analisa tektual hermeneutika
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

Hermeneutika: Analisa Tekstual Dalam Penelitian Komunikasi
Oleh : Ari Sulistyanto1
Pengantar
Dalam komunikasi, bahasa adalah medium yang digunakan untuk menciptakan
representasi –representasi realitas yang tidak pernah sekedar refleksi dari realitas
yang ada sebelumnya, tetapi mampu memberikan kontribusi pada pengkonstruksian
realitas dalam bentuk yang terstruktur, yaitu pesan. Ketika pesan di transformasikan,
masih berada dalam fenomen-fenomen yang tak bisa diterima bagitu saja benar
sebagaimana apa adanya. Untuk itu perlu langkah pengkonstruksian, yaitu dengan
jalan pemahaman atau hermeneutika.
Kata Kunci: komunikasi, bahasa, post structural, hermeneutika
Pendahuluan
Manusia adalah aktor berperan aktif dalam mendefiniskan berbagai
fenomena ataupun realitas sosial. Manusia adalah mahkluk aktor yang kreatif dari
realitas sosialnya, bahwa tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh
norma-norma, kebiasan ataupun nilai-nilai tertentu yang tergambarkan dalam fakta
sosial, dan menjadi cerminan dalam kebudayaan sistem sosial itu.
1 Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bung Karno, dan sakarang tercatat sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Unpad

Kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan
menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia mengunakan
simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk
berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga berpengaruh yang ditimbulkan
penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam
interaksi social2.
Keadaan tersebut menempatkan manusia adalah konstruktor yang merdeka
mengkreasi dan menstruktur dunia sosial berdasarkan penafsiran subyektif terhadap
realitas sosial. Konstruksi di sini di artikan sebagai rangkaian pemaknaan terhadap
realitas sosial yang berkembang dan penciptaan kembali realitas sosial oleh
manusia. Proses ini oleh Berger3 di jelaskan bahwa manusia adalah pencipta
kenyataan sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana
kenyataan obyektif mempengaruhi kembali manusia melalui proses internalisasi.
Dengan kemampuan berpikir dialektis, terdapat tesa, antitesa, dan sintesa, sehingga
memandang masyarakat dipahami sebagai produk manusia dan manusia sebagai
produk masyarakat.
Oleh sebab itu, dalam paradigma konstruksi, menempatkan manusia sebagai
agen utama konstruksi, karena manusia sebagai mahkluk berpikir mempunyai
kemampuan untuk medefinisikan makna dari berbagai fenomena. Kemudian mampu
memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam
tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka terhadap fenomena tersebut4.
Dengan demikian dalam konstruksi, komunikasi dipahami sebagai
penegosasian makna di antara partisipan komunikasi5. Dalam negoisasi menuntut
2 Dede Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Bandung, 2008, h.713 Peter L. Berger & Thomas Luchkmann, The Social Construction Of Reality, NY: A Double Day Anchor Book, 1967, h:144 Geoerge Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2008, h.392.5 Richard West & Lynn H. Turner, Teori Komunikasi, Analisis Dan Aplikasi, Salemba Humanika, Jakarta, 2009, h. 16.

adanya pemahaman yang aktif. Maksudnya, agar komunikasi dapat berlangsung,
para partispan harus membangun persamaan makna.
Sedangkan, John Fiske, melihat komunikasi tidak sekedar proses yang linear
melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning).6
Model ini berasumsi, ketika berlangsung komunikasi, komunikator harus membuat
pesan-pesan dalam bentuk tanda, konsekeunsi dari itu komunikan terdorong untuk
menciptakan makna terkait dengan makna yang dibuat komunikator. Makin banyak
sistem tanda, kode dan makna yang digunakan, maka makin dekatlah “pemahaman
makna” di antara partisipan komunikasi
Masalahnya, bagaimana komunikasi bisa berlangsung timbal balik, ketika
produksi pesan komunikator dalam bentuk teks ? Bagaimana konstruksi pesan
dilakukan, dan dengan cara apa sehingga pemahaman pesan dilakukan ?
Bagaimana peralihan simbolik berlangsung sebagai konsekuensi dari adanya
pemahaman ? Pertanyaaan-pertanyaan tersebut menjadi pijakan dalam membahas
konstruksi pesan, terutama pada teks dilakukan, dan hermeneutika setidakmya
memberi ruang bagaimana konstruksi pesan itu dilakukan, yaitu dengan pemahaman
dan penafsiran.
Hermeneutika
Analisa bahasa untuk mendapatkan pemahaman terhadap suatu fenomena,
terutama pemahaman akan penafsiran tindakan dan teks adalah dengan
menggunakan Hermeneutika. Aristoteles dalam Peri Hermeneias menyatakan
hermeneutika adalah kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman
mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita
ucapkan itu.
6 John Fiske, Cultural And Comunication Studies , Jalasutera, Yogyakarta, 2008, h.60

