analisis hermeneutika teks pidato hamka: islam...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
ANALISIS HERMENEUTIKA TEKS PIDATO HAMKA:
ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwan dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi
Salah Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Enny Khurniasari
NIM: 108051000002
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2013 M.
ANALISIS HERMENEUTIKA TEKS PIDATO HAMKA:
ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Enny Khurniasari
NIM:108051000002
Pembimbing
Dr. Arief Subhan, MA
NIP.1966011101993031004
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2013 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul, ANALISIS HEMENEUTIKA TEKS PIDATO
HAMKA: ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA, telah diujikan dalam Sidang
Munaqasah di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 21 Mei 2013. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar sarjana program strata 1 (S.1)
pada bidang Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Ciputat, 21 Mei 2012
Sidang Munaqasah
Ketua Sekretaris
Drs. Wahidin Saputra, MA Umi Musyarrofah, MA
NIP: 197009031996031001 NIP: 197108161997032002
Anggota
Penguji 1 Penguji 2
Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA Drs. S. Hamdani, MA
NIP: 196212311988031032 NIP: 195503091994031001
Pembimbing
Dr. Arief Subhan, MA
NIP: 1966011101993031004
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memeroleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau melakukan hasil penjiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanki yang berlaku Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 20 Mei 2012
Enny Khurniasari
i
ABSTRAK
Enny Khurniasari
108051000002
Analisis Hermeneutika Teks Pidato Hamka: Islam Sebagai Dasar Negara
Menciptakan dasar negara Indonesia amat sulit karena terdiri dari berbagai
macam perbedaan. Para pendiri bangsa ini memiliki perbedaan pemikiran dalam
menetapkan dasar negara. Kelompok pemikiran itu terpecah menjadi nasionalis
muslim dan nasionalis sekuler. Perdebatan pendapat tersebut berpadu pada sidang
Konstituante dari tahun 1956-1959. Dari kelompok Islam Hamka adalah salah
satu pembicara penting dari Masyumi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: Apa saja nilai-nilai Islam yang menjadi dasar negara pada
teks pidato Hamka yang berjudul Islam sebagai dasar negara?
Teks pidato Hamka tidak seutuhnya menyebutkan nilai Islam secara jelas
yang dapat dijadikan sebagai dasar negara. Dalam pidatonya lebih banyak
menggunakan analogi, contoh dan simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai
Islam.
Melalui paradigma interpretif, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif deskriptif. Sumber data diperoleh melalui dua cara yakni primer, diambil
dari teks naskah pidato Hamka pada sidang Konstituante. Kedua data sekunder
didapatkan dari berbagai sumber literatur yang mendukung.
Adapun metode kualitatif adalah meneliti objek-objek yang tidak dapat
diukur secara eksak atau angka-angka. Penelitiannya bersifat deskriptif berupa
kutipan-kutipan kalimat dan cenderung menggunakan analisis.
Analisis penelitian ini menggunakan teori hermeneutika dari Paul Ricoeur.
Cara kerja hermeneutika ini melalui dua tahap, pertama penjelasan yakni
membedah struktur teks yang disebut dengan semiologi struktural. Tahap kedua
pemahaman yakni memahami teks melalui apropriasi peneliti.
Pidato Hamka mengandung nilai-nilai Islam sebagai dasar negara
adalah:teks pertama manyatakan bahwa nilai keimanan yang berbentuk sikap
nasionalisme merupakan dasar utama yang diungkapkan melalui kalimat Allahu
Akbar; pegertian yang lebih spesifik dari teks pertama tertuang pada teks kedua
yang menyatakan bahwa Islam dan nasionalisme merupakan ideologi; teks ketiga
negara berdasar Islam mengambil hukum dari al-Quran sebagai rujukan utama,
namun non-muslim dan muslim juga dapat menciptakan konsensus untuk mencari
hukum; teks keempat menyatakan bahwa nilai Islam sebagai dasar negara
memberikan garansi kebebasan bagi kaum non-muslim; teks kelima menyatakan
kebebasan melahirkan sistem keadilan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Islam yang
dijadikan dasar negara oleh Hamka pada pidatonya adalah nilai keimanan,
nasionalisme, hukum al-Quran dan konsensus, kebebasan, dan keadilan.
Kata Kunci: Hermeneutika, Islam, Dasar Negara, Konstintuante, Hamka.
ii
KATA PENGANTAR
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas janji-janji Mu yang
terbukti dan selalu coba penulis buktikan, atas nikmat-nikmat Mu yang tak pernah
Kau syaratkan, atas kesempatan yang Engkau berikan pada manusia untuk
menciptakan peradaban di bumi meski Engkau didebat oleh malaikat-malaikat
Mu. Sembah sujud atas segala kesombongan yang pernah terlintas pada diri
penulis, karya ini tidak sampai secuil ilmu yang penulis dapatkan dari Sang Maha
Berilmu. Alhamdulillah.
Serta kepada kekasih Mu, Muhammad Saw yang tidak pernah mengiba
dengan segala kesulitan yang ia hadapi saat mendakwahkan agama Mu. Rindu
syafaatmu duhai kekasih Sang Pencipta tetap berada pada urat nadi ini.
Setelah berdebat dengan diri sendiri bahwa hakikat mencari ilmu bukanlah
urusan waktu, akhirnya dengan kesabaran itu karya ini menjadi sebuh tongkat
estafet eksistensi ilmu. Meski penulis sadari, karya ini belum mencapai
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran
para pembaca.
Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk
itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi sekaligus
pembimbing penulis, Dr. Arif Subhan, MA. Telah berbagi pandangan dan
pemikiran aplikatif dan filosofis meskipun diberikan secara singkat. Pudek
I Drs. Wahidin Saputra, MA, Pudek II Drs. Mahmud Jalal, MA, Pudek III
Drs. Studi Rizal LK, MA.
iii
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Drs.
Jumroni, M.Si, Ibu Umi Musyarofah, MA.
3. Terima Kasih kepada jajaran dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, atas kontribusi, memberikan pandangan, motivasi, dan tentu
ilmunya selama ini.
4. Seluruh staf Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
perpustakan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, perpustakaan Sekolah
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Universitas
Budi Luhur, perpustakan Universitas Indonesia, dan perpustakan
Nasional.
5. Kepada orang tua penulis, Bapak H.Bari yang tidak henti menyebutkan
nama penulis disetiap sujudnya. Serta kepada Mamak Misrini yang
diberikan waktu sembilan tahun oleh Tuhan untuk menemani penulis,
semoga Allah mengampuni dosanya. Terima kasih atas pelajaran
kesederhanaan, pelajaran penganalogian dan pelajaran demokrasi.
6. Terima kasih kepada keempat kakak penulis beserta keluarga, yang tak
lain menjadi tempat meletakkan kejenuhan. Menjadi orang-orang terdepan
saat penulis tak mampu memopang ketika kehidupan tidak setuju dengan
idealisme.
7. Kepada sahabat-sahabat KPI A 2008 yang melukis sejarah kehidupan
penulis dengan tinta pemikiran, ideologi, ambisi, mimpi, marah, malu,
takut, tidak percaya diri, pemberani, malas, rajin, pujian, hinaan,
bertanggungjawab, apatis, keteguhan, pemberontakan adalah seperti
tumpukkan dokumen yang menjadi mata kuliah berharga bagi penulis.
iv
8. Terima kasih kepada Asia Moslem Charity Foundation telah memberikan
kesempatan penulis untuk belajar tanpa persyaratan materil serta teman-
teman satu tapak perjuangan.
9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu
yang tidak dapat disebutkan satu persatu, seluruh bantuan dari berbagai
pihak tetap terpatri tanpa tinta.
Ciputat, 20 Mei 2012
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL ..................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................................. 5
C. Tujuan Penelitian..................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 7
F. Metodologi Penelitian ............................................................................ 9
1. Paradigma Penelitian ......................................................................... 9
2. Metode Penelitian .............................................................................. 10
3. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 12
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 13
5. Teknik Analisis Data ......................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 14
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................ 16
A. Komunikasi ........................................................................................... 16
1. Pengertian Komunikasi ................................................................... 16
2. Unsur-unsur Komunikasi ................................................................ 17
B. Hermeunitika ........................................................................................ 18
1. Pengertian ........................................................................................ 18
2. Sejarah dan Perkembangan ............................................................. 18
C. Hermeunitika dalam Komunikasi ........................................................ 22
D. Hermeunitika Paul Ricouer .................................................................. 23
1. Pengertian ........................................................................................ 23
2. Teks dan Cakrawala Teks ............................................................... 24
3. Distansi Teks ................................................................................... 26
4. Apropriasi ......................................................................................... 28
5. Penjelasan dan Pemahaman ............................................................ 29
E. Wacana Pancasila Sebagai Dasar Negara ..................................................... 32
F. Wacana Negara Islam ................................................................................... 33
BAB III GAMBARAN UMUM ............................................................................. 38
A. Biografi Hamka .................................................................................... 38
B. Karya-karya Hamka ............................................................................. 43
C. Sidang Konstintuante ........................................................................... 45
D. Gambaran Umum Pidato Hamka : Islam Sebagai Dasar Negara ....... 47
E. Kronologi Lahirnya Pancasila ............................................................. 51
BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN DATA ........................................................ 52
A. Teks Pidato Hamka Sebagai Wacana ................................................... 52
B. Penjelasan dan Pemahaman .................................................................. 52
1. Teks Pertama .................................................................................. 52
1.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural .............................. 54
1.2. Pemahaman dengan Apropriasi ............................................ 55
2. Teks Kedua ..................................................................................... 60
2.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural .............................. 60
2.2. Pemahaman dengan Apropriasi ............................................ 62
3. Teks Ketiga ..................................................................................... 65
3.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural ............................. 65
3.2. Pemahaman dengan Apropriasi ........................................... 66
4. Teks Keempat ................................................................................. 69
4.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural ............................ 69
4.2. Pemahaman dengan Apropriasi .......................................... 70
5. Teks Kelima .................................................................................... 73
5.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural .............................. 73
5.2. Pemahaman dengan Apropriasi ............................................ 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .......................................................................................... 77
B. Saran .................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 80
LAMPIRAN ............................................................................................................. 84
viii
DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL
Diagram 1 : ...................................................................................................................... 12
Diagram 2 : ...................................................................................................................... 30
Diagram 3 : ...................................................................................................................... 31
Tabel 1 : ...................................................................................................................... 43
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap bangsa memiliki nilai-nilai sebagai landasan utama.
