analisis daya saing ubi kayu olahan indonesia di pasar...
TRANSCRIPT
ANALISIS DAYA SAING UBI KAYU OLAHAN INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
RIKI PURBAYA NATANEGARA 1110092000054
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016 M/1437 H
i
ANALISIS DAYA SAING UBI KAYU OLAHAN INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
RIKI PURBAYA NATANEGARA
1110092000054
Skripsi� Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2016 M/1437 H
ii
SURAT PERNYATAAN
iii
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Februari 2016
Riki Purbaya Natanegara 1110092000054
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Riki Purbaya Natanegara Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 6 Mei 1992 Kewarganegaraan : Indonesia Agama : Islam Status : Belum Menikah Alamat : Jl. Puspita raya, blok c3 no 6, Puspita
loka, BSD, Tangerang Selatan No HP : 087820132021 Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2010-2016 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007-2010 : SMAI Al-Azhar, BSD, Tangerang
Selatan 2004-2007 : SMPI Al-Azhar, BSD, Tangerang
Selatan 1998-2004 : SD Al-Hikmah, Surabaya
Pengalaman Kerja
2013 : Praktek Kerja Lapang di PT. Suryajaya Adiperkasa di bagian pembibitan dan produksi media tanam jamur, budidaya, pengolahan, dan pemasaran
Pengalaman Organisasi
2011 : Pengajar Volunteer di Leading and Empowering Adverse People (LEAP) Indonesia
2013 : Volunteer di Dompet Dhuafa 2012-2014 : Divisi desain di Dapur Seni UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
v
KATA PENGANTAR
Bissmilahirahmmanirahim Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya berkat rahmat dan
hidayah-Nya penyusunan skripsi “Analisis Daya Saing Ubi kayu Olahan
Indonesia di Pasar Internasional” dapat berjalan dengan lancar. Skripsi ini
ditulis untuk memenuhi sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian di Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Serta sebagai salah satu sarana untuk memperdalam
pengetahuan yang telah didapatkan pada masa perkuliahan.
Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Papa dan Mama yang tidak henti-hentinya memanjatkan do’a kepada
yang Maha Kuasa demi kebaikan anaknya dan selalu mencurahkan
segala perhatian dan kasih sayang, dorongan dan motivasi kepada penulis
agar dapat meraih cita-cita dan menuju masa depan yang cerah.
2. Bapak Dr. Iskandar Andi Nuhung, MS selaku pembimbing 1 dan bapak
Ir. Mudatsir Najamuddin, MM selaku pembimbing 2 yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pemikiran untuk membimbing,
memberikan saran dan koreksi serta memberikan arahan sampai
terselesaikannya skripsi ini.
vi
3. Bapak Dr. Ahmad Riyadi, MM sebagai penguji 1 dan bapak Dr. Iwan
Aminudin, M.Si yang telah bersedia menjadi penguji 2 dalam sidang
munaqosyah.
4. Dr. Agus Salim, M,Si. Selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta beserta jajarannya.
5. Dr. Ir. Edmon Daris, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis beserta
jajarannya dan selaku Pembimbing akademik.
6. Kimmy Rizky Septiani Natanegara yang telah memacu penulis agar cepat
menyelesaikan skripsi.
7. Sakinah Aulia yang telah memberikan motivasi dan dorongan untuk
menyelesaikan skripsi.
8. Sahabat Tagor yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah
memberikan dukungan dan warna dalam hari-hari penulis.
9. Bapak/ Ibu dosen Prodi Agribisnis yang telah membagi ilmunya dan
memberikan pengarahan.
10. Teman-teman Agribisnis 2010 A-B yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu, mudah-mudahan silaturahmi kita tidak terputus.
11. Perpustakaan Fakultas Sains dan Teknologi, perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis atas peminjaman buku
dan referensi untuk melengkapi pustaka pada skripsi ini.
12. Seluruh pihak yang telah membantu dan namanya tidak dapat disebutkan
satu per satu. Terima kasih atas dukungan dan motivasinya, Semoga
Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada
penulis, Aamin.
vii
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Februari 2016
Riki Purbaya Natanegara
viii
RINGKASAN
RIKI PURBAYA NATANEGARA, Analisis Daya Saing Ubi Kayu Olahan Indonesia di Pasar Internasional. Di bawah bimbingan ISKANDAR ANDI NUHUNG dan MUDATSIR NAJAMUDDIN Indonesia merupakan produsen ubi kayu nomor empat terbesar di dunia setelah Nigeria, Brazil, dan Thailand. Namun selama tahun 2004-2013, impor ubi kayu olahan semakin banyak dilakukan untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Hal tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya permintaan akan komoditas ubi kayu olahan khususnya untuk kebutuhan industri. Kondisi tersebut dapat menyebabkan turunnya daya saing Indonesia untuk komoditas ubi kayu olahan di pasar dunia. Dengan melihat adanya perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan saat ini, penting untuk mengetahui posisi bersaing Indonesia dalam perdagangan komoditas ubi kayu olahan di pasar internasional. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis struktur pasar ubi kayu olahan Indonesia di pasar dunia, 2) menganalisis keunggulan komparatif ubi kayu olahan Indonesia di pasar dunia, 3) menganalisis keunggulan kompetitif ubi kayu olahan Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan lingkup yang meliputi keadaan perdagangan ubi kayu olahan secara nasional dan internasional. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtun waktu (time series) 10 tahun mulai tahun 2004 hingga tahun 2013. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian, FAO (Food and Agriculture Organization), UN (United Nations) Comtrade, Factfish dan World Bank. Komoditas ubi kayu olahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah komoditas gaplek dengan kode HS 071410, komoditas pati ubi kayu dengan kode HS 110814, dan komoditas tepung tapioka dengan kode HS 110620. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan alat analisis Herfindahl Index (HI) dan Consentration Ratio (CR4) untuk mengidentifikasi struktur pasar serta konsentrasi pasar ubi kayu olahan di pasar internasional, Revealed Compartive Advantage (RCA) untuk mengidentifikasi posisi komparatif Indonesia diantara negara-negara pengekspor ubi kayu lainnya di pasar internasional, Export Product Dynamics (EPD) untuk mengidentifikasi posisi pasar di negara tujuan ekspor, X-Model untuk mengklusterisasi komoditas yang memiliki potensi di negara tujuan ekspor, Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) untuk mengidentifikasi keunggulan kompetitif serta tingkat pertumbuhan komoditas ubi kayu olahan dalam perdagangan, dan Diamond Porter untuk mengidentifikasi daya saing kompetitif secara kualitatif dengan melihat kondisi aktual dari setiap komponen diamond porter.
Dari hasil analisis, didapat bahwa struktur pasar komoditas gaplek dan pati ubi kayu dunia berada pada struktur pasar oligopoli yang cenderung bersifat monopoli dengan konsentrasi pasar tinggi, sedangkan untuk komoditas tepung tapioka berada pada struktur pasar oligopoli dengan konsentrasi pasar tinggi. Secara rata-rata Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditas gaplek, pati ubi kayu, dan tepung tapioka.
ix
Namun walaupun Indonesia memiliki keunggulan komparatif, dari tahun ke tahun kecenderungan perkembangannya menunjukkan hasil yang negatif. Berdasarkan Analisis keunggulan kompetitif, Indonesia memiliki daya saing untuk komoditas Gaplek dan Tepung Tapioka. Sedangkan untuk komoditas pati ubi kayu berdaya saing rendah. Berdasarkan analisis keunggulan kompetitif diamond porter, terdapat beberapa komponen utama daya saing ubi kayu olahan di Indonesia yang tidak saling mendukung. Namun pada komponen peranan pemerintah dan kesempatan, telah mendukung seluruh komponen daya saing ubi kayu olahan Indonesia. Hal tersebut menunjukan adanya peranan pemerintah dan kesempatan akan mampu meningkatkan posisi daya saing ubi kayu olahan Indonesia apabila seluruh stakeholder mengupayakan diri untuk dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kesempatan-kesempatan yang ada.
x
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL..................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xv
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian......................................................... 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 10
2.1 Ubi Kayu .........……………………………………….……… 10
2.1.1 Manfaat dan Kegunaan Ubi Kayu….……………..…... 12 2.1.2 Agribisnis Pengolahan Ubi Kayu..……………….….... 13
2.2 Teori Perdagangan Internasional.............................................. 15
2.3 Struktur Pasar............................................................................ 18
2.4 Teori Spesialisasi...................................................................... 20
2.5 Daya Saing................................................................................ 21
2.5.1 Keunggulan Komparatif................................................. 22 2.5.2 Keunggulan Kompetitif.................................................. 23
2.6 Penelitian Terdahulu……………………..……….………….. 30
2.6.1 Penelitian Tentang Daya Saing……..……................…. 30 2.6.2 Penelitian Tentang Ubi Kayu………………….........…. 31
2.7 Kerangka Pemikiran……………………….…….……..…….. 31
BAB III. METODE PENELITIAN.......................................................... 35
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................. 35
3.2 Jenis dan Sumber Data........................................................... 35
3.3 Metode Analisis Data……………….…......………………... 36
xi
3.3.1 Concentration Ratio (CR) dan Herfindahl Index (HI).... 37 3.3.2 Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)....... 39 3.3.3 EPD (Export Product Dynamic)..................................... 41 3.3.4 X-Model Produk eksport potensial................................. 42 3.3.5 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)............................ 43 3.3.6 Analisis Berlian Porter..................................................... 45
BAB IV. GAMBARAN UMUM UBI KAYU OLAHAN…..…..………. 47
4.1 Gambaran Umum Ubi Kayu...................................................... 47
4.2 Produksi Ubi Kayu Dunia.......................................................... 50
4.3 Negara Penghasil Ubi Kayu Dunia............................................ 51
4.4 Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Ubi Kayu di Negara Penghasil Ubi Kayu.................................................................. 52
4.5 Perdagangan Ubi Kayu Olahan Dunia...................................... 53
4.6 Eksportir Ubi Kayu Olahan Dunia........................................... 55
4.7 Harga Ubi Kayu Olahan Dunia.................................................. 59
4.8 Negara Tujuan Ekspor Ubi Kayu Olahan Indonesia................. 60
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………...…………….. 63
5.1 Analisis Struktur Pasar Produk Olahan Ubi Kayu di Pasar Internasional............................................................................ 63
5.2 Analisis keunggulan Komparatif Produk Olahan Ubi Kayu di Pasar Internasional.................................................................... 68
5.3 Daya Saing Indonesia di Negara Tujuan Ekspor...................... 77
5.4 Indeks Spesialisasi Perdagangan............................................... 86
5.5. Analisis keunggulan Kompetitif Diamond Porter .................. 89
5.5.1 Kondisi Faktor (Sumber Daya)....................................... 90 5.5.2 Kondisi Permintaan......................................................... 104 5.5.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung......................... 108 5.5.4 Persaingan, struktur, dan strategi..................................... 116 5.5.5 Peranan Pemerintah......................................................... 118 5.5.6 Peranan Kesempatan........................................................ 120
5.6 Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System........................................................................................ 122
5.7 Keterkaitan Komponen Pendukung Sistem Berlian Porter…... 126
xii
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN……………………...………… 131
6.1 Kesimpulan………………………….……………….……… 131
6.2 Saran…………………………………………….………...... 132
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Hal
1. Komposisi Singkong, Tepung Singkong dan Terigu per 100 Gram…...... 4
2. Produksi Rata-rata Ubi Kayu Dunia Tahun 1993-2013………………..... 5
3. Luas Panen-Produktivitas-Produksi Tanaman Ubi Kayu Provinsi Indonesia………………………………………………………..………...5
4. Impor Gaplek, Pati Ubi Kayu, dan Tepung Tapioka Dunia……………... 6
5. Jenis-jenis Produk Olahan Ubi Kayu…………………………………….. 15
6. Matriks Posisi Pasar……………………………………………………… 42
7. Data Produksi Ubi Kayu Dunia 2007-2011……………………………… 50
8. Nilai Ekspor Gaplek Dunia……………………………………….…........ 56
9. Nilai Ekspor Pati Ubi Kayu Dunia………………………...……...……... 57
10. Nilai Ekspor Tepung Tapioka Dunia…………………………………….. 58
11. Nilai HI dan CR4 Produk-produk olahan ubi kayu tahun 2004-2013…… 63
12. Nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) Gaplek…...…………..... 70
13. Nilai Ekspor Impor Gaplek Tahun 2004-2013…………………………... 71
14. Nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) Pati Ubi Kayu……......... 72
15. Nilai Ekspor Impor Pati Ubi Kayu Tahun 2004-2013…………………… 73
16. Nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) Tepung Tapioka……..... 74
17. Nilai Ekspor Impor Tepung Tapioka Tahun 2004-2013……………….... 75
18. EPD Gaplek Indonesia di Dunia………………………………………… 77
19. EPD Gaplek Indonesia di Negara Tujuan Ekspor……………………….. 78
20. EPD Pati Ubi Kayu Indonesia di Dunia…………………………….…… 79
21. EPD Pati Ubi Kayu Indonesia di Negara Tujuan Ekspor……....………... 79
xiv
22. EPD Tepung Tapioka Indonesia di Dunia……………………………….. 81
23. EPD Tepung Tapioka Indonesia di Negara Tujuan Ekspor …….………. 81
24. X-Model Produk Export Potensial Gaplek Indonesia…………………..... 83
25. X-Model Produk Export Potensial Pati Ubi Kayu Indonesia……………. 84
26. X-Model Produk Export Potensial Tepung Tapioka Indonesia………….. 85
27. ISP (Indeks Spesialisasi Perdagangan)………………………………….. 87
28. Sentra Produksi Ubi Kayu Tahun 2013……………………………….... 91
29. Luas Panen Ubi Kayu Tahun 2010-2013………………………………… 91
30. Luas lahan Tegal, Ladang, dan Sementara Tidak Diusahakan …………. 93
31. Jumlah Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan ……………………….. 94
32. Lapangan Pekerjaan Pertanian Menurut Tingkat Pendidikan…………… 95
33. Kondisi Jaringan Irigasi Berdasarkan Kewenangan 2014..……..……...... 101
34. Nilai Logistic Performance Index (LPI) 2014…………………………… 102
35. Jumlah Infrastruktur di Indonesia Tahun 2014………………………...... 104
36. Permintaan Ubi kayu 2010-2015…………………………..……………. 105
37. Perkembangan Harga Ubi Kayu Indonesia Tahun 2004-2013…...……… 106
38. Persentase Pemenuhan Gaplek Dunia…………………………………… 107
39. Persentase Pemenuhan Pati Ubi Kayu Dunia……………...…………...... 107
40. Persentase Pemenuhan Tepung Tapioka Dunia…………………………. 108
41. Industri Berbasis Ubi Kayu Skala Besar dan Sedang…………..……...... 111
42. Neraca Ubi Kayu Tahun 2010-2016……………………...……………… 122
43. Keterkaitan Antar Komponen Inti Diamond Porter……...………………. 123
44. Ketertaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Inti Diamond Porter………………………………………………………...... 127
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal
1. Pohon Industri Ubi Kayu………………………………..……………...... 13
2. Kerangka Pemikiran Teoritis………………………..…………………… 34
3. Bagan X-model Produk Eksport Potensial…………….………………… 43
4. Perdagangan Gaplek Dunia 2004-2013…………………………………. 54
5. Perdagangan Pati Ubi Kayu Dunia 2004-2013……………………..…… 54
6. Perdagangan Tapioka Dunia 2004-2013………………………………… 55
7. Harga Ubi Kayu Dunia 2011-2014………………………………………. 59
8. Pangsa Pasar Rata-rata Gaplek Dunia 2004-2013………………………. 65
9. Pangsa Pasar Rata-rata Pati Ubi Kayu Dunia 2004-2013……………….. 66
10. Pangsa Pasar Rata-rata Tepung Tapioka Dunia 2004-2013…………….. 68
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Hal
1. Varietas Unggul Ubi Kayu yang Dianjurkan……………………………. 139
2. Negara Penghasil Ubi Kayu Dunia 2009-2013………………………….. 140
3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Negara Penghasil Ubi Kayu Terbesar di Dunia Tahun 2009-2013…………………………………..... 142
4. Luas Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Ubi Kayu Seluruh Provinsi………………………………………………………………...... 144
5. Negara Eksportir Gaplek (US$)……………….…………..…………….. 145
6. Negara Eksportir Pati Ubi Kayu (US$)…………………......…………… 146
7. Negara Eksportir Tepung Tapioka (US$)…………………......………… 147
8. Negara Tujuan Ekspor Gaplek Indonesia (US$)………………………… 148
9. Negara Tujuan Ekspor Pati Ubi kayu Indonesia (US$)………..………… 149
10. Negara Tujuan Eskpor Tepung Tapioka Indonesia…….……………….. 150
11. Perhitungan CR4 dan HI Gaplek………………………………………… 151
12. Perhitungan CR4 dan HI Pati Ubi Kayu……………………………….... 152
13. Perhitungan CR4 dan HI Tepung Tapioka………………………………. 153
14. Perhitungan RCA Gaplek……………………………............................... 154
15. Perhitungan RCA Pati Ubi Kayu………………………………………… 155
16. Perhitungan RCA Tepung Tapioka……………………………………… 156
17. RCA Negara Tujuan Eskpor Gaplek Indonesia……………..…………… 157
18. RCA Negara Tujuan Eskpor Pati Ubi Kayu Indonesia………………….. 159
19. RCA Negara Tujuan Eskpor Tepung Tapioka Indonesia……………....... 161
20. EPD Negara Tujuan Eskpor Gaplek Indonesia…………………….......... 163
21. EPD Negara Tujuan Eskpor Pati Ubi Kayu Indonesia…………………... 165
xvii
22. EPD Negara Tujuan Eskpor Tepung Tapioka Indonesia………...………. 167
23. Perhitungan ISP………………………………………………………...... 169
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis ditandai dengan
adanya dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kondisi iklim
tersebut menjadikan pertanian sebagai salah satu usaha yang sangat menguntungkan
dan dapat dilakukan dengan efisien karena negara Indonesia mempunyai musim yang
mendukung untuk perkembangan pertanian. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari
beberapa subsektor seperti tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan
perikanan. Subsektor tanaman pangan memberikan kontribusi penting karena
peranannya yang dibutuhkan dalam mencapai swasembada pangan melalui program
diversifikasi pangan.
Swasembada pangan saat ini sulit dilaksanakan karena adanya sejumlah
kendala. Salah satu kendala realisasi swasembada pangan adalah kesediaan lahan
pertanian yang terbatas. Pada saat ini lahan pertanian banyak yang berubah fungsi
menjadi lahan industri, transportasi, dan pemukiman (Sunarminto, 2010:16). Menurut
data BPS (2013), menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yaitu sebanyak
238,5 dengan laju perumbuhan 1,38 persen per tahun dan diperkirakan akan menjadi
305,6 juta pada tahun 2035. Semakin bertambahnya jumlah penduduk serta jumlah
lahan untuk pertanian yang semakin berkurang, dapat menyebabkan terjadinya
kerawanan pangan. Terjadinya fenomena kerawanan pangan merupakan saat yang
tepat untuk melakukan revitalisasi tanaman pangan non beras dengan melalui
diversifikasi pangan.
2
Diversifikasi pangan dapat dicapai dengan mengubah pola konsumsi dengan
lebih banyak jenis pangan yang dapat dikonsumsi, sehingga tidak hanya
mengandalkan beras saja. Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar dalam
ketahanan pangan. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah ditegaskan
dalam KePres no 15 tahun 2013 tentang ketahanan pangan. Dalam pasal 1 disebutkan
bahwa program peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat badan
ketahanan pangan tahun anggaran 2013 salah satunya adalah gerakan percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan.
Salah satu komoditi pangan alternatif sebagai sumber karbohidrat non beras
adalah ubi kayu atau singkong. Tanaman ubi kayu atau singkong (Manihot
esculenta), adalah tanaman semusim, satu famili dengan tanaman karet. Menurut
Damardjati dkk (2000) yang dikutip dari Hafsah (2003:28) mengemukakan bahwa
ubi kayu memiliki keunggulan, yaitu: (1) Mampu beradaptasi pada lahan marginal
dan iklim kering; (2) Biaya produksi lebih murah dibandingkan dengan tanaman biji-
bijian; (3) Mendukung pengembangan sistem tumpangsari dikarenakan pertumbuhan
kanopi yang cepat mulai bulan keempat dan di waktu panen dapat ditunda sampai
empat bulan tanpa menurunkan hasil pati; (4) Hama penyakit relatif sedikit dan
mudah diatasi; (5) Viskositas pati dan tepungnya tinggi sehingga dapat digunakan
sebagai baha baku multi industri; (6) Tahan disimpan dalam bentuk tepung selama 6-
10 bulan dan tidak mengalami kerusakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan
sepanjang tahun; (7) Potensi genetiknya tinggi (30-50 ton umbi segar/ha).
Dikutip dari gardjito (2013), bahwa mengkonsumsi ubi kayu lebih murah
daripada beras. Jamil-Musanif (2010) dalam Gardjito dkk (2013:151), membuat
3
perhitungan sebagai berikut: “bila harga singkong Rp 1.000,-/kg (Rp 1,-/gr), maka
untuk memperoleh nilai kalori yang sama, yaitu 1.800 kal/hari dibutuhkan biaya Rp
2.480,00 bila mengonsumsi beras, tetapi hanya Rp 1.169,- bila mengonsumsi
singkong. Dengan demikian makan singkong lebih ekonomis”. Selain itu, ubi kayu
dapat diolah (dari segi proses) melalui pengembangan industri seperti: (1) Industri
proses dehidrasi dengan produk berupa gaplek, chips, pellet, tapioka, dan onggok; (2)
Industri proses hidrolisis dengan produk berupa gula invert, high fructose syrup
(HFS), dekstrosa, maltosa, sirup glukosa, dan sukrosa; (3) Industri proses fermentasi
dengan produk berupa asam cuka, butanol, aseton, asam laktat, asam sitrat,
monosodium glutamate (MSG), gliserol, dan tepung kasava fermentasi.
Berdasarkan keterangan di atas, didapat bahwa komoditi ubi kayu merupakan
salah satu komoditi tanaman pangan yang penting dan mempunyai potensi yang
besar, karena selain sebagai sumber pangan non beras, juga dapat dimanfaatkan untuk
berbagai hal terutama untuk bahan baku industri dan ekspor, serta produk antara
(intermediate product), sehingga potensial untuk dikembangkan seiring dengan
meningkatnya pembangunan sektor industri. Hampir seluruh bagian dari singkong
dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Daun serta umbinya dapat diolah
menjadi aneka makanan baik sebagai makanan utama maupun selingan. Umbinya
dapat diolah menjadi gula cair (high fructose) dan pakan ternak, serta untuk bahan
bakar yang disebut bioethanol. Umbi dan daun singkong juga dapat digunakan
sebagai pakan ternak. Batangnya selain berguna untuk bibit, dalam keadaan kering
juga dapat digunakan sebagai kayu bakar (Sunarminto, 2010:17).
4
Sebagai bahan pangan, singkong mempunyai nilai gizi yang cukup baik. Nilai
gizi singkong sebagai makanan tunggal memang memiliki kadar protein dan
karbohidrat yang lebih rendah dibandingkan dengan beras. Akan tetapi, kandungan
zat makanan dalam singkong yang telah diolah mengalami perubahan. Berikut
merupakan perbandingan kandungan gizi antara ubi kayu dengan beras, tepung
singkong, dan terigu. (Tabel 1)
Tabel 1. Komposisi Singkong, Tepung Singkong dan Terigu per 100 Gram
Sumber: Gardjito dkk (2013:152)
Menurut data FAO (2015), produksi ubi kayu di dunia terkonsentrasi di enam
negara, yaitu: Nigeria, Thailand, Indonesia, Brazil, Kongo, dan Ghana. Hingga tahun
2013, produsen ubi kayu paling besar di dunia yakni Nigeria, disusul Brazil,
kemudian Thailand, dan Indonesia pada urutan keempat. (Tabel 2)
Tabel 2. Produksi Rata-rata Ubi Kayu Dunia Tahun 2004-2013 Negara Nilai (Ton)
Nigeria 43802574
Brazil 24893116.9
Thailand 24711668.5
Indonesia 21842924
Democratic Republic of the Congo 15252468.2
Sumber: FAOSTAT 2015 (diolah)
Komponen (g)
Beras Singkong Tepung Singkong Terigu Kalori (g) 360,00 146,00 363,00 365,00 Protein (g) 6,80 1,20 1,19 8,90 Lemak (g) 0,70 0,30 0,50 1,30 Karbohidrat 78,90 34,00 88,20 77,30 Kalsium 6,00 33,00 84,00 16,00 Fosfor (mg) 140,00 40,00 125,00 106,00 Besi (mg) 0,80 0,70 1,00 1,20
5
Berdasarkan data BPS (2015), produksi ubi kayu nasional pada tahun 2013
mencapai 23,93 juta ton, dan pada tahun 2014 produksi tersebut meningkat menjadi
26,4 juta ton, atau naik sebesar 10,38 % (sebesar 2,48 juta ton). Peningkatan produksi
tersebut disebabkan adanya peningkatan luas panen sebesar 7,83 % (atau tambahan
luas panen sebesar 83,4 ribu hektar, dan peningkatan produktivitas sebesar 2,36 %.
(Tabel 3)
Tabel 3. Luas Panen- Produktivitas-Produksi Tanaman Ubi Kayu Provinsi Indonesia Tahun Luas Panen
(Ha) Produktivitas
(Ku/Ha) Produksi
(Ton) 2010 1183047 202.17 23918118
2011 1184696 202.96 24044025
2012 1129688 214.02 24177372
2013 1065752 224.6 23936921
2014 1149208 229.91 26421770
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Dari total produksi ubi kayu tersebut, sebagian besar digunakan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri (Hafsah, 2003:31). Menurut Saliem dan Nuryanti
(2011:12), Indonesia hanya pemain kecil di pasar ekspor produk ubi kayu dunia.
Thailand menguasai 81% pasar ekspor gaplek dan 96% pati ubi kayu. Eksportir
utama gaplek yang lain adalah Vietnam yang menguasai 14% ekspor gaplek, disusul
Indonesia (3%).
Perdagangan ubi kayu dewasa ini semakin berkembang yang ditandai dengan
semakin meningkatnya permintaan ubi kayu oleh negara-negara konsumen dan
semakin banyaknya jumlah negara pengekspor ubi kayu di dunia. Permintaan ubi
kayu oleh negara konsumen dapat dilihat dari impor ubi kayu yang dilakukan oleh
6
negara konsumen. Dalam kurun waktu 2009 sampai dengan 2013, total impor ubi
kayu dunia dalam bentuk olahan berupa gaplek, pati ubi kayu, dan juga tepung
tapioka mengalami fluktuasi namun cenderung naik. (Tabel 4)
Tabel 4. Impor Gaplek, Pati Ubi Kayu, dan Tepung Tapioka Dunia
Tahun Impor Gaplek Dunia Impor pati ubi kayu
dunia Impor tepung tapioka dunia
2009 3897675 1573540 57595 2010 7188762 2094172 56246 2011 6380181 1953517 61889 2012 5855171 2357934 66451 2013 8747705 2891088 96511
Rata-rata 6413898.8 2174050.2 67738.4 Sumber: UN Comtrade, 2015 (Diolah)
Ketidakmampuan ubi kayu lokal untuk memenuhi kebutuhan ubi kayu di
dalam negeri menyebabkan tingginya volume impor ubi kayu. Hal tersebut juga
terjadi di Indonesia, walaupun Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar
komoditas ubi kayu di dunia, namun Indonesia mengimpor ubi kayu dalam jumlah
yang cukup besar. Hal tersebut tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja, mengingat
potensi untuk meningkatkan produksi ubi kayu di dalam negeri dapat dilakukan.
Berdasarkan potensi fisik seperti kesesuaian lahan, iklim, sumber daya manusia, dan
tingkat adaptasi teknologi, maka tanaman ubi kayu dapat dibudidayakan di berbagai
daerah di Indonesia. Selain itu, adanya kecenderungan meningkatnya permintaan ubi
kayu setiap tahun merupakan peluang bagi agribisnis ubi kayu lokal untuk dapat
dikembangkan di Indonesia.
Potensi yang cukup besar tersebut dapat menentukan keunggulan dan
kemampuan yang dimiliki komoditi ubi kayu Indonesia dalam menghadapi
7
liberalisasi perdagangan (perdagangan bebas). Oleh karena itu, penelitian mengenai
daya saing ubi kayu olahan Indonesia perlu dilakukan untuk mengetahui posisi
bersaing Indonesia dalam perdagangan komoditi ubi kayu olahan di pasar
internasional.
1.2 Perumusan Masalah
Saat ini Indonesia memiliki sejumlah wilayah penghasil ubi kayu di 33
provinsi kecuali DKI Jakarta dengan provinsi Lampung sebagai daerah penghasil ubi
kayu terbesar, diikuti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur,
dan DI Yogyakarta (4.2%) (BPS, 2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa produksi
ubi kayu di tiap provinsi di Indonesia mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih
maju, namun sampai saat ini laju pertumbuhan produksi belum mampu mengimbangi
laju permintaan, sehingga masih harus melakukan impor. Memasuki era globalisasi
dan perdagangan bebas, mau tidak mau sektor pertanian harus mampu bersaing
dengan menghasilkan produk-produk yang bermutu dan mencukupi keperluan
konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor sehingga dapat memberikan nilai dan
manfaat lebih bagi para pelaku-pelaku yang terlibat dalam pengusahaan ubi kayu
tersebut. Ubi kayu merupakan salah satu komoditas dari tanaman pangan yang dapat
memberikan kontribusi tinggi dalam aspek ekonomi Indonesia, yaitu sebagai sumber
devisa dari proses perdagangan baik lokal maupun ekspor, penyedia lapangan
pekerjaan, dan penyuplai makanan pokok serta bahan baku industri makanan dan
minuman.
8
Berdasarkan hal tersebut permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah :
1) Bagaimana struktur pasar dan persaingan ubi kayu olahan di pasar internasional?
2) Apakah ubi kayu olahan Indonesia memiliki keunggulan komparatif di pasar
internasional?
3) Apakah Indonesia memiliki keunggulan kompetitif untuk komoditas ubi kayu
olahan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Menganalisis struktur pasar ubi kayu olahan di pasar dunia.
2) Menganalisis keunggulan komparatif ubi kayu olahan Indonesia di pasar dunia.
3) Menganalisis keunggulan kompetitif ubi kayu olahan Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi
berbagai pihak, yaitu :
1) Melatih kemampuan dalam menganalisis suatu permasalahan secara ilmiah.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi
penelitian selanjutnya terutama penelitian tentang komoditi ubi kayu
3) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan serta sebagai
bahan informasi baru bagi pembaca yang ingin mengembangkan usaha ubi kayu.
9
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas hal-hal yang berhubungan dengan kondisi
pengembangan daya saing ubi kayu olahan di Indonesia dan daya saing ubi kayu
olahan Indonesia di pasar internasional. Identifikasi perubah-perubah yang dianalisis
mencakup luas areal/panen, produksi, produktivitas, konsumsi, ekspor, impor, harga,
situasi komoditi ubi kayu olahan di dalam dan di luar negeri.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi kayu
Dikutip dari Plant Database (2006), ubi kayu atau singkong diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Euphorbiales
Suku : Euphorbiaceae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot esculenta, Crantz.
Ubi kayu (Manihot esculenta) umumnya dikenal dan tersebar luas di
Indonesia, bahkan sudah banyak ditanam di banyak negara di dunia. Di Benua Asia
tersebar di Thailand, Vietnam, India, dan Cina, Di Benua Afrika tersebar di Nigeria,
Kongo, Ghana, Mozambik, Angola, dan Uganda. Di Benua Amerika produksi
terbesar ada di Brasil. Ubi kayu masuk ke Indonesia pada tahun 1852 melalui Kebun
Raya Bogor, dan kemudian tersebar ke seluruh wilayah Nusantara pada saat
Indonesia kekurangan pangan, yaitu sekitar 1914-1918. Dengan demikian, ubi kayu
menduduki posisi sebagai makanan pokok alternatif, selain beras dan jagung
(Gardjito dkk,2013:150).
11
Ubi kayu dapat hidup di tanah yang relatif tidak subur, tidak memerlukan
banyak pupuk maupun pestisida, serta dapat menghasilkan minimal 7-9 ton per hektar
(Gardjito dkk, 2013:151). Menurut Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2009) yang
dikutip dari Gardjito dkk (2013:151) dalam bukunya yang berjudul Pangan
Nusantara: “Hasil yang dicapai per hektar ubi kayu jauh lebih banyak daripada padi
dan gandum. Padi lebi kurang 3,8 ton per hektar, dan gandum 1,8 ton per hektar. Ubi
kayu merupakan tanaman tropik yang menghasilkan umbi besar berpati, mengandung
banyak kalori, berkabohidrat tinggi namun memiliki kandungan protein yang
rendah”.
Dikutip dari Gardjito dkk (2013:154) ubi kayu memiliki sifat atau karakter
sebagai berikut, yaitu: batangnya berbuku-buku (setiap buku batang terdapat mata
tunas), daunnya menjari, dan umbi berasal dari pembesaran sekunder akar adventif,
mengandung air (65%), kadar pati (34,6%), serta sianida (HCN). Berdasarkan kadar
HCN, ubi kayu dikelompokkan dalam dua golongan besar, yaitu ubi kayu jenis pahit
dan jenis tidak pahit. Jenis ubi kayu yang tidak pahit, yaitu varietas ubi kayu yang
umumnya dimanfaatkan untuk bahan pangan, dan juga dapat digunakan untuk
keperluan industri. Adapun jenis ubi kayu yang pahit (kadar HCN tinggi) digunakan
untuk keperluan industri saja, setelah melalui proses pengolahan. Dalam tingkatan
kadar HCN, ubi kayu memiliki tiga kategori, yaitu dengan kandungan HCN kurang
dari 50 ppm sebagai jenis yang tidak beracun, antara 50-100 ppm jenis agak beracun,
dan kandungan HCN lebih besar 100 ppm sebagai jenis beracun. Saat ini telah
terdapat berbagai varietas ubi kayu unggul yang telah dilepas oleh Kementerian
Pertanian (Lampiran1)
12
2.1.1 Manfaat dan Kegunaan Ubi Kayu
Dikutip dari Bancatut (2011), secara tradisi cassava digunakan oleh sebagian
masyarakat sebagai makanan bahan pangan pokok seperti halnya beras dan jagung.
Konsumsi umbi cassava (ubi kayu) sebagai makanan pokok sudah sangat berkurang
sejalan dengan program “berasnisasi” (yaitu konversi bahan pangan pokok ke beras)
pemerintah pada masa orde baru sehingga masyarakat menempatkannya sebagai
makanan kelas dua. Menurut Wagiono dkk (2004) dalam Bancatut (2011), daun
cassava digunakan sebagai bahan sayuran memiliki protein cukup tinggi, atau dapat
juga digunakan untuk keperluan yang lain seperti pakan dan bahan obat-obatan.
Kayunya dapat digunakan sebagai pagar kebun atau kayu bakar untuk memasak.
Sejalan dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, penggunaan
cassava tidak lagi hanya berorientasi pangan tradisional tapi sudah menjadi bahan
baku industri. Umbi cassava sudah digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula
dan etanol. Produksi gula cair (High Fructose Syrup) sudah banyak dikenal di
berbagai negara termasuk Indonesia. Industri etanol yang selama ini menggunakan
bahan baku molases mulai menggunakan cassava karena berbagai alasan termasuk
harga molases yang semakin naik. Masih banyak produk yang dapat dihasilkan dari
cassava tetapi belum berkembang dengan baik. Macam-macam produk yang dapat
dihasilkan dari ubi kayu ditampilkan pada pohon industri ubi kayu sebagai berikut:
13
Gambar 1. Pohon Industri Ubi Kayu
Sumber: Supriadi (2005:5)
2.1.2 Agribisnis Pengolahan Ubi kayu
Dikutip dari Hafsah (2003:103), prospek pengembangan ubi kayu sebagai
usaha bisnis atau agribisnis berbasis ubi kayu masih terbuka luas sejalan dengan
semakin berkembangnya industri pengolahan berbasis ubi kayu. Bagi kalangan
swasta/perusahaan pengolahan industri ubi kayu yang diperlukan adalah kadar bahan
kering maupun kadar pati tinggi dan bermutu tinggi (putih bersih). Untuk
meningkatkan kadar pati dan mutu yang baik, selain ditentukan oleh varietas, sangat
dipengaruuhi pula oleh proses pengolahan ubi kayu. Kesemuanya ini sangat
Ubikayu
UbikayuSegar
ProdukAntara
TepungGaplek
TepungKasava
TepungTapioka
Produk Makanan(keripik/kerupuk, tape, lemet, dll)
Produk Makanan(tiwul, kue kering, dll)
Produk Makanan(roti, mie, biskuit, dll)
Produk Makanan Tradisional(biji salak, kue lapis, kerupuk, dll)
Produk Makanan Modern(bubur susu instan, tepung bumbu, biskuit/snack,
meat product, dll)
Pati Ter-modifikasi
- Pati Pragelatinisasi- Pati Teroksidasi- Pati Posfat- dll.
HidrolisatPati
- Dekstrin- Maltodekstrin- Sirup Glukosa- High Fructose Syrup (HFS)- Sorbitol- dll.
MonosodiumGlutamat (MSG)
- Roti (Bakery)- Es krim- Meat product- Permen- dll.
- Susu formula- Bubur susu instan- Minuman ringan- Saus- Permen- Jam/jelly- dll.
TepungOyek
Produk Makanan(nasi oyek, dll)
Ubikayu
UbikayuSegar
ProdukAntara
TepungGaplek
TepungKasava
TepungTapioka
Produk Makanan(keripik/kerupuk, tape, lemet, dll)
Produk Makanan(tiwul, kue kering, dll)
Produk Makanan(roti, mie, biskuit, dll)
Produk Makanan Tradisional(biji salak, kue lapis, kerupuk, dll)
Produk Makanan Modern(bubur susu instan, tepung bumbu, biskuit/snack,
meat product, dll)
Pati Ter-modifikasi
- Pati Pragelatinisasi- Pati Teroksidasi- Pati Posfat- dll.
