analisis faktor-faktor yang memengaruhi … · pemindahan ibukota memerlukan pembelajaran dari...
TRANSCRIPT
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA
ECKY AGASSI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-
Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota Negara adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Ecky Agassi
NIM H14080111
ABSTRAK
ECKY AGASSI. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan
Ibukota Negara. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan sebuah negara dalam mengatasi
permasalahan ibukota adalah dengan memindahkan ibukotanya. Pemindahan
ibukota yang didesain dan dieksekusi dengan baik dapat menjadi solusi dalam
mengatasi permasalahan ibukota negara. Terdapat tiga alasan umum pemindahan
ibukota, yaitu pertimbangan sosial ekonomi, pertimbangan politik, dan
pertimbangan geografis. Jakarta sebagai ibukota Indonesia memiliki banyak
permasalahan sehingga pemerintah mewacanakan pemindahan ibukota. Wacana
pemindahan ibukota memerlukan pembelajaran dari negara lain yang telah
memindahkan ibukotanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
yang yang memengaruhi pemindahan ibukota negara dengan cara menganalisis 26
negara yang dipilih pada periode 1990, 2000, dan 2010, menggunakan regresi
logistik. Negara-negara yang memindahkan ibukotanya umumnya adalah negara
berkembang dan memiliki tipe ibukota split capitals. Faktor-faktor yang
berpengaruh nyata terhadap pemindahan ibukota adalah GDP per kapita, luas
wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan tipe ibukota. Dalam rencana
pemindahan ibukota, pemerintah sebaiknya menggunakan tipe split capitals
karena ibukota dengan tipe ini lebih memungkinkan untuk dilakukan.
Kata kunci: Jakarta, pemindahan ibukota, regresi logistik, split capitals
ABSTRACT
ECKY AGASSI. Analysis of Affecting Factors of Moving Capital City.
Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS
One of the possible solutions to overcome the problems of a country’s
capital is to move its capital city. The moving of the capital which was well
designed and well executed can be a solution to overcome the problems of the
nation's capital. There are three common reasons for moving the capital, namely
socio-economic considerations, political considerations, and geographical
considerations. Jakarta as the capital of Indonesia has a lot of problems so that the
government has discourses about moving its capital. Discourses of moving the
capital require further investigation and learning from other countries who had
moved its capital. This study aims to determine the factors that affect the transfer
of the nation’s capital by analyzing 26 selected countries in the period of 1990,
2000, and 2010, by using logistic regression. Nations that moved its capital in
general is developing countries, and has split-type capital cities. The factors that
significantly affect the relocation of the capital is the GDP per capita, land area,
population, population density, and type of the capital. In the plan of moving its
capital, the government should use the split-type capital since this type of capital
is more likely to be done.
Keywords : Jakarta, moving capital cities, logistic regression, split capitals
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
Pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PEMINDAHAN IBUKOTA NEGARA
ECKY AGASSI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan
Ibukota Negara
Nama : Ecky Agassi
NIM : H14080111
Disetujui oleh
Prof. Muhammad Firdaus, Ph.D
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
.i udul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota N egara
Nama : Ecky Agassi NIM : H14080111
Disetujui oleh
Prof. Muham ad Firdaus Ph.D Pem imbing
Diketahui oleh
M.Ec
Tanggal Lulus: 2 4 DEC 013
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah bidang ekonomi regional dengan judul Analisis
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota Negara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Profesor Muhammad Firdaus, Ph.D
selaku pembimbing yang telah memberi arahan, dukungan, serta bantuan dalam
menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan pula kepada Dr. Ir.
Wiwiek Rindayati, M.Si selaku dosen penguji utama dan Salahuddin El Ayyubi,
Lc, MA selaku dosen penguji komisi pendidikan atas bimbingan, saran, dan
kritikan dalam penyempurnaan skripsi ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ayah Supangat, Ibu Sundari,
adik Muhammad Jaesy Aniko dan Siti Nabila Azzahra, atas dukungan, doa,
semangat, kasih sayang, pengertian, dan bimbingan yang telah diberikan selama
ini. Terimakasih penulis pula ucapkan kepada seluruh keluarga besar, saudara, dan
sahabat yang telah mendukung, membantu, dan mendoakan penulis.
Bentuk penghormatan saya sampaikan kepada segenap dosen dan staf
Departemen Ilmu Ekonomi dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas
bantuannya selama ini, dan juga kepada keluarga Ilmu Ekonomi khususnya Ilmu
Ekonomi angkatan 45 yang telah bersama-sama menimba ilmu di Institut
Pertanian Bogor. Ungkapan terimakasih penulis ucapkan pula kepada seluruh
pihak-pihak lainnya yang telah membantu, mendoakan, dan berkontribusi, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat baik bagi
penulis maupun pihak-pihak lain.
Bogor, November 2013
Ecky Agassi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
Ruang Lingkup Penelitian 8
TINJAUAN PUSTAKA 9
METODE 20
HASIL DAN PEMBAHASAN 23
Gambaran Umum Negara yang Memindahkan Ibukotanya 23
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota dengan
Menggunakan Model Logistik 34
Hubungan antara Hasil Analisis dengan Kondisi di Indonesia 38
SIMPULAN DAN SARAN 40
Simpulan 40
Saran 40
DAFTAR PUSTAKA 41
LAMPIRAN 44
RIWAYAT HIDUP 55
DAFTAR TABEL
1 Tipe ibukota dan contohnya 2 2 Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2008 – 2012 (jiwa) 3 3 Negara yang memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2 7 4 Negara yang memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2 26 5 Hubungan GDP per kapita dengan pemindahan ibukota 27 6 Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemindahan ibukota 28 7 Hubungan luas wilayah dengan pemindahan ibukota 29 8 Hubungan jumlah penduduk dengan pemindahan ibukota 30 9 Hubungan kepadatan penduduk dengan pemindahan ibukota 31
10 Hubungan bentuk pemerintahan dengan pemindahan ibukota 32 11 Hubungan bentuk wilayah dengan pemindahan ibukota 34 12 Hasil Hosmer and Lemeshow Test dan Overall Percentage 34 13 Analisis faktor-faktor yang memengaruhi pemindahan ibukota
negara 35
DAFTAR GAMBAR
1 Jumlah kepadatan penduduk Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur
tahun 2007-2011 (jiwa/ km2) 4
2 Kerangka pemikiran 18 3 Unifikasi ibukota Jerman dan Vietnam 24 4 Contoh negara yang memindahkan ibukotanya 25 5 Negara yang menjadi sampel dalam penelitian 26 6 Distribusi negara berdasarkan luas wilayah 29 7 Distribusi negara berdasarkan bentuk pemerintahan 32 8 Distribusi negara berdasarkan bentuk wilayah 33
DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar negara yang diteliti 44
2 Data GDP per kapita (dolar AS) 45
3 Data pertumbuhan ekonomi (persen) 46 4 Data luas wilayah (km
2) 47
5 Data jumlah penduduk (jiwa) 48
6 Data kepadatan penduduk (jiwa/ km2) 49
7 Data bentuk pemerintahan 50 8 Data bentuk wilayah 51
9 Data tipe ibukota 52 10 Output Logistic Regression 53
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ibukota adalah pusat negara yang memiliki status utama dalam
pemerintahan negara yang diatur oleh Undang-Undang negara masing-masing.
Dalam perannya sebagai pusat pemerintahan, ibukota umumnya berfungsi sebagai
pusat kekuasaan politik dan ekonomi sehingga ibukota memainkan peran penting
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di banyak negara, ibukota merupakan
kota terbesar yang ada dalam sebuah negara dimana kota tersebut mencerminkan
corak yang unik dari sisi ekonomi dan budaya masyarakatnya sehingga ibukota
memiliki peran penting dalam menunjukkan karakter sebuah negara.
Ibukota dikarakteristikan sebagai kota multifungsi yang memiliki misi
diplomatik, institusi pemerintahan, dan pusat ekonomi yang begitu berkembang
sehingga seringkali ibukota dipilih menjadi kota tujuan urbanisasi. Sebagai bagian
dari identitas sebuah negara, ibukota dibangun untuk menjadikannya kota yang
memiliki fungsi utama dalam pemerintahan. Berbagai negara membangun
ibukotanya dengan cara yang berbeda-beda, dengan melanjutkan membangun kota
yang menjadi ibukota di masa lalu, atau memilih dan membangun ibukota baru di
kota yang berbeda.
Sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia memiliki ibukota yang
menjadi pusat dari fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif (classic capital).
Sebagian kecil negara lain memisahkan pusat eksekutif, legislatif, dan
yudikatifnya ke kota yang berbeda (split capital) seperti Belanda (Amsterdam dan
The Hague), Afrika Selatan (Pretoria, Bloemfontein, dan Cape Town), Bolivia (La
Paz dan Sucre), Swaziland (Lobamba dan Mbabane), Malaysia (Kuala Lumpur
dan Putrajaya), dan Sri Lanka (Colombo dan Sri Jayawardenapura Kotte).
Campbell (2004) merangkum berbagai macam tipe ibukota dan
membaginya kedalam enam kategori utama yaitu classic capitals, relocated
capitals, constructed capitals, federal capitals, split capitals, archipelago capitals,
dan capitals with unique jurisdictions.
Menurut kategori Campbell, sebuah kota bisa termasuk lebih dari satu
kategori, contohnya adalah Jakarta (classic capital dan archipelago capital),
Mexico City (classic capital dan capitals with unique jurisdictions), dan Ottawa
(constructed capitals dan capitals with unique jurisdictions).
Dengan banyaknya kategori dalam mengelompokkan tipe ibukota,
Campbell (2004) menentukan tiga faktor krusial yang dapat membedakan
perkembangan ibukota, yaitu ukuran dan struktur pemerintahan, kondisi ekonomi
sebuah negara, dan waktu dimana ibukota sudah bisa berdiri stabil relatif terhadap
kondisi politik dan perkembangan ekonomi negara yang bersangkutan.
2
Tabel 1 Tipe ibukota dan contohnya
Tipe Kota Contoh
Classic Capitals
Jakarta (Indonesia), Bogota
(Kolombia), Caracas (Venezuela),
London (Inggris), Madrid (Spanyol),
Mexico City (Meksiko)
Relocated capitals
Ankara (dari Istanbul 1923, Turki),
Astana (dari Almaty 1998,
Kazakhstan), Lilongwe (dari Blantyre
1976, Malawi)
Constructed capitals
Abuja (dari Lagos 1991, Nigeria),
Brasilia (dari Rio de Janeiro 1960,
Brasil), Canberra (dari Melbourne
1927, Australia), Islamabad (dari
Karachi 1960, Pakistan)
Federal capitals
Canberra (Australia), Kinshasa
(Kongo), Moscow (Rusia), Ottawa
(Kanada)
Split capitals Amsterdam/ The Hague (Belanda),
Kuala Lumpur/ Putrajaya (Malaysia)
Archipelago capitals Jakarta (di pulau Jawa, Indonesia),
Tokyo (di pulau Honshu, Jepang)
Capitals with unique jurisdictions
Abuja (Federal Capital Territory,
Nigeria), Brasilia (Federal District,
Brasil), Mexico City (Federal
District, Meksiko) Sumber: Rawat (2005)
Dimasa lalu, perkembangan penelitian ibukota dalam ekonomi regional
lebih menitikberatkan pada lokasi geografis yang berada di tengah (sentral) untuk
menentukan lokasi terbaik dari ibukota terhadap perkembangan ekonomi wilayah.
Hal ini telah banyak ditinggalkan karena memiliki banyak kekurangan teoritis dan
terlalu menekankan pada faktor geografi yang gagal dalam mempertimbangkan
faktor sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sejarah (Wolfel 2002). Walaupun
begitu beberapa negara masih menggunakan pertimbangan lokasi sentral sebagai
variabel untuk menentukan lokasi sebuah kota.
Mengelola ibukota bukanlah hal yang mudah karena ibukota adalah kota
utama dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik sehingga kesalahan
pengelolaan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan. Ketika sebuah kota
menjadi ibukota, kota tersebut biasanya akan mengalami pertumbuhan yang
signifikan dan akibatnya menghasilkan dampak demografi dan ekonomi dari
kekuatan yang terakumulasi (Dascher 2000). Dampak demografi dan ekonomi
yang tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik akan menimbulkan berbagai
masalah perkotaan. Masalah yang timbul akibat kesalahan pengelolaan ibukota
antara lain terjadinya sentralisasi ekonomi dan politik, ketimpangan ekonomi,
buruknya sistem transportasi, tingginya angka kemiskinan, pengangguran, serta
timbulnya konflik horizontal. Selain itu, sebuah negara seringkali mengalami
3
masalah yang berkaitan dengan keadaan alam seperti banjir dan gempa bumi.
Sebagai contoh, bencana angin topan yang menimpa Belize City di negara Belize
telah menyebabkan negara tersebut memindahkan ibukotanya dari Belize City ke
Belmopan. Angin topan tersebut melumpuhkan kegiatan pemerintahan Belize dan
bahkan menyebabkan kerusakan dan kehilangan dokumen-dokumen penting
pemerintahan. Di Indonesia sendiri bencana banjir seringkali menimpa Jakarta
dan melumpuhkan kegiatan ekonomi dan pemerintahan.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan ibukota, salah satu solusi yang bisa
dilakukan sebuah negara adalah dengan memindahkan ibukotanya. Schatz (2003)
berpendapat bahwa secara teori pemindahan ibukota yang didesain dan dieksekusi
dengan baik (well-designed and well-executed) dapat memberikan peluang
ekonomi dan pelayanan pemerintahan sebagai solusi masalah ketimpangan pada
daerah lain. Pasca Perang Dunia ke-2, beberapa negara telah memindahkan
ibukotanya dengan berbagai alasan. Terdapat tiga alasan umum pemindahan
ibukota yaitu pertimbangan sosial ekonomi, pertimbangan politik, dan
pertimbangan geografis (Rukmana 2010).
Di Indonesia, wacana untuk memindahkan ibukota telah lama muncul.
Wacana ini timbul dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan Jakarta yang
sangat kompleks. Masalah yang ada dikarenakan perkembangan Jakarta yang
kompleks tidak diimbangi oleh manajemen kota yang baik sehingga pemerintah
Jakarta terus kewalahan menghadapi berbagai masalah tersebut.
Pembangunan Jakarta sebagai ibukota berdampak pada pembangunan
ekonomi yang terlalu memusat sehingga menimbulkan adanya sentralisasi
ekonomi nasional. Hal ini menyebabkan Jakarta semakin dipadati oleh para
pendatang dari berbagai daerah yang berharap dapat memperbaiki kehidupan
ekonominya sehingga menyebabkan tingginya arus urbanisasi. Besarnya jumlah
penduduk yang ditambah dengan tingginya arus urbanisasi menyebabkan
timbulnya berbagai masalah demografi di Jakarta.
Tabel 2 Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2008 – 2012 (jiwa)
Wilayah Tahun
2008 2009 2010 2011 2012
Kepulauan Seribu 19333 19587 21082 24928 22220
Jakarta Selatan 1748251 1894889 2062232 2134830 2148261
Jakarta Timur 2195300 2623288 2693896 2925622 2801784
Jakarta Pusat 813905 924679 899515 1122974 908829
Jakarta Barat 1635246 1635645 2281945 2259606 2395130
Jakarta Utara 1201431 1422838 1645659 1715538 1715564
DKI Jakarta 7616838 8523157 9604329 10183498 9991788
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2013)
Jika hal ini terus dibiarkan, maka jumlah penduduk Jakarta akan kian
membengkak dan semakin memperparah masalah demografi seperti kemacetan
yang semakin merajalela karena jumlah kendaraan yang semakin banyak,
buruknya ekologi, serta ancaman penurunan tingkat kesehatan. Lahan-lahan hijau
4
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
2007 2008 2009 2010 2011
Jakarta
Jawa Barat
Jawa Timur
dan pohon-pohon yang semakin berkurang karena telah berubah menjadi lapisan
beton untuk dibangun perumahan-perumahan baru, semakin membuat Jakarta
gersang dan udara pun tidak sehat. Daerah penyerapan yang berkurang dan posisi
Jakarta yang berada dibawah permukaan laut menyebabkan bencana banjir sulit
untuk dihindari.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
Gambar 1 Jumlah kepadatan penduduk Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur
tahun 2007-2011 (jiwa/ km2)
Besarnya jumlah penduduk dan tingginya kepadatan diprediksi akan terus
bertambah. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 1 yang menunjukkan tren kepadatan
penduduk Jakarta yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dibandingkan
dengan kepadatan penduduk dua provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di
Indonesia yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur.
