paper toksikologi

21
TUGAS PAPER FARMAKOLOGI I TOKSIKOLOGI Disusun Oleh : Endah Fitriyastuti (201010410311024) Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan

Upload: quin-boa-hancock

Post on 03-Aug-2015

116 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Toksikologi

TUGAS PAPER FARMAKOLOGI I

TOKSIKOLOGI

Disusun Oleh :

Endah Fitriyastuti (201010410311024)

Program Studi Farmasi

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Malang

Thn. Ajaran 2011/2012

Page 2: Paper Toksikologi

Toksisitas Opioid

A. Pendahuluan

Seratus tahun yang lalu belum ada obat – obat antibiotik, obat

hormonal, atau antipsikotik. Sesungguhnya belum ada obat – obat yang

betul bermanfaat, namun beberapa jenis morfin secara efektif telah

menghilangkan nyeri yang hebat. Obat – obat ini juga dapat mengontrol

diare, batuk, ansietas, dan insomnia,. Dengan alasan ini Sir William Osler

menamakan morfin sebagai “obat dewa” (God’s own medicine). Opioid

adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan

reseptor morfin, misalnya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik

yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat

pembedahan dan nyeri paska pembedahan.

Opioid merupakan salah tertua di dunia dikenal obat, penggunaan dari

opium poppy untuk manfaat terapeutik mendahului sejarah. Para analgesik

(penghilang rasa sakit) efek opioid adalah karena persepsi penurunan nyeri,

penurunan reaksi terhadap nyeri serta toleransi sakit meningkat.  Efek

samping opioid termasuk sedasi, depresi pernafasan, sembelit, dan rasa kuat

euforia.

Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga

opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid

opium, termasuk morfin. Nama Opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu

suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya

menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium. Opiat alami lain atau

opiat yang disintesis dari opiat alamai adalah heroin (diacethylmorphine),

kodein (3-methoymorphine), dan hydromorphone (dilaudid)..

Opioid mengikat reseptor opioid spesifik dalam sistem saraf pusat dan

jaringan lain. Ada tiga kelas utama reseptor opioid, μ, κ, δ (mu, kappa, dan

delta), meskipun hingga tujuh belas telah dilaporkan, dan termasuk ε, ι, λ,

dan ζ reseptor (Epsilon, Iota, Lambda dan Zeta). Sebaliknya, σ (Sigma)

reseptor tidak lagi dianggap opioid reseptor karena: aktivasi mereka tidak

dikembalikan oleh opioid invers-agonist naloxone, mereka tidak

Page 3: Paper Toksikologi

menunjukkan tinggi-affinity mengikat untuk opioid klasik, dan mereka

stereoselektif untuk dextro-rotatory isomer sementara reseptor opioid lain

stereo-selektif untuk isomer laevo-rotatory.

B. Klasifikas Opioid

Yang termasuk golongan opioid ialah :

obat yang berasal dari opium-morfin

senyawa semisintetik morfin

senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.(2)

Didalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan

kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak

didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid

kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan

nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah.

Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin,

dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain)

dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat

Opioid dapat digolongkan menjadi :

1.Agonis opoid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat

mengaktifkan , dan mungkin pada reseptor k contoh : morfin, m reseptor,

terutama pada reseptor papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil,

alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.

2.Antagonis opioid

Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada

semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang

reseptor, contoh : nalokson.

Page 4: Paper Toksikologi

3.Agonis-antagonis (campuran) opioid

Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja

sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis

lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol,

bufrenorfin.

C. Efek Opioid yang Digunakan Secara Klinis

Morfin dan kebanyakan agonis opioid lain yang digunakan secara

klinis memberikan efeknya melalui reseptor opioid µ. Obat ini

menyebabkan analgesia, mempengaruhi mood dan perilaku puas (rewarding

behavior) dan mengubah fungsi pernapasan, kardiovaskular,

gastrointestinal, dan neuroendokrin.

Senyawa agonis-antagonis campuran dikembangkan untuk

penggunaan klinis dengan harapan bahwa senyawa ini akan memiliki

potensi adiktif dan depresi pernafasan lebih kecil dibandingkan morfin dan

obat lain yang sejenis. Beberapa obat agonis-antagonis campuran, seperti

pentazosin dan nalorfin, dapat menyebabkan efek psikotomimetik parah

yang tidak terpulihkan dengan nalokson. Juga penazosin dan nalorfin dapat

menyebabkan reaksi putus obat pada pasien yang toleran-opioid.

D. Efek yang Tidak Diinginkan dan Tindakan Pencegahan

Morfin dan opioid terkait menyebabkan efek yang tidk diinginkan

dengan spekturm luas, meliputi depresi pernafasan, mual, muntah, pusing,

gangguan mental (kesedihan, cemas dan marah), disforia, pruritus,

konstipasi, peningkatan tekanan dalam saluran empedu, retensi urin, dan

hipotensi.

