wahyu ptiq kebangkitan tasyri
Post on 30-Dec-2015
254 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PERIODE KEBANGKITAN TASYRI’
MAKALAH(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyri’)
Disusun Oleh:
Wahyu Tri Cahyono(12.01.1099)
Dosen Pengampu :
Helmi Yusuf, MA.
PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAHFAKULTAS SYARIAH
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURANJAKARTA
2013M/1434H
0
A. PENDAHULUAN
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Puji syukur kami panjatkan ke hadirat
Allah swt. karena atas limpahan rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah yang
kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’ dengan judul
“Periode Kebangkitan Tasyri’ ” bisa terselesaikan dengan baik serta tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari
segi isi, atau tatatulisnya. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
dan ikut membantu dalam penyusunan makalah ini, dan kami berharap makalah
ini bisa memberikan manfaat kepada para pembaca. Semoga Allah swt. senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Berkembangnya ta’asub madzhab dan munculnya mujtahid karbitan (man
laisa lahu ahlul ijtihad) di awal abad IV H mendorong ulama-ulama masa itu
mewacanakan untuk menutup pintu ijtihad. Yang dimaksud pintu ijtihad disini
adalah ijtihad dalam terminologi ushul fikih. Sedangkan ijtihad dalam pengertian
penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukum yang sudah ada tetap terbuka1.
Menjadi mujtahid ushul fikih atau mujtahid mutlak / mustaqil dibutuhkan kriteria
yang ketat, sehingga sangat sulit atau bahkan mustahil dijumpai pada masa
sekarang ini. Sedangkan ijtihad dalam pengertian ke dua pun juga sia-sia karena
sudah sedemikian rapinya hukum-hukum fikih dibukukan oleh para mujtahid
mutlak atau murid-muridnya yang menjadi mujtahid madzhab. Hukum-hukum
fikih tersebut bisa menjadi acuan hukum-hukum fikih yang diperlukan masa
sekarang, tinggal mencocokkan analogi (qiyas) nya saja.
Sebagian ulama berpendapat bahwa gaung pembaharuan mulai disuarakan
oleh Ibnu Taimiyah pada awal abad VII H, namun gerakan ini tidak menjadi
gerakan yang masif, sehingga tidak bisa dijadikan tonggak serjarah lahirnya
periode kebangkitan tasyri’. Jika dicermati, yang dimaksud dengan periode
1Ibrahim Hosen, Ijtihad dan Taqlid : Beberapa Pengertian Dasar dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, online http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/index.html, diakses tanggal 23 Desember 2013
1
kebangkitan tasyri’ adalah periode kebangkitan bagi paham yang menjunjung
madzhab non-madzhab mainstream, artinya tidak mengambil madzhab yang
empat yang diakui oleh jumhur muslimin di seluruh belahan dunia. Sedangkan
bagi paham yang menganut madzhab empat, periode ini merupakan periode
lahirnya pembangkangan dan penodaan agama. Ibnu Taimiyah dianggap sebagai
pengusung paham mujassimah / antromorphisme sehingga beliau dipenjara
hingga akhir hayatnya oleh ulama dari empat madzhab, yaitu al-Qadli al-Mufassir
Badr ad-din Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (wafat 733 H), al-
Qadli Muhammad ibn al-Hariri al-Anshari al-Hanafi, al-Qadli Muhammad ibn
Abu Bakar al-Maliki, dan al-Qadli Ahmad ibn ‘Umar al-Maqdisi al-Hanbali2.
Perseteruan antara pemuji dan pencela Ibnu Taimiyah terus berlangsung hingga
saat ini.
Bagaimanapun, sebuah ideologi tidak bisa dikekang dalam penjara.
Pemikiran Ibnu Taimiyah diadopsi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat
1206 H), seterusnya mengilhami Jamaluddin Al-Afghani (wafat 1898 M) hingga
pada masa pembaharuan Muhammad Abduh (wafat 1906 M) dan murid-
muridnya. Maka pada abad 19 M inilah dianggap sebagai periode kebangkitan
tasyri’ dengan mendobrak apa yang dianggap sebagai kejumudan / stagnansi
dalam khasanah keilmuan Islam, khususnya dalam produk hukum Islam (fikih).
Dengan latar belakang di atas, maka makalah ini akan membahas mengenai
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan periode kebangkitan tasyri’
pada abad 19 M hingga sekarang, yang dirumuskan sebagai berikut : (a)
bagaimana peran ulama dalam kebangkitan tasyri’?; (b) bagaimana transformasi
fikih dalam perundang-undangan?; dan (c) bagaimana perkembangan fikih
perbandingan madzhab?.
