spinal anestesia
Post on 14-Aug-2015
97 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi Regional atau anestesi lokal merupakan Penggunaan obat analgetik lokal
untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh
diblokir untuk sementara (reversible) fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau
seluruhnya dan dalam keadaan penderita tetap sadar.
Anestesi regional dibandingkan dengan anestesi umum mempunyai banyak
keuntungan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang kecil, menghasilkan
analgesi yang adekuat dan mampu mencegah respon stress secara lebih sempurna. Anestesi
spinal saat ini sering digunakan untuk pembedahan perut bagian bawah, urologi dan
ekstremitas bawah. Obat yang paling sering digunakan pada anestesi spinal yaitu bupivacaine
0,5% karena memiliki kecenderungan yang lebih menghambat sensoris dari pada motoris.
Benign Prostate Hypertrofia (BPH) adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral
prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat
gangguan miksi yang disebut IPSS (International Prostate Symptom Scoring). Terapi bedah
dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi. Dalam prakteknya
pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara
penanganan. Penatalaksanaan BPH meliputi observasi, medikamentosa (penghambat
adrenergik , fitoterapi, hormonal), operatif dengan prostatektomi terbuka ataupun
endurologi seperti TUR (Trans Urethral Resection) atau TUIP (Trans Urethral Incision of
Prostate). Dapat juga dilakuak pembedahan dengan laser.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI SPINAL1
Anestesi spinal atau blok subarkhnoid adalah salah satu teknik anestesi dengan cara
menyuntikan obat anestesi lokal kedalam ruang subaraknoid di regio lumbal anatara L2-
3, L3-4 atau L4-5, untuk menimbulkan atau menghilangkan sensai dan blok motorik.
Faktor yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis obat, berat jenis
obat, penyebaran obat, posisi tubuh, efek vasokonstriksi, tekanan intra abdomen,
lengkung tulang belakang, dan usia pasien.
Anestesi spinal diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul
dan perineum, serta pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi dan urologi.
Obat anestesi spinal ideal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi
syarat-syarat berikut : blokade sensorik dan motorik yang dalam, efek kerja cepat,
pemulihan blokade motorik cepat sesudah pembedahan sehingga mobilisasi lebih cepat
diperbaiki, toleransi baik dalam dosis tinggi dengan resiko toksisitas sistemik yang
rendah.
Golongan obat anestesi lokal :
Amide : - Lidokaine/ xylocaine
- Bupivacaine (marcaine)
- Etidokaine
- Levobupivacaine
Ester : - Procaine (novocaine)
- Tetrakaine (pantocaine)
- Kokain
2
Perbedaan Ester dan Amide
Ester Amide
Rekatif tidak stabil dalam bentuk
larutan
Dimetabolisme dalam plasma oleh
enzym pseudocholinesterase.
Masa kerja pendek.
Relatif tidak toksik.
Dapat bersifat alergen, karena
strukturnya mirip PABA (para amino
benzoic acid).
Lebih stabil dalam bentuk larutan
Dimetabolisme dalam hati
Masa kerja lebih panjang.
Tidak bersifat alergen.
3
Obat spinal anestesi memiliki 3 tipe :
1. Tipe isobarik :
Berat jenis obat sama dengan berat jenis liquor cerebro spinal. Pada tipe ini,
kerja obat didaerah penyuntikan.
2. Tipe hipobarik
Berat jenis obat lebih kecil dari pada berat jenis liquor cerebro spinal. Pada
tipe ini, kerja obat di atas daerah penyuntikan.
3. Tipe hiperbarik
Berat jenis obat lebih besar dari pada berat jenis liquor cerebro spinal. Pada
tipe ini, kerja obat di bawah daerah penyuntikan.
Obat Anestesi Golongan Ester2
1. Kokain
Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik, bersama dengan morfin dan heroin.
Kokain masih digunakan sebagai anestetik lokal, khususnya untuk pembedahan mata,
hidung dan tenggorokan, karena efek vasokonstriksifnya yang membantu.
