toksikologi penyinaran
TRANSCRIPT
TOKSIKOLOGI PENYINARAN
1. LATAR BELAKANG
Toksikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari segala hal yang berkaitan dengan
zat – zat kimia (racun), tidak hanya berkaitan dengan sifat – sifat zat kimia saja, namun juga
mempelajari bagaimana pengaruh zat kimia tersebut didalam tubuh atau dikenal dengan
istilah xenobiotik. Toksikologi penyinaran adalah keracunan atau efek negative dari
penyinaran atau radiasi. Toksikologi ini termasuk kedalam toksikologi perang, dimana
pelaksanaan perang dengan :
Senjata atom (nuklir), misalnya bom di Hirosimak
Bilogi, missal pemakaian racun tanaman (zat perontok daun) untuk keperluan militer
Kimia, misalnya penggunaan untuk menghentikan demonstrasi (gas air mata)
Radiasi tidak dapat dilihat, dirasa atau diketahui keberadaannya dalam tubuh dan
paparan radiasi yang berlebih dapat menimbulkan efek yang merugikan. Pemanfaatan
berbagai sumber radiasi harus dilakukan secara cermat dan mematuhi ketentuan teknik kerja
dengan menggunakan sumber radiasi untuk menghindari terjadinya paparan radiasi yang
tidak diinginkan.
Pemanfaatan radiasi pada berbagai bidang untuk kesejahteraan manusia dapat
dilakukan tanpa batas selama selalu memperhatikan prosedur standar proteksi dan
keselamatan radiasi. Prosedur proteksi bertujuan untuk mencegah terjadinya efek
deterministik pada individu dengan mempertahankan dosis di bawah ambang dan unruk
memperkecil resiko terjadinya efek stokastik pada populasi di masa kini dan masa
mendatang.
2. INTERAKSI RADIASI DENGAN TUBUH
Interaksi radiasi dengan materi biologi diawali dengan terjadinya interaksi fisik yaitu
terjadinya proses eksitasi dan/ atau ionisasi, yang terjadi dalam waktu -15 -10 detik setelah
paparan radiasi. Reaksi ini dalam waktu 10-10 detik segera yang diikuti dengan interaksi
fisikokimia yang menghasilkan pembentukan ion radikal. Selanjutnya terjadi reaksi kimia
dengan menghasilkan radikal bebas dalam waktu 10-5 detik. Radikal bebas menginduksi
1
terjadinya reaksi biokimia yang menimbulkan kerusakan khususnya pada DNA. Rangkaian
proses ini diakhiri dengan terjadinya respon biologi yang dalam waktu harian sampai tahunan
akan menimbulkan efek biologi.
Elektron sekunder yang dihasilkan dari proses ionisasi akan berinteraksi secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung bila penyerapan energi dari elektron
tersebut langsung terjadi pada molekul organik dalam sel yang mempunyai arti biologi
penting, seperti DNA. Sedangkan interaksi secara tidak langsung bila terlebih dahulu terjadi
interaksi radiasi dengan molekul air dalam sel yang efeknya kemudian akan mengenai
molekul organik penting.
A. . Interaksi radiasi dengan DNA
Kerusakan pada DNA sebagai akibat radiasi dapat menyebabkan terjadinya
perubahan struktur molekul gula atau basa, pembentukan dimer, putusnya ikatan
hidrogen antar basa, hilangnya gula atau basa dan lainnya. Kerusakan yang lebih
parah adalah putusnya salah satu untai DNA yang disebut single strand break dan
putusnya kedua untai DNA pada posisi yang berhadapan, yang disebut double strand
breaks.
Radiasi LET tinggi dan dosis tinggi radiasi LET rendah menyebabkan
sekumpulan kerusakan yang padat pada suatu lokasi tertentu pada DNA, disebut
dengan clustered damage. Distribusi kerusakan yang tidak homogen ini lebih sulit
2
untuk diperbaiki dibandingkan dengan kerusakan DNA yang random. Clustered
damage didefinisikan sebagai dua atau lebih kerusakan (basa teroksidasi, basa hilang,
atau strand breaks) yang terjadi pada suatu tempat tertentu dalam struktur heliks
DNA. Dosis sangat rendah sekitar 0,01 Gy dapat menimbulkan kerusakan clustered
DNA, yang keseluruhan terdiri dari 20% double strand breaks dan 80% jenis
kerusakan DNA lainnya. Total clustered damage akibat radiasi pengion 3 – 4 kali
lebih besar dari double strand breaks dan nampaknya tidak terjadi pada sel yang tidak
diirradiasi. Tingkat clustered damage yang terjadi segera setelah paparan radiasi
dapat digunakan sebagai dosimeter yang relatif sensitif. Karena kumpulan kerusakan
tersebut tidak dapat diperbaiki dan terakumulasi dalam sel, maka dapat dideteksi pada
waktu yang lebih lama setelah paparan.
