analisis penggunaan lift dalam sudut pandang dimensi sosial dan teknologi herbert marcuse
DESCRIPTION
Teknologi lift sudah seringkali digunakan manusia untuk meringankan pekerjaan. hal ini dianalisis secara sosiologis dengan menggunakan konsep Herbert MarcuseTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hari-hari aktif dalam sebuah lingkungan akademis, kehidupan
kampus adalah kehidupan yang sibuk. Setiap harinya banyak orang-orang yang
keluar-masuk berlalu-lalang membawa kepentingannya masing-masing. Hal ini
tidak terkecuali dalam ruang lingkup Fakultas seperti Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya. Kesibukan itu terlihat salah satunya
dari menumpuknya antrean di depan lift lantai dasar.
Lift atau elevator adalah salah satu fasilitas yang disediakan oleh FISIP
untuk memudahkan mobilitas perkuliahan khususnya dalam kepentingan aktivitas
akademis. Baik itu pejabat fakultas, dosen, karyawan atau mahasiswa, sama-sama
menggunakan fasilitas lift ini. Lift sendiri menurut SNI 05-2189-19991, adalah
pesawat pengangkat atau pengangkut manusia yang digerakkan dengan tenaga
listrik baik melalui transmisi tarikan langsung (tanpa atau dengan roda gigi)
maupun transmisi sistem hidrolik dengan gerakan vertikal.
Sebagian mahasiswa lebih memilih mengantre lift dibanding menaiki
tangga karena fasilitas lift dianggap sebagai salah satu alat untuk menghemat
tenaga dan waktu tempuh. Hal ini hampir sama dengan prinsip awal munculnya
teknologi yang bertujuan untuk memudahkan aktivitas manusia, begitu juga
dengan kemunculan lift khusus penumpang yang pertama kali dipasang oleh Otis
di New York pada tahun 1857.2
Namun jika dilihat dari sudut pandang teori kritis khusunya pendangan
Marcuse tentang teknologi, penulis melihat adanya sebuah dominasi teknologi
dalam penggunaan fasilitas lift di gedung FISIP. Oleh sebab itu penulis
melakukan pengamatan sederhana terhadap menumpuknya antrean penumpang
lift di gedung FISIP untuk menganalisisnya dengan logika berpikir Herbert
Marcuse. Karena penulis beranggapan bahwa logika berpikir Marcuse dapat
melihat sisi lain atau sisi irasionalitas dari penggunaan fasilitas lift yang oleh 1 Yuriadi Kusuma. “Basics Theory of Elevator”, hal. 12 Ibid
sebagian mahasiswa penggunaan fasilitas lift ini dianggap sebagai tindakan yang
rasional. Fenomena ini akan menjadi bahan kajian empiris kelompok penyusun
untuk diamati menurut perspektif Marcuse tentang bagaimana kepentingan
beberapa pihak mampu menguasai logika berpikir masyarakat sehingga manusia
mulai kehilangan dimensi kritisnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis fenomena antrean penumpang lift di gedung FISIP
dalam telaah Marcuse?
1.3 Tujuan
1. Untuk menganalisis fenomena antrean penumpang lift di gedung FISIP
dalam telaah Marcuse.
1.4 Manfaat
1. Teoritis, untuk mengembangkan teori tentang dominasi teknologi Marcuse
dengan studi kasus antrean penumpang lift di gedung FISIP.
2. Praktis, untuk mengetahui dampak-dampak dominasi teknologi.
3. Metodologis, untuk memperkaya pengetahuan tentang metode
penulisan/penelitian mengenai dominasi teknologi Marcuse dengan studi
kasus antrean penumpang lift di gedung FISIP.
