analisis keragaman protein dan fitokimia tanaman

35
ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica) HASIL PERBANYAKAN IN VITRO PUTRI KARINA LAILANI PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Upload: dodang

Post on 31-Dec-2016

235 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica) HASIL PERBANYAKAN IN VITRO

PUTRI KARINA LAILANI

PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2008

Page 2: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica) HASIL PERBANYAKAN IN VITRO

PUTRI KARINA LAILANI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2008

Page 3: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN
Page 4: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

ABSTRAK

PUTRI KARINA LAILANI. Analisis Keragaman Protein dan Fitokimia Tanaman Pegagan (Centella asiatica) Hasil Perbanyakan in vitro. Dibimbing oleh EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH dan NATALINI NOVA KRISTINA.

Pegagan merupakan tanaman gulma yang digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, makanan dan minuman. Pegagan diambil dari alam untuk memenuhi kebutuhan industri sehingga dapat berdampak pada kepunahan. Salah satu cara yang diharapkan dapat mengatasi masalah ini adalah bioteknologi khususnya teknik kultur jaringan dan rekayasa genetika. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan profil senyawa pegagan hasil in vitro dengan pegagan yang di lapang. Sisi keragaman protein dibandingkan dengan metode elektroforesis SDS PAGE, sedangkan kandungan senyawa metabolit sekunder dibandingkan dengan uji fitokimia. Hasil penelitian menunjukkan penurunan daya multiplikasi eksplan pegagan periode 5 tahun. Eksplan dapat berakar pada semua media perakaran dengan media terbaik MS + IAA 0,1 mg/L. Hasil uji lanjutan fitokimia dan pola pita protein pegagan hasil in vitro dan lapang terlihat adanya perbedaan. Hasil uji fitokimia terlihat kandungan metabolit sekunder yakni tanin, saponin, alkaloid, dan triterpenoid pegagan in vitro lebih rendah bila dibandingkan pegagan lapang. Steroid ditemukan pada pegagan hasil in vitro yang tidak ada pada pegagan lapang. Konsentrasi protein total pada pegagan in vitro lebih tinggi dibanding dengan lapang karena penambahan unsur-unsur hara pada media. Pola pita protein pegagan hasil in vitro terlihat lebih tebal daripada yang di lapang. Hasil elektroforesis menunjukkan adanya dua buah pita protein yang dominan masing-masing dengan bobot molekul 53,7 kDa dan 31 kDa.

Page 5: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

Judul Skripsi : Analisis keragaman Protein dan Fitokimia Tanaman Pegagan (Centella asiatica) Hasil Perbanyakan In Vitro Nama : Putri Karina Lailani NIM : G44103044

Disetujui

Drs. Edy Djauhari P. K, M.Si Dra. Natalini Nova. K

Ketua Anggota

Diketahui

Dr. Drh.Hasim,DEA Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Tanggal lulus:

Page 6: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

PRAKATA

Segala puji penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya, kegiatan penelitian dapat diselesaikan. Penelitian berjudul Analisis Keragaman Protein dan Fitokimia Tanaman Pegagan (Centella asiatica) Hasil Perbanyakan in vitro ini dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Oktober 2007, bertempat di Balai Tanaman Obat dan Aromatik dan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia pada Laboratorium Biologi Molekular dan Rekayasa Genetika.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Edy Djauhari P.K, M.Si selaku pembimbing utama, Dra. Natalini Nova.K. selaku pembimbing kedua, dan staf di laboratorium yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, Ni Putu Ayu, Wisnu Herlambang, Gita Agustrina, Metty Lasmayanti, Ashfa dan teman-teman semuanya atas dukungannya selama ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun semua pihak yang membutuhkannya demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2008

Putri Karina Lailani

Page 7: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 21 Januari 1986 dari pasangan Muhammad Nawir dan Niniek Soedjarwati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Islam Al-azhar Kelapa Gading dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program studi Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama perkuliahan penulis pernah mengikuti lembaga kemahasiswaan staf Departemen Wirausaha Himpunan Mahasiswa Kimia (IMASIKA) periode 2004-2005, panitia Masa perkenalan Departemen Biokimia (MPD) 2006. Penulis melakukan praktek kerja lapang di Balai Tanaman Obat dan Aromatik dari bulan Juli-September 2006 dengan judul Pengaruh Konsentrasi Sukrosa Terhadap Pertumbuhan Tanaman Sambung Nyawa (Gynura Procumbens) Dengan Teknik Kultur Jaringan.

Page 8: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. x

PENDAHULUAN .................................................................................... 1

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pegagan (Centella asiatica) ................................................ 1 Kultur Jaringan Tanaman .................................................................... 2 Aplikasi Kultur Jaringan Pada Perubahan Tanaman ........................... 3 Elektroforesis SDS PAGE ................................................................... 3

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat .................................................................................... 4 Metode Penelitian ............................................................................... 4 Pemilihan Eksplan, Inisiasi Akar, dan Aklimatisasi ........................... 4 Uji Fitokimia ....................................................................................... 5 Ekstraksi Protein Daun Pegagan ......................................................... 5 Penentuan Kadar Protein Hasil Ekstraksi dengan Metode Lowry ...... 5 Analisis Protein dengan Elektroforesis SDS PAGE ........................... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Eksplan dan Inisiasi Akar Pegagan .................................... 6 Aklimatisasi ........................................................................................ 7 Analisis Fitokimia ............................................................................... 8 Konsentrasi Protein Total dan Elektroforesis SDS PAGE ................. 8

SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 10

LAMPIRAN .............................................................................................. 12

Page 9: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penampilan akar pegagan dua bulan setelah kultur pada media auksin ... 7

2 Pertumbuhan tanaman setelah aklimatisasi di rumah kaca pada pupuk kandang dan sekam 8 minggu setelah tanam ........................................... 7

3 Hasil uji fitokimia tanaman pegagan hasil in vitro dan dari lapang ......... 8

4 Konsentrasi protein total pegagan hasil in vitro dan dari lapang .............. 9

Page 10: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Proses umum penelitian .......................................................................... 13

2 Pembuatan bufer ekstraksi protein .......................................................... 14

3 Pengukuran kadar protein total (metode Lowry) .................................... 15

4 Larutan standar protein untuk metode Lowry ........................................ 16

5 Pembuatan gel SDS PAGE ..................................................................... 17

6 Pewarnaan gel SDS PAGE ..................................................................... 18

7 Pembuatan kurva standar Bovine Serum Albumin ................................. 19

8 Nilai absorbansi dan konsentrasi protein sampel pegagan ..................... 20

9 Perolehan nilai konsentrasi sebenarnya .................................................. 20

10 Volume sampel dan buffer yang dimasukkan ke sumur pada konsentrasi tertentu .................................................................................................. 21

11 Perhitungan BM pita protein pada elektroforesis SDS PAGE .............. 22

12 Gambar tanaman pegagan hasil in vitro ketika diberi perlakuan perakaran................................................................................................. 23

Page 11: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

ABSTRACT PUTRI KARINA LAILANI. The Analysis of Protein and Phytochemical

Varieties of Pegagan Plants (Centella asiatica) as the Result of in vitro Growth. Under the direction of EDY DJAUHARI PURWAKUSUMAH and NATALINI NOVA KRISTINA.

Pegagan is weeds plant which have been used in pharmacy industrial, cosmetics, foods, and drinks. It is taken from the nature to fill industrial needs, so can impact on disappearance of it. Plant tissue culture and genetics engineering on biotechnology are the way to avoid disappearance on it. This study purposes to compare the varieties of protein and phytochemical pegagan between the in vitro pegagan and the nature one. Furthermore we used electrophoresis SDS PAGE method to study that protein varieties, and the comparison of secondary metabolic with phytochemical method. This study showed the decrease of the growth ability of the 5 years period of explant pegagan. The root of the explant growth through in all kind of media, however the best media for the growth was MS + IAA 0,1 mg/L. Indeed the result of the phytochemical and protein patterns of in vitro pegagan was different to the nature one. The phytochemical examination showed the content of secondary metabolic such as tanin, saponin, alcaloid, triterpenoid are lower than the nature one. The study also find out the steroid on the in vitro pegagan, but unfind in the nature one. The concentrate of total proteins on the in vitro pegagan are much higher than the nature one due to add a media component. Protein patterns the in vitro pegagan is thicker than the nature one. The electrophoresis results showed the existence of 2 kind of the protein patterns were dominant, with the molecular weight are 53,7 kDa and 31 kDa.