Secara alamiah sel mempunyai kemampuan untuk melakukan proses
perbaikan terhadap kerusakan DNA dalam batas normal. Perbaikan dapat berlangsung
tanpa kesalahan sehingga struktur DNA kembali seperti semula dan tidak
menimbulkan perubahan fungsi pada sel. Tetapi bila kerusakan yang terjadi terlalu
banyak yang melebihi kapasitas kemampuan proses perbaikan, maka perbaikan tidak
dapat berlangsung dengan secara tepat dan sempurna sehingga menghasilkan DNA
dengan struktur yang berbeda, yang dikenal dengan mutasi.
3
B. Interaksi radiasi dengan kromosom
Kromosom terdiri dari dua lengan (telomer) yang dihubungkan satu sama lain
dengan suatu penyempitan yang disebut sentromer. Pada salah satu fase dari siklus sel
yaitu fase S (sintesa DNA), kromosom mengalami penggandaan untuk kemudian
masuk ke dalam fase mitosis yaitu fase pembelahan dari satu sel menjadi dua sel
anak.
Radiasi menyebabkan terjadinya perubahan pada jumlah dan
strukturkromosom (aberasi kromosom). Perubahan jumlah kromosom, misalnya
menjadi 47 buah pada sel somatik yang memungkinkan timbulnya kelainan genetik.
Sedangkan kerusakan struktur kromosom berupa patahnya lengan kromosom yang
terjadi secara acak dengan peluang yang semakin besar dengan meningkatnya dosis
radiasi.
Bentuk aberasi kromosom yang dapat timbul akibat radiasi adalah:
1. Kromosom asentrik (fragmen asentrik)
adalah potongan kecil kromosom yang tidak mengandung sentromer.
Kromosom ini merupakan hasil dari terjadinya delesi atau pematahan pada
lengan kromosom, baik terminal atau interstisial.
2. Kromosom cincin (ring),
merupakan hasil penggabungan lengan kromosom dari dari satu kromosom
yang sama.
3. Kromosom disentrik,
adalah kromosom dengan dua buah sentromer sebagai hasil dari
penggabungan dua kromosom yang mengalami patahan
4. Translokasi
yaitu terjadinya perpindahan fragmen antar lengan dari kromosom yang sama
atau dari dua kromosom.
4
Di antara jenis kerusakan struktur kromosom, disentrik adalah yang paling
spesifik akibat radiasi. Dengan demikian jenis aberasi kromosom ini dapat digunakan
sebagai dosimeter biologis. Perubahan pada struktur kromosom merupakan indikator
kerusakan akibat pajanan radiasi pada tubuh yang sangat dapat diandalkan. Pemeriksaan
aberasi kromosom pada sel darah limfosit sebagai sel tubuh yang paling sensitif
terhadap radiasi, selain untuk memperkirakan tingkat keparahan efek radiasi dan risiko
pada kesehatan, juga dapat digunakan sebagai dosimeter biologi.
Aberasi kromosom dapat dibagi atas 2 kelompok utama yaitu aberasi tidak
stabil dan aberasi stabil. Kromosom disentrik dan cincin merupakan aberasi tidak stabil
karena sel yang mengandung kromosom ini akan mengalami kematian ketika
melakukan pembelahan sel. Dengan demikian, penggunaan kromosom disentrik sangat
terbatas oleh waktu karena jumlah sel yang mengandung kromosom ini akan terus
menurun bersama dengan bertambahnya waktu pasca pajanan radiasi. Analisis
frekuensi kromosom disentrik khususnya digunakan pada individu yang terpapar secara
akut akibat kerja atau dalam kasus kecelakaan radiasi yang harus dilakukan dalam
waktu secepatnya pasca paparan radiasi.
Translokasi merupakan aberasi kromosom bersifat stabil. Kromosom ini tidak
hilang dengan bertambahnya waktu karena sel yang mengandung kromosom bentuk ini
tidak mati ketika melakukan pembelahan sel. Dengan demikian adanya kromosom
translokasi akan sangat berguna untuk digunakan sebagai indikator kerusakan genetik 5
yang tetap ada meskipun dalam waktu yang lama setelah paparan radiasi atau sebagai
indikator dari terjadinya akumulasi kerusakan untuk pendugaan risiko akibat radiasi.
Analisis translokasi lebih sesuai bila digunakan untuk pemeriksaan paparan radiasi akut
atau kronik yang dapat dilakukan beberapa tahun kemudian setelah terpapar radiasi.
Translokasi berperan dalam perkembangan kelainan atau penyakit genetik dan dalam
karsinogenesis termasuk proses aktivasi onkogen yang menyebabkan sel normal
berkembang menjadi sel malignan. Dengan demikian pendeteksian adanya translokasi
akan menjadi sangat penting dalam memprediksi kemungkinan risiko kanker yang
mungkin diderita pada beberapa waktu kemudian. Tabel di bawah ini menunjukkan
hubungan antara aberasi kromosom dengan jenis kanker.