Semua analgesik opioid dimetabolisme oleh hati, dan obat ini harus

digunakan dengan hati-hati pada pasien yang menderita penyakit hepatik,

karena dapat terjadi peningkatan ketersediaan hayati setelah pemberian oral

atau terjadi efek kumulatif (Sawe et al., 1982). Walaupun morfin dosis

tunggal ditolerir dengan baik, metabolit aktifnya yaitu morfin-6-glukuronid,

dapat berakumulasi dengan pemberian berlanjut yang dapat mengakibatkan

Page 5: Paper Toksikologi

gejala overdosis opioid (Chan and Matzke, 1987). Metabolit ini juga dapat

berakumulasi selama pemberian berulang kodein pada pasien dengan

kerusakan fungsi renal. Bila pasien yang mengalamai kerusakan fungsi

ginjal diberi meperidin dosis berulang, akumulasi normeperidin dapat

menyebabkan tremor dan siezure (Kaioko et al., 1983). Sama halnya,

pemberian berulang prokposifen dapat menyebabkan toksisitas kardiak yang

tidak peka terhadap nalokson yang disebabkan oleh akumulasi

norpropoksifen (Chan an Matzke, 1987)

E. Toksisitas Opioid Akut

Toksisitas opioid akut dapat disebabkan oleh overdosis klinis,

overdosis yang tidak disengaja pada pecandu, atau upaya bunuh diri. Suatu

tipe toksisitas tertunda dapat terjadi dari injeksi opioid pada daerah kulit

yang dingin atau pada pasien dengan tekanan darah rendah dan syok.

Sulit menentukan jumlah pasti opioid yang toksik atau mematikan bagi

manusia. Pengalaman baru-baru ini dengan metadon menunjukan bahwa

pada individu nontoleran, toksisitas parah dapat terjadi setelah ingestioral

40-60 mg. Pustaka lama menunjukan bahwa pada kasus morfin, seorang

dewasa normal dan tidak sedang nyeri kemungkinan tidak meninggal

setelah pemberian dosis oral kurang lebih 120 mg atau tidak akan

menunjukkan toksisitas serius setelah pemberian kurang dari 30 mg secara

parenteral.

Gejala dan Diagnosis

Pasien yang mengalami overdosis opioid biasanya

kesadarannya hilang atau bila dosis sangat berlebih dapat terjadi

koma. Laju pernapasan akan sangat lambat, atau pasien dapat

mengalami apnea, dan sianosis dapat terjadi. Begitu pertukaran

respirasi menurun, tekanan darah yang pada awalnya mungkin

mendekati normal, akan turun secara progresif. Jika oksigenasi

yang memadai pulih lebih awal, tekanan darah akan membaik ;

jikahipoksia tetap tidak tertangani mungkin terjadi kerusakan

kapiler dan mungkin diperlukan langkah untuk mengatasi syok.

Page 6: Paper Toksikologi

Pupil akan menjadi simetris dan ukurannya sangat kecil; tetapi

bila hipoksia parah, pupil dapat terdilatasi. Pembentukan urine

ditekan. Suhu tubuh menurun, dan kulit menjadi dinginn dan

lembab. Otot rangka lemah, rahang terlelaksasi, dan lidah dapat

terbalik ke belakang dan memblok saluran pernafasan.

Jika terjadi kematian, hampir selalu karena kegagalan

pernapasan. Meskipun pernapasan pulih, kematian masih mungkin

terjadi karena komplikasi yang berkembang selama periode koma,

seperti pnemonia atau syok. Edema pulmo nonkardiaogenik

umumnya terlihat pada keracunan opioid. Hal ini kemungkinan

bukan karena kontaminan atau bukan karena reaksi anafilaktoid,

dan gejala ini treramati setelah pemberian dosis toksik morfin

metadon, propoksifen, dan heroin.

Tiga gejala berikut yaitu koma, pupil mengecil, dan depresi

pernapasan merupakan petunjuk kuat keracunan opioid. Keracunan

campuran tidak jarang terjadi. Pemeriksaan obat pada urin dan isi

lambung dapat membantu diagnosis, tetapi biasanya hasil

pemeriksaan terlalu terlambat untuk berperan adlam penanganan.

Penanganan

Langkah pertama adalah menormalkan saluran pernapasan dan

memelihara ventilasi pasien. Antagonis opioid dapat memulihkan

depresi pernapasan parah, dan antagonis nalokson merupakan obat

pilihan. Penanganan harus hati-hati utuk menghindari terpicunya

reaksi putus obat pada pasien yang mengalami ketergantungan

yang mungkin sangat peka terhadap antagonis.