Dalam mitologis Yunani dikenal tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang
utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepaa manusia.
Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih
banyak di kenal dengan sebutan Mercurius, dalam bahasa Latin. Tugas Hermes
adalah menterjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam
bahasa yang dapat dimengerti manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan
atau menyadur sebuah pesan ked ala bahsa yang dipergunakan oleh pendengarnya.
Sejak saat ituy Hermes menjadi symbol seorang duta yaqng dibebani dengan
sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara
bagaimana pesan itu di sampaikan.
Hermeneutika menegaskan bahwa fenomena khas manusia adalah
bahasa, dan karena itu memahami manusia dapat dimulai dari bahasa. Hal ini
karena obyektivitas dari kesadaran manusia akan kenyataan. Bahasa mencerminkan
realitas yang dialami si penutur, sekaligus apa yang dipikirkan oleh penutur itu.
Secara etimologis, “hermeneutic” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein
yang berarti “menafsirkan”. Maka, kata benda hermeneia secara harfiah dapat
diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Menurut Friedrich Agust Wolf7,
hermeneutika di sebutnya sebagai “Ilmu tantang aturan-aturan untuk mengenali
makna (die Bedetung) tanda-tanda, sedangkan tujuan hermenutika adalah
“menangkap pikiran-pikiran seorang. Dengan demikian, obyek hermeneutika tidak
hanya teks, Semua hal yang tidak lagi secara langsung terbilang pada hidup kini
harus ditafsirkan. Kesenian hukum, agama, filsafat dari masa lalu yang masih hadir
pada zaman masa sekarang, dan masih bicara harus di tafsirkan agar diperoleh
kembali artinya yang orisinil.
7 Poespoprodjo, Hermeneutika, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2004, h.21

Gadamer menjelaskan bahwa memahami itu artinya memahami melalui
bahasa8.. Inilah yang merupakan peran penting bahasa dalam proses “memahami”.
Bahasa bukan dipandang sebagai sesuatu yang mengalami perubahan, melainkan
sesuatu yang memiliki ketertujuan di dalam dirinya. Maksudnya, kata-kata atau
ungkapan tidak pernah tidak bermakna.
Sedangkan Heiddeger dalam penjelasan filosofis mengenai hermenetika
adalah “kata-kata dan bahasa bukanlah pembungkus di dalam mana segala sesuatu
di simpan bagi keuntungan mereka yang menulis dan berbicara9. Dalam kata-kata
dan bahasalah segala sesuatu pertama-tama muncul dan ada. Penjelasan dari
Heidegger setidaknya upaya pemahaman atau penafsiran yang dilakukan akan
menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks.
Dengan demikian selain melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh
pengaranganya juga muatan apa yang masuk dan ingin dimasukan oleh pengarang
ke dalam teks. Hal tersebut menyiratkan bahwa sebuah aktivitas penafsiran
sesunguhnya juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan
situasi dan kondisi saat teks tersebut di baca atau dipahami, sehingga sebagai
sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai
komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks dan
kontesktualisasi.
Palmer membagi hermeneutika dalam enam definisi10, (1) Hermeneutika
Sebagai Teori Eksegesis Bibel, (2) Hermeneutika Sebagai Metodologi Filologis, (3)
Hermeneutika Sebagai Ilmu Pemahaman Lingusitik, (4) Hermeneutika Sebagai
Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenschafften, (5) Hermeneutika Sebagai
Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial, (6) Hermeneutika Sebagai
8 Sumaryono,Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999:27. 9 Little John & Karen A. Foss, Theories Of Human Comunication, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta, 2009, h.36010 R. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, h .3