C. Interaksi radiasi dengan sel
Kerusakan yang terjadi pada DNA dan kromosom sel akan menyebabkan sel tetap
hidup atau mati yang sangat bergantung pada proses perbaikan yang terjadi secara
enzimatis. Bila proses perbaikan berlangsung dengan baik dan tepat/sempurna dan juga
tingkat kerusakan yang dialami sel tidak terlalu parah, maka sel bisa kembali normal
seperti keadaannya sebelum terpapar radiasi. Bila proses perbaikan berlangsung tetapi
tidak tepat maka akan dihasilkan sel yang tetap dapat hidup tetapi telah mengalami
perubahan. Artinya sel tersebut tidak lagi seperti sel semula, tetapi sudah menjadi sel yang
baru atau terubah/abnormal tetapi hidup. Selain itu, bila tingkat kerusakan yang dialami sel
sangat parah atau bila proses perbaikan tidak berlangsung dengan baik maka sel akan mati.
6
D. Radiosensitivitas Sel
Radiosensitivitas adalah tingkat sensitivitas terhadap paparan radiasi yang
berhubungan dengan kematian sel, khususnya kematian reproduktif sel. Yang dimaksud
dengan kematian reproduktif adalah hilangnya kemampuan sel untuk melakukan
pembelahan (proliferasi) setelah sel melakukan mitosis dua atau tiga kali. Radiosensitivitas
suatu sel bergantung pada faktor fisik, kimia dan biologi sel.
Faktor fisik antara lain meliputi LET radiasi, dosis, laju dosis, dan distribusi waktu
paparan radiasi (tunggal dan fraksinasi). Senyawa kimia dapat memodifikasi tingkat
radiosensitivitas sel yang dibedakan atas dua kelompok utama yaitu radioprotektor dan
radiosensitizer. Sedangkan faktor biologi sel yang dimaksud antara lain kemampuan sel
untuk melakukan proses perbaikan (repair) terhadap kerusakan pada DNA, posisi sel
dalam siklus sel, usia, dan pola penggantian populasi sel dalam jaringan/organ.
Penggantian populasi sel berhubungan dengan tingkat proliferasi atau kapasitas sel
untuk melakukan pembelahan dan tingkat diferensiasi sel atau derajat
perkembangan/kematangan sel. Sel yang paling sensitif adalah sel dengan tingkat
proliferasi yang tinggi (aktif melakukan pembelahan) dan tingkat diferensiasi yang rendah.
Sedangkan sel yang tidak mudah rusak akibat radiasi yaitu sel dengan tingkat diferensiasi
yang tinggi dan tidak melakukan pembelahan.
7
3. EFEK BIOLOGI RADIASI PADA TUBUH
Kerusakan sel akan mempengaruhi fungsi jaringan atau organ bila jumlah sel yang
mati/rusak dalam jaringan/organ tersebut cukup banyak. Semakin banyak sel yang
rusak/mati, semakin parah gangguan fungsi organ yang dapat berakhir dengan hilangnya
kemampuan untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan fungsi sel atau kematian
dari sejumlah sel menghasilkan suatu efek biologi dari radiasi yang bergantung antara lain
pada jenis radiasi (LET), dosis, jenis sel dan lainnya.
A. Klasifikasi efek radiasi
Pada tubuh manusia, secara umum terdapat dua jenis sel yaitu sel genetik dan
sel somatik. Sel genetik adalah sel oogonium (calon sel telur) pada perempuan dan sel
spermatogonium (calon sel sperma) pada laki-laki. Sedangkan sel somatik adalah sel-
sel lainnya yang ada dalam tubuh. Bila dilihat dari jenis sel, maka efek radiasi dapat
dibedakan atas efek genetik dan efek somatik. Efek genetik adalah efek radiasi yang
dirasakan oleh keturunan dari individu yang terkena paparan radiasi, sehingga disebut
pula sebagai efek pewarisan. Bila efek radiasi dirasakan oleh individu yang terpapar
radiasi maka disebut efek somatik.
Waktu yang dibutuhkan sampai terlihatnya gejala efek somatik sangat
bervariasi sehingga dapat dibedakan atas efek segera dan efek tertunda. Efek segera
adalah kerusakan yang secara klinik sudah dapat teramati pada individu terpapar
dalam waktu singkat (harian sampai mingguan) setelah pemaparan, seperti epilasi
(rontoknya rambut), eritema (memerahnya kulit), luka bakar dan penurunan jumlah
sel darah. Sedangkan efek tertunda merupakan efek radiasi yang baru timbul setelah
waktu yang lama (bulanan-tahunan) setelah terkena paparan radiasi, seperti katarak
dan kanker.
Bila ditinjau dari dosis radiasi (untuk kepentingan proteksi radiasi), efek
radiasi dibedakan atas efek deterministik dan efek stokastik. Efek deterministik yang
sebelumnya dikenal dengan efek non-stokastik, merupakan konsekuensi dari proses
kematian sel akibat paparan radiasi yang mengubah fungsi jaringan terpapar. Efek ini
dapat terjadi sebagai akibat dari paparan radiasi pada seluruh tubuh maupun lokal.
