penerapan hermeneutika hukum di pengadilan agama …
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SAFIRA MAHARANI NIM. 1111044100045
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Safira Maharani. NIM 1111044100045. Penerapan Hermeneutika Hukum Di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. xii + 102 halaman + 61 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum dalam menerapkan
hermeneutika hukum pada putusan perkara harta bersama, serta mengetahui apakah yang menjadi alasan hakim dalam memutus perkara harta bersama tanpa merujuk pada Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada putusan pengadilan tersebut. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pedekatan empiris yang mana pengetahuan didasarkan atas berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang kongkret yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Hakim dalam memutus perkara harta bersama telah menerapkan teori hermenutika hukum sebagai salah satu alternatif dalam pertimbangan hukumnya, hal ini didukung dengan hakim sebagai penafsir harus dapat memahami tiga trilogy pemahaman hermeneutika hukum yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Oleh karena itu ketika hakim melihat dan memahami perkara tersebut sudah tidak relevan dengan ketentuan pada teks Undang-undang, maka dalam hal ini hakim boleh melakukan interpretasi terhadap teks, artinya hakim tidak hanya memahami hukum secara tekstual namun juga lebih mempertimbangkan aspek kontekstual yang bersifat sosiologis. Dan menjunjung tinggi agar setiap putusan yang ditetapkan dapat terpenuhinya tujuan hukum (Kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan) bagi para pihak.
Kata Kunci : Penerapan Hermeneutika Hukum. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Perkara Nomor: 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1958 sampai Tahun 2012
vi
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta memberikan segala petunjuk dan
kemudahan kepada penulis. Sehingga atas karunia pertolongan-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada
Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk motivator terbesar sepanjang
perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs.
Ahmad Zawawi, MH. dan Ibunda Sahlah Zulfikah beserta adik-adikku terkasih
dan tercinta Muthia Rahmah dan Saiful Umam yang tiada lelah dan bosan
memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayangnya serta do’a, begitu juga
keluangan waktu dan senyumannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
rahmat dan kasih sayang kepada mereka semua.
Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan kesulitan
yang penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-
Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik
langsung maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada
akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan demikian, sudah
sepatutnya pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta.
vii
2. H. Kamarusdiana, S.Ag., MH., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Ketua
Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
3. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi
selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen terutama bapak Arip Purkon, S.HI., MA., Dr.
Mamat S. Burhanuddin, MA. Dan Ibu Dr. Hj. Azizah, MA. Yang telah
meluangkan waktu untuk berbagi ilmu pengetahuan mengenai hermeneutika
hukum. Beserta Staf pengajar pada lingkungan Program Studi Ahwal al-
Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis dari awal bangku kuliah sampai pada akhirnya penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama terutama yang telah membantu penulis
dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Dr. Drs. H. Chazim Maksalina, MH., selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Timur yang telah membantu dan membimbing penulis selama
melakukan wawancara. Serta Drs. Jajat Sudrajat, SH., MH., selaku hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memutus perkara yang penulis rintis,
yang senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa diwawancarai dan
viii
wawancara.
7. Kasih sayang dan kebersamaan penulis sampaikan kepada kedua sahabat
seperjuangan saudari Epi Yulianti dan Lilis Sumiyati yang senantiasa
memberikan semangat, canda dan tawanya melewati suka duka selama
dibangku perkuliahan serta kesabaran dan kesetiannya menemani dari awal
bertemu sampai pada penulis dapat menyelesaikan skripsi.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Peradilan Agama Tahun 2011
lainnya, Andi Asyraf Rahman, Ahmad Farhan, Hendrawan, M. Nazir, M.
Saekhoni, Rahmatullah Tiflen, M. Fathin, Burhanatud Dyana, Arisa, Azizah,
Nadia NS, Kamelia Sari, Mujahidah, Triana Aprianita, Juniati Harahap, Vemi
Zauhara, Gusti Fajrina, Robi’ah yang terus memberikan motivasi dan
semangat kepada penulis.
9. Kawan-kawan seatap (kost bungong jumpo) Nailil Farohah, Yonita Syukra,
Aini Yunianingtias yang memberikan support, hiburan dan saran keilmuan
selama penulisan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan Double Degree Ilmu Hukum Tahun 2014 yang
sudah senantiasa menjadi tempat berbagi ilmu dan waktunya.
11. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 dan KKN LEBAH
2014 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kenangan
indah penulis yang tidak dapat terlupakan bersama kalian semuanya.
ix
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya,
hanya doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan
yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelsaikan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempatan skripsi ini.
Jakarta, 25 Mei 2015
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 6
E. Review Studi Terdahulu .............................................................. 9
F. Metode Penelitian ..................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 14
A. Pengertian Hermeneutika Hukum .............................................. 16
B. Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan
Hukum ...................................................................................... 19
D. Kedudukan Hakim .................................................................... 39
PENGADILAN AGAMA
Pada Putusan Pengadilan Agama .............................................. 57
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor:
1159/Pdt.G/2013/PA.JT ...................................................... 57
1934/Pdt.G/2013/PAJT ........................................................ 59
Penerapan Hermeneutika Hukum .............................................. 61
BAB IV IMPLEMENTASI HERMENEUTIKA HUKUM PADA PUTUSAN
HARTA BERSAMA PERKARA NO. 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
A. Penerapan Hermeneutika Hukum
1. Duduk Perkara .................................................................... 68
2. Pertimbangan Hukum ........................................................... 77
3. Amar Putusan ....................................................................... 83
B. Analisis Penulis ......................................................................... 84
2. Surat Permohonan Data Wawancara Ke PA Bekasi
3. Surat Permohonan Data Wawancara Ke PA Jakarta Timur
4. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Jak-Tim
5. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Jak-Tim
6. Hasil Wawancara dengan Wakil Ketua PA Jak-Tim
7. Hasil Wawancara dengan Dosen dan Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum
9. Putusan Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
1
semakin hari semakin kontemporer, sehingga tidak mungkin tercangkup
dalam suatu peraturan perundang-undangan secara tuntas dan jelas. Karena
pada hakikatnya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan mempunyai
kemampuan yang terbatas sehingga undang-undang yang dibuatnya
tidaklah lengkap dan tidak sempurna untuk mencakup keseluruhan
permasalahan manusia dalam kehidupannya. Untuk itu, tidak ada
peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau
jelas sejelas-jelasnya.1
abstrak, tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa
konkret. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang harus diberi arti,
dijelaskan atau ditafsirkan dan disesuaikan dengan peristiwanya untuk
diterapkan pada peristiwa itu. Peristiwa hukumnya harus dicari terlebih
1 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2010), h. 48
untuk dapat diterapkan.2
perkembangan kemasyarakatan sehingga menimbulkan ruang kosong yang
perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah, dibebankan kepada para
hakim dengan melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi
atau konstruksi dengan syarat bahwa dalam menjalankan tugasnya
tersebut, tidak boleh mendistorsi maksud dan jiwa undang-undang atau
tidak boleh bersikap sewenang-wenang.3 Dikarenakan dalam Undang-
undang tidak lengkap, maka dari itu harus dicari dan diketemukan
hukumnya dengan memberikan penjelasan, penafsiran atau melengkapi
peraturan perundang-undangannya.4
kondisi kekinian, maka dengan demikian muncullah beberapa alternative
metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan
konstruksi hukum, pada prinsipnya masih relevan digunakan hakim hingga
saat ini. Akan tetapi, perlu diketahui terdapat suatu penemuan hukum yang
lain yang bisa dipergunakan hakim dalam praktik peradilan sehari-hari,
2 Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 12
3 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Bandung: Alumni, 2006), h. 33
4 Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, (Bandung:
Alumni, 2006) h. 86
alternative metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan
pada interpretasi teks hukum.
metode interpretasi teks hukum atau metode memahami sesuatu terhadap
suatu naskah normatif.5
dibicarakan dalam filsafat abad XX, hal ini berawal dari perhubungan
penafsiran kitab suci orang Yahudi dan Kristen sebelum akhirnya
berkembang menjadi sebuah kajian filsafat. Apalagi keyakinan teologis
umat Kristen mengenai Bibel, mereka menyakini bahwa Bibel mempunyai
beberapa penulis yang mendapat inspirasi dari roh kudus seperti Markus,
Yohannes, Matius dan sebagainya. Kenyataan ini kemudian
mempengaruhi struktur keimanan umat Kristen untuk tidak mengatakan
Bibel sebagai Kalam Tuhan, maka dari itu para teolog Kristen memerlukan
hermeneutika untuk memehami teks.
merupakan hal yang baru dalam tradisi keilmuan Islam, praktek
hermeneutika dapat dilihat dari maraknya kegiatan interpretasi dalam
wacana keilmuan Islam di bawah payung disiplin ilmu yang juga dikenal
dengan Ilmu Tafsir. Lain hal dengan penjelasan dari Hasan Hanafi yang
mengatakan bahwa hermeneutika tidak hanya berusaha menyelami
5Ahmad Rifa’i, Metode Penemuan Hukum Yang Sesuai dengan Karakteristik, (Jakarta,
Sinar Grafika, 2011), h. 88
4
kandungan makna literal sebuah teks tetapi juga berusaha menggali makna
yang tersembunyi dibalik teks dengan mempertimbangkan horizon yang
melingkupi teks, pengarang dan pembaca.6
Di Indonesia praktik peradilan, untuk metode hermeneutika hukum
tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan
hukum, hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi dan
konstruksi hukum yang sangat legalistik formal, sebagai metode penemuan
hukum yang telah mengakar cukup lama dalam system peradilan di
Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar hakim belum familiar dengan
metode ini, sehingga jarang atau sama sekali tidak menggunakannya
dalam praktik peradilan, padahal esensi hermeneutika hukum terletak pada
pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan
teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja semata, tetapi
juga konteks hukum itu dilahirkan, serta bagaimanakah kontekstualisasi
atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa mendatang.7
Dan dari banyaknya perkara yang ditangani Pengadilan pada
kenyataannya tidak sedikit ada beberapa hakim yang sudah berani untuk
menggunakan hermeneutika hukum dalam putusannya dan salah satunya
mengenai penerapan harta bersama yang dikolerasikan dengan
hermeneutika hukum di dalamnya, dikarenakan dalam realita sering
6 Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Tim
Pustaka Firdaus, 1991), h. 1
7 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.89
5
tidak sedikit berujung pada putusan perceraian di Pengadilan dan tidak
diherankan pada saat atau telah berakhirnya sebuah perkawinan yang
sering disengketakan tidak jauh dari permasalahan harta bersama yang
biasa juga dikenal dengan harta gono gini, maka dari itu ada beberapa
yang perlu terlebih dahulu diketahui yaitu dapat membedakan antara harta
bawaan dan harta bersama yang sering kali disalah mengertikan oleh
masyarakat yang awam atas hukum, harta bersama adalah harta kekayaan
yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan, maksudnya
adalah harta yang didapat atas usaha mereka sendiri selama masa ikatan
perkawinan.8
definisi bahwa harta bersama (gono-gini) adalah harta milik bersama dari
suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan
dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumah tangga. Dan
harta bersama dapat juga diqiyaskan sebagai syirkah karena dapat
dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja,
meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang
dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga,
memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan lainnya.
8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet.-3,
1998), h. 200.
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-
istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa).
Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adat yang berlaku di
masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan
dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan
harta suarang nan babagi; di Madura dinamakan guna ghana; di Sunda
digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di
Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan.9
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penulis
mendeskripsikan sebagai permasalahan yang menarik untuk dibahas lebih
meneliti agar ada kolerasi antara yang terjadi dalam lapangan ataupun
dilihat dari segi kepustakaannya, oleh karena itu penulis mengangkat ini
sebagai sebuah penelitian dengan judul “PENERAPAN
HERMENEUTIKA HUKUM DI PENGADILAN AGAMA DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA” (Studi Analisis Putusan Pengadilan
Agama Bekasi Tentang Harta Bersama).
A. Identifikasi Masalah
dengan judul yang sedang dibahas. Masalah-masalah yang sudah tertuang
pada subbab latar belakang diatas, maka dari itu penulis memaparkan
9 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, (Jakarta: Bulan bintang,
1965), h. 18.
belakang penelitian ini, diantaranya adalah:
1. Bagaimana konstribusi hermeneutika hukum dalam
penyelesaian harta bersama akibat perceraian pada putusan di
Pengadilan Agama Bekasi?
Penngadilan Agama Bekasi dalam suatu putusan perkara?
3. Apa yang menjadi acuan tinjauan yurisprudensi dalam
permasalahan perkara harta bersama?
hermeneutika hukum pada putusan yang dihadapi?
5. Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan hermeneutika hukum
sebagai alternatif metode penemuan hukum baru dalam putusan
di Penngadilan Agama Bekasi?
1. Pembatasan Masalah
adalah:
terhadap Kompilasi Hukum Islam.
b. Pengadilan Agama dibatasi pada kota Bekasi di Jalan Ahmad
Yani No. 10 dan Pengadilan Agama Jakarta Timur di Jalan
Raya PKP No. 24 Kelapa Dua Wetan, Ciracas.
c. Perkara Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks. dibatasi dengan
permasalahan mengenai sengketa harta bersama akibat
perceraian. Antara Trileya Noverisda Binti Rivai Risma
sebagai Penggugat dan Mochsirsyah Bin Mochtarudin sebagai
Tergugat. Dan beberapa sample putusan yang menerapkan
hermeneutika
d. Data yang di teliti dibatasi pada data tahun 2008 dan 2013.
2. Perumusan Masalah
hukum pada putusan perkara harta bersama?
2. Bagaimana alasan hakim dalam putusan perkara penyelesaian
sengketa harta bersama tanpa merujuk kepada Kompilasi
Hukum Islam ?
1. Tujuan Penelitian
sebagai berikut :
hukum pada putusan perkara harta bersama
9
Islam.
kepentingan pihak-pihak, di antaranya:
1. Bagi para akademisi, agar penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
bahan tambahan khazanah ilmu pengetahuan.
2. Bagi masyarakat, supaya penelitian ini dapat memberikan
pengetahuan baru dan terpenuhinya rasa keadilan.
3. Bagi para hakim agar lebih berani dan mau lebih melakukan
hermeneutika dalam penemuan hukum yang baru namun juga
tidak sewenang-wenang.
Perceraian Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Nomor:
393/Pdt.G/PA.Tng), prodi SAS, 2009. Skripsi ini membahas
pertimbangan Majelis hakim pada putusan ini hanya menerapkan
apa yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam sepanjang
sudah dijelaskan atau disesuaikan dengan kasus dan baru
kemudian hakim menafsirkan pasal tersebut. Perbedaannya
dalam penulisan skripsi penulis ialah penulis mengungkapkan
bagaimana penerapan suatu hermeneutika hukum di Pengadilan
10
perceraian pada putusan yang terkait.
2. Skripsi M. Beni Kurniawan, Pembagian Harta Bersama
Berdasarkan Konstribusi Dalam Perkawinan (Analisis Putusan
Nomor: 618/Pdt.G/2012/PA.Bkt), prodi SAS, 2014. Skripsi ini
membahas pembagian harta bersama berdasarkan konstribusi
adalah pembagian harta bersama dengan menilai besaran
konstribusi para pihak. Dalam arti jika pihak isteri mempunyai
jasa atau konstribusi yang lebih banyak dari suami maka ia
berhak mendapatkan 2/3 dari harta bersama dan pihak suami
hanya mendapat 1/3 dari harta bersama. Dan hakim dalam
putusan ini mengesampingkan ketentuan pasal 97 KHI,
perbedaannya dengan penulisan skripsi penulis adalah dalam
penulisan ini lebih menitikberatkan pada penerapan penyelesaian
sengketa harta bersama menggunakan metode penemuan hukum
baru yaitu hermeneutika hukum.
Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian yang dilakukan
hakim dalam memeriksa gugatan harta bersama pasca perceraian
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan dalam
pertimbangannya hakim tetap menyesuaikan dengan peraturan
yang termuat yaitu Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yaitu
11
membagi sama rata harta bersama antara bekas suami dan istri
selama masa perkawinan. Sedangkan berbeda halnya dalam
penulisan penulis yaitu membahas tindakan hakim dalam berani
menerapkan suatu putusan menggunakan terobosan hermeneutika
hukum tanpa merujuk KHI, dan ini digunakan sebagian hakim
untuk mengesampingkan ketetapan Undang-undang yang telah
ada.
dilakukan terhadap permasalahan. Metode penelitian dianggap paling
penting dalam menilai kualitas hasil penelitian. Hal ini wajib harus ada
dan tidak dapat dipisahkan lagi dari apa yang dinamakan keabsahan
penelitian. Maka dari itu dipergunakan untuk membuat terang suatu
penelitian secara lengkap.
sebagai berikut:
dari hasil penelitian dan observasi.10
10 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta, 2010), h.19
12
metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode
deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang
baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin
tentang obyek yang diteliti.11
Jenis - jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif
dan terbagi menjadi dua yaitu :
a. Data Primer
menangani putusan perkara Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
b. Data Sekunder
peraturan perundang-undangan13, Al-Qur’an, Hadis, data-data
resmi dari instansi pemerintah yang berwenang, buku-buku
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), h. 43
12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 35
13 Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi Cet 4, (Malang : Bayumedia Publishing, 2008), h. 302
13
bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
menyajikan bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan
pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:
a. Observasi
melakukan observasi pada objek yang dimaksudkan yaitu pada
Pengadilan Agama Bekasi yang terletak di Jalan Ahmad Yani
No. 10.
pihak-pihak yang terkait dan majelis hakim yang menyidangi
perkara putusan Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks. dengan
Ketua Majelis Hakim Drs. Jajat Sudrajat, SH,. MH. dan Wakil
Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. H. Chazim
Maksalina, MH, dan para dosen. Wawancara ini menggunakan
metode bebas dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis
jadikan referensi untuk memperkuat data.
c. Studi Dokumentasi (document research)
Melalui studi ini untuk dapat menelaah bahan-bahan atau
data-data yang diambil dari dokumentasi dan berkas yang
14
harta bersama pada putusan perkara Nomor:
1006/Pdt.G/2008/PA.Bks.
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu dari Kompilasi
Hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pengelohan data studi pustaka dilakukan dengan
cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok
masalah yang terdapat dalam skripsi ini.