BAB II
PEMBAHASAN
“Kebutuhan merupakan ibu dari segala penemuan”3
(Herbert Marcuse)
2.1 Dominasi Di Balik Rasionalitas
Manusia modern adalah manusia yang menyebut dirinya menggunakan
rasio untuk menjelaskan fenomena alam. Bukan seperti masyarakat tradisional
yang menggunakan mitos dan kepercayaan untuk menjelaskan fenomena alam
tersebut. Namun lambat laun, rasio itu seakan menjadi alat legitimasi
pengetahuan yang pada akhirnya akan mampu menimbulkan mitos baru bagi
manusia modern itu sendiri. Segala yang bernuansa pengetahuan dan
rasionalitas akan langsung dapat diterima oleh pikiran mereka tanpa adanya
keraguan, seakan mereka benar-benar percaya akan kebenaran yang mutlak
dari pengetahuan tersebut karena tentunya telah teruji secara empiris.
Tradisional mitos, kepercayaan
Fenomena Alam
Modern rasio
Alat legitimasi pengetahuan
(akhirnya rasio menjadi mitos itu sendiri)
Teknologi, secara common sense, ditemukan dan dirancang untuk
meringankan pekerjaan manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Weber, bahwa
manusia modern mempunyai standar logika yakni segala hal harus bersifat
mekanisasi, efisiensi, dan efektivitas. Logika orang modern tersebut dapat
3 Valentinus Saeng. 2012. Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: Gramedia, hal. 200
terjawab oleh adanya teknologi yang membantu mereka untuk mencapai logika
berpikir mereka itu. Namun, di balik pencapaian itu, secara tidak sadar justru
teknologi mampu mendominasi kehidupan mereka.
Era teknologi merupakan suatu keharusan sejarah dan mengungkapkan
buah karya dari perkembangan dan perwujudan daya nalar… Di mana pun dan
sampai kapan pun, manusia senantiasa memerlukan sarana dan prasarana yang
dapat mempermudah dan mendukungnya, guna memenuhi semua kebutuhan
hidup4, fasilitas lift adalah salah satunya. Seperti yang dikatakan Palupi
Anggraheni (Mahasiswa FISIP jurusan Hubungan Internasional 2009):
“Dulu waktu pertama kali gedung FISIP ini ditempati, lift ini belum berfungsi dan bagi yang angkatan 2010 ke bawah pasti juga merasakan jika waktu itu kuliah di lantai 6 harus naik lewat tangga. Ini sangat menyusahkan bagi mahasiswa karena saya kuliah di sini bayar dan kenapa FISIP tidak menyediakan lift atau kalau pada saat itu kenapa gedung ini mesti ditempati padahal lift-nya belum berfungsi dan kenapa harus kuliah di lantai yang tinggi-tinggi. Tapi kalau sekarang sih agak sedikit lega karena lift sudah bisa berfungsi dan bisa digunakan mahasiswa. Jadi kenangan pahit waktu itu bisa sedikit hilang. Intinya kalau mas tanya apa fungsinya lift bagi saya ya jelas untuk mempermudah kalau kuliah di lantai yang tinggi-tinggi.”
Sebagian besar mahasiswa akan berpikir sama seperti apa yang
dikatakan oleh Palupi, tidak terkecuali dengan Intan (Mahasiswa FISIP Jurusan
Sosiologi 2010) yang mengatakan, “Sudah ada lift ngapain masih harus naik
tangga. Menunggu lift itu tidak seberapa lama dibanding capai-capai naik
tangga, itu kan lebih lama.”
Alasan-alasan tersebut memang terdengar sangat rasional. Inilah sebuah
tujuan yang terkandung dalam keandalan peradaban industri maju, yakni
“tujuan” dari rasionalitas teknoligi5;..individu akan dibebaskan dari dunia kerja
yang membebaninya6. Menurut Sudarminta7 yang dimaksud rasionalitas 4 Ibid., 199-2005Herbert Marcuse. 2000. Manusia Satu-Dimensi, terj. SIlvester G.S., Yusup P. Yogyakarta: Bentang, hal. 46 Ibid., 37 Sudarminta. 1982. “Kritik Marcuse Terhadap Masyarakat Industri Modern”, hal. 130
teknologi dalam tulisan Marcuse adalah pola atau dasar teknik yang
menekankan efisiensi, produktivitas, kelancaran, kepastian matematis dan
perhitungan untung rugi.