Sistem Interpretasi. Kajian hermeneutika dalam tulisan ini termasuk dalam
hermeutika sebagai system interpretasi.
Struktural Dan Post Struktural
Pendekatan bahasa dalam paradigama konstruksi tidak seperti tradisi yang
dikembangkan kelompok strukturalis, misalnya tradisi Roland Barthes, Levi Straus,
Althauser yang berpijak pada asumsi bahwa bahasa adalah tempat saluran
pengkomunikasian informasi tentang keadaan mental utama atau perilaku atau
fakta-fakta dunia sosial ini. Little John, menyatakan teori struktural memperlakukan
bahasa dan wacana sebagai suatu produk dan instrumen dari komunikator
manusiawi, dengan menganalisis struktur wacana orang memahami makna-makna
yang di sampaikan dan fungsi-fungsi yang dipenuhi bagi mahkluk manusia dengan
berbicara.
Dalam pemahaman struktural, bahasa di artikan sebagai sistem yang
ditentukan oleh realitas yang menjadi rujukannya, sehingga bersifat stabil dan tidak
bisa di rubah. Untuk itu dalam proses intrepretasi, setiap tanda bahasa memperoleh
pemaknaan tergantung hubungan-hubungan internal dalam sistem tanda tersebut.
Hoed11 menjelaskan prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa (1) struktur
dan system selalu hadir bersama, (2) struktur dan system bersifat abstrak dan
merupakan bangun (construct) yang adanya dalam kognisi manusia, bukan sesuatu
yang konkrit, dan (3) struktur dan system merupakan satuan yang tertutup dan
memenuhi dirinya sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemaknaan tidak terbatas pada analisis
structural, tetapi berlanjut pada tradisi yang di sebut dengan post strukturalis.
Pemahaman terhadap bahasa ini dirintis oleh Ferdinand de Saussure, yang
11 Beney Hoed, Semiotika Dan Dinamika Sosial Budaya, FIB UI Depok, 2008, h.60

menyatakan tanda lingusitik bersifat manasuka, artinya kategori dan kaidah linguistik
tidak dapat diramalkan ataupun di simpulkan dari realitas-realita ekstralinguistik12.
Untuk itu makna yang kita berikan pada kata-kata tidak melekat pada kata-kata itu
melainkan merupakan hasil konvesi tentang cara kita menghubungkan makna-
makna dengan bunyi-bunyi tertentu13. Dalam memperlakukan sistem tanda,
Saussure, tanda (sign) terdiri atas dua sisi, bentuk (signifiant) dan isi (signifie), dan
bahwa hubungan antara kedua itu sifatnya arbitrer.
Untuk membedakan bentuk pemahaman bahasa antara tradisi struktural dan
post struktural, Saussure menggunakan “metaphora jaring ikan”. Struktur bahasa
seperti jaring ikan, yakni setiap tanda memiliki tempatnya sendiri pada masing-
masing mata jaring itu. Bila jaring itu ditebarkan , mata jaringnya tetap dalam posisi
semula dengan jarak juga tepat dari mata-mata jaring yang lain, sama seperti halnya
tanda yang jaraknya tetap dari tanda-tanda lain. Asumsi strukturalis bahwa
hubungan-hubungan khusus tanda itu terkait satu sama lain, setiap tanda memiliki
lokasi tertentu dalam jaring sehingga maknanya tetap. Sedang post strukturalis,
tanda masih memperoleh maknanya karena perbedaanya dengan tanda-tanda yang
lain itu bisa berubah sesuai dengan konteks penggunaan tanda itu sendiri.
Untuk itu Saussure membedakan struktur bahasa dalam dua tataran bahasa,
yakni language dan parole. Language adalah struktur bahasa, yaitu jaringan tanda-
tanda yang memberi makna satu sama lain dan struktur ini sifatnya tetap dan tak
bisa diganti-ganti. Sebaliknya, parole merupakan penggunaan bahasa berdasarkan
situasi, tanda yang benar-benar digunakan pemakai bahasa itu dalam situasi-situasi
tertentu.
Dalam pemahaman makna bahasa, parole harus berpedoman pada
language, karena melalui language merupakan struktur bahasa yang memungkinkan
12 Geoffey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, h.73.13 Jorgensen dan Philips, Analisis Wacana, Teori Dan Metode, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2007, h.16