F. Sistematika Penulisan
dari penulisan yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada
pokok permasalahan yang sedang dibahas. Untuk itu penulisan ini akan
dibagi ke dalam 5 (lima) bab yaitu :
BAB I Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode
penelitian, metode analisis data, sistematika penulisan.
BAB II Penulis menguraikan tentang pengertian hermeneutika
hukum, hermeneutika hukum sebagai alternatif metode
15
kedudukan hakim, kemudian kedudukan mujtahid
BAB III Penulis membahas mengenai penerapan hermeneutika
hukum pada putusan di Pengadilan Agama, kemudian
penulis juga melakukan analisis terhadap putusan-putusan
Pengadilan Agama yang menggunakan hermeneutika
hukum.
BAB IV Dalam bab ini penulis akan memaparkan duduk perkara,
pertimbangan hukum beserta amar putusan tekait Perkara
Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks pada penerapan
bersama dan terakhir penulis akan menganalisis putusan
tersebut.
BAB V Pada bab akhir ini penulis akan memberikan kesimpulan
yang disertai dengan saran-saran. Demikianlah sistematika
penulisan ini, mudah-mudahan penulisan ini dapat
dimengerti dan bermanfaat.
A. Pengertian Hermeneutika Hukum
berarti “interpretasi” dan perkataan hermeneutika adalah pengindonesiaan dari
kata bahasa inggris hermeneutics. Kata ini aslinya berasal dari bahasa
Yunani, yakni dari kata kerja hermeneuein yang mempunyai tiga bentuk
makna dasar. Ketiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari
hermeneuein. Pertama, mengungkapkan kata-kata, kedua, menjelaskan
sebuah situasi dan ketiga, menerjemahkan. Dari ketiga pengertian diatas
dimaksudkan bahwa hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari
sesuatu yang gelap ke sesuatu yang lebih terang.14
Dalam ilmu hukum, Henry Cambell Black mengartikan hermeneutika
sebagai “The science of art of consrtruction and interpretation. By the phrase
“legal hermeneutic” is understood the systematic body of rules which are
14 Richard E. Palmer, Hermeneutic, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), diterjemahkan oleh: Masnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 14-15
17
recognized as applicable to the conctruction and interpretation of legal
writings”.15
Pengertian hermeneutika menurut Card Breaten adalah “The science
of reflecting on how a word or an event in a past and culture many
understand and become existentially meaningful in our present situation”
(Ilmu yang merefleksikan tentang sesuatu kata atau event yang ada pada masa
lalu untuk dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam
konteks kekinian).16
bahwa hermeneutics adalah ilmu susunan kalimat dalam bidang hukum.17
Begitu juga Hasan Hanafi mengemukakan pengertian hermeneutika
merupakan ilmu interpretasi. Alat untuk menafsirkan, alat untuk memahami,
dan alat untuk menjalankan.18
Enzyklopadie der Altertumsswissenschaft mendefinisikan hermeneutika
sebagai ilmu tentang kaidah yang dengannya makna tanda-tanda dikenali.
Menurutnya kaidah-kaidah itu berbeda dengan objek, makanya muncullah
15 Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary, 6th ed, (USA: West Publishing, 2004) h. 55.
16 Card Breaten, History of Hermeneutics, (Philadelphia: From Press, 1966), h. 131
17 L.P.M. Ranuhandoko, Terminiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) h. 321
18 Hasan Hanafi, Hermeneutic, Liberation and Revolution, (Dar Kebaa Bookshop), diterjemahkan oleh Jajat Hidayatul. F dan Neila Meutia. D, edisi Indonesia: Bongkar Tafsir, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, (Yogyakarta: Pustaka Utama, 2003) h. 1,3
18
hermeneutika untuk puisi, sejarah dan hukum. Dan setiap kaidah akan dicapai
melalui praktik, dengan demikian wolf mengatakan hermeneutika pada
dasarnya adalah sebuah praktik ketimbang sebagai usaha teoritis. Yang
seharusnya hermeneutika diartikan sebagai sebuah kumpulan kaidah.19
E. Sumaryono mendefinisikan hermeneutika merupakan sebuah
proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan
mengerti. Dimana hermeneutika juga sebagai cara interpretasi terhadap teks
yang disesuaikan dengan konteksnya.20
filsafat mengenai hal mengerti atau memahami sesuatu atau dapat dikatakan
sebuah metode interpretasi (penafsiran) terhadap sesuatu atau teks. Kata
sesuatu atau teks disini dapat berupa: teks hukum, peristiwa hukum, fakta
hukum, dokumentasi resmi Negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat hukum
(ahkam) dalam kitab suci, ataupun dapat berupa pendapat dan hasil ijtihad
para ahli hukum (doktrin).21
manusia tak dapat membebaskan diri dari kecendrungan dasarnya untuk
19 Richard E. Palmer, Hermeneutic, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh: Masnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. h. 91
20 E.Sumaryono, Hermenutika, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) h. 23- 24
21 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005) h. 44
19
memberi makna realitas, dan dalam hal ini bahasa memegang peranan
sentralnya.22
berbagai bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. karena realitas hukum
merupakan sebuah kebenaran menjadi keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Hermeneutika hukum menempatkan pencarian kebenaran dan keadilan
menjadi sebuah kehakekatan dengan menggunakan tafsir atas teks. Theo
Huijbers membagi tiga bentuk penafsiran dalam upaya menafsirkan undang-
undang yaitu penafsiran penambah, penafsiran pelengkap dan penafsiran
budaya.23 Ketiga bentuk penafsiran tersebut akan mendekatkan penemuan
hukum dalam perspektif hermeneutika hukum.
B. Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum
Dalam praktik tidak jarang dijumpai ada beberapa peristiwa yang
belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah
diatur tetapi tidak lengkap atau tidak jelas. Oleh karena itu peraturan hukum
yang tidak jelas harus dijelaskan dan yang kurang lengkap harus dilengkapi
dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan
terhadap peristiwanya. Dengan demikian, pada hakikatnya semua perkara
22 F. Budi Hardiman, Melampui Positivisme Dan Modernisme Diskursus Filsafat Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 44-48
23 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) h. 133-135.
20
putusan hukum yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.
making), yang diartikan bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya
sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan. Hukum tidak selalu
berupa kaidah (das sollen) baik tertulis ataupun tidak, tetapi dapat juga berupa
perilaku atau peristiwa (das sein).24
Begitu juga Paul Scholten berpendapat mengenai penemuan hukum
ialah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan-peraturan pada
peristiwanya, dimana kadang-kadang atau sering terjadi bahwa peraturannya
harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi
ataupun rechtvervijning (pengkonkretan hukum).25
tetapi juga telah bergeser ke depan seiring dengan diskursus tentang
memahami secara hermeneutis. Van Tongeren mengemukakan ciri-ciri hukum
24 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 31
25 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 146
21
diterapkan dalam kejadian-kejadian konkret. Kedua, dalam praktik hukum,
penafsiran tidak semata-mata penerapan, penerjemahan atau rekonstruksi,
melainkan setiap penafsiran selalu menambahkan sesuatu kepada material
awalnya. Ketiga, memahami secara yuridis bahwa penerapan suatu naskah
terintegrasi dengan penjelasannya. Jika hakim harus menerapkan undang-
undang maka ia akan mencari arti hakiki (jadi telah memahami undang-
undang itu), maka Undang-undang itu telah ditafsirkan dan diterapkan.
Kajian hermeneutika hukum mempunyai dua makna sekaligus.
Pertama, hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi
atas teks-teks hukum. Interpretasi yang benar terhadap teks hukum harus
selalu berhubungan dengan isi atau kaidah hukum, baik yang tersurat maupun
yang tersirat. Kedua, hermeneutika hukum mempunyai kolerasi dengan teori
penemuan hukum. Hal ini ditunjukkan dengan kerangka lingkaran spiral
hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidah dan fakta. Dalam
hermeneutika seseorang harus mengkualifikasi fakta dalam bingkai kaidah
dan menginterpretasi kaidah dalam bingkai fakta.
26 Chazim Maksalina, Penerapan Hermeneutika Hukum Dalam Perspektif Penemuan Hukum Pada Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, (Disertasi S3 Bidang Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Islam Bandung, 2014)
22
menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks
untuk dicari arti dan maknanya. Metode hermeneutika ini menuntut adanya
kemampuan untuk menafsirkan masa lalu yang tidak dialami, kemudian
dibawa ke masa sekarang.27
Pada sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang
melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Seseorang
harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorable), apa
yang dilihat (vorsicht), dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff).
Kunci utama hermeneutika terletak pada penafsirnya. Dalam kajian
hermeneutik tidak ada penafsiran yang tepat atau keliru, benar atau salah.
Yang ada hanyalah upaya yang bervariasi untuk mendekati teks dari
kepentingan dan motivasi yang berbeda. Dengan demikian maka sangat logis
bila secara konseptual hermeneutic mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya
tidak ada suatu teks yang tidak dapat ditafsirkan.28
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga
bentuk atau model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan
tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, dan
Emilio Betti, menurut model ini, penafsiran berarti memahami teks
27 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi,
(Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), h. 9
28 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), h. 232.
23
ialah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga apa yang disebut makna atau
tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan pembaca melainkan
diturunkan dan bersifat instruktif.29
modern khususnya Hans-Georg Gadamer dan Jarques Derida. Menueut model
ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud
penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan
memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri.30
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-
tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi dan Farid Esack.
Menurut model ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau
metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.
Dalam keilmuan hukum terdapat beberapa teori penemuan hukum
yang sudah familiar di implementasikan pada beberapa putusan hukum dalam
praktik di Pengadilan sebagai acuan untuk penerapan dan penegakan hukum,
diantaranya adalah interpretasi hukum, konstruksi hukum, begitu pula
perlunya dikemukakan berkembangnya hemeneutika hukum saat ini untuk
29 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London; Routlege & Kegan Paul, 1980), h.
29. 30 Arip Purkon, Article Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam, (Jakarta: FSH UIN Jakarta), h. 187. Diakses tanggal 05 Mei 2015, 16.00 WIB. http://download.portalgaruda.org /article.php?article=175989&val=328&title=Pendekatan%20Hermeneutika%20dalam%20Kajian%20 Hukum%20Islam.
24
menjadi lirikan sebagai alternatif penemuan hukum baru bagi hakim dalam
penginterpretasian teks hukum. Demikian juga disimpulkan oleh James
Robinson mengenai fungsi dan tujuan hermeneutika yaitu untuk memperjelas
sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas. 31
Eksistensi penemuan hukum tidak bisa terlepas dari suatu sistem,
dengan demikian Van Eikema Hommes, membagi dua sistem penemuan
hukum yang dibedakan menjadi penemuan hukum heteronom (Typisch
logicitisch) dan penemuan hukum otonom (Materiel juridisch). Melihat posisi
hakim di Indonesia yang menganut sistem penemuan hukum heteronom di
mana hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi atau melakukan
penilaian. Karena penemuan hukum di sini dianggap sebagai kejadian yang
tekhnis dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang. Dengan kata lain
kedudukan hakim hanya sebagai penyambung lidah atau corong dari Undang-
undang, sehingga ia tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang.
Berbeda halnya ketika membahas penemuan hukum otonom yang mana
memposisikan hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya
undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri
memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan
kebutuhan atau perkembangan masyarakat. Tetapi apabila dilihat pada
realitanya saat ini, Indonesia terdapat juga penemuan hukum yang mempunyai
31 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum. Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi
Teks, h. 45
unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau
melengkapi Undang-undang menurut pandangannya sendiri.32
Pada proses penemuan hukum, yang banyak dilakukan oleh hakim
perlu dibedakan menjadi dua hal, yaitu tahap sebelum pengambilan putusan
(ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post). Dalam perspektif
teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan putusan
disebut “heuristika”, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului
tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro
dan kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara satu dan
lainnya, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Untuk menemukan
hukum yang terjadi sesudah putusan disebut “legitimasi”, dan hal ini
berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Apabila
suatu putusan hukum tidak dapat diterima oleh forum hukum, maka putusan
itu berarti tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang
baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante untuk
meyakinkan forum hukum tersebut agar putusan tersebut dapat diterima. 33
Disinilah arti penting hermeneutika hukum digunakan para hakim
dalam rangka menemukan makna hukum. Penemuan makna hukum oleh
32 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, Op.,cit h. 38-40 33 M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 74.
26
terhadap peristiwa konkret, akan tetapi sekaligus penciptaan hukum dan
pembentukkan hukumnya. Tugas aparat hukum juga tidak dapat dilepaskan
dari melakukan interpretasi atas teks hukum atau peraturan perundang-
undangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas
peristiwa dan fakta hukumnya sendiri.34
Pendekatan hermeneutika, umumnya membahas pola hubungan
segetiga (triadic) antara teks (hukum), si pembuat teks (author), dan penafsir
teks (reader). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam
memahami sebuah teks, baik itu teks kitab suci maupun teks umum (termasuk
hukum), dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi
lebih kepada apa yang ada di balik teks. 35
Penemuan hukum oleh hakim dilakukan dalam rangka tugas dan
kewenangan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang dihadapkan
kepadanya. Penemuan hukum oleh hakim dianggap yang mempunyai wibawa.
Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam putusan.36
34 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi
Teks, Op, Cit., h. 49-50
35 Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, diterjemahkan oleh: R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 8
36 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, h. 5
27
Ketentuan yuridis formal telah mengatur eksistensi penemuan hukum
yang termuat pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
dikatakan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Yang selanjutnya disebutkan mengenai penjelasan dalam pasal
ini bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim
konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Meringkas dari maksud ketersiratan dalam ketentuan diatas, hakim
mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum agar
putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat. Dikarenakan posisi hakim yang merupakan perumus dan penggali
dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hakim harus terjun
ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian, hakim akan dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat37 dan terwujudlah terpenuhinya
kepastian hukum.
Selanjutnya beranjak dari Pasal 5 ayat (1) dalam Pasal 10 ayat (1)
disebutkan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
37 Yudha Bhakti Adhiwisastra, Penafisran Dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000),
h.7
28
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”. Maksud dari ketentuan pasal ini memberikan makna kepada
hakim sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman yang dianggap memahami hukum, untuk menerima,
memeriksa, mengadili suatu perkara, sehingga wajib hukumnya bagi hakim
untuk menemukan hukumnya dengan menggali hukum yang tidak tertulis
untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang
bijaksana dan bertanggung jawab.
Menurut Bagir Manan, ada beberapa asas yang dapat diambil dari
ketentuan pasal diatas, diantaranya yaitu:38
1. Untuk menjamin kepastian hukum bahwa setiap perkara yang diajukan ke
pengadilan akan diputus.
3. Sebagai pelambang kebebasan hakim dalam memutus perkara
Apabila dihadapkan dengan adanya kekosongan hukum atau
kekosongan Undang-undang, maka hakim berpegang pada asas ius curia
novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.39
38 A. Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum Dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim
Dalam Proses Peradilan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 252 November, 2006, (Jakarta: IKAHI, 2006), h. 84
29
Hukum Islam atau juga disebut fiqih Islam merupakan hukum yang
mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah diturunkan Alllah SWT
kepada Nabi dan Rasulnya Muhammad SAW yang diperuntukkan bagi umat
manusia sampai akhir zaman. Fiqih didefinisikan sebagai ilmu yang diperoleh
dengan menggunakan pikiran dan ijtihad.40 Sedangkan hukum Islam menurut
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip oleh Ismail Muhammad Syah
dirumuskan sebagai koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan
syari’at atas kebutuhan masyarakat.41
Pada dasarnya hukum Islam dibedakan menjadi dua kelompok.
Pertama, hukum Islam yang bersifat absolute, universal, dan permanen, tidak
berubah dan tidak dapat dirubah. Hukum Islam yang termasuk bagian ini
adalah hukum Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis mutawatir
yang penunjukannya telah jelas. Kedua, hukum Islam yang bersifat relatif,
tidak universal dan tidak permanen. Pada batas-batas tertentu, hukum Islam
dalam bentuk seperti ini dapat berubah sesuai situasi dan kondisi. Hukum
39Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelengaraan Pemerintahan Yang Layak
(AAUPPL) Di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 90
40Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press,2005), h. 1-2.
41 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 19
30
Islam yang masuk ke kelompok ini adalah hukum-hukum yang dihasilkan
melalui proses ijihad.42
pandangan, sesuai dilihat sepanjang pemakaiannnya, berikut ini penjelasan
ditinjau dari etimologi, kata ijtihad berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk
masdar yang dapat terbentuk dari kata jahada, yaitu: pertama, kata jahd, yang
mengandung arti kesungguhan. Arti ini sejalan dengan firman Allah dalam
surat Al-An’am:109
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan. Kedua, kata juhd dengan arti adanya kemampuan yang didalamnya
terkandung makna sulit, berat, dan susah, sesuai kejelasan ayat berikut:
Orang-orang (munafik) yang mencela orang-orang mukmin yang member sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) kecuali sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. (Surat At-Taubah: 79)
Perubahan kata dari jahada menjadi ijtahada mengandung beberapa
arti, diantaranya ialah, li al-mubalaghah, yaitu menunjukan penenekanan. Dan
42 Yusuf al-Qaradawi, Al-Ijtihad f al-Shar’ah al-Islamiyyah ma‘a Nazarah Tahliliyyah f al-
Ijtihad al-Mu‘asir (Kuwayt: Dar al-Qalam, 1985), h. 205
31
ada juga makna lain ijtihad secara bahasa yaitu At-Thaqah yang berarti
tenaga, kuasa dan daya.43
Adapun kata ijtihad secara terminiologi, terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan ulama, yang pada umumnya menunjukkan pengertian
yang sama, dan diantaranya satu sama lain saling melengkapi, berikut ini
definisi ijtihad, pertama, menurut Ibnu As-Subki:44
Pengerahan kemampuaan seorang ahli fiqih untuk menghasilkan
hukum syara’ yang bersifat dzanni.
Kedua, Muhammad Abau Zahrah:45
Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqih untuk menggali hukum-
hukum (syara’) yang bersifat ‘amaliyyah dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.
Ketiga, Al-Amidi:46
.
Pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat dzanni, sehingga merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari kemauan tersebut.