Selain masalah kependudukan, salah satu masalah besar yang menimpa
Jakarta adalah kemacetan. Hasil kajian Dinas Pekerjaan Umum provinsi DKI
Jakarta menyatakan bahwa secara ekonomi, kemacetan menyebabkan peningkatan
waktu tempuh (inefisiensi waktu), biaya transportasi, gangguan serius
pengangkutan produk ekspor-impor (logistik secara umum), penurunan tingkat
produktivitas kerja, dan terbuangnya energi secara sia-sia.1
Penelitian Japan International Corporation Agency pada tahun 2004 dalam
Mirlanda (2011) menyatakan bahwa bila tidak dilakukan perbaikan pada sistem
transportasi di Jakarta, diperkirakan lalu lintas Jakarta akan macet total pada 2020
dengan estimasi kerugian ekonomi yang terjadi sebesar Rp 28,1 triliun dan
kerugian nilai waktu perjalanan yang mencapai Rp 36,9 triliun. Komponen biaya
kerugian sebesar di atas antara lain berupa biaya bahan bakar kendaraan, biaya
1 Kebijakan Mengatasi Kemacetan di Jakarta: Menuju Penguatan Peran Departemen PU.
http://www.pu.go.id [Maret 2013]
5
operasi kendaraan, biaya kehilangan nilai waktu, biaya kehilangan potensi
ekonomi, transaksi tertunda, biaya pencemaran udara/ polusi yang menyebabkan
berbagai penyakit pernapasan, tekanan psikologis/ stress berat dan lainnya.
Kementerian Pekerjaan Umum di tahun 2010 juga telah mengkaji wacana
pemidahan ibukota dan merangkum berbagai masalah yang dihadapi Jakarta.
Waduk dan situ mulai tercemar berat sebesar 83%, sedangkan 17% lainnya
tercemar sedang. Kualitas air sungai kini tidak memenuhi baku mutu fisik, kimia,
dan biologi (94% telah tercemar berat dan 6% tercemar sedang). Hal yang sama
juga terjadi pada mutu air tanah, yaitu 12% tercemar berat, 20% tercemar sedang,
45% tercemar ringan, dan hanya 25% berada dalam kategori baik. Sementara itu,
daya dukung lingkungan di Jakarta sudah berada pada taraf defisit. Telapak
ekologis DKI Jakarta sudah mencapai sebesar 13,5 juta global hektar (gha),
nilainya jauh lebih tinggi dari biokapasitasnya yang sebesar 142 ribu gha.
Selanjutnya dari aspek infrastruktur perairan Jakarta dan sekitarnya telah
mengalami krisis yang cukup serius. Kapasitas pengolahan dan distribusi air
bersih masih tidak memadai, yaitu hanya 50% masyarakat terlayani, terlebih
dengan adanya tingkat kebocoran yang relatif tinggi (sebesar 47%).
Dari aspek tata kelola, kerjasama antar daerah dalam kerangka kawasan
metropolitan hingga kini juga masih belum efektif. Masing-masing daerah masih
belum mampu bersinergi sehingga masih memerlukan koordinasi yang efektif
dalam perencanaan, pemrograman hingga implementasi program pembangunan.
Kepemimpinan kolektif pada tingkat metropolitan kurang berjalan sebagaimana
yang diharapkan, sehingga Jakarta dan sekitarnya belum mampu berkembang
secara matang berdasarkan satu visi jangka panjang.2
Berbagai masalah yang menimpa Jakarta menyebabkan Jakarta dianggap
tidak lagi tepat untuk menjadi Ibukota. Jakarta dianggap sudah tidak lagi mampu
memikul tugas sebagai ibukota sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang ibukota. Jakarta dianggap gagal dalam
tanggung jawabnya dibidang pengelolaan tata ruang, sumber daya alam dan
lingkungan hidup, pengendalian penduduk dan permukiman, serta transportasi.3
Multifungsi kota Jakarta (pusat ekonomi, keuangan, bisnis, politik,
pendidikan) merupakan dampak dari sistem pemerintahan sentralistis dan sistem
multifungsi yang terpusat secara terus-menerus di Jakarta. Akibatnya sejumlah
efek bernuansa sosial (kepadatan memicu konflik lokal, kejahatan jalanan), politik
(monopoli pengelolaan keuangan pusat yang terus menerus), ekonomi (disparitas
pemerataan ekonomi antar daerah dan intra daerah) dan ekologi (rusaknya tata
ruang dan lingkungan karena kekuatan "tata uang" para pemodal kuat), menjadi
persoalan dan beban Jakarta yang tak mudah diselesaikan tanpa jalan keluar yang
inovatif yaitu pemindahan ibukota (Yunia dan Rozi 2007).
Dengan berbagai fakta yang ada, didapat kecenderungan bahwa dalam
analisis garis besar aspek keruangan, ekologis, serta dampak sosial, ekonomi, dan
politik, menunjukkan bahwa penelitian tentang pemindahan ibu kota merupakan
suatu keharusan yang harus dilakukan demi menciptakan ibukota yang baik bagi
kelangsungan pemerintahan Indonesia.
2 Keynote Speech Menteri Pekerjaan Umum, 2010
3 Lorong Keluar dari Berbagai Paradoks Pembangunan, Menuju Indonesia yang Tertata. Visi
Indonesia 2033. http://www.visi2033.or.id [Maret 2013]
6
Perumusan Masalah
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah Jakarta adalah dengan
memindahkan ibukota. Ide untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke
kota lain telah banyak diwacanakan baik dari kalangan pemerintahan maupun
akademisi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membicarakan wacana
pemindahan ibukota negara dari Jakarta ketika menghadiri rapat kerja nasional
Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada
awal Desember 2009. Selain itu Presiden juga telah membentuk tim kecil yang
bertugas untuk mengkaji kemungkinan pemindahan ibukota dari Jakarta ke kota
lain.4
Melalui rilis Sekretariat Kabinet RI, pada 2013 Presiden telah membuat tim
informal yang bertugas untuk meriset dan mempertimbangkan rencana
pemindahan ibukota ke kota lain. Selanjutnya Presiden melalui siaran pers di
Hotel Grand Emerald, St. Petersburg, Rusia, menyatakan bahwa jika secara
ekonomi Indonesia sudah kuat melalui pertumbuhan ekonomi, GDP,
dan income per kapita, dan di sisi lain memang tidak ada solusi yang lebih baik
untuk mengatasi permasalahan Jakarta, ditambah jika ada urgensi yang tidak bisa
ditunda-tunda lagi, adalah suatu hal yang tepat jika Indonesia memikirkan suatu
tempat yang bisa dibangun untuk menjadi pusat pemerintahan yang baru. Jika
tidak ada solusi tepat untuk mengatasi permasalahan Jakarta dan ada kepentingan
mendesak, tidak keliru jika pemerintah mempertimbangkan membangun pusat
pemerintahan baru.5
Dalam sejarah Indonesia, wacana pemindahan ibukota bukanlah hal yang
baru. Di masa kolonialisme, pemerintah Hindia Belanda pernah merencanakan
pemindahan ibukota dari Jakarta ke Bandung pada tahun 1906. Kemudian pada
masa kemerdekaan, Presiden Sukarno sempat menggagas pemindahan ibukota
negara ke Palangkaraya pada saat peresmian Palangkaraya sebagai Ibukota
Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Bahkan Presiden Sukarno sempat
dua kali mengunjungi langsung potensi kota Palangkaraya untuk menjadi ibukota
negara. Pada periode pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto sempat juga
menggagas pemindahan ibukota negara ke Jonggol, Jawa Barat melalui Keppres 1
tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota
Mandiri. Rencana pemindahan ibukota ke Jonggol tidak berlanjut seiring dengan
jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998 (Rukmana 2010).
Kebutuhan analisis untuk mengatasi masalah Jakarta bukan lagi sebuah
pilihan, tetapi sudah menjadi hal yang mendesak. Dalam pertimbangan untuk
memindahkan ibukota, Indonesia tidak bisa hanya melihat pada masalah dalam
negeri tanpa berkaca pada pengalaman dan faktor yang memengaruhi dari negara
yang telah memindahkan ibukotanya.
Pasca Perang Dunia ke-2, belasan negara sudah memindahkan ibukotanya
dengan berbagai dorongan. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang
sangat perlu untuk belajar dari negara lain tentang apa dan bagaimana negara
memindahkan ibukotanya.
4 Kemana Istana Negara Akan Diboyong? http://www.analisadaily.com [Maret 2013]
5 Soal Pemindahan Ibukota, Julian: Belum Ada Opsi Kota Yang Dianggap Layak
http://setkab.go.id [Oktober 2013]
7
Tabel 3 Negara yang memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2
No. Negara Ibukota Lama Ibukota Baru Tahun
Relokasi
1 Montenegro Cetinje Podgorica 1946
2 Brasil Rio de Janeiro Brasilia 1960
3 Pakistan Rawalpindi Islamabad 1967
4 Belize Belize City Belmopan 1970
5 Guinea Bissau Boe Bissau 1974
6 Malawi Zomba Lilongwe 1974
7 Filipina Quezon City Manila 1976
8 Sri Lanka Colombo Sri Jayawardenapura Kotte 1982
9 Pantai Gading Abidjan Yamoussoukro 1983
10 Nigeria Lagos Abuja 1991
11 Tanzania Dodoma Dar Es Salaam 1996
12 Kazakhstan Almaty Astana 1997
13 Myanmar Rangoon Naypyidaw 2005
Alasan umum pemindahan ibukota adalah pertimbangan sosial ekonomi,
pertimbangan politik, dan pertimbangan geografis (Rukmana 2010). Indonesia
perlu mempertimbangkan ketiga faktor tersebut dalam analisis untuk
memindahkan ibukotanya, tidak hanya analisis di dalam negeri, namun juga
analisis dari pengalaman negara lain di dunia yang sudah memindahkan
ibukotanya. Pengalaman dari berbagai negara yang telah memindahkan
ibukotanya akan memberikan masukan dan pertimbangan yang sekiranya dapat
digunakan sebagai bahan analisis yang lebih tepat untuk mengkaji masalah di
Indonesia.
Hasil analisis dari negara-negara yang telah memindahkan ibukotanya akan
menjadi penting karena akan menunjukkan seberapa besar faktor-faktor tertentu
yang memengaruhi sebuah negara dalam memindahkan ibukotanya. Hal ini
diperlukan agar keputusan yang nanti diambil dapat mempertimbangkan faktor-
faktor yang signifikan dengan lebih baik dan mendalam dalam kaitannya dengan
pemindahan ibukota negara.
Berdasarkan beberapa penjelasan yang diuraikan di atas, perumusan
masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja
karakteristik dari negara-negara yang telah memindahkan ibukotanya? Apa saja
faktor-faktor yang memengaruhi negara untuk memindahkan ibukotanya?
8
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dibahas,
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan karakteristik negara yang memindahkan ibukotanya
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemindahan ibukota negara
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun
pihak-pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara
lain adalah:
1. Memberikan gambaran mengenai karakteristik dan faktor yang
memengaruhi negara untuk memindahkan ibukotanya.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan menjadi landasan
berpikir bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan pembangunan kota
dan lebih lanjut dalam perumusan mengenai rencana pemindahan ibukota
negara.
3. Diharapkan agar penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan
masukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan mengalisis faktor-faktor dan karakteristik yang
memengaruhi negara terhadap pemindahan ibukota. Data yang diambil merupakan
data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber resmi seperti The World
Bank, Global Finance Data (GFD), United Nation Data (UNdata) dan laporan
statistik ekonomi negara tersebut. Data yang diambil adalah data-data yang diduga
berhubungan dengan faktor yang menunjukkan karakteristik negara untuk
memindahkan ibukotanya.
Negara yang diteliti adalah negara-negara di dunia yang telah memindahkan
ibukotanya dan negara yang belum memindahkan ibukotanya. Negara
dikelompokkan menjadi dua, yaitu negara yang sudah memindahkan ibukotanya
(relocated capitals atau constructed capitals) dan negara yang tidak
memindahkan ibukotanya. Jumlah negara disesuaikan agar negara yang
memindahkan ibukotanya dan negara yang tidak memindahkan ibukotanya
perbandingannya sama. Pemilihan negara yang tidak memindahkan ibukotanya
dilakukan melalui purposive sampling yang dianggap dapat merepresentasikan
contoh.
9
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Pustaka
Pengertian Kota
Dalam pengertian geografis, kota adalah suatu tempat yang penduduknya
rapat, rumah berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya bukan pertanian.
Sementara menurut Bintarto dalam Marangkup dan Eka (2006), kota dalam
tinjauan geografi adalah suatu bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur
alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar,
dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan
dengan daerah di belakangnya. Tinjauan di atas merupakan batasan kota dari segi
sosial. Dalam perkembangannya, konsep-konsep kota paling tidak dapat dilihat
dari empat sudut pandang, yaitu segi fisik, administratif, sosial, dan fungsional.
Dengan banyaknya sudut pandang dalam membatasi kota, mengakibatkan
pemahaman kota dapat berdimensi jamak dan selama ini tidak satupun batasan
tolak ukur kota yang dapat berlaku secara umum.
Kota dalam tinjauan fisik atau morfologi menekankan pada bentuk-bentuk
kenampakan fisikal dari lingkungan kota. Smailes dalam Marangkup dan Eka
(2006) memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu penggunaan lahan, pola-
pola jalan dan tipe atau karakteristik bangunan. Sementara itu Conzen dalam
Marangkup dan Eka (2006) juga mengemukakan unsur -unsur yang serupa dengan
yang dikemukakan Smailes, yaitu plan, architectural style, dan land use.
Berdasarkan pada berbagai macam unsur morfologi kota yang dikemukakan di
atas, terlihat bahwa secara umum unsur-unsur morfologi kota berkisar antara
karakteristik bangunan, pola jalan dan penggunaan lahan. Unsur-unsur ini yang
paling sering digunakan untuk mengenali suatu daerah secara morfologis.
Menurut Kostof dalam Ardian (2007), kota adalah leburan dari bangunan
dan penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi
kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu.
Bentuk kota ada dua macam, yaitu geometri dan organik. Terdapat dikotomi
bentuk perkotaan yang didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu planned dan
unplanned.
Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota Eropa abad
pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan
bentuk geometrik.
Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota
metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara spontan dengan
bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota
akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organic
pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan
memiliki pola yang tidak teratur dan non-geometrik.
10
Tipe Ibukota
Dalam menjalankan perannya, ibukota memiliki beberapa tipe yang berbeda.
Sebuah kota ada yang menjadi pusat eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus,
dan ada kota yang menjadi pusat salah satu dari fungsi tersebut saja. Meskipun
sebagian besar ibukota memiliki fungsi yang paling dominan dalam pemerintahan,
namun tidak semua kota sama. Hall (2006) membagi kota dalam tujuh tipe, yaitu:
1. Multi-Function Capitals: mengkombinasikan semua atau sebagian besar
fungsi tertinggi dari fungsi pemerintahan di level nasional (London, Paris,
Madrid, Stockholm, Moscow, Tokyo).
2. Global Capitals: kondisi spesial dari tipe pertama dimana ibukota juga
memiliki peran di tingkat super-nasional dalam politik, komersial (ekonomi),
atau keduanya (London, Tokyo).
3. Political Capitals: memiliki fungsi sebagai kota pusat pemerintahan, tetapi
tidak memiliki peran sebagai kota pusat ekonomi (The Hague, Bonn,
Washington, Ottawa, Canberra, Brasília).
4. Former Capitals: kota yang pernah menjadi ibukota (tidak lagi memiliki
status sebagai ibukota) tetapi tetap memertahankan fungsi historisnya (St.