Alasan-alasan yang sangat rasional tersebut dilihat Marcuse sebagai
sebuah kontrol baru atas manusia oleh teknologi yang sesungguhnya hal
tersebut berada di bawah dominasi kuasa. Dominasi dalam masyarakat telah
terulas sedemikian rupa, sehingga tidak lagi dirasakan dan disadari sebagai
suatu yang tidak wajar.8 Perkembangan teknologi merubah pola penjajahan,
penindasan dan perbudakan menjadi lebih halus, rasional, dingin dan tanpa
wajah tetapi mujarab.9
Meskipun kebebasan menjadi semacam kata kunci dalam
perkembangan masyarakat industri maju, ternayata menurut Marcuse, ketika
mahasiswa lebih memilih mengantre lift daripada menaiki tangga, secara tidak
sadar mereka telah kehilangan kebebasaannya…karena ada semacam dominasi
oleh suatu kontrol dari teknologi.10 Palupi mengatakan fungsi lift bagi dirinya
adalah mempermudah jika ada kuliah di lantai atas. Tetapi jika ditelaah, Palupi
atau mahasiswa secara umumnya sesungguhnya tidak merasakan kemudahan
itu karena mereka harus menunggu giliran dan menunggu jadwal lift. Hal ini
membuktikan bahwa sistem teknologi telah mengganti aturan-aturan, undang-
undang, norma-norma atau perintah yang sebelumnya memegang fungsi
kontrol tersebut.11 Manusia menjadi tunduk terhadap teknologi.
2.2 Efisiensi: Otomatisasi dan Mekanisasi
Pada era masyarakat teknologis, efisiensi, seperti otomatisasi dan
mekanisasi menjadi ciri khas dunia pemesinan maupun hidup sosial. Efisiensi
telah dibawa dan dialihkan ke dalam cara berpikir dan gaya hidup, pola
8 Sudarminta, Loc.Cit., 1249 Valentinus Saeng, Op.Cit., 24210 Prosky. “Marcuse, Dominasi Teknologi Atas Masyarakat Modern,” hal. 3511 Prosky, Loc.Cit., 37
hubungan antar individu dan sosial serta interaksi individu dengan masyarakat.
Dalam pandangan Marcuse, keberadaan efisiensi selalu terjalin erat dengan
berbagai tujuan.12 Salah satunya peran efisiensi yang berada dalam kerangka
penindasan, pengintrolan dan penguasaan.13
Perlu diperhatikan bahwa teknologi senantiasa berorientasi pada
kegunaan seperti lift. Pertama, teknologi direkayasa dan dimanfaatkan sebagai
sarana pemenuhan kebutuhan, meringankan kerja, dan membuat individu
merasa aman dan tentram. Hal ini terlihat dari pernyataan Palupi dan Intan
yang merasa fasilitias lift memberikan kemudahan ketika kuliah di lantai atas.
Kedua, teknologi telah disimpangkan dari tujuan awal sebagai sarana
pembebasan dari kemelaratan dan kesulitan menjadi dialihfungsikan sebagai
alat penguasaan, perbudakan dan pengisapan terhadap manusia dan alam.14
Palupi dan Intan serta mahasiswa secara umumnya tidak menyadari bahwa diri
mereka menjadi budak-budak teknologi yang dalam hal ini adalah lift.
Kerelaan mereka untuk menunggu lift adalah salah satu buktinya. Mengingat
manusia hadir lebih dulu daripada teknologi, namun dalam kasus ini manusia
tidak berdaya oleh aturan teknologi itu sendiri. Seperti yang diungkapkan
Prosky:15
“Teknologi canggih kemudian sudah otonom, mengontrol dirinya sendiri. Kenyataan bahwa hanya menekan satu tombol rangkaian suatu sistem dapat beroprasi sendiri menggambarkan arus otomatis itu. Kecanggihan teknologi yang kemudian berkembang justru berbalik menuntut manusia untuk mempelajari cara kerja teknologi canggih itu yang terulang dalam bentuk perintah-perintah teknis. Akibatnya manusia berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi cara kerja mesin yang canggih.”