2. Prokain
Prokain, obat anestesi sintetik yang pertama kali dibuat, merupakan derivat-benzoat
yang disintesa pada tahun 1905 (Einhorn) dengan sifat yang tidak begitu toksik
dibandingkan Kokain. Prokain hanya digunakan sebagai injeksi dan sering kali
bersamaan dengan adrenalin untuk memperpanjang daya kerjanya. Sebagai anestetik
lokal, prokain sudah banyak digantikan oleh lidokain dengan efek samping yang lebih
ringan. Berlainan dengan kokain zat ini tidak memberikan adiksi.
3. Tetrakaine
Tetrakain (Pontocaine) adalah obat anestesi lokal yang biasanya digunakan sebagai
obat untuk diagnosis atau terapi pembedahan. Salah satu anastetik lokal yang dapat
digunakan secara toikal pada mata adalah Tetrakain Hidroklorida. Untuk Pemakaian
topikal pada mata digunakan larutan Tetrakain Hidroklorida 0,5%. Kecepatan
anastetik Tetrakain Hidroklorida 25 detik dengan durasi aksinya selama 15 menit atau
lebih.
4
Obat Anestesi Golongan Amide:2
1. Bupivacain
Bupivacain adalah derivat butil dari mepivacain yang tiga kali lebih kuat dari pada
asalnya. Bupivacain memiliki kecenderungan yang lebih menghambat sensoris dari
pada motoris, sehingga obat ini banyak digunakan. Bupivacain isobarik biasanya
menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4ml dan dosis total 15-20mg, sedangkan
hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-
22,5mg.
Bupivacain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Pada
dosis 0,25-0,375% merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik pasca bedah.
Konsentrasi 0,5-0,75% digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25-
0,5%, blok saraf tepi 0,25-0,5%, epidural 0,5-0,75%, spinal 0,5%. Dosis maksimal
pada pemberian tunggal adalah 175mg. Dosis rata-ratanya 3-4mg/kgBB.
Bupivacaine efektif untuk pengelola nyeri, akan tetapi obat ini memiliki efek
samping berupa hipotensi, bradikardi, mual, muntah, kejang, alergi, sakit kepala, nyeri
pinggang, retensi urin dan henti nafas. Metabolismenya di hepar dengan mulai kerja
lambat 5-10 menit dan lama kerja panjang 75-150 menit, sehingga menguntungkan
untuk pembedahan bagian bawah, urologi dan ekstremitas bawah.
Farmakologi : bupivacain bekerja menstabilkan membran neuron dengan cara
menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus yang diperlukan dalam memulai
dan menghantarkan impuls. Hidrasi cairan (10-20ml/kg larutan NS atau RL), obat
vasopresor dapat digunakan sebagai profilaksis hipotensi.
Berdasarkan penelitian, bupivacain isobarik mempunyai efek kerja 5 menit lebih
cepat dibandingkan hiperbarik, lama kerja blokade sensorik dan motorik 2 kali lebih
panjang.
Bupivacaine 0,5% 15mg hiperbarik dibandingkan isobarik pada operasi TURP
(Trans Urethral Resection Prostatectomy) mengahsilkan blokade sensorik lebih lama
dan mengurangi nyeri post operasi yang lebih baik.
5
2. Lidokain
Lidokain (xylocaine) adalah anestetik lokal kuat ( potensi bagus ) yang digunakan
secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Larutan lidokain 0,5% digunakan
untuk anestesia infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2% untuk anestesia blok dan topikal.
Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap anestetik
lokal golongan ester. Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anestesia
infiltrasi, blokade saraf, anestesia spinal, anestesia epidural ataupun anestesia kaudal,
dan secara setempat untuk anestesia selaput lendir. Pada anestesia infiltrasi biasanya
digunakan larutan 0,25-0,50% dengan atau tanpa epinefrin. ; untuk anestesia infiltrasi
dengan mula kerja 5 menit dan masa kerja kira-kira 1 jam dibutuhkan dosis 0,5-1,0
mL. Untuk blokade saraf digunakan 1-2 mL. Efek samping lildokain berupa perasaan
mengantuk, pusing, parestesia, kedutan otot, gangguan mental, koma, dan bangkitan.
Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau
oleh henti jantung.
3. Etidokain
Etidocaine HCl digunakan untuk anasesi infiltrasi, perpheral nerve blok (pada
Brachial Plexus, intercostals, retrobulbar, ulnar dan inferior alveolar) dan pusat neural
blok ( Lumbal atau Caudal epidural blok).
4. Levobupivacaine
Jika dibandingkan dengan buvicaine, levobupivacaine menyebabkan lebih sedikit
vasodilatasi dan memiliki duration of action yang lebih panjang. Obat ini memiliki
sekitar 13 persen daya potensil (melalui molaritas) lebih rendah daripada golongan
buvicaine. Levobupivacaine`didindikasikan untuk loakl anestesi meliputi infiltrsi,
blok nervus, ophtalmic, dan anestesi epidural
6
Kriteria pemulihan pada spinal anastesia
Kriteria pemulihan pada spinal anastesia yaitu dengan Bromage Score
Score kurang lebih sama dengan 2, pasien boleh pindah ke ruang perawatan.
Penatalaksanaan Anastesia pada operasi BPH1
Operasi hipertrofi prostat pada umumnya dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu :
reseksi trans-uretrae dan prostatektomi terbuka. Usia tua dengan segala
permasalahannya dan kemungkinan adanya gangguan fungsi ginjal akibat obstruksi.
Masalah pada reseksi trans-uretrae yaitu posisi litotomi, penyulit cairan irigasi, bisa
menimbulkan intoksikasi air dengan segala akibatnya, perdarahan sulit dipantau, dan
luka bakar listrik. Sedangkan pada prostatektomi terbuka adalah manipulasi rongga
pelvis dan perdarahan.
7
Penatalaksanaan Anastesi dan Reanimasi
Evaluasi
Penilaian status pasien
Evaluasi status generalisdengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang lain
sesuai dengan indikasi
Evaluasi khusus terhadap fungsi paru, kardiovaskular dan saraf otot berkaitan
dengan usia dan rencana pilihan anastesia blok spinal
Persiapan praoperatif
Persiapan rutin
Persiapan khusus :
- Donor darah
- Kanulasi vena sentral untuk memantau intoksikasi air (dilakukan pada
kasus resiko tinggi terjadinya penyulit payah jantung kongestif)
Pilihan Anastesinya
Pada reaksi trans-uretrae :
Analgesia regional blok spinal subarakhnoid atau epidural
Pada prostatektomi terbuka :
- Analgesia regional blok spinal subarakhnoid atau epidural
- Pada pasien gemuk atau terdapat penyulit untuk analgesia regional,
diberikan anastesia umum inhalasi (PET) atau anastesia imbang dengan
nafas kendali
Terapi cairan dan transfusi darah
Pada perdarahan yang terjadi < 20% dari perkiraan volume darah pasien diberikan
cairan pengganti kristaloid atau koloid, tetapi apabila terjadi perdarahan >20% dari
perkiraan volume darah pasien, berikan transfusi darah.