Petersburg, Philadelphia, Rio de Janeiro).
5. Ex-Imperial Capitals: kondisi spesial dari tipe ketiga, dimana kota
merupakan mantan ibukota dimasa kerajaan yang kembali menjadi ibukota
dimasa modern. Kota tersebut juga memiliki fungsi penting dalam kegiatan
ekonomi dan budaya untuk wilayah mantan kerajaannya (London, Madrid,
Lisbon, Vienna).
6. Provincial Capitals: kondisi spesial dalam negara federal. Mirip seperti tipe
ketiga, sebuah kota pernah memiliki status sebagai ibukota secara de facto,
namun di era modern telah kehilangan statusnya. Perubahan status tersebut
tidak memengaruhi fungsi mereka terhadap daerah di sekelilingnya (Milan,
Turin, Stuttgart, Munich, Montréal, Toronto, Sydney, Melbourne).
7. Super Capitals: kota yang memiliki peran dan fungsi sebagai pusat dari
organisasi internasional. Kota ini hanyalah kota biasa ataupun kota yang
memiliki status sebagai sebuah ibukota (Brussels, Strasbourg, Geneva,
Rome, New York).
Selain tujuh tipe diatas, Campbell (2004) merangkum berbagai macam tipe
ibukota dan membaginya kedalam enam kategori utama. Campbell merangkum
dengan mempertimbangkan aspek historis yang ada dalam kota tersebut.
Kategorinya adalah:
1. Classic Capitals: Jakarta, Bogota, Caracas, London, Madrid, Mexico City).
2. Relocated Capitals: Ankara (dari Istanbul 1923, Turki), Astana (dari
Almaty 1998, Kazakhstan), Lilongwe (dari Blantyre 1976, Malawi).
3. Constructed Capitals: Abuja (dari Lagos 1991, Nigeria), Brasilia (dari Rio
de Janeiro 1960, Brasil), Canberra (dari Melbourne 1927, Australia),
Islamabad (dari Karachi 1960, Pakistan).
4. Federal Capitals: Canberra (Australia), Kinshasa (Kongo), Moscow (Rusia),
Ottawa (Kanada).
5. Split Capitals: Amsterdam/ The Hague (Belanda), Bloemfontein/ Cape
Town (Afrika Selatan).
11
6. Archipelago Capitals: Jakarta (di pulau Jawa, Indonesia), Tokyo (di pulau
Honshu, Jepang).
7. Capitals with Unique Jurisdictions: Abuja (Federal Capital Territory,
Nigeria), Brasilia (Federal District, Brasil), Mexico City (Federal District,
Meksiko).
Berdasarkan pengkategorian dari Hall dan Campbell, sebuah ibukota yang
memindahkan ibukotanya dapat dikategorikan dalam tipe former capitals,
relocated capitals, dan constructed capitals.
Faktor yang Berpengaruh Dalam Perkembangan Kota
Dalam perkembangan kota terdapat banyak faktor yang memengaruhinya,
baik sosial, ekonomi, maupun geografi, yang seringkali sangat signifikan.
Perkembangan kota dipengaruhi berbagai aspek yang sangat signifikan ini
membuat pengembangan wilayah tidak dapat lepas dari adanya ikatan-ikatan
ruang perkembangan wilayah baik secara geografis maupun sosial-ekonomi.
Raharjo dalam Marangkup dan Eka (2006) mengungkapkan variabel-variabel
yang memengaruhi perkembangan kota, yaitu:
1. Penduduk, keadaan penduduk, proses penduduk, lingkungan sosial
penduduk.
2. Lokasi yang strategis, sehingga aksesibilitasnya tinggi.
3. Fungsi kawasan perkotaan.
4. Kelengkapan fasilitas sosial ekonomi yang merupakan faktor utama
timbulnya perkembangan dan pertumbuhan pusat kota.
5. Kelengkapan sarana dan prasarana transportasi untuk meningkatkan
aksesibilitas penduduk ke segala arah.
6. Faktor kesesuaian lahan.
7. Faktor kemajuan dan peningkatan bidang teknologi yang mempercepat
proses pusat kota mendapatkan perubahan yang lebih maju.
Hendarto dalam Novita (2003) mengatakan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan kota pada prinsipnya menggambarkan proses berkembangnya
suatu kota. Pertumbuhan kota mengacu pada pengertian secara kuantitas, yang
dalam hal ini diindikasikan oleh besaran faktor produksi yang dipergunakan oleh
sistem ekonomi kota tersebut. Sedangkan perkembangan kota mengacu pada
kualitas, yaitu proses menuju suatu keadaan yang bersifat pematangan. Indikasi
ini dapat dilihat pada struktur kegiatan perekonomian dari primer ke sekunder
atau tersier. Secara umum kota akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan
melalui keterlibatan aktivitas sumber daya manusia berupa peningkatan jumlah
penduduk dan sumber daya alam dalam kota yang bersangkutan.
Pada umumya terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi perkembangan
kota, yaitu:
1. Faktor penduduk, yaitu adanya pertambahan penduduk baik disebabkan
karena pertambahan alami maupun karena migrasi.
2. Faktor sosial ekonomi, yaitu perkembangan kegiatan usaha masyarakat
12
3. Faktor sosial budaya, yaitu adanya perubahan pola kehidupan dan tata cara
masyarakat akibat pengaruh luar, komunikasi, dan sistem informasi.
Dalam menentukan perkembangan kota memang terdapat berbagai variabel
yang diukur. Mengenai hal ini Campbell (2004) menentukan tiga faktor penting
yang dapat membedakan perkembangan ibukota yaitu ukuran dan struktur
pemerintahan, kondisi ekonomi sebuah negara, dan waktu dimana ibukota sudah
bisa berdiri stabil relatif terhadap kondisi politik dan perkembangan ekonomi
negara yang bersangkutan. Penentuan faktor ini berguna agar penggunaan variabel
yang terlalu banyak dapat dihindari, dan sebaliknya, tiga faktor tersebut dapat
dielaborasi lebih lanjut sehingga dapat menentukan variabel-variabel baru yang
dapat diukur untuk menentukan perkembangan sebuah kota ataupun ibukota.
GDP
Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB)
diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan ekonomi
suatu negara. Mankiw (2008) mendefinisikan GDP sebagai nilai pasar semua
barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun
waktu tertentu, dan perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran
makro utama tentang kondisi suatu negara. Pada umumnya perbandingan kondisi
antar negara dapat dilihat dari pendapatan nasionalnya. Dalam menentukan
apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau berkembang, maka
Bank Dunia (The World Bank) melakukannya melalui pengelompokan besarnya
GDP, dan GDP suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa
dalam perekonomian (Todaro dan Smith 2003).
Todaro dan Smith (2003) lebih lanjut mengatakan bahwa GDP adalah
indikator yang mengukur jumlah output final barang (goods) dan jasa (services)
yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara, dalam wilayah negara tersebut,
baik oleh penduduk (warga negara) sendiri maupun bukan penduduk (misalnya,
perusahaan asing), tanpa memandang apakah produksi output tersebut nantinya
akan dialokasikan ke pasar domestik atau luar negeri. Dengan demikian warga
negara yang bekerja di negara lain, pendapatannya tidak dimasukan ke dalam
GDP. Sebagai gambaran, GDP Indonesia dihitung melalui kontribusi Warga
Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang ada di
Indonesia tetapi tidak mengikutsertakan produk WNI di luar negeri.
Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan
kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan
jasa-jasa. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas
perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu
periode tertentu. Pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses
penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, maka proses ini
pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor
produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Perekonomian dianggap mengalami
pertumbuhan jika seluruh balas jasa riil terhadap penggunaan faktor produksi pada
13
tahun tertentu lebih besar dari pada tahun sebelumnya. Berdasarkan hal ini, maka
dengan kata lain perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika
pendapatan riil masyarakat pada tahun tertentu lebih besar dari pada pendapatan
riil masyarakat pada tahun sebelumnya (Basri dalam Sihombing 2012).
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih
menunjukkan kepada perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitative change)
dan biasanya diukur dengan menggunakan data Gross Domestic Product (GDP)
atau pendapatan atau nilai akhir pasar (total market value) dari barang-barang
akhir dan jasa-jasa (final goods and services) yang dihasilkan dari suatu
perekonomian selama kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun).
Negara Kepulauan
Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS,
sesuai dengan Pasal 46 UNCLOS, definisi negara kepulauan itu adalah terdiri atas
satu atau lebih kepulauan, sedangkan "kepulauan" adalah sekelompok pulau,
termasuk bagian pulau, perairan, dan fitur alami yang terkait erat membentuk
entitas geografi, ekonomi, dan politik intrinsik. Persyaratan negara kepulauan
sesuai dengan Pasal 47 UNCLOS adalah menarik garis pangkal lurus kepulauan
yang menghubungkan pulau terluar, tidak mengabaikan konfigurasi umum
kepulauan, rasio daratan dan lautan dari mulai 1:1 hingga 9:1, dan panjang garis
pangkal tidak lebih dari 125 mil laut.6
Model Logit
Analisis regresi logit merupakan bagian dari analisis regresi. Analisis ini
mengkaji hubungan pengaruh-pengaruh peubah penjelas (χ) terhadap peubah
respon (Y) melalui model persamaan matematis tertentu. Namun jika peubah
respon dari analisis regresinya berupa kategorik, maka analisis regresi yang
digunakan adalah analisis regresi logit (Hosmer dan Lemeshow 1989). Peubah
kategori bisa merupakan suatu pilihan ya/ tidak atau suka/ tidak. Sedangkan
peubah penjelas pada analisis regresi logit ini dapat berupa peubah kategori
maupun numerik, untuk menduga besarnya peluang kejadian tertentu dari kategori
peubah respon.
Model logit diturunnkan berdasarkan fungsi peluang logistik kumulatif yang
dispesifikasikan sebagai berikut:
Pi = F(Zi) = F(α+βXi) =
=
(1)
=
(2)
Peubah Pi/ (1-Pi) dalam persamaan di atas disebut odds, yang sering juga
diistilahkan dengan risiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadi pilihan
satu terhadap peluang terjadinya pilihan nol alternatifnya. Nilai Odds adalah suatu
6 United Nations Convention on the Law of the Sea , 10 Desember 1982
14
indikator kecenderungan seseorang menentukan pilihan satu. Jika persamaan (2)
ditransformasikan dengan logaritma natural maka:
= ln
→ ln
= = α+βXi (3)
Persamaan (3) ini menunjukan bahwa salah satu karakteristik penting dari
model logit adalah bahwa model ini mentransformasikan masalah prediksi
peluang dalam selang (0;1) ke masalah prediksi log odds tentang kejadian (Y=1)
dalam selang bilangan riil (Juanda 2009).
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Studi tentang konsep pemindahan ibukota yang dilakukan oleh Schatz
(2003) mengungkapkan bahwa pemindahan ibukota (pemindahan secara fisik
pusat negara dari satu lokasi ke lokasi lain) adalah cara biasa (tidak seaneh seperti
yang terlihat) yang dilakukan untuk membuat bentuk suatu negara. Dalam
penelitian ini diungkapkan bahwa ada keterkaitan antara politik geografi dengan
pembangunan nasional dalam pemindahan ibukota. Pemindahan ibukota
seringkali tidak hanya dilakukan atas dasar rasional-teknik semata, namun lebih
daripada itu ada alasan politis dan sosial yang dilakukan dalam pemindahan
tersebut. Pemindahan ibukota adalah salah satu cara inovatif untuk membentuk
negara (buiding states) dan karakter bangsa (national identification). Kebijakan
ini merupakan kebijakan besar dimana kebanyakan pemimpin tidak berani untuk
melakukannya karena besarnya biaya finansial, logistik, dan politik. Seperti
kebijakan-kebijakan politis, kebijakan pemindahan ibukota dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Perbedaan perspektif akan menghasilkan suatu variabel yang
berbeda dengan variabel yang diambil dengan perspektif lain. Dari analisis yang
telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa pemindahan ibukota (khususnya
dalam analisis mengenai pemindahan ibukota Kazakhstan dari Almaty ke Astana)
tidak hanya dilakukan berdasarkan alasan rasional-teknis, namun lebih dari itu
dilakukan atas dasar pertimbangan sosial dan budaya seperti pembentukan
karakter bangsa dan negara. Pemindahan ibukota juga sangat dipengaruhi oleh
corak negara tersebut seperti pemerintahan negara, persebaran budaya, dan
kondisi negara setelah masa imperialisme. Hal penting lain yang juga ditemukan
adalah ketika lokasi dari pemindahan ibukota seringkali dikompetisikan dalam
formasi dan konsolidasi dari pemerintah (yang seringkali menimbulkan
kontroversi), walaupun kontroversi tersebut bertedensi menghilang setelah
pemilihan ibukota baru.
Mewacanakan pemindahan ibukota keluar Jakarta mesti dipahami sebagai
suatu proses penting sebelum menentukan keputusan besar untuk memindahkan
ibukota keluar Jakarta atau tetap menempatkan Jakarta sebagai ibukota negara.
Rukmana (2010) mengungkapkan pengalaman dari berbagai negara menunjukkan
bahwa pemindahan ibukota tidak semata didorong oleh pertimbangan kondisi
ibukota lama yang sudah terlalu padat dan kurang tersedianya infrastruktur dan
fasilitas perkotaan. Pertimbangan politik dan sosio-ekonomi juga menjadi faktor
penting dalam keputusan pemindahan ibukota negara. Sementara itu terdapat tiga
alasan umum pemindahan ibukota, yaitu pertimbangan politik, pertimbangan
sosio-ekonomi, dan pertimbangan fisik. Pertimbangan politik seringkali menjadi
15
pertimbangan utama dalam pemindahan ibukota. Dalam pertimbangan ini berguna
untuk meningkatkan persatuan nasional (national cohesion), membangun simbol
kebangkitan negara, dan merepresentasikan lebih baik keragaman suku bangsa
adalah pertimbangan yang digunakan pemerintah Brasil, Nigeria, dan Pakistan
dalam memindahkan ibukota negaranya masing-masing.
Rawat (2005) melakukan penelitian tentang perspektif global-lokal dalam
pemindahan ibukota menyatakan bahwa faktanya, kebijakan pemindahan ibukota
dalam sejarahnya banyak dilakukan oleh pemimpin yang kuat dan ambisius jika
dibandingkan oleh kekuatan demokrasi. Hal ini karena sulitnya usaha —yang
melibatkan aliansi politik— untuk meyakinkan publik bahwa biaya besar yang
dikeluarkan oleh sumberdaya pemerintah tidak sia-sia dan bermanfaat.
Selanjutnya, kemunculan ibukota-ibukota baru di pertengahan abad ke-20 datang
untuk merepresentasikan harapan dan mimpi dari negara yang baru merdeka. Hal
ini menunjukkan bahwa banyak negara yang memindahkan ibukotanya untuk
membangun kembali negaranya dari keterpurukan. Perpindahan ibukota tidak
hanya dilihat dalam persepektif lokal, namun juga perspektif global untuk
menciptakan kota yang memiliki budaya hibrid, kosmopolitan, dan memiliki daya
saing global yang baik yang terhubung dalam jaringan internasional.
Dalam penelitiannya tentang hubungan antara politik dengan geografi di
kawasan Eropa, Dascher (2000) menganalisis hubungan antara pengaruh kekuatan
politik di ibukota dan kekuatan politik regional dan dampaknya terhadap ekonomi.
Dari hasil analisis dapat diambil kesimpulan bahwa lokasi geografi dan politik
memiliki hubungan dan berdampak pada ekonomi rumah tangga serta landskap
ekonomi negara. Walaupun kota yang berbeda memiliki ukuran kota yang
berbeda pula, namun kekuatan politik dari pusat pemerintahan yang ada di ibukota
memiliki kekuatan yang lebih kuat dalam hal produksi dan konsumsi jika
dibandingkan dengan kekuatan regional. Besarnya kota dianggap sebagai hasil
endogenus dimana besaran kota memengaruhi besarnya eksternalitas.