Page 12: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

1

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari, tetapi munculnya keriput pada wajah dan kulit dapat dicegah. Sel-sel yang menua dan rusak tidak cukup hanya diberi antioksidan, sehingga kita harus mengubah pola hidup ke arah yang lebih sehat. Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk membuat kulit tampil muda kembali diantaranya adalah metode-metode instan yang dapat dipilih, misalnya dengan menggunakan bedah kosmetik untuk mengencangkan kulit, teknologi laser untuk menghilangkan garis-garis keriput, injeksi vitamin C, menggunakan hormon wanita (estrogen) untuk menjaga mulusnya kulit atau memakai kolagen. Peluang pemanfaatan pegagan untuk kosmetik terutama kosmetik anti penuaan (anti aging) sangat terbuka mengingat kemampuan kandungan kimia herba pegagan dalam meningkatkan sintesis kolagen. Hal ini telah dibuktikan dari uji yang dilakukan Bonte dan kawan-kawan pada tahun 1999 yang melakukan pemberian asiatikosida dan madekasosida pada kultur fibroblas dari kulit wanita berusia 50 tahun. Perlakuan tersebut dapat meningkatkan sekresi kolagen sebanyak 25%-30% dalam waktu 24 jam. Sintesis kolagen juga membutuhkan dukungan pasokan vitamin C, karena vitamin ini mampu menstimulasi produksi RNA untuk kolagen dan menyumbang sintesis hidroksiprolin dan hidroksilisin yang bertanggung jawab terhadap struktur tiga dimensi kolagen (Adnyana & Herowati 2004).

Penggunaan lain dari pegagan yang memiliki kandungan kimia asiatikosida dan madekosida, juga dapat mereduksi fibrosis pada luka, sehingga dapat mencegah timbulnya luka parut dan keloid. Asiatikosida dan madekasosida diketahui dapat meningkatkan sintesis kolagen dan asam mukopolisakarida. Kedua senyawa ini diperlukan dalam proses regenerasi sel kulit. Regenerasi sel kulit akan berjalan lebih cepat dengan meningkatnya sintesis kolagen, sehingga luka cepat menutup. Asiatikosida juga dapat menghambat fase inflamasi atau peradangan dari luka parut dan keloid. Hal ini menguntungkan, karena reaksi peradangan selain menyebabkan rasa nyeri, kadang juga membuat daerah luka membengkak bahkan bernanah. Pegagan saat ini sudah dimanfaatkan sebagai tonik untuk memperkuat dan meningkatkan daya tahan otak dan saraf (Adnyana & Herowati 2004). Banyaknya manfaat pegagan yang dapat kita

lihat saat ini, tidak sebanding dengan ketersediaan di alam karena belum didukung dengan paket budidaya, sehingga upaya pengembangan tanaman ini sebagai bahan baku industri dalam jumlah besar akan mengalami hambatan. Salah satu paket teknologi yang dapat membantu ketersediaan bahan tanaman adalah bioteknologi kultur jaringan. Penyediaan tanaman dengan kultur jaringan dapat dilakukan dengan penambahan zat pengatur tumbuh benzilaminopurin (BA) pada konsentrasi 0,1 mg/L pada media Murashige-skoog (MS). Tanaman hasil kultur jaringan yang telah lama dikultur secara in vitro memperlihatkan perubahan penampilan pada tanaman pegagan (Kristina & Surachman 2007). Perubahan ini juga terlihat pada kandungan kimia tanaman daun encok hasil kultur jaringan (Syahid & Kristina 2007). Hal ini diduga berdampak pada timbulnya mutasi genetik. Perubahan yang terjadi secara morfologi dapat diperkuat bila dari hasil analisis genetik terlihat adanya perubahan-perubahan kegiatan yang dapat mendeteksi keadaan tersebut seperti fitokimia, analisis protein, DNA, dan RNA.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan profil senyawa dalam pegagan hasil in vitro dengan pegagan yang di lapang terutama dari sisi keragaman protein dan komponen fitokimia. Hipotesis yang diperkirakan pada penelitian ini adalah terjadi perubahan ekspresi protein dan komponen fitokimia antara tanaman pegagan hasil in vitro dengan pegagan dari lapang. Manfaat penelitian adalah diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perbedaan ekspresi protein dan fitokimia dalam pegagan hasil in vitro dengan pegagan lapang.

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pegagan (Centella asiatica) Pegagan saat ini merupakan salah satu

jenis tanaman obat yang memiliki pasar yang cukup potensial karena permintaan akan bahan baku pegagan sangat tinggi. Tanaman ini sering dianggap sebagai gulma yang kurang diperhatikan manfaatnya, padahal sudah banyak masyarakat yang memanfaatkan pegagan sebagai bahan obat. Sejak jaman dahulu, pegagan telah dipergunakan sebagai obat kulit, berkhasiat untuk memperbaiki gangguan syaraf dan peredaran darah. Di Jawa Barat, daun pegagan juga dikenal sebagai lalapan yang dikonsumsi dalam bentuk segar maupun direbus (Steenis 1997), bahkan ada juga yang mencampurkannya dalam asinan.

Page 13: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

2

Lalapan segar mempunyai khasiat yaitu untuk membersihkan darah dan memperbaiki gangguan pencernaan. Tanaman pegagan juga dimanfaatkan sebagai tanaman penutup tanah dan pencegah erosi (Wijayakusuma et al. 1994).

Pegagan merupakan salah satu jenis dari sekian banyak potensi tanaman yang telah lama sekali digunakan oleh masyarakat Gede Pangrango Kecamatan Kadudampit Sukabumi, baik untuk pengobatan ataupun sumber makanan namun belum ada upaya untuk membudidayakan jenis ini. Masyarakat menganggap pegagan tumbuh secara liar di alam. Kondisi tumbuhan dan tanaman obat di Indonesia sebagian besar belum dibudidayakan, disisi lain konsumsi obat tradisional dari tumbuhan obat terus meningkat, maka pengembangannya perlu dilakukan melalui upaya pelestarian dan diikuti usaha pembudidayaannya terutama yang memiliki pasar cukup cerah dan untuk menanggulangi erosi genetik (Fadly et al. 2005).

Tanaman ini merupakan tumbuhan asli Indonesia yang tersebar di wilayah Asia Tenggara dan kepulauan sepanjang Samudra Indonesia. Pegagan termasuk tanaman tahunan daerah tropis yang berbunga sepanjang tahun. Bentuk daunnya bulat, batangnya lunak dan beruas, serta menjalar hingga bisa mencapai semeter tingginya. Pada tiap ruas akan tumbuh akar dan daun dengan tangkai daun panjang dan akar berwarna putih, dengan berkembang biak secara vegetatif tanaman ini cepat beranak pinak. Ruas yang menyentuh tanah akan tumbuh menjadi tanaman baru, jika keadaan tanah sesuai. Pegagan dapat tumbuh hingga ketinggian 2.500 m di atas permukaan laut. Tanaman ini tidak memiliki batang dengan rimpang pendek dan stolon-stolon yang merayap dengan panjang 10-80 cm. Akarnya keluar dari setiap bonggol, dengan cabang yang akan membentuk tumbuhan baru. Helai daun bersifat tunggal (satu), panjang tangkai sekitar 5-15 cm dengan bentuk ginjal manusia (Hidayat 1993).