8
Pasca Bedah
Pasien tanpa resiko :
- Dirawat di ruang pilih sesuai dengan tatalaksana pasca anastesia
- Perhatian terhadap usaha penanggulangan nyeri luka operasi dan nyeri akibat
tarikan fiksasi kateter urin
- Perhatian juga ditujukan pada kelancaran aliran caiiran irigasi buli-buli untuk
mencegah sumbatan pada kateter akibat bekuan darah
- Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria pemulihan
Pasien dengan resiko tinggi dirawat di ruang terapi intensif untuk perawatan dan
terapi lebih lanjut sesuai dengan masalah yang dijumpai dan tatalaksana seperti
pada butir 2 dan 3 diatas.3
B. BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA
1. Definisi
Benign Prostate Hypertrofia (BPH) adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral
prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke
perifer dan menjadi simpai bedah. 4,5
2. Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih
20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm
dengan tebal 2,5 cm.6
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus : lobus medius, lobus lateralis (2
lobus), lobus anterior, lobus posterior 8,12 Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat
dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional,
zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat
9
terdapat pada zona transisional sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal
dari zona perifer.7,8
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior
daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya
perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami
hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.6,9
3. Etiologi
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:8
a. Teori Hormonal
Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya
BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan
hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim
aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia
pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk
inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan
untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi
relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi
faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran
prostat.
b. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
Growth factor merupakan pimicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
c. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi
proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar
periuretral prostat menjadi berlebihan.
d. Teori Dihydro Testosteron (DHT)
10
Testosteron bebas masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel
langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5
alpha reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor
sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor
complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk
kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-
RNA.RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan
kelenjar prostat.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang
penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial,
teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan
aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya
tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya.6,7,9,10
4. Patofisiologi9
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika
dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini
disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal)
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang
merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan
menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen
11
dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari
beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.
5. Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas
gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena
penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar
dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama
saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah : 10,11
Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
Miksi terputus (Intermittency)
Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,
sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas
leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih
dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala
obstruksi belum dirasakan.13
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau karena hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah :
Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
Nokturia
Miksi sulit ditahan (Urgency)
Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
12
Selain itu, untuk dapat menegakan diagnosis hiperplasia prostat, digunakan
IPSS (International Prostate Symptom Scoring)
b. Pemeriksaan fisik13
Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
Batas latero-lateral
Adakah nodul pada prostate
13
Apakah pool atas dapat diraba
Sulcus medianus prostate
Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan
nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau
teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu
prostat akan teraba krepitasi. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung
kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat
retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.
c. Pemeriksaan laboratorium13
i. Darah : - Ureum dan Kreatinin
- Elektrolit
- Blood urea nitrogen
- Prostate Specific Antigen (PSA)
- Gula darah
ii. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test
- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
- Sedimen
d. Pemeriksaan penunjang13
i. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu
saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk
menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
ii. Pielografi Intravena (IVP)
- pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling
defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal
ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).
14
- mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter
ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu
adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.
- foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
iii. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka
sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
iv. Transrektal Ultrasonografi (TRUS) :deteksi
pembesaran prostat dan mengukur volume residu urin
v. MRI atau CT jarang dilakukan : digunakan untuk
melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan.
vi. Uroflowmetri: untuk mengukur laju pancaran urin
miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :
- daya kontraksi otot detrusor
- tekanan intravesica
- resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju
pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran
melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik.
Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang
dihasilkan.
vii. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow
Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri
tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya
kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal
tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan
Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan
intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.
viii. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara
sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa
15
volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa
(meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.
e. Kriteria Pembesaran Prostat9
Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya adalah :
i. Rektal grading
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :
derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
Berdasarkan jumlah residual urine
derajat 1 : < 50 ml
derajat 2 : 50-100 ml
derajat 3 : >100 ml
derajat 4 : retensi urin total
ii. Intra vesikal grading
derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter
iii. Berdasarkan pembesaran
kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi:
derajat 1 : kissing 1 cm
derajat 2 : kissing 2 cm
derajat 3 : kissing 3 cm
derajat 4 : kissing >3 cm
6. Komplikasi9
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi inkontinensia Paradoks, batu kandung kemih, hematuria,
sistitis, retensi urin, refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
16
7. Penatalaksanaan
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom
score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai
miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15.Untuk itu
dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah
dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.4,5
Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV
digunakan untuk menentukan cara penanganan.