Landasan itu dibangun berdasarkan pemikiran, fondasi, jiwa, dan hasrat
mendalam yang lahir melalui proses pemikiran panjang. Kemudian
dipegang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Indonesia
memplokamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebagai negara yang
merdeka sudah sepatutnya memiliki landasan guna menyatukan bangsa
yang majemuk dan menunjukkan jati diri bangsa.
Seperti yang kita ketahui, landasan bangsa Indonesia adalah
Pancasila. Setiap 1 Juni diperingati sebagai hari Pancasila, mengenang
pidato Soekarno di depan sidang BPUPKI (Badan Penyidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia).1 Di balik gegap gempita peringatan
tersebut, terselip perhatian peneliti bagaimana proses terbentuknya
Pancasila. Secara empiris Pancasila tidak serta merta lahir secara
normal, proses terbentuk dan lahirnya melewati perdebatan cukup
panjang dan keras pada subtansi maupun implementasi.
Setelah Pancasila disepakati pada sidang BPUPKI, isu sensitif
mengenai ideologi negara muncul kembali ketika Soekarno berpidato di
Amuntai pada 27 Januari 1953. Soekarno secara terang-terangan
mempropagandakan Pancasila sebagai ideologi pemersatu dan menentang
1 A.M.W Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila (Jakarta: Centre For
Strategic and International Studies, 1985), h. 52.
2
Islam.2 Akibatnya para tokoh agama gusar dan khawatir mengenai
ideologisasi tersebut.
Babak selanjutnya setelah pemilu 1955 untuk pertama kali, dihelat
sidang Konstituante sebagai upaya permusyawarahan pembentukan
undang undang dasar menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara.3
Babak ini menjadi babak fundamental bagi perjalanan hukum Islam di
Indonesia selanjutnya. Salah satu dari topik pembahasan sidang tersebut
adalah mengenai dasar negara. Pada pembahasan ini menemui banyak
kendala, terjadi perbedaan argumen antar masing-masing kelompok.
Konflik ideologi tersebut terungkap secara jelas, dikotomi yang
paling kentara adalah Nasionalis-Sekuler dengan Nasionalis Muslim.4
Partai-partai berbasis Islam menawarkan Islam sebagai dasar negara,
sedangkan kelompok nasionalis bersikukuh mempertahankan Pancasila
sebagai dasar negara. Ideologi Barat Modern Sekuler tampak dari
pendapatnya yang menginginkan sosial ekonomi sebagai dasar negara
serta menolak Pancasila maupun Islam sebagai dasar negara. Ideologi
kebangsaan mempertahankan Pancasila. Perpecahan ideologi ini dikenal
dengan Ideologi Tripolar.5
Percaturan politik ini menimbulkan perdebatan yang tidak dapat
dielakkan. Masing-masing kelompok saling menyerang usulan yang dalam
pandangan mereka tidak cocok untuk dijadikan ideologi negara.
2Asad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemashlahatan Berbangsa (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2009), h. 169. 3Ibid,. h. 171.
4Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 1999), h. vii. 5Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, h. 295.
3
Argumen-argumen politis yang dipadukan dengan kekuatan retorika dan
sentimen keagamaan, mendominasi perdebatan politik dalam Sidang
Konstituante.
Dari pihak Islam, Masyumi menjadi salah satu partai Islam
terdepan dalam mengkampanyekan Islam sebagai ideologi bagi negara
Indonesia. Untuk mencapai cita-cita tersebut, golongan ini menginginkan
Islam sebagai dasar negara dan menyerukan penolakan terhadap paham
Komunis. Salah satu tokoh utama yang berpidato mewakili Masyumi pada
sidang Konstituante adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih
dikenal dengan nama Hamka. Beliau berkesempatan menyampaikan
pidatonya yang berisi sebuah tawaran Islam untuk dijadikan sebagai dasar
negara.
Hamka merupakan salah satu ulama di Indonesia yang menguasai
berbagai bidang ilmu keislaman mulai dari hadits, akidah, filsafat, fiqh,
tasauf, sastra, kebudayaan Islam, tafsir. Karya monumental beliau adalah
Tafsir Al-Azhar yang sebagian penelitiannya diselesaikan ketika beliau
ditahan pada masa Orde Lama. Secara umum Hamka di samping dikenal
sebagai seorang ulama, pujangga, sejarawan, jurnalis dan sastrawan.
Beliau juga dikenal sebagai organisator, yang memangku jabatan-jabatan
seperti ketua bagian Taman Pustaka, Ketua Tabligh Muhammadiyah,
Majelis Pimpinan Muhammadiyah. Hingga akhirnya dipercaya sebagai
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975 hingga 1981.6
6 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20
(Depok: Insani Press, 2006), h. 97.
4
Karirnya mulai merambah pada dunia politik dan bergabung pada
partai politik Sarekat Islam. Setelah Sarekat Islam dibubarkan oleh
pemerintah Jepang, pada tanggal 7 November 1945 Masyumi berdiri
sebagai federasi dari empat organisasi Islam yakni Nahdatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam
Indonesia dan Hamka menjadi anggotanya.7
Pidato Hamka mengandung berbagai macam gaya yang diracik
menjadi sebuah argumen, sindirin, keyakinan, harapan. Gaya bahasa ini
tentu dipengaruhi cara berfikir Hamka, yang dikenal sebagai seorang
ulama besar dan kaya dengan berbagai disiplin ilmu. Retorika pada pidato
adalah salah satu cara guna memengaruhi pemikiran orang lain, dimana
pesan menjadi hal penting. Pesan-pesan dalam pidato Hamka bukan
semata-mata untaian kalimat biasa, keseluruhan pidato tersebut
mengandung sejarah, pantun, dalil, analogi, yang keseluruhannya
mengandung pesan. Namun, pada tiap bait kalimat yang beliau sampaikan
tidak seluruhnya mengandung nilai Islam sebagai dasar negara. Oleh
karena itu peneliti tertarik mencari pesan yang mengandung nilai-nilai
Islam sebagai dasar negara menurut konsep Hamka.
Penelitian ini dimaksudkan mencari nilai yang seperti apa yang
ditawarkan Hamka melalui pidatonya pada saat sidang Konstituante.
Karena berpidato adalah salah satu bentuk komunikasi, penggunaan
bahasa dalam komunikasi merupakan bentuk simbol-simbol yang
7Ibid,. h. 64.
5
merepresentasikan apa yang dimaksud teks melalui interpretasi atas
simbol-simbol tersebut.
Keadaan tersebut menempatkan peneliti menjadi interpreter yang
mengkreasi dan menstruktur berdasarkan penafsiran subjektif, dalam arti
peneliti berinteraksi langsung dengan teks tanpa pengarang. Interaksi
melalui hermeneutika, yang memberi ruang bagaimana konstruksi pesan
dilakukan. Sehingga bahasa dalam pidato tersebut menjadi kunci utama
dalam pencarian nilai-nilai Islam yang ditawarkan Hamka. Oleh karena itu
penelitian ini berjudul Analisis Hermeneutika Teks Pidato Hamka:
Islam Sebagai Dasar Negara.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi hanya pada pidato Hamka Islam sebagai
Dasar Negara, yang disampaikan pada sidang Konstituante pada 11
November 1957 di Bandung. Fokus yang akan diteliti adalah nilai-nilai
Islam dalam pidato tersebut dilihat dari perspektif hermeneutika Paul
Ricouer.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan permasalahan di atas, penelitian ini
dirumuskan dalam pertanyaan mayor dan minor:
1. Apa saja nilai-nilai Islam yang menjadi dasar negara pada teks
pidato Hamka yang berjudul Islam sebagai Dasar Negara?
6
2. Bagaimana penerapan analisis semiologi struktural dan apropriasi
peneliti pada teks pidato Hamka yang berjudul Islam sebagai
Dasar Negara?
3. Bagaimana penerapan analisis apropriasi peneliti pada teks pidato
Hamka yang berjudul Islam sebagai Dasar Negara?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan eksplorasi interpretatif dengan tujuan
untuk mengetahui makna nilai-nilai Islam sebagai dasar negara pada
naskah pidato Hamka Islam Sebagai Dasar Negara pada sidang
Konstituante.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan Ilmu Komunikasi. Serta dapat memperluas kajian
hermeneutika sebagai metode penelitian komunikasi, khususnya
komunikasi pesan. Serta aplikasinya terhadap proses interpretasi dan
pemahaman teks.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi
komunikasi dan masyarakat secara luas. Dapat membuka pandangan
pembaca secara luas mengenai perbedaan pendapat tentang dasar
negara, serta nilai-nilai Islam yang ditawarkan sebagai dasar negara
yang termaktub pada naskah pidato Hamka.
7
E. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelusuran ke beberapa
Perpustakaan yakni Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Perpustakaan
Universitas Indonesia, Perpustakaan ISIP Jakarta, dan Perpustakaan
Universitas Budi Luhur. Berdasarkan penelusuran tersebut peneliti
menemukan beberapa penelitian tentang hermeneutika yang
dipergunakan sebagai metodologi untuk meneliti ideologi.