Sistematika penulisan makalah ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu
Pendahuluan, yang berisi kata pengantar, latar belakang masalah, dan rumusan
masalah. Bagian kedua yaitu Pembahasan yang berisi tokoh-tokoh dan gerakan
pembaharuannya yang dianggap berjasa dalam kebangkitan tasyri’, penyerapan
2Masyhuri Syahid, Ahlussunnah Membantah Ahmad ibn Taimiyah, (Jakarta: Syahamah Press, tt), 17
2
fikih dalam perundang-undangan, dan perkembangan fikih perbandingan. Bagian
ketiga adalah penutup, yang berisi kesimpulan dari pembahasan atas masalah yang
diajukan dalam bagian pendahuluan. Bagian yang terakhir adalah Daftar Pustaka.
B. PEMBAHASAN
1. Peran Ulama dalam Kebangkitan Tasyri’
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa periode kebangkitan tasyri’
merupakan periode kebangkitan bagi pengusung paham non madzhab. Berikut ini
adalah gerakan-gerakan yang diilhami oleh Ibnu Taimiyah.
a. Arab Saudi (Gerakan Wahabiah)
Dengan pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab yang terjadi di Saudi
Arabia merupakan usaha permulaan ke arah kebangkitan kaum muslimin.
Gerakan tersebut menyerukan pemberantasan bid'ah-bid'ah dan khurafat-
khurafat yang merugikan dan menyerukan menjauhkan taqlid, membersihkan
Islam dari kekotoran-kekotoran yang memasukinya, dan kembali kepada
Alquran dan Hadis serta apa yang diwariskan oleh ulama salaf (ulama
dahulu)3.
b. Libia
Dengan pimpinan Muhammad bin as-Sanusi (1791-1859 M.) pada
awal ketiga belas hijriyah, yang melancarkan dakwahnya di negeri-negeri
Afrika Utara untuk membersihkan agama Islam dari noda-noda yang
dimasukkan oleh musuh-musuh Islam dan menyerukan kembali kepada
Alquran, Hadis dan apa yang ditinggalkan oleh ulama salaf.
c. Sudan
Dengan pemimpin Al-Mahdi (1843 – 1885 M) yang berjuang untuk
mengembalikan dasar hukum yang hanya berpedoman pada Alquran dan
Hadis.
d. Mesir
3Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 211.
3
Pada pertengahan abad ke tiga belas Hijriah muncul Al-Afghani
(wafat 1898 M) yang menyerukan pembaharuan-pembaharuan yang
menyeluruh bagi kaum muslimin. Muhammad Abduh (wafat 1906 M),
sebagai muridnya yang terkemuka bekerja keras dalam meratakan seruannya,
yaitu mengikuti jejak ulama-ulama salaf, kembali kepada sumber-sumber
pokok dalam istinbath (pengambilan alasan-alasan hukum) dan menjauhkan
kebekuan dan taqlid. Pemikiran Muhammad Abduh kemudian diadopsi
Rasyid Ridha, yang mengatakan dalam majalah Al-Manar sebagai berikut:
“Umat Islam tidak akan bisa bertahan membawa beban-beban dari orang-
orang yang bertaqlid terhadap satu madzhab saja”. Paham Muhammad
Abduh tersebut melancarkan serangan yang keras terhadap taqlid dan
kebekuan, dan menyerukan kebebasan serta pendekatan antar aliran
(madzhab) dalam Islam, dengan berpedoman kepada perwujudan maslahat
orang banyak dalam menetapkan hukum4.
Beberapa pemikiran Muhammad Abduh adalah :
1) Membersihkan Islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan
yang bukan islami.
2) Mengadakan pembaharuan di bidang pendidikan Islam terutama di
perguruan tinggi.
3) Merumuskan dan menyatakan kembali ajaran Islam menurut alam
pikiran modern yang sesuai menurut Alquran dan Hadis.
4) Mempertahankan ajaran Islam dari pengaruh barat dan serangan agama
lain.
5) Membebaskan negeri-negeri yang penduduknya beragama Islam dari
belenggu penjajah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada masa tersebut terdapat
ulama-ulama yang berusaha mempertalikan ketentuan-ketentuan hukum Islam
dengan segala persoalan hidup, dan agar hukum Islam memegang peranan dalam
kehidupan ini.
4Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 197
4
2. Faktor Sosial Penyebab Kemunculan Tasyri' di Jaman Modern
Pada jaman para sahabat dahulu apabila mereka menjumpai suatu nash
dalam Alquran atau sunnah yang menjelaskan hukum dari peristiwa yang mereka
hadapi, mereka berpegang pada nash tersebut dan mereka berusaha memahami
maksudnya untuk menerapkanya pada peristiwa-peristiwa itu. Apabila mereka
tidak menjumpai nash dalam Alquran dan Hadis dari persoalan yang mereka
hadapi, mereka berijtihad untuk menetapkan hukumnya. Dalam berijtihadnya
mereka berpegang pada kemampuan mereka dalam bidang syariat5.
Sedangkan di jaman yang serba modern ini, kemajuan pesat yang terjadi
dalam bidang pengetahuan dan teknologi menimbulkan perubahan-perubahan
yang besar dalam segala bidang kehidupan manusia. Kalau pada masa awal Islam
berperang masih menggunakan pedang, sedangkan sekarang sudah menggunakan
senjata canggih, berupa senjata kimia dan bom nuklir. Begitu juga dengan
transportasi pada awal mula Islam masih menggunakan kuda atau unta, akan
tetapi sekarang sudah menggunakan pesawat yang mampu menjelajahi dunia
dengan kecepatang tinggi. Jelasnya dengan kemunculan ilmu pengetahuan dan
teknologi, banyak sekali muncul hal baru dalam kehidupan manusia, dan
menimbulkan perubahan-perubahan baru dalam masyarakat. Perubahan struktur
sosial dan munculnya masalah-masalah baru seperti masalah transfusi darah,
inseminasi (pembuahan) buatan, bayi tabung dan lain-lain perlu diatur dan
diselesaikan sesuai dengan kaidah Islam.
Islam sebagai agama wahyu yang terakhir dan dimaksudkan sebagai
agama yang berlaku dan dibutuhkan sepanjang zaman tentu mempunyai pedoman,
prinsip dasar yang dapat digunakan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam
kehidupanya agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Agar
agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka hukum Islam perlu
dikembangkan, dan pemahaman tentang Islam harus terus-menerus diperbaharui
dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nash syara’ dengan cara
5 Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 23
5
menggali kemungkinan atau alternatif dalam syariat yang diyakini bisa menjawab
masalah-masalah baru. Jadi pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar hukum
Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab pertanyaan yang
berkesinambungan di dalamnya. Dan pembaharuan hukum Islam ini juga
dimaksudkan agar tetap ada dan diterima oleh masyarakat modern. Untuk
mengembalikan aktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani ajaran teoritis
dalam kitab-kitab fikih hasil pemikiran-pemikiran mujtahid dengan kebutuhan
masa kini.
3. Transformasi Fikih dalam Perundang-Undangan
Transformasi fikih ke dalam perundang-undangan merupakan suatu
perubahan bentuk, dari produk penalaran fuqaha yang “beragam” (mukhtalaf fih)
menjadi produk badan penyelenggara negara yang bersifat “seragam” (muttafaq
‘alayh), yakni peraturan perundang-undangan (al-qānun). Perubahan bentuk
tersebut, dalam berbagai hal diikuti oleh perubahan substansi, sehingga dapat
dikatakan sebagai perubahan struktural dalam konteks struktur dan kultur
masyarakat bangsa karena adanya faktor determinan yang bersifat konstan bagi
perubahan kehidupan manusia secara semesta. Transformasi itu bermakna suatu
proses kontekstualisasi norma fikih (sebagai majmū‘at al-ahkām) ke dalam
struktur masyarakat bangsa. Dalam proses itu terjadi reduksi, adaptasi, dan
modifikasi norma fikih yang “anti struktur” menjadi qanun yang “terstruktur”,
yang memiliki daya ikat serta daya atur. Bahkan, dalam hal tertentu, qanun
memiliki daya paksa. Dengan demikian, ketika fikih ditransformasi ke dalam
qanun ia telah mengalami perubahan wujud dan fungsi dalam konteks sistem
hukum nasional. Fikih telah terintegrasi dengan norma lain, yang telah berubah
bentuk menjadi qanun. Bahkan dalam hal tertentu mengalami perubahan makna,
baik dalam arti perluasan makna maupun penyempitan makna6.