Kekuatan Teknologi yang membebaskan – instrumentalisasi segala
sesuatu – berubah menjadi sebuah belenggu kebabasan; instrumentalisasi umat
manusia.16 Manusia-manusia yang tinggal dalam masyarakat tersebut dibuat
menjadi pasif dan resptif (menerima saja apa yang ada), tidak lagi 12 Valentinus Saeng, Op.Cit., 211-21213 Ibid., 213-21414 Ibid., 213 15 Prosky, Loc.Cit., 3616 Herbert Marcuse, Op.Cit., 230
menghendaki adanya perubahan. “Biarlah sistem ini berjalan terus, karena
hidup seperti begini enak dan menyenangkan.”17 Keadaan seperti ini –
pembentukan realitas teknologis dalam masyarat -- adalah dampak langsung
yang timbul dari pikiran teknologis… Kelengketan dengan teknologi
menciptakan sikap tergantung, ketergantungan yang diciptakan secara
sengaja… Tanpa semua perangkat teknis (seperti lift, pen.), hidup individu
seakan tanpa daya dan makna.18
Otomatisasi sendiri merujuk pada cara kerja mesin yang bergerak
sendiri tanpa campur tangan manusia (otomatis). Otomatisasi merupakan
penerapan prinsip kerja mesin yang berlangsung mandiri ke dalam kesadaran
manusia supaya menghasilkan tindak-tanduk yang spontan atau mengalir
begitu saja. Secara sederhana mekanisasi mengacu pada hukum gerak dari
berbagai elemen yang menyusun benda atau organisme sebagai keseluruhan
(mekanika) dalam ruang dan waktu. Mekanisasi merupakan pengalihan pola
gerak yang menghubungkan bagian yang satu dengan yang lain dalam benda
atau organisme secara seirama dan serentak ke dalam pikiran individu guna
menghasilkan rasa ketergantungan pada sistem secara keseluruhan.19 Jadi dapat
dikatakan otomatisasi dan mekanisasi individu berarti robotisasi manusia.20
Padahal ada perbedaan antara cara berpikir manusia dan cara kerja
mesin. Mesin adalah benda mati tunduk pada sistem kerja yang sudah
diprogramkan. Sementara manusia adalah benda hidup yang dibekali akal budi
dan berkat kemampuan berpikir ia mampu bertanya dan mempertanyakan,
menerima dan menolak, turut atau melawan perintah.21 Tapi pada kenyataannya
dari hasil pengamatan dan wawancara oleh beberapa mahasiswa, mereka tidak
mau mencoba melawan printah atau aturan sistem lift tersebut. Mereka merasa
nyaman dan ketergantungan dalam aturan-aturan itu. Sementara kenyamanan
yang dirasakan oleh Palupi dan Intan memang tujuan dari rasionalitas
teknologi; memperbudak secara halus.
17 Sudarminta, Loc.Cit., 12418 Valentinus Saeng, Op.Cit., 20419 Ibid., 204-20520 Ibid., 20721 Ibid.,206
Perbudakan ini karena tidak ada kebebasan pada setiap individu yang
mengantre lift. Rangkaian pilihan yang terbuka bagi individu bukanlah
merupakan faktor yang menetapkan tingkat kebebasan manusia, akan tetapi
yang menentukan adalah apa yang dapat dipilih dan apa yang dipilih oleh
individu. Keriteria untuk melakukan pilihan bebas tidak akan pernah menjadi
suatu kriteria yang absolut, tetapi secara keseluruhan juga tidak bersifat relatif.