Penelitian yang berkaitan langsung dengan hermeneutika dan
Pancasila dilakukan oleh Leo Budiman, Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Budi Luhur tahun 2010, dengan judul Pancasila Menurut
Soekarno (Analisis Hermeneutika Wilhem Dilthey pada Pidato Lahirnya
Pancasila 1 Juni 1945). Pada penelitian ini mengeksplorasi teks pidato
Soekarno untuk mencari konsep Pancasila melalui teks tersebut memakai
hermeneutika Wilhem Dilthey, memahami teks dengan menggunakan
autobiografi Soekarno. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
konsep Pancasila yang diusung Soekarno merupakan hasil penggalian
terhadap kebudayaan bangsa Indonesia sejak masa kejayaan Sriwijawa
dan Majapahit.
Penelitian berikutnya, yang mengaitkan Islam dengan
hermeneutika dilakukan oleh Dr. Solatun Ibnu Muhammad Djamil
dalam tesisnya yang berjudul Islam dan Etika Komunikasi. Magister
Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran bandung tahun 1999.
8
Penelitiannya telah diterbitkan menjadi salah satu judul penelitian dalam
buku yang berjudul Metode Penelitian Komunikasi. Penelitian ini
mengeksplorasi teks-teks Al-Quran menggunakan teknik hermeunitik
dengan fokus penelitian komunikasi antaragama. Hasil dari penelitian ini
menemukan pendekatan etis dalam komunikasi antaragama menurut
sudut pandang Islam tekstual, merupakan suatu pendekatan dengan mana
orang-orang berbeda agama saling berkomunikasi dalam segala urusan
dan menjadikan dasar etikalitas sebagai takaran yang menunjukkan
derajat komunikasi yang etis atau tidak etis.
Komunikasi antaragama etis jika isi pesan yang disampaikannya;
metode penyampaiannya; argumen pendukungnya; cara komunikator
mengekspresikan seluruh sikap personalnya; pengaruh yang ditimbulkan
pada lawan komunikasi yang berbeda agama yaitu ditimbulkannya rasa
simpatik, senang, bersahabat, dan hormat.
Penelitian yang mengaitkan hermeneutika dengan wacana
feminisme dilakukan oleh Fitria Lestari Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Budi Luhur dengan judul Wacana Feminisme dalam Novel
Ayu Manda (Studi Analisis Hermeneutika). Metode penelitian ini
menggunakan Hermeneutika dari Paul Ricoeur. Hasil penelitian yang
diperoleh adalah novel ini menggambarkan bagaimana budaya patriarki
telah melahirkan ketidakadilan gender terhadap perempuan, serta posisi
perempuan Bali yang direpresentasikan lewat tokoh utama yakni Ayu
Manda.
9
Kedai Tiga Nyonya Sebagai Representasi Budaya Peranakan
Cina-Jawa skripsi yang ditulis oleh Lisa Andriani Fakultas Ilmu
Komunikasi Budi Luhur tahun 2009. Penelitian ini juga menggunakan
teori representasi Hermeneutika Wilhelm Dilthey, dengan pendekatan
kualitatif dan metode etnografi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa Kedai Tiga Nyonya merepresentasikan budaya sesuai dengan
riwayat hidup pemilik kedai. Kedai ini membentuk ruang-ruang sosial
dan simbolik, sebagai sebuah ruang yang menjadi refleksi dari
perancang dan masyarakat yang hidup di dalamnya.
Dari beberapa tinjauan penelitian terdahulu berbeda dengan
penelitian ini, menggunakan naskah pidato Hamka yang berjudul Islam
Sebagai Dasar Negara sebagai subjek penelitian. Serta menggunakan
hermeneutika dari Paul Ricoeur sebagai teknik penelitian untuk mencari
nilai-nilai Islam sebagai dasar negara yang terkandung pada naskah
tersebut.
F. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Dalam penelitian ini menerapkan paradigma besar dalam penelitian
komunikasi yakni paradigma interpretif. Pandangan dasar perspektif
ini bahwa kebenaran itu bukan realitas tunggal, melainkan jamak.
Paradigma ini mewarnai penelitian komunikasi melalui beberapa
prinsip dasar, yakni: (1) pengalaman subjektif (2) kreasi intersubjektif
10
dalam makna (3) pemahaman sebagai tujuan akhir dalam riset sosial,
dan (4) hubungan antara yang tahu dan yang diketahui8
Perlu ditekankan pada prinsip yang ketiga sebagai tujuan akhir dari
penelitian paradigma interpretif adalah pemahaman bukan generalisasi.
Demikian pula dengan penelitian ini terarah di jalan paradigma
interpretif. Teks yang diteliti akan melahirkan makna pemahaman
melalui intersubjektif.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan studi kepustakaan atau library research,
yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan sumber utama berupa
literatur (kepustakaan), baik berupa buku, jurnal, artikel, penelitian
terdahulu dan sumber-sumber literatur yang menunjang penelitian ini.9
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yakni metode
yang menyelidiki objek-objek yang tidak dapat diukur secara eksak.
Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Conny R. Semiawan
menyatakan penelitian kualitatif adalah mencari pengertian yang
mendalam tentang suatu gejala, fakta atau realita yang tidak dapat
dipahami bila peneliti menelusuri hanya terbatas pada permukaan
saja.10
8Elvinaro Erdianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Komunikasi (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2007), h. 137. 9M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), h. 11. 10
Conny R. Semiawan, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan
Keunggulannya (Jakarta: Raja Grasindo, 2001), h. 1-2.
11
Melalui strategi interpretatif dan menggunakan teknik hermeunitik,
yakni suatu metode untuk menafsirkan simbol-simbol berupa teks atau
sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan
maknanya (dalam hal ini teks yang dimaksud adalah pidato Hamka).
Metode penelitian komunikasi hermeneutika memiliki dua jenis, yaitu
hermeneutika sebagai perangkat memahami teks (text hermeneutics)
dan hermeneutika sebagai perangkat memahami kebudayaan
hermeneutika sosial (social/cultural hermeunitics). Adapun penelitian
ini menggunakan text hermeunitics, teks dipahami sebagai setiap
artefak yang dapat diteliti dan diinterpretasi.11
Melalui analisis hermeneutika, tentu teks-teks yang menjadi subjek
penelitian bersifat polisemis, yaitu mengandung banyak makna
bergantung pada peneliti dengan latar belakang budayanya. Pada
penelitian ini menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur untuk
menjelaskan nilai-nilai Islam pada naskah Pidato Hamka Islam
sebagai Dasar Negara.
Hermeneutika Paul Ricouer memiliki dua model, disebut lingkaran
hermeneutika yang dapat diterapkan dalam penelitian teks adalah
sebagai berikut:
a. Pertama adalah penjelasan diakui sebagai posisi objektif dari
penelitian hermeneutika, melalui semiologi struktural yang mencoba
membedah struktur-struktur intern teks, tanpa melihat hubungan pada
dunia yang ada diluar teks. Peneliti berusaha menginterpretasikan teks
11
Stephen W. Littejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Jakarta: Salemba
Humanika, 2008), h. 193.
12
yang terdapat dalam naskah tersebut. Berdasarkan teknik penelitian ini,
maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kutipan-kutipan
kalimat.
b. Kemudian analisis kedua disebut dengan pemahaman, merupakan
analisis dengan melihat rujukan yang ada diluar teks yang disebut
sebagai makna kontekstual yang didapatkan melalui apropriasi.
Pemahaman sepenuhnya diperantai oleh seluruh prosedur penjelasan
yang mendahului dan mengiringinya.12
3. Kerangka Pemikiran
Supaya penelitian ini lebih terarah serta mudah dipahami, di bawah
ini merupakan gambaran kerangka pemikiran peneliti:
Diagram 1: Kerangka Pemikiran
12
Paul Ricoeur, Hermeneutika Sosial. Penerjemah Muhammad Syukri (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2006), h. 293.
Teks Pidato Hamka sebagai Wacana
Dunia Internal Teks
Penjelasan 'Semiologi Struktural'
Dunia Peneliti
Pemahaman
'Apropriasi Peneliti'
Nilai-Nilai Islam sebagai Dasar
Negara
13
4. Teknik Pengumpulan Data
Pada teknik pengumpulan data, peneliti memerlukan sejumlah
data yang dapat mendukung dan memperkuat hasil penelitian. Peneliti
menggunakan dua macam teknik, yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
subjek yang diteliti yakni naskah pidato Hamka yang disampaikan
pada sidang Konstituante tanggal 12 November 1957 di Bandung, dan
telah dibukukan dengan judul Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia dalam Sidang Konstituante.13
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan cara studi
kepustakaan (library research), pengumpulan data melaui sumber-
sumber bacaan dari berbagai literatur seperti teks-teks, buku, artikel,
majalah, yang berkaitan dengan penelitian serta mendukung proses
penelitian ini.
5. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini bentuk teknik analisisnya adalah analisis
deskriptif yakni data yang dikumpulkan adalah berupa kata, kalimat, atau
teks, dan menggunakan pendekatan kualitatif. Selain itu, semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap suatu yang
13
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante Jilid III (T.tp, T.pn,
1958), h. 56-79.
14
diteliti.14
Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan
data dan pengolahan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan
tersebut.
Data-data tersebut kemudian diolah dengan alat bantu teori yakni
lingkaran hermeunitik Ricoeur. Penjelasan berarti dekonstektualisasi atau
analisis secara bahasa. Kemudian pada pemahaman atau kontekstualisasi
yang merupakan analisis dengan melihat rujukan yang ada di luar teks.
Pemahaman sepenuhnya diperantai prosedur penjelasan yang mendahului
dan mengiringinya.
Pada prakteknya analisis dilakukan dengan mencari simbol-simbol
verbal yang tersembunyi tentang nilai-nilai Islam sebagai dasar negara
dalam naskah pidato Hamka. Sebelum peneliti melakukan analisis,
pertama yang peneliti lakukan adalah mengorganisasikan data berupa
potongan bait atau paragraf yang mengandung nilai-nilai Islam sebagai
dasar negara menjadi suatu data yang dapat dikelola. Kemudian peneliti
mengumpulkan data sekunder yang menjadi bahan analisis berikutnya
sebagai upaya kontekstualisasi pada tahap analisis pemahaman.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini mengacu pada buku Pedoman Akademik pada Bab
Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) oleh
CeQda (Center for Quality Develompent and Assurance) Universitas Islam
14
Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 11.