Sutikno (2007) merangkum permasalahan yang dialami Jakarta yaitu: (1)
pemerintahan sentralitis, sehingga sistem kekuasaan yang memusat membuat
sistem pemerintahan daerah kehilangan kemandirian dan fungsi birokrasi tidak
dapat berkembang melayani dan memfasilitasi partisipasi masyarakat; (2)
kedekatan sumber pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yang mengerucut pada
elite dan hampir tanpa kontrol dari rakyat secara konstitusional maupun publik;
(3) pemusatan fungsi yang akhirnya membawa beban bagi Jakarta yang ditandai
dengan ledakan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, kesenjangan ekonomi,
kerawanan sosial, kekerasan, dan kejahatan; (4) permasalahan selanjutnya diikuti
krisis ekologi, yang berupa pencemaran udara, pencemaran air tanah, air bersih,
banjir rutin, tataruang yang semrawut, munculnya kawasan kumuh, lingkungan
hidup yang kurang nyaman; (5) konflik mudah terjadi antara kepentingan
ekonomi dan ekologi, kepentingan sesaat dan jangka panjang, kepentingan elit
dan masyarakat. Dalam analisis dihasilkan dua kesimpulan yaitu (1) pemindahan
ibu kota merupakan suatu keharusan, tetapi dengan tenggang waktu, dan
seharusnya tidak sebagai wacana lagi; (2) ibu kota negara tetap di Jakarta tetapi
pemindahan beberapa departemen dan pusat-pusat kegiatan dialihkan ke luar
Jakarta.
Dalam kasus wacana pemindahan ibukota di Indonesia, wacana ini
dianggap sangat memungkinkan karena di dalam Undang-Undang Dasar Republik
16
Indonesia dan Amandemennya, tidak atau belum mengatur secara tegas tentang
hal tersebut. Dalam Bab II ayat (2) UUD NKRI tertulis: Majelis Permusyawaratan
Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Dalam
UUD tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan dimana dan bagaimana ibu kota
negara diatur. Dengan demikian, terdapat fleksibilitas yang tinggi dalam mengatur
termasuk memindahkan ibu kota negara. Selanjutnya dalam penelitian terhadap
opini masyarakat internal ISIIP Jakarta dan analisis literatur, menunjukkan bahwa
dalam waktu lima tahun ke depan wacana perpindahan ibukota mesti sudah
ditindaklanjuti oleh pihak terkait dengan serius. Pertama, secara umum (34%)
responden memberikan respon bahwa gagasan pemindahan ibu kota di Indonesia
baru sekedar wacana, dan ada 25% responden yang berpandangan optimis
pemindahan ibukota harus segera diwujudkan dalam waktu 10 tahun ke depan.
Kedua, mayoritas (46%) responden setuju terhadap gagasan pemindahan ibukota
secara bergilir di antara propinsi di Indonesia atau di antara tiga daerah waktu.
Ketiga, alasan yang menjadi pertimbangan pokok pemindahan ibukota negara.
Suara terbanyak (17%) responden mensyaratkan lokasi tersebut belum padat.
Sebanyak 16% responden mensyaratkan lokasinya kondusif dan strategis. Sekitar
14% responden mensyaratkan efisien ditempuh dari ibukota yang lama. Keempat,
bagaimana sebaiknya pemindahan ibu kota dilakukan. Mayoritas (33%)
responden berpandangan pemindahan ibukota dilakukan dengan langkah teknis
seperti memindahkan kantor kepresidenan, departemen, parlemen dan kedutaan
asing secara bertahap (Yunia dan Rozi 2007).
Kerangka Pemikiran
Peran Jakarta yang sangat mendominasi dalam berbagai aspek di
Indonesia tidak lepas dari faktor sejarah. Jakarta merupakan ibukota yang
termasuk dalam ex-imperial capitals dalam tujuh tipe ibukota Peter Hall, dimana
Jakarta menjadi ibukota karena peran tersebut yang telah melekat sejak jaman
pejajahan Belanda. Sejak dahulu, Belanda telah menjadikan Jakarta sebagai pusat
keluar-masuk barang dari dan ke Indonesia dan pusat pemerintahan sehingga
Jakarta menjelma sebagai pusat ekonomi dan politik jaman penjajahan. Di era
kemerdekaan, peran tersebut tidak berubah dan bahkan semakin kuat dan melebar
ke dominasi politik dan ekonomi terhadap daerah-daerah lain di Indonesia.
Kekuatan Jakarta yang tak diimbangi dengan manajemen dan perencanaan kota
yang baik mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan yang menerpa Jakarta
dan merembet pula di skala nasional. Permasalahan yang menerpa Jakarta mulai
dari masalah demografi, ekologi, dan ekonomi, seperti tingginya kepadatan
penduduk, kencangnya arus urbanisasi, potensi bencana banjir, pencemaran
lingkungan, kemiskinan, kesehatan, dan kriminalitas. Selain itu pemusatan
berbagai aspek kehidupan di Jakarta menimbulkan sentralisasi yang sangat buruk
di Indonesia sehingga menimbulkan kecemburuan sosial serta ketimpangan
ekonomi. Berbagai permasalahan yang ada akhirnya menimbulkan wacana
kebijakan untuk memindahkan ibukota dari Jakarta ke kota lain di Indonesia.
Wacana pemindahan ibukota sebenarnya bukanlah wacana baru. Sejak
zaman penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, hingga era demokrasi wacana ini terus
bergulir. Sayangnya selama ini wacana hanyalah sekedar menjadi wacana tanpa
eksekusi matang dan penelitian lebih lanjut. Pemerintah terlihat kurang memiliki
17
political will untuk menyelesaikan masalah Jakarta dan Indonesia dengan
kebijakan yang strategis, sedangkan menurut Rawat (2005) kebijakan pemindahan
ibukota dalam sejarahnya banyak dilakukan oleh pemimpin yang kuat dan
ambisius jika dibandingkan oleh kekuatan demokrasi. Sebagaimana Nehru dari
India, Khan dari Pakistan, Kubitschek dari Brasil, yang percaya bahwa kota yang
direncakan dengan baik (well planned) akan berkontribusi dalam modernisasi dan
menjadi dasar bagi pembangunan di masa depan.
Dalam penelitian tentang pemindahan ibukota, Indonesia harus banyak
belajar dari negara lain yang telah memindahkan ibukotanya. Sejak Perang Dunia
ke-2, belasan negara telah melakukan kebijakan untuk memindahkan ibukotanya.
Kebijakan pemindahan ibukota tak bisa dilepaskan dalam teori perkembangan
ibukota. Hendarto dalam Novita (2003) mengungkapkan tiga faktor utama
perkembangan ibukota yaitu faktor penduduk, faktor sosial ekonomi, dan faktor
sosial budaya. Dascher (2000) juga mengungkapkan bahwa ada keterkaitan antara
politik dengan geografi dalam analisis cross section ibukota negara. Schatz (2004)
dalam penelitiannya dengan negara mantan Uni Soviet dalam 12 periode dan
negara Afrika dalam 26 tahun periode mengungkapkan bahwa pemindahan
ibukota juga berfungsi untuk membangun karakter bangsa dan negara.
Analisis dari negara lain akan menjadi masukan dan pelajaran yang
berharga untuk Indonesia. Dengan melihat faktor pendorong dari negara lain,
Indonesia dapat membandingkan kondisinya dengan hasil analisis sehingga dapat
menentukan kebijakan dengan lebih baik. Berikut adalah kerangka pemikiran
yang disajikan dalam Gambar 2.
18
Pemindahan Ibukota
Negara Dunia
Ekonomi Politik Geografi
Analisis Regresi Logistik
Masalah
Jakarta
Masalah
Nasional
Wacana
Pemindahan
Ibukota
Kondisi di
Indonesia
Permasalahan
Ibukota
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran,
maka hipotesis penelitian ini adalah:
a. GDP per kapita memiliki pengaruh negatif terhadap peluang negara untuk
memindahkan ibukotanya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi GPD per
kapita yang dimiliki sebuah negara maka negara tersebut termasuk dalam
kategori negara maju. Negara maju biasanya memiliki perekonomian,
19
teknologi, dan manajamen kota yang baik. Hal ini biasanya membuat negara
maju sehingga bisa mengatasi berbagai masalah ekonomi dan demografi
yang biasanya timbul di ibukota sehingga negara maju tidak perlu sampai
memindahkan ibukotanya.
b. Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh negatif terhadap peluang negara
untuk memindahkan ibukotanya, sebab semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi maka semakin baik kondisi perekonomian sebuah negara. Negara
yang memiliki perekonomian yang baik biasanya termasuk kedalam negara
maju yang memiliki kebijakan dan tata kelola kota yang baik sehingga bisa
mengatasi berbagai masalah yang timbul di ibukotanya.
c. Luas wilayah memiliki pengaruh negatif terhadap peluang negara untuk
memindahkan ibukotanya, karena semakin luas sebuah negara maka negara
tersebut memiliki lahan yang cukup untuk menampung pertumbuhan
penduduk dan kepadatan populasi negaranya.
d. Populasi memiliki pengaruh positif terhadap peluang negara untuk
memindahkan ibukotanya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi populasi
sebuah negara maka negara tersebut akan semakin padat dan cenderung
memiliki permasalahan demografi dalam kotanya sehingga semakin
mendorong sebuah negara untuk memindahkan ibukotanya.
e. Kepadatan penduduk memiliki pengaruh positif terhadap peluang negara
untuk memindahkan ibukotanya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi
kepadatan penduduk suatu negara maka negara tersebut lebih cenderung
memiliki masalah-masalah demografi. Kota yang terlampau padat juga
biasanya memiliki kualitas hidup yang tidak baik karena tingginya harga
dan berbagai masalah perkotaan. Masalah yang timbul akibat kepadatan
penduduk bisa menciptakan masalah yang mengharuskan negara tersebut
memindahkan ibukotanya.
f. Bentuk negara republik memiliki pengaruh negatif terhadap peluang negara
untuk memindahkan ibukotanya, sebab negara republik yang demokratis
cenderung sulit untuk meyakinkan rakyatnya untuk memindahkan
ibukotanya. Selain itu, kebijakan pemindahan ibukota dalam sejarahnya
banyak dilakukan oleh pemimpin yang kuat dan ambisius jika dibandingkan
oleh kekuatan demokrasi.
g. Bentuk wilayah kepulauan memiliki pengaruh positif terhadap peluang
negara untuk memindahkan ibukotanya karena negara kepulauan seringkali
mengalami masalah bencana alam dan memiliki daerah yang terpisah-pisah
oleh laut sehingga memerlukan kebijakan khusus untuk mengatasi
sentralisasi perekonomian dan pemerintahan.
h. Tipe ibukota memiliki pengaruh positif terhadap peluang negara untuk
memindahkan ibukotanya karena memecah ibukota menjadi dua adalah hal
yang lebih memungkinkan dalam pemindahan ibukota. Hal ini dikarenakan
sumberdaya yang sudah memusat di ibukota lama yang tidak mungkin
untuk ditinggalkan. Pemecahan ibukota menjadi lebih dari satu
meningkatkan peluang sukses sebuah negara untuk memindahkan
ibukotanya.
20
METODE
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder dengan rentang jarak
sepuluh tahun yaitu tahun 1990, 2000, dan 2010. Data sekunder yang digunakan
adalah data yang diperlukan untuk pengambilan keputusan pemindahan suatu
negara meliputi variabel keputusan pemindahan ibukota (pindah atau tidak), GDP
per kapita, pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, luas
wilayah, bentuk pemerintahan (republik atau non-republik), bentuk wilayah
(kepulauan atau non-kepulauan), dan tipe ibukota (dipisah dan non-dipisah). Data
dibuat dengan metode pooled data sebelum dianalisis menggunakan perangkat
lunak IBM SPSS. Data sekunder yang digunakan didapat dari berbagai sumber
yaitu The World Bank, The World Factbook dari The Central Intelligence Agency
USA (CIA), Global Finance Data (GFD), United Nation Data (UNdata) dan
sumber lainnya. Selain itu pula dilakukan studi pustaka yang bersumber dari buku
literatur, jurnal, dan hasil penelitian terkait.
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Metode yang digunakan untuk melihat karakteristik dan faktor
pendorong negara yang memindahkan ibukotanya menggunakan analisis regresi
logistik. Pada penelitian ini, pengolahan data dilakukan secara bertahap. Tahap
yang pertama adalah pengelompokkan data berdasarkan tahun yang dilanjutkan
dengan penyatuan data dalam bentuk pooled data. Tahap yang berikutnya adalah
pengolahan data dalam model analisis. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan software Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics versi 22
untuk Windows.
Metode Logit
Metode analisis data yang digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang
memengaruhi persepsi individu adalah logistic regression model. Regresi logistik
merupakan analisis yang mengkaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas
( ) terhadap peubah respon ( ) melalui model persamaan matematis tertentu.
Analisis regresi logistik merupakan suatu teknik untuk menerangkan peluang
kejadian tertentu dari kategori peubah respon (Firdaus 2008).
Menentukan keputusan negara untuk memindahkan Ibukotanya berdasarkan
karakteristik yang telah ditentukan dan berupa data biner. Data biner merupakan
bentuk data yang menggambarkan pilihan ―Ya atau Tidak‖. Dalam kondisi seperti
ini, jenis penggunaan regresi yang sesuai untuk pemodelan adalah regresi logit.
Logistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi logistik
dengan dua pilihan (binary logistic regression) yaitu regresi logistik dengan dua
kategori atau binomial pada variabel dependennya ―1‖ jika negara pernah
memindahkan ibukotanya, dan ―0‖ jika negara tidak memindahkan ibukotanya.
21
Hal yang membedakan model regresi logit dengan regresi biasa adalah peubah
terikat dalam model bersifat dikotomi (Hosmer dan Lameshow, 1989).
Menurut Ghozali (2006), kelebihan model regresi logistik adalah lebih
fleksibel dibanding teknik lainnya, antara lain:
1. Regresi logistik tidak memiliki asumsi normalitas atas variabel bebas yang
digunakan dalam model. Artinya variabel penjelas tidak harus memiliki
distribusi normal linier maupun memiliki varian yang sama setiap grup.
2. Variabel bebas dalam regresi logistik bisa merupakan campuran dari
variabel kontinyu, diskrit dan dikotomis. Regresi logistik digunakan apabila
distribusi respon atas variabel terikat diharapkan non-linier dengan satu atau
lebih variabel bebas.
Spesifikasi Model Logit untuk Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Pemindahan Ibukota
Perumusan model secara lengkap dapat dinotasikan dalam persamaan
matematis sebagai berikut:
pi1
pilogLogit(pi) e
dimana:
Logit(pi) = Peluang negara memindahkan ibukotanya (bernilai 1 untuk
―pindah‖ dan bernilai 0 untuk ―tidak pindah‖)
0 = Intersep
= Koefisien dari regresi
GD = GDP per kapita (dolar)
PT = Pertumbuhan ekonomi (persen)
LS = Luas wilayah (km2)
JP = Jumlah penduduk (jiwa)
KP = Kepadatan penduduk (jiwa/ km2)
= Dummy bentuk pemerintahan (republik=1, non-republik=0)
= Dummy bentuk wilayah (kepulauan=1, non-kepulauan=0)
= Dummy tipe ibukota (dipisah=1, non-dipisah=0)
= Galat
Pengujian terhadap parameter model dilakukan untuk memeriksa kebaikan
model. Uji statistik yang dilakukan adalah dengan menggunakan statistik Odds
Ratio, uji G atau likelihood ratio, dan statistik uji Wald. Penjelasan setiap
pengujian adalah sebagai berikut :
1. Odds Ratio
Odds Ratio merupakan rasio peluang terjadi pilihan-1 terhadap peluang
terjadi pilihan-0. Koefisien bertanda positif menunjukan nilai odds ratio
22
yang lebih besar dari satu, hal tersebut mengindikasikan bahwa peluang
kejadian sukses lebih besar dari peluang kejadian tidak sukses. Sedangkan
koefisien yang bertanda negatif mengindikasikan bahwa peluang kejadian
tidak sukses lebih besar dari peluang kejadian sukses (Juanda, 2009).
