Umum untuk
mengadili perkara perbuatan melawan hukum tersebut.
Disisi lain, BANI yang merupakan lembaga arbitrase yang telah
memeriksa dan memutus perkara permohonan arbitrase yang diajukan oleh
PT. Berkah Karya Bersama telah menjatuhkan putusan No. 547/XI/Arb-
BANI/2013 pada tanggal 12 Desember 2014 yang memenangkan PT. Berkah
Karya Bersama.
Berdasarkan keterangan BANI terkait wewenang BANI dalam
menyelesaikan sengketa ini yang penulis kutip dari Putusan Permohonan
Pembatalan Putusan Arbitrase sebagai keberatan atas Putusan Arbitrase No.
547/XI/Arb-BANI/2013. Menurut BANI, secara hukum BANI adalah satu-
satunya lembaga/forum yang berwenang untuk memeriksa dan memutus
sengketa yang timbul antara para pihak, karena sesuai dengan Investment
Agreement yang telah disepakati oleh para pihak.
Investment Agreement sebagai bentuk perjanjian, secara ipso jure
melekat konsekuensi yuridis Pasal 1338 (1) KUHPerdata, dimana para pihak
yang mengikatkan diri harus meletakkannya sebagai, atau setara dengan
undang-undang (shall be apply as the law). Dengan kata lain, Investment
Agreement tersebut menjadi acuan sumber hukum yang harus dilaksanakan
pemenuhannya (nakoming der verbintenis; promise must be kept & comply)
dengan itikad baik (good faith) dan penuh tanggung jawab. Sehingga dalam
67
perkara a quo, keseluruhan isi klausul yang telah disepakati dalam Investment
Agreement, merupakan dokumen hukum utama (main legal document) yang
berlaku sebagai landasan kepastian hukum (legal certainty) bagi para pihak.
Investment Agreement tersebut juga telah memenuhi unsur-unsur
kesepakatan arbitrase yang diatur dalam Pasal 1 Peraturan Prosedural BANI,
yang intinya ialah apabila para pihak dalam suatu perjanjian tertulis sepakat
untuk membawa sengketa mereka terkait perjanjian atau transaksi bisnis ke
hadapan BANI atau menggunakan Peraturan Proseduran BANI, maka
sengketa tersebut diselesaikan oleh BANI berdasarkan peraturan tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Investment Agreement penyelesaian
sengketa yang ada akan diselesaikan melalui jalur arbitrase pada Badan
Arbitrase Nasional Indonesia). Dengan ini BANI memiliki kompetensi untuk
memeriksa dan memutus sengketa bisnis antara Ny. Siti Hardiyanti Rukmana,
dkk dan PT. Berkah Karya Bersama.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kewenangan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam Menyelesaikan Sengketa Bsinis berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili sengketa bisnis
antara Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dengan PT. Berkah Karya Bersama
didasarkan oleh beberapa faktor, yakni:
1. Faktor perkara yang digugat adalah Perkara Perbuatan Melawan Hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Peradilan
68
Umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam kasus sengketa bisnis ini sudah jelas bahwa sengketa ini merupakan
perkara perdata yang merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata tersebut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki wewenang dalam hal
menerima, memeriksa dan mengadili perkara perdata seperti perbuatan
melawan hukum, wanprestasi dan lainnya. Pada kasus Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama ini, hal yang menjadi pokok
sengketa adalah PT. Berkah Karya Bersama, dkk telah melakukan
perbuatan melawan hukum karena melaksanakan RUPSLB tanggal 18
Maret 2005 yang tidak memenuhi prosedur sebagaimana diamanatkan
Undang-undang No. 1 tahun 1995 dan Anggaran Dasar PT. CTPI dengan
pertimbangan majelis hakim sebagai berikut:
- Bahwa prosedur pemanggilan terhadap pemegang saham in casu para
penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 69 Undang-undang No. 1
Tahun 1995 dan ketentuan Pasal 20 Anggaran Dasar PT. CTPI No. 94
Tahun 1997;
- Bahwa panggilan rapat yang hanya ditujukan kepada Tergugat-I
sebagai kuasa dari Para Penggugat adalah tidak sah, karena surat kuasa
yang dibuat pada tanggal 3 Juni 2003 telah dicabut dan pencabutan
surat kuasa mutlak tersebut adalah sah menurut hukum;
69
Perbuatan tersebut di kategorikan sebagai perbuatan melawan
hukum adalah karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
melanggar hak subjektif orang lain, perbuatan tersebut melanggar
kewajiban hukum si pelaku, dan perbuatan tersebut melanggar asas
kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati dalam masyarakat. Dalam Pasal
1365 KUHPerdata, yang merupakan syarat dipenuhi dalam hal perbuatan
melawan hukum yaitu:
a. Adanya tindakan yang melawan hukum;
b. Ada kesalahan pada pihak yang melakukan;
c. Adanya kerugian yang diderita.