HidrolisatPati
- Dekstrin- Maltodekstrin- Sirup Glukosa- High Fructose Syrup (HFS)- Sorbitol- dll.
MonosodiumGlutamat (MSG)
- Roti (Bakery)- Es krim- Meat product- Permen- dll.
- Susu formula- Bubur susu instan- Minuman ringan- Saus- Permen- Jam/jelly- dll.
TepungOyek
Produk Makanan(nasi oyek, dll)
14
dipengaruhi oleh teknologi pengolahan hasil, efisiensi, dan alat yang dimiliki serta
manajemen pengolahannya.
Pengolahan ubi kayu merupakan kegiatan yang sangat penting dalam rangka
meningkatkan nilai tambah. Dengan mengolah ubi kayu menjadi berbagai produk
makanan dan produk antara untuk bahan baku industri baik industri skala menengah
dan besar ataupun industri skala kecil, dapat tercipta diversifikasi produk olahan yang
digemari masyarakat dan dapat meningkatkan produksi. Dalam skala industri kecil,
ubi kayu umumnya diolah menjadi kerupuk/keripik singkong yang diusahakan pada
rumah tangga (home industry). Sedangkan dalam skala menengah dan besar,
pengolahan ubi kayu menjadi berbagai hasil seperti tepung tapioka telah didukung
oleh berdirinya pabrik-pabrik pengolahan yang tersebar hampir di seluruh tanah air.
Ubi kayu pada umumnya diolah menjadi olahan pangan dan olahan non
pangan (Wargiono, J, 2001 dan budijato dkk, 2002) dalam Hafsah (2003:136). Jenis-
jenis produk olahhan dari ubi kayu dikemukakan pada tabel berikut (Tabel 5).
15
Tabel 5 Jenis-Jenis Produk Olahan Ubi Kayu Olahan Pangan Olahan Non Pangan
A. Langsung
1. Keripik Singkong
2. Kerupuk Singkong
3. Tape
4. Makanan tradisional dan
mewah
B. Awetan (diawetkan)
1. Tapioka
2. Gaplek
3. Pellet
4. Tepung singkong
5. Tepung gaplek
6. Onggok, makanan ternak
1. Dextrin
2. Glukosa dan Sukrosa
3. Dekstrosa
4. Asam cuka
5. Butanol
6. Aseton
7. Asalam laknak
8. Asam sitrat
9. Monosodium glutamate
10. Gliserol
Sumber: Hafsah (2003:137)
Dari 20 jenis produk olahan tersebut, terdapat produk olahan yang relatif
menonjol yaitu keripik singkong, gaplek, tapioka, tepung singkong, onggok dan
makanan ternak. (Hafsah, 2003:137)
2.2 Teori Perdagangan Internasional
Menurut Basri dan Munandar (2010:33), “Perdagangan internasional terjadi
karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara yang berdagang karena memiliki
sumber daya yang berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara melakukan
16
perdagangan dengan tujuan skala ekonomi (economies of scale) dalam produksi”.
Maksudnya, jika setiap negara memproduksi barang tertentu, negara tersebut dapat
memproduksi barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan lebih efisien
dibandingkan dengan negara yang memproduksi semua barang. Berdasarkan teoritis
dari kedua motif di atas, dapat diperoleh mulai dari teori perdagangan internasional
klasik, modern hingga yang mutakhir.
Perkembangan teori perdagangan internasional dijabarkan sebagai berikut
(Basri dan Munandar, 2010:35).
1. Merkantilisme
Pemikiran merkantilisme pertama kali ditulis oleh Antinio Serra pada
1613. Merkantilisme saat itu belum mengenal dengan adanya konsep keunggulan
komparatif sebagai pola perdagangan dan mempengaruhi struktur produksi serta
distribusi pendapatan. Konsep merkantilisme didasarkan pada banyaknya stok
emas suatu negara sebagai aset kekayaannya. Dalam konsep ini negara berupaya
meningkatkan ekspor setinggi-tingginya dan menekan ekspor serendah mungkin.
Hal ini menjadikan peran negara dalam meningkatkan kesejahteraan dan
pertumbuhan dominan. Karena dianggap tidak produktif, mazhab ini menjadi
pertentangan seiring perkembangan zaman. Salah satu ahli ekonomi yang
menentang mazhab ini adalah Adam Smith yang kemudian melahirkan sebuah
mazhab baru yaitu teori keuntungan absolut.
2. Teori Keuntungan Absolut
Teori keuntungan absolut dilahirkan oleh Adam Smith sebagai bentuk
protesnya terhadap pemikiran merkatntilisme. Teori ini menyatakan bahwa
17
keuntungan absolut merupakan basis perdagangan internasional suatu negara.
Teori Adam Smith membukakan jalan bagi teori-teori baru lainnya di era
moderen, seperti teori keuntungan komparatif oleh David Ricardo dan teori
Hecksher-Ohlin.Teori
3. Teori Ricardian
Teori ini dirumuskan oleh David Ricardo dimana Ia menyatakan bahwa
perdagangan internasional adalah teori tentang nilai atau value, dimana nilai atau
value suatu barang tergantung dari banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk
memproduksi barang tersebut (labour cost value theory). Perdagangan antar
negara akan timbul apabila masing-masing negara memiliki comparative cost
terkecil. Comparative cost timbul karena adanya perbedaan teknologi antar negara.
Hal ini berarti bahwa berlangsungnya perdagangan internasional merupakan akibat
adanya perbedaaan produktivitas antarnegara
4. Teori Heckscher-Ohlin
Teori Heckscher-Ohlin menekankan bahwa keuntungan komparatif
ditentukan oleh perbedaan relatif kekayaan faktor produksi dan penggunaan faktor
tersebut secara relatif intensif dalam kegiatan produksi barang ekspor. Menurut
Salvatore (2011:112) Ada beberapa asumsi dari teori H-O bagi kedua negara yang
melakukan perdagangan internasional, yaitu:
1. Ada dua negara, dua komoditas, dan dua faktor produksi (tenaga kerja dan
modal)
18
2. Negara yang melakukan perdagangan internasional mempunyai karakteristik
yang berbeda terhadap tenaga kerja yang berlimpah dan sebaliknya berlimpah
barang-barang modal.
3. Kedua negara mempunyai kesamaan teknologi.
4. Kedua negara memiliki selera yang sama.
5. Kedua komoditas yang diproduksi diukur dalam skala hasil konstan.
6. Masing-masing negara melakukan spesialisasi produk.
7. Ada persaingan sempurna di kedua komoditas dan pasar faktor produksi di
kedua negara
8. Ada mobilitas faktor yang sempurna di dalam setiap negara, tetapi tidak ada
mobilitas faktor produksi secara internasional
9. Tidak terdapat biaya transportasi, tarif, atau bentuk lainnya yang menghambat
untuk arus bebas perdagangan internasional.
10. Semua sumber daya sepenuhnya digunakan di kedua negara.
11. Perdagangan internasional antara dua negara seimbang
2.3 Struktur Pasar
Menurut Arsyad (2014:337), struktur pasar menggambarkan tingkat
persaingan di suatu pasar barang dan jasa tertentu. Suatu pasar terdiri dari seluruh
perusahaan dan individu yang ingin dan mampu untuk membeli serta menjual produk
tertentu. Karakteristik pasar yang paling penting adalah jumlah dan ukuran distribusi
para pembeli dan penjual serta tingkat diferensiasi produk yang diperjualbelikan di
19
pasar tersebut. Biasanya, pasar dikelompokkan menjadi 4 macam pasar, yaitu sebagai
berikut:
1. Pasar Persaingan Sempurna
Struktur pasar yang dicirikan oleh jumlah pembeli dan penjual yang
sangat banyak. Jumlah dan nilai transaksi dari setiap individu (pembeli dan
penjual) sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah dan nilai output industri
secara keseluruhan sehingga individu-individu tersebut tidak bisa mempengaruhi
harga produk. Dalam struktur pasar seperti ini, para pembeli dan penjual secara
individual bertindak sebagai penerima harga (price taker). Dalam jangkan
panjang tidak ada perusahaan yang menerima laba di atas laba normal pada
struktur pasar persaingan sempurna ini.
2. Pasar Monopoli
Struktur pasar yang dicirikan oleh adanya seorang produsen tunggal.
Sebuah perusahaan bisa menentukan harga produk dan jumlah outputnya.
Monopolis sangat mungkin untuk memperoleh laba di atas normal, bahkan dalam
jangka panjang sekalipun.
3. Pasar Persaingan Monopolistik
Struktur pasar yang mirip dengan pasar persaingan sempurna, namun ada
sedikit perbedaan diantara keduanya karena dalam persaingan monopolistik
konsumen mengetahui perbedaan-perbedaan dari produk-produk yang dihasilkan
oleh perusahaan-perusahaan yang berbeda. Seperti halnya dalam persaingan
sempurna, dalam pasar persaingan monopolistik laba di atas normal hanya bisa
diperoleh dalam jangka pendek.
20
4. Pasar Oligopoli
Struktur pasar dimana sebagan besar output dari suatu industri hanya
dihasilkan oleh sejumlah kecil perusahaan. Pasar oligopoli ini dibagi menjadi
oligopoli terdiferensiasi (differentiated oligopoly) dimana produk tidak
terbakukan (unstandardized), dan oligopoli tak terdiferensiasi (undifferentiated
oligopoly) dimana produknya terbakukan. Dalam pasar oligopoli ini, keputuan
penetapan harga dan outputnya dari perusahaan-perusahaan yang ada di pasar
saling tergantung satu sama lain. Ini berarti bahwa jika satu peruhaan mengubah
harganya, maka perusahaan-perusahaan lainnya akan bereaksi dan pada akhirnya
informasi perubahan harga tersebut akan dijadikan bahan pertimbangan bagi
penetapan harga dan output dari perusahaan-perusahaan terebut.
2.4 Teori Spesialisasi
Menurut Lukman dan Nasarudin (2007:7), salah satu ciri-ciri dari sistem
perekonomian modern adalah berkembangnya teknologi dan spesialisasi untuk
mencapai efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan ekonomi. Penyebab terjadinya
sepesialisasi yaitu:
1. Banyaknya macam barang yang dibutuhkan manusia, sehingga setiap individu
tidak dapat memenuhi dan menghasilkan kebutuhan tersebut sendiri
2. Begitu kompleksnya proses dari beberapa barang, sehingga tidak dihasilkan
sendiri oleh individu
3. Dalam berbagai tingkat proses produksi masing-masing individu tidak mampu
memprosesnya berdasarkan kemampuan
21
Adapun bentuk-bentuk spesialisasi ada 3, yaitu:
1. Spesialisasi yang terjadi karena adanya perbedaan profesi
2. Spesialisasi yang terjadi karena adanya perbedaan keadaan potensi suatu daerah
3. Spesialisasi yang terjadi disebabkan oleh karena perbedaan tingkatan dalam
produksi
2.5 Daya Saing
Konsep daya saing pada tingkat nasional adalah produktivitas. Produktivitas
adalah nilai output yang diproduksi oleh suatu unit tenaga kerja atau modal.
Produktivitas tergantung baik pada kualitas dan penampilan produk (yang
menentukan harga yang dapat mereka minta) maupun pada efisiensi di mana produk
dihasilkan. Produktivitas adalah penentu utama dari standar hidup negara yang
berjangka panjang, produktivitas adalah akar penyebab pendapatan per kapita
nasional. Produktivitas sumber daya manusia menentukan upah karyawan,
produktivitas dimana modal digunakan, dan return yang diperolehnya untuk para
pemegang sahamnya (Cho dan Moon, 2003:113). Pendekatan yang sering digunakan
untuk mengukur daya saing suatu komoditi dilihat dari dua indikator yaitu
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.
2.5.1 Keunggulan Komparatif
Konsep keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage)
pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo pada awal abad ke sembilan belas.
Ricardo menjelaskan bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan dalam
produktivitas tenaga kerja (Cho dan Moon, 2003:11). Namun, pada awal abad ke dua
22
puluh, muncul sebuah teori penting yang baru mengenai perdaganangan internasional,
yaitu model Heckscher dan Ohlin yang dikembangkan oleh dua orang ekonom
Swedia.
Dikutip dari Cho dan Moon (2003:11), Heckers dan Ohlin berpendapat bahwa
keunggulan komparatif muncul dari perbedaan dalam factor endowments, yaitu
faktor-faktor produksi yang mendukung dan melandasi perdagangan internasional
seperti kekayaan alam, tenaga kerja dan modal (didukung dengan teknologi).
Menurut model HO tersebut, terdapat dua ciri-ciri dasar dari negara dan produk, yaitu
negara berbeda satu sama lain menurut faktor produksi yang dimilikinya, sedangkan
barang berbeda satu sama lain menurut faktor yang diperlukan dalam
memproduksinya. Model HO mengatakan bahwa suatu negara akan memiliki
keunggulan komparatif dalam barang yang produksinya relatif intensif dalam hal
faktor yang dimilikinya, dan oleh karena itu akan mengekspornya. Logikanya adalah
bahwa semakin berlebihannya suatu faktor, maka akan semakin rendah biayanya.
Oleh karena itu, perbedaan dalam factor endowments dari berbagai negara dapat
menjelaskan perbedaan dalam biaya faktor, yang mengakibatkan keunggulan
komparatif yang berbeda.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu negara akan
memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain bila negara tersebut
berspesialisasi dalam komoditi yang dapat diproduksi dengan lebih efisien
(mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditi yang kurang efisien
(mengalami kerugian absolut) (Salvatore, 2014:35).
23
2.5.2 Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi
perekonomian aktual. Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali
oleh Porter (1990). Menurut Porter dalam Cho dan Moon (2003:81), terdapat empat
faktor utama yang menentukan daya saing suatu industri, yaitu: kondisi faktor sumber
daya, kondisi permintaan, kondisi industri pendukung dan industri terkait serta
kondisi struktur, persaingan dan strategi perusahaan. Faktor-faktor tersebut
membentuk suatu sistem yaitu “The Diamond of National Advantage" dan
menciptakan suatu lingkungan dimana suatu perusahaan lahir dan belajar bagaimana
bersaing. Setiap poin dalam berlian tersebut mempengaruhi keberhasilan suatu negara
dalam mendapatkan keunggulan bersaing di pasar internasional. Disamping itu,
Porter (1990) dalam Cho dan Moon (2003:142) juga memasukkan dua variable di
luar model, yaitu peranan kesempatan dan peranan pemerintah yang turut akan
mempegaruhi model. Di mana peran pemerintah menjadi faktor penting dalam
meningkatkan keunggulan bersaing. Komponen dalam Sistem Berlian Porter
dijelaskan sebagai berikut (Puspita, 2009)
1. Kondisi Faktor Sumber Daya
Posisi Indonesia berdasarkan sumber daya yang dimiliki merupakan faktor
produksi yang diperlukan untuk memperoleh daya saing. Faktor produksi
digolongkan ke dalam lima kelompok, yaitu:
24
A. Sumber Daya Fisik atau Alam
Sumber daya fisik atau sumber daya alam yang mempengaruhi daya
saing nasional mencakup biaya, aksestabilitas, mutu dan ukuran lahan
(lokasi), ketersediaan air, mineral, dan energi. Begitu juga kondisi cuaca dan
iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain.
B. Sumber Daya Manusia
Sumber daya terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia,
kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja
yang berlaku (tingkat upah), dan etika kerja (termasuk moral).
C. Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sumber daya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar,
pengetahuan teknis dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan
dalam memproduksi ubi kayu baik segar maupun olahan. Begitu juga
ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan
tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, asosiasi pengusaha, asosiasi
perdagangan dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya.
D. Sumber Daya Modal
Sumber daya terdiri dari jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia,
jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi
lembaga pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan
keuangan, kondisi moneter, fiskal serta peraturan moneter dan fiskal.
25
E. Sumber Daya Infrastruktur
Sumber daya infrastruktur terdiri dari ketersediaan, jenis, mutu dan
biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan. Termasuk
sistem transportasi, komunikasi, pos, giro, pembayaran transfer dana, air
bersih, energi listrik dan lain-lain.
2. Kondisi Pemintaan
Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu daya saing,
terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan
sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing di pasar
global. Mutu permintaan di dalam negeri memberikan tantangan bagi setiap
perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya sebagai tanggapan terhadap mutu
persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi permintaan yang
mempengaruhi daya saing industri nasional yaitu:
A. Komposisi Permintaan Domestik
Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi daya saing
industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi:
a) Struktur segmen permintaan. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih
mudah memperoleh daya saing pada struktur segmen permintaan yang
lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen yang sempit.
b) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi. Hal tersebut akan
meningkatkan tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang
bermutu dan memenuhi standar yang tinggi yang mencakup standar mutu
produk, fitur produk dan pelayanan.
26
c) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri.
Hal terssebut merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan
bersaing.
B. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat
persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh pembeli bebas, tingkat
pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan
permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih
awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan
keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika
industri melakukannya dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman
modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan
peningkatan produktivitas.
C. Internasionalisasi Pemintaan Domestik
Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan
mendorong daya saing industri nasional, karena dapat membawa produk
tersebut ke luar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional
tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong
meningkatnya daya saing produk negeri yang dikunjungi tersebut.
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan industri terkait dan industri pendukung pada agribisnis ubi
kayu yang telah memiliki daya saing global juga akan mempengaruhi daya saing
industri utamanya. Industri hulu yang memiliki daya saing global akan memasok
27
input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik,
pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan
kebutuhan industri utama, sehingga industri tersebut juga akan memiliki daya
saing global yang tinggi. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk
industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki daya saing
global maka industri hilir tersebut dapat menarik industri hulunya untuk
memperoleh daya saing global.
4. Struktur, Persaingan, Strategi Perusahaan
Struktur industri juga menentukan daya saing yang dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri
yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikan-
perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri yang
bersaing. Struktur perusahaan yang berada dalam industri sangat berpengaruh
terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan dikembangkan
dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Dengan
demikian secara tidak langsung akan meningkatkan daya saing global industri
yang bersangkutan.
A. Struktur Pasar
Istilah struktur pasar digunakan untuk menunjukkan tipe pasar. Derajat
persaingan struktur pasar (degree of competition of market share) dipakai
untuk menunjukan sejauh mana perusahaan-perusahaan individual
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan
lain dari produk yang dijual di pasar. Struktur pasar didefinisikan sebagai
28
sifat-sifat organisasi pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan
perusahaan. Jumlah penjual dan keadaan produk (nature of the product)
adalah dimensi-dimensi yang penting dari struktur pasar. Adapula dimensi
lainnya yaitu mudah atau sulitnya memasuki industri (hambatan masuk pasar),
kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan melalui iklan dan lain-
lain. Beberapa struktur pasar yang ada antara lain pasar persaingan sempurna,
pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni dan pasar oligopsoni.
Biasanya struktur pasar yang dihadapi suatu industri seperti monopoli dan
oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam menguasai pangsa
pasar yang ada, dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang bergerak dalam
suatu industri.
B. Persaingan
Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu pendorong
bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan
inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor
penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada
perusahaan lain dalam meningkatkan daya saingnya. Perusahaan-perusahaan
yang telah teruji pada persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih
mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan dengan
perusahaan-perusahaan yang belum memiliki daya saing yang tingkat
persaingannya rendah.
29
C. Strategi Perusahaan
Dalam menjalankan suatu usaha, baik usaha yang berskala besar
maupun perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waktu, pemilik atau
manajer dipastikan mempunyai keinginan untuk mengembangkan usahanya
ke dalam lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu
strategi khusus yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha.
Dalam penyusunan suatu strategi diperlukan perencanaan yang matang
dengan mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh terhadap
organisasi atau perusahaan tersebut.
5. Peran Pemerintah
Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya
peningkatan daya saing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu
daya saing global. Perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri mampu
menciptakan daya saing global secara langsung. Peran pemerintah merupakan
fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan dalam industri
agar senantiasa melakukan perbaikan dan meningkatkan daya saingnya.
Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku-pelaku industri terhadap
berbagai sumber daya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumber daya alam,
tenaga kerja, pembentukan modal, sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi
serta informasi. Selain itu, Pemerintah juga dapat mempengaruhi tingkat daya
saing melalui kebijakan yang memperlemah faktor penentu daya saing industri,
tetapi pemerintah tidak dapat secara langsung menciptakan daya saing global
namun memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi
30
faktor penentu daya saing, sehingga perusahaan-perusahaan yang berada dalam
industri mampu mendayagunakan faktor-faktor penentu tersebut secara efektif
dan efisien.
6. Peran Kesempatan
Peran kesempatan merupakan faktor yang berada di luar kendali industri
atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan daya saing global industri nasional.
Beberapa kesempatan yang dapat mempengaruhi naiknya daya saing industri
global nasional adalah penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak
berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang),
meningkatkan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi dari
peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai faktor
kesempatan lainnya.
2.6 Penelitian Terdahulu
2.6.1 Penelitian Tentang Daya Saing
Untuk memberikan gambaran terhadap daya saing terdapat beberapa
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu: (1) Anneke Rau (2014) berjudul
Analisis Daya Saing Kopi Indonesia di Pasar Internasional yang menggunakan RCA,
Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), dan juga teori berlian Proter. (2) Riana Ayu
Wulandari (2013) berjudul Analisis Daya Saing Ubi jalar Indonesia di Pasar
Internasional yang menggunakan Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio
(CR), Revealed Comparative Advantage (RCA), dan juga Teori Berlian Porter. (3) Sri
Anna Febriyanthi (2008) berjudul Analisis Daya Saing Ekspor Komoditi Teh
31
Indonesia di Pasar Internasional yang menggunakan HI dan CR, RCA, dan juga Teori
Berlian Porter. (4) Altika Ningsih (2013) berjudul Analisis Daya Saing dan Faktor-
Faktor yang Memengaruhi Permintaan Minyak Atsiri Indonesia di Negara Tujuan
Ekspor yang menggunakan RCA, Export Product Dynamic (EPD), X-Model produk
potensial, dan juga regresi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan minyak atsiri Indonesia. (5) Agnes Aulia Dwi Puspita (2009) berjudul
Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di
Indonesia yang menggunakan analisis Berlian Porter, SWOT, dan Arsitektur
Strategik.
2.6.2 Penelitian Tentang Ubi Kayu
Penelitian tentang ubi kayu sudah pernah dilakukan oleh Putri Suci Asriani
(2011) yang berjudul Analisis Daya Saing Ekspor Ubi kayu Indonesia yang
menggunakan Metode RCA (Revealed Comparative Advantage), ISP (Indeks
Spesialisasi Perdagangan) dan juga AR (Acceleration Ratio). Penelitian tersebut
menghasilkan kesimpulan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk
komoditas pati ubi kayu, gaplek, dan tapioka. Komoditas gaplek dan tapioka
mempunyai daya saing yang kuat atau Indonesia cenderung sebagai pengekspor dari
komoditas tersebut. Untuk komoditas pati ubi kayu memiliki daya saing yang rendah
atau Indonesia cenderung sebagai pengimpor komoditas tersebut. Komoditas gaplek,
tapioka, dan pati ubi kayu mempunyai pangsa pasar ekspor yang kuat atau Indonesia
dapat merebut pasar ekspor untuk komoditas-komoditas tersebut.
32
2.7 Kerangka Pemikiran
Konsumsi ubi kayu di Indonesia semakin meningkat karena permintaan
terhadap ubi kayu bukan hanya sebagai sumber pangan, namun juga sebagai bahan
olahan yang merupakan bahan baku utama bagi berbagai macam produk olahan
pangan semakin meningkat. Produk olahan pangan berbahan baku ubi kayu (keripik
singkong, tape, getuk, misro, combro, getuk lindri, dan berbagai macam makanan
lainnya) dikonsumsi hampir di setiap rumah tangga, yang meliputi segala lapisan
masyarakat, mulai dari kalangan bawah sampai atas. Sedangkan kebutuhan ubi kayu
nasional hingga saat ini masih dipenuhi oleh impor walaupun Indonesia merupakan
negara dengan produksi ubi kayu ke empat terbesar di dunia. Padahal berdasarkan
kesesuaian lahan, ubi kayu dapat ditanami di hampir semua daerah di Indonesia.
Untuk itu, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dilakukan pengembangan
agribisnis ubi kayu.
Hal tersebut menjadi dasar penelitian ini yaitu untuk menganalisis kondisi
pengembangan agribisnis dan daya saing ubi kayu saat ini. Oleh karena itu, tahapan
pertama dalam penelitian ini adalah menganalisis dengan Herfindahl Index (HI) dan
Concentration Ratio (CR) untuk menggambarkan struktur dan pangsa pasar yang
dimiliki oleh komoditas ubi kayu Indonesia di pasar internasional. Lalu menggunakan
Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menjelaskan kekuatan daya saing ubi
kayu secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain yang juga menunjukkan
posisi komparatif Indonesia sebagai produsen ubi kayu dibandingkan negara lainnya
dan alat analisis Export Product Dynamic (EPD) dan X-Model Produk ekspor
potensial untuk mengetahui daya saing ubi kayu di tiap negara tujuan eksport.
33
Pendekatan lain yang digunakan adalah menggunakan analisa Indeks
Spesialisasi Perdagangan (ISP) untuk mengetahui apakah Indonesia lebih sebagai
eksportir atau importir ubi kayu. Kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan
pengkajian potensi, kendala dan peluang komoditas ubi kayu dengan melihat kondisi
ekonomi aktual. Analisis situasi internal dan eksternal ini dilakukan dengan
pendekatan Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) mengenai keunggulan
bersaing negara-negara. Teori Berlian Porter menganalisis faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi keunggulan kompetitif suatu negara, dalam penelitian
ini berarti faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif ubi kayu
Indonesia.
34
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Teoritis
Indonesia sebagai produsen ubi kayu terbesar keempat dunia
Indonesia merupakan pengimpor ubi kayu Terbesar di dunia
Indonesia memiliki potensi yang besar
Daya Saing Ubi kayu olahan Indonesia
Analisis Struktur Pasar Ubi kayu Indoenesia
Keunggulan Komparatif Ubi kayu Indonesia
Analis Daya Saing Ubi kayu Indonesia di Negara
Tujuan Ekspor
Daya Saing Kompetitif Ubi kayu Indonesia
RCA (Revealed Comparative Advantage)
EPD (Export Product Dynamics)
X-Model Produk ekspor potensial
ISP (Indeks Spesialisasi Produk)
Analisis Diamond Porter
HI (Herfindahl Index)
Cr4 (Concentration Ratio)
Gambaran Daya Saing Ubi kayu Olahan Indonesia di pasar
Internasional
35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini membahas tentang struktur pasar ubi kayu olahan di pasar
international, daya saing ubi kayu olahan Indonesia, dan kondisi agribisnis ubi kayu
olahan di Indonesia dengan menganalisis faktor-faktor penentu daya saing agribisnis
ubi kayu olahan di Indonesia. Lingkup penelitian ini meliputi analisis daya saing ubi
kayu olahan Indonesia dengan skala nasional (makro). Penelitian dilakukan dari bulan
Juni hingga September 2015.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
merupakan data deret waktu (time series) selama sepuluh tahun dari tahun 2004
sampai tahun 2013 karena dengan adanya data selama sepuluh tahun sudah dapat
memberikan gambaran tentang perkembangan dari komoditas ubi kayu tersebut. Data
paling baru yang tersedia untuk komoditas ubi kayu dunia adalah tahun 2013
sehingga data yang diambil adalah data 10 tahun terakhir, yaitu tahun 2001 sampai
dengan tahun 2013. Selain itu, selama sepuluh tahun terakhir Impor ubi kayu untuk
Indonesia semakin banyak dilakukan. Hal tersebut dapat menyebabkan turunnya daya
saing Indonesia untuk komoditas ubi kayu di pasar dunia, yang sebelumnya menjadi
pengekspor ubi kayu malah menjadi pengimpor atau konsumen. Data yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi jumlah produksi ubi kayu Indonesia dan dunia, nilai
ekspor ubi kayu Indonesia, negara-negara produsen, dan eksportir ubi kayu di dunia,
36
harga, pangsa pasar masing-masing negara, nilai ekspor komoditas di Indonesia, dan
data ekspor seluruh komoditas di dunia. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan
informasi yang berkaitan dengan potensi ubi ubi kayu di Indonesia untuk kajian
keunggulan kompetitif. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS),
Departemen Pertanian, Food and Agriculture Organization (FAO), dan United
Nation Commodity Trade (UN Comtrade), serta World Bank yang ditelusuri melalui
jaringan internet. Sumber informasi lainya diperoleh dari buku, artikel, jurnal, dan
internet. Dalam penelitian ini juga menggunakan data-data yang berasal dari literatur
dan penelitian-penelitian terdahulu.
3.3 Metode Analisis Data
Metode analisis dan pengolahan data yang digunakan pada penelitian ini
dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Untuk analisis daya saing secara kuantitatif
dilakukan dengan menggunakan Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio
(CR), RCA (Revealed Comparative Advantage), EPD (Export Product Dynamic), X-
Model Produk ekspor potensial, dan ISP (Indeks Spesialisasi Perdagangan).
Sedangkan untuk analisa secara kualitatif digunakan untuk menganalisis situasi dan
kondisi faktor penentu daya saing dan faktor strategis dalam menghadapi persaingan
di pasar internasional. Analisis keunggulan kompetitif secara kualitatif dilakukan
menggunakan teori Berlian Porter. Pengolahan data dalam penelitian ini
menggunakan software Microsoft Excel. Produk olahan ubi kayu yang dianalisis
yaitu dengan kode HS 071410 untuk komoditas gaplek, HS 110814 untuk komoditas
pati ubi kayu, dan HS 110620 untuk komoditas tepung tapioka.
37
3.3.1 Concentration Ratio (CR) dan Herfindahl Index (HI)
Beradasarkan pada Arsyad (2008:362), rasio konsentrasi mengukur besarnya
pangsa perusahaan yang terbesar dalam penjualan industri secara keseluruhan. Rasio
konsentrasi biasa dituliskan dengan CRn dengan n sebagai jumlah perusahaan yang
merupakan proporsi dari jumlah penjualan industri yang disumbang oleh perusahaan
sejumlah n tersebut. Biasanya digunakan rasio-rasio konsentrasi 4 dan 8 perusahaan
yang dituliskan dengan CR4 dan CR8. Dalam penelitian ini nilai rasio konsentrasi
yang digunakan adalah nilai CR4 yaitu empat eksportir ubi kayu terbesar di dunia.
CR4 dipilih karena telah dapat memberikan gambaran dan dapat menunjukkan
pangsa pasar ubi kayu di dunia sehingga dapat diketahui struktur pasarnya.
Ide di balik rasio konsentrasi ini adalah bahwa penjualan industri yang
kompetitif terdistribusi secara merata diantara perusahaan-perusahaan, sedangkan
dalam industri yang monopolistik penjualan hanya terkonsentrasi pada beberapa
perusahaan saja. Dan untuk industri dengan struktur pasar monopoli murni, penjualan
terkonsentrasi hanya pada satu perusahaan. Perhitungan rasio konsentrasi pasar
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Febriyanthi, 2008):
CR4 = Sij1 + Sij2 + Sij3 + Sij4
Dimana:
CR4= nilai konsentrasi pasar empat produsen utama ubi kayu di pasar
internasional
Sij = pangsa pasar negara ke-i penghasil ubi kayu di pasar internasional
Untuk perhitungan pangsa pasar dilakukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut (Febriyanthi, 2008):
38
Sij = Xij/TXj
Dimana:
Sij = Pangsa pasar negara ke-i penghasil ubi kayu di pasar internasional
Xij = Nilai ekspor ubi kayu negara ke-i di pasar internasional
TXj = Total nilai ekspor ubi kayu di pasar internasional
Selain itu, untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi oleh suatu industri
dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode HI (Herfindahl Index). Menurut
Arsyad (2008:363), Indeks Herfindahl merupakan penyempurnaan dari rasio
konsentrasi. Untuk menghilangkan beberapa kelemahan rasio konsentrasi, Orris C.
Herfindahl (1959) mengajukan suatu indeks yang memperhatikan distribusi ukuran
seluruh perusahaan. Nilai HI mencerminkan penguasaan pangsa pasar oleh suatu
negara dalam pasar internasional. Indeks tersebut merupakan hasil penjumlahan
kuadrat pangsa pasar tiap-tiap negara dalam pasar internasional. Indeks Herfindahl
didefinisikan sebagai berikut (Arsyad, 2008:364):
HI = Sij12 + Sij22 + Sij32 + … + Sijn2
Dimana:
Sij = Pangsa pasar komoditi i (dalam hal ini adalah ubi kayu) negara j
dipasar internasional
n = Jumlah negara produsen ubi kayu di pasar internasional
Nilai HI yang kecil atau mendekati 0, menunjukkan bahwa terdapat banyak
perusahaan yang berukuran relatif sama. Sedangkan nilai HI yang besar atau
mendekati 1 (1000), menunjukkan bahwa adanya kekuatan monopoli yang lebih besar
serta distribusi pangsa yang sangat tidak merata dalam suatu industri. Dari nilai Rasio
39
Konsentrasi (CR4) dan Indeks Herfindahl (HI) dapat disimpulkan sebagai berikut
(Febriyanthi, 2008):
1. Konsentrasi pasar yang rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisarantara 0-
50 persen dan HI antara 0-1000. Bentuk pasar yang mungkin adalah pasar
persaingan sempurna atau sekurang-kurangnya adalah pasar persaingan
monopolistik.
2. Konsentrasi pasar sedang dicirikan dengan nilai CR4 antara 50-80 persen dan
nilai HI yang berkisar antara 1000-1800. Bentuk pasar untuk tingkat konsentrasi
sedang adalah lebih banyak oligopoli.
3. Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 80-
100 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1800-10000. Dalam hal ini
bentuk pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau
sedikit monopoli cenderung oligopoli.
3.3.2 Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)
Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) digunakan untuk untuk
mengetahui posisi keunggulan komparatif komoditas ubi kayu Indonesia diantara
negara-negara produsen lainnya di pasar internasional. Selain itu, indeks ini juga
dapat mengukur apakah industri tersebut cukup tangguh di pasar internasional atau
tidak dapat diketahui secara kuantitatif dengan menggunakan indeks ini.
Metode pengukuran Revealed Comparative Advantage (RCA) pertama kali
diperkenalkan oleh Bela Balassa pada tahun 1965 dalam penelitiannya mengenai
pengaruh liberalisasi perdagangan luar negeri terhadap keunggulan komparatif hasil
industri Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara yang tergabung dalam pasar
40
bersama Eropa (MEE), serta pada tahun 1977 untuk negara yang sama ditambah
Kanada dan Swedia. Balassa menggunakan dua konsep pemikiran, pertama
didasarkan pada rasio impor dan ekspor, dan kedua pada prestasi ekspor relatif.
Kelemahan metode ini adalah pertama, campur tangan pemerintah dan berbagai
macam distorsi pasar cenderung akan membuat nisbah ekspor-impor menjadi bias
untuk mengukur tingkat keunggulan komparatif suatu komoditas. Kedua,
sebagaimana dikemukakan oleh Donges dan Riedel (1977), pengukuran keunggulan
komparatif dengan nisbah ekspor impor memang bisa menggambarkan pola
perdagangan yang ada, namun ia tak mampu mencerminkan apakah pola tersebut
merupakan yang optimal (Basri & Munandar, 2010:44)
Alasan bahwa impor lebih peka terhadap tingkat perlindungan tarif, dan pada
perkembangan selanjutnya Balassa meninggalkan ukuran yang pertama. Balassa
mengevaluasi prestasi ekspor masing-masing komoditi di negara-negara tertentu
dengan membandingkan bagian relatif ekspor suatu negara dalam ekspor dunia. Dasar
pemikiran yang melandasi metode ini adalah bahwa kinerja ekspor suatu negara
sangat ditentukan tingkat daya saing relatifnya terhadap produk serupa buatan negara
lain, tentu dengan asumsi (cateris paribus) bahwa faktor- faktor lain yang
mempengaruhi pertumbuhan ekspor tetap tidak berubah. Perhitungan dengan metode
RCA dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Basri dan Munandar,
2010:42):
푪 = 푿풊풋/푿풋푿풊풘/푿풘
41
Dimana:
C = Nilai RCA
Xij = Nilai ekspor komoditas I negara j
Xj = Nilai ekspor total negara j
Xiw = Nilai ekspor total komoditi i dunia
Xw = Nilai ekspor total dunia
Jika nilai RCA lebih dari 1 (RCA>1), maka suatu negara memiliki
keunggulan komparatif diatas rata-rata dunia sehingga komoditi tersebut memiliki
daya saing kuat. Sedangkan Jika nilai RCA kurang dari 1 (RCA<1), maka suatu
negara memiliki keunggulan komparatif di bawah rata-rata dunia sehingga suatu
komoditi memiliki daya saing lemah. Semakin besar nilai RCA maka semakin besar
daya saing atau keunggulana yang dimiliki suatu negara atas komoditi tersebut.