- Derajat 1 : konservatif
- Derajat 2 : konservatif atau operatif (TUR)
- Derajat 3 : operatif (TUR)
- Derajat 4 : membebaskan retensi urin (kateter atau sistostomi) lalu dilakukan
TUR atau reseksi terbuka.
Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu
pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan
berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :5,7
Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia
prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu : 8
1. Observasi (Watchful waiting)
2. Medikamentosa (penghambat adrenergik , fitoterapi, hormonal)
3. Operatif
i. Prostatektomi terbuka( retropubic infravesika, suprapubic
transvesica/TVP, tansperinea). Pada prostatektomi terbuka, dapat dilihat fossa
prostat secara langsung, perdarahn lebih mudah dirawat.
ii. Endourologi
Trans urethral resection (TUR)
TUR adalah reseksi endoskopok melalui uretra. Jaringan yang direseksi
hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer
17
ditinggalkan bersama kapsulnya. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-
uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya
daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah.
Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)
Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi
ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak
begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya
dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck
incision (BNI) pada jam 5 dan 7.
Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)
Penggunaan laser YAG ditujukan pada penderita yang tidak dapat
mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR. Apabila laser Nd YAG
ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi
termal yang dapat menguapkan jaringan
4. Invasif minimal : Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT), Trans
urethral ballon dilatation (TUBD), Trans urethral needle ablation (TUNA), Stent
urethra dengan prostacath.
18
BABIII
PRESENTASI KASUS
Spinal Anastesi pada TURP pada Benign Prostate Hyperplasia
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. S
Usia : 66 tahun
Berat/Tinggi badan : 50kg/ 165 cm
Pekerjaan : pegawai swasta
Agama : Islam
No. RM : 42160400
Tanggal Masuk RS : 30 Januari 2013
Tanggal Operasi : 14 Februari 2013
II. KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 108x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,8°C
III. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri di kedua lutut dan jari kaki.
Keluhan tambahan :
Nyeri saat berkemih
19
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke rumah sakit karena mengeluh nyeri pada kedua lutut dan jari kaki
kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk,
nyeri dirasakan sepanjang hari. Nyeri dirasakan terutama saat pasien beraktifitas dan
berkurang saat pasien beristirahat atau tiduran. Pasien belum meminum obat untuk
mengurangi sakitnya. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri saat berkemih, sering
buang air kecil, buang air kecil tidak lampias, pancarannya lemah dan harus ngejan
jika buang air kecil.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat ASMA (+)
Riwayat TB Paru (+) ±20 tahun yang lalu, sembuh.
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat asam urat disangkal.
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
Riwayat operasi sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Dalam keluarga tidak ada yang menderita keluhan seperti pasien.
Anamnesis Sistem:
Sistem cerebrospinal : demam (-), nyeri kepala (-), pingsan (-), diplopia (-)
Sistem cardiovascular : nyeri dada (-), keringat dingin (-), sesak nafas (-)
Sistem respiratorius : sesak nafas (-), batuk (-)
Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-)
Sistem urogenital : nyeri BAK (+), tidak lampias (+), frekuensi (+),
hesistasi (+), mengejan (+), pancaran lemah (+), hematuri (-)
Sistem integumen : akral hangat (+), eritema (-), gatal (-)
Sistem muskoloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (+)
20
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),pupil bulat, isokor,
3mm/3mm, reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+/+),entropion (-/-), ekstropio
(-/-), ptosis (-/-), sekret (-/-).
Hidung : cavum nasi (lapang/lapang), deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : normotia, pendengaran normal, sekret (-)
Mulut :bibir kering (-), pucat (-), pecah-pecah (-)
Leher : kelenjar getah bening tidak teraba membesar dan tidak nyeri.
