tgs toksikologi
Post on 05-Jul-2015
272 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pengaruh Efek Toksik Asetaminophen Terhadap Organ Hati
Tugas Terstruktur Mata Kuliah Toksikologi
Dosen Pengampu
Nera Umilia, S.Farm., Apt.
Disusun Oleh :
Anggun Pradhita I 211 08 031Ellizabet I 211 08 032Vonny Willianti I 211 08 033Sandy Ryandy A. I 211 08 034Dedi Rahadi I 211 08 035Inge Pramitasari I 211 08 037Putria I 211 08 039Utin Dina Dwiyana I 211 08 040Mukhrizal I 211 08 041Dina Pratiwi I 211 08 043Tommy Utama Putra I 211 08 044
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2011
Anatomi Hati
Hati merupakan organ terbesar pada tubuh, yang berkisar 2% berat tubuh
total atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa. Unit fungsional dasar hati
adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa millimeter
dan berdiameter 0,8-2 mm. Hati manusia mengandung 50.000 sampai 100.000
lobulus.
Lobules hati yang ditunjukkan dalam bentuk potongan pada gambar 70-1,
terbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatica dan
kemudian ke vena cava. Lobules sendiri dibentuk terutama dari banyak
lempengan sel hati yang menyebar dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-
masing lempeng hati tebalnya dua sel dan diantara sel yang berdektana terdapat
kanalikuli bilaris kecil yang mengalir ke duktus bilaris didalam septum ribose
yang memisahkan lobules hati yang berdekatan.
Gambar 70-1 Struktur Dasar Lobulus Hati (Guyton, 2007)
Di dalam septum terdapat venula porta kecil yang menerima darah
terutama dari vena saluran pencernaa melalui venula porta. Dari venula ini darah
mengalir ke sinusoid hati gepeng dan bercabang yang terletak diantara lempeng-
lempeng hati dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian, sel hepar terus-
menerus terpapar dengan darah vena porta.
Arteriol hati juga ditemui didalam septum interlobularis. Arteriol ini
menyuplai darah arteri ke jaringan septum di antara lobules yang berdekatan, dan
banyak arteriol kecil juga mengalir langsung ke sinusoid hati, paling sering
berlokasi pada sepertiga jarak ke septum interlobularis seperti yang terlihat pada
gambar 70-1.
Selain sel–sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel lain : (1) sel
endotel khusus dan (2) sel kupffer besar (juga disebut sel retikuloendotelial), yang
merupakan makrofag residen yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis
bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus.
Lapisaan endotel sinusoid vena mempunyai pori-pori yang sangat besar,
beberapa diantarany berdiameter hamper 1mikrometer. Dibawah lapisan ini,
terletak di antara sel endotel dan sel hepar, terdapat ruang jaringan yang sangat
sempit yang disebut ruang Disse yang juga dikenal sebagai ruang perisinusoidal.
Jutaan ruang Disse menghubungkan pembuluh limfe didalam septum
interlobularis. Oleh karena itu, kelebihan cairan di dalam ruang ini dikeluarkan
melalui aliran limfatik. Karena besarnya pori di endotel, zat didalam plasma
bergerak bebeas ke dalam ruang Disse. Bahkan banyak protein plasma berdifusi
debgan bebas ke ruang ini.
Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam
melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamide,
penisilin, ampislin, dan eritromisisn ke dalam empedu. Dengan cara yang sama,
beberapa hormone yang diekskresi atau dihambat secara kimia oleh hati, meliputi
tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti estrogen, kortisol dan
aldosteron. Kerusakan hati ini dapat mengakibatkan penimbunan di dalam cairan
tubuh dan oleh karena itu menyebabkan aktivitas berlebihan dari sistem hormon.
Akhirnya, salah satu jalan utama untuk ekskresi kalsium dari tubuh adalah
seekresi oleh hati ke dalam empedu, lalu diangkut ke usus dan hilang dalam feses.