2. Uji Wald
Uji Wald digunakan untuk uji nyata parsial bagi masing-masing koefisien
variabel. Dalam pengujian hipotesa, jika koefisien dari variabel penjelas
sama dengan nol, hal ini berarti variabel penjelas tidak berpengaruh pada
variabel respon. Uji wald mengikuti sebaran normal baku dengan kaidah
keputusan menolak H0 jika W > Zα/2 atau p-value < α. (Hosmer dan
Lemeshow, 1989).
Rumus umum untuk uji Wald sebagai berikut :
H0 : βi = 0
H1 : βi ≠ 0
dimana ;
βi = Vektor koefisien dihubungkan dengan penduga (koefisien X)
SE (βi) = Galat dari kesalahan βi
Definisi Operasional Penelitian
Variabel tak bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon
terhadap pemindahan ibukota negara. Sementara untuk variabel bebas yang
digunakan adalah GDP per kapita (GD), pertumbuhan ekonomi (PT), luas
wilayah (LS), jumlah penduduk (JP) dan kepadatan penduduk (KP). Penelitian ini
juga menggunakan tiga dummy dalam model regresinya yaitu dummy bentuk
pemerintahan (D1), dummy bentuk wilayah (D2), dan dummy tipe ibukota (D3).
Data dari variabel-variabel ini merupakan data sekunder yang didapat dari
berbagai sumber. Berikut adalah definisi operasional dalam penelitian ini:
a. Pemindahan ibukota negara
Variabel ini adalah variabel yang mencerminkan kebijakan suatu negara
dalam dua pilihan yaitu telah memindahkan ibukotanya atau tidak
memindahkan ibukotanya. Variabel ini memiliki nilai ukuran nominal,
dimana:
1 = Jika negara memindahkan ibukotanya
0 = Jika negara tidak memindahkan ibukotanya
b. GDP per kapita
Variabel ini menunjukkan nilai GDP per kapita yang dimiliki sebuah negara
dalam tahun tertentu. Variabel ini diukur menggunakan ukuran rasio dengan
satuan dolar Amerika ($).
23
c. Pertumbuhan ekonomi
Variabel ini menunjukkan nilai pertumbuhan ekonomi yang dimiliki sebuah
negara dalam tahun tertentu. Variabel ini diukur menggunakan ukuran rasio
dengan satuan persen (%).
d. Luas wilayah
Variabel ini menunjukkan ukuran luas land area sebuah negara. Land area
adalah wilayah yang berupa daratan yang dapat ditinggali oleh penduduk.
Variabel ini diukur menggunakan ukuran rasio dengan satuan kilometer
persegi (km2)
e. Jumlah penduduk
Variabel ini menunjukkan nilai jumlah penduduk sebuah negara dalam
tahun tertentu. Variabel ini diukur menggunakan ukuran rasio dengan satuan
jiwa.
f. Kepadatan penduduk
Variabel ini menunjukkan nilai kepadatan penduduk sebuah negara dalam
tahun tertentu. Variabel ini dihitung dengan membagi jumlah penduduk
dengan luas daratan sebuah negara dan diukur menggunakan ukuran rasio
dengan satuan jiwa per km2 luas daratan.
g. Bentuk pemerintahan
Variabel ini adalah variabel dummy yang mencerminkan bentuk
pemerintahan yang dianut sebuah negara dalam menjalankan negaranya.
Variabel ini memiliki nilai ukuran nominal, dimana:
1 = Negara memiliki bentuk pemerintahan republik
0 = Negara tidak memiliki bentuk pemerintahan republik (non-republik)
h. Bentuk wilayah
Variabel ini adalah variabel dummy yang mencerminkan bentuk wilayah
yang dimiliki sebuah negara. Variabel ini memiliki nilai ukuran nominal,
dimana:
1 = Negara memiliki bentuk wilayah kepulauan
0 = Negara tidak memiliki bentuk wilayah kepulauan (non-kepulauan)
i. Tipe Ibukota
Variabel ini adalah variabel dummy yang mencerminkan tipe ibukota yang
dimiliki sebuah negara. Variabel ini memiliki nilai ukuran nominal, dimana:
1 = Negara memiliki tipe ibukota yang dipisah
0 = Negara tidak memiliki tipe ibukota yang dipisah (non-dipisah)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Negara yang Memindahkan Ibukotanya
Sejak Perang Dunia ke-2 berakhir, terdapat belasan negara yang telah
memindahkan ibukotanya. Pemindahan ibukota yang terjadi dilakukan dengan
berbagai alasan, tapi secara umum terdapat tiga alasan utama negara
memindahkan ibukotanya yaitu pertimbangan sosial ekonomi, pertimbangan
politik, dan pertimbangan geografis. Pemindahan ibukota ke kota baru yang
24
dirancang dan dieksekusi dengan baik (well-designed and well-executed)
dianggap dapat menjadi solusi berbagai permasalahan dalam skala regional
maupun skala nasional.
Negara yang telah memindahkan ibukotanya termasuk dalam tipe relocated
capitals atau constructed capitals. Relocated atau constructed capitals
menunjukkan bahwa negara tersebut telah memindahkan ibukota lama dan dan
membangun ibukota baru. Berikut adalah gambar contoh negara yang telah
memindahkan ibukotanya.
Sumber: Rawat, 2010 (diolah)
Gambar 3 Unifikasi ibukota Jerman dan Vietnam
Gambar 3 menunjukkan dua negara yaitu Jerman dan Vietnam yang
memindahkan ibukotanya setelah konflik selesai. Jerman memindahkan
ibukotanya dari Bonn ke Berlin sebagai hasil dari unifikasi Jerman Barat dan
Jerman Timur pada tahun 1990. Vietnam menyatukan ibukotanya ke Hanoi
setelah konflik Vietnam Utara dan Vietnam Selatan pada tahun 1975. Berlin
merupakan ibukota yang juga merupakan kota terbesar di Jerman, sedangkan
Vietnam memiliki ibukota (Hanoi) yang bukan merupakan kota terbesar di
negaranya (Ho Chi Minh City yang dahulu bernama Saigon).
Gambar 4 menunjukkan contoh negara yang memindahkan ibukotanya dari
kota lama ke kota yang baru. Terlihat dalam gambar bahwa kota yang menjadi
ibukota baru bukanlah kota terbesar dalam negara tersebut. Turki memindahkan
ibukotanya dari Istanbul ke Ankara pada 1923, Brasil memindahkan ibukotanya
dari Rio De Janeiro ke Brasilia pada tahun 1960. Malawi memindahkan
ibukotanya dari Blantyre ke Lilongwe pada tahun 1975, Nigeria memindahkan
ibukotanya dari Lagos ke Abuja pada tahun 1991, dan Kazakhstan memindahkan
ibukotanya dari Almaty ke Astana pada tahun 1998.
25
Sumber: Rawat, 2010 (diolah)
Gambar 4 Contoh negara yang memindahkan ibukotanya
Berikut pada Table 4 adalah daftar tabel negara yang telah memindahkan
ibukotanya setelah Perang Dunia ke-2. Tabel 4 menunjukkan setidaknya terdapat
tiga belas negara yang telah memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2
berakhir. Ketiga belas negara tersebut adalah negara yang memindahkan
ibukotanya sehingga ibukotanya masuk kedalam kategori relocated capitals atau
constructed capitals. Tabel 4 tidak memasukkan negara-negara yang tidak
memindahkan ibukotanya (hanya memisahkan antara kota eksekutif dan legislatif
(split capitals)). Contoh ibukota yang termasuk kategori split capitals adalah
Amsterdam - The Hague (Belanda) dan Kuala Lumpur - Putrajaya (Malaysia).
Negara dalam Tabel 4 adalah negara-negara yang akan dimasukkan dalam
model analisis sebagai negara yang telah memindahkan ibukotanya. Dalam tiga
dasawarsa pertama sejak Perang Dunia ke-2 berakhir terdapat enam negara yang
memindahkan ibukotanya. Kemudian dalam tiga dasawarsa selanjutnya terdapat
tujuh negara yang memindahkan ibukotanya. Negara terbaru yang memindahkan
ibukotanya adalah Myanmar. Negara dari Asia Tenggara ini memindahkan
ibukotanya dari Rangoon ke Naypyidaw pada tahun 2005.
26
Tabel 4 Negara yang memindahkan ibukotanya sejak Perang Dunia ke-2
No. Negara Ibukota Lama Ibukota Baru Tahun
Relokasi
1 Montenegro Cetinje Podgorica 1946
2 Brasil Rio de Janeiro Brasilia 1960
3 Pakistan Rawalpindi Islamabad 1967
4 Belize Belize City Belmopan 1970
5 Guinea Bissau Boe Bissau 1974
6 Malawi Zomba Lilongwe 1974
7 Filipina Quezon City Manila 1976
8 Sri Lanka Colombo Sri Jayawardenapura Kotte 1982
9 Pantai Gading Abidjan Yamoussoukro 1983
10 Nigeria Lagos Abuja 1991
11 Tanzania Dodoma Dar Es Salaam 1996
12 Kazakhstan Almaty Astana 1997
13 Myanmar Rangoon Naypyidaw 2005
Gambar 5 Negara yang menjadi sampel dalam penelitian
Karakteristik Negara Berdasarkan GDP per Kapita
Untuk tujuan penelitian dan analisis, Bank Dunia mengklasifikasikan negara
dalam empat klasifikasi pendapatan, yaitu:
Pendapatan rendah, yaitu negara yang memiliki pendapatan $1.005 atau
kurang.
27
Pendapatan menengah bawah, yaitu negara yang memiliki pendapatan
antara $1.006 sampai $3.975.
Pendapatan menengah atas, yaitu negara yang memiliki pendapatan antara
$3.976 sampai $12.275.
Pendapatan tinggi, yaitu negara yang memiliki pendapatan lebih dari
$12.275
Negara pendapatan rendah dan menengah adalah negara yang disebut juga
sebagai kelompok negara berkembang. Sementara itu negara dengan
pendapatan tinggi adalah golongan yang disebut juga sebagai kelompok
negara maju.
Hubungan antara pemindahan ibukota dengan GDP per kapita bisa dilihat
pada Tabel 5. Tabel dibuat berdasarkan tahun, keterangan pemindahan
ibukota serta kategori GDP per kapita negara yang diteliti. Terlihat bahwa
negara yang memiliki GPD tinggi relatif tidak memindahkan ibukotanya
jika dibandingkan dengan negara yang memiliki GDP menengah dan rendah.
Tabel 5 Hubungan GDP per kapita dengan pemindahan ibukota
Tahun Keterangan
GDP per kapita
Rendah Menengah Menengah
Tinggi Bawah Atas
1990 Pindah 9 4 0 0
Tidak Pindah 5 3 2 3
2000 Pindah 8 5 0 0
Tidak Pindah 4 2 4 3
2010 Pindah 4 5 4 0
Tidak Pindah 1 4 3 5
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa tidak ada satu pun negara yang
memindahkan ibukotanya termasuk dalam kategori GPD per kapita tinggi di tahun
1990, 2000, maupun 2010. Walaupun tidak ada yang termasuk kategori GPD per
kapita tinggi, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah negara yang naik
dari GDP per kapita lebih rendah ke GDP per kapita lebih tinggi. Untuk negara
yang memindahkan ibukotanya, pada tahun 1990 terdapat sembilan negara di
kategori GDP per kapita rendah, lalu pada tahun 2000 berkurang menjadi delapan
negara, dan berkurang lagi secara signifikan menjadi hanya empat negara pada
tahun 2010. Di kategori GDP per kapita menengah kebawah terjadi peningkatan
jumlah negara yang memindahkan ibukotanya. Jumlah ini meningkat karena
adanya perpindahan status negara dari kategori GDP per kapita rendah ke
menengah kebawah. Untuk kategori GDP per kapita menengah atas, jika pada
tahun 1990 dan 2000 tidak ada satu pun negara yang memindahkan ibukotanya
yang masuk dalam kategori tersebut, pada tahun 2010 terjadi peningkatan
sebanyak empat negara. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara yang
28
memindahkan ibukotanya terus mengalami peningkatan GDP per kapita dari
tahun ke tahun.
Karakteristik Negara Berdasarkan Pertumbuhan Ekonomi
Dalam penelitian World Bank (2004), pertumbuhan ekonomi di negara
berkembang dalam rata-rata lebih tinggi dibandingkan negera maju. Dalam
rentang waktu 1965 – 1999, pertumbuhan rata-rata di negara pendapatan rendah
adalah sebesar 4,1%, negara pendapatan menengah sebesar 4,2%, dan negara
pendapatan tinggi sebesar 3,2%. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak menunjukkan status perkembangan suatu negara.
Tingkat pertumbuhan ekonomi negara yang dianalisis dalam penelitian ini
memiliki nilai yang bervariasi. Pada tahun 1990 negara dengan pertumbuhan
ekonomi terbesar adalah Belize dengan 10,6% dan negara dengan pertumbuhan
ekonomi terkecil adalah Kazakhstan dengan -8,2%. Pada tahun 2000 Myanmar
menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar dengan 13,7% dan Pantai
Gading menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terkecil dengan -3,7%.
Selanjutnya pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi terendah adalah Portugal
dengan 1,4% dan pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Cina dengan 10,4%.
Tabel 6 Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemindahan ibukota
Tahun Keterangan
Pertumbuhan Ekonomi
negatif 1% - 4% 4% - 7% ≥7%
1990 Pindah 4 2 4 3
Tidak Pindah 3 4 5 1
2000 Pindah 1 2 6 4
Tidak Pindah 1 6 4 2
2010 Pindah 0 5 2 6
Tidak Pindah 0 4 6 3
Hubungan antara pemindahan ibukota dengan pertumbuhan ekonomi bisa
dilihat pada Tabel 6. Di tahun 1990 keadaan antara negara yang memindahkan
ibukotanya dengan negara yang tidak memindahkan ibukotanya relatif berimbang.
Perbedaan terbesar ada di kategori 1% - 4% dan diatas 7% dimana terdapat
perbedaan sebanyak dua negara. Di tahun 2000 dan 2010 terlihat bahwa negara
yang memindahkan ibukotanya memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih baik
dimana negara banyak yang masuk dalam kategori pertumbuhan ekonomi 4% -
7% dan diatas 7%. Hal ini menunjukkan bahwa negara yang memindahkan
ibukotanya banyak memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Terlihat bahwa
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, negara cenderung untuk memindahkan
ibukotanya. Secara umum ekonomi dunia berjalan dengan lebih baik dilihat dari
29
menurunnya jumlah negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif
dari tahun 1990 – 2010.
Karakteristik Negara Berdasarkan Luas Wilayah
Luas wilayah dari negara yang diteliti memiliki nilai yang bervariasi. Luas
wilayah dihitung berdasarkan land area sebuah negara. Land area adalah wilayah
yang berupa daratan yang dapat ditinggali oleh penduduk. Negara dengan luas
wilayah terkecil adalah Montenegro dengan luas wilayah 13.450 km2
dan negara
dengan luas terbesar adalah Cina dengan luas wilayah 9.327.480 km2.
Gambar 6 Distribusi negara berdasarkan luas wilayah
Dalam Gambar 6 dapat dilihat bahwa kelompok minoritas adalah negara-
negara yang memiliki luas antara 10.000 – 100.000 km2 dengan frekuensi
sebanyak delapan negara. Kelompok dengan rentang 100.000 – 1000.000 km2
memiliki frekuensi sebanyak sembilan negara. Jumlah ini sama dengan jumlah
negara dalam kelompok negara yang memiliki luas diatas 1000.000 km2.