3.3.2 EPD (Export Product Dynamic)
EPD merupakan salah satu indikator daya saing dengan mengukur posisi
pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Metode ini dapat
mengukur dinamis tidaknya suatu produk di pasar. Kedinamisan ini secara spesifik
mengidentifikasi tingkat pertumbuhan ekspor suatu komoditi. Rumus umum EPD,
yaitu sebagai berikut (Ningsih, 2013:11):
Sumbu x: pertumbuhan pangsa pasar ekspor i =
푿풊풋푾풊풋 풕풙ퟏퟎퟎ%−
풏
풕 ퟏ
푿풊풋푾풊풋 풕 − ퟏ풙ퟏퟎퟎ%
풏
풕 ퟏ푻
42
Sumbu y: pertumbuhan pangsa pasar produk =
푿풕푾풕 풕풙ퟏퟎퟎ% −
풏
풕 ퟏ
푿풕푾풕 풕 − ퟏ풙ퟏퟎퟎ%
풏
풕 ퟏ푻
Keterangan:
Xij = Nilai ekspor ubi kayu Indonesia di negara tujuan ekspor
Xt = Nilai ekspor total Indonesia di negara tujuan ekspor
Wij = Nilai ekspor ubi kayu dunia di negara tujuan ekspor
Wt = Nilai ekspor total dunia di negara tujuan ekspor
T = Jumlah tahun analisis yang dipergunakan
Metode EPD terdiri dari matriks yang menempatkan produk yang dianalisis
ke dalam empat kategori (tabel 6).
Tabel 6. Matriks Posisi Pasar Share of country's export
in world trade (x)
Share of Product in World Trade
Rising (Dynamic) Falling (Stagnant)
Rising/Competitive Rising star Falling star
Falling/non-competitive Lost opportunity Retreat
Sumber: Estherhuizen (2006) dalam Ningsih (2013)
3.3.3 X-Model Produk ekspor potensial
Metode ini digunakan untuk melakukan klusterisasi produk yang memiliki
potensi pengembangan tinggi di negara tujuan ekspor dengan mempertimbangkan
daya saing (RCA) dan posisi pasar (EPD). Analisis X-model produk ekspor potensial
seperti ditunjukkan pada Gambar berikut (Ningsih, 2013:12):
43
Gambar 3 Bagan X-Model Produk ekspor Potensial
3.3.4 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
ISP digunakan untuk menganalisis posisi atau tahapan perkembangan suatu
komoditas. ISP ini dapat menggambarkan apakah untuk suatu komoditas, posisi
Indonesia cenderung menjadi negara eksportir atau importir komoditas pertanian
tersebut. Secara umum ISP dapat dirumuskan sebagai berikut (Kemendag, 2014) :
ISP = 푿풊풂 푴풊풂푿풊풂 푴풊풂
Dimana :
Xia = Nilai ekspor komoditas ubi kayu Indonesia
Mia = Nilai impor komoditas ubi kayu Indonesia
Nilai indeks ini mempunyai kisaran antara -1 sampai dengan 1. Jika nilai ISP
positif diatas 0 sampai 1(0 < 퐼푆푃 ≤ 1), maka negara yang bersangkutan cenderung
sebagai pengekspor dari komoditi tersebut (suplai domestik lebih besar daripada
EPD
Rising Stars Falling Stars
Loss Opportunity
Retreat
Rising Stars Falling Stars
Retreat Loss Opportunity
y
RCA<1 RCA>1
Pengembangan pasar optimis
Pengembangan tidak potensial
Pengembangan pasar potensial
Pengembangan pasar kurang
potensial
44
permintaan domestik). Sebaliknya, jika nilai ISP negatif dibawah 0 hingga -1 (-
1≤ 퐼푆푃 < 0), maka negara tersebut cenderung sebagai pengimpor (suplai domestik
lebih kecil dari permintaan domestik). Apabila nilai ISP mengalami peningkatan,
maka daya saingnya juga akan meningkat dan begitu pula sebaliknya.
Selain itu, Indeks ISP tersebut juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
tingkat pertumbuhan suatu komoditi dalam perdagangan. Menurut kementrian
perdagangan (2014), hal tersebut terbagi ke dalam 5 tahap, yaitu sebagai berikut :
1. Tahap Pengenalan
Ketika suatu industri (forerunner) disuatu negara A mengekspor produk-
produk baru dan industri pendatang belakangan (latercomer) di negara B impor
produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai indeks ISP dari industri latercomer
ini adalah -1,00 sampai -0,50.
2. Tahap Subtitusi Impor
Nilai indeks ISP naik antara - 0,51 sampai 0,00. Pada tahap ini, industri di
negara B menunjukkan daya saing yang sangat rendah, dikarenakan tingkat
produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Industri
tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas yang kurang bagus dan
produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri.
Dengan kata lain, untuk komoditi tersebut, pada tahap ini negara B lebih banyak
mengimpor daripada mengekspor.
3. Tahap Pertumbuhan
Nilai indeks ISP naik antara 0,01 SAMPAI 0,80, dan industri di negara B
melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya. Di
45
pasar domestik, penawaran untuk komoditi tersebut lebih besar daripada
permintaan.
4. Tahap Kematangan
Nilai indeks berada pada kisaran 0,81 sampai 1,00. Pada tahap ini produk
yang bersangkutan sudah pada tahap standardisasi menyangkut teknologi yang
dikandungnya. Pada tahap ini negara B merupakan negara net exportir.
5. Tahap Kembali Mengimpor
Nilai indeks ISP kembali menurun antara 1,00 sampai 0,00. Pada tahap
ini industri di negara B kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari
negara A, dan produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.
3.3.5 Analisis Berlian Porter
Analisis dilakukan pada tiap komponen yang terdapat pada Teori Berlian
Porter (Porter’s Diamond Theory). Komponen tersebut meliputi (Cho dan Moon,
2003:81):
1) Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor–faktor produksi dalam suatu industri
seperti tenaga kerja dan infrastuktur.
2) Demand Condition (DC), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa dalam
negara.
3) Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan
industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan.
4) Firm, Strategy, Structur, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut
perusahaan pada umumnya, stuktur industri dan keadaan kompetisi dalam suatu
industri domestik.
46
Selain itu, ada komponen lain yang terkait dengan keempat komponen utama
tersebut, yaitu faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat faktor utama dan dua
faktor pendukung tersebut saling berinteraksi. Dari hasil analisis komponen penentu
daya saing dapat ditentukan komponen yang menjadi keunggulan dan kelemahan
daya saing agribisnis ubi kayu lokal di Indonesia. Hasil keseluruhan interaksi antar
komponen yang saling mendukung sangat menentukan perkembangan yang dapat
menjadi keunggulan kompetitif dari suatu industri.
47
BAB IV GAMBARAN UMUM UBI KAYU OLAHAN
4.1 Gambaran Umum Ubi Kayu
Ubi kayu (Manihot esculenta) merupakan salah satu bahan pangan utama,
tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Di Indonesia, ubi kayu merupakan
makanan pokok ke tiga setelah padi dan jagung. Tanaman ubi kayu memiliki banyak
varietas atau klon yang dapat di konsumsi sebagai makanan atau menjadi bahan baku
bagi industri gaplek, pati ubi kayu ataupun tepung tapioka, yang selanjutnya
dipergunakan untuk berbagai industri seperti makanan, makanan ternak, kertas dan
lainnya. Secara teknis tanaman ubi kayu dapat ditanam pada tanah yang kurang
subur, tahan terhadap kekeringan dan mempunyai waktu panen sepanjang tahun.
Berdasarkan potensi fisik seperti kesesuaian lahan, iklim, sumber daya manusia dan
tingkat adaptasi tekologi, tanaman ubi kayu bisa dibudidayakan di banyak tempat di
Indonesia sehingga memungkinkan untuk diusahakan oleh para petani secara luas.
Lima provinsi penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia adalah Lampung, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan DI Yogyakarta.
Dengan produksi yang cukup tinggi, yaitu dengan termasuknya Indonesia
sebagai salah satu negara produsen ubi kayu terbesar di dunia, membuat komoditas
ubi kayu memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Saat ini ubi kayu tidak
hanya dimanfaatkan sebagai sumber pangan, bahan baku industri, dan pakan ternak,
tetapi juga sebagai sumber energi alternatif seperti bioethanol. Kondisi ini
menjadikan perhatian untuk mengetahui lebih dalam mengenai kinerja perdagangan
48
dari ubi kayu.
Ubi kayu biasa diekspor dalam bentuk gaplek, pati ubi kayu, ataupun tepung
tapioka. gaplek atau dried cassava merupakan hasil dari ubi kayu yang mengalami
proses pengeringan. Cara-cara pengeringan di berbagai negara berbeda-beda.
Menurut Koswara (2009:4), di beberapa daerah, pengeringan dilakukan dengan cara
dibelah dua atau dengan sistem gelondongan. Cara pengeringan ini dapat memakan
waktu dari 1 sampai 3 minggu, tergantung dari keadaan cuaca. Karena kadar airnya
masih lebih tinggi dari 20 persen, biasanya gaplek mengalami penjamuran. Gaplek
yang berjamur ini pada umumya mempunyai mutu pasar yang rendah. Pembuatan
gaplek yang bermutu tinggi telah dicoba di berbagai daerah dengan menggunakan
sistem chipping untuk mempercepat proses pengeringan. Berbagai alat chipper telah
dikembangkan di beberapa negara dengan berbagai kapasitas. Pada umumnya alat-
alat tersebut digerakkan dengan mesin.
Singkong untuk dikonsumsi dianjurkan untuk dikupas terlebih dahulu dan
dibebaskan dari tanah dan batu. Sedangkan singkong untuk pakan ternak tidak perlu
dikupas terlebih dahulu. Gaplek yang dibuat dari singkong yang tidak dikupas
mengandung banyak silikat (Si) dan serat-serat kasar yang tinggi, hal tersebut dapat
menyebabkan nilai gaplek sebagai bahan ekspor tidak begitu tinggi. Syarat-syarat
gaplek yang baik adalah berwarna putih, tidak berjamur, dan tidak ada kulit yang
tertinggal
Sedangkan pembuatan pati ubi kayu dilakukan dengan cara memarut
singkong yang telah dikupas dan dicuci. Dengan air yang mengalir, parutan singkong
diperas melalui saringan. Filtrat ditampung dan pemerasan diakhiri bila filtrat yang ke
49
luar sudah jernih dan larutan dibiarkan mengendap. Endapan dicuci dengan air dan air
pencuci dibuang sampai bersih. Kemudian endapan dikeringkan sampai kering.
Biasanya agar dapat digunakan untuk kebutuhan industri, pati murni terebut diproses
kembali dengan cara memodifikasi dan merubah struktur molekul yang dapat
dilakukan secara kimia, fisik maupun enzimatis. Modifikasi tersebut bertujuan untuk
memenuhi standar tertentu agar sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan industri.
Metode yang banyak digunakan untuk memodifikasi pati adalah modifikasi
dengan asam, modifikasi dengan enzim, modifikasi dengan oksidasi dan modifikasi
ikatan silang. Setiap metode modifikasi tersebut menghasilkan pati termodifikasi
dengan sifat yang berbeda-beda. Modifikasi dengan asam akan menghasilkan pati
dengan sifat lebih encer jika dilarutkan, lebih mudah larut, dan berat molekulnya
lebih rendah. Modifikasi dengan enzim, biasanya menggunakan enzim alfa-amilase,
menghasilkan pati yang kekentalannya lebih stabil pada suhu panas maupun dingin
dan sifat pembekuan gel yang baik. Modifikasi dengan oksidasi menghasilkan pati
dengan sifat lebih jernih, kekuatan regangan dan kekentalannya lebih rendah.
Sedangkan modifikasi dengan ikatan silang menghasilkan pati yang kekentalannya
tinggi jika dibuat larutan dan lebih tahan terhadap perlakuan mekanis.
Tepung tapioka biasanya terbuat dari pati ubi kayu yang mengalami
penggilingan kembali. Pati ubi kayu yang akan digiling, disortasi terlebih dahulu
menurut mutunya berdasarkan derajat keputihan serta kadar kotorannya. Kualitas
tapioka sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu (Koswara, 2009:7):
1. Warna tepung: tepung tapioka yang baik berwarna putih.
50
2. Kandungan air: tepung harus dijemur sampai bernar-benar kering sehingga
kandungan airnya rendah.
3. Banyaknya serat dan kotoran: banyaknya serat dan kotoran dalam tepung
diusahakan dapat dikurangi. Untuk itu ubi kayu yang digunakan harus yang
umurnya lebih dari 7 bulan kurang dari 1 tahun karena serat dan zat kayunya
masih sedikit dan zat patinya masih banyak.
4. Tingkat kekentalan: daya rekat tapioka diusahakan tetap tinggi. Untuk itu perlu
menghindari penggunaan air yang berlebihan dalam proses produksi.
4.2 Produksi Ubi Kayu Dunia
Berdasarkan data, produksi ubi kayu dunia selama tahun 2004 hingga tahun
2013 mengalami kenaikan setiap tahunnya. (Tabel 7)
Tabel 7. Data Produksi Ubi Kayu Dunia 2007-2011 Tahun Produksi (Ton) Pertumbuhan (%) 2004 204128004 2005 206168160 0.9995 2006 223199404 8.2609 2007 227796512 2.0596 2008 233501371 2.5044 2009 237436347 1.6852 2010 243052520 2.3653 2011 255395702 5.0784 2012 266128406 4.2024 2013 276762059 3.9957
Sumber: Factfish, 2015
Meningkatnya Produksi komoditas ubi kayu dikarenakan semakin
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan ubi kayu, sehingga setiap negara berusaha
51
meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan akan komoditas ubi kayu. Selain
itu, kondisi industri berbasis ubi kayu yang semakin berkembang dan penggunaan ubi
kayu sebagai sumber energi alternatif (biofuel) juga turut andil dalam menyebabkan
terjadinya peningkatan terhadap kebutuhan akan komoditas ubi kayu.
4.3 Negara Penghasil Ubi Kayu Dunia
Ubi kayu berasal dari Benua Amerika, tepatnya dari Brazil. Penyebarannya
hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok, dan masuk
ke Indonesia pada tahun 1852. Ubi kayu berkembang di negara-negara yang terkenal
dengan wilayah pertaniannya. Negara penghasil terbesar ubi kayu adalah Nigeria,
Brazil, Thailand, Indonesia dan Congo. Hal ini dapat terlihat dari total produksi ubi
kayu yang dihasilkan oleh negara-negara tersebut. Negara penghasil ubi kayu dunia
tahun 2009 hingga tahun 2013 ditampilan pada lampiran (Lampiran 1).
Berdasarkan data terbut (Lampiran 1), produksi Ubi kayu dunia paling besar
terjadi di benua Afrika dimana mencapai lebih dari 50% produksi ubi kayu di dunia
dengan negara produsen tutamanya yaitu Nigeria dan congo, disusul Asia dengan
produsen utamanya yaitu Thailand dan Indonesia, lalu Amerika dengan negara
produsen utamanya yaitu Brazil. Di Afrika sendiri ubi kayu banyak digunakan
sebagai makanan pokok. Kebanyakan pengkonsumsi komoditas ubi kayu adalah
masyarakat miskin yang tinggal di kota, namun berjuta-juta orang di Afrika, Asia dan
Amerika Latin menggantungkan hidupnya pada ubi kayu sebagai bahan pangan oleh
karena kemudahannya beradaptasi dengan kondisi tanah yang kurang baik dan
berhasil mengatasi ketahanan pangan di berbagai wilayah dunia.
52
4.4 Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Ubi Kayu di Negara Penghasil Ubi
Kayu
Besarnya luas panen dan produktivitas merupakan hal penting yang
mempengaruhi jumlah komoditas ubi kayu yang dihasilkan. Dari tahun 2009 hingga
tahun 2011, di tingkat global komoditas ubi kayu rata-rata menduduki sekitar 20 juta
hektar lahan dengan produksi sekitar 255 juta ton. Sebagai produsen nomor satu ubi
kayu dunia, Nigeria memiliki nilai Luas lahan paling besar, disusul Kongo, Brazil,
Thailand, lalu terakhir Indonesia.
Walaupun Nigeria memiliki nilai luas panen yang paling besar, namun
Nigeria bukanlan negara dengan produktivitas paling besar untuk komoditas ubi
kayu. Negara yang memiliki produktivitas paling besar adalah Thailand. Hal ini
menandakan bahwa Thailand sudah menerapkan teknologi budidaya dan panen yang
baik dibandingkan dengan negara lainnya, disusul Indonesia di peringkat kedua.
Nigeria, Brazil, dan Kongo memiliki nilai produktivitas yang rendah, dengan Kongo
sebagai negara yang memiliki nilai produktivitas paling rendah dibandingkan dengan
negara lainnya.
Rendahnya tingkat produktivitas selain dipengaruhi oleh teknologi budidaya
dan panen yang diterapkan, juga dipengaruhi oleh kondisi lahan dimana komoditas
ubi kayu ditanam. Kurangnya unsur hara membuat produktivitas dari komoditas ubi
kayu semakin rendah. Hal tersebut pada akhirnya mempengaruhi hasil produksi,
dimana membuat Kongo yang merupakan negara dengan luas panen terbesar nomor
53
dua, menjadi negara produsen ubi kayu nomor lima dunia berada di bawah Brazil,
Thailand, dan Indonesia.
Berdasarkan data, nilai produksi untuk komoditas ubi kayu dunia meningkat
setiap tahunnya, sedangkan untuk luas panennya mengalami fluktuatif cenderung
naik. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia dimana nilai luas panennya
setiap tahunnya mengalami penurunan. Dikutip dari ROADMAP ubi kayu (2012:4),
menurunnya luas panen ubi kayu nasional disebabkan luas usahatani semakin terbatas
karena persaingan penggunaan lahan dengan komoditi tanaman pangan lainnya dan
tanaman kayu-kayuan. Komoditi ubi kayu masih dianggap sebagai komoditas
inferior, hal ini disebabkan oleh persaingan penggunaan sumber daya lahan dengan
komoditas lain serta rendahnya minat petani melakukan budidaya ubi kayu akibat
rendahnya insentif yang diperoleh dibandingkan dengan menanam komoditas lain.
Walaupun demikian, nilai produktivitas ubi kayu Indonesia meningkat setiap
tahunnya yang menandakan bahwa pola serta teknologi tanam yang diterapkan
semakin tahun semakin optimal. Data luas areal, produksi, dan produktivitas negara
penghasil ubi kayu terbesar di dunia ditampilkan pada lampiran (Lampiran 2).
4.5 Perdagangan Ubi Kayu Olahan Dunia
Nilai perdagangan ubi kayu dunia baik dalam bentuk gaplek (cassava chips),
Pati ubi kayu (cassava starch), dan tapioka memiliki tren yang fluktuatif, tetapi
cenderung meningkat selama periode 2004 sampai 2013. Meningkatnya nilai
perdagangan ubi kayu dunia, menandakan bahwa minat serta permintaan ubi kayu
terus meningkat baik untuk kebutuhan pangan maupun non pangan atau industri. Hal
54
ini menandakan bahwa komoditas ubi kayu memiliki potensi dan prospek yang baik
untuk terus dikembangkan. Berikut nilai Perdagangan gaplek, pati ubi kayu, dan
tapioka dunia tahun 2004-2013.
Gambar 4. Perdagangan Gaplek Dunia 2004-2013
Sumber: UN Comtrade, 2015
Gambar 5. Perdagangan Pati Ubi Kayu Dunia 2004-2013
Sumber: UN Comtrade, 2015
0
500
1000
1500
2000
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Mill
ions
US$
Perdagangan Gaplek Dunia
world export
0
500
1000
1500
2000
2500
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Mill
ions
US$
Perdagangan Pati Ubikayu Dunia
world export
55
Gambar 6. Perdagangan Tapioka Dunia 2004-2013
Sumber: UN Comtrade, 2015
4.6 Eksportir Ubi Kayu Olahan Dunia
Dilihat dari urutan negara penghasil ubi kayu terbesar di dunia, dapat
dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi dalam memproduksi ubi kayu. Sebagai
negara produsen ubi kayu, ekspor ubi kayu serta olahannya merupakan sasaran utama
dalam memasarkan produk-produk ubi kayu yang dihasilkan. Dalam konteks
perdagangan Internasional, posisi dagang Indonesia di pasar Internasional semakin
baik, bahkan Indonesia telah menjadi salah satu eksportir terbesar ubi kayu
berdasarkan data FAO (2015). Indonesia juga telah mampu bersaing untuk merebut
pangsa pasar ubi kayu dunia. Volume perdagangan tersebut didominasi oleh produk
olahan ubi kayu berupa gaplek, pati ubi kayu, serta tepung tapioka.
Bedasarkan data ekspor negara-negara eksportir ubi kayu olahan di dunia
periode 2004 dampai dengan 2013, menunjukan bahwa Thailand menempati urutan
pertama sebagai negara pengekspor utama dengan nilai ekspor terbesar kecuali untuk
komoditas tepung tapioka. Thailand menjadi eksportir terbesar untuk komoditas
0102030405060708090
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Mill
ions
US$
Perdagangan Tapioka Dunia
world export
56
gaplek dan pati ubi kayu, disusul Vietnam di peringkat ke dua. Untuk komoditas
tepung tapioka, dilihat dari nilai rata-rata ekspor dari tahun 2004 sampai dengan
2013, Thailand merupakan negara eksportir terbesar untuk komoditas tersebut, namun
pada tahun 2009 sampai dengan 2013 Cina memiliki nilai ekspor paling tinggi.
Tabel 8. Nilai Ekspor Gaplek Dunia
Sumber: UN Comtrade, 2015
Berdasarkan data (Tabel 8), nilai ekspor komoditas gaplek setiap tahunnya
menunjukkan nilai yang cenderung meningkat. Indonesia mengalami penurunan nilai
ekspor yang signifikan pada tahun 2012, yaitu mencapai 63% dari tahun 2011. Pada
tahun tersebut nilai impor Indonesia untuk komoditas gaplek juga terjadi
peningkatan yang sangat signifikan yaitu dari tahun sebelumnya yang hanya 22ribu
US$ menjadi 3,4 juta US$. Melonjaknya impor ubi kayu lebih banyak disebabkan
oleh meningkatnya kebutuhan ubi kayu dalam negeri.
Thailand Vietnam Costarica Indonesia Belanda Belgium2004 373437370 62858494 34532428 20399518 19919275 2540492005 317127763 61619922 43923103 25441429 8250491 800212006 453966766 139485889 34443034 14836178 8515483 2367862007 556783688 187995554 41075880 31301226 48497790 3742422008 477546872 156923705 65035858 20770234 77527989 11568172009 605198056 323587559 35960286 25229759 13424012 14092332010 814645037 211299224 51006602 32653283 13862635 23389692011 978593112 413360939 64401733 29529600 14759812 55509862012 1095234575 567844459 60572981 11012461 14978816 31646582013 1317645797 386933091 65283410 32111406 13550997 2833107
Rata-rata 699017903.6 251190884 49623531.5 24328509.4 23328730 1739886.8
Tahun Nilai Ekspor ($)
57
Tabel 9. Nilai Ekspor Pati Ubi Kayu Dunia
Sumber: UN Comtrade, 2015
Berdasarkan data (tabel 9), nilai ekspor komoditas pati ubi kayu Thailand
setiap tahunnya menunjukkan peningkatan. Sedangkan negara lainnya menunjukkan
nilai yang fluktuatif cenderung meningkat. Indonesia mengalami penurunan ekspor
yang signifikan pada tahun 2012 yaitu mencapai 90% dari tahun sebelumnya, dari
yang sebelunya mencapai 49 juta US$ menjadi hanya 4,5 juta US$ pada tahun 2012.
Selain itu, terjadi peningkatan nilai impor mencapai 62% dari tahun sebelumnya pada
tahun 2012. Peningkatan nilai impor disebabkan oleh meningkatnya permintaan
komoditas pati ubi kayu untuk bahan baku industri terutama industri pengolahan
makanan.
Thailand Vietnam Indonesia Hongkong Paraguay Brazil2004 188681534 64474510 32193074 28152384 2300809 43678542005 220447486 77364676 13438239 20566342 2332470 47734422006 348426092 145883836 1184435 19895355 2884473 47991552007 390876142 202306961 7990841 15940155 6970802 69445082008 432210460 205296396 15101144 10776880 7329245 66244492009 475325985 249822221 4583072 8657702 3224727 55764102010 753936286 352801213 12778524 14213983 12185971 38575452011 922290556 525609568 49530223 10711329 17355916 55710092012 983172884 779934742 4549425 8673652 15166157 63087992013 1139138066 706978413 27388143 20263912 5992152 5992152
Rata-rata 585450549.1 331047254 16873712 15785169.4 7574272.2 5481532.3
Tahun Nilai Ekspor ($)
58
Tabel 10. Nilai Ekspor Tepung Tapioka Dunia
Sumber: UN Comtrade, 2015
Berdasarkan data (tabel 10), nilai ekspor komoditas tepung tapioka Thailand
menunjukkan nilai yang fluktuatif cenderung menurun. Penurunan nilai ekspor
tepung tapioka Thailand terjadi pada tahun 2011 dan berlanjut hingga tahun 2013.
Sedangkan nilai ekspor Cina menunjukkan nilai yang fluktuatif cenderung naik,
sehingga membuat Cina sebagai eksportir terbesar untuk komoditas tepung tapioka
pada periode 2011 hingga 2013 mengalahkan Thailand yang sebelumnya merupakan
eksportir terbesar untuk komoditas tepung tapioka. Indonesia sendiri terjadi
penurunan nilai ekspor pada tahun 2012 berlanjut hingga tahun 2013, selain itu juga
terjadi peningkatan terhadap nilai impor tapioka Indonesia dari yang sebelumnya
hanya 26 ribu US$ pada tahun 2011 menjadi 388 ribu US$ pada tahun 2012. Hal
tersebut menunjukkan bahwa permintaan untuk komoditas tepung tapioka dalam
negeri terjadi peningakatan pada tahun tersebut.
Thailand China Peru Ghana Vietnam Indonesia2004 15684573 1918965 1554072 0 238803 2540492005 13329965 2584007 1952446 1957890 416340 800212006 13310784 2323788 1863981 2111248 348503 2367862007 15442643 2258031 2235332 2448214 1394028 3742422008 18867323 5794898 2865954 1668437 6580161 11568172009 14920748 10643217 3235072 2502833 3706259 14092332010 22566421 15027319 5509611 1645000 3142799 23389692011 15331148 23903546 8276725 13095302 2585304 55509862012 15216274 29528155 9511864 2796674 2863809 31646582013 12595311 20745211 11694670 1710621 7845014 2833107
Rata-rata 15726519 11472713.7 4869972.7 2993621.9 2912102 1739886.8
Tahun Nilai Ekspor ($)
59
4.7 Harga Ubi Kayu Olahan Dunia
Harga ubi kayu olahan dunia cenderung berfluktuasi, dimana ketersediaan ubi
kayu olahan yang beredar di pasar internasional akan mempengaruhi harga ubi kayu
olahan dunia. Berkurangnya ketersediaan ubi kayu olahan dunia akan menyebabkan
kenaikan harga. Sedangkan pada saat produksi oleh sejumlah negara penghasil ubi
kayu olahan mengalami peningkatan, maka harga akan turun. Berikut data harga ubi
kayu olahan dunia tahun 2011-2014.
Gambar 7. Harga Ubi kayu Olahan Dunia 2011-2014
Sumber: Thai Tapioca Development Institute. 2015
Berdasarkan data diatas, harga ubi kayu olahan dunia menunjukkan angka
yang fluktuatif cenderung menurun. Penurunan terjadi paling banyak pada tahun
2012, dimana untuk komoditas pati ubi kayu terjadi penurunan sekitar 10% dari tahun
sebelumnya, yaitu dari 491US$/ton pada tahun 2011 menjadi 439 US$/ton pada tahun
2012. Harga terendah untuk komoditas pati ubi kayu terjadi pada tahun 2014, dimana
pada tahun tersebut terjadi penurunan harga sekitar 8% dari tahun sebelumnya,
dimana sempat terjadi peningkatan harga pada tahun 2013 sekitar 6% dari tahun
0
100
200
300
400
500
600
2011 2012 2013 2014
starch export price (US$/Ton)
chips export prize (US$/Ton)
60
sebelumnya, yaitu dari 467 US$/ton pada tahun 2013 menjadi 427 US$/ton pada
tahun 2014.
Sedangkan untuk komoditas gaplek, terjadi penurunan sekitar 11% pada
tahun 2012 dari tahun sebelumnya, yaitu dari sekitar 264 US$/ton pada tahun 2011
menjadi sekitar 234 US$/ton pada tahun 2012. Harga terendah untuk komoditas
gaplek terjadi pada tahun 2014, dimana pada tahun tersebut terjadi penurunan harga
sekitar 4% dari tahun sebelumnya, dimana sempat terjadi peningkatan harga pada
tahun 2013 sekitar 0,7% dari tahun sebelumnya, yaitu dari 236 US$/ton pada tahun
2013 menjadi 426 US$/ton pada tahun 2014.
Menurunnya harga ubi kayu olahan juga membuat permintaan akan
komoditas ubi kayu olahan semakin meningkat. Dengan harga yang lebih rendah dari
biji-bijian membuat permintaan untuk komoditas ubi kayu olahan khususnya gaplek
sebagai bahan pakan ternak juga semakin meningkat, Tingginya nilai jual tepung
jagung juga membuat tepung berbahan dasar ubi kayu semakin diminati. Selain itu, di
beberapa industri tepung terigu, tapioka atau tepung ubi kayu, dan maizena menjadi
komoditas substitusi sehingga apabila salah satu mengalami kenaikan atau penurunan
harga maka akan berdampak pada permintaan komoditas lainnya. Hal ini ditandai
dengan tingginya impor ubi kayu olahan Indonesia terutama pada tahun 2012, dimana
perusahaan-perusahaan banyak yang melakukan impor untuk keperluan industri.
61
4.8 Negara Tujuan Ekspor Ubi Kayu Olahan Indonesia
Berdasarkan data UN Comtrade, selama periode 2004 sampai dengan 2013,
terdapat 31 negara tujuan ekspor untuk komoditas gaplek Indonesia, 35 negara tujuan
ekspor untuk komoditas pati ubi kayu Indonesia, dan 33 negara tujuan ekspor untuk
komoditas tepung tapioka Indonesia. Selama periode 2004 sampai dengan 2013,
hanya terdapat beberapa negara yang menjadi tujuan utama ekspor dimana setiap
tahunnya negara tersebut menjadi tujuan ekspor produk-produk ubi kayu olahan
Indonesia. Sedangakan beberapa negara lainnya hanya mengekspor pada tahun-tahun
tertentu saja dan bahkan ada pula yang sudah tidak menjadi negara tujuan ekspor lagi.
Negara yang menjadi tujuan utama ekspor komoditas gaplek Indonesia adalah
Cina, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, United Kingdom, Hongkong, Belanda,
Singapura, dan Australia. Sedangkan negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia
dengan jumlah yang cukup besar namun tidak terjadi sepanjang tahun yaitu USA,
Jepang, dan Brunei Darussalam. Negara tujuan utama dengan nilai ekspor terbesar
untuk komoditas gaplek adalah Cina dimana nilainya mencapai 76% dari total rata-
rata ekspor gaplek Indonesia dan Korea di posisi ke dua dengan nilai mencapai 18%
dari total rata-rata ekspor gaplek Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun
2013.
Untuk komoditas pati ubi kayu, negara yang menjadi tujuan utama ekspor
adalah Malaysia, Taiwan, Cina, dan Filipina. Selain itu, Indonesia juga mengekspor
ubi kayu ke Vietnam dengan nilai yang cukup tinggi walaupun hanya terjadi di tahun
2004, 2011, 2012, dan 2013. Selama lima tahun terakhir, Indonesia rutin mengekspor
pati ubi kayu ke Selandia Baru, Australia, Singapura, dan juga Thailand. Negara
62
tujuan utama dengan nilai ekspor terbesar untuk komoditas pati ubi kayu adalah
Malaysia dimana nilainya mencapai 32% dari total rata-rata ekspor pati ubi kayu
Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013. Sedangkan Taiwan dan Cina
yang juga merupakan negara tujuan utama pati ubi kayu Indonesia nilainya masing-
masing mencapai 27% dari total rata-rata ekspor pati ubi kayu Indonesia.
Untuk komoditas tepung tapioka, negara yang menjadi tujuan utama ekspor
adalah Jepang, Malaysia, Singapura, dan Australia. Selain itu, Indonesia juga
mengekspor tepung tapioka ke Cina, Hongkong, Filipina, USA, Taiwan, Korea
Selatan dan juga Thailand walaupun tidak terjadi sepanjang tahun dari tahun 2004
sampai dengan tahun 2013. Sejak 5 tahun tarakhir, Indonesia rutin mengekspor
tepung tapioka ke USA dengan nilai ekspor rata-rata dari tahun 2009 hingga tahun
2014 sebesar 183 ribu US$. Negara tujuan utama dengan nilai ekspor terbesar untuk
komoditas tepung tapioka adalah Jepang dimana nilainya mencapai 48% dari total
rata-rata ekspor tepung tapioka Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013,
namun Indonesia tidak mengekspor tepung tapioka ke Jepang pada tahun 2004.
Sedangkan diposisi kedua adalah Malaysia dengan nilai ekspor mencapai 24% dari
total rata-rata ekspor tepung tapioka Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun
2013. Data negara tujuan ekspor produk olahan ubi kayu Indonesia ditampilkan pada
lampiran. (Lampiran 8-10)
63
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Struktur Pasar Produk Olahan Ubi Kayu di Pasar Internasional
Struktur pasar komoditas ubi kayu di pasar Internasional dan penguasaan
pangsa pasar masing-masing negara eksportir ubi kayu dapat diukur dengan
menggunakan rumus HI dan CR4. Nilai perhitungan HI dan CR4 untuk produk
olahan ubi kayu dibagi tiga yaitu, gaplek, pati ubi kayu, dan tepung tapioka. Hasil
perhitungan didapat beradasarkan perhitungan (Lampiran11-12) dengan data yang
bersumber dari UN Comtrade. Hasil dari perhitungan HI dan Cr4 ditampilkan pada
tabel berikut.
Tabel 11. Nilai HI Dan CR4 Produk-Produk Olahan Ubi Kayu Tahun 2004-2013
Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan tabel di atas (Tabel 11), nilai Herfindahl Index gaplek dunia
selama 2004-2013 berada diantara 3871,493-5528,329. Rasio tingkat konsentrasi
yang ditunjukkan oleh nilai CR4 memperlihatkan kecendrungan dimana empat negara
produsen terbesar menguasai 95,607 % pasar. Dari hasil analisis Herfindahl Index
dan Concentration Ratio dapat disimpukan bahwa struktur pasar gaplek di pasar
internasional merupakan struktur pasar dengan konsentrasi pasar yang tinggi dengan
CR4 HI Exportir CR4 HI Exportir CR4 HI Exportir2004 89.9291 4895.855 62 94.1129 3752.136 56 77.16698 3753.759 712005 95.44918 4855.974 63 94.25529 4456.676 56 76.16821 2871.368 682006 97.24071 5196.543 63 96.64489 4963.602 63 76.05914 2906.733 682007 92.4847 4310.784 61 95.2174 4622.648 64 68.70015 2476.228 722008 94.19485 3871.493 61 94.46049 4649.015 61 73.0001 2079.61 752009 96.87554 4530.432 59 96.05994 4826.363 59 69.68978 1733.801 592010 97.05477 5448.652 70 96.88995 5064.871 63 75.38292 2106.202 632011 97.39549 4871.229 72 96.88406 4622.547 63 76.22278 1728.314 682012 98.02909 4851.462 68 98.10017 4747.923 64 75.39533 2124.37 642013 97.41628 5528.329 71 97.57615 4776.267 65 64.70925 1279.862 77
Gaplek Ubi KayuTahun
Pati Ubi Kayu Tepung Tapioka
64
jumlah pesaing yang banyak dan cenderung bersifat monopoli, dimana ditunjukkan
dengan nilai HI yang tinggi (lebih dari 1800) serta nilai CR4 yang mendekati 100.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Teguh (2013:89), bila angka Indeks Herfindahl
mendekati 1 (10000) berarti distribusi semakin pincang, yang artinya pasar hanya
terkonsentrasi dan dikuasai oleh satu atau beberapa negara saja.
Selama periode 2004-2013 negara yang mendominasi dalam pasar adalah
Thailand, Vietnam, Belanda, Kosta Rika, Indonesia, dan Belgium. Thailand
merupakan negara dengan pangsa pasar tertinggi di setiap tahunnya, disusul Vietnam,
sedangkan urutan ketiga dan keempat diduduki oleh Kosta Rika, Belanda, Indonesia
dan Belgium secara bergantian. Indonesia termasuk dalam negara yang menguasai
pasar hanya pada tahun 2005, 2009, 2010, 2011, 2013. Dengan demikian, pemimpin
pasar untuk komoditas gaplek adalah Thailand. Berikut adalah nilai pangsa pasar
rata-rata dari tahun 2004-2013 (Gambar 8)
65
Gambar 8. Pangsa Pasar Rata-Rata Gaplek Dunia 2004-2013
Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)
Berdasarkan nilai HI dan Cr4, menunjukkan bahwa komoditas gaplek berada
dalam pasar yang cenderung monopoli dimana terdapat negara-negara yang dominan
sehingga negara-negara tersebut mempunyai daya saing yang kuat. Indonesia masih
kalah jauh jika dibandingkan dengan Thailand yang merupakan market leader dari
komoditas gaplek dengan penguasaan pangsa pasar 68%. Hal ini berarti Indonesia
dapat bersaing dalam pasar, namun Indonesia harus meningkatkan ekspor dan juga
meningkatkan kualitas produk agar sesuai dengan standard dunia sehingga Indonesia
dapat mengekspor gaplek ke berbagai negara tujuan yang memiliki non tarief barrier.
Berdasarkan tabel diatas (Tabel 11), nilai Herfindahl Index pati ubi kayu
dunia selama 2004-2013 berada diantara 3752.136-5064.871. Rasio tingkat
konsentrasi yang ditunjukkan oleh nilai CR4 memperlihatkan kecendrungan dimana
empat negara produsen terbesar menguasai 95.978% pasar. Dari hasil analisis
Herfindahl Index dan Consentration Ratio dapat disimpukan bahwa struktur pasar
pati ubi kayu di pasar internasional merupakan struktur pasar dengan konsentrasi
0
10
20
30
40
50
60
70
Thailand Vietnam Costarica Indonesia Netherland Belgium
Pangsa Pasar Gaplek Ubi Kayu
66
pasar yang tinggi dengan jumlah pesaing yang banyak dan cenderung bersifat
monopoli.