43 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 243
44 Tajuddin Abdul Wahhab bin As-Subki, Jam’ Al-Jawami', (Semarang: Toha Putra), h. 379
45 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Qahirah: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958). h. 357
46 Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1984, Juz IV), h. 162.
32
Muhammedan Law menyatakan bahwa:
The world ijtihad means literally the exertion of great efforts in order
to the a thing. Technically it is defined as “the putting forth of every effort in
order to determine with a degree of probability a question of syari’ah “if
follows from the definitions that a person would not be exercising ijtihad if he
arrived at an opinion while he felt that he could exert himself still more in the
investigation he is carrying out. This restriction, if comformed to, would mean
the realization of the utmost degree of thoroughness. By extention, ijtihad also
means the opinion rendered. The person exercising ijtihad is called mujtahid
and the question he is considering is called mujtahid-fih. 47
Perkataan ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh
melaksanakan sesuatu. Secara tekhnis diartikan “mengerahkan setiap usaha
untuk mendapatkan kemungkinan kesimpulan tentang suatu masalah
syari’ah”. Dari definisi ini maka seseorang tidak akan melakukan ijtihad
apabila dia telah mendapat suatu kesimpulan sedangkan dia merasa bahwa dia
dapat menyelidiki lebih dalam tentang apa yang dikemukakannya.
Pembatasan ini akan berarti suatu penjelmaan bagi suatu penyelidikan yang
sedalam-dalamnya. Jika diperluas artinya maka ijtihad berarti juga pendapat
47 Nicolas P. Aghnides, The Background Introduction To Muhammedan Law, New York:
published by the Ab, “ Sitti Sjamsijah”. (publishing coy Solo, Java, with the authority- license of Columbia University Press), h. 95
33
persoalan yang dipertimbangkannya dinamakan mujtahid fih.
Disamping pengertian ijithad diatas tersebut, para pakar hukum Islam
memberikan batasan pengertian ijtihad dalam arti sempit dan luas. Menurut
pengertian dalam arti sempit yaitu ijtihad hanya menjalankan qiyas atau
membandingkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Sedangkan dalam arti
luas, ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk
menegeluarkan hukum syara’ dari kitabullah dan hadis atau usaha maksimal
dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui
pemikiran dan penelitian yang serius.48
Ijtihad sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha maksimal
dalam penalaran, sehingga menghasilkan pendapat pribadi yang orisinil.49
Dengan demikian untuk dapat memenuhi suatu ijtihad, berikut ini unsur dari
ijtihad, diantaranya ialah:
berpredikat sebagai mujtahid
3. Objek ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci
48 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2006), h.160
49 Hasan Ahmad Mar’i, Al-Ijtihad fi Syari’ah al-Islamiyyah, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1976), h. 8
34
4. Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan
dengan masalah-masalah ‘amaliyyah (bukan yang berkaitan dengan
masalah akidah atau akhlak)
5. Hukum syara’ yang ditemukan tersebut bersifat dzanni (kuat dugaan;
relative), bukan yang bersifat qath’i (pasti benar; absolute).
Saat ini, ijtihad dalam rangka pembaharuan hukum Islam bukan saja
menjadi kebutuhan, tetapi sudah menjadi sunnatullah yang tidak bisa
ditinggalkan dalam menghadapi arus globalisasi. Dengan dilaksanakannya
ijtihad dalam menyelesaikan segala masalah hukum yang timbul, diharapkan
hukum Islam tetap eksis dan dapat mengikuti perkembangan zaman serta tetap
diperlukan oleh umat Islam dalam mengatur kehidupannya.
Sehubungan dengan hal ini, Yusuf Al-Qardhawi mengemukakan
sebagaimana dikutip oleh Dr. H. Abdul Manan, S.H bahwa dengan
menghormati dan menghargai hasil-hasil dan karya ijtihad para ulama
terdahulu dalam berbagai bidang hukum Islam, saat ini sangat diperlukan
ijitihad dengan metode baru untuk menyelesaikan berbagai masalah yang
dahulu belum ada. Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing zaman
memiliki persoalannya sendiri-sendiri. Zaman sekarang sudah terjadi
perubahan yang luar biasa akibat majunya industri, ilmu pengetahuan dan
teknologi, komunikasi dan transportasi yang menyebabkan dunia yang besar
ini menjadi sempit, tidak jelas lagi batas-batasnya. Untuk menyikapi masalah
ini, dahulu para ulama sudah berani menyatakan adanya prinsip “taqayyun al-
35
fatwa bi taqayyun az-zaman” (berubahnya fatwa karena adanya perubahan
zaman), tentu prinsip ini harus terus dipegang dan dilaksanakan dalam rangka
pengembangan dan pembaharuan hukum Islam. Agar hukum-hukum yang
diijtihadkan menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia.50
Keberadaan ijtihad ditompang oleh banyak dalil, baik ayat – ayat Al-
Qur’an maupun sunnah, antara lain pada surat An-Nisa’ ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Pada ayat di atas Allah memerintahkan untuk mengembalikan masalah
yang menjadi objek perbedaan pendapat kepada Allah dan Rasul-nya. Cara
yang ditempuh tentulah dengan cara berijtihad memahami kandungan makna
dan prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat Al-Qur’an dan hadis,
kemudian menerapkannya pada persoalan yang sedang dihadapi.
Adapun landasan ijtihad yang berasal dari hadis, seperti suatu riwayat
yang menceritakan antara Rasulullah dan Mu’az bin Jabal, ketika dahulu
Rasulullah mengutus Mu’az menjadi hakim di Yaman.
50 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 166
36
« « : : »
« : :» : »
« : 51 )»(
“Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar dari Syu'bah dari Abu 'Aun dari Al Harits bin 'Amru anak saudara Al Mughirah bin Syu'bah, dari beberapa orang penduduk Himsh yang merupakan sebagian dari sahabat Mu'adz bin Jabal. Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda: "Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang dihadapkan kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan menggunakan Kitab Allah." Beliau bersabda: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam." Beliau bersabda lagi: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam serta dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam menepuk dadanya dan berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusannya Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah."
Dari hadis di atas, terdapat hirarki hadis yang melegitimasi ijtihad
Mu’az bin Jabal dalam menangani perkara, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
51 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah), Juz III, h. 303
37
Kemudian, hadis riwayat Abu Hurairah mengatakan bahwa:
: : . 52
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda:“ jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berjihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, tetapi jika ia berjihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala”.
Seseorang dalam berijtihad terdapat dua hal yang menjadi fokus untuk
menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya dan upaya menerapkan hukum
itu secara tepat terhadap suatu kasus yaitu; pertama, ijtihad istimbathi yang
memusatkan kepada sumber-sumber hukum Islam diantaranya Al-Qur’an dan
as-Sunnah, yang dilakukan baik dengan pendekatan kebahasaan maupun
pendekatan tujuan hukum (maqasid asy-syariah). Kedua, ijtihad tathbiqi
dilakukan untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan
hukum secara tepat dalam suatu kasus, objek kajiannya meliputi perbuatan
manusia dengan segala kondisi dan perubahannya.53
Dalam pembahasan ijihad terkadung juga dua kelompok wilayah
ijtihad, diantaranya adalah; 1) hukum-hukum yang didasarkan atas nash yang
52 Abu Abdurahman Ahmad bin syu’aib bin Ali Al-khurasani An-Nasa’I, As-Sunan Al-Kubro,
(Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2001), h. 396 53 Amrullah Ahmad, dkk, Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996) h. 118
38
tidak qath’i (zhanni), dan 2) hukum-hukum yang sama sekali tidak ada
landasan nash-nya, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah.
Begitu juga eksestensi ijtihad dalam hukum Islam menurut para ulama
memiliki pembatasan penggalian hukum, apabila menurut Imam Syafi’I
membatasi hukum dalam menggali hukum hanya dari nash Al-Qur’an dan
sunnah melalui cara qiyas saja, dan tidak memakai metode penalaran hukum
yang berdasarkan metode al-istihsan atau al-mashlahah mursalah.54
Para imam mazhab lainnya mempunyai pandangan berbeda dalam
memaknai pengertian ijtihad secara luas. Mereka menggunakan istilah ijtihad
untuk menggambarkan penalaran hukum (ar-ra’y) melalui metode al-qiyas
dan metode istinbath hukum lainnya. Dalam hal ini, mereka memahami
penalaran hukum tidak terbatas hanya pada pengertian al-qiyas, yaitu adanya
kasus-kasus hukum yang memiliki nash yang dapat dijadikan landasan hukum
terhadap kasus-kasus yang tidak ada nash-nya, dengan cara menyamakan
hukum keduanya, karena adanya kesamaan ‘illah. Sekalipun tidak ada acuan
nash-nya tetap dapat dilakukan penalaran hukum. Menurut Imam As-Syafi’i
bahwa ijtihad menggunakan penalaran hukum ialah melakukan penemuan
hukum yang dipandang paling dapat menghasilkan kemaslahatan dan yang
paling mendekati semangat pensyariatan hukum Islam. Dari segi metodenya,
ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
54 Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah, 2005),
h. 477
untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash
Al-Qur’an dan sunnah.
hukum–hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak
ada nash Al-Qur’an maupun hadisnya, dengan cara meng-
qiyaskannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nash-nya.
3. Al-ijtihad Al-istishlahi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan
hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash-
nya, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, melalui cara penalaran
berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).55
individu dengan lainnya. Untuk dapat menyelesaiakan persoalan yang terjadi
sering kali diperlukan campur tangan institusi khusus yang memberikan
penyelesaian imparsial (secara tidak memihak). Fungsi ini lazimnya
dijalankan oleh suatu lembaga yang disebut dengan lembaga peradilan, yang
berwenang untuk melakukan pemeriksaan, penilaian dan memberi keputusan,
wewenang ini disebut dengan “kekuasaan kehakiman” yang dalam praktiknya
dilaksanakan oleh “hakim”.
55 Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 103-104.
40
Kata hakim dalam bahasa arab disebut juga qadhi, secara normatif
menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan bahwa Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung
dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang
menyebutkan bahwa hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili.
Kedudukan hakim telah diberikan tempat pada konstitusi Negara kita
sesuai dengan amandemen ketiga UUD Tahun 1945, Pasal 24 ayat (1)
ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pada ajaran Islam telah terdapat beberapa golongan kriteria hakim,
diantaranya yaitu: dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk
surga. Satu golongan berbuat adil dalam keputusan hukumnya, maka mereka
masuk surga, yang satu golongan mengetahui keadilan tetapi menyeleweng
dengan sengaja, maka mereka masuk neraka. Dan yang satu golongan
memutuskan perkara tanpa ilmu tetapi mereka malu mengatakan ‘aku tidak
41
tahu’, maka mereka juga masuk neraka. Hal ini selaras dengan bunyi hadis
Rasulullah yakni:56
:
.
Dalam hal penyelesaian perkara yang dilakukan hakim dalam proses
pengambilan keputusan, menuntut para hakim harus mandiri dan bebas dari
pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah. Untuk pengambilan
keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah
hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya. Hakim
dituntut untuk memilih aturan hukum yang akan diterapkan, kemudian
menafsirkannya untuk menentukan atau menemukan suatu bentuk perilaku
yang tercantum dalam aturan itu serta menemukan pula kandungan maknanya
guna menetapkan penerapannya, dan menafsirkan fakta-fakta yang ditemukan
untuk menentukan apakah fakta-fakta tersebut termasuk ke dalam makna
penerapan aturan hukum tersebut. Dengan demikian, melalui penyelesaian
perkara konkret dalam proses peradilan dapat terjadi juga penemuan hukum.57
56 Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha Fil Islam, (Cairo: Darun Nahdhah al-Arabiyah), di
terjemahkan oleh Imran. A.M, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), h. 24 57 B. Arief Sidharta, Peranan Praktisi Hukum Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia,
(Bandung: Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian UNPAD No. 1, 1999), h. 15- 17
42
Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan
penderitaan lahir dan batin yang dapat membekas bagi para pihak yang
bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.58
membentuk hukum baru yang kekuatannya setara dengan Undang-undang
yang dibuat oleh pembentuk Undang-undang, dan jika putusan tersebut diikuti
oleh hakim-hakim selanjutnya, maka akan menjadi yurisprudensi, yang sudah
tentu mempengaruhi cara pikir maupun cara pandang hakim lain dalam
mengadili dan memutuskan perkara yang sama atau hampir sama.59
Berbicara konteks pembuatan putusan hakim, hermeneutika hukum
mempunyai setidak-tidaknya dua makna sekaligus yaitu: pertama,
hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai ‘metode interpretasi atas teks-
teks hukum’ atau ‘metode memahami terhadap suatu naskah normatif’; kedua,
hermeneutika hukum juga mempunyai relevansi dengan teori penemuan
hukum.
Terkait dengan yang pertama, interpretasi yang benar terhadap teks
hukum itu harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya) baik yang
58 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2002), h. 25
59 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 10-12
43
tersurat maupun yang tersirat atau antara bunyi hukum dengan semangat
hukum. Oleh karena itu, menurut Gadamer ada tiga persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seorang penafsir atau interpreter, yaitu memenuhi subtilitas
intelligendi (ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan
penjabaran), dan subtilitas aplicandi (ketepatan penerapan). Selanjutnya,
terkait dengan yang kedua (teori penemuan hukum), hermeneutika hukum
ditampilkan dalam kerangka pemahaman ‘lingkaran spiral hermeneutik’,
yakni proses timbale balik antara kaidah dan fakta-fakta.60
Adapun metode interpretasi atau penafsiran yang dapat digunakan oleh
penafsir dan sekaligus juga sebagai perangka atau alat bantu dalam
memperkaya penafsiran secara hermeneutic. Diantaranya terbagi menjadi
sebelas (11) kelompok yaitu: Interpretasi gramatikal, interpretasi historis,
interpretasi sistematis, interpretasi sosiologis atau teleologis, interpretasi
komparatif, interpretasi futuristic, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif,
interpretasi otentik, interpretasi interdisipliner, interpretasi multidisipliner. 61
Pada saat penjatuhan putusan, hakim harus memperhatikan serta
mengusahakan semaksimal mungkin agar jangan sampai putusan tersebut
memungkinkan timbulnya perkara baru. Selain itu, hakim dalam setiap
perkara yang diajukan kepadanya harus membantu justitiabelen dengan
60 M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, h. 74
61 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 127
44
sehingga akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada Pengadilan,
yang berakibat semakin berwibawanya lembaga peradilan.
E. Kedudukan Mujtahid
seorang faqih (ahli hukum Islam) yang mengerahkan segala daya dan
kemampuannya untuk mendapatkan status hukum syara’.62
Pada hakikatnya, mujtahid itu menempati posisi Nabi di tengah-tengah
umat dalam rangka menyampaikan risalah islamiyah (muballigh), penyikap
(kasyif), penjelas (mubayyin), dan penggali (mustanbit), penjelas hukum
syar’i yang belum ada atau tidak dijelaskan secara tekstual baik di dalam Al-
Qur’an maupun sunnah.63
berijtihad dan membekali dirinya dengan beberapa persyaratan, baik
persyaratan umum ataupun utama, berikut diantaranya:
1. Persyaratan Umum
b. Berakal
konsep-konsep yang pelik dan abstrak
62 Nadiah Syarif Al-‘umari, Al-ijtihad fi al-islami, (Beirut: Muassasah Ar-risalah, 1986), h. 57
63 Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), h. 25
45
2. Persyaratan Utama
dengan ayat-ayat hukum.
d. Memahami sunnah termasuk hadis-hadis yang berkaitan dengan
hukum syara’
Para ulama ushul fiqih telah mengklarifikasikan tingkat dan peringkat
seorang mujtahid dari yang tertinggi sampai terendah, diantaranya sebagai
berikut:
1) Mujtahid Mutlak atau juga disebut mujtahid al-mustaqil yaitu seorang
mujtahid yang maampu menggali hukum-hukum syari’at dari sumber
pokok, al-Qur’an dan as-sunnah. Dan mereka terdiri dari ulama yang
telah memenuhi semua syarat ijtihad dan mempunyai otoritas untuk
mengkaji hukum langsung dari al-Qur’an dan as-sunnah. Yang
termasuk dalam tingkatan ini ialah Ja’far ash-Shidiq, Abu Hanifah,
Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal.
2) Mujtahid Muntasib atau juga disebut mujtahid ghair al-mustaqil, yaitu
seorang mujtahid yang melakukan ijtihadnya dengan memilih
metodologi istinbath hukum seorang imam mazhab mutlak.
46
mazhabnya.
4) Mujtahid Murajjih ialah mujtahid yang melakukan tarjih di antara
beberapa pendapat mujtahid sebelumnya, dengan tujuan untuk
mengetahui pendapat mana yang didukung oleh riwayat yang lebih
shahih, atau pendapat mana yang didukung oleh dalil dan argument
yang lebih kuat.64
dan ittiba’ artinya menerima pendapat orang lain dengan mengetahui dasar
hukumnya. Kemudian setelah muttabi’ adapula muqallid (orang yang
bertaqlid), maksud taqlid adalah menerima dan mengikuti pendapat orang lain
dengan tidak mengetahui argument apa dan dari mana dasar hukumnya.65
Sehubungan dengan penemuan hukum seorang mujtahid yang
melakukan ijtihad dalam ruang pembaharuan hukum Islam masih perlu
dilakukan teus menerus guna mengisi kekosongan hukum, sebab tidak
mungkin ijtihad ulama terdahulu dapat mencakup semua hal secara mendetail
ketentuan hukum masa sekarang. Apalagi saat ini frekuensi perubahan tingkah
laku manusia sangat tinggi jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
64 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 315
65 Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Bidang Fiqih Islam, (Jakarta: INIS: 1991), h. 45
47
kemaslahatan dan harus sesuai dengan tujuan syariat. Karena hakikat tujuan
dari hukum Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan di dunia dan
kebahagian di akhirat bagi umat manusia. Maka, prinsip hukum yang harus
dikedepankan adalah kemaslahatan yang berasaskan kepada keadilan dan
kemanfaatan. Oleh karenanya, peranan para mujtahid apabila menghadapi hal-
hal yang belum diatur oleh nash, maka ia harus menggunakan ijtihad dalam
artian lebih luas dari qiyas (analogi), agar kebutuhan masyarakat kepada
hukum dapat terpenuhi.66
66 Abdul Manan, Refomasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 230
48
PENGADILAN AGAMA
Pendekatan hermeneutika mengasumsikan bahwasanya setiap bentuk
dan produk perilaku antar manusia itu (termasuk produk hukum baik in
abstracto maupun in concreto) akan selalu ditentukan oleh interpretasi yang
dibuat dan disepakati para pelaku yang tengah terlibat dalam proses itu, yang
tentu saja akan memberikan keragaman maknawi pada fakta yang sedang
dikaji sebagai objek. Simbol teori ini menggunakan strategi metodologi to
learn from the people mengajak, menggali dan meneliti makna hukum dari
perspektif penegak hukum yang terlibat dan pengguna dan/ atau pencari
keadilan.67 Pendekatan hermeneutika dapat dilakukan dengan berbagai varian,
diantaranya adalah:
putusan, diantaranya harus terkadung asas keadilan, asas kepastian hukum dan
asas kemanfaatan.