Parasetamol (Asetaminofen)
Rumus Kimia
Salah satu obat yang bersifat hepatotoksik adalah parasetamol. Senyawa
ini merupakan turunan fenasetin. Parasetamol mempunyai beberapa nama generik
antara lain N-hidroksi asetanilida, N-asetil-p-aminofenol dan asetaminofen.
Parasetamol digunakan sebagai obat analgesik dan antipiretik di seluruh dunia
(Sumioka et al. 2004). Parasetamol berbentuk serbuk kristal berwarna putih, tidak
berbau, rasanya sedikit pahit, peka terhadap udara dan cahaya serta mempunyai
pH 5,3-6,5, karena toksisitas dan daya antiinflamasinya yang lemah menjadikan
parasetamol sebagai alternatif aspirin. Parasetamol relatif aman pada dosis terapi,
walaupun demikian overdosis akut parasetamol dapat menyebabkan hepatotoksik,
kerusakan (nekrosis) sentrilobular hati yang fatal.
Penggunaan parasetamol didasarkan pada dugaan bahwa fenasetin dalam
tubuh akan dioksidasi menjadi senyawa paraaminofenol. Kemampuan
parasetamol sebagai antipiretik terdapat pada struktur aminobenzena senyawa ini.
Menurut Goodman et al. (1980), parasetamol adalah obat yang memiliki daya
analgesik dan antipiretik melalui mekanisme penghambatan prostaglandin dalam
tubuh. Struktur kimia parasetamol dan struktur aminobenzena senyawa
parasetamol dapat dilihat pada Gambar di bawah ini :
Gambar 1. Bagan Struktur Kimia Parasetamol
Acetanilide Paracetamol Aniline
Gambar 2. Bagan Struktur Aminobenzena Senyawa Parasetamol
Farmakodinamik
Parasetamol telah lama diketahui mempunyai mekanisme yang sama
dengan aspirin oleh karena persamaan struktur kedua zat tersebut. Parasetamol
bekerja menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga dapat mengurangi
produksi prostaglandin, yang terlibat di dalam proses demam dan sakit.
Bagaimanapun, ada perbedaan penting antara efek aspirin dan parasetamol.
Aspirin mengandung prostaglandin yang berperan di dalam proses peradangan,
tetapi parasetamol tidak dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Selain itu, aspirin
bekerja menghambat enzim COX yang tidak dapat diubah, secara langsung
menghalangi lokasi aktif enzim dan mempunyai efek merugikan pada lapisan
perut. Parasetamol secara tidak langsung menghalangi enzim COX sehingga
menjadi tidak efektif terhadap peroksida. Hal ini menyebabkan parasetamol
menjadi efektif bekerja pada susunan saraf pusat dan sel endotel, tetapi bukan
pada platelet dan sel imun yang mempunyai tingkat peroksida tinggi.
Pada tahun 2002 telah dilaporkan bahwa parasetamol selektif dalam
menghalangi varian dari enzim COX yang berbeda, dikenal varian COX-1 dan
COX-2. Enzim ini hanya bereaksi di otak dan sumsum tulang, sekarang dikenal
sebagai COX-3. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa administrasi parasetamol
meningkatkan bioavibilitas dari serotonin (5-HT) di tikus, tetapi mekanismenya
belum diketahui.