Efek deterministik timbul bila dosis yang diterima di atas dosis ambang (threshold
dose) dan umumnya timbul beberapa saat setelah terpapar. Tingkat keparahan efek
deterministik akan meningkat bila dosis yang diterima lebih besar dari dosis ambang.
Pada dosis lebih rendah dan mendekati dosis ambang, kemungkinan terjadinya efek
8
deterministik adalah nol. Sedangkan di atas dosis ambang, peluang terjadinya efek ini
menjadi 100%.
Tetapi sebenarnya, tidak ada batasan dosis ambang untuk dapat menimbulkan
perubahan pada sistem biologik. Serendah apapun dosis radiasi selalu terdapat
kemungkinan untuk menimbulkan perubahan pada sistem biologik baik pada tingkat
molekul maupun seluler. Dengan demikian radiasi dapat pula tidak membunuh sel
tetapi meubah sel dengan fungsi yang berbeda. Sel yang mengalami modifikasi atau
sel terubah ini mempunyai peluang untuk lolos dari sistim kekebalan tubuh yang
berusaha untuk menghilangkan sel seperti ini.
Bila sel yang mengalami perubahan ini adalah sel genetik maka sifat-sifat sel
yang baru tersebut akan diwariskan kepada turunannya sehingga timbul efek genetik
atau efek pewarisan. Apabila sel terubah ini adalah sel somatik maka sel-sel tersebut
dalam jangka waktu yang relatif lama, ditambah dengan pengaruh dari bahan-bahan
yang bersifat toksik lainnya, akan tumbuh dan berkembang menjadi jaringan ganas
atau kanker.
Paparan radiasi dosis rendah dapat meningkatkan risiko kanker yang secara
statistik dapat dideteksi pada suatu populasi, namun tidak secara serta merta terkait
dengan paparan individu. Semua efek yang terjadi akibat terjadinya proses modifikasi
atau transformasi pada sel dan terdeteksi secara statistik ini disebut efek stokastik
karena sifatnya yang acak. Dengan demikian, pada efek stokastik ini, tidak ada dosis
ambang dan akan muncul setelah masa laten yang lama. Peluang terjadinya efek
stokastik lebih besar pada dosis yang lebih tinggi, namun keparahannya tidak
bergantung pada dosis.
9
Perubahan atau kerusakan pada materi genetik dapat pula terjadi akibat
radiasi pada sitoplasma sel bahkan pada sel yang berada di sekitar atau berdekatan
dengan sel yang terpapar radiasi secara langsung. Efek biologi yang timbul pada sel
yang tidak dilintas radiasi secara langsung tetapi berada berdekatan dengan sel yang
secara langsung dilintas radiasi pengion disebut sebagai efek bystander. Penggunaan
single particle microbeam, memungkinkan sebuah sel tertentu untuk diirradiasi dan
efek biologi yang terjadi pada sel disekitarnya dapat diamati. Penelitian dengan
transfer medium dari sel yang diirradiasi ke sel yang tidak diirradiasi telah
menunjukkan bahwa sel yang diirradiasi mensekresikan suatu molekul/sinyal perusak
dan mentransfernya ke sel terdekat (bystander) melalui komunikasi antar sel, gap
junction. Efek bystander yang timbul berupa kematian sel, aberasi kromosom, mutasi
dan transformasi onkogenik.
A. Efek radiasi pada organ tubuh
Respon dari berbagai jaringan dan organ tubuh terhadap radiasi pengion
sangat bervariasi. Selain bergantung pada sifat fisik radiasi juga bergantung pada
10
karakteristik biologi penyusun jaringan/organ tubuh terpajan. Diketahui bahwa setiap
organ tubuh paling tidak tersusun dari 3 komponen yaitu pembuluh darah, jaringan
ikat atau penunjang dan jaringan parenkhim. Tingkat sensitivitas dari jaringan
penyusun organ berbeda-beda bergantung antara lain pada tingkat proliferasi atau
diferensiasi yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat sensitivitas dari organ
terhadap paparan radiasi.
1. Kulit
Efek deterministik pada kulit bervariasi dengan besarnya dosis. Paparan
radiasi sekitar 2-3 Gy dapat menimbulkan efek kemerahan (eritema) sementara yang
timbul dalam waktu beberapa jam dan kemudian menghilang. Beberapa minggu
kemudian, eritema akan kembali muncul sebagai akibat dari hilangnya sel stem/basal
pada epidermis. Dosis sekitar 3 – 8 Gy menyebabkan terjadinya kerontokan rambut
(epilasi) dan pengelupasan kulit (deskuamasi kering) dalam waktu 3 – 6 minggu
setelah paparan radiasi. Pada dosis yang lebih tinggi, sekitar 12 – 20 Gy, akan
mengakibatkan terjadinya pengelupasan kulit disertai dengan pelepuhan dan bernanah
(blister) serta peradangan akibat infeksi pada lapisan dalam kulit (dermis) sekitar 4 –
6 minggu kemudian. Kematian jaringan (nekrosis) timbul dalam waktu 10 minggu
setelah paparan radiasi dengan dosis lebih besar dari 20 Gy, sebagai akibat dari
kerusakan yang parah pada kulit dan pembuluh darah. Bila dosis yang di terima
mencapai 50 Gy, nekrosis akan terjadi dalam waktu yang lebih singkat yaitu sekitar 3
minggu.