Dengan demikian sudah jelaslah bahwa pada kasus ini Para
Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan merupakan
wewenang dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa dan
mengadili perkara ini. Maka Faktor inilah yang mempengaruhi wewenang
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyelesaikan sengketa bisnis
berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst.
2. Faktor Pengadilan dilarang menolak perkara yang diajukan.
Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian,
Majelis Hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh Para
70
Penggugat meskipun dengan dalih bahwa hukum yang mengatur tidak
ada ataupun kurang jelas.
Amanat Pasal 10 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman ini sejalan dengan adagium Ius Curia Novit yang
artinya bahwa para Hakim dianggap tahu hukum. Sehingga tidak ada
alasan lagi bagi majelis hakim untuk menolak perkara, karena hakim
dianggap memahami penyelesaian hukum atas perkara yang diajukan
kepadanya (de rechtbank kent het recht). Atas dasar inilah, Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat wajib menerima, memeriksa dan mengadili perkara
sengketa bisnis yang terjadi antara Ny. Siti Hardiyanti Rukman, dkk dan
PT. Berkah Karya Bersama.
Jadi, karena perkara yang digugat adalah Perkara Perbuatan Melawan
Hukum dan Pengadilan dilarang menolak perkara yang diajukan maka faktor
inilah yang mempengaruhi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dalam menyelesaikan sengketa bisnis antara Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan
PT. Berkah Karya Bersama.
D. Analisis Penulis.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara ini,
demikian juga dengan BANI. Dua lembaga yang menyelesaikan perkara ini
sama-sama merasa berwenang untuk menyelesaikan perkara ini, namun
keputusan yang dikeluarkan berbeda. Hal ini tentunya menyebabkan
ketidakpastian hukum.
71
Menurut penulis, Pengadilan Negeri Jakarta Pusatlah yang berwenang
menyelesaikan sengketa bisnis antara Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan PT.
Berkah Karya Bersama. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk
menerima, memeriksa dan memutus perkara yang termasuk dalam lingkup
perbuatan melawan hukum yang berada diluar isi kesepakatan Investment
Agreement, hal ini dikarenakan Ny. Siti Hardiyanti Rukmana menggugat PT.
Berkah Karya Bersama karena telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Yakni mengenai hasil RUPSLB tanggal 17 Maret 2005 yang tidak bisa
didaftarkan pada Depkumham karena akses SISMINBAKUM telah diblokir
atas kemauan PT. Berkah Karya Bersama. Sedangkan pada tanggal 18 Maret
2005 PT. Berkah Karya Bersama melaksanakan RUPSLB yang tidak sah
secara hukum, namun akses SISMINBAKUM dibuka dan hasil RUPSLB
tersebut terdaftar kepada Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst dan juga Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 826
K/2013 yang dikuatkan oleh Putusan PK MA No. 238 PK/2013 menyatakan
sah dan sesuai dengan hukum keputusan RUPS PT.CTPI tanggal 17 Maret
2005 tertuang dalam Akta No. 114 tanggal 17 Maret 2005 serta membatalkan
dan menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum atas berikut segala
perikatan yang timbul dan juga segala akibat hukum dari keputusan RUPSLB
tanggal 18 Maret 2005 dan akta No. 16 tanggal 18 Maret 2005 dan akta No.