bisa diciptakanya pernyataan-pernyataan khusus. Misalnya, kata “menangis” dalam
struktur language adalah ungkapan kesedihan, untuk menemukan pengertian parole,
maka situasi seperti apa menangis itu berlangsung. Pengertian bisa berbeda apabila
menangis dalam situasi kegembiraan.
Kritik tajam lain terhadap pemaknaan terhadap bahasa dari tradisi
struktural, seperti dinyatakan oleh Paul Ricouer14 yang berangkat dari seperangkat
asumsi: Pertama, strukturalisme mengasumsikan bahwa bahasa merupakan obyek
yang bisa di selidiki secara ilmiah,. Kedua, strukturalisme membedakan antara sains
tentang keadaan di tingkat sistem (states of system) dan sains tentang perubahan
serta menempatkan yang kedua di bawah yang pertama. Ketiga, model pendekatan
kaum strukturalis mengasumsikan bahwa sistem dalam keadaan apa pun tidak
memiliki keadaan absolut, akan tetapi hanya berhubungan saling ketergantungan,
sehingga bahasa menjadi sebuah sistem tanda yang hanya ditentukan oleh
perbedaan-perbedaannya. Keempat, strukturalisme memperlakukan himpunan tanda
sebagai sistem ketergantungan internal yang padat dan otonom.
Hermeneutika Interpretatif (post structural)
Ada banyak penulis terkemuka dalam penafsiran teks. Dalam penulian ini,
penulis sajikan tiga penggagas hermeneutika interpretative- post struktural terkenal,
yaitu Paul Ricouer, Hans Georgh Gadamer, dan Stanley Fish. Little John dalam
bukunya “Theoris Of Human Communication” mengkategorikan ketiga pemikir
tersebut dalam tradisi hermeneutika fenomenologis.
(1) Analisa Tekstual Paul Ricouer
14 Paul Ricouer, Hermeneutika Ilmu Sosial, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2008, h.12

Paul Ricouer
Sebuah teks menurut Ricoeur adalah otonom atau berdiri sendiri tidak
tergantung pada maksud pengarang, pada situasi historis karya atau buku di mana
teks tercantum dan pembaca-pembaca pertama. Kalau hermeneutika diterapkan
pada teks maka sifat hermeneutika itu sendiri berubah. Hermeneutika tidak
mencari makna tersembunyi dibalik teks, melainkan mengarahkan perhatiannya
kepada makna obyektif dari teks, terlepas dari maksud subyektif pengarang
ataupun orang lain. Menginterpretasikan sebuah teks bukannya mengatakan suatu
relasi intersubyektif antara subyektivitas pengarang dan subyektivitas pembaca,
melainkan hubungan antara dua diskursus teks dan diskursus interpretasi.
Menurut Ricouer15 interpretasi adalah usaha untuk “membongkar” makna-
makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat
makna yang terkandung dalam lipatan-lipatan teks. Sedangkan teks sendiri adalah
sebuah diskursus yang dibakukan lewat tulisan. Melalui diskursus ini teks bukan
susunan tanda bahasa yang membentuk pengertian, tetapi diskursus yang berada
pada level semantik kalimat dan berbeda dari semiotika tanda. Hanya pada level
kalimat sebuah bahasa bisa merujuk pada sesuatu, sehingga semesta tanda yang
bisa dihubungkan dengan dunia di luar bahasa.
15 Sumaryoto, Op. Cit, 45,