Farmakokinetik
Parasetamol dimetabolisme terutama oleh enzim-enzim mikrosomal sel
hati. Di dalam saluran pencernaan, asetaminofen dengan cepat diserap dan dalam
waktu 30 menit akan mencapai konsentrasi puncak dalam plasma. Pada dosis
yang menyebabkan toksisitas akut, ikatan parasetamol terhadap protein plasma
bervariasi dari 20-50%. Pada dosis normal, 90-100% dari senyawa obat ini
mungkin akan dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran senyawa obat ini terjadi
setelah melewati fase konjugasi dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam
sulfat (35%) dan sistein (3%) serta sejumlah kecil metabolit dalam bentuk
terhidroksilasi dan terdeasetilasi (Anonim, 2006). Berdasarkan hasil penelitian
Wilson dan Gilfod dalam Susana 1987 menunjukkan bahwa di dalam hati,
parasetamol akan mengalami biotransformasi melalui reaksi konjugasi dengan
asam glukoronat atau glutation dan hasilnya diekskresi melalui urin. Sisa
parasetamol mengalami biotransformasi dengan sistem sitokrom P-450. Sitokrom
P-450, suatu sistem enzim di retikulum endoplasma segera melakukan
biotransformasi oksidatif pada 5-10% parasetamol yang masuk ke dalam tubuh.
Parasetamol yang teroksidasi berubah menjadi N-asetil p-benzokuinon imin
(NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif (Susana 1987). Senyawa radikal
ini dapat bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hati contohnya
fosfolipid. Oksidasi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas yang
dapat mengoksidasi molekul fosfolipid lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi
berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan berubahnya komposisi membran sel hati.
Menurut Manson, perubahan membran sel menyebabkan kerusakan sel hati dan
kemudian dapat menimbulkan nekrosis hati (Susana 1987). Metabolisme
parasetamol dapat dilihat pada Gambar 3.
+
metabolit + protein hati centralobular hepatic necrosis
Gambar 3. Bagan Metabolisme Parasetamol
Aktivitas Metabolik Asetaminofen
Hasil penelitian Dr. Gillete menetapkan dengan pasti bahwa pentingnya
peran metabolisme dalam menyebabkan toksisitas asetaminofen. Asetaminofen
diaktivasi metabolic dengan enzim sitokrom P450 membentuk metabolit reaktif
yang berikatan kovalen dengan protein. Metabolit reaktif ini diidentifikasi sebagai
N-asetil-p-benzokuinon imine (NAPQI), yang terbentuk karena oksidasi langsung
dua electron. Lebih lanjut, juga ditemukan enzim sitokrom 2E1,1A2,3A4, dan
2A6 yang dapat mengoksidasi asetaminofen menjadi metabolit reaktif. Juga, hasil
penelitian Dr. Gillete menyebutkan bahwa NAPQ1 didetoksifikasi oleh glutation
(GSH) untuk membentuk konjugat GSH. Akibat dosis toksik asetaminofen,
seluruh GSH di hati banyak berkurang bahkan hingga 90% dan sebagai
dampaknya metabolit ini terikat kovalen dengan grup sistein pada protein,
membentuk hasil reaksi sampingan berupa asetaminofen-protein. Mekanisme ini
dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1 . Peran metabolisme dalam toksisitas asetaminofen.
Mekanisme biokimiawi dari toksisitas
Penyebab kematian hepatoseluler yang diakibatkan pembentukan produk
sampingan berupa asetaminofen-protein hingga saat ini masih belum cukup
dimengerti. Satu mekanisme yang mungkin dari kematian sel ini adalah adanya
ikatan kovalen pada protein seluler kritis yang berakibat pada penurunan aktivitas
atau fungsi dan akhirnya kematian sel dan lisis. Target utama toksin pada sel
adalah protein-protein mitokondrial yang berujung pada hilangnya produksi
energy, seperti halnya protein-protein terlibat dalam control ion seluler.
Dilaporkan terjadi perubahan aktivitas ATPase membrane plasma yang menyertai
dosis toksik asetaminofen.
Beberapa protein yang terikat pada asetaminofen telah diisolasi dan
diidentifikasi. Tabel 1 menunjukkan protein yang telah teridentifikasi membentuk
produk sampingan dengan asetaminofen. Protein yang teridentifikasi oleh
Pumford et al., 1997 terdiri dari sebuah 100-kDa protein sitosolik yang ditetapkan
dengan analisis bertahap sebagai enzim n-10-formiltetrahidrofolat dehidrogenase.