Pegagan mempunyai rasa manis dan bersifat sejuk. Bahan utama yang dikandung pegagan adalah triterpenoid, diantara sekian banyak kandungan bahan aktif. Beberapa bahan aktif yang terkandung dalam pegagan di antaranya asiatikosida, madekasosida, brahmosida, tanin, resin, pektin, gula, asam amino, mineral, vitamin B dan vitamin C. Efek farmakologis pegagan diantaranya ialah anti infeksi, antiracun, penurun panas, peluruh

air seni, antilepra, dan anti sifilis. Daun pegagan berfungsi sebagai astringensia dan tonikum. Pegagan juga dikenal untuk revitalisasi tubuh dan otak yang lelah serta untuk kesuburan wanita. Pegagan sekarang dimanfaatkan sebagai penyembuh luka, radang, reumatik, asma, wasir, tuberkolosis, lepra, disentri, demam dan penambah darah. Di Australia pegagan digunakan sebagai bahan baku obat yang bermanfaat sebagai antipikun dan juga anti stress (Januwati dan Yusron 2004).

Gambar 1 Tanaman pegagan (Centella asiatica).

Kultur Jaringan Tanaman

Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan perbanyakan tanaman secara konvensional, yaitu memberikan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim, bibit yang dihasilkan lebih sehat, memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik. Teknik kultur jaringan juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu dibutuhkannya biaya awal yang relatif tinggi untuk laboratorium dan bahan kimia, dibutuhkan keahlian khusus untuk melaksanakannya, tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, aseptik dan terbiasa hidup di tempat yang berkelembaban tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke lingkungan eksternal (Yusnita 2003).

Kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah memilih tanaman induk yang hendak diperbanyak sebagai sumber eksplan. Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya, serta harus sehat dan bebas dari hama penyakit. Pentingnya lingkungan tanaman induk yang lebih higienis untuk mendapatkan eksplan yang lebih berkualitas

Page 14: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

3

dan lebih bersih telah terbukti pada pembiakan in vitro berbagai tanaman tropis. Tanaman sumber eksplan sebaiknya dikondisikan di rumah kaca atau rumah plastik. Inisiasi kultur bertujuan untuk mengusahakan kultur yang aseptik atau aksenik, dan untuk mendapatkan kultur yang bersih dari kontaminasi eksplan harus disterilisasi. Multiplikasi atau perbanyakan eksplan bertujuan untuk menggandakan bahan tanaman yang diperbanyak seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu. Tahap multiplikasi ini perbanyakan tunas dirangsang, umumnya dengan mendorong percabangan tunas lateral atau merangsang pembentukan tunas adventif. Kondisi seperti ini memerlukan sitokinina seperti BA, isopenteniladenina (2-iP), kinetin, atau thidiazuron (TDZ). Tunas-tunas yang dihasilkan pada tahap multiplikasi dipindahkan ke media lain untuk pemanjangan tunas yang mengandung sitokinina sangat rendah atau tanpa sitokinina Tunas tersebut dapat dipindahkan secara individu atau berkelompok. Setelah cukup panjang tunas tersebut dapat diakarkan. Pemanjangan tunas dalam media tanpa sitokinina juga dapat sekaligus merangsang pembentukan akar sehingga tidak diperlukan pengakaran tunas secara tersendiri. Pengakaran tunas in vitro dapat dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran yang umumnya memerlukan auksin seperti asam indolasetat (IAA), asam a-naftalenasetat (NAA) atau asam indolbutirat (IBA). Tahap aklimatisasi plantlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol seperti rumah kaca, rumah plastik, atau rumah kaca kedap serangga. Aklimatisasi adalah pengondisian plantlet di lingkungan baru yang septik di luar botol, dengan media tanah sehingga plantlet dapat bertahan dan terus tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam di lapang (Yusnita 2003).

Aplikasi Kultur Jaringan dan Perubahan pada Tanaman

Aplikasi kultur jaringan telah banyak

berhasil pada tanaman dan bahkan telah dapat diaplikasi pada penyimpanan (sebagai stok). Penyimpanan in vitro ini pada beberapa tanaman yang memperlihatkan perubahan morfologi hasil (seperti rimpang yang mengecil pada jahe), dan komponen kimia yang berubah menjadi lebih tinggi seperti pada tanaman daun encok. Periode kultur yang lama ini juga memperlihatkan perubahan morfologi pada tanaman (Kristina & Dedi

2007). Tanaman pegagan diberi perlakuan perakaran dan di aklimatisasi di rumah kaca untuk melihat kemungkinan perubahan komponen kimia tersebut. Tanaman hasil kultur jaringan ini dilihat komponen kimianya dengan cara uji fitokimia dan elektroforesis Sodium Dodesil Sulfat-Gel Poliakrilamid (SDS PAGE). Elektroforesis SDS-PAGE (Elektroforesis Sodium Dodesil Sulfat-Gel Poliakrilamid)

dan Hubungannya Dengan Analisis Keragaman Protein

Elektroforosis berarti perpindahan

partikel bermuatan karena pengaruh medan listrik. Perpindahan (mobilitas) partikel bermuatan terutama ditentukan oleh gugus-gugus yang terionisasi pada permukaan partikel, sedangkan jenis dan besar muatan gugus-gugus yang terionisasi tergantung pada kekuatan ionik dan pH medium. Pemisahan molekul-molekul hanya efektif apabila dilakukan dalam medium yang sesuai. Ukuran dan bentuk partikel juga akan mempengaruhi mobilitas (Adijuwana & Nur 1989).

Teknik elektroforesis yang paling banyak digunakan pada saat ini adalah teknik zona elektroforesis. Medium penyangga seperti kertas, selulosa asetat, pati, dan poliakrilamid digunakan pada elektroforesis kertas. Medium penyangga dapat menghilangkan gangguan karena konveksi. Elektroforesis zona digunakan untuk pemisahan campuran protein atau senyawa-senyawa bermuatan lainnya (Adijuwana & Nur 1989).

Elektroforesis SDS-PAGE dinilai lebih menguntungkan dari elektroforesis kertas dan gel pati, karena media penyangga yang digunakan elektroforesis SDS-PAGE yaitu gel poliakrilamid bersifat transparan dan dapat discan pada daerah sinar tampak maupun UV, juga dapat diperoleh resolusi yang lebih baik dan ukuran pori medium dapat diatur berdasarkan perbandingan konsentrasi akrilamid dan bis-metilen akrilamid yang digunakan dengan istilah T dan C.T menunjukkan total akrilamid dan bis akrilamid dalam 100 ml (massa/volume), sedangkan C menunjukkan perbandingan bis akrilamid dan total akrilamid + bis akrilamid. Pengaruh arus konveksi dan difusi dapat dikurangi sehingga pemisahan komponen menjadi sempurna dan pita-pita yang terjadi menjadi lebih jelas pada medium poliakrilamid. Poliakrilamid merupakan medium yang bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan sampel dan tidak terjadi

Page 15: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

4

ikatan antara sampel dan matrik (Andrews 1986).

Gel poliakrilamid terbentuk sebagai hasil polimerisasi monomer akrilamid yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh cross-linking N,N’ metilena bis akrilamid (Bis) dan amonium persulfat sebagai katalis, selain itu diperlukan N,N,N’,N’ tetrametiletilenadiamin (TEMED) yang juga bertindak sebagai katalis terutama dalam mengawali polimerisasi. Konsentrasi akrilamid akan menentukan panjang rata-rata rantai polimer sedangkan konsentrasi Bis akan menentukan banyaknya cross-linking yang terjadi. Semua ini penting untuk menentukan densitas, elastisitas, kekuatan mekanik, dan ukuran pori dari gel. SDS digunakan untuk merusak struktur tiga dimensi protein menjadi bentuk lilitan acak. Merkaptoetanol berfungsi untuk mereduksi semua ikatan disulfida (S-S) yang mungkin terdapat pada protein. Perusakan akibat reduksi ikatan disulfida membentuk gugus sulfhidril yang dapat mengikat SDS yang bermuatan sangat negatif sehingga protein bergerak ke arah kutub positif. Keberhasilan pemisahan senyawa dengan SDS-PAGE tergantung pada metode preparasi, pengaruh ukuran pori gel pemisah dan sistem bufer (Gordan 1974).