15
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. Penelitian dibagi dan dirinci
hingga lima bab, dengan sistematika terdiri dari:
Bab 1 yaitu Pendahuluan merupakan penjelasan dari latar belakang
permasalahan penelitian skripsi ini. Didalamnya juga dijelaskan batasan
dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data, dan terakhir sistematika penelitian.
Bab 2 berisi tentang Kajian Teori yang menguraikan tentang
Pengertian Komunikasi, uraian singkat mengenai retorika, Pancasila
sebagai dasar negara, dasar negara berasaskan Islam, penjelasan mengenai
hermeneutika serta perkembangannya, hermeneutika dalam komunikasi,
serta hermeneutika Paul Ricoeur.
Bab 3 membahas Gambaran Umum yang menguraikan tentang
Biografi Hamka serta karya-karya beliau, kemudian penjelasan mengenai
sidang Konstituante tahun 1956 hingga 1958, dilanjutkan dengan
gambaran umum pokok penelitian ini yaitu pidato Hamka Islam Sebagai
Dasar Negara, dan yang terakhir adalah gambaran kronologis lahirnya
Pancasila.
Bab 4 Pembahasan dan Analisis Data. Pada bab ini terdiri
membahas analisis lingkaran hermeneutika Paul Ricouer yang terdiri dari
analisis struktural sebagai upaya dari penjelasan, dilanjutkan pada proses
pemahaman melalui apropriasi.
Bab 5 kesimpulan dan saran akan menjadi butir-butir pada bab
kelima sebagai penutup.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication
berpangkal dari kata Latin communicatio, yang berasal lagi dari kata
communis memiliki arti sama makna. Jadi komunikasi adalah proses
pertukaran pesan yang menimbulkan atau memiliki efek sama makna
antara sumber dan penerima begitu pula sebaliknya.1
Berbeda dengan pemikiran Frank Dance yang dijabarkan oleh
Littlejohn, memilih tidak mendefinisikan komunikasi secara kolektif.
Frank menjadikan tiga poin penting yang membentuk dimensi dasar
komunikasi:
Pertama, tingkat pengamatan atau keringkasan. Definisi
komunikasi bagian ini bersifat luas dan bebas. Sebagai contoh definisi
komunikasi yang umum yakni ...Komunikasi sebagai proses yang
menghubungkan bagian-bagian yang terputus.... Definisi lain yaitu
...Komunikasi sebagai sistem, semisal telepon untuk menyampaikan
informasi... definisi ini bersifat terbatas.2
Kedua, berkenaan dengan tujuan. Berikut definisi komunikasi
hanya memasukkan pengiriman dan penerimaan pesan dengan maksud
tertentu, ...Situasi-situasi tersebut merupakan sebuah sumber yang
mengirimkan sebuah pesan kepada penerima dengan tujuan tertentu
1Onong Uchjana, Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
h. 9. 2Stephen W. Littejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Jakarta: Salemba
Humanika,2008), h. 4.
17
untuk memengaruhi perilaku penerima... Sedangkan definisi yang
tidak menyebutkan tujuan seperti: ...Komunikasi merupakan sebuah
proses menyamakan dua atau beberapa hal mengenai kekuasaan
terhadap orang atau beberapa orang...3
Ketiga, penilaian normatif yang membedakan definisi
komunikasi. Pada bagian ini definisi yang menyatakan pernyataan
keberhasilan, keefektifan atau ketepatan. Definisi yang tidak
mencantumkan secara lengkap. Sebagai contoh ...Komunikasi
merupakan pertukaran pikiran atau gagasan... Asumsi definisi ini
komunikasi terjadi apabila pikiran dan gagasan telah tertukarkan.
Selain itu definisi yang tidak menilai tentang hasil adalah:
...Komunikasi adalah penyampaian informasi... Asumsinya
informasi tersampaikan tidak penting diterima atau dipahami.4
2. Unsur-Unsur Komunikasi
Harold D.Laswell dikutip oleh Onong Uchjana, memiliki
paradigma sendiri dalam menjelaskan unsur komunikasi. Melalui
pertanyaan berikut ini, maka unsur komunikasi terjawab: Who, Says
What, in Which Channel, To Whom, With What Effect?5
Paradigma Laswell tersebut menunjukkan bahwa komunikasi
memiliki lima unsur, yakni:
a. Komunikator (communicator, source, sender)
b. Pesan (message)
c. Media (channel)
3Ibid., h. 4.
4Ibid., h. 5.
5Onong Uchjana, Komunikasi Teori dan Praktek, h. 10.
18
d. Penerima (communicant, receiver)
e. Efek (effect, influence)
Hakikatnya komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau
perasaan oleh seseorang kepada orang lain. Pikiran dapat berupa
gagasan, informasi, opini, dan lain-lain. Perasaan dapat berupa
keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan,
kegembiraan, dan lain sebagainya.6
B. Hermeneutika
1. Pengertian
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti menafsirkan. Benny H. Hoed
mendefinisikan hermeneutika sebagai:
Ilmu yang mengembangkan pemahaman makna melalui
interpretasi, bahkan secara tegas hermeneutika mempunyai
tujuan untuk pemahaman. Hermeneutika memahami teks
sebagai karya serta menghubungkannya dengan pemroduksi
teks. Oleh karena itu, hermeneutika bersifat polisemis karena
cakrawala pemahaman dan latar belakang pembaca berbeda-
beda.7
2. Sejarah dan Perkembangan
Dalam sejarah Yunani, hermeneutika berasal dari nama tokoh
mitologis Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas
menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah
menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam
6Ibid., h. 11.
7Benny, H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu,
2011), h. 92.
19
bahasa yang dapat dimengerti manusia. Oleh karena itu Hermes
mampu menginterpretasi sebuah pesan ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti pendengarnya.8
Sepintas, hermeneutika tampaknya berasal dari tradisi keagamaan,
utamanya tradisi Kristiani. Namun hermeneutika sendiri berasal dari
bahasa Yunani, beberapa abad sebelum menjelma menjadi kata Latin
di dunia Barat pada abad pertengahan. Dalam buku Hermeneutika
Teori Baru Mengenai Interpretasi, Richard Palmer mengemukakan
enam definisi modern hermeneutika:
(1) Teori eksegesis Bibel; (2) Metodelogi filologis; (3) Ilmu
pemahaman linguistik; (4)Metodologisgeisteswissenschaften
(semua disiplin yang dapat memfokuskan pada pemahaman
seni, aksi, dan tulisan manusia); (5) Fenomenologi eksistensi
dan eksistensial; (6) Sistem interpretasi baik reloktif maupun
iconoclastic.9
Pertama, hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci
atau eksegesis Bibel, pelopornya adalah J.C. Dannhauer. Teori ini
merujuk pada prinsip-prinsip interpretasi Bibel, dan hal tersebut
memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan yang muncul
dalam buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis
kitab suci.10
Kedua, hermeneutika sebagai metode filologis, menyatakan
bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga
8Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 23.
9Richard Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Penerjemah Husnur
Hery dan Damanhury Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) cet. ke-1, h. 38. 10
Ibid., h. 39.
20
dapat diaplikasikan terhadap buku yang lain. Perkembangan ini dipicu
oleh perkembangan rasionalisme.11
Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik.
Hermeneutika berubah menjadi teori pemahaman atas dasar linguistik.
Hermeneutika menjadi modal untuk semua interpretasi teks, yang
prinsipnya dapat digunakan berbagai jenis interpretasi teks.
Hermeneutika ini menyatakan bahwa sebuah teks yang dihadapi tidak
sama sekali asing dan tidak sepenuhnya biasa bagi penafsir.
Keasingan suatu teks diatasi dengan membuat rekonstruksi imajinatif
atas situasi dan kondisi pengarang. Hermeneutik ini juga dapat
dikatakan sebagai, sejumlah kaidah dan berupaya membuat
hermeneutika sistematis-koheren, sebagai ilmu yang mendeskripsikan
kondisi-kondisi pemahaman dalam suatu dialog.12
Keempat, hermeneutika geisteswissenshacften yaitu semua
disiplin yang dapat memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan
tulisan manusia. Hermeneutika difungsikan sebagai interpretasi
ekspresi manusia, apakah itu hukum, sastra, maupun kitab suci yang
membutuhkan tindakan historis. Pelopornya adalah Wilhelm Dilthey
yang mengarahkan hermeneutika sebagai ilmu humaniora.13
Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi eksistensi dan
eksistensial, pada konteks ini mengacu pada ilmu interpretasi teks bagi
geisteswissenschaften, penjelasan pada fenomenologisnya tentang
keberadaan manusia itu sendiri. Hermeneutika ini difungsikan sebagai
11
Ibid., h. 43. 12
Ibid., h. 44. 13
Ibid., h. 45.
21
penafsiran untuk melihat fenomena keberasaan manusia itu sendiri
melalui bahasa.14
Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Disini
hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran
dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol,
yaitu dengan membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya adalah
Paul Ricoeur yang berusaha menarik hermeneutika ke wilayah
penjelasan dan pemahaman teks. Teks sebagai penghubung bahasa
isyarat dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup
hermeneutik karena bahasa oral (ucapan) dapat dipersempit.15
Definisi di atas merupakan pergeseran dari hermeneutika klasik ke
hermeneutika modern. Dalam hal ini sama dengan istilah Ricouer
yang menyebutnya ...upaya regional sebagai memaksudkan
hermeneutika yang baru ke wilayah tertentu... Gerakan ini
mengangkat hermeneutika regional kepada hermeneutika universal,
atau disebut dengan de-regionalisasi.16
Objek kajian hermeneutika adalah teks, hermeneutik tidak
membatasi pada pemaknaan teks tertulis, tapi juga segala sesuatu yang
terekam, baik secara tulisan, elektronik, fotografi, dan lain lain. Teks
merupakan hasil atau produk praktis bahasa. Oleh karena itu,
hubungan antara teks dan bahasa sangat dekat. Sebagai perangkat
interpretasi, tentunya hermeneutik merambah ke beberapa disiplin
14
Ibid., h. 46. 15
Ibid., h. 47. 16
Ricoeur, Hermeneutika Sosial, h. 58.