Usaha-usaha perundang-undangan negara sebenarnya sudah pernah
dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu, seperti yang dilakukan oleh Ibnul
6Cik Hasan Basri, Model Penelitian Transformasi Fiqh dalam Perundang-Undangan (Penelitian), http://www.fshuinsgd.ac.id/?p=1113 diakses tanggal 23 Desember 2013
6
Muqoffa pada abad ke-2 H. Ia mengirim surat kepada khalifah al-Mansur yang
menyerukan untuk dibuat undang-undang umum yang berlaku untuk semua
negeri. Undang-undang tersebut diambil dari Alquran serta Sunah, dan apabila
tidak ada nash pada keduanya maka bisa diambil dari ijtihad dengan syarat bisa
mewujudkan rasa keadilan dan kepentingan orang banyak. Surat tersebut dikirim
karena adanya perbedaan pendapat antara para fuqaha dan hakim dalam
memutuskan suatu masalah yang sama. Akan tetapi surat tersebut tidak
mendapatkan sambutan yang cukup pada masa itu, karena para fuqaha tidak mau
memaksa orang untuk mengikuti pendapat-pendapatnya, serta memperingatkan
murid-muridnya untuk tidak berfanatik buta serta mengingatkan bahwa ijtihad-
ijtihad yang dilakukan bisa kemungkinan salah7.
Usaha lain pernah dilakukan oleh Khalifah Al-Mansur, ketika ia pergi
berhaji dan singgah di Madinah, maka ia meminta kepada Imam Malik untuk
membuat ilmu fikih dan menuliskan buku-buku tentang ilmu tersebut. Khalifah
Harun Ar-Rasyid juga pernah meminta agar kitabnya ”Al-Mutawatta'” untuk
disebar di seluruh negeri serta menjadi pedoman pada peradilan dan pemberian
fatwa, namun Imam Malik menolak karena dirinya tidak lebih berhak dari fuqaha-
fuqaha terkemuka sebelumnya maka dari itu pendapatnya tidak bisa dipaksakan
untuk orang banyak. Dalam fatwa hukumnya, Imam Malik bersandar pada kitab
Allah untuk pertama kalinya, kemudian kepada Hadis. Tetapi beliau
mendahulukan amalan penduduk Madinah daripada hadits Ahad kalau terbukti
menyelisihinya8.
Pada abad ke-11 H, as-Sultan Muhammad Alamkir (1038-1118 H), salah
seorang raja India, membentuk suatu panitia yang terdiri dari ulama-ulama India
terkenal dengan diketahui oleh Syekh Nazzan. Panitia tersebut diberi tugas untuk
membuat kitab yang menghimpun pendapat-pendapat yang disepakati dari
madzhab Hanafi, kitab tersebut terkenal dengan nama “al-Fatawi al-Hindiyah
(fatwa-fatwa Hindia)”.
7 Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, 2168Abdul Wahhab Khallaf, Khulashah Tarikh Tasyri’ Islam, (Solo: CV Ramadhani, 1991),
88
7
Dari segi penyusunan kitab tersebut tidak memadai susunan buku undang-
undang, melainkan merupakan kitab fikih yang sederhana yang berisi persoalan-
persoalan yang benar-benar terjadi atau yang diperkirakan bisa terjadi.
Usaha yang nyata untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum Islam
dalam perundang-undangan negara, baru terwujud dengan munculnya kitab
“Majallatul Ahkam al Adliyah” dan “Qanunul ‘Ailaat (undang-undang keluarga)”
dari Turki pada tahun 1876 M, yang menjadi tanda permulaan masa kebangunan
hukum Islam9.
4. Perkembangan Fikih Perbandingan
Kebangunan hukum Islam pada masa modern banyak bergantung kepada
cara mempelajarinya, yaitu sistem perbandingan, yakni mempelajari hukum-
hukum syara' dengan berbagai pendapat tentang satu persoalan dan alasannya
masing-masing, serta aturan-aturan dasar yang menjadi pegangannya. Kemudian
pendapat-pendapat tersebut diperbandingkan satu sama lain, untuk di pilih
pendapat mana yang lebih benar dan diperbandingkan pula dengan hukum positif.
Di sana tidak hanya satu madzhab saja yang dikaji dan dipelajari, akan tetapi
keempat aliran hukum ahlussunah wal jama’ah.10 Memang para fuqaha masa-
masa dahulu sudah mengenal sistem perbandingan hukum dengan menyebutkan
pendapat berbagai ulama mujtahidin meskipun dalam bentuk yang sederhana.