Efektivitas ukuran pori gel sangat dipengaruhi oleh total konsentrasi akrilamid dalam campuran polimerisasi, efektifitas ukuran pori gel turun ketika konsentrasi akrilamid naik. Pemilihan konsentrasi akrilamid yang tidak tepat menyebabkan adanya protein yang tidak bisa menembus ke dalam gel, sehingga pemisahan komponen protein tidak optimal. Sistem bufer dipilih pada kisaran pH dimana protein tetap stabil. Pada elektroforesis gel poliakrilamid, pH memiliki peranan penting karena pemisahan protein dilakukan berdasarkan ukuran dan densitas muatan. Perubahan pH akan mengubah muatan bersih komponen protein, sehingga pemisahan bisa tercapai (Hames 1981).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan adalah daun steril pegagan yang telah dikulturkan secara in vitro selama lima tahun, tanaman pegagan dari lapangan, media Murashige-Skoog (MS) yang terdiri dari hara makro, hara mikro, zat pengatur tumbuh IAA, IBA, dan NAA, 10 mL

kloroform, amoniak, 5 tetes H2SO4 2M, pereaksi Dragendorf, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, metanol, akuades, 12,5 mL etanol, eter, pereaksi Liebermen Burchard, FeCl3, nitrogen cair, 5 mL bufer pH 7,00, 10 μL merkaptoetanol, larutan Bovine Serum Albumin (BSA), pereaksi C, pereaksi D, poliakrilamid, isopropanol, larutan untuk separating gel 12 %, larutan untuk stacking gel 4,5%, loading bufer, Coomasie Blue, dan larutan asam asetat 7%.

Alat-alat yang digunakan adalah laminar air flow cabinet, autoklaf, gelas steril, oven, pipet volumetrik, pipet tetes, labu erlenmeyer, gelas piala, labu takar, gelas ukur, stirer magnetik, pH meter, cawan petri, bunsen, pinset, neraca analitik, tabung reaksi, mortar, penangas air, kertas saring, tabung sentrifus, sentrifus, ruang pendingin, pipet mikro, tabung mikro, alat elektroforesis SDS PAGE, spektrofotometer dan microwave.

METODE

Pemilihan Eksplan, Inisiasi Akar, dan Aklimatisasi

Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari

bagian tanaman yang akan dikulturkan. Eksplan yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman pegagan yang telah lima tahun dikultur secara in vitro. Hasil penelitian pada tahun pertama diperoleh media multiplikasi tunas yang terbaik yaitu MS + BA 0,1 mg/L (Kristina & Surachman 2007). Subkultur secara rutin dilakukan pada media MS yang diperkaya dengan BA 0,1 mg/L dan pengamatan komponen pertumbuhan dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun. Penampilan tunas pada akhir tahun kelima terlihat mulai menurun, maka eksplan tersebut di sub kultur pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh selama 1 bulan, dan selanjutnya dimasukkan pada media perlakuan, antara lain MS+ BA 0 mg/L, MS + BA 0,1 mg/L , MS + BA 0,2 mg/L, MS + BA 0,3 mg/L dimana masing-masing perlakuan terdiri atas 10 botol dan setiap botol terdiri atas 1 tanaman. Parameter pengamatan meliputi jumlah tunas dan jumlah tangkai daun. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji DMRT pada taraf 5%. Setelah tahap multiplikasi, penelitian dilanjutkan ketahap inisiasi akar dengan menggunakan media perlakuan, antara lain MS + IAA 0,1 mg/L, MS + IAA 0,2 mg/L, MS + IBA 0,1 mg/L, MS + IBA 0,2 mg/L, MS + NAA 0,1 mg/L, MS + NAA 0,2 mg/L.

Page 16: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

5

Masing-masing perlakuan terdiri atas 10 botol dan setiap perlakuan terdiri atas 1 tanaman. Parameter pengamatan meliputi jumlah akar, panjang akar dan penampilan tanaman. Plantlet hasil kultur ini selanjutnya mendapat perlakuan aklimatisasi dengan menggunakan media tanah + pupuk kandang 1:1. Hasil aklimatisasi ini selanjutnya dianalisis fitokimia dan protein dengan menggunakan SDS-PAGE dan dibandingkan dengan pegagan yang berasal dari lapangan.

Uji Fitokimia

Analisis fitokimia merupakan uji

kualitatif untuk mengetahui keberadaan golongan senyawa-senyawa aktif yang terkandung dalam tanaman pegagan segar. Analisis fitokimia dilakukan berdasarkan metode Harbone (1987). Identifikasi yang dilakukan adalah uji alkaloid, uji tanin, uji flavonoid, uji saponin, uji steroid, dan uji triterpenoid. Sampel pegagan yang digunakan adalah pegagan segar hasil in vitro dan lapang.

Uji alkaloid dilakukan dengan cara menggerus satu gram sampel dan ditambahkan 1,5 mL kloroform dan 3 tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 5 tetes H2SO4 2M. Fraksi asam dibagi menjadi 3 tabung kemudian masing-masing ditambahkan pereaksi Dragendorf, Meyer dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada pereaksi Meyer, endapan merah pada pereaksi Dragendorf, dan endapan coklat pada pereaksi Wagner.

Uji flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan 0,5 gram sampel dengan metanol sampai terendam lalu dipanaskan. Filtrat ditambahkan dengan 5 tetes H2SO4 terbentuknya warna merah karena penambahan H2SO4 menunjukkan adanya senyawa flavonoid.

Uji saponin dilakukan dengan cara mencampurkan 0,5 gram sampel dengan air secukupnya dan dipanaskan selama lima menit. Larutan tersebut didinginkan kemudian selama dikocok timbulnya busa selama ± 10 menit menunjukkan adanya saponin.

Uji triterpenoid dan steroid dilakukan dengan cara menambahkan satu gram sampel dengan 2 mL etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan kemudian ditambahkan dengan eter. Lapisan eter ditambahkan dengan pereaksi Liebermen Burchard (3 tetes asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat). Warna merah atau ungu yang

terbentuk menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya steroid.

Uji tanin dilakukan dengan cara menambahkan lima gram sampel ditambahkan air kemudian dididihkan selama beberapa menit. Disaring dan filtrat ditambahkan dengan 3 tetes FeCl3. Warna biru tua atau hitam kehijauan yang terbentuk menunjukkan adanya tanin.

Ekstraksi Protein dari Daun Pegagan Daun pegagan hasil in vitro dan dari lapang ditimbang berturut-turut sebanyak 1,0267 g dan 1,0956 g. Daun-daun tersebut digerus dengan penambahan nitrogen cair pada mortar. Tepung tersebut kemudian dimasukkan ke tabung sentrifuse yang telah berisi bufer pH 7,00 sebanyak 5 mL dan merkaptoetanol 10 μL. Pembuatan bufer ekstraksi protein ditampilkan pada lampiran 2. Larutan dihomogenkan sebelum disentrifuse pada kecepatan 15.000 rpm selama 15 menit dengan suhu 4 °C. Supernatan yang diperoleh diambil dan dimasukkan ke dalam tabung mikro, kemudian disimpan dalam ruang pendingin (-20 °C) sampai siap digunakan. Penentuan Kadar Protein Hasil Ekstraksi

dengan Metode Lowry

Tabung reaksi disiapkan kemudian dibuat campuran larutan standar. Akuades, BSA, dan pereaksi C dikocok dan didiamkan selama 10 menit kemudian pereaksi D ditambahkan. Campuran tersebut dikocok dan didiamkan selama 30 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 750 nm. Setelah itu dibuat kurva standar hubungan antara absorban dan konsentrasi protein.

Masing-masing sampel sebanyak 10 µL dimasukkan ke dalam tabung mikro, kemudian diencerkan dengan akuades hingga volumenya 800 µL. Pereaksi C ditambahkan ke dalam tiap-tiap tabung sebanyak 600 µL, dikocok dan didiamkan selama 10 menit. Pereaksi D ditambahkan sebanyak 200 µL pada masing-masing tabung. Campuran dikocok dan didiamkan selama 30 menit. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 750 nm. Konsentrasi protein dihitung berdasarkan kurva standar.