22
ilmu dari filsafat, sastra, antropologi, psikologi, sosiologi, hingga
komunikasi.
C. Hermeneutika dalam Komunikasi
Basrowi Sukidin dalam bukunya Metode Penelitian Perspektif
Mikro menyatakan bahwa:
Hermeneutik adalah suatu pendekatan yang mewarnai
bagaimana kita memperlakukan fenomena komunikasi. Lebih lanjut
bahwa dengan menggunakam metode hermeneutik, maka fenomena
komunikasi diperlakukan sebagai teks. Sehingga penelitian
komunikasi merupakan fenomena komunikasi yang direncanakan.
Dengan demikian, dengan lensa hermeneutik akan tampak bahwa
proses interpretasi dalam penelitian merupakan kegiatan yang
melibatkan telaah terhadap teks yang lebih luas.17
Selain itu ilmuwan komunikasi Littlejohn membagi tradisi-tradisi
komunikasi dan memasukkan hermeneutik menjadi salah satu tradisi
dalam penelitian pesan.18
Sementara dalam buku Filsafat Komunikasi,
Elvinaro dan Bambang mengungkapkan pentingnya hermeneutika dalam
penelitian komunikasi dapat diringkas menjadi beberapa sentral:
Pertama, bahwa hermeneutika muncul sebagai bentuk upaya
mencari tahu lebih dari penjelasan, oleh karena itu ...Hermeneutika
menegaskan pentingnya sebuah pemahaman sebagai sebuah oposisi dari
penjelasan.... Kedua, peristiwa-peristiwa yang terjadi secara sosial
merupakan objek kajian penelitian ...Hermeneutika menekankan konsep
sentral teks dan berusaha meyakinkan bahwa pelbagai perilaku objek-
objek yang terbentuk dalam kehidupan sosial dapat dimaknai sebagai
17
Basrowi Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro (Surabaya: Insan
Cendekia, 2002), h. 156. 18
Lihat Stephen W. Littejohn dan Karen A. Foss dalam bukunya Teori Komunikasi
memasukkan teori hermeneutika dalam ilmu komunikasi.
23
sebuah teks... Ketiga, ...pemahaman pada intinya merupakan kerangka
rujukan antara pengamat dan objek yang diamati...19
Lebih lanjut Elvinaro juga menjelaskan bagaimana hermeneutika
mewarnai kajian komunikasi dilihat dari segi ontologi, epistimologi, serta
aksiologi:
Studi hermeneutika juga memiliki prinsip-prinsip dasar
sebagai ilmu yang dapat menjawab kemampuan hermeneutika dalam
komunikasi. Secara ontologi kebanyakan teoritisi interpretatif
menyoroti gagasan bahwa realitas tidak akan bisa dimengerti tanpa
mempertimbangkan proses sosial dan mental yang terus menerus
membangun realitas tersebut. Implikasi ini mengarah pada segi
epistemologi yang mengajukan dasar epistemologi subjektif. Karena
tidak ada hukum universal yang bisa dijadikan kesimpulan mengenai
dunia sosial. Realitas itu diciptakan melalui pemahaman yang
dicapai dari pandangan pelaku realitas tersebut. Untuk mendapatkan
pemahaman ini, para pakar interpretatif mencoba mengurangi jarak
antara subjek yang meneliti dan objek pengetahuan. Sementara
pada term aksiologi dapat diambil kesimpulan bahwa teorisi
interpretatif menjauhkan diri dari dugaan bahwa realitas sosial dapat
dipisahkan dari nilai-nilai subjek peneliti.20
Sederhananya menurut penulis metode hermeneutika
menyanggah asumsi positivistik yang menganggap bahwa peneliti
dapat objektif.
D. Hermeneutika Paul Ricoeur
1. Pengertian
Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai ...teori
pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi
19
Elvinaro Erdianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Komunikasi (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2007), h. 131-135. 20
Ibid., h. 138-139.
24
dari teks... 21
Lebih lanjut menurutnya interpretasi adalah upaya
untuk membongkar lipatan-lipatan dari tingkat makna yang terkandung
dalam lipatan-lipatan teks. Teks sendiri menurut Ricoeur adalah
sebuah wacana yang dibakukan lewat tulisan. Melalui wacana ini teks
bukan susunan tanda bahasa yang membentuk pengertian, tetapi
merupakan sebuah simbol yang memiliki makna dan intensi yang
tersembunyi.22
Dalam mengambangkan teori hermeneutik, Ricouer menjelaskan
asumsi-asumsi dasarnya yang terdiri dari: cakrawala, distansi teks,
dialektika menjelaskan dan memahami. Namun sebelumnya yang perlu
diketahui adalah makna teks menurut Ricouer.
2. Teks dan Cakrawala Teks
Hal yang paling dasar teori hermeneutika Ricouer adalah
pandangannya mengenai teks dan konsep tentang distansi teks. Teks
pada dasarnya bersifat otonom. Otonomi teks ada tiga macam, yaitu
intensi pengarang, situasi kultural dan kondisi pengadaan teks, dan
kepada siapa teks ditujukan. Seperti yang telah disinggung di atas
bahwa teks adalah wacana yang dibakukan lewat tulisan. Apa yang
dibakukan lewat tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan. Sebuah
teks baru menjadi teks apabila membubuhkan apa yang dimaksudkan
oleh sebuah wacana ke dalam huruf-huruf tertulis.23
Wacana adalah sebuah peristiwa yang memiliki makna, peristiwa
artinya wacana yang direalisasikan waktu dan masa kini. Jika tanda
21
Paul Ricoeur, Hermeneutika Sosial, h. 220. 22
Ibid., h. 220. 23
Ibid., h. 197.
25
leksikal adalah unit dasar bahasa, maka kalimat adalah unit dasar
wacana. Lalu apa yang dibakukan oleh tulisan adalah bukan ujaran
atau speaking, melainkan yang diujarkan atau maksud dari ujaran
tersebut, dimana yang diujarkan dapat dipahami sebagai intensional
yang membentuk tujuan wacana.24
Lalu yang membedakan makna tulisan dengan makna ucapan yang
dianggap sebagai teks adalah bahwa ucapan merupakan hubungan
dialogis interlokutor yakni antara komunikator dengan komunikan dan
sebaliknya. Sedangkan tulisan yang dianggap sebagai teks, tidak
menempati posisi dialogis antara penulis dengan pembaca, melainkan
antara teks dengan pembaca. Karena pembaca tidak melakukan dialog
dengan penulis.25
Oleh karena itu apabila kita membaca teks akan menghadirkan
dunia imajiner yang disebut oleh Ricoeur sebagai horizon atau
cakrawala. Setiap orang memiliki cakrawala yang berbeda yang
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang terbentuk dalam
perjalanan hidupnya. Begitu pula dengan teks yang memiliki
cakrawala sendiri terlepas dari intensi pengarang. Artinya teks
memiliki dunianya sendiri. Argumen Ricouer ini sejalan dengan apa
yang dikatakan oleh Ferdinand de Saussure, bahwa ucapan (parole)
merupakan pengejawantahan dari bahasa (langue). Oleh karena itu apa
24
Ibid., h. 270. 25
Ibid., h. 197.
26
yang dikatakan teks lebih penting dari pada apa yang ingin
disampaikan oleh pengarangnya.26
Cakrawala yang ada dalam individu merupakan gambaran dunia
pengalaman yang telah dialaminya akan menentukan pemaknaan
terhadap sesuatu yang terjadi. Hal ini adalah wujud kesadaran atau
juga dapat disebut sebagai bagian dari cakrawala. Jadi dapat dibedakan
teks memiliki cakrawala sendiri yang menghadirkan dunia historis
teks, dan cakrawala pembaca berisi segala informasi, pengetahuan,
serta prasangka yang dimilikinya.27
Proses pemahaman hermeneutik
merupakan penyatuan antara dua cakrawala, cakrawala peneliti dan
cakrawala pembaca.
3. Distansi Teks
Secara etimologi distansi berasal dari bahasa Inggris distance yang
berarti jarak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa teks
adalah wacana yang dibakukan lewat tulisan, hal ini menekankan
pentingnya karakteristik pengalaman yakni komunikasi dan
pengambilan jarak. Ricouer menyatakan pemisahan teks dari situasi
sebagai pembedaan (distanciation). Teks memiliki makna yang
berbeda dari pengarangnya, dengan kata lain pembaca teks dapat
memahaminya meski berada pada situasi yang berbeda.28
Ricouer
menyatakan terdapat lima tema fungsi distansi yang membentuk
kriteria teks, yaitu:
26
Ibid., h. 272.
28
Littlejohn, Teori Komunikasi, h. 195.
27
a. Realisasi bahasa sebagai wacana
Ricouer mendefinisikan wacana sebagai peristiwa bahasa.
Bahasa mengutamakan kondisi komunikasi yang memberikan
kode-kode, sementara wacana mempertukarkan semua pesan.
Bahasa diaktualisasikan dalam wacana menjadi suatu sistem
sebagai peristiwa yang memiliki makna. 29
b. Wacana sebagai karya
Sebuah karya membentuk susunan yang diterapkan pada
komposisinya sendiri serta mentransformasikan wacana dalam
suatu karya. 30
c. Relasi ucapan dan tulisan
Ketika wacana beralih dari ucapan ke tulisan, maka teks
menjadi otonom terlepas dari pembuat teks. Dengan demikian teks
terbuka bagi pembacaan secara luas, tiap-tiap pembacaan berada
pada kondisi sosial dan budaya yang berbeda. Teks harus mampu
keluar dari konteks ketika ia diciptakan sehingga dapat bawa pada
kondisi yang baru. 31
d. Dunia teks
Dalam pemahaman ini dunia teks adalah bentuk distansi
yang disebut distansi nyata, menunjukkan kepada suatu paham
realitas. Sifat teks yang otonom menghadirkan dunia imajiner,
29
Ricoeur, Hermeneutika Sosial, h. 177. 30
Ibid., h. 182. 31
Ibid., h. 186.