Huma, 2002), h. 105
hasil yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara
yuridis dan disertai dengan pertimbangan. Hakim selalu dituntut untuk dapat
menafsirkan makna Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
dijadikan dasar untuk diterapkan. Penerapan hukum harus sesuai dengan
kasus yang terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili
secara utuh, bijaksana dan objektif.
2. Keadilan
Keadilan harus terwujud dan terpenuhi bagi para pihak. Dan sisi
keadilan juga mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang
terdiri dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
3. Kemanfaatan
tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar
keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi
kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada
umumnya. Artinya hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah
mempertimbangkan hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut
membawa manfaat atau kegunaan para pihak.
Berbagai perkara perdata yang menjadi kewenangan Peradilan Agama,
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada
50
satu asas saja.68 Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim
untuk mengakomodir ketiga asas tersebut dalam satu putusan. Dan
menghadapi keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas
tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas
tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan.69 Disamping itu, hakim
harus memperhatikan pertimbangan hukum dengan nalar yang baik.
4. Kemaslahatan
kemaslahatan dilihat berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga
tidak meragukan bahwa hal itu bisa mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudarat.
5. Sosiologis
menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif.
Tolak ukur suatu efektivitas hermeneutika hukum pada putusan
Pengadilan Agama terlihat dalam beberapa putusan yang dihasilkan.
Sebagaimana pada putusan di Pengadilan Agama Bekasi dan Jakarta Timur
68 Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3/03 September 2012, Mewujudkan Kepastian
Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata oleh Fence M. Wantu (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo), h. 487.
69 Wawancara pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Dr. Drs. H.
Chazim Maksalina,M.H, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 01 April 2015.
51
nomor: 1934/Pdt.G/2013/PA.JT tentang harta bersama kemudian perkara
nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang hadhanah.
Agama yang terkandung hermeneutika hukum. Pertama, Putusan perkara
nomor: 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks mengandung unsur pendekatan
hermeneutika hukum ditinjau dari tujuan hukum, yaitu keadilan. Hal ini
berdasarkan pada pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa dalam
pembagian harta bersama harus berimbang dalam hal konstribusi suami dan
isteri selama berumah tangga baik memperoleh, menjaga, mengelola dan
membelanjakan harta. Kedua, untuk perkara nomor: 1934/Pdt.G/2013/PA.JT
tentang harta bersama, unsur pendekatan hermeneutika hukum ditinjau dari
sisi kepastian hukum, keadilan dan kemaslahatan. Hal ini berdasarkan
pembuktian dalam perolehan harta bersama dibuktikan dengan saham milik
Termohon (isteri) lebih besar dari Pemohon (suami). Ketiga, pada perkara
nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang hadhanah, unsur pendekatan
hermeneutika hukum ditinjau dari sisi kepastian hukum, keadilan dan
kemaslahatan. Hal ini berdasarkan pertimbangan faktor keselamatan jasmani
dan rohani serta perkembangan bagi pendidikan anak yang sangat signifikan
dan sebagai tujuan mendasar pemeliharaan anak.
52
hermeneutika hukum pada putusan Pengadilan Agama diatas, ternyata dalam
putusannya para hakim hanya berdominan pada penggunaan kepastian hukum,
keadilan dan kemaslahatan sebagai pendekatan hermeneutika hukum dan juga
menjadi salah satu sisi pertimbangan hukum dari setiap putusan yang
ditetapkan.
pendekatan untuk memahami objek, yakni produk perilaku manusia yang
berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya, dari sudut pelaku aksi
interaksi itu sendiri yang disebut aktor, yaitu tatkala mereka itu tengah terlibat
atau melibatkan diri di dalam proses social, termasuk proses-proses social
yang relevan dengan permasalahan hukum.70
Bagaimana juga dalam diri hakim sudah diemban suatu amanah agar
peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila
penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan,
maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan
mengesampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal
justice).71
70 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, h. 101-
102. 71 Bagir Manan, Wajah Hukum di Era Reformasi, (Bandung: Citra Aditya Bakhti, 2000), h.
263
53
metode hermeneutika hukum, hakim sebagai penafsir akan dituntut untuk
lebih memahami sumber hukum secara dinamis, tidak kaku, bukan secara
tekstual saja akan tetapi juga memahami konteks yang ada. Hermeneutika
merupakan sebagai salah satu alat memperkaya dan mempertajam sebuah
pemahaman pasal dan ayat-ayat hukum dalam memutuskan suatu kasus.
Ketika sudah mengimplementasikan hal tersebut, maka dengan demikian
berarti hakim secara langsung juga sudah melakukan ijtihadiyyah terhadap
perkara yang ditanganinya.
dalam melakukan suatu terobosan hukum dengan tidak menutup kemungkinan
melakukan pengesampingan pasal dalam pertimbangan hukumnya. Karena
dalam menyelesaikan persengketaan itu sebenarnya bukan aturan hukum yang
terdapat dalam Undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin,
melainkan ketentuan hukum yang lahir dari penilaian hakim.
Pada saat membaca suatu teks hal ini bukanlah merupakan kegiatan
mekanis, karena seorang yuris dalam tugasnya sebagai penafsir hanya dapat
berkembang sepenuhnya jika ia mempunyai sifat-sifat khas, seperti:
menguasai kenyataan dan kebutuhan masyarakatnya, memiliki rasa
kemasyarakatan yang peka, memiliki rasa keseimbangan, menyadari hal-hal
yang esensial dalam suatu masalah, kesediaan untuk mengkongkritkan dan
memberi nuansa dalam hubungan antara teks dan peristiwa konkret. Di
54
karenakan suatu teks itu tidak mungkin sempurna dan mampu menampung
seluruh konteks. Oleh karena itu, tidak pernah penafsiran itu tidak dilakukan.
Semua pembacaan dan semua cara mendengarkan kata-kata yang diucapkan
membutuhkan penafsiran.72
sangat berguna, tatkala seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk
menambah makna orisinal dan teks hukum. Bahkan menurut Charter,
pengalaman hakim pada saat menemukan hukum dalam praktik di Pengadilan
memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya. Dengan
kata lain, penggunaan dan penerapan hermeneutika hukum sebagai teori dan
metode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam
memeriksa serta memutus perkara di Pengadilan.73
Berdasarkan pernyataaan Kraneburg bahwa seorang penegak hukum
jangan terjebak dalam optic hukum positif semata, tetapi harus membuka hati
dan pikirannya terhadap perkembangan masyarakat. Dengan demikian,
menjalani hukum sebaiknya tidak sekedar dipandang dari sudut legalistik-
positivistik dan fungsional an sich, namun juga secara natural memiliki watak
kebenaran dan berkeadilan sosial. Sebagaimana bunyi pancasila sebagai
72 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h. 115-116. 73 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah, (Jakarta:
HUMA, 2002) h. 64
justice) menjadi prinsip penting dalam sistem hukum kita.74
Hakim sebagai pemutus dalam persidangan dan ketika hasil putusan
tersebut menggunakan hermeneutika hukum, maka sebisa mungkin dapat
memuaskan para pihak dan paling utama harus dilandaskan pada menyelami
rasa keadilan dalam masyarakat, memberikan rasa keadilan bagi para
pencari keadilan dan hakim dituntut untuk tidak hanya sekedar menjadi
corong Undang-undang.75 Karena melihat kondisi kekinian hakim sebagai
penegak hukum dan sekaligus juga sebagai penafsir harus cermat untuk
memahami konteks peristiwa hukum yang melatarbelakanginya.
Selaras dengan pernyataan menurut Oliver Wendell holmes bahwa
hakim adalah corong Undang-undang dan juga bertugas sebagai alat
perubahan sosial dengan mengikuti perkembangan zaman, namun melihat
kondisi kekinian sepertinya hal tersebut tidak efektif kembali apabila terus
menerus dijadikan pedoman, karena disaat sekarang permasalahan seakan-
akan sudah terlalu komplek dan kontemporer, oleh sebab itu dibutuhkan
hingga dituntut seorang hakim memiliki keberanian dan menerobos
Undang-undang untuk mengambil keputusan yang tentunya berbeda dengan
74 https://blog.djarumbeasiswaplus.org/hendra/tag/hukum/Di akses tanggal 05 Mei 2015/
16.05 WIB.
75 Wawancara pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. Jajat Sudrajat,
SH.,MH, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 26 Maret 2015.
56
teks Undang-undang yang ada.76 Dan tidak menapik bahwa hakim-hakim di
Indonesia sedikit banyaknya masih dominan terhadap sistem hukum Eropa
Kontinental, akan tetapi tetap saja dalam pengambilan suatu putusan
diutamakan hakim harus dapat memberikan tujuan hukum, termasuk salah
satunya ialah memberikan keadilan bagi para pencari keadilan.77
Berbagai macam perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama, dan beberapa putusan yang dihasilkan sudah memberikan
keleluasaan bagi para hakim untuk melakukan ijtihad lebih luas dan
mendalam. Hal demikian disebabkan karena perkara yang masuk sudah
kekinian dan mengikuti permasalahan yang sangat kontemporer sesuai
dengan zaman yang berkembang, sehingga tidak mengherankan apabila
beberapa putusan di Pengadilan Agama sudah menerapkan teori penemuan
hukum. hal ini sudah terdapat pada beberapa putusan Pengadilan Agama
yang menggunakan hermeneutika hukum yaitu putusan di Pengadilan
Agama Bekasi dan Jakarta Timur. Berikut penulis sajikan dua putusan yang
memuat penerapan hermeneutika hukum yang digunakan hakim dalam
menafsirkan putusan dan juga sebagai penilaian terhadap penerapan
hermeneutika hukum.
76 Wawancara pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Dr. Drs. H.
Chazim Maksalina,MH, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 01 April 2015. 77 Wawancara pribadi dengan Dosen dan Serketaris Program Studi Ilmu Hukum, Arip
Purkon, S.HI., MA, di Ruang Program Studi Fakultas Syariah dan Hukum, 04 April 2015.
57
Putusan Di Pengadilan Agama
1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang Hadhanah
Hakim memberikan pertimbangan hukum untuk menyelesaikan perkara
hadhanah dengan menyatakan terdapat kecocokan antara bukti-bukti yang
terlampir dengan kesaksian para saksi di depan persidangan. Selain itu juga
hakim mempertimbangkan secara seksama mengenai pergeseran hak asuh
anak jatuh terhadap bapak, yang menjadi faktor disini ialah dengan
memperhatikan faktor keselamatan jasmani dan rohani serta perkembangan
bagi pendidikan anak.
Sesungguhnya hakikat hak hadhanah (pemeliharaan) terhadap anak
yang belum mumayyiz adalah hak ibunya sesuai dengan Pasal 105 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam, kecuali terbukti bahwa ibu telah melalaikan
kewajiban terhadap anak, maka dengan itu hak tersebut dapat dicabut sesuai
ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974. Namun
perlu diperhatikan kembali bahwa hak hadhanah (pemeliharaan) terhadap
anak bukan semata-mata memperhatikan kepentingan orang tua, akan tetapi
harus memperhatikan kepentingan anak sendiri sesuai pada Pasal 41 huruf (a)
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 2 huruf (b)
58
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 jo Undang-undang No. 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa hadhanah bagi anak yang
belum mumayyiz hak asuh jatuh kepada ibu.78 Akan tetapi pada KHI tidak
ada kejelasan aturan yang mengatur mengenai perpindahan hak hadhanah dan
kasus seperti ini dapat ditemukan dalam fikih klasik, yang mana hakim
menggunakannya menjadi dasar hukum dalam pertimbangan hukumnya,
sebagaimana termuat pada kitab Khasiyah Muqhnil Muhktaj, Juz III hal. 459
berbunyi “Apabila salah seorang dari mereka akan pindah, maka pihak ayah
lebih berhak mengasuhnya dari pada ibu”. Begitu juga Majelis Hakim
menyebutkan terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan
tugas hadhanah, diantaranya: berakal sehat, merdeka, beragama Islam,
memelihara kehormatan, amanah, tinggal dikota/ desa tertentu, tidak bersuami
baru. Apabila kurang satu diantara syarat-syarat tersebut gugurlah hak
hadhanah dari tangan ibu.79
Sesuai pernyataan yang terdapat dalam lampiran putusan, Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa pada prinsipnya hadhanah adalah terjaminnya
kepentingan masa depan anak itu sendiri baik rohani maupun jasmani. Dan
untuk hak ibu dalam mengasuh dapat bergeser apabila syarat-syarat yang
ditentukan oleh hukum syari’at tidak terdapat lagi dalam diri ibu. Maka
78 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam 79 Dilihat dari putusan Nomor 1159/Pdt.G/2013/PA.JT, h. 32 dari 36 hal.
59
dipandang layak dalam hal pengasuhan dan pemeliharaan anak tersebut oleh
sebab itu gugatan Penggugat dapat dikabulkan. Namun Tergugat sebagai ibu
kandungnya tetap diberi waktu dan diperbolehkan bertemu dan menyalurkan
kasih sayangnya kepada anak tersebut.
2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor:
1934/Pdt.G/2013/PA.JT tentang Harta Bersama
dan fakta-fakta. Hal ini dapat dilakukan melalui pembuktian,
mengklarifikasikan antara yang penting atau tidak, dan menanyakan kembali
kepada para pihak mengenai keterangan para saksi dan fakta-fakta yang ada.
Maka dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan
hukumnya, sehingga dapat dinilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup
memenuhi alasan yang objektif atau tidak.80
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara Nomor
1934/Pdt.G/2013/PA.JT terhadap tuntutan harta bersama. Majelis Hakim
menimbang dan menetapkan harta bersama untuk Pemohon dan Termohon
berupa sebidang tanah yang berdiri rumah di Jl. Swadaya No.53 Rt.08/06,
Kelurahan Cijantung, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur dan 1 unit mobil
Merk Daihatsu, Type Terios, warna hitam metalik, Nomor Polisi: B 1929
80 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 79
60
TFZ, dibagi antara Pemohon dangan Termohon dengan pembagian 35% untuk
Pemohon dan 65% untuk Termohon. Dan menyatakan objek harta bersama
berupa tanah seluas 800 m2 yang terletak di Rt. 01/05, Cisalada, Ciampea
udik, Bogor, Jawa Barat. Tidak ditemukan dan dinyatakan ditolak.
Majelis Hakim menyatakan setelah mendengar pernyataan dari
Termohon dan para pihak saksi dari Termohon bahwa mengenai penghasilan
Pemohon selaku suami tidak jelas sedangkan Termohon bekerja di Jakarta
Golf Club dengan penghasilan yang jelas, gaji Termohon pada tahun 2010
berjumlah Rp. 2.100.000 (dua juta seratus ribu) sedangkan untuk sekarang
(2013) penghasilan Termohon sebulan sekitar Rp. 7.000.000 (tujuh juta
rupiah), maka dengan demikian Majelis Hakim berpendapat, Termohon lebih
banyak sahamnya dalam perolehan harta bersama. Meskipun di dalam
ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: “Janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, akan tetapi mengenai hal ini
Majelis hakim menimbang atas ketentuan yang dimaksud tersebut
dikesampingkan, karena tidak adil apabila diterapkan dan dibagi demikian,
berdasarkan asas precedent Majelis Hakim menggunakan yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 266K/AG/2010 tanggal 12 Juli
2010 sebagai salah satu acuan dalam pertimbangannya, yang mana tidak
membagi harta bersama dengan masing-masing seperdua.
61
Hermeneutika Hukum
antara Penggugat (Suami) dan Tergugat (isteri) sudah dikaruniai anak laki-
laki pada tanggal 17 September 2005 dari hasil pernikahan mereka, dan para
pihak meminta agar Majelis Hakim dapat menentukan dengan bijak untuk
pemegang hak pengasuhan dan pemeliharaan atas anak tersebut.
Dalam hal putusan tersebut telah ditemukan fakta bahwa ibu terbukti
melalaikan kewajibannya terhadap anak tersebut. Selama anak Penggugat
dan Tergugat berada dalam pengasuhan Tergugat, ternyata Tergugat tidak
perhatian dan bertanggung jawab terhadap anak laki-laki Penggugat dan
Tergugat, dimana Tergugat tidak pernah memperhatikan kesehatan anak
Penggugat dan Tergugat sehingga mengakibatkan anak tersebut sering sakit
apabila sedang bersama Tergugat. Dan Tergugat tidak pernah peduli
terhadap pendidikan anak Penggugat dan Tergugat, Tergugat dalam hal
mendidik anak selalu secara keras, dimana Tergugat sering memarahi dan
berkata-kata secara keras terhadap anak Penggugat dan Tergugat, sehingga
anak tersebut selalu merasa ketakutan dan tertekan setiap kali bertemu
dengan Tergugat, dimana hal tersebut tidak baik bagi perkembangan
kejiwaan anak Penggugat dan Tergugat.