Dalam penelitian untuk mendapatkan penjelasan dan pemahaman terhadap
obyek yang diteliti, Ricouer16 menyatakan tentang “lingkaran hermeneutik” yang
terdiri dari penjelasan dan pemahaman. Penjelasan atau “dekontekstualisasi”
bersifat empirs dan analitis yang memberi penjelasan bagi peristiwa-peristiwa dalam
pengertian pola-pola yang teramati di antara bagian-bagianya, atau analisis secara
struktural yang dilakukan terhadap suatu teks dengan tidak melihat hubungannya
pada dunia yang ada diluar teks. Sedangkan pemahaman atau “konteksualisasi”
merupakan analisis dengan melihat rujukan yang ada diluar teks yang disebut
sebagai makna kontekstual. Pemahaman sepenuhnya diperantarai oleh seluruh
prosedur penjelasan yang mendahului dan mengiringinya.
Mengenai bagaimana interpretasi teks dilakukan Ricouer menjelaskan:
Sementara interpretasi kita adalah interpretant pernyataan-pernyataan. Namun interpretan yang kita gunakan, yang dipindahkan dari unit-unit kecil pada unit-unit besar, betul-betul analog dengan pengalihan kaidah penataan dari unit-unit pada level di bawah kalimat kepada unit-unit dalam susunan di atas atau setara dengan kalimat. Dalam kasus strukturalisme strukur fonologis bahasa berfungsi sebagai model pengkodean bagi struktur artikulasi yang lebih tinggi. Sementara dalam kasus kita, unit-unit leksikal-lah yang di alihkan ke ranah pernyataan dan teks. Maka kalau kita betul-betul menyadari sifat analog pengalihan ini, maka kita akan berkata bahwa rangkaian interpretant-interpretant yang terbuka, yang dicangkokan kepada hubungan tanda dengan obyek, pasti menjelaskan hubungan segitiga obyek-tanda-interpretant dan bahwa hubungan yang terakhir (tanda-interpretant) dapat berfungsi sebagai model bagi hubungan segitiga lainnya yang dibentuk pada level teks. Di dalam segitiga baru itu obyeknya adalah teks itu sendiri, tanda adalah semantic-dalam yang di singkap analisis structural; dan rangkaian interpretant adalah rangkaian interpretsi yang diciptakan oleh komunitas penafsir dan dimasukan ke dalam dinamika teks, sebagai karya makna atas dirinya. Di dalam rangkaian ini interpretant yang pertama berfungsi sebagai tradisi bagi interpretant terakhir, yang merupakan interpretasi dalam pengertian yang sebenarnya17.
Dalam tahapan analisis structural, Ricouer merujuk pada semiotika tanda
Peirce. Menurut Peirce 18 sesuatu yang pertama yang “konkret”- adalah suatu
perwakilan yang di sebut dengan represement (atau ground), sedangkan “sesuatu”
16 Little John, Op. Cit, h. 36617 Paul Ricouer, Op. Cit, h. 220-22118 Beny Hoed, Op. Cit. h.:4,

yang ada di dalam kognisi di sebut object. Proses hubungan dari representamen ke
obyek di sebut semiosis. Dalam pemaknaan proses semiosis belum lengkap karena
kemudian ada satu proses lagi yang merupakan lanjutan yang di sebut interpretant.
Dengan demikian pemaknaan suatu tanda terjadi dalam bentuk proses semiosis dari
yang konkret ke dalam kognisi manusia yang hidup bermasyarakat, karena sifatnya
yang mengkaitkan tiga segi, yakni represement, obyek dan interpretan.
Kalau Peirce melakukan signifikasi tanda, sedangkan Ricouer tanda-tanda di
transformasikan dalam teks yang terdiri dari unit kalimat. Teks yang dipahami
Hermeneutika adalah adanya otonomi teks, konteks sosio cultural dan alamat aslinya
mengijinkan prakondisi bagi penjarakan interpretor dari teks19. Dalam memahami
teks, maka antara teks, pengarang dan pengkaji harus dihubungkan dengan realitas
masyarakat yang kontemporer, jadi ketiga unsur tersebut harus bersinergi, meskipun
ada pemutusan antara teks dan pengarangnya dalam hal subjeknya
Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom, untuk melakukan
‘dekonstekstualisasi’, baik dari sudut pandang sosiologis, maupun psikologis, serta
untuk melakukan ‘rekonstekstualisasi’ secara berbeda didalam tindakan membaca
(‘dekontekstualisasi’-proses ‘pembebasan’ diri dari konteks; ‘rekonstekstualisasi’-
proses masuk kembali kedalam konteks). Otonomi teks sendiri menurut Ricour ada
tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial
pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi ini,
maka yang dimaksudkan dengan “dekonstekstualisasi” adalah bahwa materi teks
“melepaskan diri” dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks ini
membuka diri dari kemungkinan dibaca secara luas, dimana pembacanya selalu
berbeda-beda. Inilah yang dimaksud ‘rekonstekstualisasi” sebagai contoh, karya
ditulis dalam kerangka waktu khusus dan historis dimana pengarangnya hidup dan
19 Ibid, h.357