11
Efek stokastik pada kulit adalah kanker kulit. Keadaan ini, berdasarkan studi
epidemiologi, banyak dijumpai pada para penambang uranium yang menderita kanker
kulit di daerah muka akibat paparan radiasi dari debu uranium yang menempel pada
muka. Hal yang sama juga terjadi pada pasien radioterapi yang menggunakan
orthovoltage (200 – 300 kVp) atau superficial x-rays (50 - 150 kVp).
2. Mata
Mata terkena paparan radiasi baik akibat dari radiasi lokal (akut atau protraksi)
maupun paparan radiasi seluruh tubuh. Lensa mata adalah struktur mata yang paling
sensitif terhadap radiasi. Kerusakan pada lensa diawali dengan terbentuknya titik-titik
kekeruhan atau hilangnya sifat transparansi sel serabut lensa yang mulai dapat
dideteksi setelah paparan radiasi sekitar 0,5 Gy. Kerusakan ini bersifat akumulatif dan
dapat berkembang sampai terjadi kebutaan akibat katarak. Tidak seperti efek
deterministik pada umumnya, katarak tidak akan terjadi beberapa saat setelah
paparan, tetapi setelah masa laten berkisar dari 6 bulan sampai 35 tahun, dengan
rerata sekitar 3 tahun.
3. Tiroid
Tiroid atau kelenjar gondok berfungsi mengatur proses metabolisme tubuh
melalui hormon tiroksin yang dihasilkannya. Kelenjar ini berisiko kerusakan baik
akibat paparan radiasi eksterna maupun radiasi interna. Tiroid tidak terlalu peka
12
terhadap radiasi. Meskipun demikian bila terjadi inhalasi radioaktif yodium maka
akan segera terakumulasi dalam kelenjar tersebut dan mengakibatkan kerusakan.
Paparan radiasi dapat menyebabkan tiroiditis akut dan hipotiroidism. Dosis ambang
untuktiroiditis akut sekitar 200 Gy.
Efek stokastik berupa kanker tiroid. Hal ini banyak terjadi sebagai akibat
paparan radiasi tindakan radioterapi (sampai 5 Gy) pada kelenjar timus bayi yang
menderita pembesaran kelenjar timus akibat infeksi. Paparan radiasi pada kelenjar
timus yang berada tepat di bawah kelenjar tiroid ini menyebabkan kelenjar tiroid juga
terirradiasi walaupun dengan dosis yang lebih rendah. Hal ini mengakibatkan individu
tersebut menderita kanker tiroid setelah dewasa.
4. Paru
Paru dapat terkena paparan radiasi eksterna dan interna. Efek deterministik
berupa pneumonitis biasanya mulai timbul setelah beberapa minggu atau bulan. Efek
utama adalah pneumonitis interstisial yang dapat diikuti dengan terjadinya fibrosis
sebagai akibat dari rusaknya sel sistim vaskularisasi kapiler dan jaringan ikat yang
dapat berakhir dengan kematian. Kerusakan sel yang mengakibatkan terjadinya
peradangan akut paru ini biasanya terjadi pada dosis 5 – 15 Gy. Perkembangan tingkat
kerusakan sangat bergantung pada volume paru yang terkena radiasi dan laju dosis.
Hal ini juga dapat terjadi setelah inhalasi partikel radioaktif dengan aktivitas tinggi
dan waktu paro pendek. Setelah inhalasi, distribusi dosis dapat terjadi dalam periode
waktu yang lebih singkat atau lebih lama, antara lain bergantung pada ukuran partikel
dan bentuk kimiawinya. Efek stokastik berupa kanker paru. Keadaan ini banyak
dijumpai pada para penambang uranium. Selama melakukan aktivitasnya, para
pekerja menginhalasi gas Radon-222 sebagai hasil luruh dari uranium.
5. Organ reproduksi
Efek deterministik pada organ reproduksi atau gonad adalah sterilitas atau
kemandulan. Paparan radiasi pada testis akan mengganggu proses pembentukan sel
sperma yang akhirnya akan mempengaruhi jumlah sel sperma yang akan dihasilkan.