Selama periode 2004-2013 negara yang mendominasi dalam pasar adalah
Thailand, Vietnam, Hongkong, Indonesia, Paraguay, Brazil, dan Belanda. Thailand
merupakan negara dengan pangsa pasar tertinggi di setiap tahunnya, disusul Vietnam,
sedangkan urutan ketiga dan keempat diduduki oleh Hongkong, Indonesia, Paraguay,
Brazil, dan Belanda secara bergantian. Indonesia termasuk dalam negara yang
menguasai pasar hanya pada tahun 2004, 2005, 2007, 2008, 2010, 2011, 2013.
Dengan demikian pemimpin pasar untuk komoditas pati ubi kayu adalah Thailand.
Berikut adalah nilai pangsa pasar rata-rata dari tahun 2004-2013.
Gambar 9. Pangsa Pasar Rata-Rata Pati Ubi Kayu Dunia 2004-2013
Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)
Berdasarkan nilai HI dan Cr4, menunjukkan bahwa komoditas pati ubi kayu
berada dalam pasar yang cenderung monopoli dan negara-negara tersebut mempunyai
daya saing yang kuat. Indonesia masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Thailand
yang merupakan market leader. Hal ini berarti Indonesia dapat bersaing dalam pasar,
namun Indonesia harus meningkatkan ekspor dan juga meningkatkan kualitas produk
0
10
20
30
40
50
60
70
Thailand Vietnam Hongkong Indonesia Paraguay Brazil Netherland
Pangsa Pasar Pati Ubi Kayu
67
agar sesuai dengan standard dunia sehingga Indonesia dapat mengekspor pati ubi
kayu ke berbagai negara tujuan yang memiliki non tarief barrier.
Berdasarkan tabel di atas (Tabel 11), nilai Herfindahl Index tepung tapioka
dunia selama 2004-2013 berada diantara 1279.862-3753.759. Pasar tepung tapioka
pada tahun 2004-2008, 2010, 2012 berada pada konsentrasi pasar tinggi yang
ditunjukkan oleh nilai HI lebih dari 1800. Sedangkan pada tahun 2009, 2011, 2013
berada pada konsentrasi pasar sedang yang ditunjukkan oleh nilai HI berada pada
nilai 1000-1800. Menurunnya nilai HI disebabkan oleh distribusi pasar yang semakin
merata karena menurunnya nilai ekspor Thailand yang merupakan negara dengan
pangsa pasar terbesar.
Rasio tingkat konsentrasi yang ditunjukkan oleh nilai CR4 memperlihatkan
kecendrungan dimana empat negara produsen terbesar menguasai 73.25% pasar.
Berdasarkan nilai CR4 yang berada pada kisaran 50-80%, dapat disimpulkan bahwa
komoditas tepung tapioka berada pada struktur pasar oligopoli. Hal tersebut juga
berdasarkan pendapat stigler dalam teguh (2013:87), bahwa bila 4 perusahaan
menguasai sekitar 60% jumlah penjualan pasar, maka jenis pasar tersebut disebut
oligopoli.
Selama periode 2004-2013 negara yang mendominasi dalam pasar adalah
Thailand, Cina, Peru, Ghana, Vietnam, Indonesia, dan Malaysia. Berdasarkan rata-
rata dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013, Thailand merupakan negara dengan
pangsa pasar tertinggi. Namun untuk tahun 2011 hingga tahun 2013, pangsa pasar
Cina berhasil mengalahkan Thailand dan menjadikan Cina sebagai market leader
pada tahun tersebut. Indonesia termasuk dalam empat negara penguasa pasar hanya
68
pada tahun 2012, yang berarti Indonesia lebih banyak sebagai pengikut pasar. Berikut
adalah nilai pangsa pasar rata-rata dari tahun 2004-2013.
Gambar 10. Pangsa Pasar Rata-Rata Tepung Tapioka Dunia 2004-2013
Sumber:UN COMTRADE, 2015 (diolah)
Pasar yang mengarah ke struktur pasar oligopoli harus diantisipasi dengan
baik, sebab jika tidak Indonesia dalam pasar hanya akan berperan sebagai pengikut
pasar. Untuk itu agar Indonesia tetap dapat bersaing dengan negara lain dan juga
negara pemimpin pasar, Indonesia harus terus meningkatkan kualitas serta kuantitas
produk yang diekspor.
5.2 Analisis keunggulan Komparatif Produk Olahan Ubi Kayu di Pasar
Internasional
Untuk mengetahui keunggulan komparatif produk olahan ubi kayu Indonesia
di pasar Internasional, dilakukan pengukuran dengan menggunakan Revealed
Comparatif Advantage (RCA). Pengukuran dilakukan dengan membandingkan posisi
daya saing Indonesia dengan negara pengekspor lainnya di pasar Internasional. Nilai
RCA yang lebih dari satu, menunjukkan bahwa negara yang bersangkutan memiliki
keunggulan komparatif. Semakin tinggi nilai RCA, maka semakin tinggi pula daya
0
10
20
30
40
Thailand China Peru Ghana Vietnam Indonesia Malaysia
Pangsa Pasar Tepung Tapioka
69
saing yang dimiliki, begitu pula sebaliknya. Jika RCA sama dengan satu, berarti daya
saing komoditas tersebut sama dengan negara lain yang terlibat dalan kegiatan ekspor
komoditas tersebut, dan apabila RCA kurang dari satu maka negara yang
bersangkutan tidak memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing lemah.
Untuk mengetahui nilai RCA, dilakukan dengan membandingkan ekspor
suatu komoditas negara tertentu dengan total ekspor negara tersebut. Maka dari itu,
negara yang jumlah ekspornya relatif sama dengan negara lain namun total ekspornya
lebih besar akan mempunyai nilai RCA yang lebih kecil. Oleh karena itu, penting
untuk melihat pangsa pasar negara tersebut untuk menunjukkan bahwa daya saing
negara tersebut kuat atau lemah.
Perhitungan RCA hanya dilakukan untuk negara-negara pengekspor yang
memiliki angka ekspor terbesar dan termasuk ke dalam pemimpin pasar untuk produk
olahan ubi kayu baik dalam bentuk gaplek, pati ubi kayu, dan tepung tapioka. Untuk
produk gaplek, negara yang termasuk adalah Thailand, Vietnam, Belanda, Kosta
Rika, Indonesia, dan Belgium. Untuk produk pati ubi kayu, negara yang termasuk
adalah Thailand, Vietnam, Hongkong, Indonesia, Paraguay, Brazil, dan Belanda.
Untuk produk tepung tapioka, negara yang termasuk adalah Thailand, Cina, Peru,
Ghana, Vietnam, Indonesia, dan Malaysia. Hasil perhitungan didapat beradasarkan
perhitungan (Lampiran14-16) dengan data yang bersumber dari UN Comtrade. Hasil
dari perhitungan RCA ditampilkan pada tabel berikut.
70
Tabel 12. Nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) Gaplek Negara Thailand Vietnam Costarica Indonesia Belanda Belgium
2004 63.924 39.102 95.579 4.695 1.032 1.378 2005 62.267 41.058 132.799 6.421 0.510 0.116 2006 62.363 62.826 85.163 2.640 0.381 0.053 2007 54.343 58.026 68.963 4.112 1.522 0.745 2008 51.460 47.453 126.512 2.873 2.692 0.353 2009 47.282 67.522 48.486 2.580 0.371 0.042 2010 54.327 38.099 73.452 2.696 0.367 0.016 2011 49.587 49.459 73.049 1.683 0.323 0.030 2012 46.807 48.639 52.816 0.568 0.265 0.026 2013 55.923 28.424 55.194 1.706 0.230 0.035
Rata-rata 54.828 48.061 81.201 2.997 0.769 0.279 Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan perhitungan RCA (Tabel 12), menunjukkan bahwa nilai RCA
Indonesia untuk komoditas gaplek tahun 2004-2013 memiliki nilai rata-rata lebih dari
satu yang artinya Indonesia memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas
gaplek di pasar dunia. Walaupun memiliki keunggulan komparatif, nilai RCA dari
tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan menurun. Bahkan untuk tahun 2012,
Indonesia mengalami penurunan yang signifikan dimana Indonesia mempunyai nilai
RCA kurang dari satu, berarti Indonesia pada tahun tersebut tidak memiliki
keunggulan komparatif di pasar dunia untuk komoditas gaplek.
71
Tabel 13 Nilai Ekspor Impor Gaplek Tahun 2004-2013 Tahun Ekspor (US$) Impor (US$) 2004 20399518 397775 2005 25441429 67285 2006 14836178 47368 2007 31301226 49630 2008 20770234 19200 2009 25229759 335557 2010 32653283 15161 2011 29529600 21915 2012 11012461 3419138 2013 32111406 38380
Sumber: UN Comtrade, 2015
Jika melihat data ekspor (Tabel 13), lemahnya daya saing Indonesia
disebabkan oleh penurunan pangsa pasar komoditas gaplek Indonesia di pasar dunia.
Nilai ekspor Indonesia menurun hingga mencapai 62.71 % pada tahun 2012, dari
29530 (1000US$) menjadi 11012 (1000US$), namun terjadi peningkatan terhadap
total ekspor gaplek dunia yang mencapai 16.25 % dari 1525620 (1000US$) menjadi
1773587 (1000US$). Penurunan terhadap jumlah ekspor Indonesia, disebabkan oleh
peningkatan permintaan dalam negeri sebagai bahan baku utama industri dalam
negeri yang ditunjukkan oleh peningkatan jumlah impor yang sangat signifikan dari
22 (1000US$) menjadi 3149 (1000US$) pada tahun 2012.
Negara yang memiliki nilai RCA paling tinggi untuk komoditas gaplek adalah
Kosta Rika, disusul Thailand, lalu Vietnam, dan Indonesia pada posisi keempat.
Thailand sebenarnya memiliki pangsa pasar terbesar dengan rata-rata sebesar 65.18
%, disusul Vietnam 21.58 %, lalu Kosta Rika 5.25 %, dan Indonesia 2.7 %. Namun
berdasarkan perhitungan RCA, nilai Thailand lebih rendah dari pada Kosta Rika yang
merupakan negara pengekspor terbesar nomor tiga, hal tersebut dipengaruhi oleh total
72
nilai ekspor Kosta Rika yang lebih kecil dibandingkan dengan Thailand dan negara
lainnya. Berdasarkan hal tersebut, share ekspor gaplek terhadap total ekspornya lebih
besar sehingga membuat nilai RCA nya lebih tinggi, yang artinya Kosta Rika lebih
berspesialisasi terhadap komoditas gaplek dibandingkan Thailand. Walaupun
demikian, keempat negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dan daya daing
yang kuat yang ditandai dengan nilai RCA yang lebih dari satu, kecuali Belanda dan
Belgium yang tidak memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing lemah
dikarenakan nilai RCA yang kurang dari satu.
Tabel 14. Nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) Pati Ubi Kayu Negara Thailand Vietnam Indonesia Hongkong Paraguay Belanda Brazil
2004 52.963 65.769 12.150 2.864 40.013 0.318 1.221
2005 57.723 68.745 4.523 2.030 40.631 0.142 1.161
2006 58.912 80.873 0.259 1.361 34.550 0.084 0.769
2007 53.104 86.920 1.461 0.952 51.626 0.034 0.902
2008 54.677 72.881 2.453 0.648 36.543 0.454 0.745
2009 49.074 68.888 0.619 0.414 16.031 0.330 0.574
2010 49.125 62.154 1.031 0.451 23.841 0.006 0.249
2011 45.601 61.366 2.754 0.266 25.293 0.262 0.246
2012 40.911 65.046 0.229 0.168 19.922 0.109 0.248
2013 46.389 49.831 1.396 0.352 18.725 0.075 0.230
Rata-rata 50.848 68.247 2.688 0.951 30.718 0.181 0.634
Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan perhitungan RCA (Tabel 14), menunjukkan bahwa nilai RCA
Indonesia untuk komoditas pati ubi kayu tahun 2004-2013 memiliki rata-rata lebih
dari satu yang artinya Indonesia memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas
pati ubi kayu di pasar dunia. Namun, terjadi penurunan yang sangat signifikan dari
tahun 2004 dan menunjukkan kecenderungan menurun dari tahun 2005 hingga tahun
2013, bahkan untuk tahun 2006, 2009, dan 2012 Indonesia tidak memiliki daya saing.
73
Tabel 15. Nilai Ekspor Impor Pati Ubi Kayu Tahun 2004-2013 Tahun Ekspor (US$) Impor (US$) 2004 32193074 9896803 2005 13438239 24409560 2006 1184435 70116779 2007 7990841 77751873 2008 15101144 57929191 2009 4583072 49576791 2010 12778524 120739381 2011 49530223 211253616 2012 4549425 342844016 2013 27388143 107237001
Sumber: UN Comtrade, 2015
Jika melihat data ekspor pati ubi kayu Indonesia (Tabel 15), lemahnya daya
saing Indonesia disebabkan oleh terjadinya penurunan ekspor pati ubi kayu selama
2005-2013. Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan konsumsi domestik, sehingga
ketersediaan untuk ekspor menurun, bahkan berdasarkan data (Tabel 15), Indonesia
lebih banyak melakukan impor pati ubi kayu dibandingkan dengan ekspor. Hal ini
menekankan bahwa tingkat kebutuhan pati ubi kayu sebagai bahan baku industri
sangat tinggi dan produksi dalam negeri tidak sanggup untuk mencukupi kebutuhan
dalam negeri.
Urutan negara yang memiliki nilai RCA paling tinggi untuk komoditas pati
ubi kayu adalah Vietnam, Thailand, Paraguay, Indonesia, Hongkong, Brazil, lalu
Belanda. Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Paraguay memiliki keunggulan
komparatif dikarenakan nilai RCA yang lebih dari satu, sedangkan untuk Hongkong,
Brazil, dan Belanda tidak memiliki keunggulan komparatif dikarenakan nilai RCA
yang kurang dari satu. Berdasarkan pangsa pasar, Thailand adalah pengekspor
terbesar dengan pangsa pasar rata-rata 60.39 % dibanding dengan Vietnam yang
74
merupakan pengekspor kedua terbesar dengan pangsa pasar rata-rata 30.45 %. Nilai
RCA thailand lebih rendah dibanding Vietnam dikarenakan nilai total ekspor
Thailand lebih besar, sehingga share ekspor pati ubi kayu terhadap total ekspornya
lebih rendah, yang artinya Vietnam lebih berspesialisasi terhadap komoditas pati ubi
kayu dibandingkan dengan Thailand.
Hal sama terjadi juga dengan Paraguay yang memiliki pangsa pasar lebih
rendah dibandingkan Hongkong dan Indonesia, hal tersebut dikarenakan Paraguay
memiliki total ekspor yang rendah. Sedangkan untuk hongkong, dikarenakan terjadi
penurunan ekspor pati ubi kayu namun total ekspor keseluruhannya semakin
meningkat sehingga membuat nilai RCA semakin kecil dari tahun ke tahun membuat
Hongkong tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas pati ubi kayu.
Tabel 16. Nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) Tepung Tapioka Negara Cina Thailand Vietnam Peru Indonesia Ghana Malaysia
2004 1.115 56.179 3.108 42.098 1.224 0.000 2.687 2005 1.323 47.211 5.004 44.490 0.364 249.542 0.663 2006 1.103 46.878 4.024 36.070 1.080 268.652 0.936 2007 0.768 41.733 11.914 33.032 1.361 287.522 1.214 2008 1.356 35.895 35.131 30.655 2.825 146.558 1.305 2009 2.312 25.540 16.944 31.582 3.157 128.844 1.883 2010 2.312 28.045 10.560 37.988 3.598 76.297 0.535 2011 2.801 14.906 5.935 40.348 6.069 160.544 0.424 2012 3.293 15.144 5.712 47.294 3.804 40.537 0.933 2013 2.062 12.100 13.045 61.318 3.407 29.702 0.527
Rata-rata 1.844 32.363 11.138 40.487 2.689 138.820 1.111 Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan perhitungan RCA (Tabel 16), menunjukkan bahwa nilai RCA
Indonesia untuk komoditas tepung tapioka tahun 2004-2013 memiliki rata-rata lebih
dari satu, yang artinya Indonesia memiliki keunggulan komparatif terhadap
75
komoditas tepung tapioka di pasar dunia. Indonesia setiap tahunnya memiliki
keunggulan komparatif terhadap komoditas tepung tapioka di pasar dunia kecuali
pada tahun 2005, dimana Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif
dikarenakan nilai RCA yang kurang dari satu.
Tabel 17. Nilai Ekspor Impor Tepung Tapioka Tahun 2004-2013 Tahun Ekspor (US$) Impor (US$) 2004 254049 128891 2005 80021 190521 2006 236786 2245853 2007 374242 1486554 2008 1156817 404518 2009 1409233 58254 2010 2338969 34314 2011 5550986 62460 2012 3164658 388091 2013 2833107 245041
Sumber: UN Comtrade, 2015
Jika melihat data ekspor tepung tapioka Indonesia (Tabel 17), lemahnya daya
saing Indonesia dikarenakan terjadi penurunan ekspor dari yang sebelumnya
mencapai 254 (1000US$) menjadi 80 (1000US$) pada tahun 2005. Selain itu juga
terjadi peningkatan impor yang sebelumnya hanya 129 (1000US$) menjadi 191
(1000US$). Hal ini berarti pada tahun tersebut kebutuhan akan tepung tapioka
meningkat dan produksi dalam negeri tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam
negeri. Hal tersebut membuat kondisi daya saing tepung tapioka Indonesia pada tahun
tersebut di pasar dunia melemah.
Urutan negara yang memiliki nilai RCA paling tinggi untuk komoditas tepung
tapioka adalah Ghana, Peru, Thailand, Vietnam, Indonesia, Cina, dan terakhir
Malaysia. Semua negara tersebut memiliki nilai RCA lebih dari satu yang berarti
76
bahwa negara-negara tersebut memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas
tepung tapioka. Ghana memiliki nilai RCA paling tinggi dikarenakan nilai total
ekspornya lebih kecil dibandingkan dengan negara lainnya sehingga share ekspor
tepung tapioka terhadap total ekspornya lebih besar dibandingkan dengan negara
lainnya. Sedangkan walaupun Cina merupakan negara dengan pangsa pasar terbesar
setelah Thailand untuk komoditas tepung tapioka, namun Cina memiliki total ekspor
yang lebih besar dibandingkan dengan negara lainnya, hal ini membuat share ekspor
terhadap total ekspornya lebih kecil dibandingkan dengan negara lainnya kecuali
Malaysia.
Berdasarkan hasil perhitungan RCA untuk komoditas gaplek, pati ubi kayu,
dan tepung tapioka, Indonesia memiliki nilai RCA lebih dari satu yang berarti
Indonesia memiliki keunggulan komparatif atau memiliki daya saing untuk
komoditas tersebut. Walaupun memiliki keunggulan komparatif, nilai RCA gaplek
dan pati ubi kayu Indonesia menunjukkan kecenderungan menurun. Artinya, harus
diperhatikan faktor kesinambungan tumbuh dan kembangnya, sebab perkembangan
tingkat daya saing dari tahun ke tahun mengalami kecenderungan menurun, bahkan
Indonesia lebih banyak melakukan impor pati ubi kayu dibandingkan ekspornya.
Untuk komoditas tepung tapioka, kontribusi ekspor tapioka terhadap total
ekspor Indonesia menunjukkan kecenderungan yang positif, baik Indonesia maupun
dunia terjadi kenaikan nilai ekspor, kecuali pada tahun 2005, 2012, dan 2013 terjadi
penurunan nilai ekspor Indonesia (Tabel 17). Walaupun demikian, nilai ekspor
tepung tapioka Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekspor gaplek dan ubi
kayu. Selain itu, pangsa pasar Indonesia sangat kecil dengan pangsa pasar rata-rata
77
hanya 2,73%, bahkan untuk 2004,2005, dan 2006 pangsa pasar Indonesia kurang dari
1%. Kondisi tersebut dapat dimengerti karena pasar tapioka dunia adalah thin market,
hal ini ditunjukkan dengan nilai ekspor dunia untuk tepung tapioka sangat kecil jika
dibandingkan dengan gaplek dan pati ubi kayu.
5.3 Daya Saing Indonesia di Negara Tujuan Ekspor
Metode EPD digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif komoditi
tertentu pada suatu negara. Metode ini juga dapat membandingkan kinerja ekspor di
antara negara-negara di seluruh dunia dengan melihat posisi pangsa pasar yang
dimiliki oleh komoditi tersebut. Dengan menggunakan metode analisis EPD, dapat
diketahui apakah komoditi suatu negara ke negara tujuan kontinyu (dinamis) atau
tidak. Hasil perhitungan didapat beradasarkan perhitungan (Lampiran17-22) dengan
data yang bersumber dari UN Comtrade. Berikut hasil analisis EPD ubi kayu olahan
Indonesia periode 2004-2013.
Tabel 18. EPD Gaplek Indonesia di Dunia Tahun Xij/Wij Xt/Wt Growth X Growth Y EPD
2004 0.000285 0.000061
Rising Star
2005 0.000297 0.000046 4.219853849 -23.79373512 2006 0.000147 0.000056 -50.44314123 20.52349384 2007 0.000274 0.000067 86.3824062 19.67697074 2008 0.000152 0.000053 -44.74345846 -20.92681061 2009 0.000217 0.000084 42.85447499 59.10230037 2010 0.000207 0.000077 -4.428712245 -8.52857634 2011 0.000145 0.000086 -29.88305309 12.3341415 2012 0.000058 0.000102 -60.06463612 18.19453443
2013 0.000176 0.000103 203.5395591 1.14343998
Rata-rata 16.38147699 8.63619542 Sumber: Data diolah, 2015
78
Berdasarkan Perhitungan EPD periode 2004-2013 (Tabel 18), menunjukkan
bahwa posisi pasar gaplek Indonesia di pasar dunia berada pada posisi Rising Star.
Hal tersebut dikarenakan posisi pasar gaplek Indonesia berada pada pertumbuhan
pangsa pasar (sumbu x) positif dan pertumbuhan pangsa pasar komoditas gaplek
dunia (sumbu y) bernilai positif. Ekspor Gaplek Indonesia yang berada di Rising Star
menunjukkan bahwa ekspor gaplek Indonesia berada di posisi pasar tertinggi
dikarenakan pada posisi ini ekspor gaplek Indonesia mengalami peningkatan dan
pangsa pasar (permintaan) ekspor gaplek di pasar internasional sedang mengalami
peningkatan.
Tabel 19. EPD Gaplek Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Negara Growth X Growth Y EPD Australia 141.2632923 0.304712413 Rising Star Hong Kong 1990.810555 3989.778209 Rising Star Cina 29.88021008 1.995191497 Rising Star Brunei Darussalam 34.20938995 6.618482289 Rising Star Singapura 178.0663764 -25.92508205 Falling Star United Kingdom 19.42580317 2.037426412 Rising Star Belanda 120.22600966 -2.657943151 Falling Star Rep. of Korea 9.914926338 29.97417372 Rising Star Malaysia 37.72087328 91.69005827 Rising Star USA 69.1776889 1.993297943 Rising Star Taiwan 21.82808224 44.24458949 Rising Star Jepang 2586.943672 -3.103004923 Falling Star
Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan perhitungan EPD di negara-negara tujuan ekspor (Tabel 19),
posisi pasar gaplek Indonesia di negara tujuan ekspor juga berada pada posisi Rising
Star, kecuali di Belanda, Singapura, dan Jepang yang berada pada posisi Falling Star.
Hal ini menunjukkan bahwa komoditi gaplek Indonesia di pasar Belanda, Singapura,
dan Jepang terjadi peningkatan pangsa pasar, namun di negara tersebut pertumbuhan
79
pasar gaplek lambat dan terjadi penurunan permintaan.
Tabel 20. EPD Pati Ubi Kayu Indonesia di Dunia
Tahun Xij/Wij Xt/Wt Growth X Growth Y EPD 2004 0.000450 0.000037
Rising Stars
2005 0.000157 0.000035 -65.11740565 -6.295405679 2006 0.000012 0.000045 -92.50982253 30.58827144 2007 0.000070 0.000048 496.0008212 5.820396877 2008 0.000110 0.000045 57.36966409 -6.243566768 2009 0.000039 0.000064 -64.3081575 41.34399499 2010 0.000081 0.000079 105.89116 23.71523625 2011 0.000243 0.000088 200.5258789 12.48240673 2012 0.000024 0.000105 -90.16403322 18.44983402
2013 0.000150 0.000107 526.6808699 2.635743685
Rata-rata 119.3743306 13.61076795 Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan perhitungan EPD pati ubi kayu Indonesia periode 2004-2013
(Tabel 20), menunjukkan bahwa posisi pasar pati ubi kayu Indonesia di pasar dunia
berada pada posisi Rising Star. Hal tersebut dikarenakan posisi pasar pati ubi kayu
Indonesia berada pada pertumbuhan pangsa pasar (sumbu x) positif dan pertumbuhan
pangsa pasar komoditas pati ubi kayu dunia (sumbu y) bernilai positif.
Tabel 21. EPD Pati Ubi Kayu Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Negara Groth X Growth Y EPD Australia 30.2534164 1.095926141 Rising Star Cina 2479.435279 17.69382596 Rising Star Malaysia 41321.74847 8.650874213 Rising Star Selandia Baru 35.59971144 -5.71528439 Falling Star Filipina 218.9237961 -1.911776942 Falling Star Singapura 1027.256497 10.0810603 Rising Star Thailand 231.03948673 20.4181172 Rising Star Viet Nam 47737.86822 -5.31569488 Falling Star Israel -38.93408131 5.223209822 Lost Opportunity Sri Lanka -29.04121625 -1.955771477 Retreat Taiwan 7.80136102 -1.855855286 Falling Star
Sumber: Data diolah, 2015
80
Berdasarkan perhitungan EPD di negara-negara tujuan ekspor (Tabel 21),
posisi pasar pati ubi kayu di Australia, Cina, Malaysia, Singapura, dan Thailand
berada pada posisi Rising Star. Sedangkan Selandia Baru, Filipina, Vietnam, dan
Taiwan berada pada posisi Falling Star, Israel berada pada posisi Lost Opportunity,
dan Sri Lanka berada pada posisi Retreat. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi pati
ubi kayu Indonesia di pasar Selandia Baru, Filipina, dan Vietnam terjadi peningkatan
pangsa pasar, namun di negara tersebut pertumbuhan pasar pati ubi kayu lambat dan
terjadi penurunan permintaan.
Sedangkan pati ubi kayu Indonesia di pasar Israel menunjukkan posisi Lost
Opportunity, hal tersebut merupakan kondisi pasar yang tidak diharapkan
dikarenakan terjadi penurunan pangsa pasar pada komoditas pati ubi kayu Indonesia
di pasar Israel, sedangkan pangsa pasar ekspor untuk komoditas pati ubi kayu di
Israel mengalami peningkatan. Kondisi ini mengakibatkan Indonesia kehilangan
kesempatan pangsa pasar atau jangkauan ekspor. Sedangkan untuk pasar Sri Lanka
menunjukkan posisi Retreat, dimana kondisi pasar tersebut sangat tidak diinginkan
dikarenakan pati ubi kayu Indonesia sudah tidak diinginkan lagi oleh pasar yang
ditunjukkan oleh pertumbuhan pangsa pasar pati ubi kayu Indonesia dan
pertumbuhan pasar pati ubi kayu di negara tujuan bernilai negatif.
81
Tabel 22. EPD Tepung Tapioka Indonesia di Dunia Tahun Xij/Wij Xt/Wt Growth X Growth Y EPD
2004 0.000004 0.000003
Rising Stars
2005 0.000001 0.000003 -73.67821429 -11.5993092 2006 0.000002 0.000002 151.4636893 -15.19879551 2007 0.000003 0.000002 39.62465258 10.8089774 2008 0.000008 0.000003 157.4042984 24.00774891 2009 0.000012 0.000004 43.26505771 28.21155084 2010 0.000015 0.000004 22.56186163 7.538075166 2011 0.000027 0.000004 84.00852825 9.10630774 2012 0.000017 0.000004 -38.9497456 -2.617398398
2013 0.000016 0.000005 -6.808445844 4.057661007 Rata-rata 42.0990758 6.034979772
Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan perhitungan EPD tepung tapioka Indonesia periode 2004-2013
(Tebel 22), menunjukkan bahwa posisi pasar tepung tapioka Indonesia di pasar dunia
berada pada posisi Rising Star. Hal tersebut dikarenakan posisi pasar tepung tapioka
Indonesia berada pada pertumbuhan pangsa pasar (sumbu x) positif dan pertumbuhan
pangsa pasar komoditas tepung tapioka dunia (sumbu y) bernilai positif.
Tabel 23. EPD Tepung Tapioka Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Negara Groth X Growth Y EPD Australia 75.34998945 42.67006272 Rising Star Japan 13.14020324 -17.07318343 Falling Star Filipina 1007.917871 88.04312261 Rising Star Singapura -37.22227861 -13.01151605 Retreat USA 24.70110666 13.84333085 Rising Star Malaysia 182.007833 29.64335799 Rising Star Hong Kong 95.76266425 -21.16249624 Falling Star Cina 916.3148722 -4.925218963 Falling Star Rep. of Korea 99.32745715 55.81206389 Rising Star Thailand 85.22987962 57.26022597 Rising Star Taiwan 160394.4332 50.2731713 Rising Star
Sumber: Data diolah, 2015
82
Berdasarkan perhitungan EPD di negara-negara tujuan ekspor (Tabel 23),
posisi pasar tepung tapioka di Australia, Filipina, USA, Malaysia, Korea, Thailand,
dan Taiwan berada pada posisi Rising Star. Sedangkan Jepang, Hongkong, dan Cina
berada pada posisi Falling Star dan Singapura berada pada posisi Retreat. Hal ini
menunjukkan bahwa komoditas tepung tapioka Indonesia di pasar Jepang, Hongkong,
dan Cina terjadi peningkatan pangsa pasar, namun di negara tersebut pertumbuhan
pasar untuk komoditas tepung tapioka lambat dan terjadi penurunan permintaan.
Sedangkan tepung tapioka Indonesia di pasar Singapura menunjukkan posisi Retreat,
dimana tepung tapioka Indonesia sudah tidak diinginkan lagi oleh pasar yang
ditunjukkan oleh pertumbuhan pangsa pasar tepung tapioka Indonesia dan
pertumbuhan pasar tepung tapioka di negara tujuan bernilai negatif.
Untuk mengetahui apakah komoditi-komoditi tersebut memiliki potensi atau
tidak, dilakukan pengklusterisasian dengan menggunakan metode X-Model Produk
ekspor potensial. Pengklusterisasian diperoleh dengan mempertimbangkan daya saing
(RCA) dan posisi pasar (EPD). Hasil estimasi analisis X-Model Produk ekspor
potensial ditampilkan pada tabel berikut. (Tabel 24)
83
Tabel 24. X-Model Produk ekspor Potensial Gaplek Indonesia Negara RCA EPD X-Model Produk Export Potensial
Australia 1.899370864 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis Hong Kong 56.2255362 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis Cina 1.162105389 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis Brunei Darussalam 56.59363569 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis Singapura 2.140732241 Falling Star Pengembangan Pasar Potensial United Kingdom 25.35828706 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis Netherlands 1.625113356 Falling Star Pengembangan Pasar Potensial Rep. of Korea 5.192478751 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis Malaysia 14.09685482 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis USA 0.917782487 Rising Star Pengembangan Pasar Potensial Taiwan 11.94524839 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis
Jepang 0.138387869 Falling Star Pengembangan Pasar Kurang Potensial
Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan tabel diatas (Tabel 24), nilai RCA gaplek Indonesia di negara
tujuan ekspor lebih besar dari satu kecuali USA dan Jepang. Hal ini berarti gaplek
Indonesia memiliki daya saing di negara-negara tujuan tersebut kecuali di pasar USA
dan Jepang yang berdaya saing lemah. Terjadi Penurunan yang signifikan terhadap
nilai ekspor Indonesia di pasar Jepang sejak tahun 2007, bahkan pada tahun 2013
Indonesia tidak mengekspor gaplek ke Jepang. Berdasarkan nilai RCA dan EPD yang
diperoleh, ekspor gaplek Indonesia di negara tujuan ekspor memiliki potensi
pengembangan pasar optimis terutama di Cina dan Korea yang merupakan Tujuan
ekspor nomor satu dan dua untuk komoditas Gaplek Indonesia. Sedangkan di
Singapura, Belanda, dan USA ekspor gaplek Indonesia memiliki potensi
pengembangan pasar potensial. Namun, di Jepang pengembangan pasarnya kurang
potensial.
84
Tabel 25. X-Model Produk Export Potensial Pati Ubi Kayu Indonesia Negara RCA EPD X-Model Produk Export Potensial
Australia 0.144338256 Rising Star Pengembangan Pasar Potensial Cina 0.521569877 Rising Star Pengembangan Pasar Potensial Malaysia 1.046090139 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis Selandia Baru 1.965836791 Falling Star Pengembangan Pasar Potensial
Filipina 0.178850165 Falling Star Pengembangan Pasar Kurang Potensial
Singapura 0.31179896 Rising Star Pengembangan Pasar Potensial Thailand 1.24369747 Rising Star Pengembangan Pasar Potensial Viet Nam 17.97546124 Falling Star Pengembangan Pasar Potensial
Israel 6.057885051 Lost
Opportunity Pengembangan Pasar Potensial
Sri Lanka 0.87057014 Retreat Pengembangan Pasar Tidak Potensial
Taiwan 2.90696854 Falling Star Pengembangan Pasar Potensial Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan tabel diatas (Tabel 25), nilai RCA pati ubi kayu Indonesia di
Malaysia, Selandia Baru, Thailand, Vietnam, Israel, dan Taiwan memiliki nilai RCA
lebih dari satu yang berarti pati ubi kayu Indonesia di negara-negara tersebut
memiliki daya saing. Sedangkan untuk Australia, Cina, Filipina, Singapura, dan Sri
lanka memiliki nilai RCA kurang dari satu yang berarti pati ubi kayu Indonesia di
negara-negara tersebut berdaya saing lemah. Berdasarkan nilai RCA dan EPD yang
diperoleh, ekspor pati ubi kayu Indonesia di negara tujuan ekspor memiliki potensi
pengembangan pasar optimis hanya untuk negara Malaysia yang merupakan tujuan
ekspor nomor satu untuk komoditas pati ubi kayu Indonsia, sedangkan sisanya
memiliki potensi pengembangan pasar potensial. Namun, untuk Filipina potensi
pasarnya kurang potensial dan Sri Lanka potensi pasanya tidak potensial. Pasar pati
ubi kayu untuk Filipina dan Sri Lanka dikuasai oleh Thailand dan Vietnam.
85
Tabel 26. X-Model Produk Export Potensial Tepung Tapioka Indonesia Negara RCA EPD X-Model Produk Export Potensial
Australia 2.860137455 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis Japan 5.122017643 Falling Star Pengembangan Pasar Potensial Filipina 3.278511083 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis
Singapura 1.039029388 Retreat Pengembangan Pasar Kurang Potensial
USA 1.35463281 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis Malaysia 7.852134454 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis
Hongkong 0.197828313 Falling Star Pengembangan Pasar Kurang Potensial
Cina 2.267842971 Falling Star Pengembangan Pasar Potensial Rep. of Korea 0.261538413 Rising Star Pengembangan Pasar Potensial Thailand 0.380254744 Rising Star Pengembangan Pasar Potensial Taiwan 4.406299549 Rising Star Pengembangan Pasar Optimis
Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan tabel diatas (Tabel 26), nilai RCA tepung tapioka di Australia,
jepang, Filipina, Singapura, USA, Malaysia, Cina, dan Thailand memiliki nilai RCA
lebih dari satu yang berarti tepung tapioka Indonesia di negara-negara tersebut
memiliki daya saing. Sedangkan untuk Hongkong, Korea, dan Thailand memiliki
nilai RCA kurang dari satu yang berarti tepung tapioka Indonesia di negara-negara
tersebut berdaya saing lemah. Berdasarkan nilai RCA dan EPD yang diperoleh,
ekspor tepung tapioka Indonesia di negara tujuan ekspor memiliki potensi
pengembangan pasar optimis hanya untuk Australia, Filipina, USA, Malaysia, dan
Taiwan. Sedangkan Jepang, Cina, Korea, dan Thailand memiliki potensi
pengembangan pasar potensial. Jepang merupakan negara tujuan ekspor nomor satu
untuk komoditas tepung tapioka Indonesia, sedangkan Malaysia nomor dua. Namun,
pertumbuhan pasar untuk komoditas tepung tapioka di negara Jepang berjalan lambat.
Begitu pula dengan Singapura dan Hongkong yang memiliki potensi pasar kurang
potensial.