Enzim ini terlibat dalam metabolisme 1-carbon dan mengoksidasi formaldehid
menjadi karbondioksida. Studi pada tikus menunjukkan aktivitas dari enzim ini
meningkat 20%, 2 jam setelah paparan dosis toksik asetaminofen. Protein kedua,
50-kda protein mitokondrial diisoladi dan ditetapkan sebagai glutamate
dehidrogenase . Enzim ini memetabolisme glutamate menjadi keto-α-glutarat dan
ammonia secara reversibel. Aktivitas dari enzim ini juga ditingkatkan 25% setelah
2 jam. Berdasarkan data inhibisi 2 enzim ini, dapat disimpulkan bahwa ikatan
kovalen dengan asetaminofen mengakibatkan hanya terjadi inhibisi sebagian pada
aktivitas enzim-enzim ini pada kondisi toksik tikus. Meskipun masuk akal bahwa
inhibisi parsial enzim dalam jumlah besar berperan pada kematian sel, data ini
memunculkan pertanyaan relatif tentang validitas hipotesis yang menyatakan
bahwa ikatan kovalen pada protein kritis adalah satu-satunya mechanism
toksisitas asetaminofen.
Hilangnya keseimbangan ion inti maupun mitokondrial juga merupakan
mekanisme toksik yang terlibat dalam kematian sel yang diperantarai
asetaminofen sebab keadaan ini dapat mengarah pada peningkatan konsentrasi Ca
2+ sitosolik, perputaran mitokondrial Ca2+, aktivasi protease dan endonuklease,
dan pemutusan rantai DNA. Efek dari penambahan NAPQ1 pada mitokondria
terisolasi telah dilaporkan dan inhibisi respirasi mitokondrial telah diteliti sebagai
mekanisme yang penting dalam toksisitas asetaminofen.
Penelitian awal untuk stress oksidatif
Stress oksidatif merupakan mekanisme lain yang telah dipostulasikan
penting dalam perkembangan toksisitas asetaminofen. Dengan demikian,
meningkatnya pembentukan superoksida akan mengarah pada reaksi hydrogen
peroksida dan peroksidasi oleh mekanisme Fenton-type. NAPQ1 bereaksi cepat
dengan GSH (k1=3.2 x 104 M-1 s-1 pada pH 7) dan ada sebuah mekanisme
potensial yang telah disebutkan berperan dalam hal ini. Dalam kondisi
pembentukan NAPQ1 yang menyertai dosis toksik asetaminofen, konsentrasi
GSH mungkin sangat rendah dalam sel sentrilobular dan enzim detoksifikasi
peroksida yang utama , GSH peroksidase yang berfungsi sangat tidak efisien di
bawah kondisi deplesi atau pengurangan GSH dalam jumlah besar diharapkan
dapat dihambat. Tambahan pula, selama pembentukan NAPQ1 oleh sitokrom
P450, anion superoksida dibentuk dengan dismutasiyang mengarah pada
pembentukan hydrogen peroksida. Peroksidasi asetaminofen menjadi radikal
bebas semikuinon akan mengarah pada perputaran redoks antara asetaminofen dan
semikuinon. Mekanisme ini akan mengarah pada peningkatan superoksida dan
toksisitas. Lihat Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme Stress Oksidatif
Peran Sel-Sel Kupffer
Beberapa laboratorium telah mempelajari peran aktivasi makrofag dalam
toksisitas asetaminofen. Sel kupffer adalah makrofag fagositik di hati. Ketika
diaktivasi, sel Kupffer melepaskan berberapa molekul sinyal termasuk enzim
hidrolitik, eicosanoid, nitrit oksida dan superoksida. Sel kupffer juga melepaskan
beberapa sitokin inflamasi, yakni IL-1, IL-6,dan TNF-α dan sitokin ganda yang
dilepaskan dalam toksisitas asetaminofen. Laskin et al. (1995) meneliti peran sel-
sel Kupffer dalam hepatoksisitas asetaminofen dengan praperlakuan terhadap
tikus dengan senyawa yang menekan fungsi sel kupffer (Gadolinium klorida san
dekstran sulfat). Penelitian ini melaporkan bahwa tikus-tikus ini kurang sensitive
terhadap efek toksik asetaminofen. Efek yang serupa juga dilaporkan pada mencit
(Blazka et al., 1995).