17 tanggal 18 Maret 2005.
72
Adanya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibacakan oleh
Majelis Hakim pada tanggal 14 April 2011 yang memutuskan RUPSLB
tanggal 18 Maret 2005 dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan sehingga
seharusnya BANI tidak menerima perkara yang dimohonkan oleh PT. Berkah
Karya Bersama pada tanggal 19 November 2013, bahkan BANI tidak
seharusnya mengadili perkara sengketa bisnis tersebut karena berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PT. Berkah Karya Bersama tidak
mempunyai kapasitas mewakili pengurus PT. CTPI dan meminta penyelesaian
sengketa Investment Agreement kepada BANI.
Dengan demikian, menurut penulis mengenai kepastian hukum
sengketa kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Lembaga Arbitrase
terhadap penanganan kasus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah
Karya Bersama ini sudah jelas bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
berwenang mengadili sengketa bisnis tersebut.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan mengenai sengketa kewenangan Pengadilan
dengan Lembaga Arbitrase terhadap penanganan kasus Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama pada Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst., maka penulis dapat
menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sengketa kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Lembaga
Arbitrase yakni karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang
menerima, memeriksa dan mengadili Perkara ini karena perkara yang
digugat oleh Ny. Siti Hardiyanti Rukmana adalah perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh PT. Berkah Karya Bersama beserta Tergugat-
II dan Para Turut Tergugat lainnya diluar perjanjian yang mengandung
klausula arbitrase. Yang dimana menurut ketentuan Pasal 25 Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, perkara
perbuatan melawan hukum merupakan wewenang Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk mengadilinya. Sedangkan BANI merupakan lembaga
arbitrase yang telah memeriksa dan memutus perkara permohonan
arbitrase yang diajukan oleh PT. Berkah Karya Bersama telah
menjatuhkan putusan No. 547/XI/Arb-BANI/2013 juga berwenang
memutus perkara ini karena BANI adalah lembaga/forum yang berwenang
74
untuk memeriksa dan memutus sengketa yang timbul antara para pihak,
karena sesuai dengan Investment Agreement yang telah disepakati oleh
para pihak.
2. Pengadilan Negeri Jakarta Pusatlah yang berwenang menerima,
memeriksa dan mengadili sengketa bisnis antara Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama karena berdasarkan 2 (dua)
faktor, yakni faktor perkara yang digugat adalah perkara perbuatan
melawan hukum diluar Investment Agreement, dan faktor pengadilan
dilarang menolak perkara yang diajukan. Majelis hakim pada putusan
No.10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst yang dibacakan Majelis Hakim tanggal 14
April 2011 memutuskan RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 dinyatakan tidak
sah dan harus dibatalkan sehingga seharusnya BANI tidak menerima
perkara yang dimohonkan oleh PT. Berkah Karya Bersama pada tanggal
19 November 2013, bahkan BANI tidak seharusnya mengadili perkara
sengketa bisnis tersebut karena berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, PT. Berkah Karya Bersama tidak mempunyai kapasitas
mewakili pengurus PT. CTPI dan meminta penyelesaian sengketa
Investment Agreement kepada BANI. Dengan ini sudah jelaslah kepastian
hukum dari sengketa kewenangan Pengadilan dengan lembaga Arbitrase
terhadap penanganan kasus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah
Karya Bersama.
75
B. Saran.
Atas beberapa hal yang penulis tulis dalam skripsi ini, maka
penulis menyampaikan saran yang berkaitan dengan masalah sengketa
kewenangan Pengadilan dengan lembaga Arbitrase terhadap penanganan
kasus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama ini,
yakni penyelesaian sengketa kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dan Lembaga Arbitrase terhadap penanganan kasus Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana dan PT. Berkah Karya Bersama ini perlu dipublikasi melalui
koran ataupun media elektronik.
76
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Suatu Pengantar). Fikahati Aneska: Jakarta.