86
5.4 Indeks Spesialisasi Perdagangan
Untuk mengetahui posisi suatu negara apakah menjadi negara eksportir atau
importir komoditas pertanian dapat dianalisis menggunakan ISP (Indeks Spesialisasi
Perdagangan). Indeks ini mempertimbangkan sisi permintaan dan sisi penawaran,
dimana ekspor identik dengan suplai domestik dan impor adalah permintaan
domestik, dimana ekspor dari suatu barang terjadi apabila ada kelebihan atas barang
tersebut di pasar domestik dan impor terjadi apabila permintaan akan komoditi pada
suatu negara melebihi kapasitas produksinya. Nilai indeks ini mempunyai kisaran
antara -1 sampai dengan +1. Jika nilanya positif diatas 0 sampai 1, negara tersebut
cenderung sebagai pengekspor dari komoditi tersebut (suplai domestik lebih besar
daripada permintaan domestik). Sebaliknya, jika nilainya negatif dibawah 0 sampai 1,
negara tersebut cenderung sebagai pengimpor (suplai domestik lebih kecil dari
permintaan domestik). Hasil perhitungan ISP didapat beradasarkan perhitungan
(Lampiran 23) dengan menggunakan data nilai ekspor dan nilai impor komoditas
olahan ubi kayu Indonesia yang bersumber dari UN Comtrade. Hasil dari perhitungan
ISP ditampilkan pada tabel berikut. (Tabel 27)
87
Tabel 27. ISP (Indeks Spesialisasi Perdagangan) Tahun Gaplek Pati Ubi Kayu Tepung Tapioka 2004 0.96 0.53 0.33 2005 0.99 -0.29 -0.41 2006 0.99 -0.97 -0.81 2007 1.00 -0.81 -0.60 2008 1.00 -0.59 0.48 2009 0.97 -0.83 0.92 2010 1.00 -0.81 0.97 2011 1.00 -0.62 0.98 2012 0.53 -0.97 0.78 2013 1.00 -0.59 0.84
Rata-rata 0.94 -0.60 0.35 Sumber: Data diolah, 2015
Berdasarkan hasil analisis Indeks Spesialisasi Perdagangan (Tabel 27),
komoditas gaplek dan tapioka mempunyai daya saing kuat atau Indonesia cenderung
sebagai pengekspor dari komoditas tersebut yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata ISP
gaplek dan tapioka berinilai positif (0≤ISP≤1), yang berarti produksi dan penawaran
lebih banyak dari pada permintaan. Sedangkan untuk komoditas pati ubi kayu
memliki daya saing yang rendah atau Indonesia cenderung sebagai pengimpor
komoditas tersebut yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata ISP pati ubi kayu bernilai
negatif (0≥ISP≥-1), yang berarti produksi dan penawaran dalam negeri masih lebih
kecil dibandingkan permintaan dalam negeri.
Selain itu, Indeks ISP tersebut juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
tingkat pertumbuhan suatu komoditi dalam perdagangan. Sesuai dengan tahapan
industri menurut Kementerian Perdagangan (2014), komoditas gaplek Indonesia
berada pada tahap kematangan dengan nilai ISP rata-rata yaitu 0.94. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Indonesia sudah berada pada standarisasi dalam hal teknologi
yang digunakan. Untuk komoditas tepung tapioka, Indonesia berada pada tahap
88
pertumbuhan dengan nilai ISP rata-rata yaitu 0.35, dimana Indonesia mulai
melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya, hal
tersebut terlihat dari nilai ekspor yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Namun, tepung tapioka Indonesia sempat pada tahap substitusi Impor pada tahun
2005 sampai dengan tahun 2007.
Sedangkan untuk pati ubi kayu, secara rata-rata Indonesia berada pada tahap
substitusi impor dengan nilai ISP rata-rata yaitu -0.60. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pati ubi kayu Indonesia memiliki daya saing yang lemah dikarenakan tingkat
produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Indonesia
melakukan ekspor dengan kualitas yang kurang bagus dan produksi dalam negeri
untuk komoditas pati ubi kayu masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri.
Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai impor yang lebih tinggi daripada nilai ekspornya.
Namun sangat disayangkan karena komoditas pati ubi kayu Indonesia sempat pada
tahap pertumbuhan atau Indonesia cenderung sebagai pengekspor dan memiliki daya
saing pada tahun 2004.
Menurut Kementerian Perdagangan (2013), Hal tersebut disebabkan oleh
proses pengolahan hasil yang belum sesuai standard GHP (Good Handling Practices)
dan GMP (Good Manufacturing Practices) dan tidak efisien sehingga membuat mutu
produk yang dihasilkan masih rendah dan sangat bervariasi. Di sisi lain, industri
pengolahan makanan dan minuman maupun non pangan berbahan baku pati ubi kayu
di Indonesia cukup berkembang. Kondisi ini telah berdampak pada meningkatnya
impor ubi kayu olaahan seperti starch atau pati ubi kayu untuk memenuhi kebutuhan
yang ada di Indonesia.
89
Walaupun jumlah produksi ubi kayu Indonesia yang melimpah dan
merupakan salah satu produsen terbesar ubi kayu dunia, namun jumlah kebutuhan
industri akan pati ubi kayu tersebut tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri karena di
samping jumlah industri yang mengolah ubi kayu menjadi produk olahan pati ubi
kayu yang jumlahnya masih terbatas, juga dikarena banyak industri penghasil pati ubi
kayu yang cenderung memasarkannya langsung ke pasar luar negeri dikarenakan
harga jual yang lebih baik dan memilih impor dikarenakan mendapat jaminan
pasokan yang stabil dan dengan harga yang lebih murah. Berdasarkan hasil analisis
ISP, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan daya saing terhadap
komoditas gaplek dan tepung tapioka, namun tidak memiliki daya saing terhadap
komoditas pati ubi kayu.
5.5 Analisis keunggulan Kompetitif Diamond Porter
Teori Berlian Porter digunakan untuk menganalisis faktor internal dan faktor
eksternal suatu negara atau industri. Teori ini bertujuan untuk menganalisis
keunggulan kompetitif guna untuk menjelaskan permasalahan perdagangan produk
olahan ubi kayu Indonesia yang tidak dapat dijelaskan oleh model keunggulan
komparatif. Teori Berlian Porter ini merupakan salah satu alat analisis untuk menilai
daya saing komoditi olahan ubi kayu Indonesia di pasar internasional. Teori Berlian
Porter menjelaskan ada empat kondisi faktor yang berpengaruh terhadap daya saing
internasional. Faktor-faktor tersebut adalah faktor sumber daya, kondisi permintaan,
industri terkait dan pendukung, kondisi struktur, persaingan dan strategi dalam
negeri. Keempat faktor tersebut (faktor internal) didukung oleh peranan kesempatan
90
dan peranan pemerintah (faktor eksternal) dalam meningkatkan keunggulan daya
saing industri nasional.
5.5.1 Kondisi Faktor (Sumber Daya)
Selama tahun 2004-2013 Indonesia merupakan salah satu produsen dan
eksportir utama ubi kayu di dunia. Hal tersebut dapat diartikan bahwa potensi ubi
kayu Indonesia cukup besar untuk dikembangkan walaupun dalam hal perdagangan
internasional masih jauh di bawah Thailand sebagai produsen sekaligus eksportir
terbesar untuk komoditas olahan ubi kayu. Kondisi faktor sumber daya yang
berpengaruh terhadap daya saing produk olahan ubi kayu Indonesia adalah sumber
daya alam, sumber daya manusia, sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi,
sumber daya modal, dan sumber daya infrastruktur. Kelima kondisi faktor sumber
daya tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Sumber daya Alam
Dari tahun 2004 hingga tahun 2013, Indonesia merupakan negara
produsen terbesar keempat untuk komoditas ubi kayu. Hal tersebut dapat diartikan
bahwa potensi ubi kayu Indonesia cukup besar untuk dikembangkan mengingat
hampir seluruh daerah di Indonesia dapat ditanami ubi kayu. Saat ini Indonesia
memiliki sejumlah wilayah penghasil ubi kayu di 33 provinsi kecuali DKI Jakarta
dengan provinsi Lampung sebagai daerah penghasil ubi kayu terbesar, diikuti
Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, DI Yogyakarta, dan Nusa
Tenggara Timur (BPS, 2014). Berikut data luas lahan, luas panen, produksi, dan
produktivitas ubi kayu di Indonesia.
91
Tabel 28. Sentra Produksi Ubi Kayu Tahun 2013
Provinsi Luas Panen
(Ha) Produktivitas
(Ku/Ha) Produksi
(Ton)
Nusa Tenggara Timur 79164 102.47 811166
Lampung 318107 261.84 8329201
Sumatera Utara 47141 322.06 1518221
DI Yogyakarta 58777 172.44 1013565
Jawa Barat 95505 223.92 2138532
Jawa Tengah 161783 252.79 4089635
Jawa Timur 168194 214.1 3601074
Indonesia 1065752 224.6 23936921 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Tabel 29. Luas Panen Ubi Kayu Tahun 2009-2013 Tahun Luas Panen Peningkatan 2009 1175666 2010 1183047 0.628
2011 1184696 0.139
2012 1129688 -4.643
2013 1065752 -5.660 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015 (diolah)
Berdasarkan data (Tabel 28), luas panen ubi kayu selama kurun waktu
2009-2013 menunjukkan kecenderungan menurun. Menurunnya areal panen
tersebut antara lain dikarenakan alih fungsi lahan ke non pertanian dan alih fungsi
ke komoditi lain. Petani biasanya menanam ubi kayu sebagai usahatani
sampingan dimana ubi kayu ditumpangsarikan dengan tanaman pangan lainnya
seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan yang umur panennya lebih pendek
dibandingkan dengan ubi kayu.
Namun, potensi pengembangan ubi kayu di Indonesia masih sangat luas
mengingat lahan yang tersedia untuk budidaya ubi kayu masih cukup luas.
92
Pertanaman ubi kayu di Indonesia sebagian besar berada di lahan kering, baik
lahan kering iklim kering maupun iklim basah dan sebagian kecil lainnya berada
di lahan sawah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014), menunjukkan di
seluruh provinsi di Indonesia masih terdapat potensi lahan kering 31,5 juta hektar
yang terdiri dari lahan tegal/kebun seluas 11,9 juta hektar, lahan ladang/huma 5,3
juta hektar, dan lahan sementara tidak diusahakan seluas 14,3 juta hektar. Lahan-
lahan tersebut merupakan potensi yang tersedia untuk pengembangan areal
budidaya / usahatani ubi kayu. Potensi lahan kering pada tahun 2012 dapat dilihat
pada tabel berikut. (Tabel 30)
93
Tabel 30. Luas lahan Tegal, Ladang, dan Sementara Tidak Diusahakan Provinsi 2012
Tegalan Ladang
Sementara tidak diusahakan
Jumlah
Aceh 322336 246801 444341 1013478 Sumatera Utara 556196 313315 254410 1123921 Sumatera Barat 329620 145905 225891 701416 Riau 555915 212632 427139 1195686 Jambi 374557 222270 254272 851099 Sumatera Selatan 396228 197677 720138 1314043 Bengkulu 185050 85073 98099 368222 Lampung 749597 0 45007 794604 Kep. Bangka Belitung
138246 45984 122309 306539
Kep. Riau 40436 32839 159534 232809 DKI Jakarta 1075 75 15 1165 Jawa Barat 546566 216933 13445 776944 Jawa Tengah 741419 13180 1266 755865 DI Yogyakarta 94600 0 795 95395 Jawa Timur 1129772 37800 10474 1178046 Banten 165759 80426 14374 260559 Bali 126713 0 548 127261 Nusa Tenggara Barat
254257 61909 38562 354728
Nusa tenggara Timur
574015 326087 759065 1659167
Kalimantan Barat 651077 403101 1129325 2183503 Kalimantan Tengah 564798 200300 1350471 2115569 Kalimantan Selatan 252175 111374 160982 524531 Kalimantan Timur 221621 164328 1018620 1404569 Sulawesi Utara 206521 109968 36477 352966 Sulawesi Tengah 347134 155486 411068 913688 Sulawesi Selatan 539288 105242 102237 746767 Sulawesi Tenggara 251511 122762 201767 576040 Gorontalo 156858 67895 49062 273815 Sulawesi Barat 127560 85540 74987 288087 Maluku 790394 283277 864759 1938430 Maluku Utara 223757 74823 18965 317545 Papua Barat 6523 662845 2088016 2757384 PAPUA 328153 474234 3155963 3958350 INDONESIA 11949727 5260081 14252383 31462191 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
94
2. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam upaya mendukung pengembangan agribisnis ubi kayu serta daya saing ubi
kayu Indonesia di pasar internasional. Pada pengusahaan ubi kayu, peran sumber
daya manusia dapat dilihat dari ketersediaan dan jumlah penyerapan tenaga kerja,
serta kualitas tenaga kerja yang mendukung pengusahaan ubi kayu tersebut.
Tabel 31. Jumlah Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan
Lapangan Pekerjaan 2009 2010 2011 2012 2013
Tanaman pangan, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
43536759 43243111 39088271 39590054 39220261
Pertambangan dan Penggalian 1200510 1280889 1434961 1602706 1426454
Industri 12512148 13474059 14541562 15615386 14959804 Listrik, Gas dan Air 244159 240126 234347 251162 252134 Konstruksi 5435909 5485338 6263797 6851291 6349387 Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi
22094461 22421821 22297686 23517145 24105906
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi
6167723 5486719 5006473 5052302 5096987
Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan
1436137 1664016 2577847 2696090 2898279
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan 14442450 16293636 15971365 17328732 18451860
Total 107070256 109589715 107416309 112504868 112761072 Sumber: BPS (Berita Resmi Statistik, 2015)
Komoditas ubi kayu merupakan salah satu komoditas subsektor tanaman
pangan yang cukup banyak menyerap tenaga kerja, mengingat sektor pertanian
merupakan sektor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia disusul
sektor perdagangan, lalu jasa, dan industri pada posisi keempat (Tabel31). Selama
95
tahun 2010-2013, kenaikan penyerapan tenaga kerja terjadi hampir di semua
sektor, kecuali sektor pertanian dan sektor jasa kemasyarakatan.
Tabel 32. Lapangan Pekerjaan Pertanian Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Pertanian
Agustus 2013 Tidak/Belum Pernah Sekolah 2077561 256785 672848 664437 3671631
Tidak Tamat SD 3830050 698765 2439989 1089907 8058711 SD 6654119 1258565 4576115 1693034 14181833 SLTP 2257967 441658 2343113 696170 5738908 SMA 1011016 227315 1269517 257499 2765347 SMK 328267 81776 350347 115585 875975 Diploma I/II/III 44571 14663 45393 13465 118092 Universitas/DIV 58521 13707 81245 27406 180879 Jumlah 16262072 2993234 11778567 4557503 35591376
Sumber: BPS (Berita Resmi Statistik, 2015)
Berdasarkan data pada tahun 2013 (Tabel 32), jumlah petani dan tenaga
kerja yang diserap oleh subsektor tanaman pangan sebesar 16,262,072 jiwa,
paling tinggi dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja di subsektor pertanian
lainnya. Namun, banyaknya jumlah tenaga kerja pada subsektor tanaman pangan
belum sepenuhnya ditunjang dengan kualitas sumber daya manusia yang baik.
Kondisi pelaku agribisnis saat ini, terutama pada usaha tani dan subsektor
tanaman pangan lebih dari 70% tenaga kerja tidak tamat/hanya tamatan SD,
bahkan untuk tenaga kerja yang lulusan perguruan tinggi (diploma/Universitas)
jumlahnya kurang dari 1%. Hal tersebut tentu berdampak negatif terhadap tingkat
kemampuan mereka dalam mengadopsi dan menerima teknologi yang diberikan.
Selain itu, sumber daya penyuluh juga sangat dibutuhkan dalam
pengembangan agribisnis ubi kayu karena penyuluh memiliki fungsi yang
96
strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia masyarakat tani.
Berdasarkan data tahun 2014 (Statistik Pertanian, 2014), jumlah penyuluh yang
berstatus PNS sebesar 27.476, angka tersebut mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya (2013) yang berjumlah 28.494. Sedangkan menurut Suswono yang
dikutip dari website Pertanian (2014), jumlah penyuluh pertanian yang berstatus
tenaga harian lepas tenaga bantu penyuluh (THL-TBPP) sebesar 20.479.
Sementara di Indonesia terdapat 75.224 desa yang memiliki potensi pertanian.
Dengan jumlah penyuluh saat ini, jumlah penyuluh pertanian masih kurang dari
yang ditargetkan oleh Kementrian Pertanian untuk memenuhi program satu desa
satu penyuluh yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 pasal
46 tentang Pemberdayaan Petani.
Untuk itu, sumber daya penyuluh harus mendapatkan perhatian terutama
dalam peningkatan kapasitas dan profesionalitas. Sumber daya pengusaha ubi
kayu dan sumber daya manusia pada subsistem jasa pendukung juga telah
tersedia, hal tersebut dapat dilihat dari pengusaha yang bergerak dibidang
pengolahan ubi kayu, lembaga perkreditan baik formal maupun non formal dan
lain sebagainya yang telah tersebar khususnya di daerah sentra produksi.
3. Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Penerapan teknologi sangat erat kaitannya dengan produktivitas.
Berdasarkan data tahun 2013, produktivitas rata-rata ubi kayu di Indonesia adalah
224,6 kuintal per hektar atau 22,4 ton per hektar dan terjadi peningatan
produktivitas pada tahun 2014 menjadi 229,6 kuintal per hektar atau 22,9 ton per
hektar. Angka ini dibawah nilai optimal, dimana berdasarkan pendapat Hafsah
97
(2003), potensi hasil optimal berkisar antara 25-40 ton per hektar. Hal tersebut
dapat diakibatkan oleh penerapan teknologi produksi petani, khususnya
penggunaan pupuk dan varietas unggul belum sepenuhnya diterapkan. Adanya
panen muda juga mengakibatkan kualitasnya rendah, khususnya pada kandungan
patinya.
Berdasarkan data (Lampiran 4), untuk di berbagai daerah sentra produksi
seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Jawa Tengah, dan
Sulawesi Barat memiliki nilai produktivitas yang tinggi yaitu masing-masing
322,06 ku/ha, 397,66 ku/ha, 266,81 ku/ha, 261,84 ku/ha, 252,79 ku/ha, 254,06
ku/ha, dan 254,06 ku/ha. Nilai tersebut sudah memenuhi nilai optimal yang
berarti di daerah-daerah sentra produksi tersebut sudah menerapkan teknologi
pertanian dengan baik. Sedangkan untuk di daerah sentra produksi lain masih
memiliki nilai produktivitas yang rendah, terutama di daerah Papua Barat yang
merupakan daerah sentra produksi yang memiliki tingkat produktivitas paling
rendah dengan nilai produktivitas 112,92 ku/ha. Hal tersebut dikarenakan petani
ubi kayu belum menerapkan pemupukan sesuai anjuran, bahkan tanaman tidak
dipupuk sama sekali padahal ubi kayu merupakan tanaman yang rakus akan unsur
hara. Rendahnya penggunaan pupuk dikarenakan belum adanya jaminan pasar
dan harga yang menguntungkan atau layak dan kondisi sosial-ekonomi pada
petani ubi kayu yang umumnya marginal. Disamping itu, penggunaan varietas
unggul juga masih rendah, sebagian besar petani masih menanam varietas lokal.
Teknologi pengolahan paskapanen produk ubi kayu juga sudah mulai
berkembang. Hal ini terlihat dari berbagai produk hasil olahan ubi kayu yang ada.
98
Peralatan untuk pengolahan umumnya relatif sederhana dan masih manual.
Beberapa agroindustri menggunakan mesin untuk pengolahan produk, misalnya
mesin pengggilingan pada agroindustri tapioka. Skala usaha agroindustri sangat
menentukan jenis alat yang digunakan. Untuk skala usaha yang relatif kecil, alat
yang digunakan umumnya masih sederhana. Secara teknis jenis peralatan yang
diperlukan mudah diperoleh baik dari lembaga pemerintah maupun swasta.
Di Indonesia, penelitian dan pengembangan ubi kayu ditangani oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan) atau Balai
Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi), Departemen
Pertanian. Selain itu, di Indonesia sendiri terdapat beberapa lembaga masyarakat
atau asosiasi yang dibentuk guna memajukan perubi kayuan di Indonesia, salah
satunya yaitu Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) atau yang dikenal juga
dengan Indonesia Cassava Society (ICS).
Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari perguruan tinggi, media, dan
jurnal-jurnal penelitian melalui penelitian mengenai ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkaitan dengan budidaya ataupun aspek sosial ekonomi. Dalam
hal basis data, peranan lembaga statistik seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Departemen Pertanian khususnya tanaman pangan juga penting dan dibutuhkan
dalam mengolah data statistik komoditas kayu.
4. Sumber Daya Modal
Sumber daya Modal dapat diperoleh salah satunya melalui pinjaman bank.
Dua skema kredit perbankan yang hingga kini masih bisa diakses oleh pelaku
bisnis pertanian di dalam negeri adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP) serta
99
Kredit Usaha Rakyat (KUR) Sektor Pertanian. Pemanfaatan fasilitas KKP yang
diberikan oleh Bank pelaksana adalah dalam rangka intensifikasi ubi kayu. Kredit
KKP tersebut digunakan untuk pengadaan benih/bibit, pupuk, biaya garapan dan
pemeliharaan, biaya panen dan paska panen dengan jaminan kelayakan usaha.
Sedangkan KUR adalah kredit/pembiayaan yang diberikan oleh perbankan
kepada UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang feasible tapi belum
bankable. Maksudnya adalah usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang baik
dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan.
Penyaluran KUR dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langusng yaitu UMKM dan Koperasi dapat langsung mengakses KUR di
Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank Pelaksana. Sedangkan tidak
langsung yaitu usaha mikro dapat mengakses KUR melalui Lembaga Keuangan
Mikro dan KSP/USP Koperasi, atau melalui kegiatan linkage program lainnya
yang bekerjasama dengan bank pelaksana. Bank pelaksana KUR terdiri dari 33
bank yang tersebar di Indonesia.
Sumber pembiayaan lain yang disediakan pemerintah guna mendorong
pengembangan agribsisnis ubi kayu adalah Kredit Umum Pedesaan atau yang
diesbut juga dengan KUPEDES. Kupedes diberikan kepada perorangan atau
perusahaan yang dinilai layak dengan jaminan yang dibutuhkan untuk
memperoleh kredit tersebut adalah colateral berupa benda bergerak dan tidak
bergerak dengan bank penyalur adalah BRI unit desa. Disamping itu, pemerintah
juga menyediakan kredit SWAMITRA. Kredit ini diberikan kepada pengusaha
perorangan dan anggota koperasi dengan jaminan berupa agunan barang bergerak
100
maupun tidak bergerak. Bank penyalur kredit SWAMITRA adalah bank Bukopin.
Sumber pembiayaan lain yang disediakan pemerintah adalah Kredit Usaha Kecil.
Kredit ini diberikan kepada pengusaha kecil dengan jaminan berupa agunan
barang bergerak maupun tidak bergerak. Kredit ini dibayai oleh berbagai bank di
Indonesia, yaitu Bank Mandiri, BTN, Bank DKI, dll.
Namun, pada umumnya petani ubi kayu menghadapi kesulitan yakni
keterbatasan dalam modal usaha. Kredit yang tersedia belum dapat dimanfaatkan
secara optimal dikarenakan keterbatasan akses untuk memperolehnya dan belum
adanya kemudahan memanfaatkan modal tersebut. Pendanaan lain yang bisa
dimanfaatkan petani, bersumber dari perusahaan melalui kemitraan usaha yang
telah dijalin antara petani dan pengusaha. Permodalan tersebut adalah milik
perusahaan atau dapat juga dana dari bank yang disalurkan ke petani dimana
perusahaan mitra sebagai avalis atau perantara.
5. Sumber Daya Infrastruktur
Infrastruktur pertanian di Indonesia dalam mendukung perkembangan
agribisnis ubi kayu masih kurang memadai, hal ini disebabkan oleh banyaknya
infrastruktur seperti saluran irigasi, bendungan, dan jalan usaha tani atau jalan
produksi pertanian yang rusak. Ubi kayu memerlukan air yang cukup pada pasa
pertumbuhan vegetatif yaitu umur 4-5 bulan, untuk itu peran jaringan irigasi
sangat penting dalam meningkatkan produksi tanaman ubi kayu.
101
Tabel 33. Kondisi Jaringan Irigasi Berdasarkan Kewenangan 2014 Kewenangan
Kondisi Jaringan
Pusat Provinsi Kab.Kota Total (Ha)
Jaringan baik 1,840,874 515,092 1,500,209 3,856,175 Jaringan Rusak
3,288,993
Rusak Ringan
94,114 181,820 673,340 949,274
Rusak Sedang
326,178 182,575 691,197 1,199,950
Rusak Berat 115,355 225,987 798,427 1,139,769 Total 2,376,521 1,105,475 3,663,172 7,145,168
Sumber: Hadimoeljono, 2015
Berdasarkan data (Tabel 33), dari 7,1 juta saluran irigasi yang terdapat di
Indonesia, 46% mengalami kerusakan yang dikategorikan kedalam rusak ringan,
rusak sedang, dan rusak berat. Prasarana usahatani lain yang sangat dibutuhkan
masyarakat untuk menggerakkan proses produksi dan pemasaran komoditas
pertanian namun keberadaannya masih terbatas adalah jalan usahatani dan jalan
produksi pertanian. Jalan usaha tani atau jalan pertanian merupakan prasarana
transportasi pada kawasan pertanian untuk memperlancar mobilitas alat dan mesin
pertanian, pengangkutan sarana produksi menuju lahan pertanian, dan
mengangkut hasil produk pertanian dari lahan menuju tempat penyimpanan,
tempat pengolahan, atau pasar. Sebagian besar jalan usaha tani masih berupa
tanah atau berlapis kerikil, namun di beberapa tempat sudah ada jalan usaha tani
yang beraspal.
Keterbatasan jalan usaha tani maupun prasarana transportasi dan logistik
pada sentra produksi komoditas ubi kayu mengakibatkan biaya yang tinggi,
terlebih lagi apabila lokasi sentra produksi tersebar dan jauh dari lokasi industri.
102
Akibatnya komoditas ubi kayu lokal tidak memiliki daya saing dikarenakan harga
yang tinggi sehingga pasar tidak mampu menyerapnya. Padahal, produk tesebut
juga harus bersaing dengan produk impor, khususnya dari Thailand yang
merupakan pengimpor utama ubi kayu untuk Indonesia. Selain itu, membuat para
investor enggan berinvestasi dikarenakan para investor tersebut harus
membangun dan mengeluarkan dana lebih untuk membangun infrastruktur guna
dapat mendistribusikan produknya.
Tabel 34. Nilai Logistic Performance Index (LPI) 2014 Country LPI
Score Customs Infra structure
International shipments
Logistics competence
Tracking & tracing Timeliness
Singapura 4 4.01 4.28 3.7 3.97 3.9 4.25
Malaysia 3.59 3.37 3.56 3.64 3.47 3.58 3.92
Thailand 3.43 3.21 3.4 3.3 3.29 3.45 3.96
Vietnam 3.15 2.81 3.11 3.22 3.09 3.19 3.49
Indonesia 3.08 2.87 2.92 2.87 3.21 3.11 3.53
Sumber: World Bank, 2014
Menurut data Bank Dunia (World Bank) yang dipublikasikan dalam
logistics performance index (LPI) (Tabel 34), kinerja operasional logistik nasional
Indonesia pada tahun 2014 berada pada peringkat 53 dari 155 negara yang
disurvei Bank Dunia. Walaupun terjadi peningkatan peringkat dari tahun
sebelumnya yaitu peringkat 59 pada tahun 2013, namun daya saing logistik
Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti
Singapura yang berada pada peringkat 4, Malaysia pada peringkat 25, Thailand
yang merupakan pengekspor utama komoditas ubi kayu berada pada peringkat 35,
dan juga Vietnam pada peringkat 48.
103
Menurut Bank Dunia secara keseluruhan kinerja logistik suatu negara
ditentukan oleh enam pilar utama, yaitu:
a. Efisiensi customs dan pengelolaan perbatasan (Customs).
b. Kualitas perdagangan dan infrastruktur transportasi (Infrastructure).
c. Kemudahan mengatur pengiriman dengan harga yang kompetitif (Ease of
arranging shipments).
d. Kompetensi dan kualitas layanan logistik (Quality of logistics services).
e. Kemampuan untuk melacak dan menelusuri kiriman (Tracking and tracing).
f. Frekuensi pengiriman yang tepat waktu (Timeliness).
Salah satu penyebab rendahnya daya saing dan tingginya biaya logistik
disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah kualitas infrastruktur.
Berdasarkan data, kualitas infrastruktur Indonesia masih relatif rendah yaitu
berada pada peringkat 56 dengan nilai 2.92, masih kalah jauh jika dibandingkan
dengan Singapura (2) dengan nilai 4.28, Malaysia (26) dengan nilai 3.56,
Thailand (30) dengan nilai 3.4, dan Vietnam (44) dengan nilai 3.11. Untuk itu,
peningkatan kualitas infrastruktur menjadi faktor penting dalam kinerja
peningkatan daya saing logistik secara nasional. Berikut data infrastruktur
Indonesia tahun 2014 (Tabel 35).
104
Tabel 35. Jumlah Infrastruktur di Indonesia Tahun 2014 NO Parameter Unit Kondisi 2014 1 Rasio Elektrifikasi Listrik % 81.5 2 Pengambangan Jalan Nasional KM 38570 3 Panjang Jalur Kereta Api KM 5434 4 Pengembangan Pelabuhan Unit 278 5 Jumlah Bandara Unit 237 6 Jumlah Dermaga Penyebrangan Unit 210
Sumber: beritadaerah, 2015
5.5.2 Kondisi Permintaan
Permintaan terhadap ubi kayu akan terus meningkat seiring dengan
peningkatan terhadap jumlah penduduk serta pertumbuhan dan perkembangan
industri pengolahan yang berbahan dasar ubi kayu. Selain itu, seiring dengan
kebutuhan akan energi yang semakin langka, permintaan akan komoditas ubi kayu
juga semakin meningkat dikarenakan ubi kayu juga dapat digunakan sebagai bahan
dasar untuk energi alternatif yaitu bioethanol. Karena itu, komoditas ubi kayu
memiliki prospek yang sangat bagus untuk dikembangkan.
Kondisi Permintaan dibagi menjadi dua, yaitu kondisi permintaan domestik
dan juga kondisi permintaan internasional. Berikut data permintaan ubi kayu di
Indonesia tahun 2010-2015 (Tabel 36).
105
Tabel 36. Permintaan Ubi kayu 2010-2015
Tahun Ketersediaan
Nasional (Ton)
Pakan (Ton)
Diolah untuk industri
Tercecer (Ton)
Total Penggunaan /konsumsi
2010 10,699,953 461,167 12,231,000 491,143 23,883,263 2011 16,302,913 480,892 6,447,000 512,150 23,742,955 2012 11,279,742 483,552 11,898,000 514,983 24,176,276 2013 11,448,121 478,738 11,392,000 509,856 23,828,716
2014* 11,375,154 528,435 11,734,000 562,784 24,200,373 2015* 11,618,398 552,767 12,076,000 588,697 24,835,862
Sumber: Outlook Ubi kayu (2014:45) Keterangan: *) Prediksi Pusdatin
Permintaan ubi kayu di Indonesia dihitung berdasarkan ketersediaan perkapita
untuk konsumsi dikalikan jumlah penduduk, ditambah penggunaan untuk pakan dan
diolah menjadi bahan industri, dan juga yang tercecer atau yang hilang saat panen
maupun paskapanen. Menurut data di atas (Tabel 36), permintaan ubi kayu Indonesia
dari tahun 2010 hingga 2013 berfluktuatif mulai dari 23juta ton hingga 24 juta ton.
Permintaan tertinggi untuk ubi kayu terjadi pada tahun 2012 dimana terjadi
perningkatan yang signifikan terhadap permintaan untuk industri namun terjadi
penurunan terhadap konsumsi dari tahun sebelumnya. Pusdatin memprediksi untuk
tahun 2014 dan 2015 terjadi peningkatan terhadap permintaan komoditas ubi kayu
yang disebabkan oleh peningkatan terhadap permintaan untuk industri dan pakan,
sedangkan perkiraan permintaan ubi kayu untuk konsumsi di tahun 2014 terjadi
penurunan.
Penggunaan ubi kayu untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah dalam
bentuk ubi kayu segar dan produk olahannya seperti tepung dan chips (gaplek). Umbi
dan daun ubi kayu dapat dikonsumsi oleh manusia, yaitu sebagai sumber penting
karbohidrat, protein dan mineral. Saat ini sudah mulai banyak inovasi makanan yang
106
berbahan dasar ubi kayu. Dengan semakin banyaknya inovasi tersebut, maka
memungkinkan terjadinya peningkatan terhadap permintaan ubi kayu di pasar dalam
negeri maupun Internasional. Selain itu, pemanfaatan ubi kayu di sektor non pangan
dan pakan di pasar global juga mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tersebut
banyak terjadi di pasar cassava starch atau pati ubi kayu. Cassava starch digunakan
sebagai bahan baku berbagai jenis produk pangan dan barang-barang industri,
terutama untuk industri kertas dan bahan-bahan kimia. Semakin tingginya permintaan
terhadap ubi kayu, membuat harga komoditas tersebut semakin membaik. Hal
tersebut ditunjukkan oleh data harga komoditas ubi kayu yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Berikut data harga produsen maupun konsumen komoditas ubi
kayu di Indonesia.
Tabel 37. Perkembangan Harga Ubi kayu Indonesia Tahun 2004-2013 Tahun Harga Produsen Harga Konsumen 2004 672 1429 2005 807 1164 2006 974 1361 2007 1148 2223 2008 1481 3019 2009 1800 3356 2010 1928 3917 2011 3011 4503 2012 2310 3391 2013 2525 4601
Sumber: Outlook Ubi kayu, 2014
Secara umum perdagangan ubi kayu dunia adalah dalam bentuk pellet dan
chip untuk kebutuhan pakan (70 persen) dan sisanya dalam bentuk pati dan tepung
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri dan industri pengolahan pangan.
107
Ubi kayu yang diperdagangkan dalam bentuk segar persentasenya sangat kecil, hal
tersebut dikarenakan sifat-sifat produk agribisnis yang masih belum diolah memiliki
sifat bulky (bervolume besar) dan perishable (mudah rusak). Untuk mengetahui
permintaan ubi kayu dunia sebagai tujuan ekspor hasil olahan komoditas ubi kayu
Indonesia, dapat dilihat melalui data impor dunia untuk komoditas gaplek, pati ubi
kayu, dan juga tepung tapioka. Berikut data impor dunia untuk komoditas gaplek, pati
ubi kayu, dan juga tepung tapioka tahun 2012.
Tabel 38. Persentase Pemenuhan Gaplek Dunia
Tahun Ekspor Indonesia
(Ton) Impor Dunia
(Ton) Persentase
2009 168062 7188762 2.337843428 2010 145217 6380181 2.276063955 2011 105331 5855171 1.798939775 2012 40550 8747610 0.463555188 2013 127025 8687074 1.462229975
Rata-rata 117237 7371759.6 1.667726464 Sumber: FAOSTAT, 2015 (Diolah)
Tabel 39. Persentase Pemenuhan Pati Ubi kayu Dunia
Tahun Ekspor Indonesia
(Ton) Impor Dunia
(Ton) Persentase
2009 13197 2094172 0.630177464 2010 23814 1953517 1.219032135 2011 90008 2357934 3.817240008 2012 7340 2891088 0.253883659 2013 58654 2705388 2.168043918
Rata-rata 38602.6 2400419.8 1.617675437 Sumber: FAOSTAT, 2015 (Diolah)
108
Tabel 40. Persentase Pemenuhan Tepung Tapioka Dunia
Tahun Ekspor Indonesia
(Ton) Impor Dunia
(Ton) Persentase
2009 3906 56246 6.944493831 2010 4885 61889 7.893163567 2011 9393 66517 14.1212021 2012 7835 96429 8.125149073 2013 7431 87388 8.503455852
Rata-rata 6690 73693.8 9.117492884 Sumber: FAOSTAT, 2015 (Diolah)
Selama periode 2009 sampai dengan 2013 terlihat ekspor komoditas olahan
ubi kayu Indonesia masih sangat kecil proporsinya dibandingkan dengan permintaan
impor dunia. Berdasarkan data di atas (Tabel 38-40), Permintaan akan komoditas
olahan ubi kayu dunia baik gaplek dan pati ubi kayu mengalami fluktuasi yang
cenderung naik, sedangkan untuk komoditas tepung tapioka mengalami kenaikan
setiap tahunnya. Masih kecilnya kontribusi ekspor Indonesia terhadap impor dunia
ditambah permintaan yang semakin bertambah tinggi setiap tahunnya tersebut tidak
menutup kemungkinan untuk Indonesia memperbesar ekspornya. Tren permintaan
terhadap komoditas olahan ubi kayu dunia yang relatif besar akan menjadi pasar yang
potensial bagi Indonesia dalam memasarkan produk olahan ubi kayu dalam rangka
meningkatkan daya saing dan memajukan agribisnis ubi kayu Indonesia.
5.5.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan industri terkait dan mendukung daya saing komoditas ubi kayu di
pasar internasional yang bersifat kompetitif merupakan faktor yang menentukan
keunggulan ubi kayu nasional. Industri yang terkait dan industri pendukung produksi
ubi kayu antara lain pengadaan bibit unggul dan sarana prasarana produksi serta
industri pengolahan. Dalam kenyataanya peran industri tersebut dalam mendukung
109
pengusahaan ubi kayu di Indonesia masih kurang terutama dalam sektor industri
pengolahan.
1. Pembenihan Ubi kayu
Benih penjenis yang diproduksi Balitkabi secara formal hanya disalurkan ke
Direktorat Perbenihan, yang selanjutnya didistribusikan ke BBI (Balai Benih Induk)
di seluruh Indonesia. Bibit ubi kayu dapat diperoleh malalui produsen bibit ubi kayu
lokal dan juga produsen yang merupakan mitra Binaan Direktorat Tanaman Pangan
yang tersebar di berbagai daerah sentra produksi ubi kayu. Selain itu, dalam rangka
mendukung pembangunan pertanian, Kementerian Pertanian telah meluncurkan
berbagai program yang mendukung upaya diversifikasi pangan dan peningkatan
ketahanan pangan nasional melalui pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari
(KRPL), salah satunya dengan dibentuknya Kebun Bibit Desa (KPD) yang
merupakan kebun tempat produksi dan distribusi benih/bibit milik warga/komunitas
pelaku RPL (Rumah Pangan Lestari), yang pengelolaannya oleh kelembagaan yang
dibentuk oleh warga pelaku RPL. Dengan demikian KBD memiliki peran utama
sebagai produsen benih dan juga berperan sebagai supplier (penyalur) bibit ubi kayu.
Dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya (padi, jagung, kedelai,
kacang tanah, kacang hijau, dan ubijalar), pembentukan/pelepasan varietas unggul ubi
kayu di Indonesia berjalan lambat, sebab selama ini di samping komoditas ubi kayu
belum memperoleh prioritas, juga karena umur panennya panjang (8–10 bulan).
Tidak banyak swasta yang mau menanamkan investasi di pengusahaan
perbenihan/perbibitan karena memerlukan investasi yang cukup besar sehingga perlu
ada upaya yang serius untuk membangkitkan kelembagaan perbenihan nasional mulai
110
dari pusat sampai daerah, termasuk peningkatan kapasitas kemampuan penangkar
benih lokal (MAP Ubi kayu, 2012:23).
2. Pengolahan Ubi kayu
Menurut BPS (2008) dalam Haryono dkk (2014:406) terdapat 62 jenis industri
skala sedang dan besar yang menggunakan ubi kayu dan produk olahan antara seperti
tepung tapioka, gaplek dan ampas tapioka. Pemanfaatan ubi kayu untuk industri skala
sedang antara lain untuk industri pengolahan makanan, pati, pakan, roti, gula dan
sirup, minuman, mi, makaroni, kertas, farmasi, dan kayu. Pengolahan ubi kayu
sebagai bahan industri besar antara lain untuk bahan baku (a) dekstrin untuk tekstil,
kertas perekat plywood, dan industri kimia/farmasi, (b) citric acid untuk makanan dan
minuman, (c) monosodium glutamate, (d) sorbitol, (e) campuran pakan, dan (f)
ethanol. Tepung tapioka dan produk turunan yang disebut polyol, merupakan bahan
baku pasta gigi, produk kosmetik, dan vitamin C. Macam-macam industri pangan dan
pakan berskala besar dan sedang yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku
dapat dilihat pada tabel berikut. (Tabel 41)
111
Tabel 41. Industri Berbasis Ubi kayu Skala Besar dan Sedang
No Jenis Industri kode Jumlah Industri
2010 2011 2012 2013
1 Ind. pengolahan dan pengawetan daging 10130 45 45 49 47
2 Ind. pengalengan ikan dan biota perairan lainnya 10221 56 52 65 83
3 Ind. pengolahan lainnya untuk ikan dan biota perairan 10299 55 62 105 118
4 Ind. pelumatan buah-buahan dan sayuran 10312 55 34 37 49
5 Ind. pengalengan buah-buahan dan sayuran 10320 9 9 8 8
6 Ind. tepung terigu 10617 10 11 10 13 7 Ind. es krim 10531 17 14 17 15
8 Ind. pengupasan dan pembersihan umbi-umbian 10616 6 13 12 12
9 Ind. tepung dari padi-padian, biji-bijian, kacang-kacangan, umbi-umbian, buah
10618 17 17 23 22
10 Ind. pati ubi kayu (tapioka) 10621 143 154 161 167 11 Ind. berbagai macam pati palma 10622 22 20 16 17 12 Ind. roti, kue kering dan sejenisnya 10710 621 633 639 617 13 Ind. bubuk coklat 10731 7 8 12 13
14 Ind. makanan dari coklat dan kembang gula 10732 64 64 68 66
15 Ind. gula lainnya 10739 7 8 9 8
16 Ind. makaroni, mie, spagheti, bihun, soun dan sejenisnya 10740 295 292 296 269
17 Ind. Makanan dan masakan olahan 10750 84 75 63 52 18 Ind. pengolahan teh 10761 200 205 213 203 19 Ind. Kecap 10771 79 95 96 94
20 Ind. keripik/peyek dari kacang kedele/kacang-kacangan lain 10793 65 71 79 74
21 Ind. berbagai macam kerupuk 10794 884 941 940 863
22 Ind. Bumbu masak dan penyedap masakan 10772 48 61 65 56
23 Ind. Produk makanan lainnya 10799 52 56 62 70 24 Ind. Ransum makanan hewan 10801 58 69 62 71 25 Ind. Konsentrat makanan hewan 10802 33 31 34 33
Sumber: BPS (diolah)
112
Industri tersebut merupakan industri pangan olahan yang menggunakan ubi
kayu segar maupun produk-produk antara berbasis ubi kayu seperti pati dan tepung
tapioka, tidak termasuk produk turunan lanjut dari ubi kayu seperti glukosa, fruktosa,
maltodekstrin, dan sebagainya. Pati ubi kayu merupakan produk olahan ubi kayu
yang sangat dibutuhkan bagi industri-industri di Indonesia karena memiliki banyak
fungsi salah satunya sebagai bahan tambahan pangan (Food Additives and
Ingredients).
Bahan tambahan pangan (Food Additives and Ingredients) pati ubi kayu
merupakan salah satu produk bahan baku penolong yang banyak bersumber dari
impor, padahal sumber bahan baku komoditas tersebut banyak tersedia di dalam
negeri. Akan tetapi produsen dalam negeri tetap mengutamakan sumber bahan baku
yang berasal dari luar negeri. Pertimbangan untuk mengimpor bahan baku penolong
adalah harga yang lebih murah, spesifikasi yang tidak sesuai, dan tidak adanya
jaminan kontinuitas pasokan bahan baku dari produsen dalam negeri. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Hafsah (2003:144) yang mengatakan bahwa produk-produk
olahan ubi kayu belum sepenuhnya didukung oleh standar mutu. Produk-produk
olahan seperti gaplek, tapioka, pati ubi kayu, dan ampas tapioka yang telah diekspor
mutunya masih kurang baik, disamping kesinambungan suplai yang masih kurang
mendapat perhatian. Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa daya saing
produk tersebut lemah dan harga kurang kompetitif dibandingkan Thailand dan kuota
gaplek ke Negara-negara MEE sulit dipenuhi.
Impor terbesar Indonesia untuk komoditas pati ubi kayu terjadi pada tahun
2012 dan juga menjadikan Indonesia sebagai importir terbesar di dunia untuk
113
komoditis pati ubi kayu. Industri berbasis pati dan karbohidrat belum berkembang
dengan baik di Indonesia karena pasokan bahan baku sektor pertanian belum mampu
memenuhi kebutuhan industri. Sebagian besar produk pati/karbohidrat di produksi
oleh petani pedesaan yang tingkat kepemilikan tanahnya relatif kecil serta terpencar-
pencar sehingga menyulitkan untuk mengumpulkan hasilnya, yang berakibat
pengiriman untuk kebutuhan industri seringkali mengalami keterlambatan. Selain itu,
Industri hilir yang bahan bakunya membutuhkan pati hanya akan membeli pati dari
para petani bukan dalam bentuk bahan mentah (singkong). Dalam kaitan ini petani
tidak memiliki permodalan dan teknologi pengolahan sehingga tidak dapat memenuhi
permintaan sektor industri hilir berbasis pati.
Dengan jumlah populasi sebesar 240 juta jiwa dan peningkatan pendapatan
perkapita, GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Insonesia)
memprediksi pertumbuhan industri makanan dan minuman akan terus tumbuh.
Membanjirnya produk impor pati ubi kayu dengan harga relatif murah membuat
industri dalam negeri sulit bersaing. Beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain
aspek paska panen dan pengolahan yang masih menggunakan teknologi pengolahan
produk masih tradisional dan belum adanya standarisasi bahan baku, lemahnya aspek
kelembagaan dan jaringan pemasaran produk pati/karbohidrat, kurangnya minat
investor di bidang industri hilir ubi kayu, karena tidak ada jaminan bahan baku, serta
belum adanya insentif dan infrastruktur yang kurang memadai di sentra bahan baku
menuju ke sentra industri atau pemasaran. Perlunya dukungan kebijakan untuk
merangsang investor masuk ke industri ini. (Kemendag, 2013)
Berdasarkan data (Tabel 41), jumlah industri pati ubi kayu atau tapioka pada
114
tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Bertambahnya industri pati ubi kayu, diharapkan dapat meningkatkan daya saing
komoditas pati ubi kayu Indonesia yang selama ini banyak diimpor guna memenuhi
kebutuhan industri dalam negeri. Selain itu, merupakan peluang untuk petani dalam
memasarkan komoditi ubi kayu yang ditanamnya.
3. Pemasaran
Ubi kayu dipasarkan untuk kebutuhan pangan, kebutuhan industri, dan juga
pakan ternak. Pemasaran komoditas ubi kayu sering terkendala dikarenakan lokasi
budidadaya yang jauh dari lokasi pengolahan dan kondisi infrastruktur yang kurang
memadai, hal ini membuat hasil panen menjadi rusak dikarenakan sifat ubi kayu yang
mudah rusak. Selain itu, lokasi yang jauh dari industri pengolahan, membuat
perusahaan enggan membeli ubi kayu tersebut dikarenakan perusahaan harus
mengeluarkan biaya lebih untuk transportasi dan distribusi yang berdampak terhadap
biaya produksi.
Dalam memasarkan komoditi ubi kayu, banyak melibatkan pelaku yaitu mulai
dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, beberapa industri pengolah dan
pedagang pengecer/distributor, lalu ke pasar atau konsumen akhir. Secara umum,
rantai pasokan umbi kayu adalah sebagai berikut :
a) Petani ubi kayu pada umumnya langsung menjual barangnya kepada para
pengumpul. Disamping itu, terdapat petani yang membentuk kelompok-kelompok
tani. Hasil produksi kelompok tani dijual ke pabrik tepung ubi kayu/singkong.
b) Pedagang pengumpul menjual ke rantai berikutnya yakni pedagang besar. Selain
itu juga menjual ke industri pengolahan seperti industri tapioka, industri gaplek
115
dan industri makanan yang berbasis ubi kayu atau langsung ke pasar-pasar
tradisional.
c) Pedagang besar, berperan membeli ubi kayu dari pedagang pengumpul (biasanya
skala kecil) untuk dijual ke pasar tradisional atau ke industri pengolahan.
d) Dari Industri pengolahan ubi kayu kemudian dipasarkan ke industri pengolahan
yang membutuhkan hasil olahan ubi kayu sebagai bahan baku seperti pabrik roti,
pabrik macaroni, pabrik mie, pabrik krupuk, dan lain-lain. Pemasaran biasanya
dilakukan oleh lembaga pemasar atau distributor dan juga pedagang pengecer
e) Jangkauan pasar hasil industri pengolahan ubi kayu tidak saja di daerah lokal,
bahkan antar daerah atau sampai luar provinsi dan luar negeri yang biasanya
pemasaaran dilakukan melalui distributor.
Salah satu kendala pemasaran produk olahan ubi kayu terletak pada minimnya
informasi mengenai harga dan jumlah permintaan pasar yang dapat diperoleh
pengusaha. Selain tidak memiliki informasi pasar yang sempurna, belum adanya
regulasi mengenai perdagangan seperti standar produk dan pemasaran juga menjadi
kendala usaha ini (Kemendag,2013). Disamping itu, mutu bahan baku juga
menentukan kualitas hasil produk olahan. Kualitas bahan baku sering tidak selalu
baik, karena masih banyak petani yang menerapkan pola panen singkong yang tidak
optimal, di mana petani sering kali memanen singkong lebih dini dari usia panen
yang seharusnya. Menurunnya kualitas produk olahan tersebut menyebabkan
rendahnya harga jual dan tepung tidak bertahan lama. Untuk mengatasi kendala
tersebut diperlukan kemitraan antara petani dan pengusaha agar ketersediaan dan
kualitas bahan baku tetap terjaga. Dalam hal pemasaran produk diperlukan regulasi
116
dan pembinaan akses pasar bagi pengusaha industri ubi kayu.
5.5.4 Persaingan, struktur, dan strategi
Berdasarkan data (Tabel 11), selama tahun 2004 hingga tahun 2013, jumlah
eksportir untuk komoditas gaplek, pati ubi kayu dan tapioka fluktuatif cenderung
meningkat dengan munculnya pesaing-pesaing baru. Jumlah eksportir gaplek
terendah berjumlah 59 pada tahun 2009 dan terjadi peningkatan dengan jumlah
tertinggi pada tahun 2011 yaitu 72 negara. Hingga tahun 2013, jumlah eksportir
komoditas gaplek berjumlah 71 negara. Untuk komoditas pati ubi kayu, jumlah
terendah ada pada tahun 2009 dengan jumlah 59 negara dan terus meningkat hingga
tahun 2013 mencapai 65 negara. Sedangkan untuk komoditas tapioka, jumlah
eksportir terendah ada pada 2009 berjumlah 59, paling tinggi terjadi pada tahun 2013
dimana jumlah eksportir mencapai 77 negara.
Pasar Ubi kayu berada pada konsentrasi pasar yang tinggi dengan struktur
pasar monopoli yang sedikit oligopoli, hal tersebut menunjukkan bahwa industri
tersebut terkonsentrasi oleh beberapa negara yang secara signifikan menguasai pasar,
dimana perbedaan pangsa pasar antara penguasa pasar dengan pengikut pasar relatif
besar. Eksportir utama untuk komoditi gaplek adalah Thailand, Vietnam, Kosta Rika
dan Indonesia. Sedangkan Eksportir utama untuk komoditi pati ubi kayu adalah
Thailand, Vietnam, Hongkong, dan Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan
pengekspor utama pati ubi kayu, namun Indonesia juga merupakan Negara
pengimpor pati ubi kayu dengan jumlah banyak dan merupakan salah satu Negara
Importir terbesar di dunia setelah Cina dan Jepang. Dan eksportir utama untuk
komoditi tapioka adalah Thailand, Cina, Peru dan Ghana. Pangsa pasar Ekspor
117
tapioka Indonesia masih berada di bawah Vietnam namun berada diatas Malaysia.
Cassava starch (Pati Ubi kayu) dan tapioka merupakan komoditas
perdagangan yang memiliki kemampuan diversifikasi produk yang luas. Menurut
data FAO, diketahui bahwa lebih banyak importir pati ubi kayu dibandingkan dengan
eksportirnya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan pati sebagai bahan baku
industri sangat tinggi. Kegiatan impor terbesar untuk komoditas pati ubi kayu dunia
dilakukan oleh Cina, Jepang, Indonesia, Malaysia, dan juga Filipina (Faostat, 2015).
Saat ini ubi kayu lokal menghadapi persaingan dengan ubi kayu impor.
Kualitas ubi kayu impor dinilai lebih baik dari ubi kayu lokal khususnya bagi industri
pengolahan makanan dan kertas. Meskipun telah tersedia benih-benih unggul yang
dapat menghasilkan ubi kayu lokal dengan kualitas baik namun pada kenyataannya
banyak petani ubi kayu yang belum menggunakan benih unggul tersebut. Berbagai
faktor seperti ketersediaan benih unggul bermutu yang sulit didapat membuat petani
tidak menggunakan benih unggul bermutu sehingga para petani ubi kayu lokal
banyak yang menggunakan benih asalan. Selain bersaing dengan ubi kayu impor,
persaingan lahan juga harus dihadapi ubi kayu lokal dengan tanaman pangan lainnya
seperti padi dan jagung. Untuk itu, perlu adanya insentif dari pemerintah untuk
meningkatkan minat petani dalam membudidayakan ubi kayu.
Dalam mengembangkan industri berbasis ubi kayu di Indonesia, perlu adanya
strategi yang baik. Strategi yang ditempuh Kementerian Pertanian selama periode
2010-2014 adalah melakukan revitalisasi pertanian dengan fokus pada tujuh aspek
dasar yang disebut dengan Tujuh Gema Revitalisasi, yang terdiri dari: (1) lahan, (2)
perbenihan dan perbibitan, (3) infrastruktur dan sarana, (4) sumber daya manusia, (5)
118
pembiayaan petani, (6) kelembagaan petani, serta (7) teknologi dan industri hilir.
(Kementerian Pertanian, 2014)
5.5.5 Peranan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk mendorong
agroindustri berbasis pangan lokal ubi kayu sangat diperlukan. Pembangunan
infrastruktur yang memadai, seperti jalan raya, jaringan telekomunikasi dan listrik,
akan memperlancar kegiatan pengolahan dan distribusi. Pemberian kredit dengan
bunga lebih murah untuk modal kerja dan pembelian alat bagi agroindustri skala kecil
dan menengah dapat meringankan beban biaya produksi. Kementerian Pertanian telah
menetapkan arah kebijakan pembangunan pertanian, meliputi (Kementan, 2014):
1. Melaksanakan kegiatan antara lain bantuan benih/bibit unggul, subsidi pupuk,
alsintan, Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT), Sekolah
Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dan pola sekolah lapang lainnya
2. Melakukan Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga
Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), Sarjana Membangun Desa (SMD)
dan Penggerak Membangun Desa (PMD), pengembangan desa mandiri pangan,
penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat, dan rekrutmen tenaga
pendamping lapang guna mempercepat pertumbuhan industri pertanian di
perdesaan
3. Peningkatan kualitas dan kuantitas public goods melalui perbaikan dan
pengembangan infrastruktur pertanian seperti irigasi, embung, jalan desa, dan
jalan usahatani
4. Jaminan penguasaan lahan produktif
119
5. Pembangunan sentra-sentra pupuk organik berbasis kelompok tani
6. Penguatan kelembagaan perbenihan dan perbibitan nasional
7. Pemberdayaan masyarakat petani miskin melalui bantuan sarana, pelatihan, dan
pendampingan
8. Penguatan akses petani terhadap iptek, pasar, dan permodalan bunga rendah
9. Mendorong minat investasi pertanian dan kemitraan usaha melalui promosi yang
intensif dan dukungan iklim usaha yang kondusif
10. Pembangunan kawasan komoditas unggulan terpadu secara vertikal dan/atau
horizontal dengan konsolidasi usahatani produktif berbasis lembaga ekonomi
masyarakat yang berdaya saing tinggi di pasar lokal maupun internasional
11. Pengembangan bio-energi berbasis bahan baku lokal terbarukan untuk memenuhi
kebutuhan energi masyarakat khususnya di perdesaan dan mensubstitusi BBM
12. Pengembangan diversifikasi pangan dan pembangunan lumbung pangan
masyarakat untuk mengatasi rawan pangan dan stabilisasi harga di sentra
produksi
13. Peningkatan keseimbangan ekosistem dan pengendalian hama penyakit secara
terpadu
14. Peningkatan perlindungan dan pendayagunaan plasma-nutfah nasional
15. Penguatan sistem perkarantinaan pertanian
16. Penelitian dan pengembangan berbasis sumber daya spesifik lokasi (kearifan
lokal) dan sesuai agro-ekosistem setempat dengan teknologi unggul yang
berorientasi kebutuhan petani
17. Pengembangan industri hilir pertanian di perdesaan yang berbasis kelompok tani
120
untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, membuka
lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan keseimbangan
ekonomi desa-kota
18. Berperan aktif dalam melahirkan kebijakan makro yang berpihak kepada petani
seperti perlindungan tarif dan non tarif perdagangan internasional, penetapan
Harga Pembelian Pemerintah (HPP), dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk
bersubsidi
19. Peningkatan promosi citra petani dan pertanian guna menumbuhkan minat
generasi muda menjadi wirausahawan agribisnis
20. Peningkatan dan penerapan manajemen pembangunan pertanian yang akuntabel
dan good governance
Sejak tahun 2013 Kementerian Pertanian telah mengambil kebijakan
pembangunan pertanian dengan fokus komoditas dan lokasi dengan pendekatan
kawasan pertanian. Pendekatan kawasan ini disebut dengan cluster. Pendekatan
cluster dibangun dengan mengembangkan kawasan yang sudah ada dan juga dengan
mengembangkan kawasan baru. Pengembangan cluster ini difokuskan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan dengan mengembangkan 40 komoditas
strategis dan unggulan nasional, meliputi 30 komoditas pangan dan sepuluh
komoditas non pangan secara terpadu dan multi-years. Jenis komoditas yang akan
dikembangkan salah satunya adalah tanaman ubi kayu
5.5.6 Peranan Kesempatan
Berdasarkan laporan kegiatan studi pasar ubi kayu global (Global Cassava
Market Study) oleh FAO dan IFAD (2004), diketahui bahwa pasar ekspor ubi kayu
121
telah memasuki masa pertumbuhan yang mengagumkan, dimana pertumbuhan
tersebut dapat terjadi atas dukungan penuh internasional dengan sedikit intervensi
nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saat ini merupakan kesempatan
yang tepat bagi Indonesia untuk memasuki pasar ubi kayu ke berbagai negara sasaran
ekspor. Dalam mengembangkan industri berbasis ubi kayu, perlu adanya sinergi dan
tindakan yang saling mendukung antara instansi pemerintah terkait dan asosiasi
pelaku usaha. Hal tersebut dikarenakan dengan semakin terbukanya pasar
perdagangan ubi kayu dunia, maka tingkat kompetisi pasar yang harus dihadapi
Indonesia juga menjadi semakin tinggi.
Untuk pasar ekspor, beberapa negara maju di Eropa, Amerika, dan Australia
banyak memanfaatkan ubi kayu sebagai sumber bahan baku industri pakan,
sedangkan dibeberapa negara Asia seperti Cina, Jepang, Malaysia, Korea, Philipina,
dan Singapura ubi kayu banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan,
pakan dan energi. Semakin tingginya permintaan terhadap ubi kayu tersebut baik
lokal maupun global, merupakan peluang bagi pelaku industri ubi kayu di seluruh
dunia dalam memasarkan produknya. Peluang tersebut seiring dengan kecenderungan
meningkatnya potensi kuantitas ekspor ubi kayu Indonesia. Besarnya potensi ekspor
tersebut dapat dilihat dari selisih antara kuantitas produksi terhadap pemenuhan
kebutuhan domestik. Berikut data proyeksi surplus/defisit Ubi Kayu Indonesia Tahun
2010-2016
122
Tabel 42 Neraca Ubi kayu Tahun 2010-2016
Tahun Produksi (Ton) Penggunaan/Konsumsi
(Ton) Surplus/defisit
2010 23058344 23883263 -824919 2011 24044590 23742955 301635 2012 24177583 24176276 1307 2013 23936921 23828716 108205 2014 26421770 24200373 2221397 2015 27638363 24835863 2802500 2016 28466957 25204336 3262621
Sumber: Outlook Ubi kayu (2014:46)
Berdasarkan data diatas (Tabel 42), selisih hasil perhitungan antara
penggunaan dan konsumsi ubi kayu dengan ketersediaan ubi kayu di Indonesia
mencapai surplus kecuali pada tahun 2010. Nilai surplus tersebut diprediksikan oleh
Pusdatin semakin meningkat pada tahun 2016 mencapai 3262621 ton. Tingginya nilai
surplus, merupakan peluang bagi Indonesia dalam meningkatkan ekspor ubi kayu
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
5.6 Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System�
Dari hasil analisis komponen Porter’s Diamond System pada agribisnis ubi
kayu dapat diketahui keterkaitan antar komponen utama maupun keterkaitan antar
komponen utama dengan komponen penunjang. Keterkaitan antar komponen utama
daya saing ubi kayu Indonesia dapat dilihat tabel berikut (Tabel 43)
123
Tabel 43. Keterkaitan Antar Komponen Inti Diamond Porter
Komponen A
Komponen B
Keterkaitan antar
komponen Keterangan
1
Persaingan Struktur dan Strategi
Kondisi faktor Sumber daya
Saling Mendukung
1. Adanya Strategi pemerintah berupa Tujuh Gema Revitalisasi sebagai upaya untuk mengembangkan agribisnis ubi kayu lokal di Indonesia
2. Hasil-hasil penelitian yang merupakan sumber daya IPTEK mendukung strategi yang dilakukan untuk pengembangan agribisnis ubi kayu Indonesia
2
Kondisi faktor Sumber daya
Industri terkait dan industri pendukung
Tidak Saling Mendukung
1. Kondisi faktor sumber daya yang belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri
2. Banyak industri terkait dan industri pendukung menggunakan pati ubi kayu dan tapioka impor
3
Kondisi Permintaan
Industri terkait dan industri pendukung
Saling Mendukung
1. Tingginya permintaan ubi kayu dalam bentuk olahan membuat berkembangnya industri pengolahan ubi kayu di dalam negeri
2. Semakin berkembangnya industri dalam negeri, membuat permintaan akan komoditas ubi kayu olahan Indonesia semakin tinggi
4
Industri terkait dan industri pendukung
Persaingan, struktur dan strategi
Tidak saling mendukung
1. Industri terkait dan industri pendukung mengimpor bahan baku dari negara lain sehingga ubi kayu lokal tersaingi
2. Struktur pasar yang bersifat monopoli dan berkonsentrasi tinggi serta adanya non tariff barrier membuat komoditi ubi kayu Indonesia yang memiliki kualitas rendah sulit bersaing di pasar ekspor
5
Kondisi permintaan
Persaingan, struktur dan strategi
Tidak Saling mendukung
1. Tingginya permintaan untuk industri membuat bahan baku olahan ubi kayu impor semakin deras masuk
2. Strategi yang diterapkan belum mampu mengatasi permintaan terhadap bahan baku olahan ubi kayu dalam negeri
6
Kondisi faktor sumber daya
Kondisi permintaan
Saling mendukung
1. Faktor sumber daya yang dimiliki Indonesia membuat Indonesia menjadi salah satu produsen terbesar dunia untuk komoditas ubi kayu
2. Kondisi permintaan sudah dapat dipenuhi oleh produksi ubi kayu dalam negeri yang ditandai oleh neraca ubi kayu yang mengalami surplus
124
Penjelasan mengenai keterkaitan antar komponen utama pada Porter’s
Diamond System sebagai berikut:
1. Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Kondisi Faktor Sumber Daya
Keterkaitan yang saling mendukung terjadi pada komponen persaingan,
struktur, strategi dengan komponen faktor sumber daya. Hal ini terlihat pada
adanya strategi “Tujuh Gema Revitalisasi” yang berfokus pada tujuh aspek dasar
yaitu, lahan, perbenihan dan perbibitan, infrastruktur dan sarana, sumber daya
manusia, pembiayaan petani, kelembagaan petani, serta teknologi dan industri
hilir, dimana strategi tersebut mendukung perkembangan sumber daya agribisnis
ubi kayu lokal di Indonesia. Sedangkan untuk faktor sumber daya seperti sumber
daya IPTEK menghasilkan berbagai hasil penelitian yang mampu mendukung
pihak-pihak terkait untuk mengetahui kondisi persaingan serta menentukan
strategi guna memajukan daya saing agribisnis ubi kayu. Berbagai penelitian
tersebut dihasilkan oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi atau sumber
daya IPTEK lainnya. Penelitian yang ada dapat berupa jurnal ilmiah, buletin
buku, seminar, simposium dan lain-lain dan digunakan untuk membantu
pengembangan ubi kayu lokal di Indonesia.
2. Kondisi Faktor Sumber Daya dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keterkaitan yang tidak saling mendukung terdapat pada komponen
kondisi faktor sumber daya dengan industri terkait dan industri pendukung. Hal
ini dikarenakan sumber daya yang ada belum mampu memasok bahan baku
industri yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh industri terkait dan industri
125
pendukung. Sedangkan untuk industri terkait dan industri pendukung sendiri tidak
mendukung faktor sumber daya karena sebagian besar industri terkait dan industri
pendukung melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
3. Kondisi Permintaan dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keterkaitan yang saling mendukung terjadi pada kondisi permintaan
domestik dengan industri terkait dan industri pendukung. Hal ini dikarenakan
tingginya permintaan ubi kayu dalam bentuk olahan seperti pati ubi kayu dan
tapioka membuat berkembangnya industri pengolahan ubi kayu di dalam negeri.
Sedangkan untuk industri terkait dan industri pendukung sendiri mendukung
kondisi permintaan ubi kayu domestik. Hal ini dikarenakan dengan semakin
meningkatnya industri berbasis ubi kayu seperti industri pengolahan makanan,
tekstil, kertas dan lain-lain akan meningkatkatkan permintaan ubi kayu domestik.
4. Industri Terkait dan Industri Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi
Keterkaitan yang saling tidak mendukung lainnya juga terjadi pada
komponen industri terkait dan industri pendukung dengan persaingan, struktur
dan strategi. Hal ini terjadi karena industri terkait dan industri pendukung
mengimpor ubi kayu dari luar sehingga ubi kayu lokal tersaingi dengan adanya
ubi kayu impor. Selain itu struktur pasar ubi kayu dunia yang cenderung bersifat
monopoli dan terkonsentrasi serta adanya non tariff barrier di berbagai Negara
maju seperti pasar eropa membuat industri ubi kayu dalam negeri yang
berkualitas rendah mengalami kesulitan dalam bersaing di pasar ekspor.
126
5. Kondisi Permintaan dengan Persaingan, Struktur dan Strategi
Kondisi permintaan dengan persaingan, struktur dan strategi memiliki
keterkaitan yang Tidak saling mendukung. Tingginya permintaan ubi kayu untuk
bahan baku industri dalam negeri membuat ubi kayu impor semakin deras masuk.
Selain itu, strategi yang ada belum mendukung kondisi permintaan domestik.
Strategi yang ada belum mampu mengatasi permintaan terhadap bahan baku
olahan ubi kayu dalam negeri dan meminimalisir impor ubi kayu terutama dalam
bentuk pati ubi kayu dan tapioka.
6. Kondisi Faktor Sumber Daya dengan Kondisi Faktor Permintaan
Kondisi faktor sumber daya dengan kondisi faktor permintaan memiliki
keterkaitan yang saling mendukung. Hal ini terlihat pada kondisi faktor sumber
daya yang dimiliki Indonesia sehingga membuat Indonesia menjadi produsen
terbesar nomor empat dunia untuk komoditas ubi kayu. Selain itu, Kondisi
permintaan sudah dapat dipenuhi oleh produksi ubi kayu dalam negeri yang
ditandai oleh neraca ubi kayu yang mengalami surplus sehingga mendukung
Indonesia untuk terus meningkatkan ekspor untuk memenuhi permintaan ubi kayu
dunia.
5.7 Keterkaitan Komponen Pendukung Sistem Berlian Porter
Keterkaitan antar komponen penunjang dengan komponen utama daya saing
ubi kayu Indonesia dapat dilihat pada Tabel berikut (Tabel 44)
127
Tabel 44. Ketertaitan Antar Komponen Penunjang Dengan Komponen Inti Diamond Porter
Komponen Penunjang Komponen Utama
Keterkaitan antar
Komponen Keterangan
1 Peranan Pemerintah
1. Kondisi faktor Sumber daya
2. Kondisi Permintaan
3. Industri terkait dan industri pendukung
4. Persaingan, struktur dan strategi
Mendukung Mendukung Mendukung Mendukung
21. Pemerintah memberikan bantuan bagi kegiatan usahatani serta adanya penelitian dan pengembangan berbasis sumber daya spesifik lokasi (kearifan lokal) dan sesuai agro-ekosistem setempat dengan tek-nologi unggul yang berorientasi kebutuhan petani
22. Peningkatan kualitas dan kuantitas public goods melalui perbaikan dan pengembangan infrastruktur serta pernguatan lembaga distribusi
23. Penguatan kelembagaan perbenihan serta adanya program pengem- bangan Industri Hilir ubi kayu yang berdaya saing dan Pengembangan bio-energi berbasis bahan baku lokal
24. Dukungan terhadap kegiatan promosi berupa sosialisasi dan publikasi.
2 Peranan Kesempatan
1. Kondisi faktor Sumber daya
2. Kondisi Permintaan
3. Industri terkait dan industri pendukung
4. Persaingan, struktur dan strategi
Mendukung Mendukung Mendukung Mendukung
1. Kondisi geografis dan iklim Indonesia yang mendukung Indonesia sebagai negara produsen dan juga eksportir ubi kayu terbesar di dunia
2. Peningkatan jumlah penduduk serta permintaan ubi kayu sebagai bahan baku industri dan energi alternatif bioethanol merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi dalam negeri
3. Semakin berkembangnya industri berbasis ubi kayu merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi dalam negeri
4. Dengan terbukanya perdagangan bebas dan bertumbuhnya pasar ekspor ubi kayu yang pesat, merupakan peluang bagi Indonesia untuk memasuki pasar ubi kayu ke berbagai Negara sasaran ekspor
128
Penjelasan mengenai keterkaitan antar komponen utama pada Porter’s
Diamond System sebagai berikut:
1. Peran Pemerintah Mendukung Semua Komponen Utama
Peran pemerintah sangat mendukung setiap komponen daya saing
agribisnis gandum lokal melalui kebijakan dan program-program yang telah
dilakukan. Bentuk dukungan pemerintah terhadap kondisi faktor sumber daya
yaitu melalui program-program pengembangan agribisnis ubi kayu lokal melalui
pemberian bantuan bagi kegiatan usahatani serta adanya penelitian dan
pengembangan berbasis sumber daya spesifik lokasi (kearifan lokal) dan sesuai
agro-ekosistem setempat dengan teknologi unggul yang berorientasi kebutuhan
petani. Selain itu, karena saat ini aksesibilitas petani terhadap benih ubi kayu
unggul masih sulit maka pemerintah pun berperan pula sebagai penyalur benih
unggul bagi petani.
Bentuk dukungan pemerintah terhadap permintaan berupa peningkatan
kualitas dan kuantitas public goods melalui perbaikan dan pengembangan
infrastruktur serta pernguatan lembaga distribusi sehingga pendistribusian
komoditi ubi kayu dapat berjalan dengan lancar untuk memenuhi kebutuhan akan
komoditas ubi kayu di berbagai daerah. Kondisi permintaan akan produk olahan
ubi kayu yang semakin meningkat untuk kebutuhan industri dan adanya
perminataan terhadap energi alternatif berupa bioethanol mendorong pemerintah
untuk mengembangkan agribisnis ubi kayu lokal di Indonesia dengan melalui
penguatan kelembagaan perbenihan serta adanya program pengembangan Industri
129
Hilir ubi kayu yang berdaya saing dan Pengembangan bio-energi berbasis bahan
baku lokal. Dukungan pemerintah juga diberikan pada komponen persaingan,
struktur dan strategi yaitu melalui dukungan terhadap kegiatan promosi dan
publikasi pengembangan agribisnis ubi kayu lokal di Indonesia berupa buku,
seminar dan lain-lain.
2. Peran Kesempatan Mendukung Seluruh Komponen Utama
Dari hasil analisis komponen Porter’s Diamond dapat diketahui bahwa
komponen peranan kesempatan memiliki keterkaitan yang saling mendukung
dengan seluruh komponen utama. Peran kesempatan mendukung komponen
sumber daya yaitu, kondisi geografis dan iklim Indonesia yang mendukung
Indonesia sebagai negara produsen dan juga eksportir ubi kayu terbesar di dunia.
Lahan yang tersedia untuk pertanian ubi kayu masih luas sehingga apabila
dikelola dengan baik maka tentunya Indonesia akan mampu memasok kebutuhan
ubi kayu dunia yang semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk serta
permintaan ubi kayu sebagai bahan baku industri dan energi alternatif bioethanol
merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi dalam negeri
Selain itu, peluang pasar bagi komoditas ubi kayu sangat besar baik
dipasar lokal maupun dunia dengan ditandai semakin banyaknya industri
pengolahan yang berbasis ubi kayu sebagai industri terkait dan industri
pendukung. Dengan terbukanya pasar bebas dan bertumbuhnya perdagangan ubi
kayu yang pesat, merupakan peluang bagi Indonesia untuk memasuki pasar ubi
kayu ke berbagai Negara sasaran ekspor.
Berdasarkan analisis keterkaitan antar komponen, maka dapat disimpulkan
130
bahwa keterkaitan antar komponen-komponen utama sudah cukup berdaya saing,
karena ada tiga dari enam pasang komponen yang saling mendukung. Namun
daya saing agribisnis ubi kayu lokal di Indonesia tersebut sangat didukung oleh
komponen pendukungnya. Pada komponen peranan pemerintah, kebijakan yang
diberikan pemerintah terhadap agribisnis ubi kayu lokal di Indonesia telah
mendukung seluruh komponen dalam agribisnis ubi kayu di Indonesia. Begitu
juga dengan komponen kesempatan yang memberikan dukungan terhadap seluruh
komponen dalam agribisnis ubi kayu di Indonesia. Hal tersebut menunjukan
adanya peranan pemerintah dan kesempatan akan mampu meningkatkan posisi
daya saing agribisnis ubi kayu lokal di Indonesia apabila seluruh stakeholder
mengupayakan diri untuk dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari
kesempatan-kesempatan tersebut.
131
BAB VI Kesimpulan dan Saran
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, adapun kesimpulan yang diperoleh dari
pembahasan pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Struktur pasar komoditas Gaplek dan Pati ubi kayu dunia berada pada struktur
pasar oligopoli yang cenderung bersifat monopoli dan konsentrasi pasar yang
tinggi. Negara Thailand memiliki kekuatan monopoli terbesar dengan pangsa
pasar lebih dari 60%. Sedangkan untuk komoditas Tepung Tapioka berada pada
Struktur pasar oligopoli dan konsentrasi pasar tinggi.
2. Berdasarkan hasil analisis, secara rata-rata Indonesia memiliki keunggulan
komparatif untuk komoditas gaplek, pati ubi kayu, dan tepung tapioka. Namun
walaupun Indonesia memiliki keunggulan komparatif, dari tahun ke tahun
kecenderungan perkembangannya menunjukkan hasil yang negatif.
3. Berdasarkan Analisis keunggulan kompetitif. Indonesia memiliki daya saing
untuk komoditas Gaplek dan Tepung Tapioka. Sedangkan untuk komoditas pati
ubi kayu berdaya saing rendah. Namun, pada komponen peranan pemerintah,
kebijakan yang diberikan pemerintah telah mendukung seluruh komponen daya
saing ubi kayu Indonesia. Begitu juga komponen kesempatan yang mendukung
pertumbuhan daya saing ubi kayu Indonesia.