Tabel 7 Hubungan luas wilayah dengan pemindahan ibukota
Respon
Luas Wilayah
Total 10ribu –
100ribu
km2
100ribu –
1juta km2
≥ 1juta km2
Pindah 5 5 3 13
Tidak Pindah 3 4 6 13
Total 8 9 9 26
Dalam Tabel 7 dapat dilihat hubungan antara luas wilayah dengan
pemindahan ibukota. Dalam rentang 10.000 – 100.000 km2 terdapat lima negara
7.4
7.6
7.8
8
8.2
8.4
8.6
8.8
9
9.2
10ribu - 100ribu 100ribu - 1juta ≥ 1juta frekuensi negara
30
yang memindahkan ibukotanya dan tiga negara yang tidak memindahkan
ibukotanya. Dalam rentang 100.000 – 1000.000 km2
terdapat lima negara yang
memindahkan ibukotanya dan empat negara yang tidak memindahkan ibukotanya,
sedangkan hanya tiga negara yang memindahkan ibukotanya dalam kelompok
yang memiliki luas wilayah diatas 1000.000 km2
dengan enam negara yang tidak
memindahkan ibukotanya.
Karakteristik Negara Berdasarkan Jumlah Penduduk
World Bank (2004) menyatakan bahwa dinamika populasi adalah satu dari
faktor kunci yang harus dipertimbangkan dalam penelitian tentang perkembangan
(development). Dalam skala global, negara berkembang memiliki share paling
besar dalam kontribusi terhadap jumlah penduduk dunia. Dalam perkembangan
kedepan, pertumbuhan dan jumlah penduduk yang semakin besar akan
memengaruhi tren dan kebijakan ekonomi negara-negara dunia khususnya negara
berkembang yang belum memiliki pondasi dan kebijakan yang kuat dalam
struktur ekonominya.
Tabel 8 Hubungan jumlah penduduk dengan pemindahan ibukota
Tahun Keterangan
Jumlah Penduduk
≤ 25
juta
25 juta –
50 juta
50 juta –
100 juta
≥ 100
juta
1990 Pindah 7 2 2 2
Tidak Pindah 7 1 3 2
2000 Pindah 7 2 1 3
Tidak Pindah 7 1 3 2
2010 Pindah 7 2 1 3
Tidak Pindah 7 1 1 4
Hubungan jumlah penduduk dengan pemindahan ibukota dapat dilihat
dalam Tabel 8. Negara lebih banyak terkonsentrasi dalam kategori negara dengan
jumlah penduduk dibawah 25 juta orang dengan jumlah yang sama antara negara
yang memindahkan ibukotanya dengan yang tidak memindahkan ibukotanya yaitu
tujuh. Jumlah ini tetap konstan sejak tahun 1990 hingga tahun 2010. Dari tahun ke
tahun dapat dilihat bahwa jumlah negara dalam masing-masing kategori relatif
konstan, kategori dibawah 25 juta dan 25 – 50 juta tidak ada yang berubah sejak
1990 hingga 2010. Terjadi sedikit perubahan di kategori 50 – 100 juta dan diatas
100 juta dengan perbandingan yang tidak terlalu berbeda antara negara yang
memindahkan ibukotanya dengan yang tidak memindahkan ibukotanya.
Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa diatas rentang 25 juta, banyak negara
yang memindahkan ibukotanya adalah negara dengan jumlah penduduk menengah
antara 25 – 50 juta.
31
Karakteristik Negara Berdasarkan Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk adalah salah faktor penting yang dianalisis sebagai
bagian dari perumusan kebijakan ekonomi regional. Negara-negara yang
dianalisis dalam penelitian ini memiliki jumlah kepadatan penduduk yang
bervariasi. Negara yang memiliki jumlah kepadatan penduduk terkecil adalah
Mongolia dengan kepadatan penduduk 1 jiwa/ km2 pada tahun 1990, sedangkan
negara yang memiliki jumlah kepadatan penduduk terbesar adalah Belanda
dengan kepadatan penduduk 493 jiwa/ km2 pada tahun 2010.
Tabel 9 Hubungan kepadatan penduduk dengan pemindahan ibukota
Tahun Keterangan
Jumlah Penduduk
≤ 50
jiwa 50 – 100 jiwa
101 – 150
jiwa
≥ 151
jiwa
1990 Pindah 7 2 2 2
Tidak Pindah 5 2 4 2
2000 Pindah 6 2 2 3
Tidak Pindah 4 3 4 2
2010 Pindah 4 4 0 5
Tidak Pindah 4 3 4 2
Hubungan kepadatan penduduk dengan pemindahan ibukota dapat dilihat
dalam Tabel 9. Negara lebih banyak terkonsentrasi dalam kategori negara dengan
kepadatan penduduk dibawah 50 jiwa/ km2. Di tahun 1990 dan 2000 terdapat
perbedaan perbandingan antara negara yang memindahkan ibukotanya dengan
yang tidak memindahkan ibukotanya dalam kategori kepadatan penduduk
dibawah 50 jiwa/ km2. Jika dibandingkan dalam kategori tersebut maka lebih
banyak negara yang memindahkan ibukotanya dibandingkan dengan negara yang
tidak memindahkan ibukotanya. Pada tahun 2010 jumlah masing-masing negara
dalam kategori tersebut sama banyak dengan jumlah empat negara.
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa negara yang memindahkan
ibukotanya memiliki kepadatan penduduk yang terus naik dibandingkan dengan
negara yang tidak memindahkan ibukotanya. Negara yang tidak memindahkan
ibukotanya bahkan jumlahnya konstan dalam tiap kategori di tahun 2000 dan
2010. Kepadatan penduduk di negara yang memindahkan ibukotanya terus naik
hingga pada tahun 2010 terdapat lima negara yang memindahkan ibukotanya
dalam kategori kepadatan penduduk diatas 150 jiwa/ km2. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin padat sebuah negara maka negara tersebut cenderung
memindahkan ibukotanya.
32
Karakteristik Negara Berdasarkan Bentuk Pemerintahan
Bentuk pemerintahan yang dianalisis dalam penelitian ini membagi negara
dalam dua kategori yaitu republik dan non-republik. Dalam Gambar 7 dapat
dilihat distribusi negara berdasarkan bentuk pemerintahan. Terdapat delapan belas
negara yang memiliki bentuk pemerintahan republik dan sisanya yaitu delapan
negara memiliki bentuk pemerintahan non-republik.
Gambar 7 Distribusi negara berdasarkan bentuk pemerintahan
Tabel 10 Hubungan bentuk pemerintahan dengan pemindahan ibukota
Keterangan Bentuk Pemerintahan
Total Republik Non-Republik
Pindah 9 4 13
Tidak Pindah 9 4 13
Total 18 8 26
Hubungan antara pemindahan ibukota dengan bentuk pemerintahan dapat
dilihat dalam Tabel 10. Terdapat masing-masing sembilan negara dengan bentuk
pemerintahan republik yang memindahkan dan tidak memindahkan ibukotanya.
Selanjutnya terdapat masing-masing empat negara dengan bentuk pemerintahan
non-republik yang memindahkan dan tidak memindahkan ibukotanya. Hasil
dalam tabel menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan hubungan antara bentuk
pemerintahan republik dan non-republik. Jumlah antara negara yang pindah dan
tidak pindah tepat sama yaitu sembilan untuk bentuk pemerintahan republik dan
empat untuk bentuk pemerintahan non-republik. Berdasarkan tabel dapat dilihat
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Republik Non-Republikfrekuensi negara
33
bahwa negara yang memindahkan ibukotanya lebih banyak memiliki bentuk
pemerintahan republik yaitu sebanyak sembilan negara dibandingkan dengan yang
memiliki bentuk pemerintahan non-republik sebanyak empat negara.
Karakteristik Negara Berdasarkan Bentuk Wilayah
Bentuk wilayah yang dianalisis dalam penelitian ini membagi negara dalam
dua kategori yaitu negara kepulauan dan negara non-kepulauan. Dalam Gambar 8
dapat dilihat bahwa terdapat lima negara dengan bentuk wilayah kepulauan dan
terdapat 21 negara dengan bentuk wilayah non-kepulauan.
Gambar 8 Distribusi negara berdasarkan bentuk wilayah
Hubungan antara pemindahan ibukota dengan bentuk pemerintahan dapat
dilihat dalam Tabel 11. Terdapat tiga negara kepulauan yang memindahkan
ibukotanya dan dua negara kepulauan yang tidak memindahkan ibukotanya.
Selanjutnya terdapat sepuluh negara non-kepulauan yang memindahkan
ibukotanya dan sebelas negara non-kepulauan yang tidak memindahkan
ibukotanya. Hasil pada Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih banyak negara non-
kepulauan yang memindahkan ibukotanya dibandingkan dengan negara kepulauan.
Perbedaan jumlah cukup besar dengan sepuluh negara non-kepulauan yang pindah
dan tiga negara kepulauan yang pindah. Hal ini menunjukkan bahwa negara non-
kepulauan lebih cenderung untuk memindahkan ibukotaya dibandingkan dengan
negara kepulauan.
0
5
10
15
20
25
Kepulauan Non-Kepulauanfrekuensi negara
34
Tabel 11 Hubungan bentuk wilayah dengan pemindahan ibukota
Keterangan Bentuk Wilayah
Total Kepulauan Non-Kepulauan
Pindah 3 10 13
Tidak Pindah 2 11 13
Total 5 21 26
Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemindahan Ibukota dengan
Menggunakan Model Logistik
Uji regresi logistik yang dilakukan adalah uji binomial dengan dua kategori
variabel dependen, yakni memindahkan ibukota dan tidak memindahkan ibukota.
Model regresi logistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi
logistik dengan dua pilihan (binnary logistic regression) yaitu regresi logistik
dengan dua kategori atau binomial pada variabel dependennya (1 = jika
memindahkan ibukota, 0 = jika tidak memindahkan ibukota). Variabel-variabel
penjelas yang digunakan dalam model ini terdiri dari lima variabel yaitu GDP per
kapita, pertumbuhan ekonomi, luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan
penduduk, dan tiga dummy yaitu bentuk pemerintahan, bentuk wilayah, dan tipe
ibukota.
Tabel 12 dan Tabel 13 menyajikan hasil dari pengujian untuk model logit
yang diperoleh, maka interpretasi dari nilai-nilai adalah sebagai berikut :
1. Hasil Hosmer and Lemeshow Test dapat dilihat nilai dari p-value yaitu
sebesar 0,82 yang artinya nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata 5 persen
(0,05) maka tolak H0 yang artinya model logit fit dan dapat diterima serta
pengujian hipotesis dapat dilakukan.
2. Nilai Overall Precentage sebesar 78,2 yang artinya model logit mampu
mengklasifikasikan secara tepat sebesar 78,2 persen.
Tabel 12 Hasil Hosmer and Lemeshow Test dan Overall Percentage
Hasil Pengujian Model Nilai yang Diperoleh
Hosmer and Lemeshow Test 0,82
Overall Percentage 78,2
35
Tabel 13 Analisis faktor-faktor yang memengaruhi pemindahan ibukota negara
Variabel Koefisien P-value Odd Ratio
GDP per kapita -39,373 0,001* 0,0001
Pertumbuhan Ekonomi 0,072 0,381 1,074
Luas Wilayah 0,074 0,021* 1,077
Jumlah Penduduk -0,001 0,067** 0,999
Kepadatan Penduduk 0,014 0,017* 1,014
Bentuk Pemerintahan -0,849 0,428 0,428
Bentuk Wilayah -0,383 0,702 1,467
Tipe Ibukota 1,566 0,040* 4,786
Konstanta -0,136 0,885 0,873
Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 5%
** signifikan pada taraf nyata 10%
Berdasarkan hasil output pada Tabel 8 maka model logit yang diperoleh adalah:
Tabel 13 menunjukkan hasil dari analisis dengan mengunakan model
logistik. Dapat dilihat dalam tabel bahwa terdapat empat variabel yang signifikan
yaitu GDP per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk.
Penjelasan untuk masing-masing varibel akan dijelaskan sebagai berikut:
1. GDP per kapita
Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,001 yang nilainya lebih kecil
dari taraf nyata 5 persen (0,05), yang artinya signifikan pada taraf
kepercayaan 95 persen sehingga tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa GDP
per kapita berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. GDP
per kapita memiliki koefisien negatif sehingga semakin tinggi GDP maka
negara akan semakin tidak memindahkan ibukotanya. Hal ini sesuai dengan
hipotesis awal bahwa GDP per kapita berhubungan negatif terhadap
pemindahan ibukota. Variabel GDP per kapita memiliki nilai odd ratio
sebesar 0,0001 yang artinya semakin tinggi nilai GDP maka peluang untuk
tidak memindahkan ibukotanya adalah 0,0001 kalinya dibandingkan dengan
memindahkan ibukotanya.
Kesimpulan yang didapat adalah semakin tinggi GDP per kapita suatu
negara maka negara tersebut cenderung tidak memindahkan ibukotanya,
begitu juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa negara maju dengan
GDP per kapita yang lebih besar biasanya memiliki tata kota yang lebih
baik sehingga lebih sedikit mengalami masalah demografi dan perkotaan.
36
Selain itu banyak negara yang memindahkan ibukotanya dengan tujuan
pemerataan dan peningkatan ekonomi nasional, sehingga negara-negara
dengan GDP per kapita rendah lebih memiliki kecenderungan untuk
memindahkan ibukotanya dengan harapan mendapatkan keuntungan dalam
sisi ekonomi.
2. Pertumbuhan Ekonomi
Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,381 yang nilainya lebih besar
dari taraf nyata 5 persen (0,05) yang artinya terima H0. Hal ini memiliki arti
bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap peluang
pemindahan ibukota. Variabel pertumbuhan ekonomi juga memiliki nilai
odd ratio sebesar 1,074 yang artinya semakin tinggi nilai pertumbuhan
ekonomi maka peluang untuk tidak memindahkan ibukotanya adalah 1,074
kalinya dibandingkan dengan memindahkan ibukotanya.
Hasil ini berbeda dengan hipotesis awal bahwa pertumbuhan ekonomi
berhubungan negatif terhadap pemindahan ibukota. Pertumbuhan ekonomi
berhubungan positif terhadap pemindahan ibukota karena pertumbuhan
ekonomi tidak selalu mencerminkan kemajuan suatu negara. Pertumbuhan
ekonomi seringkali dipengaruhi oleh situasi ekonomi lokal dan global
sebuah negara yang tidak dapat menunjukkan status maju atau tidaknya
sebuah negara. Banyak negara maju yang ternyata memiliki pertumbuhan
ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara berkembang, dan
sebaliknya.
3. Luas Wilayah
Luas wilayah adalah bagian penting dalam tata wilayah dalam wilayah
perkembangan urban. Dalam penelitian didapatkan hasil model logit p-value
sebesar 0,074 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0,05), yang
artinya signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen sehingga tolak H0. Hal
ini menunjukkan bahwa luas wilayah berpengaruh nyata terhadap peluang
pemindahan ibukota. Variabel luas wilayah berbeda dengan hipotesis awal
karena ternyata luas wilayah memiliki koefisien positif sehingga semakin
luas wilayah sebuah negara maka negara akan cenderung memindahkan
ibukotanya.
Semakin luas wilayah maka semakin luas pula berbagai kemungkinan dan
kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin luas wilayah sebuah negara, negara tersebut akan memiliki lebih
banyak pilihan untuk mengatasi masalah demografi dan kependudukan.
Salah satu pilihan dan solusi yang bisa diambil oleh negara adalah
memindahkan ibukotanya. Solusi pemindahan ibukota memerlukan banyak
pilihan dalam hal spasial, dan dengan semakin luas wilayah sebuah negara
maka negara tersebut akan semakin memiliki banyak pilihan dalam
kebijakan spasialnya. Variabel luas wilayah juga memiliki nilai odd ratio
sebesar 1,077 yang artinya semakin tinggi luas wilayah maka peluang untuk
memindahkan ibukotanya adalah 1,077 kalinya dibandingkan dengan tidak
memindahkan ibukotanya.