62
Hakim dalam amar putusan ini, yang menetapk
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SAFIRA MAHARANI NIM. 1111044100045
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Safira Maharani. NIM 1111044100045. Penerapan Hermeneutika Hukum Di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. xii + 102 halaman + 61 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum dalam menerapkan
hermeneutika hukum pada putusan perkara harta bersama, serta mengetahui apakah yang menjadi alasan hakim dalam memutus perkara harta bersama tanpa merujuk pada Kompilasi Hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada putusan pengadilan tersebut. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pedekatan empiris yang mana pengetahuan didasarkan atas berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang kongkret yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Hakim dalam memutus perkara harta bersama telah menerapkan teori hermenutika hukum sebagai salah satu alternatif dalam pertimbangan hukumnya, hal ini didukung dengan hakim sebagai penafsir harus dapat memahami tiga trilogy pemahaman hermeneutika hukum yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Oleh karena itu ketika hakim melihat dan memahami perkara tersebut sudah tidak relevan dengan ketentuan pada teks Undang-undang, maka dalam hal ini hakim boleh melakukan interpretasi terhadap teks, artinya hakim tidak hanya memahami hukum secara tekstual namun juga lebih mempertimbangkan aspek kontekstual yang bersifat sosiologis. Dan menjunjung tinggi agar setiap putusan yang ditetapkan dapat terpenuhinya tujuan hukum (Kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan) bagi para pihak.
Kata Kunci : Penerapan Hermeneutika Hukum. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Perkara Nomor: 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1958 sampai Tahun 2012
vi
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta memberikan segala petunjuk dan
kemudahan kepada penulis. Sehingga atas karunia pertolongan-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada
Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan para umat-Nya.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk motivator terbesar sepanjang
perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs.
Ahmad Zawawi, MH. dan Ibunda Sahlah Zulfikah beserta adik-adikku terkasih
dan tercinta Muthia Rahmah dan Saiful Umam yang tiada lelah dan bosan
memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayangnya serta do’a, begitu juga
keluangan waktu dan senyumannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
rahmat dan kasih sayang kepada mereka semua.
Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan kesulitan
yang penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-
Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik
langsung maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada
akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan demikian, sudah
sepatutnya pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta.
vii
2. H. Kamarusdiana, S.Ag., MH., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Ketua
Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
3. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi
selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen terutama bapak Arip Purkon, S.HI., MA., Dr.
Mamat S. Burhanuddin, MA. Dan Ibu Dr. Hj. Azizah, MA. Yang telah
meluangkan waktu untuk berbagi ilmu pengetahuan mengenai hermeneutika
hukum. Beserta Staf pengajar pada lingkungan Program Studi Ahwal al-
Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis dari awal bangku kuliah sampai pada akhirnya penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama terutama yang telah membantu penulis
dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Dr. Drs. H. Chazim Maksalina, MH., selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Timur yang telah membantu dan membimbing penulis selama
melakukan wawancara. Serta Drs. Jajat Sudrajat, SH., MH., selaku hakim
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memutus perkara yang penulis rintis,
yang senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa diwawancarai dan
viii
wawancara.
7. Kasih sayang dan kebersamaan penulis sampaikan kepada kedua sahabat
seperjuangan saudari Epi Yulianti dan Lilis Sumiyati yang senantiasa
memberikan semangat, canda dan tawanya melewati suka duka selama
dibangku perkuliahan serta kesabaran dan kesetiannya menemani dari awal
bertemu sampai pada penulis dapat menyelesaikan skripsi.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Peradilan Agama Tahun 2011
lainnya, Andi Asyraf Rahman, Ahmad Farhan, Hendrawan, M. Nazir, M.
Saekhoni, Rahmatullah Tiflen, M. Fathin, Burhanatud Dyana, Arisa, Azizah,
Nadia NS, Kamelia Sari, Mujahidah, Triana Aprianita, Juniati Harahap, Vemi
Zauhara, Gusti Fajrina, Robi’ah yang terus memberikan motivasi dan
semangat kepada penulis.
9. Kawan-kawan seatap (kost bungong jumpo) Nailil Farohah, Yonita Syukra,
Aini Yunianingtias yang memberikan support, hiburan dan saran keilmuan
selama penulisan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan Double Degree Ilmu Hukum Tahun 2014 yang
sudah senantiasa menjadi tempat berbagi ilmu dan waktunya.
11. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 dan KKN LEBAH
2014 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kenangan
indah penulis yang tidak dapat terlupakan bersama kalian semuanya.
ix
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya,
hanya doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan
yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelsaikan skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempatan skripsi ini.
Jakarta, 25 Mei 2015
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 6
E. Review Studi Terdahulu .............................................................. 9
F. Metode Penelitian ..................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 14
A. Pengertian Hermeneutika Hukum .............................................. 16
B. Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan
Hukum ...................................................................................... 19
D. Kedudukan Hakim .................................................................... 39
PENGADILAN AGAMA
Pada Putusan Pengadilan Agama .............................................. 57
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor:
1159/Pdt.G/2013/PA.JT ...................................................... 57
1934/Pdt.G/2013/PAJT ........................................................ 59
Penerapan Hermeneutika Hukum .............................................. 61
BAB IV IMPLEMENTASI HERMENEUTIKA HUKUM PADA PUTUSAN
HARTA BERSAMA PERKARA NO. 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
A. Penerapan Hermeneutika Hukum
1. Duduk Perkara .................................................................... 68
2. Pertimbangan Hukum ........................................................... 77
3. Amar Putusan ....................................................................... 83
B. Analisis Penulis ......................................................................... 84
2. Surat Permohonan Data Wawancara Ke PA Bekasi
3. Surat Permohonan Data Wawancara Ke PA Jakarta Timur
4. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara dari PA Jak-Tim
5. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Jak-Tim
6. Hasil Wawancara dengan Wakil Ketua PA Jak-Tim
7. Hasil Wawancara dengan Dosen dan Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum
9. Putusan Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
1
semakin hari semakin kontemporer, sehingga tidak mungkin tercangkup
dalam suatu peraturan perundang-undangan secara tuntas dan jelas. Karena
pada hakikatnya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan mempunyai
kemampuan yang terbatas sehingga undang-undang yang dibuatnya
tidaklah lengkap dan tidak sempurna untuk mencakup keseluruhan
permasalahan manusia dalam kehidupannya. Untuk itu, tidak ada
peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau
jelas sejelas-jelasnya.1
abstrak, tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwa
konkret. Oleh karena itu, ketentuan undang-undang harus diberi arti,
dijelaskan atau ditafsirkan dan disesuaikan dengan peristiwanya untuk
diterapkan pada peristiwa itu. Peristiwa hukumnya harus dicari terlebih
1 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2010), h. 48
untuk dapat diterapkan.2
perkembangan kemasyarakatan sehingga menimbulkan ruang kosong yang
perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah, dibebankan kepada para
hakim dengan melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi
atau konstruksi dengan syarat bahwa dalam menjalankan tugasnya
tersebut, tidak boleh mendistorsi maksud dan jiwa undang-undang atau
tidak boleh bersikap sewenang-wenang.3 Dikarenakan dalam Undang-
undang tidak lengkap, maka dari itu harus dicari dan diketemukan
hukumnya dengan memberikan penjelasan, penafsiran atau melengkapi
peraturan perundang-undangannya.4
kondisi kekinian, maka dengan demikian muncullah beberapa alternative
metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan
konstruksi hukum, pada prinsipnya masih relevan digunakan hakim hingga
saat ini. Akan tetapi, perlu diketahui terdapat suatu penemuan hukum yang
lain yang bisa dipergunakan hakim dalam praktik peradilan sehari-hari,
2 Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 12
3 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Bandung: Alumni, 2006), h. 33
4 Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, (Bandung:
Alumni, 2006) h. 86
alternative metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan
pada interpretasi teks hukum.
metode interpretasi teks hukum atau metode memahami sesuatu terhadap
suatu naskah normatif.5
dibicarakan dalam filsafat abad XX, hal ini berawal dari perhubungan
penafsiran kitab suci orang Yahudi dan Kristen sebelum akhirnya
berkembang menjadi sebuah kajian filsafat. Apalagi keyakinan teologis
umat Kristen mengenai Bibel, mereka menyakini bahwa Bibel mempunyai
beberapa penulis yang mendapat inspirasi dari roh kudus seperti Markus,
Yohannes, Matius dan sebagainya. Kenyataan ini kemudian
mempengaruhi struktur keimanan umat Kristen untuk tidak mengatakan
Bibel sebagai Kalam Tuhan, maka dari itu para teolog Kristen memerlukan
hermeneutika untuk memehami teks.
merupakan hal yang baru dalam tradisi keilmuan Islam, praktek
hermeneutika dapat dilihat dari maraknya kegiatan interpretasi dalam
wacana keilmuan Islam di bawah payung disiplin ilmu yang juga dikenal
dengan Ilmu Tafsir. Lain hal dengan penjelasan dari Hasan Hanafi yang
mengatakan bahwa hermeneutika tidak hanya berusaha menyelami
5Ahmad Rifa’i, Metode Penemuan Hukum Yang Sesuai dengan Karakteristik, (Jakarta,
Sinar Grafika, 2011), h. 88
4
kandungan makna literal sebuah teks tetapi juga berusaha menggali makna
yang tersembunyi dibalik teks dengan mempertimbangkan horizon yang
melingkupi teks, pengarang dan pembaca.6
Di Indonesia praktik peradilan, untuk metode hermeneutika hukum
tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan
hukum, hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi dan
konstruksi hukum yang sangat legalistik formal, sebagai metode penemuan
hukum yang telah mengakar cukup lama dalam system peradilan di
Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar hakim belum familiar dengan
metode ini, sehingga jarang atau sama sekali tidak menggunakannya
dalam praktik peradilan, padahal esensi hermeneutika hukum terletak pada
pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan
teks hukum yang tidak semata-mata melihat teksnya saja semata, tetapi
juga konteks hukum itu dilahirkan, serta bagaimanakah kontekstualisasi
atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa mendatang.7
Dan dari banyaknya perkara yang ditangani Pengadilan pada
kenyataannya tidak sedikit ada beberapa hakim yang sudah berani untuk
menggunakan hermeneutika hukum dalam putusannya dan salah satunya
mengenai penerapan harta bersama yang dikolerasikan dengan
hermeneutika hukum di dalamnya, dikarenakan dalam realita sering
6 Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Tim
Pustaka Firdaus, 1991), h. 1
7 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.89
5
tidak sedikit berujung pada putusan perceraian di Pengadilan dan tidak
diherankan pada saat atau telah berakhirnya sebuah perkawinan yang
sering disengketakan tidak jauh dari permasalahan harta bersama yang
biasa juga dikenal dengan harta gono gini, maka dari itu ada beberapa
yang perlu terlebih dahulu diketahui yaitu dapat membedakan antara harta
bawaan dan harta bersama yang sering kali disalah mengertikan oleh
masyarakat yang awam atas hukum, harta bersama adalah harta kekayaan
yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan, maksudnya
adalah harta yang didapat atas usaha mereka sendiri selama masa ikatan
perkawinan.8
definisi bahwa harta bersama (gono-gini) adalah harta milik bersama dari
suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan
dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumah tangga. Dan
harta bersama dapat juga diqiyaskan sebagai syirkah karena dapat
dipahami bahwa istri juga dapat dihitung pasangan (kongsi) yang bekerja,
meskipun tidak ikut bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya. Yang
dimaksudkan adalah pekerjaan istri seperti mengurus rumah tangga,
memasak, mencuci, mengasuh anak dan keperluan lainnya.
8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet.-3,
1998), h. 200.
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-
istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa).
Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adat yang berlaku di
masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan
dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan
harta suarang nan babagi; di Madura dinamakan guna ghana; di Sunda
digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di
Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan.9
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penulis
mendeskripsikan sebagai permasalahan yang menarik untuk dibahas lebih
meneliti agar ada kolerasi antara yang terjadi dalam lapangan ataupun
dilihat dari segi kepustakaannya, oleh karena itu penulis mengangkat ini
sebagai sebuah penelitian dengan judul “PENERAPAN
HERMENEUTIKA HUKUM DI PENGADILAN AGAMA DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA” (Studi Analisis Putusan Pengadilan
Agama Bekasi Tentang Harta Bersama).
A. Identifikasi Masalah
dengan judul yang sedang dibahas. Masalah-masalah yang sudah tertuang
pada subbab latar belakang diatas, maka dari itu penulis memaparkan
9 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri, (Jakarta: Bulan bintang,
1965), h. 18.
belakang penelitian ini, diantaranya adalah:
1. Bagaimana konstribusi hermeneutika hukum dalam
penyelesaian harta bersama akibat perceraian pada putusan di
Pengadilan Agama Bekasi?
Penngadilan Agama Bekasi dalam suatu putusan perkara?
3. Apa yang menjadi acuan tinjauan yurisprudensi dalam
permasalahan perkara harta bersama?
hermeneutika hukum pada putusan yang dihadapi?
5. Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan hermeneutika hukum
sebagai alternatif metode penemuan hukum baru dalam putusan
di Penngadilan Agama Bekasi?
1. Pembatasan Masalah
adalah:
terhadap Kompilasi Hukum Islam.
b. Pengadilan Agama dibatasi pada kota Bekasi di Jalan Ahmad
Yani No. 10 dan Pengadilan Agama Jakarta Timur di Jalan
Raya PKP No. 24 Kelapa Dua Wetan, Ciracas.
c. Perkara Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks. dibatasi dengan
permasalahan mengenai sengketa harta bersama akibat
perceraian. Antara Trileya Noverisda Binti Rivai Risma
sebagai Penggugat dan Mochsirsyah Bin Mochtarudin sebagai
Tergugat. Dan beberapa sample putusan yang menerapkan
hermeneutika
d. Data yang di teliti dibatasi pada data tahun 2008 dan 2013.
2. Perumusan Masalah
hukum pada putusan perkara harta bersama?
2. Bagaimana alasan hakim dalam putusan perkara penyelesaian
sengketa harta bersama tanpa merujuk kepada Kompilasi
Hukum Islam ?
1. Tujuan Penelitian
sebagai berikut :
hukum pada putusan perkara harta bersama
9
Islam.
kepentingan pihak-pihak, di antaranya:
1. Bagi para akademisi, agar penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
bahan tambahan khazanah ilmu pengetahuan.
2. Bagi masyarakat, supaya penelitian ini dapat memberikan
pengetahuan baru dan terpenuhinya rasa keadilan.
3. Bagi para hakim agar lebih berani dan mau lebih melakukan
hermeneutika dalam penemuan hukum yang baru namun juga
tidak sewenang-wenang.
Perceraian Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Nomor:
393/Pdt.G/PA.Tng), prodi SAS, 2009. Skripsi ini membahas
pertimbangan Majelis hakim pada putusan ini hanya menerapkan
apa yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam sepanjang
sudah dijelaskan atau disesuaikan dengan kasus dan baru
kemudian hakim menafsirkan pasal tersebut. Perbedaannya
dalam penulisan skripsi penulis ialah penulis mengungkapkan
bagaimana penerapan suatu hermeneutika hukum di Pengadilan
10
perceraian pada putusan yang terkait.
2. Skripsi M. Beni Kurniawan, Pembagian Harta Bersama
Berdasarkan Konstribusi Dalam Perkawinan (Analisis Putusan
Nomor: 618/Pdt.G/2012/PA.Bkt), prodi SAS, 2014. Skripsi ini
membahas pembagian harta bersama berdasarkan konstribusi
adalah pembagian harta bersama dengan menilai besaran
konstribusi para pihak. Dalam arti jika pihak isteri mempunyai
jasa atau konstribusi yang lebih banyak dari suami maka ia
berhak mendapatkan 2/3 dari harta bersama dan pihak suami
hanya mendapat 1/3 dari harta bersama. Dan hakim dalam
putusan ini mengesampingkan ketentuan pasal 97 KHI,
perbedaannya dengan penulisan skripsi penulis adalah dalam
penulisan ini lebih menitikberatkan pada penerapan penyelesaian
sengketa harta bersama menggunakan metode penemuan hukum
baru yaitu hermeneutika hukum.
Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian yang dilakukan
hakim dalam memeriksa gugatan harta bersama pasca perceraian
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan dalam
pertimbangannya hakim tetap menyesuaikan dengan peraturan
yang termuat yaitu Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yaitu
11
membagi sama rata harta bersama antara bekas suami dan istri
selama masa perkawinan. Sedangkan berbeda halnya dalam
penulisan penulis yaitu membahas tindakan hakim dalam berani
menerapkan suatu putusan menggunakan terobosan hermeneutika
hukum tanpa merujuk KHI, dan ini digunakan sebagian hakim
untuk mengesampingkan ketetapan Undang-undang yang telah
ada.
dilakukan terhadap permasalahan. Metode penelitian dianggap paling
penting dalam menilai kualitas hasil penelitian. Hal ini wajib harus ada
dan tidak dapat dipisahkan lagi dari apa yang dinamakan keabsahan
penelitian. Maka dari itu dipergunakan untuk membuat terang suatu
penelitian secara lengkap.
sebagai berikut:
dari hasil penelitian dan observasi.10
10 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta, 2010), h.19
12
metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode
deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang
baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin
tentang obyek yang diteliti.11
Jenis - jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif
dan terbagi menjadi dua yaitu :
a. Data Primer
menangani putusan perkara Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks
b. Data Sekunder
peraturan perundang-undangan13, Al-Qur’an, Hadis, data-data
resmi dari instansi pemerintah yang berwenang, buku-buku
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), h. 43
12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 35
13 Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi Cet 4, (Malang : Bayumedia Publishing, 2008), h. 302
13
bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
menyajikan bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan
pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:
a. Observasi
melakukan observasi pada objek yang dimaksudkan yaitu pada
Pengadilan Agama Bekasi yang terletak di Jalan Ahmad Yani
No. 10.
pihak-pihak yang terkait dan majelis hakim yang menyidangi
perkara putusan Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks. dengan
Ketua Majelis Hakim Drs. Jajat Sudrajat, SH,. MH. dan Wakil
Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. H. Chazim
Maksalina, MH, dan para dosen. Wawancara ini menggunakan
metode bebas dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis
jadikan referensi untuk memperkuat data.
c. Studi Dokumentasi (document research)
Melalui studi ini untuk dapat menelaah bahan-bahan atau
data-data yang diambil dari dokumentasi dan berkas yang
14
harta bersama pada putusan perkara Nomor:
1006/Pdt.G/2008/PA.Bks.
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu dari Kompilasi
Hukum Islam, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Pengelohan data studi pustaka dilakukan dengan
cara dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok
masalah yang terdapat dalam skripsi ini.