132
6.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan bagi pengembangan ubi kayu lokal di
Indonesia diantaranya:
1. Untuk meningkatkan daya saing ubi kayu Indonesia di pasar dunia, perlu adanya
peningkatan kualitas dan kuantitas ekspor, sehingga dapat meningkatkan pangsa
pasar dan dapat bersaing dengan pengekspor utama ubi kayu lainnya. Hal tersebut
dapat dilakukan salah satunya melalui perbaikan terhadap aspek teknologi
pengolahan, terutama untuk komoditas pati ubi kayu dan tapioka, agar Indonesia
mampu mengekspor komoditas yang telah terstandarisasi sesuai dengan
permintaan pasar ekspor. Selain itu, perlunya pengembangan pasar ubi kayu di
Negara-negara yang memiliki potensi pengembangan pasar yang potensial.
2. Dalam mengembangkan industri berbasis ubi kayu, perlu adanya sinergi dan
tindakan yang komprehensif antara instansi Pemerintah dan pelaku usaha. Hal
tersebut dikarenakan dengan semakin terbukanya pasar perdagangan ubi kayu
dunia, maka tingkat kompetisi pasar yang harus dihadapi Indonesia juga menjadi
semakin tinggi. Selain itu, perlu adanya insentif dari pemerintah untuk
meningkatkan minat petani dalam membudidayakan ubi kayu salah satunya
dengan cara memperlancar petani dalam memperoleh sumber permodalan dan
juga memperlancar saluran pemasaran. Disamping itu, petani ubi kayu juga harus
mendapat pendampingan dan bimbingan dari pihak-pihak tenaga ahli dari
Departemen Pertanian maupun Lembaga pendidikan agar ubi kayu yang
dihasilkan memiliki kualitas yang baik untuk kebutuhan industri dalam negeri dan
133
tidak ada lagi panen muda yang kerap dilakukan oleh petani yang berpengaruh
terhadap kualitas pati dan tepung yang dihasilkan.
3. Infrastruktur Indonesia diharapkan dapat ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya
sesuai dengan kebutuhan dalam pengelolaan dan pendistribusian agribisnis ubi
kayu, karena untuk menghadapi pasar bebas, infrastruktur adalah bagian yang
sangat penting yang harus mendapat perhatian mendalam khususnya pelabuhan
dan jalan untuk sarana transportasi.
4. Untuk dapat mengembangkan agribisnis ubi kayu Indonesia, diperlukan
komitmen dari seluruh stake holder dan konsistensi kebijakan pemerintah
terhadap pengembangan agribisnis ubi kayu lokal di Indonesia serta pemanfaatan
terhadap kesempatan-kesempatan yang terjadi di pasar ubi kayu lokal maupun
dunia.
5. Saran bagi yang ingin berusaha di bidang ubi kayu olahan, komoditi pati ubi kayu
memiliki peluang yang besar untuk diusahakan karena saat ini pemenuhan
kebutuhan pati ubi kayu di Indonesia sendiri masih banyak didapat dari impor.
Hal ini terlihat dari nilai impor yang lebih besar dari ekspornya, yang berarti pasar
komoditi pati ubi kayu untuk kebutuhan industri dalam negeri masih sangat besar.
Dan dalam memilih lokasi sebaiknya di tempat yang dekat dengan sentra
produksi ubi kayu, karena selain mempermudah dalam memperoleh pasokan
bahan baku, diharapkan para pengusaha juga dapat memberdayakan petani sekitar
sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan baik pihak pengusaha
maupun pihak petani ubi kayu sendiri.
134
6. Dalam melakukan analisis daya saing agribisnis ubi kayu Indonesia, penulis
belum mampu melakukan analisis secara mendalam pada setiap subsistem yang
terlibat dalam sistem agribisnis ubi kayu Indonesia. Oleh karena itu diharapkan
dalam penelitian selanjutnya dilakukan penelitian secara khusus yang membahas
masing-masing subsistem agribisnis ubi kayu lokal di Indonesia sehingga dapat
diketahui potensi serta permasalahan yang belum mampu peneliti ungkap. Selain
itu, untuk mendukung pengembangan agribisnis ubi kayu di Indonesia disarankan
untuk meneliti tentang pengaruh setiap komponen dalam agribisnis ubi kayu
terhadap produksi ubi kayu nasional.
135
DAFTAR PUSTAKA
Asriani, Putri Suci. 2011. Analisis Daya Saing Ekspor Ubi kayu Indonesia. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Arsyad, Lincolin. 2008. Ekonomi Manajerial Ekonomi Mikro Terapan Untuk Manajemen Bisnis. Yogyakarta: BPFE
Anonim, Berbagai Tahun. United Nation Statistics Division-comodity Trade Statistics Database (UN-COMTRADE). Didapat dari http://comtrade.un.org/
Bantacut, Tajuddin. 2011. Penelitian dan Pengembangan untuk Industri Berbasis Cassava (Research And Development For Cassava Based Industry). IPB, Bogor. Didapat dari http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/45676
Arvis , Jean-Franc ois, Daniel Saslavsky, Lauri Ojala, Ben Shepherd, Christina Busch, Anasuya Raj. 2014. Connecting to Compete 2014 Trade Logistics in the Global Economy: The Logistics Performance Index and Its Indicators. Washington: WorldBank
Basri, Faisal dan Haris Munandar. 2010. Dasar-dasar Ekonomi Internasional. Jakarta: Kencana
[BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun. Data Statistik Pertanian Ubi kayu. Didapat dari www.bps.go.id.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2013. Jakarta: BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Pertanian 2014. Jakarta: BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2012. Jakarta: BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Ketenagakerjaan Sektor Pertanian Tahun 2014. Jakarta: BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Industri Manufaktur Indonesia Tahun 2011. Jakarta: BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia (Indonesia Population Projection) 2010-2035. Jakarta: BPS
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Industri Sedang dan Besar Tahun 2010. Jakarta: BPS
136
Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. 2003. Evolusi Teori Daya Saing. Jakarta: Salemba Empat
Dewanto, Fadjar Ari. 2015. Menggenjot Pembangunan Infrastruktur Indonesia 2015-2019. Didapat dari http://beritadaerah.co.id/2015/03/10/menggenjot-pembangunan-indonesia-2015-2019/
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Road Map Peningkatan Produksi Ubi kayu 2010 – 2014. Jakarta: Kementan
International Fund For Agricultural Development (IFAD) dan Food And Agriculture Organization Of The United Nations (FAO). 2004. Global cassava market study: Business opportunities for the use of cassava. Didapat dari http://www.fao.org/docrep/007/y5287e/y5287e00.HTM
Febriyanthi, Sri Anna. 2008. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditi Teh Indonesia Di Pasar Internasional. [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor
FAO dan IFAD. 2004. Global Cassava Market Study. FAO IFAD. Didapat dari http://www.fao.org/docrep/007/y5287e/y5287e00.HTM
Gardjito, Murdijati, Anton Djuwardi, dan Eni Harmayani. 2013. Pangan Nusantara: Karakteristik dan Prospek untuk Percepatan Diversifikasi Pangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Hafsah, Mohammad jafar. 2003. Bisnis Ubi kayu Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Hadimoeljono. 2015. Peningkatan Ketahanan Air Sebagai Dukungan Terhadap Pencapaian Kedaulatan Pangan. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat
Haryono, Effendi Pasandaran, Kedi Suradisastra, Mewa Ariani, Nono Sutrisno, Sulusi Prabawati, M. Prama Yufdy, dan Agung Hendriadi. 2014. Memperkuat Daya Saing Produk Pertanian. Jakarta: IAARD PRESS
Kementrian Perdagangan. 2014. Indeks spesialisasi Perdagangan (ISP). Diakses 24 juli, 2015. http://www.kemendag.go.id/addon/isp/
Kementerian Perdagangan. 2013. Analisis Kebijakan Impor Komoditas Food Additives And Ingredients Dalam Mengurangi Defisit Neraca Perdagangan. Jakarta: Kemendag
Kementerian Pertanian. 2013. Rencana Kinerja Tahunan (RKT) 2014. Jakarta: Kementan
137
Kementerian Pertanian. 2014. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Ubi kayu. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Imformasi Pertanian Kementan
Kementerian Pertanian. 2014. Indonesia Butuh Tambahan 27.269 Penyuluh Pertanian. diakses 20, September, 2015. http://www.pertanian.go.id/ap_posts/ detil/89/2014/08/27/16/13/26/Indonesia%20Butuh%20Tambahan
Koeswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Singkong (Teori dan Praktek). Jurusan Ilmu Dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lukman dan Indoyama Nasarudin. 2007. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: UIN Jakarta Press
Ningsih, Altika. 2013. Analisis Daya Saing Dan Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Permintaan Minyak Atsiri Indonesia Di Negara Tujuan Ekspor. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Puspita, Agnes Aulia Dwi. 2009. Analisis Daya Saing Dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal Di Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press Harvard
Plant Database. 2006. Classification for kingdom Plantae down to genus Manihot Crantz. diakses 23, juli, 2015. http://plants.usda.gov/core/profile?symbol=maes
Rau, Anneke. 2014. Analisis Daya Saing Kopi Indonesia Di Pasar Internasional. Jurusan Agribisnis. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Saleh, Nasir, St.A. Rahayuningsih dan M.Muchlis Adie. 2011. Peningkatan Produksi Dan Kualitas Umbi-Umbian. Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi)
Saliem, Handewi P dan Sri Nuryanti. 2011. Analisis Kebijakan Pertanian: Perspektif Ekonomi Global Kedelai dan Ubi kayu mendukung Swasembada. Pusat Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian (Kementan). Didapat dari http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2011_4_10.pdf
Salvatore, Dominick. 2014. Ekonomi Internasional. Edisi 9. Buku 1. Jakarta: Salemba Empat
138
Sukesi, Heni. Tanpa Tahun. Kajian Rantai Pasokan Dan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Produk Umbi-Umbian: Studi Kasus Jawa Barat. Didapat dari http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2013/04/25/-1366875381. pdf.
Sunarminto, Bambang Hendro. 2010. Pertanian Terpadu untuk Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional. Yogyakarta: BPFE
Supriadi, Herman. 2005. Potensi, Kendala Dan Peluang Pengembangan Agroindustri Berbasis Pangan Lokal Ubi kayu. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Teguh, Muhammad. 2013. Ekonomi Industri. Jakarta: Rajagrafindo Persada
Thohari, Endang S. Tanpa Tahun. Sumber-Sumber Pembiayaan untuk Agribisnis. Jakarta: Ditjen Bina Sarana Pertanian. Didapat dari http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/probklu03-3.pdf? secure =1
Wulandari, Riana Ayu. 2013. Analisis Daya Saing Ubi Jalar Indonesia di Pasar Internasional. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor
139
Lampiran 1. Varietas Unggul Ubi Kayu yang Dianjurkan No Varietas Tahun
Dilepas Umur
(Bulan) Potensi Hasil
(Ton/Ha)
Rasa Keunggulan
1 Adira 1 1978 7-10 22 sedang Agak tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus)
Tahan terhadap bakteri hawar daun, Pseudomonas solanacearum, dan Xanthomonas manihotis
2 Adira 2 1978 8-10 21 Sedang Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus)
Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum
3 Adira 4 1986 10,5-11,5 35 Agak pahit
Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus)
Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum dan Xanthomonas manihotis
4 Malang 1 1992 9-10 36,5 Manis Toleran tungau merah (Tetranichus bimaculatus)
Toleran bercak daun (Cercospora sp.)
Adaptasi cukup luas 5 Malang 2 1992 8-10 31,5 Manis Agak peka tungau merah
(Tetranichus bimaculatus) Toleran bercak daun (Cercospora
sp.) 6 Malang 4 2001 9 39,7 Pahit Agak tahan tungau merah
(Tetranichus sp.) Adaptif terhadap hara suboptimal
7 Malang 6 2001 9 36,41 Pahit Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.)
Adaptif terhadap hara suboptimal 8 Darul
Hidayah 1998 8-10 102 Kenyal Agak peka tungau merah
(Tetranichus sp.) Agak peka busuk jamur (Fusarium
sp.) 9 UJ-3 2000 8-10 20-35 Pahit Agak tahan CBB (Cassava
Bacterial Blight) 10 UJ-5 2000 8-10 25-38 Pahit Agak tahan CBB (Cassava
Bacterial Blight) Sumber: Balitkabi dalam Saleh dkk (2011)
140
Lampiran 2. Negara Penghasil Ubi Kayu Dunia 2009-2013 2009 2010 2011 2012 2013
World 237436347 243052520 255395702 266128406 276762059
Africa 123076301 134400753 141248569 146421881 157718952
Nigeria 36822250 42533180 46190250 50950291 53000000
Democratic Republic of Congo
15054450 15013710 15024172 16000000 16500000
Ghana 12230600 13504086 14240867 14547279 15989940
Angola 12827580 13858681 14333509 10636400 16411674
Mozambique 5670000 9738066 10093619 10051364 10000000
Tanzania 5916440 4547940 4646523 5462454 4755160
Uganda 5179000 5282000 4757800 4924560 5228000
Malawi 3823236 4000986 4259301 4692202 4813699
Benin 3787918 3444950 3645924 3295785 3695514
Cameroon 3340562 3808239 4082903 4287177 4596383
Rwanda 2019741 2377213 2579000 2716421 2948121
Madagascar 3019966 3008886 3490300 3621309 3114578
Côte d'Ivoire 2262170 2306839 2359015 2412371 2436495
Lain-lain 11122388 10975977 11545386 12824268 14229388
Amerika 32800543 33457370 33382620 30445851 30496273
Brazil 24403981 24967052 25349542 23044557 21484218
Paraguay 2610000 2624084 2453837 1685600 2800000
Colombia 2250233 2082440 1870699 1968207 2226798
Kosta Rika 178927 130150 195100 147375 144960
Lain-lain 3357402 3653644 3513442 3600112 3840297
Asia 81345012 74951543 80511635 89010266 88283261
Thailand 30088024 22005740 21912416 29848000 30228000
141
Lanjutan Lampiran 2
Asia 2009 2010 2011 2012 2013
Indonesia 22039148 23918118 24044025 24177372 23936921
Vietnam 8530500 8595600 9897913 9745546 9757681
India 9623000 8059800 8076000 8746500 7236600
Cina, mainland 4500000 4550000 4500000 4560000 4585000
Kamboja 3497306 4247419 8033843 7613697 8000000
Filipina 2043719 2101454 2209684 2223144 2360528
Malaysia 68508 37187 33206 77854 81747
Lain-lain 954807 1436225 1804548 2018153 2096784
Oceania 214491 242854 252878 250408 263572
Sumber: FAO, 2015
142
Lampiran 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Negara Penghasil Ubi kayu Terbesar di Dunia Tahun 2009-2013. Negara Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Hg/Ha) Produksi (ton)
Dunia 2009 19391201 122445 237436347
2010 19641013 123747 243052520
2011 20587923 124051 255395702
2012 22897764 116225 266128406
2013 20392815 135715 276762059
Rata-rata 20582143.2 124436.6 255755006.8
Nigeria 2009 3129030 117679 36822250
2010 3481900 122155 42533180
2011 4120166 112108 46190250
2012 6401996 79585 50950291
2013 3800000 139474 53000000
Rata-rata 4186618.4 114200.2 45899194.2
Brazil 2009 1760578 138613 24403981
2010 1789769 139499 24967052
2011 1733541 146230 25349542
2012 1692986 136118 23044557
2013 1525918 140795 21484218
Rata-rata 1700558.4 140251 23849870
Thailand 2009 1326743 226781 30088024
2010 1168454 188332 22005740
2011 1135388 192995 21912416
2012 1362080 219135 29848000
2013 1385120 218234 30228000
Rata-rata 1275557 209095.4 26816436
Indonesia 2009 1175666 187461 22039148
143
Lanjutan Lampiran 3 Negara Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Hg/Ha) Produksi (ton)
Indonesia 2010 1183047 202174 23918118
2011 1184696 202955 24044025
2012 1129688 214018 24177372
2013 1065752 224601 23936921
Rata-rata 1147769.8 206241.8 23623116.8
Republik Kongo 2009 1852902 81248 15054450
2010 1854754 80947 15013710
2011 1860000 80775 15024172
2012 1980000 80808 16000000
2013 2050000 80488 16500000
Rata-rata 1919531.2 80853.2 15518466.4
Sumber: FAO, 2015
144
Lampiran 4. Luas Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Ubi Kayu Seluruh Provinsi
Provinsi Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)
Indonesia 1075784 228.29 24558778
Aceh 2543 128.63 32711
Sumatera Utara 43134 329.36 1420658
Sumatera barat 5502 381.3 209790
Riau 4133 290.63 120118
Jambi 2005 152.43 30563
Sumatera Selatan 10870 187.6 203920
Bengkulu 4645 170.28 79096
Lampung 372858 260.83 9725345
Bangka Belitung 991 182.16 18052
Kepulauan Riau 741 125.33 9287
DKI Jakarta 0 0 0
Jawa Barat 96718 235.07 2273575
Jawa Tengah 152595 251.38 3835936
DI Yogyakarta 56151 156.87 880860
Jawa Timur 158963 208.55 3315183
Banten 5728 152.26 87217
Bali 8376 169.61 142067
Nusa Tenggara Barat 4408 176.41 77761
Nusa Tenggara Timur 64235 101.78 653807
Kalimantan Barat 13132 149.3 196064
Kalimantan Tengah 3471 120.13 41696
Kalimantan Selatan 4215 185.69 78269
Kalimantan Timur 3043 200.97 61155
Kalimantan Utara 1956 206.6 40411
Sulawesi Utara 3521 124.8 43942
Sulawesi Tengah 3874 203.25 78739
Sulawesi Selatan 19312 194.38 375390
Sulawesi Tenggara 8703 202.64 176354
Gorontalo 300 128.77 3863
Sulawesi Barat 2189 201.38 44083
Maluku 5252 198.32 104160
Maluku Utara 8388 181.31 152086
Papua Barat 1206 111.11 13400
Papua 2626 126.5 33220 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
145
Lampiran 5. Negara Eksportir Gaplek (US$)
Sumber: UN Contrade, 2015
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013Thailand 373437370 317127763 453966766 556783688 477546872 605198056 814645037 978593112 1095234575 1317645797 699017904Vietnam 62858494 61619922 139485889 187995554 156923705 323587559 211299224 413360939 567844459 386933091 251190884Costarica 34532428 43923103 34443034 41075880 65035858 35960286 51006602 64401733 60572981 65283410 49623531.5Indonesia 20399518 25441429 14836178 31301226 20770234 25229759 32653283 29529600 11012461 32111406 24328509.4Belanda 19919275 8250491 8515483 48497790 77527989 13424012 13862635 14759812 14978816 13550997 23328730Belgium 25737609 1798851 1081929 21447655 8775230 1307732 498335 1237132 1203310 1871988 6495977.1Kamboja 6930 69966 0 575345 493178 941258 420125 2253374 8010993 13502229 2627339.8Equador 968069 3248106 680664 2393996 4003446 2288541 986568 1621671 1255197 1237764 1868402.2Sri Lanka 665030 641418 914097 1084146 1364348 2045806 1551640 2893813 1383422 1663504 1420722.4Fiji 1091170 1083382 1195832 1539600 1377176 1515900 1611403 1607112 1544714 1353471 1391976Filipina 947953 746048 790336 1156872 1231962 1300876 1317338 1557208 966291 679999 1069488.3Nicaragua 553200 745650 601848 573842 1390037 1015467 603525 1409494 1008140 1338204 923940.7Mexico 23902 135183 186789 16881 981074 1243051 3057138 1310271 476772 264721 769578.2United Kingdon 362319 292786 417694 596707 992881 1745916 831332 546216 707237 1027166 752025.4Paraguay 0 126312 197820 251800 172300 0 2556018 1804500 1228241 1064900 740189.1India 71331 571 39527 379189 340858 351836 1199883 1516919 1235958 1943225 707929.7USA 186181 247580 290285 619744 665376 551593 567863 628951 779190 1079821 561658.4France 747441 760232 579967 1130692 569395 291758 438761 314435 248908 156268 523785.7Portugal 1179530 740820 126748 246195 350642 99495 127871 993080 266737 1086105 521722.3Honduras 209510 193056 471069 537779 0 974897 891900 984816 449059 0 471208.6Italy 197090 136570 32656 28245 0 23350 282589 1540544 907745 1152551 430134Colombia 128293 229225 205741 150654 898324 1095040 57251 511359 458060 552313 428626spain 428457 334614 383583 302989 361805 187913 355965 336269 160671 219905 307217.1Brazil 237008 472664 258508 463516 1111887 111573 53804 31015 17483 25639 278309.7Nigeria 0 0 0 3266 11822 0 972 193711 24925 1943467 217816.3Malaysia 199555 191035 199736 185402 190881 74337 95336 45387 111334 427064 172006.7
TahunNegara Rata-rata
146
Lampiran 6. Negara Eksportir Pati Ubi Kayu (US$)
Sumber: UN Contrade, 2015
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013Thailand 188681534 220447486 348426092 390876142 432210460 475325985 753936286 922290556 983172884 1139138066 585450549Vietnam 64474510 77364676 145883836 202306961 205296396 249822221 352801213 525609568 779934742 706978413 331047254Indonesia 32193074 13438239 1184435 7990841 15101144 4583072 12778524 49530223 4549425 27388143 16873712Hongkong 28152384 20566342 19895355 15940155 10776880 8657702 14213983 10711329 8673652 20263912 15785169.4Paraguay 2300809 2332470 2884473 6970802 7329245 3224727 12185971 17355916 15166157 18978639 8872920.9Brazil 4367854 4773442 4799155 6944508 6624449 5576410 3857545 5571009 6308799 5992152 5481532.3Netherland 3748471 1718749 1516404 772900 11141738 9033059 241389 12269016 6335268 4578393 5135538.7Germany 1962000 1455000 2453000 4740000 3939000 4528000 6081826 7005636 6027427 7598379 4579026.8Kamboja 1501675 929794 4788214 4324366 1592156 4835132 2453787 2998423 3580428 1050214 2805418.9USA 1181160 1450535 650464 758343 917859 1256856 1714034 1321947 1483710 2090512 1282542Singapore 227651 220727 146303 162440 1777715 1951160 1947725 1066997 463295 220064 818407.7United Kingdon 1181160 226549 830655 520262 440327 412656 515332 451919 0.024 818133 539699.302China 151859 181586 211084 306541 243960 238873 136609 405694 1349231 989241 421467.8Colombia 520098 522347 109977 829523 11121 66003 256830 616754 112919 246281 329185.3Hungary 0 0 0 0 0 0 453000 607000 602000 746911 240891.1France 155458 145576 144364 185247 194715 170887 396343 235131 214603 430328 227265.2Japan 62772 139056 75454 171349 221688 140038 337949 245286 150421 120872 166488.5Uganda 21340 0 17267 51482 62002 16524 117700 361601 202904 64197 91501.7portugal 28114 19519 24720 56546 37470 27647 264296 56996 32150 315970 86342.8Malaysia 5815 62311 73761 69518 64213 32600 57947 47973 193146 90217 69750.1Japan 62772 139056 75454 171349 221688 37083 337949 245286 245286 120872 165679.5South Africa 13407 63799 49932 108889 78159 13795 132750 77226 147195 228622 91377.4Taiwan 968741 1579193 1519796 1359852 1680313 2019466 2128413 1595096 1175373 899585 1492582.8Sweden 15677 11522 2716 92998 38956 102526 112740 150165 169155 173670 87012.5Spain 1092 0 0 17022 19547 27856 33917 44965 66885 123443 33472.7Belgium 22728 30736 18106 473807 1175742 85284 308327 188109 34015 25106 236196Austria 75636 68062 115311 102139 91943 102528 87274 152080 5005 31850 83182.8Denmark 154502 190615 233485 371658 312817 448295 402951 538024 0 0 265234.7equador 19692 83283 63255 219161 92143 139810 212851 52668 163893 71114 111787India 12341 157698 4261 199362 772633 11013 296480 259682 138759 17736 186996.5Czech Rep. 8953 15531 7757 463550 41665 77171 1282 1837 12194 27179 65711.9Canada 793392 2526189 651827 30647 46829 52495 0 152422 2762 2783 425934.6
TahunNegara Rata-rata
147
Lampiran 7. Negara Eksportir Tepung Tapioka (US$)
Sumber: UN Contrade, 2015
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013Thailand 15684573 13329965 13310784 15442643 18867323 14920748 22566421 15331148 15216274 12595311 15726519China 1918965 2584007 2323788 2258031 5794898 10643217 15027319 23903546 29528155 20745211 11472713.7Peru 1554072 1952446 1863981 2235332 2865954 3235072 5509611 8276725 9511864 11694670 4869972.7Ghana 0 1957890 2111248 2448214 1668437 2502833 1645000 13095302 2796674 1710621 2993621.9Vietnam 238803 416340 348503 1394028 6580161 3706259 3142799 2585304 2863809 7845014 2912102Indonesia 254049 80021 236786 374242 1156817 1409233 2338969 5550986 3164658 2833107 1739886.8Brazil 927737 726345 971662 1328161 1788967 1642668 1791659 1805849 1693001 2737822 1541387.1Nigeria 0 0 0 1521286 1660787 1568186 955250 990703 424928 4749507 1187064.7USA 627022 405706 633785 495200 617509 685657 956451 1093644 1708447 3901324 1112474.5Hongkong 620764 710393 580539 608349 798204 881332 989357 1074448 848386 1136791 824856.3Malaysia 987005 240934 326843 514578 774998 1134007 438237 432581 928475 547901 632555.9Singapore 523612 526886 299697 196938 351367 345313 133391 541950 1234708 375235 452909.7Netherland 119434 141778 66586 102962 347765 512069 500020 705080 881790 1055985 443346.9India 118457 226874 252059 310009 643556 574418 508447 495295 533929 628714 429175.8Côte d'Ivoire 83719 200170 389606 374796 295768 254056 153108 513597 766406 633197 366442.3Filipina 195235 183993 160554 121798 140404 116151 113179 202023 655556 1525048 341394.1Germany 19000 38000 36000 11000 61000 151000 230553 210511 219477 1710621 268716.2Costa Rica 448437 460286 67407 150099 224953 142365 97849 141795 161442 182373 207700.6Portugal 532759 122622 357227 278243 56301 43531 183251 95564 175450 132405 197735.3Mexico 220682 23990 33114 45168 27830 193810 225590 80053 125842 728053 170413.2italy 56749 47459 66935 350154 467456 286376 346549 21337 9418 33016 168544.9Korea 2765 0 0 0 22015 31722 1345232 70422 156828 41215 167019.9Uganda 1545 0 17019 687983 156408 0 181970 152745 23350 367035 158805.5United Kingdom 3318 12918 69226 35754 22490 108786 43084 188441 292334 715166 149151.7Spain 88956 91819 57112 69363 76745 89785 92457 144618 143542 271005 112540.2France 50990 78387 86618 75471 89982 77802 163044 136348 100709 218968 107831.9Brunei 0 0 0 0 0 0 0 0 95182 982250 107743.2benin 128530 69534 78419 103984 63624 100362 68370 94029 38817 155026 90069.5Japan 124361 46992 37456 83908 21354 70185 103132 88150 65508 67670 70871.6Togo 907 0 0 77317 41015 52084 96171 128239 64513 138494 59874Canada 5758 52707 152604 39903 18868 19382 25238 57268 115169 17476 50437.3Sri lanka 35102 0 40264 35382 59334 27029 21287 32806 45881 37948 33503.3
Negara Rata-rataTahun
148
Lampiran 8. Negara Tujuan Ekspor Gaplek Indonesia (US$)
Sumber: UN Contrade, 2015
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 20131 Australia 6900 5003 1172 1072 7281 12762 7289 23099 114553 118198 29732.9 0.1222142282 Brunei Darussalam 5612 113 11818 20668 48193 102197 137190 114704 159599 66677.1111 0.2740698583 China 14166949 19750558 12657777 23214102 15566315 19632415 25473826 22284133 7815846 26706142 18726806.3 76.974737714 Hongkong 4341 130035 10569 6979 866 5764 555808 886 756 912 71691.6 0.2946814325 Hungary 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1250 125 0.00051386 Rep. of Korea 5390943 5038193 1286259 6426572 3781936 4948336 5707700 6397111 1866934 3502287 4434627.1 18.228108547 Malaysia 158212 168085 238296 121975 366040 84664 49245 108073 245114 233219 177292.3 0.7287429628 Other Asia, nes 2690 9629 5732 925292 408572 58654 11862 29113 36840 55143 154352.7 0.6344519419 Oman 0 0 0 0 0 0 0 0 0 56 5.6 2.30183E-05
10 Netherlands 7061 7921 8890 13729 18847 23703 8999 58471 114302 165902 42782.5 0.17585335511 New Zealand 0 0 0 0 0 0 0 5720 34966 96707 13739.3 0.05647407212 Pakistan 0 0 0 0 0 0 0 0 4498 8922 1342 0.00551616213 Saudi Arabia 0 1050 0 0 2115 1331 1363 0 24365 1154 3137.8 0.01289762514 Singapore 40766 12266 53637 30402 53868 69432 81679 4008 34927 28109 40909.4 0.16815415715 Viet Nam 312000 19341 0 0 0 0 0 0 0 2775 33411.6 0.13733517116 United Arab Emirates 0 824 13010 0 0 0 0 0 20423 4910 3916.7 0.01609921917 United Kingdom 141609 159342 215909 312709 353376 154133 152576 240595 293841 320896 234498.6 0.96388396118 USA 16800 0 0 146406 178173 176058 384098 208971 181971 705225 199770.2 0.8211362119 Belgium 0 0 0 0 3190 0 0 18176 28373 0 4973.9 0.02044473820 Canada 0 0 0 0 0 0 0 86 45 0 13.1 5.38463E-0521 Japan 145635 126900 326552 86598 189 1005 92854 11878 70699 0 86231 0.35444423922 Mauritus 0 0 0 0 0 0 0 0 9304 0 930.4 0.0038243223 germany 0 4676 18375 0 1 0 0 20 0 0 2307.2 0.00948352424 filipina 0 5665 0 3572 7961 3656 23387 2070 0 0 4631.1 0.01903569225 South africa 0 0 0 0 0 0 400 0 0 0 40 0.00016441626 kuait 0 0 0 0 0 4509 0 0 0 0 450.9 0.00185338127 Maldives 0 0 0 0 404 48 0 0 0 0 45.2 0.0001857928 Papua 0 0 0 0 0 525 0 0 0 0 52.5 0.00021579629 Qatar 0 0 0 0 0 4571 0 0 0 0 457.1 0.00187886630 Vanuatu 0 0 0 0 432 0 0 0 0 0 43.2 0.00017756931 India 0 1828 0 0 0 0 0 0 0 0 182.8 0.000751382
Total 20399518 25441429 14836178 31301226 20770234 25229759 32653283 29529600 11012461 32111406 24328509.4 100
No NegaraTahun
Rata-rata Pangsa Pasar
149
Lampiran 9. Negara Tujuan Ekspor Pati Ubi Kayu Indonesia (US$)
Sumber: UN Contrade, 2015
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 20131 Malaysia 8451541 5437769 58785 3548766 6275837 240886 5747736 10526587 9349 14480111 5477736.7 32.463139712 Taiwan 8975579 3810526 998055 2746277 6012253 3066053 4012420 8387138 3804757 4941509 4675456.7 27.708524953 China 11036504 1418821 91000 1392057 2660016 1188800 2234690 22133004 40780 4043567 4623923.9 27.403122094 Viet Nam 467100 0 0 0 0 0 0 5363985 1559 3146750 897939.4 5.3215285415 Philippines 1767042 593185 20664 303715 133860 14306 60549 553695 439470 407392 429387.8 2.5447145246 Singapore 180572 904186 0 0 0 5430 284924 1857230 0 160487 339282.9 2.0107188037 Japan 905210 992300 0 26 0 0 0 24228 0 0 192176.4 1.1389100398 New Zealand 0 0 0 0 0 38998 104857 109110 45990 77760 37671.5 0.2232555599 Spain 0 0 0 0 0 0 0 259127 0 0 25912.7 0.153568462
10 Italy 21858 175204 0 0 0 0 0 0 0 0 19706.2 0.11678639511 Sri Lanka 13096 23900 15866 0 7371 0 0 74400 39300 11520 18545.3 0.10990646312 South Africa 29941 0 0 0 0 0 128193 22005 0 0 18013.9 0.10675718513 Brazil 142080 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14208 0.08420198214 Australia 0 0 0 0 7350 9156 15908 29595 47240 27060 13630.9 0.08078186915 Bangladesh 15200 21353 0 0 0 0 0 0 95460 0 13201.3 0.07823589716 Russian Federation 93955 15675 0 0 0 0 0 0 0 0 10963 0.06497088517 Thailand 0 15557 0 0 0 0 55307 1500 20045 6309 9871.8 0.05850402118 USA 42682 0 0 0 0 0 0 25942 0 9361 7798.5 0.04621686119 Chile 11993 11993 0 0 0 13835 17445 19847 0 0 7511.3 0.04451480520 Dominican Republic 0 0 0 0 0 0 0 73575 0 0 7357.5 0.04360332821 Canada 0 0 0 0 0 10 67756 0 0 0 6776.6 0.04016069522 Israel 0 0 0 0 0 0 28140 18450 0 18171 6476.1 0.03837981823 India 0 0 0 0 0 0 18050 0 0 31500 4955 0.02936520424 Maldives 35391 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3539.1 0.02097404525 Netherland 0 0 0 0 0 0 0 19620 0 7890 2751 0.01630346726 Mauritania 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18540 1854 0.01098750527 Guatemala 3330 5605 0 0 0 5598 0 0 0 0 1453.3 0.00861280628 United Arab 0 0 0 0 0 0 1960 9810 0 0 1177 0.00697534729 senegal 0 0 0 0 0 0 0 10925 0 0 1092.5 0.00647456830 Gambia 0 0 0 0 0 0 0 10450 0 0 1045 0.00619306531 Korea 0 0 65 0 4457 0 0 0 5475 0 999.7 0.005924632 El Salvador 0 9945 0 0 0 0 0 0 0 0 994.5 0.00589378333 Colombia 0 2220 0 0 0 0 0 0 0 0 222 0.00131565634 Egipt 0 0 0 0 0 0 589 0 0 0 58.9 0.00034906435 Saudi Arabia 0 0 0 0 0 0 0 0 0 216 21.6 0.00012801
Total 32193074 13438239 1184435 7990841 15101144 4583072 12778524 49530223 4549425 27388143 16873712 100
TahunNo Negara Pangsa PasarRata-rata
150
Lampiran 10. Negara Tujuan Ekspor Tepung Tapioka Indonesia (US$)
Sumber: UN Contrade, 2015
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 20131 Australia 3764 720 87071 1056 2960 18645 69701 65181 29274 76077 35444.9 2.0371957532 Sri Lanka 5480 0 0 0 0 10746 0 0 39000 60240 11546.6 0.6636408763 China 78220 20675 77 30364 7560 398478 599061 0 35335 129974.444 7.4702816554 China, Hong Kong SAR 6122 5054 3037 5152 1064 0 3592 5115 1718 9333 4018.7 0.2309747975 Italy 0 0 0 0 0 0 0 0 0 554 55.4 0.0031841156 Japan 0 963 93200 155792 482746 695220 1107776 2391206 1956275 1427183 831036.1 47.763802797 Rep. of Korea 0 16 14939 102253 11200 83527 38122 21815 33984 1.9532305218 Malaysia 74858 591 32917 140961 406184 312334 176078 2001203 553618 483431 418217.5 24.03705239 Other Asia, nes 5540 19190 0 0 20173 24 109650 26 78753 25928.4444 1.490237436