Analisis Protein dengan Elektroforesis

SDS-PAGE

Elektroforesis protein dilakukan menurut metode Andrews (1986). Pembuatan gel

Page 17: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

6

dilakukan dengan lebih dahulu menyiapkan cetakan gel berupa dua lembar kaca yang dipisahkan dengan spacer. Larutan untuk separating gel 12% yang terdiri atas akuades 3,35 mL, Tris-HCl 1,5 M 2,5 mL, SDS 10% 0,1 mL, akrilamid 4 mL, Ammonium Persulfat (APS) 10% 0,05 mL, dan TEMED 0,008 mL dimasukkan ke dalam cetakan gel sampai batas tertentu, kemudian ditambahkan isopropanol agar permukaan gel rata. Gel dibiarkan mengeras, kemudian isopropanol yang berada diatas separating gel dibuang. Larutan untuk stacking gel 4,5% yang terdiri atas akuades 2,95 mL, Tris-HCl 1,5 M 1,25 mL, SDS 10% 9,05 mL, akrilamid 0,7 mL, APS 10% 0,05 mL, dan TEMED 0,008 mL dimasukkan ke dalam cetakan yang telah dipasangi sisir pelubang dan dibiarkan mengeras. Sisir dilepas dengan gerakan vertikal ke atas. Gel telah siap digunakan dan dipasang pada alat elektroforesis.

Persiapan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut: sampel hasil ekstraksi dipipet ke dalam tabung mikro, dan ditambahkan loading bufer dengan perbandingan 1:1. Campuran tersebut kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 4 menit. Masing-masing sampel sebanyak 30 µL dengan konsentrasi 1000, 5000, dan 8000 µg/mL dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang terdapat pada gel. Alat elektroforesis dihubungkan ke power supply pada tegangan 150 V. Elektroforesis kemudian dijalankan selama kurang lebih 30 menit hingga pewarna mencapai ujung gel. Deteksi protein pada gel dilakukan dengan pewarnaan gel menggunakan Coomasie Blue yang terdiri atas campuran metanol 45,5%, H2O 45,5%, asam asetat 9%, dan Coomasie Blue R 250 0,09%. Campuran larutan disaring kemudian gel direndam dalam larutan pewarna selama 2 jam sambil digoyang-goyangkan. Gel kemudian direndam dalam akuades dan di microwave selama 10 menit. Gel dicuci dengan air, setelah pita protein terlihat dengan intensitas memadai. Penyimpanan gel dilakukan dengan merendam gel pada larutan asam asetat 7% hingga pengeringan dan pengawetan gel dilakukan dengan selofan dan dibiarkan semalam diruang dingin.

Identifikasi dan analisis pola SDS-PAGE dilakukan dengan pengamatan pemisahan pita proteinnya. Protein target ditentukan Rf-nya, kemudian bobot molekul dari protein tersebut ditentukan berdasarkan kurva standar log BM terhadap Rf dari protein standar. Perhitungan Rf dapat dilakukan dengan cara membandingkan jarak pergerakan pita protein

dari awal (cm) dengan jarak pergerakan pewarna protein standar dari tempat awal (cm).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemilihan Eksplan dan Inisiasi Akar

Pegagan

Penampilan tunas setelah lima tahun penyimpanan terlihat mulai menurun sehingga perlu dilakukan penyegaran eksplan dengan mengembalikan eksplan ke alam dengan cara penggantian media baru dan kemudian dilanjutkan dengan perakaran dan aklimatisasi. Eksplan dipilih dari tunas-tunas yang penampilannya telah berubah tersebut baik normal, kurus ataupun gemuk dan dikultur secara acak pada media perlakuan. Media yang digunakan ialah MS + BA 0 mg/L, MS BA 0,1 mg/L, MS BA 0,2 mg/L, dan MS BA 0,3 mg/L. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tunas pada media MS BA 0,2 mg/L walaupun tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan media MS BA 0,1 mg/L, demikian juga untuk jumlah daun. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa tunas pegagan umur kultur 5 tahun dapat dimultiplikasikan pada media MS BA 0,1 mg/L ataupun MS BA 0,2 mg/L. Eksplan selanjutnya dipindahkan ke media perakaran untuk inisiasi akar.

Pertumbuhan akar yang kuat lazimnya diperlukan untuk kekuatan dan pertumbuhan pucuk pada umumnya. Akar merupakan organ vegetatif utama yang memasok air, mineral dan bahan-bahan yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Akar juga merupakan sumber utama beberapa pengatur pertumbuhan tanaman tertentu (Gardner et al. 1991).

Tabel 1 menunjukkan bahwa perakaran selama dua bulan tidak terlihat perbedaan nyata pada jumlah akar antar semua jenis auksin dan konsentrasi, tetapi berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Dalam hal ini terlihat bahwa jenis dan konsentrasi auksin tidak berpengaruh terhadap jumlah akar, karena secara alami tunas pegagan telah memiliki kandungan auksin endogeneus. Auksin sintetik dibutuhkan untuk menginisiasi panjang akar. Panjang akar yang terlihat cenderung berbeda antar semua jenis auksin, akar terbanyak dan terpanjang didapatkan pada media IAA 0,1 mg/L yakni 1,62 cm. Auksin 0,1 mg/L merupakan konsentrasi terbaik untuk pemanjangan akar pegagan yang

Page 18: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

7

telah dikultur selama 5 tahun. Auksin merupakan istilah generik untuk substansi pertumbuhan yang khususnya merangsang perpanjangan sel, tetapi auksin juga menyebabkan suatu kisaran respons pertumbuhan yang agak berbeda-beda. IAA dikenal sebagai auksin utama pada tanaman. IAA biasanya tidak dijumpai di alam dalam bentuk bebas, zat itu bergabung dengan asam askorbat, gula, asam amino, dan senyawa organik lain (bentuk terikat). Bentuk terikat ini siap diubah menjadi IAA bebas dengan hidrolisis menggunakan enzim.

Respons auksin berhubungan dengan konsentrasinya. Konsentrasi yang tinggi bersifat menghambat, yang dapat dijelaskan sebagai persaingan untuk mendapatkan peletakan pada tempat kedudukan penerima, yaitu penambahan konsentrasi meningkatkan kemungkinan terdapatnya molekul yang sebagian melekat menempati tempat kedudukan penerima, yang menyebabkan kurang efektifnya gabungan tersebut. Konsentrasi auksin yang berlebihan menyebabkan ketidaknormalan seperti epinasti (kelainan bentuk daun). Tabel 1 Penampilan akar pegagan 2 bulan setelah kultur pada media auksin Media tumbuh (mg/L)

Jumlah akar Panjang akar

MS (kontrol)

1,3 b 0,62 c

MS + IAA 0,1

8,7 a 1,62 a

MS + IAA 0,2

6,9 a 1,51 ab

MS + IBA 0,1

7,9 a 1,18 b

MS + IBA 0,2

7,9 a 1,35 ab

MS + NAA 0,1

7,3 a 1,23 b

MS + NAA 0,2

7,4 a 1,25 ab

KK % 41,31 23,54 Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Aklimatisasi

Secara visual pada semua media

perlakuan, bentuk akar terlihat sama yakni kurus dan rapuh. Keadaan berpengaruh pada keberhasilan aklimatisasi di rumah kaca, yang hanya 20-40%. Ukuran akar yang pendek

berpengaruh terhadap proses penyerapan unsur hara dari tanah, walaupun demikian plantlet yang bertahan hidup mampu bergenerasi dengan baik yang terlihat dari tinggi tanaman dan jumlah stolon yang terbentuk. Kemampuan masing-masing plantlet membentuk stolon tidak sama, stolon yang terbentuk bervariasi dengan rata-rata jumlah stolon baru 3,5.

Tahap aklimatisasi ini plantlet dipindahkan ke lingkungan di luar botol dalam hal ini rumah kaca dengan menggunakan media tanah sehingga plantlet dapat bertahan dan terus tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam di lapang. Penampilan plantlet di rumah kaca memperlihatkan bahwa stress yang terjadi pada eksplan selama di laboratorium, baik bentuk daun ataupun tangkai daun yang mengecil/kurus tidak terbawa, sehingga dapat dikatakan bahwa periode penyimpanan selama lima tahun tidak menimbulkan perubahan penampilan tunas.