4. Jumlah Penduduk
Faktor penduduk adalah salah satu hal utama yang memengaruhi
perkembangan suatu kota. Bertambahnya jumlah penduduk karena adanya
penambahan alami maupun karena migrasi berpengaruh dalam kebijakan
37
suatu kota karena termasuk dalam hal yang memengaruhi masalah
demografi. Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,067 yang nilainya
lebih kecil dari taraf nyata 10 persen (0,1) yang artinya tolak H0. Hal ini
memiliki arti bahwa jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap peluang
pemindahan ibukota. Jumlah penduduk memiliki koefisien negatif yaitu -
0,001 yang berbeda dengan hipotesis awal. Jumlah penduduk memiliki
koefisien negatif yang artinya semakin tinggi jumlah penduduk maka negara
cenderung untuk tidak memindahkan ibukotanya. Hal ini dikarenakan
jumlah penduduk tidak selalu berbanding lurus dengan kepadatan. Banyak
masalah perkotaan yang disebabkan bukan hanya oleh jumlah penduduk,
tapi juga lonjakan kepadatan. Jumlah penduduk yang besar tidak langsung
menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki masalah perkotaan pada
ibukotanya. Variabel jumlah penduduk juga memiliki nilai odd ratio sebesar
0,999 yang artinya semakin tinggi jumlah penduduk maka peluang untuk
tidak memindahkan ibukotanya adalah 0,999 kalinya dibandingkan dengan
memindahkan ibukotanya.
5. Kepadatan Penduduk
Kepadatan yang terlalu tinggi akan menimbulkan berbagai permasalahan
kota seperti masalah demografi, dan lingkungan. Hasil model logit diperoleh
p-value sebesar 0,017 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen
(0,05), yang artinya signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen sehingga
tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan penduduk berpengaruh
nyata terhadap peluang pemindahan ibukota. Kepadatan penduduk memiliki
koefisien positif sehingga semakin padat penduduknya maka negara akan
semakin memindahkan ibukotanya. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal
bahwa kepadatan penduduk berpengaruh positif terhadap pemindahan
ibukota.
Kepadatan yang tinggi dan tak terkendali akan menimbulkan berbagai
permasalahan kota sehingga semakin tinggi kepadatan penduduk sebuah
negara maka negara tersebut akan semakin memindahkan ibukotanya.
Masalah yang ditimbulkan tingginya kepadatan penduduk antara lain
menurunnya kualitas hidup, terbentuknya area kumuh, degradasi lingkungan,
tingginya harga, dan disparitas ekonomi. Variabel kepadatan penduduk juga
memiliki nilai odd ratio sebesar 1,014 yang artinya semakin tinggi nilai
kepadatan penduduk maka peluang untuk memindahkan ibukotanya adalah
1,014 kalinya dibandingkan dengan tidak memindahkan ibukotanya.
6. Bentuk Pemerintahan
Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,428 yang nilainya lebih besar
dari taraf nyata 5 persen (0,05) yang artinya terima H0. Hal ini memiliki arti
bahwa bentuk pemerintahan tidak berpengaruh nyata terhadap peluang
pemindahan ibukota. Bentuk pemerintahan memiliki koefisien negatif
sehingga negara dengan bentuk pemerintahan republik lebih cenderung
untuk tidak memindahkan ibukotanya dibandingkan negara dengan bentuk
pemerintahan non-republik. Hal ini sesuai dengan hipotesis karena negara
republik biasanya memiliki sistem pemerintahan demokrasi. Sistem
demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana warga negara lebih bebas
untuk mengungkapkan pendapatnya. Pada sistem demokrasi, jika
pemerintah tidak dapat meyakinkan rakyatnya untuk memindahkan
38
ibukotanya maka hal ini akan membuka peluang adanya kontroversi,
penolakan, diskusi yang berlarut-larut, dan gagalnya rencana pemerintah.
Selain itu, kebijakan pemindahan ibukota dalam sejarahnya banyak
dilakukan oleh pemimpin yang kuat dan ambisius dibandingkan dengan
melalui kekuatan demokrasi.
7. Bentuk Wilayah
Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,702 yang nilainya lebih besar
dari taraf nyata 5 persen (0,05) yang artinya terima H0. Hal ini memiliki arti
bahwa bentuk wilayah tidak berpengaruh nyata terhadap peluang
pemindahan ibukota. Bentuk wilayah memiliki koefisien negatif sehingga
negara dengan bentuk wilayah kepulauan lebih cenderung untuk tidak
memindahkan ibukotanya dibandingkan negara dengan bentuk
pemerintahan non-kepulauan. Hal ini berbeda dengan hipotesis awal dimana
negara kepulauan lebih cenderung untuk memindahkan ibukotanya.
Kecenderungan ini timbul ini dikarenakan negara kepulauan memiliki
wilayah yang terpisah-pisah oleh laut dimana mobilitas relatif lebih sulit
dibandingkan dengan negara non-kepulauan. Bentuk wilayah yang terpisah-
pisah membuat negara kepulauan lebih sulit untuk memindahkan
ibukotanya karena mobilisasi sumber daya manusia dan ekonomi yang akan
lebih sulit dan mahal dibandingkan dengan negara bukan kepulauan.
8. Tipe Ibukota
Hasil model logit diperoleh p-value sebesar 0,040 yang nilainya lebih besar
dari taraf nyata 5 persen (0,05) yang artinya terima H0. Hal ini memiliki arti
bahwa tipe ibukota berpengaruh nyata terhadap peluang pemindahan
ibukota. Bentuk wilayah memiliki koefisien positif sehingga negara yang
memutuskan untuk membentuk ibukotanya dengan tipe split capitals yaitu
memisahkan ibukotanya akan lebih sukses dalam pemindahan ibukotanya.
Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dimana pemilihan bentuk split capitas
memiliki hasil positif terhadap peluang negara untuk memindahkan
ibukotanya. Hal ini dikarenakan memecah ibukota menjadi dua adalah hal
yang lebih memungkinkan dalam pemindahan ibukota. Sumberdaya yang
sudah memusat di ibukota lama yang tidak mungkin untuk ditinggalkan
sehingga ibukota lama membutuhkan peran baru dalam pemerintahan agar
sumberdayanya tidak disia-siakan. Selain itu hal ini dapat menekan biaya
relokasi dan pembuatan ibukota baru. Kebijakan pemecahan ibukota
menjadi lebih dari satu akan meningkatkan peluang sukses sebuah negara
untuk memindahkan ibukotanya.
Hubungan antara Hasil Analisis dengan Kondisi di Indonesia
Hasil menunjukkan bahwa negara-negara yang memindahkan ibukotanya
umumnya adalah negara berkembang. Negara-negara ini memiliki GDP per kapita
yang rendah, luas wilayah yang besar, jumlah penduduk yang besar, dan
kepadatan penduduk yang tinggi. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki
karakteristik yang hampir mirip dengan hal tersebut. Indonesia memiliki GPD per
kapita menengah bawah, luas wilayah yang sangat besar dengan urutan terbesar
ke-15 di seluruh dunia. Indonesia juga memiliki jumlah penduduk yang besar di
urutan ke-4 terbesar di dunia dan memiliki kepadatan penduduk yang tinggi
39
khususnya di kota-kota besar. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
peluang besar untuk memindahkan ibukotanya karena Indonesia masih termasuk
negara berkembang.
Dari analisis faktor-faktor yang memingkatkan peluang pemindahan ibukota
dengan menggunakan model logistik, GDP per kapita, luas wilayah, jumlah
penduduk, kepadatan penduduk, dan tipe ibukota adalah faktor-faktor yang
meningkatkan peluang negara untuk memindahkan ibukotanya. Semakin tinggi
GDP per kapita sebuah negara maka akan menurunkan peluang negara tersebut
untuk memindahkan ibukotanya. Semakin luas wilayah sebuah negara maka akan
meningkatkan peluang negara tersebut untuk memindahkan ibukotanya. Dalam
kepadatan penduduk, semakin padat sebuah negara maka akan meningkatkan
peluang negara tersebut untuk memindahkan ibukotanya. Terakhir, pemindahan
ibukota dengan tipe split capitals akan meningkatkan peluang sukses untuk
memindahkan ibukotanya.
Kondisi Indonesia saat ini masih memiliki GDP per kapita menengah
kebawah, selain itu Indonesia juga memiliki luas wilayah yang besar yang masih
bisa dieksplorasi dan dibangun menjadi kota-kota baru. Selanjutnya Indonesia
memiliki kepadatan penduduk yang tinggi sehingga meningkatkan peluangnya
untuk memindahkan ibukota. Berdasarkan hal tersebut, pemindahan ibukota
Indonesia adalah hal yang sangat mungkin. Pemindahan ibukota diharapkan akan
menjadi kebijakan yang bermanfaat untuk mengatasi permasalahan regional
maupun nasional. Pemindahan ibukota ke daerah yang tepat diharapkan dapat
mengatasi berbagai permasalahan ibukota lama dan meningkatkan pemerataan
pembangunan yang selama ini terpusat di Jakarta.
Dalam pemilihan tipe ibukota, akan lebih baik jika Indonesia menggunakan
tipe split capitals dimana ibukota dipisah sesuai dengan perannya masing-masing.
Secara historis, dari tiga belas negara yang telah memindahkan ibukotanya pasca
Perang Dunia ke-2, setidaknya terdapat enam negara yang memiliki tipe split
capitals yaitu memisahkan ibukotanya. Negara-negara tersebut adalah
Montenegro (Podgorica dan Cetinje), Myanmar (Naypyidaw dan Rangoon),
Nigeria (Lagos dan Abuja), Pantai Gading (Yamoussoukro dan Abidjan), Sri
Lanka (Colombo dan Sri Jayawardenapura Kotte), serta Tanzania (Dodoma dan
Dar Es Salaam). Hal ini menunjukkan hampir setengah negara yang sukses
menindahkan ibukotanya menggunakan tipe split capitals dalam membangun
ibukota baru. Pemisahan ini dilakukan karena sumberdaya yang telah ada dan
berkembang di ibukota lama seperti infrastruktur, pusat ekonomi, sumber daya
manusia, kemudahan akses, dan sebagainya akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan.
Pemisahan ibukota biasanya terbagi menjadi kota yang memiliki peran utama
masing-masing misalnya Malaysia yang menjadikan Kuala Lumpur sebagai
ibukota resmi, ibukota kerajaan, dan pusat legislatif, sementara Putra Jaya
dijadikan sebagai pusat administratif dan pusat peradilan (yudikatif). Selain itu
ada pula Sri Lanka yang menjadikan Colombo sebagai pusat komersial ekonomi,
pemerintahan eksekutif, dan peradilan, sementara Sri Jayawardenapura Kotte
dijadikan sebagai pusat lembaga legislatif.
Jakarta telah menjadi pusat perekonomian, pemerintahan, peradilan,
legislatif, dan memiliki sumberdaya manusia maupun infrastruktur yang maju
dibanding daerah lain di Indonesia. Jakarta sudah memiliki semua hal yang
diperlukan untuk menjalankan sebuah pemerintahan negara. Hal ini menyebabkan
40
pemindahan semua fungsi pemerintahan negara dari Jakarta ke daerah lain akan
memakan biaya yang sangat besar karena pembangunan infrastruktur dan
pendukung di daerah baru akan sangat mahal.
Biaya pemindahan ibukota negara akan sangat besar, namun di sisi lain
kerugian bila ibukota tetap di Jakarta pun juga besar. Melihat hal ini, akan lebih
baik jika pemerintah lebih serius dalam kajiannya untuk memindahkan ibukota.
Pemindahan ibukota ke kota baru pun akan mendorong adanya arah pembangunan
yang lebih merata dan tidak terpusat di Jakarta. Hal ini juga menghindari
Indonesia dari perekonomian nasional yang sangat tergantung pada laju pesat
perekonomian segelintir kota besar yang menjadi pusat segala kegiatan. Hal ini
dapat dilihat dari Jakarta yang menjadi pusat segala kegiatan ekonomi dan
pemerintahan padahal kondisi ini yang disertai dengan kehidupan sosial-ekonomi
yang kontras di dalamnya akan membahayakan perekonomian nasional itu sendiri.
Gurr dalam Visi Indonesia 2033 mengatakan bahwa hal tersebut akan
menimbulkan potensi ledakan sosial dan politik yang bersumber pada deprivasi
relatif (relative depreviation) yang berupa kesenjangan dan ketidakpuasan yang
terjadi di berbagai elemen masyarakat.
Jika pemerintah ingin melaksanakan pemindahan ibukota negara, Jakarta
dapat dimanfaatkan sebagai pusat perekonomian agar sumberdaya yang telah
terkumpul tidak disia-siakan. Selain itu hal ini dapat menekan biaya pembangunan
di ibukota baru yang diestimasi sebesar 100 triliun dalam 10 tahun pembangunan.
Selanjutnya ibukota baru dapat dibangun dengan peran sebagai pusat
pemerintahan dimana kota tersebut bebas dari berbagai masalah perkotaan dan
kependudukan yang selama ini melanda Jakarta. Selain itu tipe split capitals juga
bermanfaat untuk dapat mengurangi beban ibukota baru dalam menjalankan
perannya karena sebagian tugas sudah dilaksanakan oleh ibukota lama.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Negara-negara yang memindahkan ibukotanya umumnya adalah negara
berkembang. Negara-negara yang memindahkan ibukotanya pasca Perang Dunia
ke-2 belum memiliki karakteristik perekonomian sebaik negara maju. Negara-
negara ini memiliki GDP per kapita yang rendah, luas wilayah yang besar, jumlah
penduduk yang besar, dan kepadatan penduduk yang tinggi.
Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang memengaruhi pemindahan
ibukota dapat disimpulkan bahwa GDP per kapita, luas wilayah, jumlah penduduk,
kepadatan penduduk, dan tipe ibukota adalah faktor-faktor yang memengaruhi
peluang negara untuk memindahkan ibukotanya.
Saran
Dalam kajian pemindahan ibukota, sebaiknya pemerintah memberikan
perhatian yang besar terhadap perekonomian makro negara khususnya GDP per
kapita, serta proyeksi dan rencana jangka panjang dalam pembangunan regional.
Kestabilan ekonomi makro diperlukan agar perekonomian Indonesia lebih stabil
41
sehingga apapun kebijakan mengenai pemindahan ibukota di masa depan akan
lebih mudah dan tidak mengganggu kestabilan ekonomi dan politik negara.
Indonesia masih sangat berpeluang untuk memindahkan ibukotanya. Dalam
rencana pemindahan ibukota, pemerintah sebaiknya menggunakan tipe split
capitals karena tipe ini lebih memungkinkan untuk dilakukan. Pemberian peran
baru kepada ibukota lama akan menekan biaya pembangunan dan membuat
sumberdaya dari ibukota lama bisa terus dimanfaatkan. Disisi lain beban ibukota
baru akan lebih terbantu jika sebagian perannya dimaksimalkan oleh ibukota lama.
Pemerintah perlu melakukan kebijakan demografi berupa pengaturan jumlah
dan pemerataan sebaran kepadatan penduduk sehingga tidak terjadi penumpukan
penduduk di ibukota. Selain itu pemerintah harus melakukan desentralisasi
pembangunan agar perekonomian lebih merata dan menghindari pemusatan
kegiatan perekonomian di ibukota.
DAFTAR PUSTAKA
Analisadaily. 2013 Mar. Kemana Istana Negara Akan Diboyong? [internet].
Analisadaily. Tersedia pada http://www.analisadaily.com
Ardian, B. 2007. Teori Pertumbuhan Kota [internet]. Tersedia pada
http://www.p2kp.org
Badan Pusat Statistik (ID). 2013. Informasi Statistik DKI Jakarta 2012. Badan
Pusat Statistik DKI Jakarta.
_____________________. 2013. Statistik Indonesia, Statistical Yearbook of
Indonesia 2013. Badan Pusat Statistik.
Campbell, S. 2004. The Enduring Importance of National Capital Cities in the
Global Era. URRC. 03(08):1-32.
Dascher, K. 2000. Are Politics and Geography Related?: Evidence from a Cross-
section of Capital Cities. Public Choice. 105: 373-392.
Firdaus, M. 2008. Aplikasi Metode Kuantitatif Terpilih Untuk Manajemen dan
Bisnis. Bogor (ID): IPB Pr.
Ghozali, I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang
(ID): BP UNDIP.
Hall, P. 2006. Seven Types of Capital City. Didalam: Gordon P, editor. Planning
Twentieth Century Capital Cities. London (GB): Routledge.
Hosmer D, Lemeshow S. 1989. Applied Logistic Regression. New York (US):
John Wiley and Sons Inc.