Pendekatan yang paling aman adalah dengan mengencerkan

dosis nalokson standar (0,4 mg) dan memberikan secara perlahan

melalui intravena, memonitor perangsangan dan fungsi pernapasan.

Untuk memulihkan keracunan opioid padan anak-anak, dosis

awal nalokson adalah 0,01 mg/kg. Jika tidak ada efek yang terlihat

setelah pemberian dosis total sebesar 10 mg, ketepatan diagnosis

Page 7: Paper Toksikologi

dapat dipertanyakan. Edema pulmonal yang kadang-kadang

dikaitkan denga overdosis opioid dapat ditangani dengan respirasi

tekanan positif.

Adanya depresan umum SSP tidak menghalangi manfaat efek

nalokson dan jika terjadi intoksikasi campuran, keadaanya akan

membaik terutama karena kerja antagonisme efek depresan

pernapasan opioid. Tetapi beberapa bukti menunjukan bahwa

nalokson dan naltrekson juga dapat mengantagonis beberapa kerja

depresan sedatif-hipnotik.

F. Contoh Toksisitas Opioid

○ Propoksifen

Bila diberikan secara oral, potensi propoksifen sekitar sepertiga

potensi kodein oral dalam mendepresi pernapasan. Dosis toksik

sedang biasanya menyebabkan depresi SSP dan pernapasan,

tapi dengan dosis yang lebih besar lagi, selain depresi

pernapasan gambaran klinisnya dapat diperumit oleh konvulsi.

Teramati pula adanya delusi, halusinasi, kebingungan,

kardiotoksisitas, dan edema pulmonal.

Tabel keracunan dengan tindakan terapinya

Nama Zat Mekanisme Keracunan Perkiraan

dosis toksik

Tanda dan gejala Terapi

Kodein

(opiat

lain)

Kodein dan opiat lain

menstimulasi beberapa

reseptor di SSP,

menyebabkan sedasi

dan penurunan jaras

simpatis. Efek opiat

yang berlebihan dapat

menyebabkan koma dan

depresi saluran napas.

Mual, muntah,

pusing, kulit

dingin, pupil kecil.

Depresi nafas.

Koma.

Bila ada depresi

napas, berikan

nalokson HCl 5-10

mg.

Bila tidak ada

depresi nafas

simtomatik saja.

Page 8: Paper Toksikologi

Morfin Menstimulasi beberapa

reseptor di SSP,

menyebabkan sedasi

dan penurunan jaras

simpatis. Efek opiat

yang berlebihan dapat

menyebabkan koma dan

depresi saluran napas.

120-150 mg

60 mg

berbahaya

Mual, muntah,

pusing, kulit

dingin, pupil kecil.

Depresi nafas.

Koma.

Bila ada depresi

napas, berikan

nalokson HCl 5-10

mg.

Bila tidak ada

depresi nafas

simtomatik saja.

Page 9: Paper Toksikologi

Toksisitas Heroin

A. Pendahuluan

Heroin (diasetil morfin) termasuk golongan opioid agonis dan

merupakan derivat morfin yang terbuat dari morfin yang mengalami

asetilasi pada gugus hidroksil pada ikatan C3 dan C6.

Nama lain dari heroin antara lain : smack, junk, china ehirte, chiva,

black tar, speed balling, dope, brown, dog, negra, nod, whitehores, stuff.

Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan

reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga

mempengaruhi transmisidan modulasi nyeri.

Heroin diabsorpsi dengan baik di subkutaneus, intramuskular dan

permukaan mukosa hidung atau mulut. Heroin dengan cepat masuk ke

dalam darah dan menuju kedalam jaringan. Heroin menembus sawar otak

lebih mudah dan cepat daripada morfin atau golongan opioid lainnya.

Heroin diekskresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan dalam 24 jam

pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urine 48 jam heroin dalam

tubuh.

B. Akibat yang Timbul Akibat Pemakaian Heroin

Menurut national Institute Drug Abuse (NIDA) dibagi menjadi efek

segera (short term) dan efek jangka panjang (long term).

Efek Segera ( short term) Efek jangka panjang ( long term)

Gelisah Addiksi

Depresi pernafasan HIV, hepatitis

Fungsi mental berkabut Kolaps vena

Mual dan muntah Infeksi bakteri

Menekan nyeri Penyakit pare (pneumonia, TBC)

Abortus spontan Infeksi jantungdan katupnya

Page 10: Paper Toksikologi

○ Pengaruh terhadap wanita hamil

- Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir

prematur

- Bayi yang lahir memiliki resiko tinggi mengalami gejala

with drawl dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi

tambah gelisah, agitasi, sering menguap, bersin dan

menangis, gemetar, muntah, diare dan pada beberapa kasus

terjadi kejang umum.