Perbanyakan dengan menggunakan pupuk kandang dan sekam dilakukan setelah jumlah tunas memadai. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa pemberian pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap jumlah daun setelah 8 minggu tanam, yakni 7,3 per anakan dibandingkan dengan yang ditanam pada media sekam yakni 6,1 anakan, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tangkai. Demikian juga pemberian pupuk kandang dan sekam tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan jumlah bunga (Tabel 2). Tanaman pegagan yang telah diaklimatisasi, diambil plantlet yang optimum untuk analisis fitokimia. Tabel 2 Pertumbuhan tanaman setelah aklimatisasi di rumah kaca pada pupuk kandang dan sekam 8 minggu setelah tanam Perlakuan

Pupuk kandang

Sekam KK%

Jumlah daun

7.30 a 6.10 b 5.83

Panjang tangkai

8.06 b 9.75 a 18.15

Panjang stolon

46.5 a 31.23 b 9.38

Jumlah anakan

6.77 a 4.64 b 18.16

Jumlah bunga

8.31 a 4.39 a 48.08

Ket: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Page 19: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

8

Analisis Fitokimia Analisis fitokimia dilakukan untuk

mengidentifikasi golongan zat aktif dalam pegagan secara kualitatif. Hasil analisis fitokimia menujukkan bahwa kandungan alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, dan triterpenoid pegagan di lapang lebih banyak daripada hasil in vitro ditunjukkan dengan warna yang lebih pekat pada lapang. Mantell dan Smith (1983) menyatakan bahwa pada umumnya kandungan metabolit sekunder dalam kultur lebih rendah (Tabel 3).

Masalah biosintesis metabolit sekunder tanaman melalui kultur jaringan menjadi tantangan para peneliti dimana produk senyawa sekunder yang dihasilkan dari kultur jaringan sering kali lebih rendah dibandingkan produk senyawa sekunder yang berasal dari lapang. Masalah ini terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder melalui kultur jaringan, antara lain ekspresi sintesis senyawa metabolit sekunder, asal eksplan, komposisi media, jenis kultur, macam dan konsentrasi zat pengatur tumbuh, dan lingkungan kultur (Untung & Nursandi 2001). Untuk tanaman pegagan hasil in vitro selain faktor tersebut di atas, besar dugaan karena faktor periode kultur yang telah lima tahun, sehingga selama periode tersebut asupan unsur hara makro-mikro, zat pengatur tumbuh dan lingkungan kultur sangat berpengaruh. Tanaman pegagan yang berasal dari lapang tidak mengandung steroid berdasarkan data yang diperoleh, sedangkan pegagan in vitro mengandung steroid. Hal ini kemungkinan terjadi karena pada kultur jaringan kita menggunakan unsur-unsur hara pada media, khususnya mengandung zat pengatur tumbuh atau hormon yang dapat merangsang pembentukan steroid. Dugaan lain yang juga timbul adalah karena selama periode 5 tahun pegagan mendapat energi dari intensitas cahaya lampu (1000 lux) bukan dari sinar matahari, sehingga berpengaruh pada hasil aklimatisasi proses fotosintesis.

Penelitian lain dengan menggunakan daun encok yang juga membandingkan tanaman hasil in vitro dan lapang, memperlihatkan bahwa tanaman hasil kultur in vitro mengalami peningkatan diantaranya alkaloid, steroid, dan glikosida. Kandungan tanin dan saponin cenderung sedikit menurun. Hal yang cukup menarik adalah ditemukannya senyawa steroid yang tidak terdeteksi pada daun encok lapang sama

halnya seperti pegagan (Syahid & Kristina 2007).

Triterpenoid mempunyai aktivitas penyembuhan luka yang luar biasa. Saponin mempunyai manfaat mempengaruhi kolagen (tahap pertama dalam perbaikan jaringan), misal dalam menghambat produksi jaringan bekas luka yang berlebihan atau menghambat terjadinya keloid. Flavonoid terbukti menurunkan tekanan darah pada percobaan dengan anjing. Tanin dapat berguna untuk mengatasi radang usus dan sakit perut. Alkaloid berfungsi sebagai pengatur tumbuh atau penarik serangga. Steroid pegagan berfungsi sebagai hormon penyubur. Adanya steroid pada pegagan hasil in vitro 5 tahun, membuka peluang tanaman ini dapat digunakan sebagai tanaman penyubur sehingga perlu diteliti apakah kandungan steroid pada pegagan menetap dan perlu diketahui jenis steroid yang dikandungnya.

Tabel 3 Hasil uji fitokimia tanaman pegagan hasil in vitro dan dari lapang Senyawa In vitro Lapang Alkaloid ++ +++ Saponin +++ ++++ Tanin ++ ++++ Flavonoid +++ +++ Steroid ++++ - Triterpenoid + ++++ Ket : - Negatif, + positif lemah, ++ positif, +++ positif kuat, ++++ positif kuat sekali.

Konsentrasi Protein Total dan

Elektroforesis SDS-PAGE

Tanaman pegagan hasil in vitro dianalisis keragaman ekspresi proteinnya dan dibandingkan dengan pegagan yang berasal dari lapang dengan menggunakan alat elektroforesis SDS PAGE. Konsentrasi protein hasil ekstraksi dengan metode Lowry ditentukan terlebih dahulu sebelum dilakukan elektroforesis SDS PAGE. Hasil uji DMRT 0,5% menunjukkan bahwa tanaman pegagan in vitro dan lapang menunjukkan hasil kadar protein yang berbeda nyata dengan nilai KK 4,32%. Kadar protein tertinggi diperoleh pada tanaman pegagan hasil in vitro sebesar 17.092 μg/mL (Tabel 4). Distribusi nitrogen dari daun ke biji atau buah melalui floem merupakan hal yang khas pada tumbuhan herba. Distribusi nitrogen antar organ di tumbuhan kemungkinan menyebabkan perbedaan konsentrasi protein total tanaman, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor

Page 20: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

9

Tabel 4 Konsentrasi protein total pegagan hasil in vitro dan dari lapang

Ket : Berbeda nyata pada uji DMRT taraf 0,05%. lingkungan budidaya dan asupan nutrisi yang diberikan. Hal yang menyebabkan pegagan in vitro memiliki konsentrasi protein total yang lebih tinggi kemungkinan adalah penambahan unsur-unsur hara pada media. Unsur-unsur ini meliputi hara makro yang terdiri atas N, K, S, P, Ca, dan Mg. Unsur N berperan sebagai penyusun ikatan N yaitu protein, enzim, vitamin, dan lain-lain. Unsur S berperan sebagai penyusun senyawa-senyawa penting (ester asam amino, enzim, minyak atheris, vitamin B1) dan bekerja sebagai ion biasa. Unsur K berperan sebagai ion pembantu meninggikan aktivitas enzim-enzim umumnya sebagai pembawa energi. Unsur Mg berperan sebagai aktivator enzim tertentu terutama dalam proses fosforilasi dan sintesis protein. Unsur hara juga meliputi hara mikro yang terdiri atas unsur Fe, Mn, Zn, B, Cu dan Mo. Unsur Fe berperan sebagai gugus prostetis beberapa enzim (sitokrom, peroksidase, katalase), bahan pembentuk klorofil dan protein. Unsur Mn berperan sebagai aktifator enzim, pembentuk klorofil, dan metabolisme protein. Unsur Zn berperan sebagai aktifator enzim, penyusun klorofil, dan pemacu pembentukan zat tumbuh. Unsur Cu berperan sebagai bagian enzim, mungkin sebagai gugus redoks (misalnya pada laktase, fenol oksidase, askorbat oksidase), unsur Cl berperan sebagai ion biasa dan berpengaruh pada aktivitas enzim. Unsur Mo berperan sebagai bagian dari enzim (reduktase). Unsur-unsur hara tersebut dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi total protein.