Thoraks : Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : vocal fremitus simetris, krepitasi (-)
Perkusi :somor kanan-kiri, batas jantung kiri melebar
Auskultasi : bunyi nafas dasar versikuler, ronki +/+, wheezing -/-
Bunyi jantung I,II normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : Inspeksi : perut tampak datar, bulging (+)
Auskultasi : bising usus (+) 4x/menit
Palpasi : nyeri tekan (+) suprapubik,
Regio CVA : nyeri ketok (-/-), ballotement (-/-),
massa (-/-)
Perkusi : timpani, nyeri ketok (+) suprapubik
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, oedema (-/-)
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
IPSS : ± 20
Rectal Touche : Pool atas tidak teraba
Sulcus medianus melebar
Latero lateral >3cm
Konsistensi kenyal
Permukaan rata, nodul (-)
21
VI. PEMERIKSAAN LABOLATORIUM
Hemoglobin : 8,6 gr/dl
Hematokrit : 26,4 %
Leukosit : 8300 / ul
Trombosit : 365.000 /ul
Ureum : 58 mg/dl
Kreatinin : 1,96 mg/dl
Natrium : 146 mmol/L
Kalium : 4,4 mmol/L
Clorida : 126 mmol/L
GDS : 91 mg/dl
Kolesterol total : 109 mg/dl
Trigliserida : 92 mg/dl
HDL : 31 mg/dl
LDL : 60 mg/dl
Asam urat : 6,8 mg/dl
Protein total : 8,1 gr/dl
Albumin : 3,25 gr/dl
Globulin : 4,85 gr/dl
SGOT : 33 U/L
SGPT : 31 U/L
m. perdarahan : 2 menit
m. pembekuan : 14 menit
m. protombin : 16 detik
PSA Total : 8,36
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Thoraks : Kardiomegali + bronkopneumonia
Foto BNO : psoas line baik, kontur ginjal sulit dinilai, tidak tampak batu
radioopaque, plebolith pelvis kanan
USG Abdomen : Vesica Urinaria agak membesar, prostat membesar (26cm)
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, labolatorium dan pemeriksaan penunjang,
maka:
Diagnosa pre-operatif : retensio urin et causa benign prostat hyperplasia
Status operatif : ASA 2
22
IX. TINDAKAN ANESTESI
Keadaan pre-operatif : Tekanan darah 150/90 mmHg, frekuensi nadi
104x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu 36,8°C
Jenis Anestesi : Spinal anestesia dengan buvanest 0,5% Heavy 20mg.
Premedikasi : tidak ada
Teknik anestesi:
Pasien duduk memeluk bantal, kemudian dilakukan identifikasi L3-4, lalu dilakukan
asepsis-antisepsis pada daerah sekitar L3-4. Dilakukan penyuntikan spine needle No.
26 dengan introducer, didapatkan LCS (+) jernih, darah(-). Dilakukan deposit obat
anestetik spinal Buvanest 0,5% heavy 20mg. Pasien bernafas dengan spontan dan
diberikan O2 2LPM. Pasien dibaringkan dalam posisi supine.
Maintenance :
Untuk mengatasi efek samping dari obat anestesi spinal, pasien diberikan Heptamyl
250mg IV. Tekanan darah dan frekuensi nadi dikontrol setiap 5 menit. Tekanan sistolik
berkisar antara 85-105 mmHg dan tekanan diastolik berkisar antara 45-65 mmHg,
frekuensi nadi berkisar antara 80-100 x/menit. Infus RL diberikan pada pasien sebagai
cairan intravena durante op.
waktu 10.00 10.15 10.30 10.45
Cairan
masuk
RL 500cc RL 500cc
Cairan
keluar
Urin : 400cc
Darah :
100cc
Obat masuk Heptamyl
250mg
Dicynon
500mg
Tekanan
darah
105/65
mmHg
85/45
mmHg
110/60
mmHg
110/60
mmHg
HR 112 x/menit 84 x/menit 64 x/menit 70 x/menit
SaO2 100 100 100 100
23
Keadaan post operasi :
Operasi selesai dalam waktu 45 menit, keadaan pasien post-op : kesadaran kompos
mentis, TD 100/50 mmHg, HR 84x/menit, RR : 18x/menit, bromage score : 3
Ruang Pemulihan
Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan diobservasi mengenai tekanan darah,
pernafasan dan nadi. Pasien pidah ke ICU untuk mendapatkan pengawasan yang lebih
intensif dengan bromage score 2 (belum bisa fleksi lutut tetapi mampu fleksi sendi
pergelangan kaki).