Akan tetapi semenjak abad ke empat hijriah, dengan mengecualikan karya Ibnu
Rusyd yang sangat bernilai yaitu Bidayatul Mujtahid, perbandingan tersebut
hanya dimaksudkan untuk mengadakan pembelaan terhadap pendapat imam yang
dianutnya dan mengusahakan melemahkan pendapat imam lain. Oleh karena itu,
maka tidak ada penguatan (tarjih) suatu pendapat atas pendapat lain karena
kekuatan dalil itu sendiri. Selanjutnya kemungkinan untuk mencari pendapat yang
lebih tepat dan yang lebih sesuai dengan rasa keadilan orang banyak tidak ada
lagi. Karena penguatan salah satu pendapat dalam hukum Islam hanya terjadi
dalam lingkungan satu madzhab11.
9Roibin, Penetapan Hukum Islam, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 11010 Ali, Hukum Islam, 20211 Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, 213
8
Apa yang menyebabkan tidak adanya sistem perbandingan antara
pendapat-pendapat fuqaha antara madzhab ialah karena adanya fatwa untuk
bertaqlid semata-mata, dan taqlid inipun harus terbatas dalam lingkungan
madzhab empat saja yang suda terkenal dan disetujui oleh golongan Ahlussunnah.
Bahkan difatwakan pula, bahwa bagi orang-orang yang sudah mengikuti madzhab
tertentu tidak boleh berpindah kepada madzhab lain ataupun mengikuti madzhab
lain pula dalam waktu yang sama, kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Fatwa
lain ialah bahwa fuqaha-fuqaha yang datang kemudian tidak boleh meninjau
kembali apa yang telah diputuskan oleh fuqaha-fuqaha angkatan terdahulu.
Sistem perbandingan dalam pembahasan hukum pada masa modern,
terlepas dari pendirian sesuatu aliran hukum tertentu, atau dari pembelaan
terhadapnya. Kajian ini didasarkan pada kesungguhan dalam mempelajari
berbagai pendapat yang berkembang tentang satu persoalan; dengan menjelaskan
pendapat setiap madzhab, kemudian mendiskusikannya dan barulah diketahui
pendapat yang paling kuat dalilnya dan mampu mewujudkan kemaslahatan yang
menjadi tujuan syariat12.
Fakultas-fakultas hukum dari universitas-universitas Cairo, ’Ainussyams
dan Iskandariah telah memberikan bagian yang terpenting sekali dalam usaha-
usaha kebangunan hukum Islam, baik yang berupa sistem mempelajari hukum
Islam maupun berupa tulisan-tulisan yang membawa kesegaran dan wajah yang
sebenarnya dari hukum Islam. Kemungkinan timbulnya keadaan yang
menggembirakan tersebut adalah sebagai hasil pergaulan ulama-ulama yang
memberikan pelajaran hukum Islam di fakultas-fakultas hukum tersebut dengan
sarjana-sarjana hukum positif dan saling membaca karya masing-masing sehingga
timbullah fikih perbandingan yang mencerminkan pembahasan yang luas dan
mendalam.
Dengan adanya perubahan-perubahan dalam sistem mempelajari dan
menuliskan hukum-hukum Islam seperti tersebut di atas, maka dapat menghapus
kelemahan-kelemahan yang meliputi hukum Islam selama ini dan menunjukkan
wajah yang sebenarnya, sehingga bisa menghadapai kehidupan ini dengan segala
12 Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Islamabad: Risalah Gusti, 1995), 155
9
peristiwanya yang terjadi untuk menerapkan hukum Islam atas peristiwa-peristiwa
tersebut.
5. Berubahnya Penilaian Orientalis terhadap Hukum Islam
Perhatian orang-orang orientalis (orang-orang Barat yang gemar
mempelajari apa yang berasal dari Timur) terhadap peninggalan-peninggalan
Islam pada umumnya berasal dari abad-abad pertengahan, ketika mereka hendak
mengetahui faktor-faktor kebesaran kaum muslimin sehingga mereka bisa
memegang tampuk pimpinan dunia pada waktu itu.
Perhatian para orientalis tersebut diwujudkan dalam bentuk mempelajari,
menyelidiki, menerjemahkan dan membahas, serta menerbitkan terhadap berbagai
buku fikih standar. Tidak sedikit juga yang mendalami persoalan hukum Islam
baik dalam bentuk buku-buku yang mereka tulis atau pembahasan-pembahasan
yang mereka muatkan majalah-majalah khusus mengenai hukum.