Michael at al., 1999 juga melaporkan hal yang sama. Namun studi terbaru
Ju et al., 2002 memberikan kesimpulan yang berbeda. Mereka member mencit
Gadolinium klorida dan menemukan bahwa jumlah sel kupffer di hati hanya
berkurang sebagian. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, terjadi penurunan
toksisitas asetaminofen. Namun,pada perlakuan terhadap mencit dengan
diklorometilen difosfonat, walaupun sel Kupffer terdeplesi sempurna, toksisitas
tetap meningkat. Data ini menimbulkan pertanyaan relative mengenai pentingnya
sel Kupffer pada toksisitas asetaminofen.
Nitrotirosine dan Toksisitas Asetaminofen
Nitrotirosine muncul dalam sel sentrilobuler liver pada mencit yang
diberikan asetaminofen. Analisis imunohistokimia liver pada mencit ini
menunjukkan timbulnya nitrasi pada sel yang sama yang mengandung produk
sampingan asetaminofen dan menyebabkan nekrosis (Gambar 3). Nitrotirosine
dibentuk oleh reaksi peroksinitrit dengan tirosin. Nitrasi dari tirosin merupakan
biomarker yang sangat baik terhadap adanya pemebntuka peroksinitrit.
Nitrotirosin dibnetuk melalui rekasi cepat antara nitrit oksida dan superoksida dan
ditemukan bahwa sintesis NO (kadar plasma nitrit dan nitrat) juga meningkat
dalam toksisitas asetaminofen. Peroksinitri adalah senyawa yang tidak hanya
mengarah pada nitrasi tirosin namun juga sebuah oksidan penting yang dapat
menyerang sejumlah besar target biologic dan dalam kondisi kapabilitas oksidan
seluler yang berkurang, peroksinitrit sangatlah toksik. Lebih jauh, senyawa ini
didetoksifikasi oleh GSH atau GSH peroksidase dan GSH dideplesi dalm
toksisitas asteaminofen. GSH peroksidase adalah enzim kunci dalam mekanisme
pertahanan tubuh. Dengan demikian, mekanisme detoksifikasi peroksinitrit
normal tidak dapat diperbaiki. Juga, bahkan walapun asetaminofen itu sendiri
akan mendetoksifikasi peroksinitrit, obat in dimetabolisme cepat dalam mencit
dan konsentrasinya rendah saat nitrasi teramati. Namun, mekanisme selain
peroksinitrit juga teah dilaporkan dapat mengarah pada nitrotirosine.
Myeloperoksidase juga dapat mengoksidasi ion nitrit menjadi radikal NO2 yang
merupakan senyawa penitrasi. Karena Myeloperoksidase ada dalam neutrofil dan
penggunaan neutrofil adalah hal terakhir dalam toksisitas asetaminofen,
mekanisme ini menjadi tidak penting. Juga, nitrit dapat dioksidasi oleh heme atau
logam bebas, yang mengarah pada radikal NO2 .
Gambar 3 . Peran stres oksidatif dalam toksisitas asetaminofen
Pembentukan Superoksida dan Disfunsi Mitokondria Dalam Toksisitas
Asetaminofen
Superoksida dapat dibentuk via sejumlah mekanisme termasuk
pembentukan melalui sitokrom P450 dan enzim lainnya. Pentingnya aktivasi sel
Kupffer, makrofag, dan neutrofil dalam toksisitas asetaminofen telah dievaluasi.