Hal ini dapat dibandingkan dengan tanaman yang mendapat cekaman kekeringan. Menurut Irigoyen et al. (1992), pada tanaman kelapa sawit yang mengalami cekaman kekeringan mengalami penurunan kadar protein, begitu juga pendapat Hanson dan Hitz (1982) bahwa pada daun yang mengalami cekaman kekeringan terjadi penurunan sintesis protein dari prolin, sedangkan proteolisis protein menjadi prolin berlangsung tetap sehingga kadar protein dalam daun

menurun. Elektroforesis SDS PAGE digunakan

secara luas dalam analisis protein terutama penentuan bobot molekul subunit. Protein harus mengalami denaturasi untuk mengetahui subunit-subunit tersebut sehingga dapat dipetakan dalam elektroforegram dengan pita-pita yang berbeda. Penggunaan SDS dan merkaptoetanol dalam bufer sampel serta pemanasan ditujukan untuk mendenaturasikan protein. Denaturasi protein adalah terjadinya kerusakan struktur 3 dimensi protein menjadi rantai polipeptida yang tidak saling berikatan, tetapi ikatan peptida pada polipeptida tersebut tidak mengalami kerusakan. Tanaman pegagan hasil in vitro terlihat pita protein lebih tebal dibandingkan dengan pegagan dari lapang, dan menunjukkan adanya dua buah pita protein yang dominan masing-masing dengan bobot molekul 53.7 Kda dan 31 Kda (Gambar 2). Menurut Viestra (1993), tebal tipisnya pola pita protein kemungkinan merupakan salah satu bentuk reaksi tanaman terhadap perubahan keadaan yang tidak menguntungkan yaitu sebagai protektan kerusakan jaringan dan juga menjaga agar tidak terjadi kerusakan protein. KD 1 2 3 4 5 M 6 7 8 200 116 97.4 66 45 31 21.5 14.5 Gambar 2 Pola SDS-PAGE protein dari pegagan hasil in vitro dan dari lapang (M: protein standar,; no.1:- 2:-; 3:in vitro 1000 µg/mL; 4: in vitro 5000 µg/mL; 5: in vitro 8000 µg/mL; 6: lapang 1000 µg/mL; 7: lapang 5000 µg/mL; 8:

lapang 8000µg/mL).

SIMPULAN DAN SARAN

Perakaran pegagan periode 5 tahun kultur dapat diinisiasi dengan menggunakan MS IAA 0,1 mg/L. Dari hasil aklimatisasi terlihat keberhasilan tumbuh sekitar 20-40%. Hasil uji fitokimia pada pegagan in vitro lebih sedikit

Jenis sampel Konsentrasi sampel (μg/mL)

In vitro 17.092 a

Lapang 8.559 b

KK% 4.32

Page 21: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

10

kandungan saponin, tanin dan triterpenoidnya dibandingkan dengan dari lapang, steroid memperlihatkan kandungan yang lebih tinggi. Konsentrasi protein total pada pegagan in vitro terlihat lebih tinggi daripada yang di lapang, dan terlihat pita protein in vitro yang lebih tebal.

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukannya uji DNA, analisis komponen kimia dan steroid dari tanaman pegagan hasil in vitro 5 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Adijuwana H, Nur A. 1989. Teknik

Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.

Adnyana IK, Herowati R. 2004. Awet muda

berkat pegagan. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/01/cakrawala/penelitian.htm.[25 Feb 2007].

Andrews AT. 1986. Electrophoresis:

Theory, Techniques, Biochemical, and Clinical Application. Ed ke-2. New York: Oxford University

Dalimonthe SL, Sujiwoyo P, editor. 1987.

Kultur Jaringan Sebagai Sarana untuk Menghasilkan Metabolit Sekunder. Ed ke-2. Yogyakarta : PAU Bioteknologi UGM.

Fadly H, Hudayana D, Suseno AD. 2005.

Budidaya pegagan (Centella asiatica) sebagai usaha pedesaan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar Taman nasional Gunung Gede Pangrango.http://www.google.co.id/html.[2 Mar 2007].

Furaya T. 1982. Production of Pharmacologically active principles in plant tissue culture. Plant Tissue and Cell Culture 7:269-272.

Gardner FP, Pearce RB. 1991. Fisiologi

Tanaman Budidaya. Susilo H, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari : Physiology of Crop Plants.

Gordan AH. 1974. Electrophoresis of Protein

in Polyacrilamid and Starch Gel. New Delhi: North Holand.

Hames BD, Rickwood A, editor. 1981.

An Introduction to Polyacrilamide Gel Electrophoresis. Ed ke-4.. New york: Oxford University.

Hanson AD, Hitz WD. 1982. Metabolic

responses of mesophytes to plant water deficits. Physiol plant 33:163-203.

Harbone IB. 1987. Metode Fitokimia.

padmawinata K, Soediro I, penerjemah; Bandung: ITB Pr. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.

Harwood JL, Page RA. 1994. Biochemistry

of oil synthesis. Di dalam: Murphy D, editor. Designer Oil Crops-Breeding, Processing and Technology. Weinhem: VCH Verlagsgesellscgaft Pr. hlm. 22-26.

Hidayat. 1993. Tanaman pegagan (Centella

asiatica).http://www.kompas.com/penelitian/html.[3 Apr 2007].

Irigoyen JJ, Emerich DW, Diaz MS. 1992.

Water stress induced changes in concentrations of prolin and total solubles in nodulated alfalfa (Medicago sativa) plants. Physiol plant 85:55-60.

Januwati M, Yusron M. 2005. Budidaya tanaman pegagan. http://www.balittro.go.id/html. [2 Mar 2007].

Kristina NN. 1992. Produksi metabolit

sekunder melalui kultur in vitro. Medkom Puslitbangri 1: 18-22.

Kristina NN, Bermawie N, Sirait N.

1999. Multiplikasi tunas, perakaran dan aklimatisasi tanaman sambang nyawa (Gynura procumbens). Balittro 8: 56-64.

Kristina NN, Surachman D. 2007.

Pertumbuhan tunas pegagan setelah penyimpanan lima tahun secara in vitro dan di rumah kaca. Puslitbang Perkebunan, in press.

Nursandi F, Santoso U. 2001. KulturJaringan

Tanaman. Malang : UMM Pres. Steenis CGGJ Van. 1997. Flora.

Surjowinoto M, penerjemah; Jakarta: Pradnya Paramitha Pr. Terjemahan dari: Flora.

Page 22: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

11

Syahid SF, Kristina NN. 2007. Multiplikasi

tunas, aklimatisasi, analisis mutu dan bahan aktif daun encok (Plumbago zeylanica) asal periode panjang kultur in vitro. Balittro, Siap terbit.

Viestra RD. 1993. Protein degradation in

plants. Physiol plant 4: 385-410.

Wijayakusuma H, Wirian AS, Yaputra T, Dalimartha S, Wibowo B. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid I. Jakarta: Pustaka Kartini.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Page 23: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

LAMPIRAN

Page 24: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

13

Lampiran 1 Proses umum penelitian Stok pegagan in vitro 5 tahun Inisiasi Tanpa auksin Sub kultur Variasi auksin Perakaran aklimatisasi Sampel daun pegagan in vitro Sampel daun pegagan lapang Ekstraksi protein Uji fitokimia SDS PAGE konsentrasi protein

Page 25: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

14

Lampiran 2 Pembuatan bufer ekstraksi protein Bahan pereaksi : - Tris HCl 0.1 M pH 7,6

- EDTA 4 mM - Merkaptoetanol 0,7 % (v/v)

Pereaksi diatas dibuat dari larutan stok: Tris-HCl 2M pH 7,6

Ditimbang 24,28 gram Tris-HCl, kemudian dilarutkan sedikit demi sedikit dalam 50 mL akuades. Lalum pH ditepatkan menjadi 7,6 dengan HCl pekat. Setelah itu ditera dengan akuades hingga volume 100 mL. EDTA 0,5 M

Ditimbang 9,305 gram EDTA dan ditambahkan 1 atau 2 butir NaOH serta dilarutkan dalam 25 mL akuades. Fungsi NaOH membantu pelarutan EDTA dalam akuades. Larutan selanjutnya diasamkan dengan HCl pekat hingga pH 7,5, kemudian ditera dengan akuades hingga 50 mL.