○ Komplikasi neurologis yang dapat terjadi akibat penggunaan

heroin

- Edema serebri

- Myelitis

- Postanoxia encephalopathy

- Crush injury

- Gangguan koordinasi, kesulitan berbicara

C. Toksisitas dan Efek Lain yang Tidak Diinginkan dari

Pemakaian Heroin

Intoksisitas Akut

Dosis toksik 500 mg untuk bukan pecandu, dan 1800 mg untuk

pecandu narkotik. Gejala overdosisnya biasanya timbul beberapa

saat setelah pemberian obat.

Gejala Intoksistas Akut (Overdosis)

◦ Kesadaran menurun, sopor – koma

◦ Depresi pernapasan, frekuensi pernapasan rendah 2-4 kali

semenit dan pernapasan mungkin bersifat Cheyene Stokes

◦ Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif

◦ Tampak sianotik , kulit muka kemerahan secara tidak

merata

Page 11: Paper Toksikologi

◦ Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi

hipotensi apabila pernapasan memburuk dan terjadi syok

◦ Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin

◦ Bradikardi

◦ Edema paru

◦ Kejang

Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernapasan.

Angka kematian meningkat bila pecandu narkotik

menggabungkannya dengan obat-obatan yang menimbulkan reaksi

silang seperti alkohol, tranquilizer.

- Angka kematian heroin + alkohol : 40%

- Angka kematian heroin + tranquilizer : 30%

D. Penanganan Toksisitas Heroin

Intoksisitas akut (over dosis)

- Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin

- Oksigenasi yang adekua

- Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 – 2,0 mg IV (anak-anak

0,01 mg/kgBB). Efek naloxone terlihat dalam 1-3 menit

dan mencapai puncaknya pada 5-10 menit. Bila tidak ada

respon naloxone 2 mg dapat diulangi setiap 5 menit hingga

maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki

derajat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran pupil.

Intoksisitas kronis

○ Hospitalisasi

Dilakukan untuk pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk :

1. Terapi kondisi withdrawl

2. Terapi detoksifikasi

3. Terapi rumatan (maintenance)

4. Terapi komplikasi

5. Terapi aftercare

Page 12: Paper Toksikologi

Tujuan lain dari hospitalisasi adalah membantu pasien

agar dapat mengidentifikasi konsekuensi yang diperoleh

sebagai penggunaan dan memahami resikonya bila terjadi

relaps. Dari segi mental hospitalisasi membantu

mengendalikan suasana perasaannya seperti depresi, paranoid,

quality feeling karena penyesalan perbuatannya di masa lalu,

destruksi diri, dan tindak kekerasan.

E. Farmakoterapi

1. Terapi withdrawl I opioid

○ Withdrawl I opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan

dengan gangguan psikologis dan distress fisik yang cukup kuat.

○ Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat

dengan menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea, dan

keringat berlebihan.

2. Terapi detoksifikasi adiksi opioid

○ Metadon merupakan drug of choice dalam terapi etoksifikasi

adiksi opioid. Dosis metadon yang dianjurkan untuk terapi

detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg perhari

peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai ditappering off

dalam 1-3 minggu.

○ Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingualsetiap 2-3 x

seminggu).

○ Rapid detoxification yang mempersingkat waktu terapi

detaksifikasi dan memudahkan pasien untuk segera masuk

dalam terapi opiat antagonis.

3. Terapi rumatan (maintenance)

○ Metadon dan Levo alfa asetyl : methadol merupakan standar

terapi rumatan adiksi opioid. Untuk terapi maintenance dosis

metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari).

Page 13: Paper Toksikologi

○ Buprenorphine dapat pula digunakan sebagai terapi ruwatan

ngan dosis antara 2-20 mg/hari.

○ Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai

motivasi tinggi untuk berhenti. Diberikan setiap hari 50-100

mg peroral untuk 2-3 kali seminggu.

4. Terapi aftercare

Meliputi upaya pemanfaatan dalam bidang fisik, mental,

keagamaan, komunikasi-interaksi sosial, edukasional, bertujuan

untuk mencapai kondisi perilaku yang lebih baik dan fungsi yang

lebih baik dari seorang mantan penyalahguna zat . peranan keluarga

sangat diperlukan.

Page 14: Paper Toksikologi

Daftar Pustaka

Godman & Gilman. Dasar Farmakologi Terapi. Volume I. Edisi 10. 2008.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. EGC.

Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. 2009. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

http://www.ebookkedokteran.com/efek-neurologis-pada-penggunaan-heroin--

putauw

http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/09/04/keracunan-opiat/