Instruksi post operasi:
Pasien dikirim ke bangsal dengan catatan:
Pro ICU
Observasi tekanan darah, nadi dan nafas selama 24 jam, spooling diteruskan.
Bila pasien kesakitan diberikan tramadol drip 100mg dalam 500cc RL
Bila mual/muntah diberikan ondavel 4mg IV
Diet biasa bila sadar penuh
IVFD : RL 20 tts/menit.
Medikamentosa : ciprofloxacin drip 2x 500mg, ranitidin inj 2x 50mg, kalnex
3x1amp, vit K 3x1amp.
24
BAB IV
ANALISIS KASUS
1. Pada kasus ini terapi yang dipilih adalah TUR (Trans Urethral
Resection). Hal ini dikarenakan pasien sudah mengeluh nyeri saat berkemih, sering
buang air kecil, buang air kecil tidak lampias, pancarannya lemah dan harus ngejan jika
buang air kecil. Score IPSS mencapai angka 20 dan pada pemeriksaan USG tampak
kelenjar prostat berukuran prostat 26cm. Berdasarkan keluhan dan hasil pemeriksaan,
pasien dikategorikan dalam derajat 3-4. Berdasarkan literatur, tindakan operatif seperti
TUR dapat diberikan pada pasien dengan derajat 3-4.
2. Pada kasus ini, jenis anastesia yang digunakan ada spinal
anastesia. Berdasarkan literatur, anestesi spinal diberikan pada tindakan yang
melibatkan tungkai bawah, panggul dan perineum, serta pada keadaan khusus seperti
bedah endoskopi dan urologi.
3. Obat yang digunakan sebagai anastesi spinal yaitu Buvanest
0.5% heavy 20mg. Menurut literatur bupivacaine merupakan obat yang paling banyak
dipilih karena memiliki kecenderungan yang lebih menghambat sensoris dari pada
motoris.
4. Penggunaan Heptamyl 250mg pada pasien ini digunakan untuk
mencegah efek hipotensi pada spinal anestesi, hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa penggunaan vasopresor dapat mencegah hipotensi.
5. Cairan yang diberikan selama operasi berlangsung adalah RL
sebanyak 1000cc, cairan ini diberikan untuk hidrasi. Berdasarkan literatur, hidrasi
cairan (10-20cc/kgBB) dengan larutan NS atau RL. Berat badan pasien 50kg, jadi
jumlah cairan yang diberikan sebanyak 1000cc sesuai dengan literatur.
6. Balance cairan :
In : II RL = 1000cc
Out : urin = 400cc
Perdaran = 100cc +
500cc
Balance cairan = +500cc
25
7. Pasien pindah ke ICU dengan bromage score 2 (belum bisa
fleksi lutut tetapi mampu fleksi sendi pergelangan kaki). Hal ini sesuai dengan literatur
yang menyatakan bahwa jika score kurang lebih sama dengan 2, pasien boleh pindah
ke ruang perawatan.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Wibowo, Budi. Uji Klinis Perbandingan Mula serta Lama Kerja antara Bupivacain 0,5% 12,5mg Hiperbarik dan Isobarik pada anestesi Spinal dalam Tesis.Universitas Diponegoro Semarang: 2008.
2. Muhiman, Muhardi dkk. 2004. Anestesiologi. Jakarta : CV. Infomedika.
3. Mangku. Gde.dkk. Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi, Jakarta : PT.Indeks,
2009
4. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC,
1997.
5. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah
Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.
6. Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.
7. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan,
Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto
Mangunkusumo, 1993.
8. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.9. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK
UNDIP. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH), Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
10. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama,
Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.
11. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta :
EGC, 1994.
12. Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH),
Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
13. Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek –
Efek Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.
27
top related