Page 26: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

15

Lampiran 3 Pengukuran kadar protein total (Metode Lowry)

Bahan pereaksi: - Pereaksi A - Pereaksi B - Pereaksi C - Pereaksi D - Standar BSA 200 μg/ml

Pereaksi diatas dibuat dari: Pereaksi A (Na2CO3 6% dalam 0,2M NaOH)

Ditimbang 15 gram Na2CO3 dan ditambahkan 2 gram NaOH kemudian dilarutkan ke dalam akuades dan ditera sampai 250 mL, kemudian dilarutkan sedikit demi sedikit dalam 50 mL akuades. Lalu pH ditepatkan menjadi 7,6 dengan HCl pekat. Setelah itu ditera dengan akuades hingga volume 100 mL. Pereaksi B (1,5% CuSO4 dalam 3% natrium sitrat)

Ditimbang 0,2345 gram CuSO4 dan ditambahkan 0,3 gram atau 2 butir NaOH serta dilarutkan dalam 25 mL akuades. Larutan selanjutnya diasamkan dengan HCl pekat hingga pH 7,5 kemudian ditera dengan akuades hingga 50 mL. Pereaksi C dan Pereaksi D

Pereaksi C merupakan campuran dari pereaksi A dengan pereaksi B dengan perbandingan 50:1 (14,7 mL: 0,3 mL) dan pereaksi D dari campuran Folin Ciocalteus dengan akuades dengan perbandingan 3:1 (3,75 mL: 1,25 mL)

Page 27: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

16

Lampiran 4 Larutan standar protein untuk metode Lowry (Deuscher 1990)

Pereaksi Larutan standar (μg/mL)

0 12,5 25 50 100

BSA 200μg/mL (mL) 0 0,1 0,2 0,4 0,8

Akuades (mL) 1,6 1,5 1,4 1,3 0,8

Pereaksi C (μL) 600 600 600 600 600

Pereaksi D (μL) 200 200 200 200 200

Page 28: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

17

Lampiran 5 Pembuatan Gel SDS-PAGE

Dibuat running gel (separating gel) sesuai kebutuhan volume dan kepekatan

(% akrilamid) Running gel (akrilamid 12%) No Bahan Pereaksi Volume (mL) 1 Akuades (H2O) 3,35 2 Tris-HCl 1,5 M pH 8,8 2,5 3 SDS 10% 0,1 4 Akrilamid 4 5 Ammonium Persulfat (APS)

10% 0,05

6 TEMED 0,008 Bahan pereaksi no 1-4 ditambahkan langsung dalam erlenmeyer kemudian divakumkan. Kemudian campuran digoyang-goyang dan dimasukkan kedalam cetakan gel sampai batas tertentu (disesuaikan dengan tinggi comb). Kemudian ditambahkan air atau 2-propanol supaya permukaan gel merata dan dibiarkan hingga beku. Air atau 2-propanol tersebut diambil dengan kertas saring kemudian dimasukkan larutan stacking gel 4,5%. Stacking gel 4,5% No Bahan Pereaksi Volume (mL) 1 Akuades (H20) 2,95 2 Tris-Hcl 1.5M pH 8,8 1,25 3 SDS 10% (b/v) 9,05 4 Akrilamid 0,7 5 Ammonium persulfat (APS)

10% 0,05

6 TEMED 0,008

Campuran stacking gel digoyamg-goyang dan dimasukkan kedalam cetakan gel yang telah berisi running gel serta dipasang comb. Dibiarkan sampai beku, kemudian comb dilepaskan perlahan-lahan. Jika siap digunakan sampel dimasukkan ke dalam well (loading buffer:sampel = 1:1). Kemudian dipanaskan selama 4 menit. Elektroforesis dijalankan hingga mencapai ujung gel dengan voltase yang dipakai 110-150 volt. Setelah elektroforesis dilanjutkan dengan pewarnaan.

Page 29: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

18

Lampiran 6 Pewarnaam gel SDS PAGE

Pewarnaan dengan Coomasie Blue A. Larutan Pewarna

-Metanol 45,5% -H2O 45,5% -Asam asetat 9% -Coomasie Blue R 250 0,09%

Campuran larutan disaring kemudian gel direndam dalam larutan pewarna selama 2 jam sambil digoyang-goyangkan.

B. Perendaman Gel Setelah diwarnai gel direndam dalam akuades dan di microwave selama 10 menit. Kemudian gel disimpan dalam asetat 7% hingga pengeringan dan pengawetan gel dilakukan dengan selofan dan dibiarkan semalam diruang dingin.

Page 30: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

19

Lampiran 7 Pembuatan kurva standar Bovine Serum Albumin (BSA)

Absorban larutan standar BSA 0-100 μg/mL pada λ 750 nm

Konsentrasi (μg/mL) Absorban

0,00 0,0000

12,50 0,1820

25,00 0,2130

50,00 0,3800

100,00 0,6380

Kurva Standar Bovine Serum Albumin

y = 0,006x + 0,0581R2 = 0,9711

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

Konsentrasi Protein (ug/ml)

Absorbansi 750 nm

Page 31: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

20

Lampiran 8 Nilai absorbansi dan konsentrasi sampel pegagan dan perolehan nilai

Konsentrasi sebenarnya

Sampel Absorban Konsentrasi protein (µg/mL)

Lapang 1 0,6880 105,22

Lapang 2 0,7120 109,23

In vitro 1 1,3690 218,99

In vitro 2 1,3100 209,13

Perolehan nilai konsentrasi sebenarnya

Sampel Konsentrasi rata-rata (µg/mL)

Faktor pengenceran

Konsentrasi protein sebenarnya (µg/mL)

Lapang 107,23 80 X 8.559

In vitro 214,06 80 X 17.092

Page 32: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

21

Lampiran 9 Volume sampel dan buffer yang dimasukan ke sumur pada konsentrasi tertentu

Contoh perhitungan: Volume sampel konsentrasi 5000 µg/mL: 5000 X 30 µL = 5000 µg/mL X 30 µL Konsentrasi awal 17124.8 µg/mL = 8,8 µL Volume akuades: 15 µL – 8.8 µL = 6.2 µL

Sampel Konsentrasi protein SDS PAGE (µg/mL)

Volume sampel (µL)

Volume akuades (µL)

Volume buffer sampel (µL)

Volume total (µL)

Lapang 1000 3,5 11,5 15 30 5000 17,5 - 12,5 30 8000 15 - 15 30

In vitro 1000 1,8 13,2 15 30 5000 8,8 6,2 15 30 8000 14 1 15 30

Page 33: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

22

Lampiran 10 Perhitungan BM pita protein pada elektroforesis SDS-PAGE

Nilai Rf dan log BM protein standar

No pita Rf BM (kDa) log BM

1 0,0400 200,00 2,300

2 0,1000 116,00 2,060

3 0,1500 97,40 2,100

4 0,2500 66,00 1,820

5 0,4000 45,00 1,650

6 0,5800 31,00 1,490

7 0,8100 21,50 1,330

8 1,0000 14,50 1,160

Page 34: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

23

Lampiran 11 Gambar tanaman pegagan hasil in vitro ketika diberi perlakuan perakaran

Gambar 3 Penampilan batang dan daun pegagan Pada media MS.

Gambar 4 Penampilan akar pegagan pada media MS.

Gambar 5 Penampilan batang dan daun pegagan pada media MS + IAA 0,1 dan 0,2 mg/L.

Page 35: ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN

24

Lanjutan lampiran 11...

Gambar 6 Penampilan akar pegagan pada media MS + IAA 0,1 dan 0,2 mg/L.

Gambar 7 Penampilan batang dan daun pegagan pada media MS + IBA 0,1 dan 0,2 mg/L.

Gambar 8 Penampilan akar pegagan pada media MS + IBA 0,1 dan 0,2 mg/L.