[IDRE] Institute for Digital Research and Education. 2013. Annotated SPSS
Output Multinomial Logistic Regression [internet]. Los Angeles (US):
University of California. Tersedia pada http://www.ats.ucla.edu/stat/spss/
output/mlogit.htm
Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Pr.
Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Ed ke-2. Bogor (ID):
IPB Pr.
42
Kirmanto, D. 2010. Keberlanjutan Jakarta Sebagai Ibu Kota Negara dan Kota
Pusat Pemerintahan [internet]. Jakarta (ID): Kementerian PU RI. [diunduh
28 Februari 2013]. Tersedia pada http://www.penataanruang.net/
taru/upload/paper/KeynoteMPU_PSIL_221110.pdf
Mankiw, N G. 2008. Makroekonomi, Ed ke-6. Jakarta (ID): Erlangga.
Marangkup H, Ulin E. 2006. Identifikasi Pola Pengembangan Daerah Pinggiran
dan Pola Jaringan Jalan Kota Semarang [skripsi]. Semarang (ID):
Universitas Diponegoro.
Mirlanda, A M. 2011. Kerugian Ekonomi Akibat Kemacetan Lalu Lintas di
Ibukota [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Novita, F. 2003. Pengaruh Perkembangan Ekonomi Kota Bandar Lampung
Terhadap Perkembangan Kawasan Pesisir [tesis]. Semarang (ID):
Universitas Diponegoro.
Pusat Kajian Strategis Kementerian PU. 2012. Kebijakan Mengatasi Kemacetan
di Jakarta: Menuju Penguatan Peran Departemen PU [internet]. Jakarta
(ID): Kementerian PU RI. Tersedia pada http://www.pu.go.id/isustrategis/
view/24
Rawat, R. 2005. Capital City Relocation: Global-Local Perspective in The Search
for an Alternative Modernity [internet]. [diunduh 28 Februari 2013].
Rukmana, D. 2010. Pemindahan Ibukota Negara [internet]. Savannah (US):
Savannah State University. [diunduh 28 Februari 2013]. Tersedia pada
http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/edisi5i.pdf
Schatz, E. 2003. When Capital Cities Move: The Political Geography of Nation
and State Building. Kellog Institute. 303:1-29.
Schatz, E. 2004. What Capital Cities Say About State and nation Building.
Nationalism and Ethnic Politics, 9:111–140. doi: 10.1080/
13537110390444140.
[Setkab] Sekretariat Kabinet RI. 2013 Okt. Soal Pemindahan Ibukota, Julian:
Belum Ada Opsi Kota Yang Dianggap Layak [internet]. Sekretariat Kabinet
RI. Tersedia pada http://setkab.go.id/berita-10204-soal- pemindahan-
ibukota-julian-belum-ada-opsi-kota-yang-dianggap-layak.html
Sihombing, M N. 2012. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan
Ekonomi Terhadap Penerimaan Pajak di Indonesia [skripsi]. Bandung (ID):
Universitas Komputer Indonesia.
Sutikno. 2007. Perpindahan Ibukota Negara Suatu Keharusan Atau Wacana?. Di
dalam Diskusi Sejarah, Kota dan Perubahan Sosial Dalam Perspektif
Sejarah; 2007 Apr 11-12; Yogyakarta (ID): Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional Yogyakarta.
Tempo.co. 2010 Nov. Andrinof: Kita Belum Memiliki Ibukota Berkelas Dunia
[internet]. Tempo Media Group. Tersedia pada http://www.tempo.co/read/
news/2010/11/15/173292054/Andrinof-Kita-Belum-Memiliki-Ibukota-
Berkelas-Dunia
Todaro MP, Smith SC. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Ed ke-8.
Jakarta (ID): Erlangga.
[UN] United Nations. 1994. United Nations Convention on the Law of the Sea,
Montego Bay (JM): UN.
43
Visi Indonesia 2033 (ID). 2010. Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan: Lorong
Keluar dari Berbagai Paradoks Pembangunan, Menuju Indonesia yang
Tertata [internet]. Jakarta (ID): Visi Indonesia 2033. Tersedia pada
http://www.visi2033.or.id/news_8.htm
Wolfel, R L. 2002. North to Astana: Nationalistic Motives for the Movement of
the Kazakh Capital. Nationalities Papers, 30(3):485-506. doi:10.1080/
0090599022000011723.
Worldbank. 2004. Beyond Economic Growth, An Introduction to Sustainable
Development. WBI Learning Resources Series, 2nd Ed. Washington (US):
The World Bank.
Yunia L, Rozi S. 2007. Wacana Pemindahan Ibukota di Indonesia (Studi Kasus
Opini Mahasiswa, Dosen, dan Karyawan IISIP Jakarta). IISIP Jakarta.
44
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar negara yang diteliti
No. Negara Keterangan Ibukota
1 Argentina tidak pindah
2 Australia tidak pindah
3 Belanda tidak pindah
4 Bolivia tidak pindah
5 Ceko tidak pindah
6 Cina tidak pindah
7 Indonesia tidak pindah
8 Italia tidak pindah
9 Kamboja tidak pindah
10 Meksiko tidak pindah
11 Mesir tidak pindah
12 Mongolia tidak pindah
13 Portugal tidak pindah
14 Belize pindah
15 Brasil pindah
16 Filipina pindah
17 Guinea Bissau pindah
18 Kazakhstan pindah
19 Malawi pindah
20 Montonegro pindah
21 Myanmar pindah
22 Nigeria pindah
23 Pakistan pindah
24 Pantai Gading pindah
25 Sri Lanka pindah
26 Tanzania pindah
45
Lampiran 2 Data GDP per kapita (dolar AS)
No. Negara Tahun
1990 2000 2010
1 Argentina 4330 7696 9124
2 Australia 18251 11471 43100
3 Belanda 19722 24180 46623
4 Bolivia 731 1011 1979
5 Ceko 3787 5725 18910
6 Cina 314 949 4433
7 Indonesia 621 773 2952
8 Italia 20065 19388 33787
9 Kamboja 106 294 795
10 Meksiko 3116 5817 9128
11 Mesir 759 1476 2698
12 Mongolia 1168 471 2250
13 Portugal 7779 11471 21538
14 Belize 2185 3330 4057
15 Brasil 3087 3696 10993
16 Filipina 719 1048 2140
17 Guinea Bissau 240 174 551
18 Kazakhstan 1647 1229 9070
19 Malawi 200 155 362
20 Montenegro 2171 1556 6510
21 Myanmar 231 459 702
22 Nigeria 292 372 1443
23 Pakistan 358 512 1017
24 Pantai Gading 862 628 1161
25 Sri Lanka 472 855 2400
26 Tanzania 172 308 527
46
Lampiran 3 Data pertumbuhan ekonomi (persen)
No. Negara Tahun
1990 2000 2010
1 Argentina -2.4 -1 9.2
2 Australia 3.6 4 2.3
3 Belanda 4.2 4 1.6
4 Bolivia 4.6 3 4.1
5 Ceko -1.2 4 7.5
6 Cina 3.8 8 10.4
7 Indonesia 9 5 6.2
8 Italia 2 4 1.8
9 Kamboja 1.1 9 6
10 Meksiko 5.1 7 5.5
11 Mesir 5.7 5 5.1
12 Mongolia -3.2 1 6.4
13 Portugal 4 4 1.4
14 Belize 10.6 13 2.9
15 Brasil -4.3 4 7.5
16 Filipina 3 4 7.6
17 Guinea Bissau 6.1 8 3.5
18 Kazakhstan -8.15 10 7.3
19 Malawi 5.7 2 6.5
20 Montenegro -4.8 3 2.5
21 Myanmar 2.8 13.7 5.2
22 Nigeria 8.2 5 7.9
23 Pakistan 4.5 4 3.5
24 Pantai Gading -1.1 -4 2.4
25 Sri Lanka 6.4 6 8
26 Tanzania 7 5 7
47
Lampiran 4 Data luas wilayah (km2)
No. Negara Luas Wilayah
1 Argentina 2736690
2 Australia 7682300
3 Belanda 33730
4 Bolivia 1083300
5 Ceko 77250
6 Cina 9327480
7 Indonesia 1811570
8 Italia 294140
9 Kamboja 176520
10 Meksiko 1943950
11 Mesir 995450
12 Mongolia 1553560
13 Portugal 91470
14 Belize 22810
15 Brasil 8459420
16 Filipina 298170
17 Guinea Bissau 28120
18 Kazakhstan 2699700
19 Malawi 94280
20 Montenegro 13450
21 Myanmar 653520
22 Nigeria 910770
23 Pakistan 770880
24 Pantai Gading 318000
25 Sri Lanka 62710
26 Tanzania 885800
48
Lampiran 5 Data jumlah penduduk (jiwa)
No. Negara Tahun
1990 2000 2010
1 Argentina 32642442 36930709 40412376
2 Australia 7677850 19153000 22299800
3 Belanda 14951510 15925513 16615394
4 Bolivia 6658462 8307248 9929849
5 Ceko 10333355 10272322 10519792
6 Cina 1135185000 1262645000 1337825000
7 Indonesia 184345939 213395411 239870937
8 Italia 56719240 56942108 60483385
9 Kamboja 9531928 12446949 14138255
10 Meksiko 84306602 99959594 113423047
11 Mesir 56843275 67648419 113423047
12 Mongolia 2192553 2411369 2756001
13 Portugal 9983218 10225836 10637346
14 Belize 189000 249800 344700
15 Brasil 149650206 174425387 194946470
16 Filipina 61628668 77309965 93260798
17 Guinea Bissau 1016695 1240655 1515224
18 Kazakhstan 16348000 14883626 16323287
19 Malawi 9380892 11228756 14900841
20 Montenegro 608816 632606 631490
21 Myanmar 39268304 44957660 47963012
22 Nigeria 97552057 123688536 158423182
23 Pakistan 111844679 144522192 173593383
24 Pantai Gading 12517730 16581653 19737800
25 Sri Lanka 17015000 19102000 20653000
26 Tanzania 25478979 34038161 44841226
49
Lampiran 6 Data kepadatan penduduk (jiwa/ km2)
No. Negara Tahun
1990 2000 2010
1 Argentina 12 13 15
2 Australia 2 2 3
3 Belanda 443 472 493
4 Bolivia 6 8 9
5 Ceko 134 133 136
6 Cina 122 135 143
7 Indonesia 102 118 132
8 Italia 193 194 206
9 Kamboja 54 71 80
10 Meksiko 43 51 58
11 Mesir 57 68 81
12 Mongolia 1 2 2
13 Portugal 109 112 116
14 Belize 8 11 15
15 Brasil 18 21 23
16 Filipina 207 259 313
17 Guinea Bissau 36 44 54
18 Kazakhstan 6 6 6
19 Malawi 100 119 158
20 Montenegro 45 47 47
21 Myanmar 60 69 73
22 Nigeria 107 136 174
23 Pakistan 145 187 225
24 Pantai Gading 39 52 62
25 Sri Lanka 271 305 329
26 Tanzania 29 38 51
50
Lampiran 7 Data bentuk pemerintahan
No. Negara Bentuk Negara
1 Argentina republik
2 Australia non-republik
3 Belanda republik
4 Bolivia republik
5 Ceko republik
6 Cina republik
7 Indonesia republik
8 Italia republik
9 Kamboja non-republik
10 Meksiko non-republik
11 Mesir republik
12 Mongolia republik
13 Portugal republik
14 Belize non-republik
15 Brasil non-republik
16 Filipina republik
17 Guinea Bissau non-republik
18 Kazakhstan republik
19 Malawi republik
20 Montenegro republik
21 Myanmar republik
22 Nigeria non-republik
23 Pakistan republik
24 Pantai Gading republik
25 Sri Lanka republik
26 Tanzania republik
51
Lampiran 8 Data bentuk wilayah
No. Negara Bentuk Wilayah
1 Argentina non-kepulauan
2 Australia non-kepulauan
3 Belanda non-kepulauan
4 Bolivia non-kepulauan
5 Ceko non-kepulauan
6 Cina non-kepulauan
7 Indonesia kepulauan
8 Italia kepulauan
9 Kamboja non-kepulauan
10 Meksiko non-kepulauan
11 Mesir non-kepulauan
12 Mongolia non-kepulauan
13 Portugal non-kepulauan
14 Belize non-kepulauan
15 Brasil non-kepulauan
16 Filipina kepulauan
17 Guinea Bissau kepulauan
18 Kazakhstan non-kepulauan
19 Malawi non-kepulauan
20 Montenegro non-kepulauan
21 Myanmar non-kepulauan
22 Nigeria non-kepulauan
23 Pakistan non-kepulauan
24 Pantai Gading non-kepulauan
25 Sri Lanka kepulauan
26 Tanzania non-kepulauan
52
Lampiran 9 Data tipe ibukota
No. Negara Tipe Ibukota
1 Argentina tidak dipisah
2 Australia tidak dipisah
3 Belanda dipisah
4 Bolivia dipisah
5 Ceko tidak dipisah
6 Cina tidak dipisah
7 Indonesia tidak dipisah
8 Italia tidak dipisah
9 Kamboja tidak dipisah
10 Meksiko tidak dipisah
11 Mesir tidak dipisah
12 Mongolia tidak dipisah
13 Portugal tidak dipisah
14 Belize tidak dipisah
15 Brasil tidak dipisah
16 Filipina tidak dipisah
17 Guinea Bissau tidak dipisah
18 Kazakhstan tidak dipisah
19 Malawi tidak dipisah
20 Montonegro dipisah
21 Myanmar dipisah
22 Nigeria dipisah
23 Pakistan tidak dipisah
24 Pantai Gading dipisah
25 Sri Lanka dipisah
26 Tanzania dipisah
53
Lampiran 10 Output Logistic Regression
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 41,804 8 ,000
Block 41,804 8 ,000
Model 41,804 8 ,000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 66,327a ,415 ,553
a. Estimation terminated at iteration number 7 because
parameter estimates changed by less than ,001.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 4,421 8 ,817
Classification Tablea
Observed
Predicted
Y Percentage
Correct tidak pindah pindah
Step 1 Y tidak pindah 29 10 74,4
pindah 7 32 82,1
Overall Percentage 78,2
a. The cut value is ,500
54
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a GDP -39,373 11,623 11,476 1 ,001 ,000
Growth ,072 ,082 ,766 1 ,381 1,074
luas ,074 ,032 5,315 1 ,021 1,077
JML -,001 ,001 3,363 1 ,067 ,999
bentuknegara -,849 ,796 1,138 1 ,286 ,428
bentukwilayah ,383 1,001 ,147 1 ,702 1,467
kepadatan ,014 ,006 5,681 1 ,017 1,014
tipeibukota 1,566 ,761 4,229 1 ,040 4,786
Constant -,136 ,945 ,021 1 ,885 ,873
Variables in the Equation
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a GDP ,000 ,000
Growth ,914 1,242
luas 1,005 1,131
JML ,997 1,000
bentuknegara ,155 2,516
bentukwilayah ,136 5,825
kepadatan 1,002 1,025
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: GDP, Growth, luas, JML, bentuknegara, bentukwilayah, kepadatan.
55
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ecky Agassi, lahir pada 21 Oktober 1989 di Bogor. Penulis
adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Supangat dan Ibu
Sundari Ratnaningrum. Penulis mendapatkan pendidikan menengah atas di SMA
Negeri 1 Depok dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan
pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima
di Program Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan, Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan pemuda dan
kemahasiswaan. Pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis menjadi ketua
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) TPB IPB. Pada tingkat dua penulis masih
berkecimpung di dunia legislatif kampus di Komisi 2 DPM FEM. Pada tingkat
tiga penulis aktif di kegiatan Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) dengan menjadi
ketua Departemen Komisi dan Informasi.
Penulis pernah menjadi delegasi IPB dalam Konferensi Mahasiswa
Ekonomi Indonesia (KMEI) yang diselenggarakan pada tahun 2011 oleh BEM
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pada tahun 2012 penulis berserta tim
berhasil lolos Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian yang didanai
Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti). Selain berorganisasi, penulis juga menjadi
pekerja lepas di bidang desain grafis, web developer, fotografi, dan sudah pernah
bekerja dengan klien dalam skala pribadi maupun perusahaan.