menulisnya. Maka tidak di ragukan lagi kalau penulis mengungkapkan hal-hal
khusus dalam kebudayaan pada zamannya.
Menurut Ricouer 20 terdapat tiga langkah dalam interpretasi:
Pertama : Langkah simbolik, atau pemahaman dari simbol (bahasa) ke simbol.
Kedua : Pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas
makna.
Ketiga : Langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan
menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman
bahasa, yaitu semantik, reflektif serta eksistensial atau ontologis. Semantik adalah
pemahaman pada tingkat ilmu bahasa murni, pemahaman reflektif adalah
pemahaman yang lebih tinggi, sedangkan pemahaman eksistensial adalah
pemahaman keberadaan makna itu sendiri
Sebuah contoh dari interpretasi Riceur adalah studi oleh Barbara Warnic
tentang Gettysburg Address 21. Dalam penelitian teks, Warnic memberi kesimpulan
bahwa cerita tersebut menyamai naratif Kristen, yang sangat menarik bagi orang-
orang dalam masyarakat kita. Nilai-nilai lainya dari kebudayaan Amerika juga
tertanan dalam teks tersebut. Dengan demikian, pemahaman Warnick secara
keseluruhan tentang perkataan itu adalah bahwa ia mengungkapkan nilai-nilai yang
merupakan bagian yang melampaui situasi sekarang, dan untuk alasan ini, teks itu
relevan untuk generasi demi generasi orang Amerika.
(2) Hermeneutika Fenomenologi Gadamer
20 Sumaryono, Op.Cit, h. 11121 Little John, Op. Cit, h. 36,

Hans Georg Gadamer
Gadamer merupakan anak asuh dari Bapak fenomenologis, Martin
Heidegger. Filsafat Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Gadamer, namun
keduanya tidaklah sama. Gadamer memang mendapatkan banyak sekali inspirasi
dari Heidegger. Namun ia kemudian mengembangkannya serta menerapkannya
pada hal yang lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan
filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer.
Berangkat dari konsep “matinya sang pengarang “ dari Umberto Eco, pada
awal interpratasi, Gadamer menunjuk metode interpretasi pada hermeneutika
intensionlisme22, yaitu mencari makna yang diletakan atau dimaksudkan
pengarangnya. Sebab, arti sebuah teks tidak hanya terbatas pada pengarangnya
saja, akan tetapi terbuka bagi adanya penafsiran baru sesuai kreativitas penafsir.
Bahkan, baginya tidak ada jaminan bagi pengarang asli untuk menjadi penafsir ideal
atas karyanya. Pandangan ini mengindikasikan bahwa sebuah teks yang sudah
dituangkan dalam tulisan dan dilempar ke ruang public sepenuhnya menjadi milik
pembaca. Dengan demikian, kegiatan interpretasi, bukan hanya sebatas
mereproduksi makna, tetapi juga memproduksi makna.
Untuk membedakan pemaknaan intensionalisme dengan hermeneutika
Gadamer, secara metodolgis dapat dirumuskan dengan pertanyaan, kalau
22 Hermeneutika Intensional di kemukakan oleh Hirsch, sebenarnya sama pengertian dengan analisa structural.