F. Sistematika Penulisan
dari penulisan yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada
pokok permasalahan yang sedang dibahas. Untuk itu penulisan ini akan
dibagi ke dalam 5 (lima) bab yaitu :
BAB I Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode
penelitian, metode analisis data, sistematika penulisan.
BAB II Penulis menguraikan tentang pengertian hermeneutika
hukum, hermeneutika hukum sebagai alternatif metode
15
kedudukan hakim, kemudian kedudukan mujtahid
BAB III Penulis membahas mengenai penerapan hermeneutika
hukum pada putusan di Pengadilan Agama, kemudian
penulis juga melakukan analisis terhadap putusan-putusan
Pengadilan Agama yang menggunakan hermeneutika
hukum.
BAB IV Dalam bab ini penulis akan memaparkan duduk perkara,
pertimbangan hukum beserta amar putusan tekait Perkara
Nomor 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks pada penerapan
bersama dan terakhir penulis akan menganalisis putusan
tersebut.
BAB V Pada bab akhir ini penulis akan memberikan kesimpulan
yang disertai dengan saran-saran. Demikianlah sistematika
penulisan ini, mudah-mudahan penulisan ini dapat
dimengerti dan bermanfaat.
A. Pengertian Hermeneutika Hukum
berarti “interpretasi” dan perkataan hermeneutika adalah pengindonesiaan dari
kata bahasa inggris hermeneutics. Kata ini aslinya berasal dari bahasa
Yunani, yakni dari kata kerja hermeneuein yang mempunyai tiga bentuk
makna dasar. Ketiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari
hermeneuein. Pertama, mengungkapkan kata-kata, kedua, menjelaskan
sebuah situasi dan ketiga, menerjemahkan. Dari ketiga pengertian diatas
dimaksudkan bahwa hermeneutika merupakan usaha untuk beralih dari
sesuatu yang gelap ke sesuatu yang lebih terang.14
Dalam ilmu hukum, Henry Cambell Black mengartikan hermeneutika
sebagai “The science of art of consrtruction and interpretation. By the phrase
“legal hermeneutic” is understood the systematic body of rules which are
14 Richard E. Palmer, Hermeneutic, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), diterjemahkan oleh: Masnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 14-15
17
recognized as applicable to the conctruction and interpretation of legal
writings”.15
Pengertian hermeneutika menurut Card Breaten adalah “The science
of reflecting on how a word or an event in a past and culture many
understand and become existentially meaningful in our present situation”
(Ilmu yang merefleksikan tentang sesuatu kata atau event yang ada pada masa
lalu untuk dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam
konteks kekinian).16
bahwa hermeneutics adalah ilmu susunan kalimat dalam bidang hukum.17
Begitu juga Hasan Hanafi mengemukakan pengertian hermeneutika
merupakan ilmu interpretasi. Alat untuk menafsirkan, alat untuk memahami,
dan alat untuk menjalankan.18
Enzyklopadie der Altertumsswissenschaft mendefinisikan hermeneutika
sebagai ilmu tentang kaidah yang dengannya makna tanda-tanda dikenali.
Menurutnya kaidah-kaidah itu berbeda dengan objek, makanya muncullah
15 Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary, 6th ed, (USA: West Publishing, 2004) h. 55.
16 Card Breaten, History of Hermeneutics, (Philadelphia: From Press, 1966), h. 131
17 L.P.M. Ranuhandoko, Terminiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) h. 321
18 Hasan Hanafi, Hermeneutic, Liberation and Revolution, (Dar Kebaa Bookshop), diterjemahkan oleh Jajat Hidayatul. F dan Neila Meutia. D, edisi Indonesia: Bongkar Tafsir, Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, (Yogyakarta: Pustaka Utama, 2003) h. 1,3
18
hermeneutika untuk puisi, sejarah dan hukum. Dan setiap kaidah akan dicapai
melalui praktik, dengan demikian wolf mengatakan hermeneutika pada
dasarnya adalah sebuah praktik ketimbang sebagai usaha teoritis. Yang
seharusnya hermeneutika diartikan sebagai sebuah kumpulan kaidah.19
E. Sumaryono mendefinisikan hermeneutika merupakan sebuah
proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan
mengerti. Dimana hermeneutika juga sebagai cara interpretasi terhadap teks
yang disesuaikan dengan konteksnya.20
filsafat mengenai hal mengerti atau memahami sesuatu atau dapat dikatakan
sebuah metode interpretasi (penafsiran) terhadap sesuatu atau teks. Kata
sesuatu atau teks disini dapat berupa: teks hukum, peristiwa hukum, fakta
hukum, dokumentasi resmi Negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat hukum
(ahkam) dalam kitab suci, ataupun dapat berupa pendapat dan hasil ijtihad
para ahli hukum (doktrin).21
manusia tak dapat membebaskan diri dari kecendrungan dasarnya untuk
19 Richard E. Palmer, Hermeneutic, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh: Masnur Hery & Damanhuri Muhammad, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. h. 91
20 E.Sumaryono, Hermenutika, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) h. 23- 24
21 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005) h. 44
19
memberi makna realitas, dan dalam hal ini bahasa memegang peranan
sentralnya.22
berbagai bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. karena realitas hukum
merupakan sebuah kebenaran menjadi keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Hermeneutika hukum menempatkan pencarian kebenaran dan keadilan
menjadi sebuah kehakekatan dengan menggunakan tafsir atas teks. Theo
Huijbers membagi tiga bentuk penafsiran dalam upaya menafsirkan undang-
undang yaitu penafsiran penambah, penafsiran pelengkap dan penafsiran
budaya.23 Ketiga bentuk penafsiran tersebut akan mendekatkan penemuan
hukum dalam perspektif hermeneutika hukum.
B. Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum
Dalam praktik tidak jarang dijumpai ada beberapa peristiwa yang
belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah
diatur tetapi tidak lengkap atau tidak jelas. Oleh karena itu peraturan hukum
yang tidak jelas harus dijelaskan dan yang kurang lengkap harus dilengkapi
dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan
terhadap peristiwanya. Dengan demikian, pada hakikatnya semua perkara
22 F. Budi Hardiman, Melampui Positivisme Dan Modernisme Diskursus Filsafat Tentang Metode Ilmiah Dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 44-48
23 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) h. 133-135.
20
putusan hukum yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.
making), yang diartikan bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya
sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan. Hukum tidak selalu
berupa kaidah (das sollen) baik tertulis ataupun tidak, tetapi dapat juga berupa
perilaku atau peristiwa (das sein).24
Begitu juga Paul Scholten berpendapat mengenai penemuan hukum
ialah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan-peraturan pada
peristiwanya, dimana kadang-kadang atau sering terjadi bahwa peraturannya
harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi
ataupun rechtvervijning (pengkonkretan hukum).25
tetapi juga telah bergeser ke depan seiring dengan diskursus tentang
memahami secara hermeneutis. Van Tongeren mengemukakan ciri-ciri hukum
24 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 31
25 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), h. 146
21
diterapkan dalam kejadian-kejadian konkret. Kedua, dalam praktik hukum,
penafsiran tidak semata-mata penerapan, penerjemahan atau rekonstruksi,
melainkan setiap penafsiran selalu menambahkan sesuatu kepada material
awalnya. Ketiga, memahami secara yuridis bahwa penerapan suatu naskah
terintegrasi dengan penjelasannya. Jika hakim harus menerapkan undang-
undang maka ia akan mencari arti hakiki (jadi telah memahami undang-
undang itu), maka Undang-undang itu telah ditafsirkan dan diterapkan.
Kajian hermeneutika hukum mempunyai dua makna sekaligus.
Pertama, hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi
atas teks-teks hukum. Interpretasi yang benar terhadap teks hukum harus
selalu berhubungan dengan isi atau kaidah hukum, baik yang tersurat maupun
yang tersirat. Kedua, hermeneutika hukum mempunyai kolerasi dengan teori
penemuan hukum. Hal ini ditunjukkan dengan kerangka lingkaran spiral
hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidah dan fakta. Dalam
hermeneutika seseorang harus mengkualifikasi fakta dalam bingkai kaidah
dan menginterpretasi kaidah dalam bingkai fakta.
26 Chazim Maksalina, Penerapan Hermeneutika Hukum Dalam Perspektif Penemuan Hukum Pada Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, (Disertasi S3 Bidang Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Islam Bandung, 2014)
22
menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks
untuk dicari arti dan maknanya. Metode hermeneutika ini menuntut adanya
kemampuan untuk menafsirkan masa lalu yang tidak dialami, kemudian
dibawa ke masa sekarang.27
Pada sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang
melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Seseorang
harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini (vorable), apa
yang dilihat (vorsicht), dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff).
Kunci utama hermeneutika terletak pada penafsirnya. Dalam kajian
hermeneutik tidak ada penafsiran yang tepat atau keliru, benar atau salah.
Yang ada hanyalah upaya yang bervariasi untuk mendekati teks dari
kepentingan dan motivasi yang berbeda. Dengan demikian maka sangat logis
bila secara konseptual hermeneutic mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya
tidak ada suatu teks yang tidak dapat ditafsirkan.28
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga
bentuk atau model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan
tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, dan
Emilio Betti, menurut model ini, penafsiran berarti memahami teks
27 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi,
(Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), h. 9
28 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), h. 232.
23
ialah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga apa yang disebut makna atau
tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan pembaca melainkan
diturunkan dan bersifat instruktif.29
modern khususnya Hans-Georg Gadamer dan Jarques Derida. Menueut model
ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud
penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif melainkan
memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri.30
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-
tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi dan Farid Esack.
Menurut model ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau
metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.
Dalam keilmuan hukum terdapat beberapa teori penemuan hukum
yang sudah familiar di implementasikan pada beberapa putusan hukum dalam
praktik di Pengadilan sebagai acuan untuk penerapan dan penegakan hukum,
diantaranya adalah interpretasi hukum, konstruksi hukum, begitu pula
perlunya dikemukakan berkembangnya hemeneutika hukum saat ini untuk
29 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London; Routlege & Kegan Paul, 1980), h.
29. 30 Arip Purkon, Article Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam, (Jakarta: FSH UIN Jakarta), h. 187. Diakses tanggal 05 Mei 2015, 16.00 WIB. http://download.portalgaruda.org /article.php?article=175989&val=328&title=Pendekatan%20Hermeneutika%20dalam%20Kajian%20 Hukum%20Islam.
24
menjadi lirikan sebagai alternatif penemuan hukum baru bagi hakim dalam
penginterpretasian teks hukum. Demikian juga disimpulkan oleh James
Robinson mengenai fungsi dan tujuan hermeneutika yaitu untuk memperjelas
sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas. 31
Eksistensi penemuan hukum tidak bisa terlepas dari suatu sistem,
dengan demikian Van Eikema Hommes, membagi dua sistem penemuan
hukum yang dibedakan menjadi penemuan hukum heteronom (Typisch
logicitisch) dan penemuan hukum otonom (Materiel juridisch). Melihat posisi
hakim di Indonesia yang menganut sistem penemuan hukum heteronom di
mana hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi atau melakukan
penilaian. Karena penemuan hukum di sini dianggap sebagai kejadian yang
tekhnis dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang. Dengan kata lain
kedudukan hakim hanya sebagai penyambung lidah atau corong dari Undang-
undang, sehingga ia tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang.
Berbeda halnya ketika membahas penemuan hukum otonom yang mana
memposisikan hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya
undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri
memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan
kebutuhan atau perkembangan masyarakat. Tetapi apabila dilihat pada
realitanya saat ini, Indonesia terdapat juga penemuan hukum yang mempunyai
31 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum. Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi
Teks, h. 45
unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau
melengkapi Undang-undang menurut pandangannya sendiri.32
Pada proses penemuan hukum, yang banyak dilakukan oleh hakim
perlu dibedakan menjadi dua hal, yaitu tahap sebelum pengambilan putusan
(ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post). Dalam perspektif
teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan putusan
disebut “heuristika”, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului
tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro
dan kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara satu dan
lainnya, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Untuk menemukan
hukum yang terjadi sesudah putusan disebut “legitimasi”, dan hal ini
berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Apabila
suatu putusan hukum tidak dapat diterima oleh forum hukum, maka putusan
itu berarti tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang
baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante untuk
meyakinkan forum hukum tersebut agar putusan tersebut dapat diterima. 33
Disinilah arti penting hermeneutika hukum digunakan para hakim
dalam rangka menemukan makna hukum. Penemuan makna hukum oleh
32 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, Op.,cit h. 38-40 33 M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 74.
26
terhadap peristiwa konkret, akan tetapi sekaligus penciptaan hukum dan
pembentukkan hukumnya. Tugas aparat hukum juga tidak dapat dilepaskan
dari melakukan interpretasi atas teks hukum atau peraturan perundang-
undangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas
peristiwa dan fakta hukumnya sendiri.34
Pendekatan hermeneutika, umumnya membahas pola hubungan
segetiga (triadic) antara teks (hukum), si pembuat teks (author), dan penafsir
teks (reader). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam
memahami sebuah teks, baik itu teks kitab suci maupun teks umum (termasuk
hukum), dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi
lebih kepada apa yang ada di balik teks. 35
Penemuan hukum oleh hakim dilakukan dalam rangka tugas dan
kewenangan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang dihadapkan
kepadanya. Penemuan hukum oleh hakim dianggap yang mempunyai wibawa.
Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam putusan.36
34 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi
Teks, Op, Cit., h. 49-50
35 Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, diterjemahkan oleh: R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 8
36 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, h. 5
27
Ketentuan yuridis formal telah mengatur eksistensi penemuan hukum
yang termuat pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
dikatakan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Yang selanjutnya disebutkan mengenai penjelasan dalam pasal
ini bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim
konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Meringkas dari maksud ketersiratan dalam ketentuan diatas, hakim
mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum agar
putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat. Dikarenakan posisi hakim yang merupakan perumus dan penggali
dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hakim harus terjun
ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian, hakim akan dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat37 dan terwujudlah terpenuhinya
kepastian hukum.
Selanjutnya beranjak dari Pasal 5 ayat (1) dalam Pasal 10 ayat (1)
disebutkan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
37 Yudha Bhakti Adhiwisastra, Penafisran Dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000),
h.7
28
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”. Maksud dari ketentuan pasal ini memberikan makna kepada
hakim sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman yang dianggap memahami hukum, untuk menerima,
memeriksa, mengadili suatu perkara, sehingga wajib hukumnya bagi hakim
untuk menemukan hukumnya dengan menggali hukum yang tidak tertulis
untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang
bijaksana dan bertanggung jawab.
Menurut Bagir Manan, ada beberapa asas yang dapat diambil dari
ketentuan pasal diatas, diantaranya yaitu:38
1. Untuk menjamin kepastian hukum bahwa setiap perkara yang diajukan ke
pengadilan akan diputus.
3. Sebagai pelambang kebebasan hakim dalam memutus perkara
Apabila dihadapkan dengan adanya kekosongan hukum atau
kekosongan Undang-undang, maka hakim berpegang pada asas ius curia
novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.39
38 A. Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum Dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim
Dalam Proses Peradilan, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 252 November, 2006, (Jakarta: IKAHI, 2006), h. 84
29
Hukum Islam atau juga disebut fiqih Islam merupakan hukum yang
mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah diturunkan Alllah SWT
kepada Nabi dan Rasulnya Muhammad SAW yang diperuntukkan bagi umat
manusia sampai akhir zaman. Fiqih didefinisikan sebagai ilmu yang diperoleh
dengan menggunakan pikiran dan ijtihad.40 Sedangkan hukum Islam menurut
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip oleh Ismail Muhammad Syah
dirumuskan sebagai koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan
syari’at atas kebutuhan masyarakat.41
Pada dasarnya hukum Islam dibedakan menjadi dua kelompok.
Pertama, hukum Islam yang bersifat absolute, universal, dan permanen, tidak
berubah dan tidak dapat dirubah. Hukum Islam yang termasuk bagian ini
adalah hukum Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis mutawatir
yang penunjukannya telah jelas. Kedua, hukum Islam yang bersifat relatif,
tidak universal dan tidak permanen. Pada batas-batas tertentu, hukum Islam
dalam bentuk seperti ini dapat berubah sesuai situasi dan kondisi. Hukum
39Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelengaraan Pemerintahan Yang Layak
(AAUPPL) Di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 90
40Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press,2005), h. 1-2.
41 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 19
30
Islam yang masuk ke kelompok ini adalah hukum-hukum yang dihasilkan
melalui proses ijihad.42
pandangan, sesuai dilihat sepanjang pemakaiannnya, berikut ini penjelasan
ditinjau dari etimologi, kata ijtihad berasal dari kata jahada. Ada dua bentuk
masdar yang dapat terbentuk dari kata jahada, yaitu: pertama, kata jahd, yang
mengandung arti kesungguhan. Arti ini sejalan dengan firman Allah dalam
surat Al-An’am:109
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan. Kedua, kata juhd dengan arti adanya kemampuan yang didalamnya
terkandung makna sulit, berat, dan susah, sesuai kejelasan ayat berikut:
Orang-orang (munafik) yang mencela orang-orang mukmin yang member sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) kecuali sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. (Surat At-Taubah: 79)
Perubahan kata dari jahada menjadi ijtahada mengandung beberapa
arti, diantaranya ialah, li al-mubalaghah, yaitu menunjukan penenekanan. Dan
42 Yusuf al-Qaradawi, Al-Ijtihad f al-Shar’ah al-Islamiyyah ma‘a Nazarah Tahliliyyah f al-
Ijtihad al-Mu‘asir (Kuwayt: Dar al-Qalam, 1985), h. 205
31
ada juga makna lain ijtihad secara bahasa yaitu At-Thaqah yang berarti
tenaga, kuasa dan daya.43
Adapun kata ijtihad secara terminiologi, terdapat beberapa definisi
yang dikemukakan ulama, yang pada umumnya menunjukkan pengertian
yang sama, dan diantaranya satu sama lain saling melengkapi, berikut ini
definisi ijtihad, pertama, menurut Ibnu As-Subki:44
Pengerahan kemampuaan seorang ahli fiqih untuk menghasilkan
hukum syara’ yang bersifat dzanni.
Kedua, Muhammad Abau Zahrah:45
Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqih untuk menggali hukum-
hukum (syara’) yang bersifat ‘amaliyyah dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.
Ketiga, Al-Amidi:46
.
Pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat dzanni, sehingga merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari kemauan tersebut.
43 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 243
44 Tajuddin Abdul Wahhab bin As-Subki, Jam’ Al-Jawami', (Semarang: Toha Putra), h. 379
45 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Qahirah: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958). h. 357
46 Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1984, Juz IV), h. 162.
32
Muhammedan Law menyatakan bahwa:
The world ijtihad means literally the exertion of great efforts in order
to the a thing. Technically it is defined as “the putting forth of every effort in
order to determine with a degree of probability a question of syari’ah “if
follows from the definitions that a person would not be exercising ijtihad if he
arrived at an opinion while he felt that he could exert himself still more in the
investigation he is carrying out. This restriction, if comformed to, would mean
the realization of the utmost degree of thoroughness. By extention, ijtihad also
means the opinion rendered. The person exercising ijtihad is called mujtahid
and the question he is considering is called mujtahid-fih. 47
Perkataan ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh
melaksanakan sesuatu. Secara tekhnis diartikan “mengerahkan setiap usaha
untuk mendapatkan kemungkinan kesimpulan tentang suatu masalah
syari’ah”. Dari definisi ini maka seseorang tidak akan melakukan ijtihad
apabila dia telah mendapat suatu kesimpulan sedangkan dia merasa bahwa dia
dapat menyelidiki lebih dalam tentang apa yang dikemukakannya.
Pembatasan ini akan berarti suatu penjelmaan bagi suatu penyelidikan yang
sedalam-dalamnya. Jika diperluas artinya maka ijtihad berarti juga pendapat
47 Nicolas P. Aghnides, The Background Introduction To Muhammedan Law, New York:
published by the Ab, “ Sitti Sjamsijah”. (publishing coy Solo, Java, with the authority- license of Columbia University Press), h. 95
33
persoalan yang dipertimbangkannya dinamakan mujtahid fih.
Disamping pengertian ijithad diatas tersebut, para pakar hukum Islam
memberikan batasan pengertian ijtihad dalam arti sempit dan luas. Menurut
pengertian dalam arti sempit yaitu ijtihad hanya menjalankan qiyas atau
membandingkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Sedangkan dalam arti
luas, ijtihad adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk
menegeluarkan hukum syara’ dari kitabullah dan hadis atau usaha maksimal
dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui
pemikiran dan penelitian yang serius.48
Ijtihad sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha maksimal
dalam penalaran, sehingga menghasilkan pendapat pribadi yang orisinil.49
Dengan demikian untuk dapat memenuhi suatu ijtihad, berikut ini unsur dari
ijtihad, diantaranya ialah:
berpredikat sebagai mujtahid
3. Objek ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci
48 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2006), h.160
49 Hasan Ahmad Mar’i, Al-Ijtihad fi Syari’ah al-Islamiyyah, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1976), h. 8
34
4. Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan
dengan masalah-masalah ‘amaliyyah (bukan yang berkaitan dengan
masalah akidah atau akhlak)
5. Hukum syara’ yang ditemukan tersebut bersifat dzanni (kuat dugaan;
relative), bukan yang bersifat qath’i (pasti benar; absolute).
Saat ini, ijtihad dalam rangka pembaharuan hukum Islam bukan saja
menjadi kebutuhan, tetapi sudah menjadi sunnatullah yang tidak bisa
ditinggalkan dalam menghadapi arus globalisasi. Dengan dilaksanakannya
ijtihad dalam menyelesaikan segala masalah hukum yang timbul, diharapkan
hukum Islam tetap eksis dan dapat mengikuti perkembangan zaman serta tetap
diperlukan oleh umat Islam dalam mengatur kehidupannya.
Sehubungan dengan hal ini, Yusuf Al-Qardhawi mengemukakan
sebagaimana dikutip oleh Dr. H. Abdul Manan, S.H bahwa dengan
menghormati dan menghargai hasil-hasil dan karya ijtihad para ulama
terdahulu dalam berbagai bidang hukum Islam, saat ini sangat diperlukan
ijitihad dengan metode baru untuk menyelesaikan berbagai masalah yang
dahulu belum ada. Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing zaman
memiliki persoalannya sendiri-sendiri. Zaman sekarang sudah terjadi
perubahan yang luar biasa akibat majunya industri, ilmu pengetahuan dan
teknologi, komunikasi dan transportasi yang menyebabkan dunia yang besar
ini menjadi sempit, tidak jelas lagi batas-batasnya. Untuk menyikapi masalah
ini, dahulu para ulama sudah berani menyatakan adanya prinsip “taqayyun al-
35
fatwa bi taqayyun az-zaman” (berubahnya fatwa karena adanya perubahan
zaman), tentu prinsip ini harus terus dipegang dan dilaksanakan dalam rangka
pengembangan dan pembaharuan hukum Islam. Agar hukum-hukum yang
diijtihadkan menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia.50
Keberadaan ijtihad ditompang oleh banyak dalil, baik ayat – ayat Al-
Qur’an maupun sunnah, antara lain pada surat An-Nisa’ ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Pada ayat di atas Allah memerintahkan untuk mengembalikan masalah
yang menjadi objek perbedaan pendapat kepada Allah dan Rasul-nya. Cara
yang ditempuh tentulah dengan cara berijtihad memahami kandungan makna
dan prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat Al-Qur’an dan hadis,
kemudian menerapkannya pada persoalan yang sedang dihadapi.
Adapun landasan ijtihad yang berasal dari hadis, seperti suatu riwayat
yang menceritakan antara Rasulullah dan Mu’az bin Jabal, ketika dahulu
Rasulullah mengutus Mu’az menjadi hakim di Yaman.
50 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 166
36
« « : : »
« : :» : »
« : 51 )»(
“Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar dari Syu'bah dari Abu 'Aun dari Al Harits bin 'Amru anak saudara Al Mughirah bin Syu'bah, dari beberapa orang penduduk Himsh yang merupakan sebagian dari sahabat Mu'adz bin Jabal. Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda: "Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang dihadapkan kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan menggunakan Kitab Allah." Beliau bersabda: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam." Beliau bersabda lagi: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam serta dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam menepuk dadanya dan berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusannya Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah."
Dari hadis di atas, terdapat hirarki hadis yang melegitimasi ijtihad
Mu’az bin Jabal dalam menangani perkara, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
51 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah), Juz III, h. 303
37
Kemudian, hadis riwayat Abu Hurairah mengatakan bahwa:
: : . 52
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda:“ jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berjihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, tetapi jika ia berjihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala”.
Seseorang dalam berijtihad terdapat dua hal yang menjadi fokus untuk
menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya dan upaya menerapkan hukum
itu secara tepat terhadap suatu kasus yaitu; pertama, ijtihad istimbathi yang
memusatkan kepada sumber-sumber hukum Islam diantaranya Al-Qur’an dan
as-Sunnah, yang dilakukan baik dengan pendekatan kebahasaan maupun
pendekatan tujuan hukum (maqasid asy-syariah). Kedua, ijtihad tathbiqi
dilakukan untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan
hukum secara tepat dalam suatu kasus, objek kajiannya meliputi perbuatan
manusia dengan segala kondisi dan perubahannya.53
Dalam pembahasan ijihad terkadung juga dua kelompok wilayah
ijtihad, diantaranya adalah; 1) hukum-hukum yang didasarkan atas nash yang
52 Abu Abdurahman Ahmad bin syu’aib bin Ali Al-khurasani An-Nasa’I, As-Sunan Al-Kubro,
(Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2001), h. 396 53 Amrullah Ahmad, dkk, Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996) h. 118
38
tidak qath’i (zhanni), dan 2) hukum-hukum yang sama sekali tidak ada
landasan nash-nya, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah.
Begitu juga eksestensi ijtihad dalam hukum Islam menurut para ulama
memiliki pembatasan penggalian hukum, apabila menurut Imam Syafi’I
membatasi hukum dalam menggali hukum hanya dari nash Al-Qur’an dan
sunnah melalui cara qiyas saja, dan tidak memakai metode penalaran hukum
yang berdasarkan metode al-istihsan atau al-mashlahah mursalah.54
Para imam mazhab lainnya mempunyai pandangan berbeda dalam
memaknai pengertian ijtihad secara luas. Mereka menggunakan istilah ijtihad
untuk menggambarkan penalaran hukum (ar-ra’y) melalui metode al-qiyas
dan metode istinbath hukum lainnya. Dalam hal ini, mereka memahami
penalaran hukum tidak terbatas hanya pada pengertian al-qiyas, yaitu adanya
kasus-kasus hukum yang memiliki nash yang dapat dijadikan landasan hukum
terhadap kasus-kasus yang tidak ada nash-nya, dengan cara menyamakan
hukum keduanya, karena adanya kesamaan ‘illah. Sekalipun tidak ada acuan
nash-nya tetap dapat dilakukan penalaran hukum. Menurut Imam As-Syafi’i
bahwa ijtihad menggunakan penalaran hukum ialah melakukan penemuan
hukum yang dipandang paling dapat menghasilkan kemaslahatan dan yang
paling mendekati semangat pensyariatan hukum Islam. Dari segi metodenya,
ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
54 Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah, 2005),
h. 477
untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nash
Al-Qur’an dan sunnah.
hukum–hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak
ada nash Al-Qur’an maupun hadisnya, dengan cara meng-
qiyaskannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nash-nya.
3. Al-ijtihad Al-istishlahi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan
hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash-
nya, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, melalui cara penalaran
berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).55
individu dengan lainnya. Untuk dapat menyelesaiakan persoalan yang terjadi
sering kali diperlukan campur tangan institusi khusus yang memberikan
penyelesaian imparsial (secara tidak memihak). Fungsi ini lazimnya
dijalankan oleh suatu lembaga yang disebut dengan lembaga peradilan, yang
berwenang untuk melakukan pemeriksaan, penilaian dan memberi keputusan,
wewenang ini disebut dengan “kekuasaan kehakiman” yang dalam praktiknya
dilaksanakan oleh “hakim”.
55 Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 103-104.
40
Kata hakim dalam bahasa arab disebut juga qadhi, secara normatif
menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman disebutkan bahwa Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung
dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang
menyebutkan bahwa hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili.
Kedudukan hakim telah diberikan tempat pada konstitusi Negara kita
sesuai dengan amandemen ketiga UUD Tahun 1945, Pasal 24 ayat (1)
ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pada ajaran Islam telah terdapat beberapa golongan kriteria hakim,
diantaranya yaitu: dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk
surga. Satu golongan berbuat adil dalam keputusan hukumnya, maka mereka
masuk surga, yang satu golongan mengetahui keadilan tetapi menyeleweng
dengan sengaja, maka mereka masuk neraka. Dan yang satu golongan
memutuskan perkara tanpa ilmu tetapi mereka malu mengatakan ‘aku tidak
41
tahu’, maka mereka juga masuk neraka. Hal ini selaras dengan bunyi hadis
Rasulullah yakni:56
:
.
Dalam hal penyelesaian perkara yang dilakukan hakim dalam proses
pengambilan keputusan, menuntut para hakim harus mandiri dan bebas dari
pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah. Untuk pengambilan
keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah
hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya. Hakim
dituntut untuk memilih aturan hukum yang akan diterapkan, kemudian
menafsirkannya untuk menentukan atau menemukan suatu bentuk perilaku
yang tercantum dalam aturan itu serta menemukan pula kandungan maknanya
guna menetapkan penerapannya, dan menafsirkan fakta-fakta yang ditemukan
untuk menentukan apakah fakta-fakta tersebut termasuk ke dalam makna
penerapan aturan hukum tersebut. Dengan demikian, melalui penyelesaian
perkara konkret dalam proses peradilan dapat terjadi juga penemuan hukum.57
56 Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha Fil Islam, (Cairo: Darun Nahdhah al-Arabiyah), di
terjemahkan oleh Imran. A.M, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), h. 24 57 B. Arief Sidharta, Peranan Praktisi Hukum Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia,
(Bandung: Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian UNPAD No. 1, 1999), h. 15- 17
42
Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan
penderitaan lahir dan batin yang dapat membekas bagi para pihak yang
bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.58
membentuk hukum baru yang kekuatannya setara dengan Undang-undang
yang dibuat oleh pembentuk Undang-undang, dan jika putusan tersebut diikuti
oleh hakim-hakim selanjutnya, maka akan menjadi yurisprudensi, yang sudah
tentu mempengaruhi cara pikir maupun cara pandang hakim lain dalam
mengadili dan memutuskan perkara yang sama atau hampir sama.59
Berbicara konteks pembuatan putusan hakim, hermeneutika hukum
mempunyai setidak-tidaknya dua makna sekaligus yaitu: pertama,
hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai ‘metode interpretasi atas teks-
teks hukum’ atau ‘metode memahami terhadap suatu naskah normatif’; kedua,
hermeneutika hukum juga mempunyai relevansi dengan teori penemuan
hukum.
Terkait dengan yang pertama, interpretasi yang benar terhadap teks
hukum itu harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya) baik yang
58 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2002), h. 25
59 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 10-12
43
tersurat maupun yang tersirat atau antara bunyi hukum dengan semangat
hukum. Oleh karena itu, menurut Gadamer ada tiga persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seorang penafsir atau interpreter, yaitu memenuhi subtilitas
intelligendi (ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan
penjabaran), dan subtilitas aplicandi (ketepatan penerapan). Selanjutnya,
terkait dengan yang kedua (teori penemuan hukum), hermeneutika hukum
ditampilkan dalam kerangka pemahaman ‘lingkaran spiral hermeneutik’,
yakni proses timbale balik antara kaidah dan fakta-fakta.60
Adapun metode interpretasi atau penafsiran yang dapat digunakan oleh
penafsir dan sekaligus juga sebagai perangka atau alat bantu dalam
memperkaya penafsiran secara hermeneutic. Diantaranya terbagi menjadi
sebelas (11) kelompok yaitu: Interpretasi gramatikal, interpretasi historis,
interpretasi sistematis, interpretasi sosiologis atau teleologis, interpretasi
komparatif, interpretasi futuristic, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif,
interpretasi otentik, interpretasi interdisipliner, interpretasi multidisipliner. 61
Pada saat penjatuhan putusan, hakim harus memperhatikan serta
mengusahakan semaksimal mungkin agar jangan sampai putusan tersebut
memungkinkan timbulnya perkara baru. Selain itu, hakim dalam setiap
perkara yang diajukan kepadanya harus membantu justitiabelen dengan
60 M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, h. 74
61 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 127
44
sehingga akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada Pengadilan,
yang berakibat semakin berwibawanya lembaga peradilan.
E. Kedudukan Mujtahid
seorang faqih (ahli hukum Islam) yang mengerahkan segala daya dan
kemampuannya untuk mendapatkan status hukum syara’.62
Pada hakikatnya, mujtahid itu menempati posisi Nabi di tengah-tengah
umat dalam rangka menyampaikan risalah islamiyah (muballigh), penyikap
(kasyif), penjelas (mubayyin), dan penggali (mustanbit), penjelas hukum
syar’i yang belum ada atau tidak dijelaskan secara tekstual baik di dalam Al-
Qur’an maupun sunnah.63
berijtihad dan membekali dirinya dengan beberapa persyaratan, baik
persyaratan umum ataupun utama, berikut diantaranya:
1. Persyaratan Umum
b. Berakal
konsep-konsep yang pelik dan abstrak
62 Nadiah Syarif Al-‘umari, Al-ijtihad fi al-islami, (Beirut: Muassasah Ar-risalah, 1986), h. 57
63 Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), h. 25
45
2. Persyaratan Utama
dengan ayat-ayat hukum.
d. Memahami sunnah termasuk hadis-hadis yang berkaitan dengan
hukum syara’
Para ulama ushul fiqih telah mengklarifikasikan tingkat dan peringkat
seorang mujtahid dari yang tertinggi sampai terendah, diantaranya sebagai
berikut:
1) Mujtahid Mutlak atau juga disebut mujtahid al-mustaqil yaitu seorang
mujtahid yang maampu menggali hukum-hukum syari’at dari sumber
pokok, al-Qur’an dan as-sunnah. Dan mereka terdiri dari ulama yang
telah memenuhi semua syarat ijtihad dan mempunyai otoritas untuk
mengkaji hukum langsung dari al-Qur’an dan as-sunnah. Yang
termasuk dalam tingkatan ini ialah Ja’far ash-Shidiq, Abu Hanifah,
Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal.
2) Mujtahid Muntasib atau juga disebut mujtahid ghair al-mustaqil, yaitu
seorang mujtahid yang melakukan ijtihadnya dengan memilih
metodologi istinbath hukum seorang imam mazhab mutlak.
46
mazhabnya.
4) Mujtahid Murajjih ialah mujtahid yang melakukan tarjih di antara
beberapa pendapat mujtahid sebelumnya, dengan tujuan untuk
mengetahui pendapat mana yang didukung oleh riwayat yang lebih
shahih, atau pendapat mana yang didukung oleh dalil dan argument
yang lebih kuat.64
dan ittiba’ artinya menerima pendapat orang lain dengan mengetahui dasar
hukumnya. Kemudian setelah muttabi’ adapula muqallid (orang yang
bertaqlid), maksud taqlid adalah menerima dan mengikuti pendapat orang lain
dengan tidak mengetahui argument apa dan dari mana dasar hukumnya.65
Sehubungan dengan penemuan hukum seorang mujtahid yang
melakukan ijtihad dalam ruang pembaharuan hukum Islam masih perlu
dilakukan teus menerus guna mengisi kekosongan hukum, sebab tidak
mungkin ijtihad ulama terdahulu dapat mencakup semua hal secara mendetail
ketentuan hukum masa sekarang. Apalagi saat ini frekuensi perubahan tingkah
laku manusia sangat tinggi jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
64 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 315
65 Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taimiyyah Dalam Bidang Fiqih Islam, (Jakarta: INIS: 1991), h. 45
47
kemaslahatan dan harus sesuai dengan tujuan syariat. Karena hakikat tujuan
dari hukum Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan di dunia dan
kebahagian di akhirat bagi umat manusia. Maka, prinsip hukum yang harus
dikedepankan adalah kemaslahatan yang berasaskan kepada keadilan dan
kemanfaatan. Oleh karenanya, peranan para mujtahid apabila menghadapi hal-
hal yang belum diatur oleh nash, maka ia harus menggunakan ijtihad dalam
artian lebih luas dari qiyas (analogi), agar kebutuhan masyarakat kepada
hukum dapat terpenuhi.66
66 Abdul Manan, Refomasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 230
48
PENGADILAN AGAMA
Pendekatan hermeneutika mengasumsikan bahwasanya setiap bentuk
dan produk perilaku antar manusia itu (termasuk produk hukum baik in
abstracto maupun in concreto) akan selalu ditentukan oleh interpretasi yang
dibuat dan disepakati para pelaku yang tengah terlibat dalam proses itu, yang
tentu saja akan memberikan keragaman maknawi pada fakta yang sedang
dikaji sebagai objek. Simbol teori ini menggunakan strategi metodologi to
learn from the people mengajak, menggali dan meneliti makna hukum dari
perspektif penegak hukum yang terlibat dan pengguna dan/ atau pencari
keadilan.67 Pendekatan hermeneutika dapat dilakukan dengan berbagai varian,
diantaranya adalah:
putusan, diantaranya harus terkadung asas keadilan, asas kepastian hukum dan
asas kemanfaatan.