Proses pembentukan sel sperma diawali dengan pembelahan sel stem/induk dalam
testis. Sel stem akan membelah dan berdiferensiasi sambil bermigrasi sehingga sel
yang terbentuk siap untuk dikeluarkan. Dengan demikian terdapat sejumlah sel
sperma dengan tingkat kematangan yang berbeda, yang berarti mempunyai tingkat
13
radiosensitivitas yang berbeda pula. Dosis radiasi 0,15 Gy merupakan dosis ambang
sterilitas sementara karena sudah mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah sel
sperma selama beberapa minggu. Dosis radiasi sampai 1 Gy menyebabkan
kemandulan selama beberapa bulan dan dosis 1 – 3 Gy kondisi steril berlangsung
selama 1 – 2 tahun. Menurut ICRP 60, dosis ambang sterilitas permanen adalah 3,5 –
6 Gy.
Pengaruh radiasi pada sel telur sangat bergantung pada usia. Semakin tua usia,
semakin sensitif terhadap radiasi. Selain sterilitas, radiasi dapat menyebabkan
menopouse dini sebagai akibat dari gangguan hormonal sistem reproduksi. Dosis
terendah yang diketahui dapat menyebabkan sterilitas sementara adalah 0,65 Gy.
Dosis ambang sterilitas menurut ICRP 60 adalah 2,5 – 6 Gy. Pada usia yang lebih
muda (20-an), sterilitas permanen terjadi pada dosis yang lebih tinggi yaitu 12 – 15
Gy, tetapi pada usia 40-an dibutuhkan dosis 5 – 7 Gy.
Efek stokastik pada sel germinal lebih dikenal dengan efek pewarisan yang
terjadi karena mutasi pada gen atau kromosom sel pembawa keturunan (sel sperma
dan sel telur). Perubahan kode genetik yang terjadi akibat paparan radiasi akan
diwariskan pada keturunan individu terpajan. Penelitian pada hewan dan tumbuhan
menunjukkan bahwa efek yang terjadi bervariasi dari ringan hingga kehilangan
fungsi atau kelainan anatomik yang parah bahkan kematian prematur.
6. Sistem Pembentukan Darah
Sumsum tulang sebagai tempat pembentukan sel darah, adalah organ sasaran
paparan radiasi dosis tinggi akan mengakibatkan kematian dalam waktu beberapa
minggu. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan secara tajam sel stem/induk
pada sumsum tulang. Dosis radiasi seluruh tubuh sekitar 0,5 Gy sudah dapat
menyebabkan penekanan proses pembentukan sel-sel darah sehingga jumlah sel darah
akan menurun.
Komponen sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih(lekosit) dan sel keping darah (trombosit). Sel lekosit dapat dibedakan atas sel
limfosit dan netrofil. Radiosensitivitas dari berbagai jenis sel darah ini bervariasi, sel
yang paling sensitif adalah sel limfosit dan sel yang paling resisten adalah sel eritrosit.
14
Jumlah sel limfosit menurun dalam waktu beberapa jam pasca paparan radiasi,
sedangkan jumlah granulosit dan trombosit juga menurun tetapi dalam waktu yang
lebih lama, beberapa hari atau minggu. Sementara penurunan jumlah eritrosit terjadi
lebih lambat, beberapa minggu kemudian. Penurunan jumlah sel limfosit absolut/total
dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat keparahan yang mungkin diderita
seseorang akibat paparan radiasi akut.
Efek stokastik pada sumsum tulang adalah leukemia dan kanker sel darah
merah. Berdasarkan pengamatan pada para korban bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki, leukemia merupakan efek stokastik tertunda pertama yang terjadi setelah
paparan radiasi seluruh tubuh dengan masa laten sekitar 2 tahun dan puncaknya
setalah setelah 6 – 7 tahun.
7. Sistem Pencernaan
Bagian dari sistim ini yang paling sensitif terhadap radiasi adalah usus halus.
Kerusakan pada saluran pencernaan makanan memberikan gejala mual, muntah, diare,
gangguan sistem pencernaan dan penyerapan makanan. Dosis radiasi yang tinggi
dapat mengakibatkan kematian karena dehidrasi akibat muntah dan diare yang parah.
Efek stokastik yang timbul berupa kanker pada epitel saluran pencernaan.
8. Janin
15
Efek paparan radiasi pada janin dalam kandungan sangat bergantung pada
kehamilan pada saat terpapar radiasi. Dosis ambang yang dapat menimbulkan efek
pada janin adalah 0,05 Gy. Perkembangan janin dalam kandungan dapat dibagi atas 3
tahap. Tahap pertama yaitu preimplantasi dan implantasi yang dimulai dari proses
pembuahan sampai menempelnya zigot pada dinding rahim yang terjadi sampai umur
kehamilan 2 minggu. Pengaruh radiasi pada tahap ini menyebabkan kematian janin.
Tahap kedua adalah organogenesis pada masa kehamilan 2 – 7 minggu. Efek yang
mungkin timbul berupa malformasi tubuh dan kematian neonatal. Tahap ketiga adalah
tahap fetus pada usia kehamilan 8 – 40 minggu dengan pengaruh radiasi berupa
retardasi pertumbuhan dan retardasi mental. Janin juga berisiko terhadap efek
stokastik dan yang paling besar adalah risiko terjadinya leukemia pada masa anak-
anak.