28
artinya teks menghilangkan dunia sekitar dan menggantikannya
dengan dunia semu. 32
e. Pemahaman diri terhadap karya
Teks merupakan medium untuk memahami diri,
pemahaman diri seperti apropiasi teks, cara penggunaannya adalah
dengan menghadirkan situasi pembaca. Apropriasi dihubungkan
dengan objektifasi struktural teks, tidak membaca maksud pembuat
karya melainkan maksud yang ingin disampaikan karya itu. 33
4. Apropriasi
Apropriasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yang
berarti to appropriate yang berarti mengambil untuk menjadi milik
sendiri. Benny H. Hoed menyatakan bahwa:
Apropriasi membuat hubungan antara subjek dengan
objek (teks) yang pada awalnya terpisah menjadi tanpa jarak.
Apropriasi juga dapat dikatakan sebagai pemahaman. Jadi untuk
melakukan pemahaman dibutuhkan cakrawala peneliti.
Pemahaman teks harus dipahami dengan pemroduksi teks,
lingkungannya, serta intertekstualitas (mempunyai kaitan secara
sistemis dengan teks yang lain). Makna teks dipahami dalam
konteks dialog antara pembaca dan teks yang dibacanya.34
Apropriasi dapat dikatakan mengambil teks menjadi milik kita,
ketika interpretasi apropriasi dilakukan untuk menemukan makna teks,
teks tidak lagi asing dan menjadi familiar. Konsep dialektika antara
apropriasi dan distansi yakni mencoba membuka makna yang
tersembunyi. Interpretasi mengijinkan aktualisasi makna teks yang
32
Ibid., h. 188. 33
Ibid., h. 190. 34
Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 94.
29
meurut Ricouer terjadi melalui apropriasi. Teks yang menjadi milik
peneliti akan membuka cakrawala (pengetahuan atau kesadaran)
sehingga dapat mengerti dirinya sendiri.35
5. Penjelasan dan Pemahaman
Pembahasan tema ini dimulai dari melakukan pembacaan teks
yang bersifat otonom. Otonomi teks menghadirkan dunia imajiner,
artinya teks membuka diri dan melepaskan dari intensi pengarang.
Tipe ini dengan menahan atau menunda semua relasi dengan dunia
yang dapat dijelaskan. Karena teks mempunyai dunianya sendiri yang
terlepas dari intensi penulis. Jadi teks diperlakukan sebagai objek tanpa
pengarang, dalam hal ini teks dijelaskan dalam konteks hubungan
internalnya yakni struktur-strukturnya tanpa dipengaruhi oleh
intertekstualitas subjektif. Objektivasi melalui struktur merupakan
upaya menunjukkan hubungan-hubungan intern dalam teks. Dengan
demikian hal ini memungkinkan hal ini menuju penjelasan (eksplanasi)
yang berkenaan dengan teks.36
Menjelaskan makna struktur dari teks yakni menghubungkan
ketergantungan yang bersifat internal yang menyusun kebakuan teks,
peneliti diarahkan oleh teks mengikuti alur pikiran menempatkan pada
rute dan menuju arah teks.37
Penjelasan merupakan analisis struktur
dengan melihat hubungan dunia yang terdapat dalam teks, sehingga
langkah ini menjadi objektif.
35
A. Ghasemi, et al., Ricouers Theory of Interpretation: A Methode for Understanding
Text (Course Text), World Aplied Science Journal 15 (2011): h, 1626. 36
Ricoeur, Hermeneutika Sosial, h. 205-206. 37
Ibid., h.218.
30
Proses kedua yakni pemahaman melalui interpretasi apropriasi,
yakni dengan ...Mengasumsikan teks sebagai wacana yang
menghasilkan cakralawa yang dihadirkan oleh teks, yang berfusi
dengan cakrawala pembaca dalam hal ini berarti peneliti...38
Sehingga
teks menjadi milik pembaca dan dipahami juga sesuai konteks
pembacanya.
Oleh sebab itu, hermeneutika berkembang bukan bertujuan
merekonstruksi pesan. Sebaliknya hermeneutika mengembangkan atau
mengkonstruksi pemahaman makna dari teks sesuai dengan konteks
pembacanya. Hermeneutik yang mengkonstruksi pemahaman baru
terlepas dari andil pemilik teks dapat digambarkan sebagai berikut:
Diagram 2 : Hermeneutika Konstruktif
Dapat disimpulkan bahwa dialektika cara pembacaan Pertama
yakni penjelasan dilakukan dengan membedah teks dari unsur-unsur
internalnya untuk menjaga otonomi teks supaya terlepas dari intensi
pengarang Sehingga teks membuka diri dari kemungkinan-kemungkinan
38
Ibid., h. 218.
Penulis Teks Peneliti
Latar Belakang
Tujuan
Konteks
31
dibaca secara luas. Sedangkan pemahaman atau kontekstualisasi bersifat
sintesis, digunakan untuk kejadian-kejadian yang berhubungan dengan
keseluruhan penafsiran.39
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa hermeneutika bukan
mencari makna dibalik teks, namun mengarahkan perhatiannya kepada
makna objektif dari teks, terlepas dari maksud subjektif si pengarang
ataupun orang lain. Untuk itu menginterpretasikan sebuah teks bukannya
mengatakan suatu relasi subjektifitas pengarang atau subjektifitas
pembaca, melainkan hubungan antara diskursus teks dan diskursus
interpretasi.40
Untuk lebih jelasnya peneliti menggambarkan diagram penjelasan
dan pemahaman sebagai berikut:
39
Ibid., h. 195. 40
Acep Iwan Saidi, Hermeneutika Sebuah Cara Memahami Teks, Jurnal Sosioteknologi
Edisi 13 Tahun 7 (April 2008): h. 377.
Teks:
Bahasa/ Wacana
Penjelasan
Pemahaman
Proses Analisis
Semiologi Struktural
Proses Pemahaman
Apropriasi Peneliti
32
Diagram 3: Hermeneutika Paul Ricouer
E. Wacana Pancasila Sebagai Dasar Negara
Untuk menggambarkan pluralitas masyarakat dan budaya
Indonesia, para pendiri Republik tahun 1945 telah mengumandangkan
motto nasional, Bhinneka Tunggal Ika, yang diambil dari formulasi
pujangga Empu Tantular, seorang pemikir cemerlang pada zaman kerajaan
Hindu Majapahit. Indonesia juga memiliki Pancasila sebagai dasar
filosofis dan ideologi nasional negara, dan sebagai pandangan hidup
masyarakat Indonesia. Darji menjelaskan Pancasila sebagai berikut:
Secara harfiah Pancasila berarti lima prinsip yang berasal dari
bahasa Sanskerta; panca yang berarti lima, dan sila berarti prinsip. Istilah
Pancasila telah digunakan oleh Empu Prapanca dalam bukunya yang
sangat terkenal Negarakertagama, dan Empu Tantular dalam bukunya
Sutasaoma. Ketika itu Pancasila berfungsi sebagai lima prinsip bimbingan
etika dari penguasa dan rakyat agar tidak melakukan kekerasan, mencuri,
dendam, berbohong, dan meminum minuman keras.41
Kelima prinsip moral tersebut sangat dekat dengan etika
Budhisme, yang isinya:
1) Panatipata Veramami Sikhapadham Sandiyami (kami
berjanji untuk tidak membunuh)
2) Adimadana Veramami Sikhapadam Sandiyani (kami
berjanji untuk tidak mencuri)
41
Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat (Jakarta: Ariess Lima, 1984), h.
23.
33
3) Kamesu Miccharaca veramami Sikhapadam Samadiyami
(kami berjanji untuk tidak melakukan zina)
4) Mussawada Veramam Sikhapadam Samadiyami (kami
berjanji untuk tidak berbohong)
5) Sura Meraya Majja Parmadhatama Sikhapadam
Samadiyami (kami berjanji untuk tidak mabuk-
mabukkan).42
Jadi istilah kelima prinsip Pancasila pada mulanya berfungsi
sebagai bimbingan moral dan etika, yang kemudian ditransformasikan
menjadi konsep politik dalam konteks pemikiran politik Indonesia
menjadi:
1) Ketuhanan yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan
5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.43
F. Wacana Negara Islam
Para ilmuwan Islam mempunyai berbagai pemikiran dalam
mendefinisikan apa itu negara Islam. Hasbi memetakan pengelompokan
tersebut dalam beberapa kelompok. Pertama, pendapat antara apakah ada
atau tidak negara Islam. Maksudnya apakah Islam mengajarkan masalah
42
Faisal Islami, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999), h. 5-6. 43
Ibid., h. 6.
34
kenegaraan atau tidak. Pandangan ini terpecah menjadi tiga pendapat,
kelompok pertama menyatakan dengan tegas ada, kelompok lain
menyatakan tidak ada, dan pendapat terakhir tidak diajarkan secara tuntas.
Kedua, kelompok ini menyatakan adanya negara Islam, baik itu yang
berpendapat Islam sebagai negara dan agama. Negara Islam itu memang
harus ada walaupun bukan merupakan sebuah perintah dalam Islam, akan
tetapi lebih merupakan keharusan demi menjaga pengembangan atau
pelestarian agama.44
Fazlur Rahman seorang ilmuwan Islam mendefinisikan negara
Islam sebagai ...organisasi yang dibentuk oleh masyarakat muslim dalam
rangka memenuhi keinginan mereka dan tidak untuk kepentingan lain...45
Dari definisi tersebut, menurut penulis rumusannya fleksibel tanpa
memberi ketentuan-ketentuan tertentu. Keyakinan pendirian negara
berdasarkan Islam didasarkan atas prinsip-prinsip tertentu menurut Al-
Quran dan Sunnah. Sejalan dengan pemikiran berikut ini:
Pertama, bahwa seluruh kekuasaan semesta ada pada Allah
karena Ia yang menciptakannya. Maka menurut keimanan orang muslim,
hanya Allah yang harus ditaati. Kedua, bahwa hukum Islam telah
ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Melalui prinsip-prinsip ini
sebagian kelompok kaum muslim memahami bahwa mereka harus
44
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: UII
Press, 2000), h. 81. 45
Ibid., h. 83.