Huma, 2002), h. 105
hasil yang didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara
yuridis dan disertai dengan pertimbangan. Hakim selalu dituntut untuk dapat
menafsirkan makna Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
dijadikan dasar untuk diterapkan. Penerapan hukum harus sesuai dengan
kasus yang terjadi, sehingga hakim dapat mengkonstruksi kasus yang diadili
secara utuh, bijaksana dan objektif.
2. Keadilan
Keadilan harus terwujud dan terpenuhi bagi para pihak. Dan sisi
keadilan juga mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang
terdiri dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
3. Kemanfaatan
tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar
keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi
kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada
umumnya. Artinya hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah
mempertimbangkan hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut
membawa manfaat atau kegunaan para pihak.
Berbagai perkara perdata yang menjadi kewenangan Peradilan Agama,
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada
50
satu asas saja.68 Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim
untuk mengakomodir ketiga asas tersebut dalam satu putusan. Dan
menghadapi keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas
tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas
tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan.69 Disamping itu, hakim
harus memperhatikan pertimbangan hukum dengan nalar yang baik.
4. Kemaslahatan
kemaslahatan dilihat berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga
tidak meragukan bahwa hal itu bisa mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudarat.
5. Sosiologis
menggunakan pendekatan empiris yang bersifat deskriptif.
Tolak ukur suatu efektivitas hermeneutika hukum pada putusan
Pengadilan Agama terlihat dalam beberapa putusan yang dihasilkan.
Sebagaimana pada putusan di Pengadilan Agama Bekasi dan Jakarta Timur
68 Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3/03 September 2012, Mewujudkan Kepastian
Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata oleh Fence M. Wantu (Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo), h. 487.
69 Wawancara pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Dr. Drs. H.
Chazim Maksalina,M.H, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 01 April 2015.
51
nomor: 1934/Pdt.G/2013/PA.JT tentang harta bersama kemudian perkara
nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang hadhanah.
Agama yang terkandung hermeneutika hukum. Pertama, Putusan perkara
nomor: 1006/Pdt.G/2008/PA.Bks mengandung unsur pendekatan
hermeneutika hukum ditinjau dari tujuan hukum, yaitu keadilan. Hal ini
berdasarkan pada pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa dalam
pembagian harta bersama harus berimbang dalam hal konstribusi suami dan
isteri selama berumah tangga baik memperoleh, menjaga, mengelola dan
membelanjakan harta. Kedua, untuk perkara nomor: 1934/Pdt.G/2013/PA.JT
tentang harta bersama, unsur pendekatan hermeneutika hukum ditinjau dari
sisi kepastian hukum, keadilan dan kemaslahatan. Hal ini berdasarkan
pembuktian dalam perolehan harta bersama dibuktikan dengan saham milik
Termohon (isteri) lebih besar dari Pemohon (suami). Ketiga, pada perkara
nomor: 1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang hadhanah, unsur pendekatan
hermeneutika hukum ditinjau dari sisi kepastian hukum, keadilan dan
kemaslahatan. Hal ini berdasarkan pertimbangan faktor keselamatan jasmani
dan rohani serta perkembangan bagi pendidikan anak yang sangat signifikan
dan sebagai tujuan mendasar pemeliharaan anak.
52
hermeneutika hukum pada putusan Pengadilan Agama diatas, ternyata dalam
putusannya para hakim hanya berdominan pada penggunaan kepastian hukum,
keadilan dan kemaslahatan sebagai pendekatan hermeneutika hukum dan juga
menjadi salah satu sisi pertimbangan hukum dari setiap putusan yang
ditetapkan.
pendekatan untuk memahami objek, yakni produk perilaku manusia yang
berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya, dari sudut pelaku aksi
interaksi itu sendiri yang disebut aktor, yaitu tatkala mereka itu tengah terlibat
atau melibatkan diri di dalam proses social, termasuk proses-proses social
yang relevan dengan permasalahan hukum.70
Bagaimana juga dalam diri hakim sudah diemban suatu amanah agar
peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila
penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan,
maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan
mengesampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal
justice).71
70 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, h. 101-
102. 71 Bagir Manan, Wajah Hukum di Era Reformasi, (Bandung: Citra Aditya Bakhti, 2000), h.
263
53
metode hermeneutika hukum, hakim sebagai penafsir akan dituntut untuk
lebih memahami sumber hukum secara dinamis, tidak kaku, bukan secara
tekstual saja akan tetapi juga memahami konteks yang ada. Hermeneutika
merupakan sebagai salah satu alat memperkaya dan mempertajam sebuah
pemahaman pasal dan ayat-ayat hukum dalam memutuskan suatu kasus.
Ketika sudah mengimplementasikan hal tersebut, maka dengan demikian
berarti hakim secara langsung juga sudah melakukan ijtihadiyyah terhadap
perkara yang ditanganinya.
dalam melakukan suatu terobosan hukum dengan tidak menutup kemungkinan
melakukan pengesampingan pasal dalam pertimbangan hukumnya. Karena
dalam menyelesaikan persengketaan itu sebenarnya bukan aturan hukum yang
terdapat dalam Undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin,
melainkan ketentuan hukum yang lahir dari penilaian hakim.
Pada saat membaca suatu teks hal ini bukanlah merupakan kegiatan
mekanis, karena seorang yuris dalam tugasnya sebagai penafsir hanya dapat
berkembang sepenuhnya jika ia mempunyai sifat-sifat khas, seperti:
menguasai kenyataan dan kebutuhan masyarakatnya, memiliki rasa
kemasyarakatan yang peka, memiliki rasa keseimbangan, menyadari hal-hal
yang esensial dalam suatu masalah, kesediaan untuk mengkongkritkan dan
memberi nuansa dalam hubungan antara teks dan peristiwa konkret. Di
54
karenakan suatu teks itu tidak mungkin sempurna dan mampu menampung
seluruh konteks. Oleh karena itu, tidak pernah penafsiran itu tidak dilakukan.
Semua pembacaan dan semua cara mendengarkan kata-kata yang diucapkan
membutuhkan penafsiran.72
sangat berguna, tatkala seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk
menambah makna orisinal dan teks hukum. Bahkan menurut Charter,
pengalaman hakim pada saat menemukan hukum dalam praktik di Pengadilan
memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya. Dengan
kata lain, penggunaan dan penerapan hermeneutika hukum sebagai teori dan
metode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam
memeriksa serta memutus perkara di Pengadilan.73
Berdasarkan pernyataaan Kraneburg bahwa seorang penegak hukum
jangan terjebak dalam optic hukum positif semata, tetapi harus membuka hati
dan pikirannya terhadap perkembangan masyarakat. Dengan demikian,
menjalani hukum sebaiknya tidak sekedar dipandang dari sudut legalistik-
positivistik dan fungsional an sich, namun juga secara natural memiliki watak
kebenaran dan berkeadilan sosial. Sebagaimana bunyi pancasila sebagai
72 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h. 115-116. 73 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah, (Jakarta:
HUMA, 2002) h. 64
justice) menjadi prinsip penting dalam sistem hukum kita.74
Hakim sebagai pemutus dalam persidangan dan ketika hasil putusan
tersebut menggunakan hermeneutika hukum, maka sebisa mungkin dapat
memuaskan para pihak dan paling utama harus dilandaskan pada menyelami
rasa keadilan dalam masyarakat, memberikan rasa keadilan bagi para
pencari keadilan dan hakim dituntut untuk tidak hanya sekedar menjadi
corong Undang-undang.75 Karena melihat kondisi kekinian hakim sebagai
penegak hukum dan sekaligus juga sebagai penafsir harus cermat untuk
memahami konteks peristiwa hukum yang melatarbelakanginya.
Selaras dengan pernyataan menurut Oliver Wendell holmes bahwa
hakim adalah corong Undang-undang dan juga bertugas sebagai alat
perubahan sosial dengan mengikuti perkembangan zaman, namun melihat
kondisi kekinian sepertinya hal tersebut tidak efektif kembali apabila terus
menerus dijadikan pedoman, karena disaat sekarang permasalahan seakan-
akan sudah terlalu komplek dan kontemporer, oleh sebab itu dibutuhkan
hingga dituntut seorang hakim memiliki keberanian dan menerobos
Undang-undang untuk mengambil keputusan yang tentunya berbeda dengan
74 https://blog.djarumbeasiswaplus.org/hendra/tag/hukum/Di akses tanggal 05 Mei 2015/
16.05 WIB.
75 Wawancara pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. Jajat Sudrajat,
SH.,MH, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 26 Maret 2015.
56
teks Undang-undang yang ada.76 Dan tidak menapik bahwa hakim-hakim di
Indonesia sedikit banyaknya masih dominan terhadap sistem hukum Eropa
Kontinental, akan tetapi tetap saja dalam pengambilan suatu putusan
diutamakan hakim harus dapat memberikan tujuan hukum, termasuk salah
satunya ialah memberikan keadilan bagi para pencari keadilan.77
Berbagai macam perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama, dan beberapa putusan yang dihasilkan sudah memberikan
keleluasaan bagi para hakim untuk melakukan ijtihad lebih luas dan
mendalam. Hal demikian disebabkan karena perkara yang masuk sudah
kekinian dan mengikuti permasalahan yang sangat kontemporer sesuai
dengan zaman yang berkembang, sehingga tidak mengherankan apabila
beberapa putusan di Pengadilan Agama sudah menerapkan teori penemuan
hukum. hal ini sudah terdapat pada beberapa putusan Pengadilan Agama
yang menggunakan hermeneutika hukum yaitu putusan di Pengadilan
Agama Bekasi dan Jakarta Timur. Berikut penulis sajikan dua putusan yang
memuat penerapan hermeneutika hukum yang digunakan hakim dalam
menafsirkan putusan dan juga sebagai penilaian terhadap penerapan
hermeneutika hukum.
76 Wawancara pribadi dengan Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Dr. Drs. H.
Chazim Maksalina,MH, di Pengadilan Agama Jakarta Timur, 01 April 2015. 77 Wawancara pribadi dengan Dosen dan Serketaris Program Studi Ilmu Hukum, Arip
Purkon, S.HI., MA, di Ruang Program Studi Fakultas Syariah dan Hukum, 04 April 2015.
57
Putusan Di Pengadilan Agama
1159/Pdt.G/2013/PA.JT tentang Hadhanah
Hakim memberikan pertimbangan hukum untuk menyelesaikan perkara
hadhanah dengan menyatakan terdapat kecocokan antara bukti-bukti yang
terlampir dengan kesaksian para saksi di depan persidangan. Selain itu juga
hakim mempertimbangkan secara seksama mengenai pergeseran hak asuh
anak jatuh terhadap bapak, yang menjadi faktor disini ialah dengan
memperhatikan faktor keselamatan jasmani dan rohani serta perkembangan
bagi pendidikan anak.
Sesungguhnya hakikat hak hadhanah (pemeliharaan) terhadap anak
yang belum mumayyiz adalah hak ibunya sesuai dengan Pasal 105 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam, kecuali terbukti bahwa ibu telah melalaikan
kewajiban terhadap anak, maka dengan itu hak tersebut dapat dicabut sesuai
ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974. Namun
perlu diperhatikan kembali bahwa hak hadhanah (pemeliharaan) terhadap
anak bukan semata-mata memperhatikan kepentingan orang tua, akan tetapi
harus memperhatikan kepentingan anak sendiri sesuai pada Pasal 41 huruf (a)
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 2 huruf (b)
58
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 jo Undang-undang No. 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa hadhanah bagi anak yang
belum mumayyiz hak asuh jatuh kepada ibu.78 Akan tetapi pada KHI tidak
ada kejelasan aturan yang mengatur mengenai perpindahan hak hadhanah dan
kasus seperti ini dapat ditemukan dalam fikih klasik, yang mana hakim
menggunakannya menjadi dasar hukum dalam pertimbangan hukumnya,
sebagaimana termuat pada kitab Khasiyah Muqhnil Muhktaj, Juz III hal. 459
berbunyi “Apabila salah seorang dari mereka akan pindah, maka pihak ayah
lebih berhak mengasuhnya dari pada ibu”. Begitu juga Majelis Hakim
menyebutkan terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan
tugas hadhanah, diantaranya: berakal sehat, merdeka, beragama Islam,
memelihara kehormatan, amanah, tinggal dikota/ desa tertentu, tidak bersuami
baru. Apabila kurang satu diantara syarat-syarat tersebut gugurlah hak
hadhanah dari tangan ibu.79
Sesuai pernyataan yang terdapat dalam lampiran putusan, Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa pada prinsipnya hadhanah adalah terjaminnya
kepentingan masa depan anak itu sendiri baik rohani maupun jasmani. Dan
untuk hak ibu dalam mengasuh dapat bergeser apabila syarat-syarat yang
ditentukan oleh hukum syari’at tidak terdapat lagi dalam diri ibu. Maka
78 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam 79 Dilihat dari putusan Nomor 1159/Pdt.G/2013/PA.JT, h. 32 dari 36 hal.
59
dipandang layak dalam hal pengasuhan dan pemeliharaan anak tersebut oleh
sebab itu gugatan Penggugat dapat dikabulkan. Namun Tergugat sebagai ibu
kandungnya tetap diberi waktu dan diperbolehkan bertemu dan menyalurkan
kasih sayangnya kepada anak tersebut.
2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor:
1934/Pdt.G/2013/PA.JT tentang Harta Bersama
dan fakta-fakta. Hal ini dapat dilakukan melalui pembuktian,
mengklarifikasikan antara yang penting atau tidak, dan menanyakan kembali
kepada para pihak mengenai keterangan para saksi dan fakta-fakta yang ada.
Maka dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan
hukumnya, sehingga dapat dinilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup
memenuhi alasan yang objektif atau tidak.80
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara Nomor
1934/Pdt.G/2013/PA.JT terhadap tuntutan harta bersama. Majelis Hakim
menimbang dan menetapkan harta bersama untuk Pemohon dan Termohon
berupa sebidang tanah yang berdiri rumah di Jl. Swadaya No.53 Rt.08/06,
Kelurahan Cijantung, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur dan 1 unit mobil
Merk Daihatsu, Type Terios, warna hitam metalik, Nomor Polisi: B 1929
80 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 79
60
TFZ, dibagi antara Pemohon dangan Termohon dengan pembagian 35% untuk
Pemohon dan 65% untuk Termohon. Dan menyatakan objek harta bersama
berupa tanah seluas 800 m2 yang terletak di Rt. 01/05, Cisalada, Ciampea
udik, Bogor, Jawa Barat. Tidak ditemukan dan dinyatakan ditolak.
Majelis Hakim menyatakan setelah mendengar pernyataan dari
Termohon dan para pihak saksi dari Termohon bahwa mengenai penghasilan
Pemohon selaku suami tidak jelas sedangkan Termohon bekerja di Jakarta
Golf Club dengan penghasilan yang jelas, gaji Termohon pada tahun 2010
berjumlah Rp. 2.100.000 (dua juta seratus ribu) sedangkan untuk sekarang
(2013) penghasilan Termohon sebulan sekitar Rp. 7.000.000 (tujuh juta
rupiah), maka dengan demikian Majelis Hakim berpendapat, Termohon lebih
banyak sahamnya dalam perolehan harta bersama. Meskipun di dalam
ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: “Janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, akan tetapi mengenai hal ini
Majelis hakim menimbang atas ketentuan yang dimaksud tersebut
dikesampingkan, karena tidak adil apabila diterapkan dan dibagi demikian,
berdasarkan asas precedent Majelis Hakim menggunakan yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 266K/AG/2010 tanggal 12 Juli
2010 sebagai salah satu acuan dalam pertimbangannya, yang mana tidak
membagi harta bersama dengan masing-masing seperdua.
61
Hermeneutika Hukum
antara Penggugat (Suami) dan Tergugat (isteri) sudah dikaruniai anak laki-
laki pada tanggal 17 September 2005 dari hasil pernikahan mereka, dan para
pihak meminta agar Majelis Hakim dapat menentukan dengan bijak untuk
pemegang hak pengasuhan dan pemeliharaan atas anak tersebut.
Dalam hal putusan tersebut telah ditemukan fakta bahwa ibu terbukti
melalaikan kewajibannya terhadap anak tersebut. Selama anak Penggugat
dan Tergugat berada dalam pengasuhan Tergugat, ternyata Tergugat tidak
perhatian dan bertanggung jawab terhadap anak laki-laki Penggugat dan
Tergugat, dimana Tergugat tidak pernah memperhatikan kesehatan anak
Penggugat dan Tergugat sehingga mengakibatkan anak tersebut sering sakit
apabila sedang bersama Tergugat. Dan Tergugat tidak pernah peduli
terhadap pendidikan anak Penggugat dan Tergugat, Tergugat dalam hal
mendidik anak selalu secara keras, dimana Tergugat sering memarahi dan
berkata-kata secara keras terhadap anak Penggugat dan Tergugat, sehingga
anak tersebut selalu merasa ketakutan dan tertekan setiap kali bertemu
dengan Tergugat, dimana hal tersebut tidak baik bagi perkembangan
kejiwaan anak Penggugat dan Tergugat.
62
Hakim dalam amar putusan ini, yang menetapk