10 Philippines 58110 13545 0 0 2100 1339 68807 70500 235100 300230 74973.1 4.30907918811 Timor-Leste 20 4 6 0 0 0 0 14993 32733 31877 7963.3 0.45769069612 Senegal 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 1.5 8.62125E-0513 Singapore 18373 18770 458 32722 103220 258941 20103 37370 5265 4708 49993 2.87334785214 Spain 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13500 1350 0.07759125515 Switzerland 0 0 0 0 111 0 300 0 0 496 90.7 0.00521298316 Thailand 0 0 0 1158 0 0 0 27200 125600 149800 30375.8 1.74584921317 Trinidad and Tobago 0 0 0 0 0 0 0 0 23220 2580 0.14828550918 United Kingdom 0 2 0 8820 0 1560 330 0 0 2540 1325.2 0.07616587519 USA 0 0 0 0 0 95092 368600 224800 114075 114000 91656.7 5.26796915820 Bangladesh 0 0 0 0 0 0 0 0 17010 0 1701 0.09776498121 Germany 392 0 0 0 0 0 0 0 1113 0 150.5 0.00864998822 Suriname 0 0 0 0 0 0 0 0 15729 0 1572.9 0.09040243323 Maldives 0 0 5492 5922 5642 4190 1868 1218 0 0 2433.2 0.13984817924 Denmark 0 0 0 0 0 0 0 50 0 0 5 0.00028737525 Germany 0 0 0 0 0 0 0 50 0 0 5 0.00028737526 American Samoa 0 0 0 0 0 0 0 202 0 0 20.2 0.00116099527 Pakistan 0 0 0 0 0 3582 2486 29210 0 0 3527.8 0.20276031828 Guinea 0 0 6100 0 0 0 0 0 0 677.777778 0.0389552829 Netherland 1500 0 1578 1620 0 0 0 0 0 0 469.8 0.02700175730 Saudi Arabia 0 10500 0 0 0 0 0 0 0 1166.66667 0.06705417131 India 140 0 2450 0 0 0 0 0 0 0 259 0.01488602632 Nigeria 1530 105 0 0 0 0 0 0 0 0 163.5 0.00939716333 Tonga 0 386 0 0 0 0 0 0 0 0 38.6 0.002218535
Total 254049 80021 236786 374242 1156817 1409233 2338969 5550986 3164658 2833107 1739886.8 100
TahunNegaraNO Rata-rata Pangsa Pasar
151
Lampiran 11. Perhitungan CR4 dan HI Gaplek Tahun World s1 s2 s3 s4 Lainnya CR4 HI
1 2 3 4 5 ((2+3+4+5)/1)*100 ((2/1)2+(3/1)2+(4/1)2+(5/1)2
+…..+(n/1)2)*100 2004 546239003 373437370 62858494 34532428 20399518 55011193 90.906 4895.855 2005 469477279 317127763 61619922 43923103 25441429 21365062 95.449 4855.974 2006 660969978 453966766 139485889 34443034 14836178 18238111 97.241 5196.543 2007 902152354 556783688 187995554 48497790 41075880 67799442 92.485 4310.784 2008 824922439 477546872 156923705 77527989 65035858 47888015 94.195 3871.493 2009 1021904698 605198056 323587559 35960286 25229759 31929038 96.876 4530.432 2010 1143276263 814645037 211299224 51006602 32653283 33672117 97.055 5448.652 2011 1525620285 978593112 413360939 64401733 29529600 39734901 97.395 4871.229 2012 1773586552 1095234575 567844459 60572981 14978816 34955721 98.029 4851.462 2013 1849766578 1317645797 386933091 65283410 32111406 47792874 97.416 5528.329
152
Lampiran 12. Perhitungan CR4 dan HI Pati Ubi Kayu Tahun World s1 s2 s3 s4 Lainnya CR4 HI
1 2 3 4 5 ((2+3+4+5)/1)*100 ((2/1)2+(3/1)2+(4/1)2+(5/1)2
+…..+(n/1)2)*100 2004 333112160 188681534 64474510 32193074 28152384 19610658 94.113 3752.136 2005 352040450 220447486 77364676 20566342 13438239 20223707 94.255 4456.676 2006 537022130 348426092 145883836 19895355 4799155 18017692 96.645 4963.602 2007 648110614 390876142 202306961 15940155 7990841 30996515 95.217 4622.648 2008 702674487 432210460 205296396 15101144 11141738 38924749 94.460 4649.015 2009 773307758 475325985 249822221 9033059 8657702 30468791 96.060 4826.363 2010 1170121363 753936286 352801213 14213983 12778524 36391357 96.890 5064.871 2011 1563504033 922290556 525609568 49530223 17355916 48717770 96.884 4622.547 2012 1821553791 983172884 779934742 15166157 8673652 34606356 98.100 4747.923 2013 1940810808 1139138066 706978413 27388143 20263912 47042274 97.576 4776.267
153
Lampiran 13. Perhitungan CR4 dan HI Tepung Tapioka Tahun World s1 s2 s3 s4 Lainnya CR4 HI
1 2 3 4 5 ((2+3+4+5)/1)*100 ((2/1)2+(3/1)2+(4/1)2+(5/1)2
+…..+(n/1)2)*100 2004 26105225 15684573 1918965 1554072 987005 5960610 77.167 3753.759 2005 26027011 13329965 2584007 1957890 1952446 6202703 76.168 2871.368 2006 25782306 13310784 2323788 2111248 1863981 6172505 76.059 2906.733 2007 32582490 15442643 2448214 2258031 2235332 10198270 68.700 2476.228 2008 46723683 18867323 6580161 5794898 2865954 12615347 73.000 2079.610 2009 46642846 14920748 10643217 3706259 3235072 14137550 69.690 1733.801 2010 61348317 22566421 15027319 5509611 3142799 15102167 75.383 2106.202 2011 79512610 23903546 15331148 13095302 8276725 18905889 76.223 1728.314 2012 76159822 29528155 15216274 9511864 3164658 18738871 75.395 2124.370 2013 81719707 20745211 12595311 11694670 7845014 28839501 64.709 1279.862
154
Lampiran 14. Perhitungan RCA Gaplek
Sumber: UN Comtrade, 2015
Sumber: UN Comtrade, 2015
Thailand Vietnam Costarica Indonesia Netherland Belgium Dunia1 2 3 4 5 6 7
2004 373437 62858 34532 20400 19919 25738 5462392005 317128 61620 43923 25441 8250 1799 4694772006 453967 139486 34443 14836 8515 1082 6609702007 556784 187996 41076 31301 48498 21448 9021522008 477547 156924 65036 20770 77528 8775 8249222009 605198 323588 35960 25230 13424 1308 10219052010 814645 211299 51007 32653 13863 498 11432762011 978593 413361 64402 29530 14760 1237 15256202012 1095235 567844 60573 11012 14979 1203 17735872013 1317646 386933 65283 32111 13551 1872 1849767
NegaraEkspor Gaplek (1000US$)
Thailand Vietnam Costarica Indonesia Netherland Belgium Dunia8 9 10 11 12 13 14
2004 96247901 26485035 5952582 71582468 318040303 307690420 89996052742005 110110034 32447129 7150688 85659948 349813023 335691778 101499676402006 130580046 39826223 7254866 100798616 400685883 366835492 118565981212007 153571126 48561343 8927619 114100873 477640554 431743843 135222096432008 175907915 62685130 9744538 137020424 545853405 471797820 156369352932009 152497203 57096274 8836345 116509992 431502452 370879194 121750978062010 195311520 72236665 9044841 157779103 492645872 407595914 148911353522011 228823973 96905674 10222241 203496619 530575759 475957504 176893269262012 229544513 114529171 11250804 190031839 554677907 446854421 173988220672013 228527440 132032854 11472064 182551754 571246855 511505015 17941000882
NegaraEkspor seluruh Komoditas (1000US$)
Thailand Vietnam Costarica Indonesia Netherland Belgium(1/8)/(7/24) (2/9)/(7/14) (3/10)/(7/14) (4/11)/(7/14) (5/12)/(7/14) (6/13)/(7/14)
2004 63.92 39.10 95.58 4.70 1.03 1.382005 62.27 41.06 132.80 6.42 0.51 0.122006 62.36 62.83 85.16 2.64 0.38 0.052007 54.34 58.03 68.96 4.11 1.52 0.742008 51.46 47.45 126.51 2.87 2.69 0.352009 47.28 67.52 48.49 2.58 0.37 0.042010 54.33 38.10 73.45 2.70 0.37 0.022011 49.59 49.46 73.05 1.68 0.32 0.032012 46.81 48.64 52.82 0.57 0.26 0.032013 55.92 28.42 55.19 1.71 0.23 0.04
Rata-rata 54.83 48.06 81.20 3.00 0.77 0.28
NegaraNilai RCA
155
Lampiran 15. Perhitungan RCA Pati Ubi Kayu
Sumber: UN Comtrade, 2015
Sumber: UN Comtrade, 2015
Thailand Vietnam Indonesia Hongkong Paraguay Netherland Brazil World1 2 3 4 5 6 7 8
2004 188682 64475 32193 28152 2301 3748 4368 3331122005 220447 77365 13438 20566 2332 1719 4773 3520402006 348426 145884 1184 19895 2884 1516 4799 5370222007 390876 202307 7991 15940 6971 773 6945 6481112008 432210 205296 15101 10777 7329 11142 6624 7026742009 475326 249822 4583 8658 3225 9033 5576 7733082010 753936 352801 12779 14214 12186 241 3858 11701212011 922291 525610 49530 10711 17356 12269 5571 15635042012 983173 779935 4549 8674 15166 6335 6309 18215542013 1139138 706978 27388 20264 5992 4578 5992 1927824
NegaraEkspor Pati Ubikayu (1000$)
Thailand Vietnam Indonesia Hongkong Paraguay Netherland Brazil World9 10 11 12 13 14 15 16
2004 96247901 26485035 71582468 265605542 1553515 318040303 96677246 89996052742005 110110034 32447129 85659948 292118674 1655111 349813023 118528688 101499676402006 130580046 39826223 100798616 322668792 1843244 400685883 137806190 118565981212007 153571126 48561343 114100873 349385575 2817188 477640554 160648870 135222096432008 175907915 62685130 137020424 370241819 4463309 545853405 197942443 156369352932009 152497203 57096274 116509992 329421935 3167021 431502452 152994743 121750978062010 195311520 72236665 157779103 400692015 6504798 492645872 197356436 148911353522011 228823973 96905674 203496619 455573380 7763530 530575759 256038702 176893269262012 229544513 114529171 190031839 492907472 7271300 554677907 242579776 173988220672013 228527440 132032854 182551754 535186743 9432252 571246855 242178054 17941000882
NegaraEkspor Seluruh Komoditas (1000$)
Thailand Vietnam Indonesia Hongkong Paraguay Netherland Brazil(1/9)/(8/16) (2/10)/(8/16) (3/11)/(9/16) (4/12)/(9/16) (5/13)/(9/16) (6/14)/(9/16) (7/15)/(9/16)
2004 52.96 65.77 12.15 2.86 40.01 0.32 1.222005 57.72 68.74 4.52 2.03 40.63 0.14 1.162006 58.91 80.87 0.26 1.36 34.55 0.08 0.772007 53.10 86.92 1.46 0.95 51.63 0.03 0.902008 54.68 72.88 2.45 0.65 36.54 0.45 0.742009 49.07 68.89 0.62 0.41 16.03 0.33 0.572010 49.13 62.15 1.03 0.45 23.84 0.01 0.252011 45.60 61.37 2.75 0.27 25.29 0.26 0.252012 40.91 65.05 0.23 0.17 19.92 0.11 0.252013 46.39 49.83 1.40 0.35 5.91 0.07 0.23
Rata-rata 50.85 68.25 2.69 0.95 29.44 0.18 0.63
NegaraNilai RCA
156
Lampiran 16. Perhitungan RCA Tepung Tapioka
Sumber: UN Comtrade, 2015
Sumber: UN Comtrade, 2015
China Thailand Vietnam Peru Indonesia Ghana Malaysia World1 2 3 4 5 6 7 8
2004 1919 15685 239 1554 254 0 987 261052005 2584 13330 416 1952 80 1958 241 260272006 2324 13311 349 1864 237 2111 327 257822007 2258 15443 1394 2235 374 2448 515 325822008 5795 18867 6580 2866 1157 1668 775 467242009 10643 14921 3706 3235 1409 2503 1134 466432010 15027 22566 3143 5510 2339 1645 438 613482011 23904 15331 2585 8277 5551 13095 433 795132012 29528 15216 2864 9512 3165 2797 928 761602013 20745 12595 7845 11695 2833 1711 548 81720
NegaraEkspor Tepung Tapioka (1000$)
China Thailand Vietnam Peru Indonesia Ghana Malaysia World9 10 11 12 13 14 15 16
2004 593325581 96247901 26485035 12726497 71582468 2450543 126639701 89996052742005 761953410 110110034 32447129 17114289 85659948 3059743 141624046 101499676402006 968935601 130580046 39826223 23764897 100798616 3613994 160669231 118565981212007 1220059668 153571126 48561343 28084585 114100873 3533792 175961863 135222096432008 1430693066 175907915 62685130 31288212 137020424 3809919 198702475 156369352932009 1201646758 152497203 57096274 26738260 116509992 5070533 157194832 121750978062010 1577763751 195311520 72236665 35205068 157779103 5233390 198790691 148911353522011 1898388435 228823973 96905674 45636085 203496619 18146653 226992682 176893269262012 2048782233 229544513 114529171 45946180 190031839 15761184 227449500 173988220672013 2209007280 228527440 132032854 41871689 182551754 12643899 228316107 17941000882
NegaraEkspor Seluruh Komoditas (1000$)
China Thailand Vietnam Peru Indonesia Ghana Malaysia(1/9)/(8/16) (2/10)/(8/16) (3/11)/(9/16) (4/12)/(9/16) (5/13)/(9/16) (6/14)/(9/16) (7/15)/(9/16)
2004 1.11 56.18 3.11 42.10 1.22 0.00 2.692005 1.32 47.21 5.00 44.49 0.36 249.54 0.662006 1.10 46.88 4.02 36.07 1.08 268.65 0.942007 0.77 41.73 11.91 33.03 1.36 287.52 1.212008 1.36 35.90 35.13 30.66 2.83 146.56 1.312009 2.31 25.54 16.94 31.58 3.16 128.84 1.882010 2.31 28.05 10.56 37.99 3.60 76.30 0.542011 2.80 14.91 5.94 40.35 6.07 160.54 0.422012 3.29 15.14 5.71 47.29 3.80 40.54 0.932013 2.06 12.10 13.04 61.32 3.41 29.70 0.53
Rata-rata 1.84 32.36 11.14 40.49 2.69 138.82 1.11
NegaraNilai RCA
157
Lampiran 17. RCA Negara Tujuan Eskpor Gaplek Indonesia
Negara Tahun Xij Xt Wij Wt RCA Australia 2009 13 1065 3264224 142224066 0.522240753
2010 7 1211 4244397 171656158 0.243379108
2011 23 1131 5582530 211191126 0.77243084 2012 115 1259 4905413 223470700 4.145195924
2013 118 1501 4370482 211698639 3.813607695 1.899370864
Hong Kong 2009 6 7 2111839 380491321 141.024361 2010 556 1002 2501411 496973295 110.2402638
2011 1 47 3215405 588559974 3.460288557 2012 1 7 2633861 638188049 25.88748156
2013 1 467 2693254 709882301 0.515286104 56.2255362
China 2009 19632 896307 11499327 849317209 1.617762027 2010 25474 1026755 15692611 1156983421 1.82919126
2011 22284 1380890 22941005 1395344303 0.981534787 2012 7816 1608101 21659503 1395803024 0.313211925
2013 26706 1653982 22601487 1496112015 1.068826944
1.162105389
Brunei Darussalam 2009 48 48 74862 2322017 30.90831768
2010 102 105 60964 2907520 46.60349818 2011 137 138 81689 5801633 70.55523743
2012 115 115 81755 5883334 71.80560654
2013 160 160 122696 7766201 63.09551865
56.59363569
Singapore 2009 69 708 10262665 201169870 1.922810809
2010 82 340 13723266 248806890 4.358855778 2011 4 321 18443890 293821380 0.199017092
2012 35 269 17135025 297849527 2.25584741
2013 28 258 16686239 301629568 1.967130117
2.140732241
United Kingdom 2009 154 3084 1459347 506801977 17.35739909
2010 153 4550 1693164 567494595 11.24000228 2011 241 3385 1719718 657440291 27.17150959
2012 294 3056 1696755 644886011 36.54352548
2013 321 3679 1634805 646193720 34.47899888
25.35828706
Netherlands 2009 24 5741 2909075 451673370 0.641065414
2010 9 5218 3722455 535767990 0.248242854 2011 58 7325 5132477 628959585 0.978164863
2012 114 6238 4664301 631864526 2.482109608
2013 166 6734 4105967 629306195 3.77598404 1.625113356
Rep. of Korea 2009 4948 44681 8145208 258969439 3.521143906 2010 5708 13415 12574641 343943773 11.63797564
2011 6397 20477 16388801 409640485 7.808614055 2012 1867 46073 15049860 411148127 1.106995341
158
Lanjutan Lampiran 17
Negara Tahun Xij Xt Wij Wt RCA Rep. of Korea 2013 3502 66928 11422476 412041820 1.887664812
5.192478751 Malaysia 2009 85 97 6811824 128321496 16.47612068
2010 49 534 9362332 169230804 1.667415942
2011 108 109 10995847 193667096 17.53987876 2012 245 287 11280285 205245229 15.52405393
2013 233 247 10666609 217692382 19.27680479
14.09685482 USA 2009 176 32278 10889079 1412177580 0.707380632
2010 384 42225 14301876 1736716531 1.104614252
2011 209 50710 16497616 1967852075 0.491544104 2012 182 53364 14910181 2031990895 0.464723551
2013 705 50407 15741132 2048441352 1.820649895
0.917782487
Taiwan 2009 59 1975 3382103 272444873.4 2.392832701
2010 12 100 4837568 479659914.7 11.8160141 2011 29 190 6584867 604220268 14.086793
2012 37 592 6242528 478424106 4.767869135 2013 55 170 5862446 482371042.6 26.66273301
11.94524839 Jepang 2009 1 4235 30135107 422294643 0.003325652
2010 93 4192 27086259 535195229 0.437613755 2011 12 7798 25781814 649614684 0.038378744
2012 71 6561 33714696 665260950 0.212621192
2013 0 4649 18574730 636357751 0 0.138387869
159
Lampiran 18. RCA Negara Tujuan Eskpor Pati Ubi Kayu Indonesia
Negara Tahun Xij Xt Wij Wt RCA Australia 2009 9 8205 3264224 142224066 0.048622784
2010 16 5869 4244397 171656158 0.109627108
2011 30 6877 5582530 211191126 0.162800987 2012 47 7790 4905413 223470700 0.276277336
2013 27 10540 4370482 211698639 0.124363065 0.144338256
China 2009 1189 355280 11499327 849317209 0.247135657 2010 2235 568969 15692611 1156983421 0.289574486
2011 22133 730154 22941005 1395344303 1.843718484 2012 41 910753 21659503 1395803024 0.002885508
2013 4044 1192085 22601487 1496112015 0.224535252 0.521569877
Malaysia 2009 241 52380 6811824 128321496 0.086632515 2010 5748 96192 9362332 169230804 1.080068587
2011 10527 121414 10995847 193667096 1.527027903 2012 9 124973 11280285 205245229 0.001361143
2013 14480 116560 10666609 217692382 2.535360549
1.046090139
New Zealand 2009 39 2421 349462 21533236 0.992464258
2010 105 2781 396247 26129969 2.485954232 2011 109 2918 371708 31091500 3.128134294
2012 46 2513 441010 31791736 1.319260491
2013 78 2802 469513 32206504 1.90337068
1.965836791
Philippines 2009 14 32147 2405864 57244903 0.010588808
2010 61 28010 3180743 76379391 0.051908225 2011 554 34391 3699027 84333689 0.367059543
2012 439 46191 3707633 91633100 0.235141463
2013 407 44086 3816963 94817627 0.229552784
0.178850165
Singapore 2009 5 13959 10262665 201169870 0.00762493
2010 285 18469 13723266 248806890 0.279700894 2011 1857 25251 18443890 293821380 1.171704629
2012 0 21374 17135025 297849527 0
2013 160 29021 16686239 301629568 0.099964347
0.31179896
Thailand 2009 0 141 3233813 105222276 0
2010 55 464 4566569 149008061 3.89197652 2011 2 509 5896687 175038396 0.087436063
2012 20 353 6635141 189720815 1.62580108
2013 6 313 6061870 184628286 0.613273685 1.24369747
Vietnam 2009 0 5141 1454234 71067182 0 2010 0 14740 1946221 91541390 0
2011 5364 11543 2354191 115474950 22.79444454 2012 2 7877 2273693 124949298 0.010875887
160
Lanjutan Lampiran 18
Negara Tahun Xij Xt Wij Wt RCA Vietnam 2013 3147 3009 2400880 153977744 67.07198579
17.97546124 Israel 2009 0 726 78013 44551400 0
2010 28 844 107755 56404418 17.45989625
2011 18 1571 159611 68395012 5.033397073 2012 0 942 183956 68025846 0
2013 18 1073 145957 67188516 7.796131927
6.057885051 Sri Lanka 2009 0 1328 246252 8740043 0
2010 0 1616 297804 12782506 0
2011 74 1109 376488 17070586 3.04075664
2012 39 1792 341564 15421014 0.989924738
2013 12 1583 390926 17309485 0.322169321
0.87057014
Taiwan 2009 3066 95631 3382103 272444873 2.582693766
2010 4012 145917 4837568 479659915 2.726512302 2011 8387 165907 6584867 604220268 4.638699043
2012 3805 150629 6242528 478424106 1.935844904
2013 4942 153369 5862446 482371043 2.651092686
2.90696854
161
Lampiran 19. RCA Negara Tujuan Eskpor Tepung Tapioka Indonesia
Negara Tahun Xij Xt Wij Wt RCA Australia 2009 19 350 3264224 142224066 2.320522308
2010 70 627 4244397 171656158 4.494942468
2011 65 819 5582530 211191126 3.011618676 2012 29 661 4905413 223470700 2.018863307
2013 76 1501 4370482 211698639 2.454740518 2.860137455
Japan 2009 695 7090 18574730 422263623 2.229182816 2010 1108 8883 25781814 535266813 2.589032236
2011 2391 6439 33714696 649981061 7.159786165 2012 1956 7507 30135107 665327051 5.753145242
2013 1427 4199 27086259 627885322 7.878941756 5.122017643
Philipinnes 2009 1 2595 2405864 57244903 0.012275508 2010 69 1309 3180743 76379391 1.262285087
2011 71 564 3699027 84333689 2.847356769 2012 235 4041 3707633 91633100 1.437834318
2013 300 688 3816963 94817627 10.83280373
3.278511083
Singapore 2009 259 1214 10262665 201169870 4.180966456
2010 20 1231 13723266 248806890 0.296190264 2011 37 1106 18443890 293821380 0.538409515
2012 5 958 17135025 297849527 0.095580841
2013 5 1013 16686239 301629568 0.083999866
1.039029388
USA 2009 95 9572 10889079 1412177580 1.288363946
2010 369 14972 14301876 1736716531 2.989570597 2011 225 21568 16497616 1967852075 1.243242887
2012 114 28577 14910181 2031990895 0.544022262
2013 114 20955 15741132 2048441352 0.707964358
1.35463281
Malaysia 2009 312 1292 6811824 128321496 4.552672433
2010 176 769 9362332 169230804 4.139782067 2011 2001 2327 10995847 193667096 15.14617887
2012 554 1012 11280285 205245229 9.95013751
2013 483 1803 10666609 217692382 5.471901393
7.852134454
Hongkong 2009 0 5578 2111839 380491321 0
2010 4 7146 2501411 496973295 0.099865077 2011 5 5798 3215405 588559974 0.161467675
2012 2 4552 2633861 638188049 0.091457875
2013 9 3866 2693254 709882301 0.63635094 0.197828313
China 2009 8 3617 11499327 849317209 0.154381591 2010 398 6687 15692611 1156983421 4.393386025
162
Lanjutan Lampiran 19
Negara Tahun Xij Xt Wij Wt RCA China 2011 599 5805 22941005 1395344303 6.277183897
2012 0 5698 21659503 1395803024 0 2013 35 4548 22601487 1496112015 0.514263343
2.267842971 Korea 2009 0 869 8145208 258969439 0
2010 11 1768 12574641 343943773 0.173232993
2011 84 3409 16388801 409640485 0.612430387 2012 38 2647 15049860 411148127 0.393513787
2013 22 6123 11422476 412041820 0.128514899
0.261538413 Thailand 2009 0 1037 3233813 105222276 0
2010 0 2749 4566569 149008061 0
2011 27 7140 5896687 175038396 0.113076212 2012 126 3502 6635141 189720815 1.025532034
2013 150 5982 6061870 184628286 0.762665475
0.380254744
Taiwan 2009 0 801 3382103 272444873 0.00241344
2010 110 554 4837568 479659915 19.62731478 2011 0 638 6584867 604220268 0.014380787
2012 0 963 6242528 478424106 0.002068654
2013 79 2717 5862446 482371043 2.385320085
4.406299549
163
Lampiran 20. EPD Negara Tujuan Eskpor Gaplek Indonesia
Negara Tahun Xij/Wij Xt/Wt Growth X Growth Y EPD Australia 2009 0.00000391 0.00000749
Rising Star
2010 0.00000172 0.00000706 -56.07485858 -5.745817051
2011 0.00000414 0.00000536 140.9406913 -24.08390829
2012 0.00002335 0.00000563 464.3763075 5.167927702 2013 0.00002704 0.00000709 15.81102896 25.88064729
Rata-rata 141.2632923 0.304712413 Hong Kong 2009 0.00000273 0.00000002
Rising Star
2010 0.00022220 0.00000202 8040.976427 10314.30743
2011 0.00000028 0.00000008 -99.87598953 -96.04918878 2012 0.00000029 0.00000001 4.167189345 -86.07633839
2013 0.00000034 0.00000066 17.97459479 5826.930932
Rata-rata 1990.810555 3989.778209 China 2009 0.00170727 0.00105533
Rising Star
2010 0.00162330 0.00088744 -4.918138898 -15.90828813 2011 0.00097137 0.00098964 -40.16099855 11.51614792 2012 0.00036085 0.00115210 -62.85124957 16.41571691
2013 0.00118161 0.00110552 227.4512274 -4.042810707
Rata-rata 29.88021008 1.995191497 Brunei Darussalam 2009 0.00064376 0.00002083
Rising Star 2010 0.00167635 0.00003597 160.4005737 72.70256465 2011 0.00167941 0.00002380 0.182490228 -33.82696068
2012 0.00140302 0.00001954 -16.45782159 -17.91256259
2013 0.00130077 0.00002062 -7.287682567 5.510887774
Rata-rata 34.20938995 6.618482289 Singapore 2009 0.00000677 0.00000352
Falling Star
2010 0.00000595 0.00000137 -12.02618496 -61.19233784 2011 0.00000022 0.00000109 -96.34891251 -20.0341856
2012 0.00000204 0.00000090 837.9967771 -17.24733255 2013 0.00000168 0.00000086 -17.35617401 -5.226472195
Rata-rata 178.0663764 -25.92508205 United Kingdom 2009 0.00010562 0.00000608
Rising Star 2010 0.00009011 0.00000802 -14.68010329 31.75544465 2011 0.00013990 0.00000515 55.25375024 -35.7763874
2012 0.00017318 0.00000474 23.78381427 -7.961997282 2013 0.00019629 0.00000569 13.34575144 20.13264567
Rata-rata 19.42580317 2.037426412 Netherlands 2009 0.00000815 0.00001271
Falling Star
2010 0.00000242 0.00000974 -70.33008386 -23.38004192
2011 0.00001139 0.00001165 371.2471827 19.59512136 2012 0.00002451 0.00000987 115.1065958 -15.22948331 2013 0.00004041 0.00001070 64.88034396 8.382631268
Rata-rata 120.2260097 -2.657943151
164
Lanjutan Lampiran 20
Negara Tahun Xij/Wij Xt/Wt Growth X Growth Y EPD Rep. of Korea 2009 0.00060752 0.00017253
Rising Star
2010 0.00045391 0.00003900 -25.28487206 -77.39446055
2011 0.00039033 0.00004999 -14.00540281 28.16653766 2012 0.00012405 0.00011206 -68.21956868 124.1753995 2013 0.00030661 0.00016243 147.1695489 44.94921833
9.914926338 29.97417372 Malaysia 2009 0.00001243 0.00000075
Rising Star
2010 0.00000526 0.00000315 -57.68028936 318.1708007
2011 0.00000983 0.00000056 86.85746455 -82.23652971 2012 0.00002173 0.00000140 121.0851191 149.7933982
2013 0.00002186 0.00000113 0.62119884 -18.96743603
Rata-rata 37.72087328 91.69005827 USA 2009 0.00001617 0.00002286
Rising Star
2010 0.00002686 0.00002431 66.10565495 6.371905771 2011 0.00001267 0.00002577 -52.8354401 5.989767039
2012 0.00001220 0.00002626 -3.649400276 1.911274211
2013 0.00004480 0.00002461 267.089941 -6.299755248
Rata-rata 69.1776889 1.993297943 Taiwan 2009 0.00001734 0.00000725
Rising Star
2010 0.00000245 0.00000021 -85.86095751 -97.13673639 2011 0.00000442 0.00000031 80.30554049 51.24044258
2012 0.00000590 0.00000124 33.48092919 294.3728668 2013 0.00000941 0.00000035 59.38681679 -71.49821498
Rata-rata 21.82808224 44.24458949 Jepang 2009 0.00000003 0.00001003
Falling Star
2010 0.00000343 0.00000783 10179.17526 -21.88325853
2011 0.00000046 0.00001200 -86.5606501 53.24222953 2012 0.00000210 0.00000986 355.1600801 -17.84227991 2013 0.00000000 0.00000731 -100 -25.92871079
2586.943672 -3.103004923
165
Lampiran 21. EPD Negara Tujuan Eskpor Pati Ubi Kayu Indonesia
Negara Tahun Xij/Wij Xt/Wt Growth X Growth Y EPD Australia 2009 0.00000280 0.00005769
Rising Star
2010 0.00000375 0.00003419 33.62070437 -40.73536454
2011 0.00000530 0.00003256 41.44502782 -4.753591117
2012 0.00000963 0.00003486 81.65486356 7.043131228 2013 0.00000619 0.00004979 -35.70693015 42.829529
Rata-rata 30.2534164 1.095926141 China 2009 0.00010338 0.00041831
Rising Star
2010 0.00014240 0.00049177 37.7481297 17.56033835
2011 0.00096478 0.00052328 577.49462 6.407327381 2012 0.00000188 0.00065249 -99.80484898 24.69332824
2013 0.00017891 0.00079679 9402.303215 22.11430985
Rata-rata 2479.435279 17.69382596 Malaysia 2009 0.00003536 0.00040819
Rising Star
2010 0.00061392 0.00056841 1636.05941 39.24966846 2011 0.00095732 0.00062692 55.93591684 10.29365278 2012 0.00000083 0.00060889 -99.91342626 -2.87534707
2013 0.00135752 0.00053543 163694.912 -12.06447731
Rata-rata 41321.74847 8.650874213 New Zealand 2009 0.00011159 0.00011244
Falling Star 2010 0.00026463 0.00010645 137.131147 -5.330442233 2011 0.00029354 0.00009384 10.92552576 -11.84656595
2012 0.00010428 0.00007905 -64.47348734 -15.76212329
2013 0.00016562 0.00008701 58.81566037 10.07799391
Rata-rata 35.59971144 -5.71528439 Philippines 2009 0.00000595 0.00056157
Falling Star
2010 0.00001904 0.00036673 220.1335682 -34.69565024 2011 0.00014969 0.00040780 686.3299254 11.19991728
2012 0.00011853 0.00050408 -20.81383483 23.61085608 2013 0.00010673 0.00046496 -9.954474179 -7.762230894
Rata-rata 218.9237961 -1.911776942 Singapore 2009 0.00000053 0.00006939
Rising Star
2010 0.00002076 0.00007423 3824.026144 6.972930118
2011 0.00010070 0.00008594 384.9998419 15.77567089
2012 0.00000000 0.00007176 -100 -16.49749912 2013 0.00000962 0.00009621 0 34.0731393
Rata-rata 1027.256497 10.0810603 Thailand 2009 0.00000000 0.00000134
Rising Star
2010 0.00001211 0.00000311 0 132.9814811
2011 0.00000025 0.00000291 -97.8996429 -6.508364497 2012 0.00000302 0.00000186 1087.606893 -36.13015028
2013 0.00000104 0.00000170 -65.54930292 -8.670497521
Rata-rata 231.0394867 20.4181172
166
Lanjutan Lampiran 21
Negara Tahun Xij/Wij Xt/Wt Growth X Growth Y EPD Vietnam 2009 0.00000000 0.00007234
Falling Star
2010 0.00000000 0.00016102 0 122.5935358
2011 0.00227848 0.00009996 0 -37.92343871 2012 0.00000069 0.00006304 -99.96990679 -36.92855131 2013 0.00131067 0.00001954 191051.4428 -69.00432534
Rata-rata 47737.86822 -5.31569488 Israel 2009 0.00000000 0.00001630
Lost Opportunity
2010 0.00026115 0.00001496 0 -8.249795734
2011 0.00011559 0.00002297 -55.73632524 53.5422614 2012 0.00000000 0.00001385 -100 -39.68451542
2013 0.00012450 0.00001597 0 15.28488905
Rata-rata -38.93408131 5.223209822 Sri Lanka 2009 0.00000000 0.00015189
Retreat
2010 0.00000000 0.00012641 0 -16.77730342 2011 0.00019762 0.00006499 0 -48.58766972
2012 0.00011506 0.00011623 -41.77652521 78.84533117
2013 0.00002947 0.00009147 -74.38833978 -21.30344393
Rata-rata -29.04121625 -1.955771477 Taiwan 2009 0.00090655 0.00035101
Falling Star
2010 0.00082943 0.00030421 -8.507300133 -13.33337269 2011 0.00127370 0.00027458 53.56329909 -9.739299686
2012 0.00060949 0.00031484 -52.14804387 14.66353665 2013 0.00084291 0.00031795 38.29748898 0.985714587
Rata-rata 7.80136102 -1.855855286
167
Lampiran 22. EPD Negara Tujuan Eskpor Tepung Tapioka Indonesia
Negara Tahun Xij/Wij Xt/Wt Growth X Growth Y EPD Australia 2009 0.00000571 0.00000246
Rising Star
2010 0.00001642 0.00000365 187.5018077 48.42333648
2011 0.00001168 0.00000388 -28.90043665 6.118496781
2012 0.00000597 0.00000296 -48.88874619 -23.75531025 2013 0.00001741 0.00000709 191.6873329 139.8937279
Rata-rata 75.34998945 42.67006272 Japan 2009 0.00003743 0.00001679
Falling Star
2010 0.00004297 0.00001660 14.79917022 -1.156758895
2011 0.00007092 0.00000991 65.06661865 -40.31067592 2012 0.00006492 0.00001128 -8.470850792 13.90797705
2013 0.00005269 0.00000669 -18.8341251 -40.73327593
Rata-rata 13.14020324 -17.07318343 Philipinnes 2009 0.00000056 0.00004534
Rising Star
2010 0.00002163 0.00001714 3786.8207 -62.20132767 2011 0.00001906 0.00000669 -11.89558515 -60.9417091 2012 0.00006341 0.00004410 232.7010654 558.8510364
2013 0.00007866 0.00000726 24.04530546 -83.53550922
Rata-rata 1007.917871 88.04312261 Singapore 2009 0.00002523 0.00000603
Retreat
2010 0.00000146 0.00000495 -94.19419104 -18.04628484 2011 0.00000203 0.00000376 38.31432595 -23.91041474
2012 0.00000031 0.00000321 -84.83497773 -14.57501091 2013 0.00000028 0.00000336 -8.174271623 4.485646308
Rata-rata -37.22227861 -13.01151605 USA 2009 0.00000873 0.00000678
Rising Star
2010 0.00002577 0.00000862 195.1273684 27.18597824
2011 0.00001363 0.00001096 -47.12957675 27.1351435
2012 0.00000765 0.00001406 -43.85224037 28.3133202 2013 0.00000724 0.00001023 -5.341124652 -27.26111854
Rata-rata 24.70110666 13.84333085 Malaysia 2009 0.00004585 0.00001007
Rising Star
2010 0.00001881 0.00000454 -58.98287991 -54.89194626
2011 0.00018200 0.00001202 867.701546 164.4940048 2012 0.00004908 0.00000493 -73.03330901 -58.95108738
2013 0.00004532 0.00000828 -7.654025254 67.92246081
Rata-rata 182.007833 29.64335799 Hongkong 2009 0.00000000 0.00001466
Falling Star
2010 0.00000144 0.00001438 0 -1.911298813 2011 0.00000159 0.00000985 10.77932972 -31.48482329 2012 0.00000065 0.00000713 -58.99655052 -27.60894907
2013 0.00000347 0.00000545 431.2678778 -23.64491379
Rata-rata 95.76266425 -21.16249624
168
Lanjutan Lampiran 22
Negara Tahun Xij/Wij Xt/Wt Growth X Growth Y EPD China 2009 0.00000066 0.00000426
Falling Star
2010 0.00002539 0.00000578 3762.422471 35.72377271
2011 0.00002611 0.00000416 2.837017358 -28.02461704
2012 0.00000000 0.00000408 -100 -1.874113742 2013 0.00000156 0.00000304 0 -25.52591778
Rata-rata 916.3148722 -4.925218963 Korea 2009 0.00000000 0.00000336
Rising Star
2010 0.00000089 0.00000514 0 53.1763252
2011 0.00000510 0.00000832 472.2124187 61.85687697 2012 0.00000253 0.00000644 -50.29918593 -22.65000664
2013 0.00000191 0.00001486 -24.60340411 130.86506
Rata-rata 99.32745715 55.81206389 Thailand 2009 0.00000000 0.00000986
Rising Star
2010 0.00000000 0.00001845 0 87.12212633 2011 0.00000461 0.00004079 0 121.128716
2012 0.00001893 0.00001846 310.3728717 -54.75186696
2013 0.00002471 0.00003240 30.54664679 75.54192849
Rata-rata 85.22987962 57.26022597 Taiwan 2009 0.00000001 0.00000294
Rising Star
2010 0.00002267 0.00000115 319316.3253 -60.72351231 2011 0.00000002 0.00000106 -99.93300053 -8.557174351
2012 0.00000000 0.00000201 -72.57416189 90.65787477 2013 0.00001343 0.00000563 322433.9146 179.7154971
Rata-rata 160394.4332 50.2731713
169
Lampiran 23. Perhitungan ISP
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 20131 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ekspor x 20399518 25441429 14836178 31301226 20770234 25229759 32653283 29529600 11012461 32111406Impor y 397775 67285 47368 49630 19200 335557 15161 21915 3419138 38380
Nilai ISP (X1-X2)/(X1+X2) 0.96 0.99 0.99 1.00 1.00 0.97 1.00 1.00 0.53 1.00
Gaplek Ubikayu
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 20131 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ekspor x 32193074 13438239 1184435 7990841 15101144 4583072 12778524 49530223 4549425 27388143Impor y 9896803 24409560 70116779 77751873 57929191 49576791 120739381 211253616 342844016 107237001
Nilai ISP (X1-X2)/(X1+X2) 0.53 -0.29 -0.97 -0.81 -0.59 -0.83 -0.81 -0.62 -0.97 -0.59
Pati Ubikayu
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 20131 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ekspor x 254049 80021 236786 374242 1156817 1409233 2338969 5550986 3164658 2833107Impor y 128891 190521 2245853 1486554 404518 58254 34314 62460 388091 245041
Nilai ISP (X1-X2)/(X1+X2) 0.33 -0.41 -0.81 -0.60 0.48 0.92 0.97 0.98 0.78 0.84
Tepung Tapioka