hermeneutika intensionalisme, menyatakan, “Maksud apa yang diungkapkan dalam
tindakan X ?, sementara hermeneutika Gadamer, “Apakah signifikasi tindak X bagi
sebagian masyarakat interpretative tertentu ?23
Makna suatu fenomena/tindak, menurut Gadamer bukanlah sesuatu yang
ada pada fenomena/tindak itu sendiri. Tetapi, makna selalu bermakna bagi
seseorang sehingga bersifat relatif bagi penafsirnya. Untuk itu dalam teori ini tidak
pernah melibatkan satu unsur pun (agen dan niatnya), namun dua unsur yang harus
di interpretasikan dan interpreternya. Makna muncul dari hubungan antara suatu
tindak dengan mereka yang berusaha memahami tindak itu - makna merupakan
produk interaksi antara dua subyek.
Contoh dari teori ini, misalnya pernyataan Presiden SBY tentang X. Untuk
memahami pernyataan itu, tidak cukup sang penafsir hanya menginterpretasikan
secara subyektif apa yang di nyatakan Presiden SBY. Dalam perspektif Gadamerian
hal tersebut masih dalam wilayah hermeneutika intensionalisme. Padahal untuk
mendapatkan “fusi horizon-horizon” seperti yang dinyatakan Gadamer harus ada
interaksi dua subyek. Untuk itu dalam memaknai pernyataan Presiden SBY harus di
interpretasi subyek lain yang menanggapi pernyataan itu.
Teori ini seperti mirip dengan pendekatan interaksi simbolik yang menyatakan
bahasa dan makna diciptakan melalui interaksi. Maksud Gadamer adalah bahwa
bahasa itu sendiri mendasari semua pengalaman. Dunia dihadirkan melalui bahasa.
Dengan demikian dalam komunikasi, dua manusia tidak menggunakan bahasa
untuk saling berinteraksi, melainkan komunikasi menggunakan tiga rangkaian, yaitu
dua individu dan sebuah bahasa24.
(3) Reader Community Interpretative Stanley Fish
23 Mudjia Rahardja, Dasar-Dasar Hermeneutika, Arr Ruzz Media, Yogyakarta, 2008, h.79 24 Littlejohn, Stephen W, Theories of Human Comunication, Salemba Humanika, Jakarta, 2009, h. 199

Fish adalah seorang kritikus sastra yang paling dikenal dalam bidang
bahasa Inggeris, kajian sastra dan media. Sebagian besar karyannya berpusat
pada penafsiran tekstual dan pertanyaan tentang tata letak makna. Dalam teorinya
yang di kenal dengan –reader response theory- menjelaskan bahwa makna tidak
melekat dalam teks tetapi pada pembaca, atau lebih tepatnya masyarakat membaca.
"Dalam prosedur pemaknaan adalah, "kegiatan pembaca berada di pusat perhatian,
di mana mereka dianggap tidak mengarah pada makna tetapi memiliki makna."25
Dalam pendekatan teori reader response, Fish berangkat dari asumsi,
pertama, bahwa sastra adalah seni performatif dan setiap membaca merupakan
kinerja, analog dengan memainkan / menyanyikan sebuah karya musikal,
memerankan drama, dll Sastra hanya ada bila membaca; makna sebuah peristiwa
(versus Kritis Baru konsep "afektif kesalahan "). Kedua, teks sastra tetap dan tidak
memiliki makna atau nilai akhir, tidak ada satu "benar" yang berarti. Makna dan nilai
sastra adalah "transaksi," "dialogis," diciptakan oleh interaksi pembaca dan teks.
Sebuah puisi adalah "apa kehidupan pembaca melalui di bawah bimbingan teks."
Sependapat dengan Ricouer, Fish sepakat, bahwa penulisa teks bukanlah
sumber makna. Mereka sama-sama menggunakan “lingkaran hermeneutika”, tetapi
terdapat perbedaan, kalau Ricouer pada tahap “kontekstualisasi” menekankan
penafsiran pada subyek pembaca, dengan membuka lipatan-lipatan pada teks untuk
menyibak makna terdalam. Sedangkan Fish, pembaca selalu memproyeksikan
25 www. Xenos. Org/essays