35
melaksanakan peraturan yang telah ada dalam segala bidang kehidupan
mereka, bukan menciptakan hukum-hukum baru.46
Konsep lain tentang negara Islam yakni dari Hamka, yang
memiliki pendapat bahwa negara dan agama adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Beliau banyak menggambarkan konsep negara Islam
mengacu pada sejarah, seperti keberhasilan Nabi Muhammad melalui
agama Islam yang dibawanya dapat mempersatukan masyarakat dalam
kesatuan suku yang terpecah belah.47
Kendatipun Nabi Muhammad tidak
pernah menyatakan dirinya sebagai pemimpin negara, tetapi ia telah
menjadikan negara sebagai sebuah alat bagi Islam untuk menyebarkan dan
mengembangkan agama.
Dalam buku Falsafah Hidup karya Hamka yang dikutip
Shobahussurur, Hamka menjelaskan bahwa Islam meliputi seluruh
kegiatan hidup manusia, Islam bukan hanya membahas masalah ibadah
makhluk kepada Tuhannya, tidak pula membahas antara seorang dengan
masyarakat, Islam bukan pula hanya urusan ulama. Islam meliputi seluruh
aspek kehidupan.48
Ini artinya Islam juga mengajarkan konsep tentang
negara.
Lebih lanjut menurut Hamka, masyarakat Islam dalam hal ini dapat
juga berarti negara Islam yang memiliki cita-cita tinggi dan memahami
agamanya secara baik. Pemeluk yang taat pada agamanya adalah mereka
yang bercita-cita untuk perjuangan negara, supaya hukum Allah berjalan
46
Mumtaz Ahmad, ed., Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1996), h.
57. 47
Hamka, Islam Revolusi (Pustaka Panjimas, 1984), h. 89. 48
Shobahussurur, Relasi Islam dan Kekuasaan Perspektif Hamka, Jurnal Asy-Syirah V
43, no. 1 (2009): h. 3.
36
di bumi. Tidak sempurna Islamnya, jika undang-undang dan kehidupannya
tidak diatur dengan aturan yang didasarkan pada Tuhan. Selaras dengan
ayat berikut:49
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka
menjadikan engkau sebagai hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya (Q.S an-Nisaa: 65).
Konsep pemerintahan Islam di suatu negara atau wilayah, ialah
menurut bentuk pertumbuhan dan kecerdasan masyarakat itu.
Sebagaimana fungsi diciptakannya manusia sebagai khalifah di bumi,
manusia diberi kebebasan berfikir dan bertanggungjawab. Negara Islam
yang ditawarkan Hamka lebih mengedepankan musyawarah dalam berbagi
macam permasalahan, apapun konsep negara Islam yang paling penting
syura atau musyawarah harus tetap ada.
Ijtihad lain yang lebih luas mengenai negara Islam bukan hanya
sekedar simbol-simbol distinkitif seperti negara Islam atau negara
berasaskan hukum Islam. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana
asas-asas doktrin yang berhubungan dengan masalah kenegaraan
ditransformasikan ke dalam rumusan-rumusan umum atau undang-undang
yang menggambarkan nilai-nilai Islam. Mohammad Natsir berpendapat
suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut
49
Ibid., h. 90.
37
negara Islam, melainkan disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik
secara teori maupun praktik.50
Azyumardi Azra berpendapat tidak ada satupun model negara
Islam yang dapat dijadikan prototipe negara Islam. Menurut Azra negara
Islam pada masa dahulu yang tidak dapat diimplementasikan masa
sekarang karena:
Tidak adanya model negara Islam yang konkret menimbulkan
kebingungan. Sebabnya, seperti negara Madinah dibawah pimpinan Nabi
dan empat khalifah, tidak menawarkan rincian yang bisa dijadikan model
penerapannya di era kontemporer. Kedua, praktek kekhalifahan
selanjutnya Ummayah dan Abbasiyah, hanya menyediakan sistem
lembaga politik saja. Terakhir, kegagalan secara penuh negara Islam
mengarah para perumusan cita-cita ideal dan hubungan antara agama dan
negara menjadi subjek beragam interpretasi selama berabad-abad.51
50
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Politik Partai Islam
(Jakarta: Paramadina, 2009), h. 205. 51
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 22.
38
BAB III
GAMBARAN UMUM
1. Biografi Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan
sebutan Hamka, lahir pada tanggal 16 Februari 1908 di Kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, dan wafat pada 24 Juli 1981. Hamka
merupakan keturunan tokoh-tokoh ulama di Minangkabau. Kakek Hamka
Syaikh Muhammad Amrullah merupakan penganut tarekat mutabarah
naqsabandiyah yang sangat dihormati. Syaikh Muhammad Amrullah
mengikuti jejak ayahnya Tuanku Syaikh Pariaman dan saudaranya Tuanku
Syaikh Gubug Katur. Ayah Hamka Syeikh Abdul Karim bin Amrullah
atau dikenali sebagai Haji Rasul, adalah tokoh pembaharu di Tanah
Minang menolak prakek-praktek ibadah yang dilakukan oleh ayah dan
kakeknya. Garis keturunannya hingga berlanjut pada sebuah nama besar
lainnya, yakni Abdullah Arif salah seorang pahlawan dimasa Perang
Paderi.1
Riwayat pendidikan formal Hamka sangat rendah, pada usia tujuh
tahun ia memulai pendidikan formal di sekolah desa hingga kelas dua.
Ketika usianya sepuluh tahun, ia belajar di diniyah school dan Tawalib di
Padang Panjang dan Parabek tahun 1916 hingga 1923 merupakan sekolah
yang didirikan ayahnya.
1 Akmal Sjafril, Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme (Depok: Indie
Publishing, 2012), h. 10.
39
Dalam dunia sastra, Hamka sangat produktif melahirkan karya
sastra baik novel maupun cerpen. Beberapa novelnya seperti Di Bawah
Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menjadi
salah karya penting dalam sejarah kesastraan Indonesia. Selain itu, beliau
juga aktif di duni ajurnalistik. Sejak tahun 1920-an, Hanka menjadi
wartawan di beberapa media seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang
Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi
editor majalah Kemajuan Masyarakat, Al-Mahdi, Pedoman Masyarakat,
dan Gema Islami.2
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, politik dari sumber
Islam atau Barat. Dengan kemahiran Bahasa Arabnya yang tinggi, beliau
juga dapat menyelidiki karya ulama serta pujangga besar di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al Manfaluti
dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya
ilmuwan dari Perancis, Inggris, dan Jerman seperti Albert Toynbee, Jean
Paul Satre, Karl Marx, Sigmund Freud. Hamka juga rajin membaca dan
bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh di Indonesia seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Oemar Said, Ki Bagus
Hadi Kusumo, dan Haji Fakhrudin. Disana ia mendapat kursus pergerakan
bertempat di gedung Abdi Dharmo Pakualam Yogyakarta, sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi ahli pidato.3
2 Ibid., h. 19.
3Buya Hamka Sosok Teladan. Artikel diakses tanggal 02 Juli 2012 pukul 22.27 dari
kemenag.go.id.file/dokumenn/HAMKA/pdf.
40
Kota Yogyakarta memiliki arti penting dalam kehidupan dan
pemikiran Hamka, ia menyebutkan bahwa di kota itu, Islam sebagai
sesuatu yang hidup, menawarkan pendirian dan perjuangan yang dinamis.4
Di Yogyakarta juga, ia lebih banyak menginternalisasikan ilmu-ilmu yang
lebih berorientasi pada memerangi kebodohan, kelatarbelakangan,
kemiskinan, serta bahaya kristenisasi yang mendapat sokongan dari
Belanda. Hal ini berbeda dengan pendidikan selama ia masih di kampung
halaman yang berorientasi pada pembersihan akidah.5
Meskipun tidak pernah mengecap pendidikan sampai perguruan
tinggi, ia memeroleh gelar Doktor Honoris Causa pada tahun 1955 dari
Universitas Al Azhar Kairo, dan pada tahun 1976 dari Universitas
Kebangsaan Malaysia.6
Hamka memulai peran dan aktivitas organisasinya di
Muhammadiyah sebagai ketua atau pengurus, maupun sebagai delegasi
antar negara. Aktivitas organisasi dan dakwah Hamka lebih terlihat setelah
kepulanggannya dari Mekah tahun 1927. Secara umum perannya sebagai
berikut: 1) menjadi guru agama di perkebunan Tebing Tinggi Medan
(1927); 2) menjadi guru agama di Padang Panjang (1929); 3) dilatik
sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah Padang Panjang (1957-1958); 4) dilantik sebagai Rektor
Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Profesor Universitas Moestopo
4 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Depok: Insani
Press, 2006), h. 101. 5Ibid,. h. 102.
6M. Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah (Jakarta: Disdakmen, 2005), h. 134.
41
Jakarta; 5) dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai
pegawai tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia.7
Hamka menjadi peserta pertama muktamar Muhammadiyah tahun
1928 dan sejak saat itu ia hampir tidak pernah absen hingga akhir
hayatnya. Hamka memiliki jabatan penting sebagai ketua Taman Pustaka,
kemudian ketua Tabligh Muhammadiyah, hingga ketua Muhammadiyah
cabang Padang Panjang. Menjadi mubaligh di Bengkalis dan Padang
Panjang, Majelis Konsul di Muhammadiyah Sumatera Tengah, Ketua
Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, hingga terpilih
menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1953 hinga
1971.8
Hamka yang organisatoris pernah mendapatkan kesempatan
melakukan kunjungan ke manca negara. Pertama Arab Saudi tahun 1950,
kemudian tahun 1952 berkunjung ke Amerika Serikat. Semenjak itulah
Hamka sering mendapat undangan dan menjadi delegasi Negara Indonesia
untuk menghadiri acara-acara internasional keagamaan, khususnya
dibidang politik.