Pada intinya pilihan bebas di antara variasi yang luas tidak akan menandakan
kebebasan yang meningkatkan kontrol sosial atau mendorong alienasi.22
2.3 Dampak Ekonomi, Politik, dan Sosial
a. Dampak Ekonomi Dengan keadaan lift yang demikian sempit dan
mahasiswa yang semakin banyak, akan semakin banyak pula complain
dan hal ini memungkinkan bertambahnya armada lift yang baru, atau
upgrade lift ke fasilitas yang lebih memadai. Hal ini akan menambah
pengeluaran secara ekonomi.
b. Dampak Politik Dengan wacana penambahan armada lift baru,
maka akan memungkinkan untuk terjadinya pertarungan politik untuk
memenangkan tenser dalam pembangunan lift baru.
c. Dampak Sosial Dengan kondisi yang demikian, manusia akan
semakin kehilangan sopan santun dan etika, ketika kebutuhannya harus
cepat terpenuhi seperti menyerobot masuk lift tanpa memperhatikan
antre.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
22 Herbert Marcuse, Op.Cit., 12
Penggunaan lift sebagai sarana atau teknologi yang mampu membantu
manusia guna mempermudah pekerjaan merupakan suatu kerasionalan yang
sebenarnya justru menjadi sebuah tindakan irasional. Manusia dianugerahi akal
pikiran, sehingga pada sisi kritisnya ia mampu bertanya dan mempertanyakan,
menerima dan menolak, turut atau melawan perintah. Akan tetapi dalam
fenomena penggunaan teknologi termasuk lift, justru teknologi lah yang
‘mengatur’ manusia, dan manusia tersebut mau menaati peraturan yang dibuat
oleh benda atau dapat dikatakan mesin/teknologi. Bahkan lebih dari itu,
manusia sudah bersedia ‘berkorban’ dengan mengantre panjang menumpuk di
depan pintu lift dengan kerelaan sepenuhnya.
Sisi itulah yang dikritik oleh Marcuse bahwa teknologi merupakan
penjajah yang sangat halus yang dapat membunuh pikiran kritis manusia.
Karena pada hakekatnya manusia itu berhak memilih, terbebas dari alasan
apapun yang menurutnya rasional. Sedangkan ‘kerasionalan’ yang sudah
beredar di masyarakat modern adalah produk dari kapitalis yang diarahkan
untuk tujuan tertentu tanpa disadari.
DAFTAR PUSTAKA
Kusuma, Yuriadi. “Basics Theory of Elevator”. Jakarta: Universitas
Mercu Buana, diunduh dari http://pksm.mercubuana.ac.id/new
/elearning/files_modul/13039-7-745343998492.doc
Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu-Dimensi, terj.Silvester G.S.,
Yusup P. Yogyakarta: Bentang.
Proksy, A. Sompie. (1992). “Marcuse, Dominasi Teknologi Dalam Masyarakat
modern” . Majalah Filsafat Driyarkara. No. 3 Th XVIII
Saeng, Valentinus. 2012. Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan
Kapitalisme Global. Jakarta: Gramedia
Sudarminta, J. “Kritik Marcuse Terhadap Masyarakat Industri Modern”. Dalam
Sastrapratedja, M. (1982) (ed.). Manusia Multi Dimensional: Sebuah
Renungan Filsafat. Jakarta: Gramedia
FENOMENA ANTREAN LIFT DALAM TELAAH HERBERT MARCUSE
(Analisis Penumpukan Antrean Lift Di Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya)
Disusun oleh:
Ajeng Kartika N. 0911213035
Ajeng Ratnasari 0911213036
Nurliana Ulfa 0911210049
Arif Munandar 105120104111004
Faridatul Manawaroh 105120113111005
Santoso 105120100111036
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2012
LAMPIRAN
Penumpukan Antrean Lift FISIP pada pukul 13.00 WIB
Penumpukan Antrean Lift FISIP pada pukul 15.00 WIB
Wawancara dengan salah satu Mahasiswa FISIP yang sedang antre lift