pemaknaan mereka ke dalam fitur-fitur naskah dan hanya muncul dengan
pemaknaan mereka sendiri.
Fish menekankan bahwa pemaknaan bukan masalah individu. Dengan
mengikuti pendekatan konstruksi social, Fish mengajarkan bahwa pembaca
merupakan anggota dari komunitas interpretative- kelompok yang saling
berinteraksi, membentuk realitas dan pemaknaan umum, serta menggunakannya
dalam pembacaan mereka. Dengan demikian, pemaknaan terletak dalam komunitas
interpretatif pembaca.
Kesimpulan
Kajian hermeneutika dalam penelitian ilmu komunikasi memberikan
pemahaman bahwa komunikasi itu tidak terbatas, bisa hadir di di mana saja
menembus ruang dan waktu menyesuaikan dengan konteks dan kontekstulitas
dengan perkembangan zaman. Dokumen-Dokumen arkeologis tidak sekedar hanya
sebagai fosil yang berfungsi pengingat keberadaaan masa lalu, melainkan akan
bernilai dan mempunyai spirit untuk generasi berikutnya melalui pemahaman dan
penafsiran. Tidak sekedar itu, hermeneutika juga memberi petunjuk bagaimana
suatu komunitas masyarakat melakukan transformasi simbol-simbol sebagai reaksi
terhadap fenomena-fenomena yang hadir dalam bentuk teks.
Peran bahasa menjadi sentral dalam hermeneutika, sebab bahasa menjadi
penghantar bagaimana proses pemahaman dan penafsiran itu dilakukan. Dengan
demikian, ilmu bahasa, bahkan antropologi menjadi pijakan dalam pendekatan
komunikasi, seperti pendekatan yang sudah mapan lain, yaitu, sosiologi, psikologi
maupun politik.
Kendati bukan sebagai metode yang memberikan sebuah rumusan yang
terdiri dari sejumlah langkah-langkah yang dirangkai dalam urutan-urutan tertentu,

adanya kepastian maupun ketepatan untuk mencapai sasaran yang tepat.
Hermeneutika adalah sebuah “metode” pemikiran kefilsafatan yang bersifat tidak
mematri atau memenjarakan jalan pikiran dalam spekulasi. Hermeneutika sebagai
metode pembahasan akan selalau relevan, sebab kebenarnya yang di peroleh
tergantung pada orang yang melakukan interpretasi dan “dogma “ hermeneutik
bersifat longgar sesuai dengan perkembangan zaman.
Saran-Saran
Perlunya aplikasi hermeneutika dalam penelitian komunikasi dengan
menerapkan berbagai variasi teori-teori hermeneutika. Dengan demikian dapat
membuka cakrawala bahwa ilmu komunikasi sebagai “ladang yang luas” yang
mempunyai manfaat terhadap kehidupan manusia.
Daftar Pustaka
1. Berger, L. Peter & Thomas Luchkmann, The Social Construction Of Reality, NY: A Double Day Anchor Book, 1967,
2. Fiske, John, Cultural And Comunication Studies , Jalasutera, Yogyakarta,
2008,
3. Hoed,Benny, Semiotika Dan Dinamika Sosial Budaya, FIB UI Depok, 2008,
4. Jorgensen dan Philips, Analisis Wacana, Teori Dan Metode, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2007,
5. Leech, Geoffey ,Prinsip-Prinsip Pragmatik, Universitas Indonesia, Jakarta, 1993.
6. Mulyana, Dedy, Metode Penelitian Kualitatif, Rosda Karya, Bandung, 2008,

7. Poespoprodjo, Hermeneutika, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2004.
8. Palmer, E. Richard. Hermeneutika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
9. Ritzer, George & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2008,
10. Ricouer,Paul, Hermeneutika Ilmu Sosial, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2008.
11. Rahardja,Mudjia, Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian, Arr-Ruzz MediaGroup,Yogyakarta, 2008.
12. Sumaryono,Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999..
13. West, Richard & Lynn H. Turner, Teori Komunikasi, Analisis Dan Aplikasi, Salemba Humanika, Jakarta, 2009.