Penggunaan berlebihan oksigen secara mendadak yang disebabkan oleh aktivasi
fagosit ini mengakibatkan peningkatan aktivitas enzim NADPH oksidase.
Akibatnya adalah pelepasan anion superoksida pada lapisan terluar dari membrane
plasma.
Disfungsi mitokondrial bisa jadi merupakan mekanisme penting dalam
hepatotoksisitas. Transisi permeabilitas mitondrial (MPT) terjadi dengan
pembentukan superoksida yang mengarah pada peroksinitrit dan nitrasi tirosin.
MPT mewakili peningkatan tajam pada permeabilitas membrane dalam
mitokondrial terhadap solute dengan berat molekul kecil. Oksidan seperti
peroksida dan peroksinitrit, Ca2+, dan Pi meningkatkan onset MPT, sementara
Mg2+, ADP, ph rendah, serta potensial membrane yang tinggi sebaliknya
menurunkan onset. Sejalan dengan perubahan permeabilitas juga terjadi
depolarisasi membrane, fosforilasi oksidatif yang tak terkopling, pelepasan ion-
ion intramitokondrial dan metabolim perantara serta pembengkakan mitokondrial.
Oksidasi thiol di pori MPT akan menyebabkan kondisi membrane terbuka.
Penambahan NAPQ1 pada mitokondria hati tikus terisolir menyebabkan
penurunan sintesis ATP dan pelepasan Ca2+. Hal ini disebabkan oksidasi vicinal
thiol yang diperantarai NAPQ1 pada pori-pori MPT. NAPQ1 diketahui sebagai
agen oksidator dan pembentuk cincin aromatis yang dapat menyebabkan oksidasi
protein thiol. Inhibitor MPt menurunkan toksisitas asetaminofen pada potongan
hati tikus. Penambahan N-asetilsistein pada hepatosit hati mencit tidak berefek
pada toksisitas, namun dithiotreitol menurunkan perkembangan toksisitas.
Dithiotreitol diketahui dapat mengurangi thiol pada pori MPT dan mencegah
perkembangan selanjutnya dari toksisitas. Toksisitas asetaminofen ini diduga
diperantarai oleh disfungsi mitokondria yang mengakibatkan terbentuknya
oksigen reaktif dan senyawa nitrogen (Gambar 4).
Gambar 4. Peran transisi permeabilitas mitokondria di toksisitas asetaminofen.
Ringkasan
Analgesik asetaminofen bukanlah penyebab nekrosis hepatic. Toksisitas
sebenarnya disebabkan oleh metabolisme asetaminofen oleh sitokrom P450
menjadi metabolit reaktif. Pada dosis terapeutik, metabolit reaktif didetoksifikasi
dengan efisien melalui konjugasi dengan GSH. Namun, pada dosis toksik, GSH
dideplesi oleh reaksi konjugasi dan metabolitnya terikat kovalen pada protein.
Ikatan kovalen berkaitan dengan toksisitas. Terapi dengan sistein untuk
meningkatkan detoksifikasi GSH merupakan antidot efektif terhadap toksisitas.
Penemuan selanjutnya adalah penggunaan N-asetilsistein sebagai antidot terbaru.
Berbagai mekanisme toksik asetaminofen telah dikembangkan, namun hal kritis
yang selalu menjadi fase awal dari toksisitasnya adalah adanya aktivasi metabolic
DAFTAR PUSTAKA
Guyton,Arthur C et al. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta :
EGC.
Heirmayani. 2007. Toksikopatologi Hati Mencit (Mus Musculus) Pada Pemberian
Parasetamol. Bogor : Institut Pertanian Bogor
James, Laura P. et al, 2003, Acetaminophen-Induced Hepatotoxicity, Drug
Metabolism and Disposition Vol.31, no.12, 1128/1106568. USA: The
American Society for Pharmacology and experimental Therapeutics.
top related