Kemunduran mental diduga terjadi karena salah sambung sel-sel syaraf di otak
yang menyebabkan penurunan nilai IQ. Dosis ambang diperkirakan sekitar 0,1 Gy
untuk usia kehamilan 8 - 15 minggu dan sekitar 0,4 - 0,6 Gy untuk usia kehamilan 16
- 25 minggu. Pekerja wanita yang hamil tetap dapat bekerja selama dosis radiasi yang
mungkin diterimanya harus selalu dikontrol secara ketat. Komisi merekomendasikan
pembatasan dosis radiasi yang diterima permukaan perut wanita hamil tidak lebih dari
1 mSv.
4. EFEK RADIASI AKIBAT KONTAMINASI INTERNA
Masuknya radionuklida ke dalam tubuh (kontaminasi interna) dapat melalui saluran
pernapasan (inhalasi), saluran pencernaan (ingesi) dan luka di kulit. Kontaminasi interna
dapat terjadi secara akut maupun kronis, langsung maupun tidak langsung (melalui beberapa
perantara pada jalur masuk).
Empat tahapan berlangsungnya kontaminasi interna yaitu :
(1) Masuk tubuh melalui jalan masuk;
(2) Penyerapan ke dalam darah atau cairan getah bening;
(3) Distribusi ke dalam tubuh dan akumulasi pada organ sasaran; dan
(4) Pengeluaran melalui urin, feses atau keringat.
Efek radiasi akibat masuknya radionuklida ke dalam tubuh dipengaruhi antara lain
oleh jumlah radionuklida yang masuk, jalan masuk ke dalam tubuh, sifat fisik radionuklida,
16
sifat kimiawi dan kinetikanya termasuk organ sasaran radionuklida. Tempat akumulasi
radionuklida ditentukan oleh jenis dan bentuk/susunan kimianya. Seperti yodium akan
menuju kelenjar gondok karena yodium adalah zat yang diperlukan untuk pembuatan hormon
tiroid. Strontium dan radium akan terakumulasi pada tulang dan cesium pada jaringan lunak.
Kontaminsi interna menjadi masalah efek tertunda ketika paparan kontaminan yang
relatif lama dari lingkungan dan memungkinkan materi radioaktif tersebut pindah ke dalam
tubuh dengan berbagai jalur ekologis. Masuknya radioisotop berumur panjang secara ingesi
menyebabkan letalitas akut yang lebih rendah karena paparan radiasi terjadi secara protraksi,
tetapi tetap dapat menginduksi kerusakan jaringan tertentu dan meningkatkan risiko kanker.
Inhalasi partikel radioaktif dapat berisiko menyebabkan kerusakan pada organ paru. Setelah
inhalasi, distribusi dosis dapat terjadi dalam periode waktu yang lebih singkat atau lebih
lama, antara lain bergantung pada ukuran partikel dan bentuk kimiawinya. Efek yang
mungkin timbul antara lain limpositopenia, leukositopenia, fibrosis, gangguan pernapasan,
dan edema yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Efek deterministik akut dapat pula terjadi akibat masuknya radionuklida ke dalam
tubuh. Sumber paparan interna yang menyebabkan efek deterministik akut meliputi ledakan
instalasi nuklir atau bom dan akibat pelanggaran peraturan dan kesalahan dalam administratif
radionuklida baik untuk tujuan medis atau penelitian. Biasanya, paparan relatif lambat pada
organ kritis yang menyebabkan perkembangan tanda-tanda klinik yang lambat pula.
17
Efek deterministik awal dapat terjadi akibat
(1) Deposisi radionuklida yang relatif homogen atau pada banyak organ dalam tubuh
(tritium, polonium dan cesium),
(2) Akumulasi dosis radiasi yang cepat (beberapa isotop iodin pada tiroid),
(3) Akumulasi dosis sangat tinggi pada tahap awal masuknya radionuklida atau
kontaminasi radionuklida pada kulit dan mukosa, dan
(4) Adanya radionuklida pemancar radiasi gamma (phosphor, stronsium, yitrium dan
radium).
Kerusakan pada sumsum tulang bergantung pada metabolisme radionuklida, laju dosis
dan distribusi. Ketika dosis dari radionuklida terjadi dalam rentang dosis 1 – 2 Gy pada
seluruh tubuh atau sumsum tulang dalam waktu 1 – 3 hari, penurunan sel sumsum tulang dan
SRA akan mungkin terjadi. Kasus seperti ini yang pernah terjadi adalah akibat kontaminasi
interna tritium dengan dosis kumulatif tubuh mencapai 10-12 Gy, kontaminasi phosphor
dengan dosis kumulatif tubuh 3 - 6 Gy yang menimbulkan kerusakan erithroid hematopoisis,
kontaminasi emas radioaktif dengan dosis lebih besar dari 4 Gy, dan kontaminasi Am-241
yang menimbulkan dosis kumulatif tubuh sampai 5,5 Gy dengan kerusakan limpopoiesis.