Dengan mengesampingkan beberapa orientalis yang sengaja memberikan
gambaran yang salah, maka banyak penghargaan yang tinggi terhadap hukum
Islam sudah banyak diberikan oleh sarjana-sarjana hukum Eropa dan Amerika.
Antara lain Kohler dari Jerman, Wignore dari Amerika, dan Delvices. Sarjana-
sarjana ini menyebutkan adanya fleksibilitas dan kemampuan yang dimiliki
hukum Islam sehingga bisa mengikuti perkembangan masa. Mereka juga
mensejajarkan hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum Inggris, sebagai
hukum-hukum yang telah menguasai dunia dan yang masih terus menguasainya.
Penghargaan terhadap hukum Islam tersebut dikemukakan sendiri oleh Sarjana
Hukum Barat terkenal dari Perancis, yaitu Lambert, dalam Seminar Internasional
untuk Perbandingan Hukum, yang diadakan pada tahun 193213.
Perhatian orang-orang orientalis terwujud dari kegiatan sebagai berikut:
1. Seminar Den Haag 1937
2. Seminar pengacara-pengacara Internasional di Den Haag tahun 1948.
3. Seminar Paris tahun 1951
13 Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, 239
10
Atas dasar pemikiran dan saran dari Seminar Paris tahun 1951, baru untuk
pertama kalinya ditampung oleh Pemerintah Syiria. Pada tanggal 3 Mei 1956
dikeluarkan Keputusan Presiden yang memberikan mandat pada Fakultas Hukum
dari Universitas Syiria untuk mengeluarkan suatu ensiklopedia Hukum Islam yang
bertujuan untuk menyusun pembahasan-pembahasan fikih Islam. Kemudian senat
universitas membentuk suatu panitia yang berhubungan dengan tokoh-tokoh
hukum Islam dan tokoh-tokoh hukum positif (barat).
Akhirnya, pada Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada
bulan April 1965, dalam salah satu resolusinya menganjurkan kepada Universitas
al-Azhar untuk menyusun dan menerbitkan Ensiklopedia Hukum Islam, yang
dapat digunakan umat Islam sebagai pedoman dan pegangan dalam hidup dan
kehidupannya sehari-hari14.
C. PENUTUP
Kesimpulan yang diambil dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut :
(a) Pada periode kebangkitan tasyri’ ulama-ulama pembaharu berusaha
mempertalikan ketentuan-ketentuan hukum Islam dengan segala persoalan
hidup, dan mendorong semangat ijtihad untuk merumuskan hukum baru atas
persoalan yang dihadapi.
(b) Transformasi fikih ke dalam perundang-undangan sudah terjadi pada awal
abad 2 hijriyah / 9 M, hingga mencapai bentuk yang nyata pada abad 19 M
yang ditandai dengan munculnya kitab “Majallatul Ahkam al Adliyah” dan
“Qanunul ‘Ailaat (undang-undang keluarga)” di Turki.
(c) Perkembangan fikih perbandingan pada periode tasyri’ adalah dengan
dibukanya sistem lintas madzhab pada fakultas-fakultas hukum, sehingga
hukum tidak ditinjau dari satu madzhab saja, tapi dari sudut pandang
madzhab lainnya, dan dicari mana yang lebih rajih dan bisa memberi
kemaslahatan umat sesuai tujuan syariat.
D. DAFTAR PUSTAKA
14 Ali, Hukum Islam, 205
11
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1998
Basri, Cik Hasan. Model Penelitian Transformasi Fiqh dalam Perundang-Undangan (Penelitian). http://www.fshuinsgd.ac.id/?p=1113 diakses tanggal 23 Desember 2013
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1970
Hosen, Ibrahim. Ijtihad dan Taqlid : Beberapa Pengertian Dasar dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, online http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/index.html diakses tanggal 23 Desember 2013
Khallaf, Abdul Wahhab. Khulashah Tarikh Tasyri’ Islam. Solo: CV Ramadhani, 1991
Roibin. Penetapan Hukum Islam. Malang: UIN-Maliki Press. 2010
Sirry, Mun’im A. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1995
Syahid, Masyhuri. Ahlussunnah Membantah Ahmad ibn Taimiyah. Jakarta: Syahamah Press, tt.
al-Qardhawi, Yusuf. Ijtihad Kontemporer. Surabaya: Risalah Gusti. 1995
12
top related