Karir politik Hamka dimulai dari menjadi anggota Partai Serikat
Islam tahun 1925. Hingga tahun 1945 ia membantu perjuangan melawan
kolonial melalui pidato-pidato dan menyertai kegiatan gerilya di hutan
belantara Medan. Kemudian dilantik menjadi ketua Front Pertahanan
Nasional Indonesia (1947). Kemudian menjadi anggota Konstituante
mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah. Konstituante dibubarkan tahun
7Floriberta Aning, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2005), h. 66. 8M. Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, h.135.
42
1958, berakhirnya juga dengan dibubarkannya Masyumi pada tahun 1960
oleh Soekarno.9
Dalam gerakan politiknya, Hamka merasakan penjara pada rezim
Soekarno atas tuduhan makar anti Soekarno (GAS: Gerakan Anti
Soekarno). Ia dipenjara di daerah Rawamangun Jakarta, dengan Mr.
Kasman, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, dan Yusuf Wibisono. Ketika
dipenjara itu ia meneruskan hasil karya ilmiah terbesarnya Tafsir al-Azhar.
Hamka dibebaskan pada 23 mei 1966. Sebelumnya rekan-rekan Hamka
seperti: Mohammad Natsir, Syafruddin Prawira Negara, Syahrir,
Mohammad Roem, Prawoto, Yunan Nasution dan Isa Anshori pada tahun
1962 karena tuduhan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia).10
Pada tahun 1957 ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk,
ia terpilih menjadi ketua umum pertama dan juga periode kedua pada
tahun 1980. Namun sebelum berakhir ia mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai ketua umum, hal ini dikarenakan bertentangan dengan
pemerintah dalam perayaan Natal bersama. Ia mengeluarkan fatwa MUI
yang mengharamkan umat Islam melakukan perayaan Natal bersama.11
Ketokohan Hamka dikenal bukan hanya di Indonesia, namun juga
di Timur Tengah dan Malaysia. Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul
Razak pernah mengatakan Hamka bukan hanya milik Indonesia, namun
9Floriberta Aning, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, h. 75.
10Ibid,. h. 75.
11Buya Hamka Sosok Teladan. Artikel diakses tanggal 02 Juli 2012 pukul 22.27 dari
kemenag.go.id.file/dokumenn/HAMKA/pdf.
43
juga bangsa-bangsa Asia Tengara. Hamka meninggalkan karya yang
sangat banyak, sekitar puluhan karya beliau ciptakan.
2. Karya Karya Hamka
No Judul Kategori Tahun
1 1001 kehidupan
1950
2 Adat Minangkabau & Agama Islam Nonfiksi
3 Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi Nonfiksi 1946
4 Agama dan Perempuan Nonfiksi 1939
5 Arkanul Islam Nonfiksi 1932
6 Ayahku Biografi 1950
7 Bohong di Dunia Nonfiksi
8 Dari Perbendaharaan Lama Nonfiksi 1963
9 Di Bawah Lindungan Ka'bah Fiksi 1936
10 Di Dalam Lembah Kehidupan Cerpen 1939
11 Di Tepi Sungai Dajlah Fiksi 1950
12 Dibantingkan Ombak Masyarakat Nonfiksi 1946
13 Dijemput Mamaknya Fiksi 1939
14 Doa-doa Rasulullah Nonfiksi 1974
15 Ekspansi Ideologi Nonfiksi 1963
16 Empat Bulan di Amerika Nonfiksi 1953
17 Fakta dan Khayal Tuanku Rao Nonfiksi 1970
18 Falsafah Hidup Nonfiksi 1939
19 Falsafah Ideologi Islam Nonfiksi 1950
20
Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi
Islam Nonfiksi 1968
21 Hikmat Isra Mi'raj Nonfiksi 1929
22 Himpunan Khutbah-Khutbah Nonfiksi
44
23 Islam dan Demokrasi Nonfiksi 1946
24 Islam dan Kebatinan Nonfiksi 1972
25 Keadilan Ilahi Fiksi 1939
26 Keadilan Sosial dalam Islam Nonfiksi 1950
27 Kedudukan Perempuan dalam Islam Nonfiksi 1973
28 Kenangan-kenangan Hidup 1-4 Autobiografi 1908
29 Kepentingan Melakukan Tabligh Nonfiksi 1929
30 Khotibul Ummah Nonfiksi
31 Laila Majnun Fiksi 1932
32 Lembaga Budi Nonfiksi 1940
33 Lembaga Hidup Nonfiksi 1940
34 Lembaga Hikmat Nonfiksi 1953
35 Mandi Cahaya di Tanah Suci Fiksi 1950
36 Margaretta Gauthier Terjemah 1940
37 Mati Mengandung Malu Nonfiksi 1934
38 Menunggu Beduk Berbunyi Fiksi 1949
39 Merantau Ke Deli Fiksi 1940
40 Muhammadiyah di Minangkabau Nonfiksi
41 Muhammadiyah Melalui 3 Zaman Nonfiksi 1946
42 Negara Islam Nonfiksi 1946
43 Pandangan Hidup Muslim Nonfiksi 1960
44 Pedoman Mubaligh Islam Nonfiksi 1937
45 Pelajaran Agama Islam Nonfiksi 1956
46 Pembela Islam Nonfiksi 1929
47
Perkembangan Tasawuf dari Abad ke
Abad Nonfiksi 1952
48 Pribadi Nonfiksi 1950
49 Revolusi Agama Nonfiksi 1946
45
50 Revolusi Pikiran Nonfiksi 1946
51 Ringkasan Tarikh Umat Islam Nonfiksi 1929
52 Sayid Jamaluddin Al-Afhany Nonfiksi 1965
53 Sejarah Islam di Sumatera Nonfiksi
54 Sesudah Naskah Renville Nonfiksi 1947
55 Si Sabariah Fiksi 1928
56 Studi Islam Nonfiksi 1973
57 Tafsir Al-Azhar Juz 1-30 Tafsir
58 Tasawuf Modern Nonfiksi 1939
59 Tenggelamnya Kapal Van Der Wick Fiksi 1937
60 Tuan Direktur Fiksi 1939
61 Urat Tunggang Pancasila Nonfiksi
3. Sidang Konstituante
Pada tahun 1955 tidak kurang dari 36 partai mengikuti pemilu yang
dilaksanakan secara dua tahap. Pertama untuk memilih yang berlangsung
pada 29 September 1955 dan untuk memilih anggota Konstituante pada
15 Desember 1955. Tingkat partisipasi pemilu ini sangat tinggi, diikuti
oleh 39 juta rakyat Indonesia. Selanjutnya Majelis Konstituante dibentuk
seperti yang diamanatkan UUDS 1955 bahwa:
Konstituante (Sidang pembuatan Undang-Undang Dasar)
bersama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan
undang-undang dasar sementara ini.12
12
Nanang Surahman, Pancasila Versus Islam: Konflik Tentang Dasar Negara Antara
PKI-Masyumi pada Sidang Konstituante 1956-1959, (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia, 2002), h. 110.
46
Dalam pelaksanaan tugasnya Konstituante dipimpin oleh seorang
ketua dengan lima orang wakil ketua. Sejak pelantikan anggota pada 10
November 1956. Hingga sidang berakhir pada 2 Juni 1959, telah
berlangsung tujuh kali sidang pleno dengan urutan sebagai berikut: satu
kali pada 1956, tiga kali pada 1957, dua kali pada 1958, dan satu kali pada
1959. Adapun pembahasan mengenai dasar negara berlangsung pada masa
sidang kedua tahun 1957, dari tanggal 11 November 1957 hingga 6
Desember 1957. Dengan dua kali sesi sidang yang masing-masing
menampilkan 47 orang pembicara pada sidang pertama dan 54 pembicara
pada sidang berikutnya.13
Dari sekian agenda sidang yang dimiliki Majelis ini, perdebatan
yang paling alot yakni pada permasalahan dasar negara. Total lima ratus
empat belas kursi di Konstituante terbagi menjadi tiga golongan.
Mainstream politik ini pertama pendukung Pancasila terdiri dari PNI
(Partai Nasionalis Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), PRN
(Partai Rakyat Nasional), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai
Katolik, Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia),
dan beberapa partai kecil lainnya, dengan total suara dua ratus tujuh puluh
tiga. Pendukung Islam Masyumi (Majelis Syuro Indonesia), NU
(Nahdhatul Ulama), PSII (Partai Serikat Islam Indonesia), Perti (Persatuan
Tarbiyah Islamiyah) dan parpol Islam kecil lainnya, dengan total suara
dua ratus tiga puluh. Dan yang terakhir pendukung Sosial-Ekonomi dari
13
Ibid,. h. 111
47
Partai Buruh, Murba, dan Acoma (Angkatan Comunis Muda). dengan total
suara sembilan.14
Bagi golongan Islam Majelis Konstituante adalah kesempatan yang
perlu dimaksimalkan untuk kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar
negara, karena Majelis belum menetapkan dasar negara secara permanen,
sehingga mereka berfikir bahwa hal ini sah adanya. Masyumi menjadi
salah satu partai besar Islam pada sidang pleno ini pembicara utamanya
adalah Natsir dan Hamka.
Golongan Islam tidak mudah meyakinkan para anggota, begitu
pula sebaliknya, golongan pendukung Pancasila juga sulit meyakinkan
golongan Islam bahwa Pancasila tidaklah sekuler. Perbedaan ideologi
mengenai falsafah dasar negara ini