Selain itu juga kerusakan pada sistem endotelial retikular setelah masukan polonium dan
koloid emas.
Hasil studi menunjukkan bahwa paparan kronik radium dapat menginduksi kanker
tulang dengan masa laten minimum sekitar 7 tahun setelah paparan pertama. Risiko inhalasi
radium dihubungkan terutama dengan anak luruh radium yang mudah menempel pada
partikel debu, yaitu radon dan luruhannya. Radon-222 adalah anak luruh dari radium-226 dan
radon-220 adalah anak luruh dari radium-228. Partikel ini dapat dengan mudah terinhalasi
masuk ke dalam paru dan menetap pada lapisan mukosa saluran pernapasan. Anak luruh yang
tidak menempel lebih cenderung terinhalasi ke bagian yang lebih dalam pada sistem
pernapasan dan menetap lebih lama. Ketika partikel alfa meradiasi organ paru, sel pada
saluran pernapasan ini akan rusak dan berpotensi sangat besar terhadap inisiasi kanker paru.
Sumsum tulang dan selaput dalam serta luar tulang merupakan bagian tulang yang
peka terhadap radiasi. Kerusakan pada tulang biasanya sebagai akibat dari kontaminasi
interna oleh Sronsium-90 atau Radium-226. Efek stokastik berupa kanker pada sel epitel
selaput tulang. Para pekerja di pabrik jam banyak yang menderita kanker ini sebagai akibat
dari penggunaan radium sulfat sebagai bahan yang membuat angka pada jam menjadi
berpendar. 18
Kelenjar tiroid berisiko kerusakan tidak hanya akibat paparan radiasi eksterna, tetapi
juga akibat paparan radiasi interna. Inhalasi bahan radioaktif yodium akan segera
terakumulasi dalam kelenjar tersebut dan mengakibatkan kerusakan. Selain dapat
menyebabkan tiroiditis dan hipotiroidism, juga terdapat kemungkinan pembentukan kanker
tiroid.
5. RESIKO KANKER AKIBAT RADIASI
Fakta dari studi epidemic radiasi membuktikan bahwa paparan radiasi dapat
meningkatkan kebolehjadiannya kanker. Diasumsikan bahwa resiko kanker bervariasi secara
linear dengan dosis bahwa terdapat suatu kepastian akan resiko bahkan pada dosis yang
sangat rendah. Dosis radiasi, sekecil apapun,diasumsikan memiliki resiko terhadap kesehatan
individu terpapar. Dengan meningkatnya dosis, keparahan kanker itu sendiri tidak
meningkattetapiprobabilitas akan resiko terbentuknya kanker yang meningkat. Ini sering
dianalogkan dengan rokok cigarette yang meningkatkan probabilitas kanker paru dan
probabilitas ini meningkat dengan jumlah cigarette yang dikonsumsi, tetapi tidak semua
individu yang merokok akan menderita kanker paru.
Data utama tentang resiko kanker yang diinduklsi radiasi berasal dari life span study
pada korban bom atom di Jepang. Informasi ini ditambah dengan data dari study pada
populasi yang terpapar radiasi akibat tindakan medis, seperti pasien ankylosing spondylitis,
pasien pembesaran timus dan lainnya. Juga diperoleh data dari individu yang pada masa lalu
terpapar radiasi akibat kerja khususnya penambang uranium dan bekerja di pabrik jam.
Sangat sulit untuk membuat suatu kajian resiko kanker sepanjang hidup seseorang
sebagai fungsi dosis. Hubungan antara dosis radiasi dengan kemungkinan timbulnya efek
stokastik dapat diekspresikan sebagai faktorresiko, yaitu probabilitas terjadinya sebuah efek
stokastik persievert radiasi. Dengan demikian kemungkinan, Kebolehjadian suatu efek
stokastik = Dosis (Sv) x Faktor resiko (Sv-1) .
Perhitungan resiko kanker melibatkan faktor resiko yang bervariasi pada setiap bagian
tubuh yang berbeda. ICRP telah memberikan perkiraan probabilitas kanker fatal yang
diinduksi radiasi yang ditampilkan pada table 7. Dari tableini setiap individu dapat beresiko
total terhadap semua kanker per sievert irradiasi seluruh tubuh dan kemungkinan ada
kontribusi dari setiap resiko fraksional pada organ tubuh yang berbeda. Perkiraan resiko
fraksional berdasarkan irradiasi local pada tubuh, khususnya ketika sebuah radionuklida
masuk dalam tubuh dan terkonsentrasi pada organ tertentu.19
Terdapat ketidakpastian dalam memperkirakan resiko kanker karena sangat
bergantung pada data yang dieksplorasi dari paparan radiasi dosis tinggi dan bagaimana
ekstrapolasi dilakukan. Resiko pada individu atau kelompok individu akan bergantung pada
beberapa faktor seperi usia, seks dan ras.
20