___________ dan Bintan R. Saragih. 2013. Hukum Penyelesaian Sengketa;
Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional. Sinar Grafika: Jakarta.
Affandi, Wahyu. 1981. Hakim dan Penegakan Hukum. Alumni: Bandung.
Alrasid, Harun. 2004. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR.
UI Pres: Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Rajawali Pers:
Jakarta.
Fuady, Munir. 2003. Arbitrase Nasional, Alternative Penyelesaian Sengketa
Bisnis. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Hendra Winatra, Frans. 2013. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
dan Internasional. Sinar Grafika: Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa. Citra Aditya Bhakti: Bandung.
___________. 2006. Arbitrase. Sinar Grafika : Jakarta.
Ibrahim, Johnny. 2008. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif.
Bayumedia Publishing : Malang.
Mahmud Marzuki, Peter. 2013. Penilitian Hukum, cet. VIII. Kencana Prenada
Media Group : Jakarta.
Margono, Suyud. 2004. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase;
Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Ghalia Indonesia: Bogor.
____________. 2010. Alternative Dispute Resolution (Teknik dan Strategi dalam
Negosiasi, Mediasi dan Arbitrase). Ghalia Indonesia: Jakarta.
MD, Mahfud. 1993. Badan dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. UII Pres:
Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno. 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di
Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa
Indonesia. Penerbit Liberty: Yogyakarta.
77
___________. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty: Yogyakarta.
___________ 1999. Mengenal Hukum; Suatu Pengantar. Penerbit Liberty:
Yogyakarta.
Mu’adi, Sholih. 2010. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan
dengan Cara Litigasi dan Non Litigasi. Prestasi Pustakaraya: Jakarta.
Mujahidin, Ahmad. 2007. Peradilan Satu Atap di Indonesia. Refika Aditama:
Bandung.
Poerwosutjipto, HMN. 1995. Pengertian Pokok Hukum Dagang; Pengetahuan
Dasar Hukum Dagang. Djambatan: Jakarta.
Rezki Sri Astarini, Dwi. 2013. Mediasi Pengadila; Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan. PT.
Alumni: Bandung.
Rimdan, 2012. Kekuasaan Kehakiman : Pasca-Amandemen Konstitusi. Kencana
Prenada Media Grup: Jakarta.
Seno Adji, Oemar. 1985. Peradilan Bebas Negara Hukum. Cet. Ke-2. Erlangga:
Jakarta.
Soemartono, Gatot. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. PT. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Sokanto, Soejono. 1992. Pengantar Penelitian Hukum. Pustaka Pelajar : Jakarta.
Subekti. 1981. Arbitrase Perdagangan. Binacipta: Bandung.
Sudiarto, 2013. Negosiasi, Mediasi dan Arbitrase, Penyelesaian Sengketa
Alternatif di Indonesia. Pustaka Reka Cipta: Bandung.
Sutiarso, Cicut. 2011. Pelaksanaan putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia : Jakarta.
Syahrani, Ridwan. Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum.
Pustaka Kartini: Jakarta.
Wantjik Saleh, K. 1976. Kehakiman dan Peradilan. Simbur Cahaya: Jakarta.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2001. Seri Hukum Bisnis: Hukum Arbitrase.
PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta.
Witanto, D.Y. 2011. Hukum Acara Mediasi (Dalam Perkara Perdata di
Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama menurut PERMA No.
1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Alfabeta:
Bandung.
78
Yasin, Nazarkhan. 2008. Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa
Konstruksi. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Perundang-undangan
Burgerlijk Wetboek
HIR dan Rbg
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peraturan dan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Kamus
Kamus Hukum. 1977. Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia-Inggris, Aneka
Ilmu, Medio: Jakarta.
Putusan Pengadilan Negeri
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 10/Pdt.G/2010/PN.JKT.Pst
Sumber Internet
http://pn-jakartapusat.go.id/ dilihat pada tanggal 10 Maret 2016
http://www.bani.arb.org/bani.main.ind.html dilihat pada tanggal 10 Maret 2016
http://sudiknoartikel.blogspot.com., dilihat pada tanggal 10 Maret 2016
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103