sifat fisik dan kimia dna
Post on 22-Dec-2015
350 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ASAM NUKLEAT
Struktur Molekul Asam Nukleat
Asam nukleat merupakan salah satu makromolekul yang memegang peranan
sangat penting dalam kehidupan organisme karena di dalamnya tersimpan informasi
genetik. Asam nukleat sering dinamakan juga polinukleotida karena tersusun dari
sejumlah molekul nukleotida sebagai monomernya. Tiap nukleotida mempunyai
struktur yang terdiri atas gugus fosfat, gula pentosa, dan basa nitrogen atau basa
nukleotida (basa N). Ada dua macam asam nukleat, yaitu asam deoksiribonukleat
atau deoxyribonucleic acid (DNA) dan asam ribonukleat atau ribonucleic acid
(RNA). Dilihat dari strukturnya, perbedaan di antara kedua macam asam nukleat ini
terutama terletak pada komponen gula pentosanya.
Pada RNA gula pentosanya adalah ribosa, sedangkan pada DNA gula
pentosanya mengalami kehilangan satu atom O pada posisi C nomor 2’ sehingga
dinamakan gula 2’-deoksiribosa (Gambar 1.1.b). Perbedaan struktur lainnya antara
DNA dan RNA adalah pada basa N-nya. Basa N, baik pada DNA maupun pada RNA,
mempunyai struktur berupa cincin aromatik heterosiklik (mengandung C dan N) dan
dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu purin dan pirimidin. Basa purin
mempunyai dua buah cincin (bisiklik), sedangkan basa pirimidin hanya mempunyai
satu cincin (monosiklik).
Pada DNA, dan juga RNA, purin terdiri atas adenin (A) dan guanin (G).
Akan tetapi, untuk pirimidin ada perbedaan antara DNA dan RNA. Kalau pada DNA
basa pirimidin terdiri atas sitosin (C) dan timin (T), pada RNA tidak ada timin dan
sebagai gantinya terdapat urasil (U). Timin berbeda dengan urasil hanya karena
adanya gugus metil pada posisi nomor 5 sehingga timin dapat juga dikatakan sebagai
5-metilurasil.
Gambar 1.1. Komponen-komponen asam nukleat
a) gugus fosfat
b) gula pentosa
c) basa N
Di antara ketiga komponen monomer asam nukleat tersebut di atas, hanya
basa N lah yang memungkinkan terjadinya variasi. Pada kenyataannya memang
urutan (sekuens) basa N pada suatu molekul asam nukleat merupakan penentu bagi
spesifisitasnya. Dengan perkataan lain, identifikasi asam nukleat dilakukan
berdasarkan atas urutan basa N-nya sehingga secara skema kita bisa menggambarkan
suatu molekul asam nukleat hanya dengan menuliskan urutan basanya saja.
Nukleosida dan nukleotida
Penomoran posisi atom C pada cincin gula dilakukan menggunakan tanda
aksen (1’, 2’, dan seterusnya), sekedar untuk membedakannya dengan penomoran
posisi pada cincin basa. Posisi 1’ pada gula akan berikatan dengan posisi 9 (N-9) pada
basa purin atau posisi 1 (N-1) pada basa pirimidin melalui ikatan glikosidik atau
glikosilik (Gambar 1.2). Kompleks gula-basa ini dinamakan nukleosida. Di atas
telah disinggung bahwa asam nukleat tersusun dari monomer-monomer berupa
nukleotida, yang masing-masing terdiri atas sebuah gugus fosfat, sebuah gula
pentosa, dan sebuah basa N. Dengan demikian, setiap nukleotida pada asam nukleat
dapat dilihat sebagai nukleosida monofosfat. Namun, pengertian nukleotida secara
umum sebenarnya adalah nukleosida dengan sebuah atau lebih gugus fosfat. Sebagai
contoh, molekul ATP (adenosin trifosfat) adalah nukleotida yang merupakan
nukleosida dengan tiga gugus fosfat. Jika gula pentosanya adalah ribosa seperti
halnya pada RNA, maka nukleosidanya dapat berupa adenosin, guanosin, sitidin, dan
uridin. Begitu pula, nukleotidanya akan ada empat macam, yaitu adenosin
monofosfat, guanosin monofosfat, sitidin monofosfat, dan uridin monofosfat.
Sementara itu, jika gula pentosanya adalah deoksiribosa seperti halnya pada DNA,
maka (2’-deoksiribo)nukleosidanya terdiri atas deoksiadenosin, deoksiguanosin,
deoksisitidin, dan deoksitimidin.
Ikatan fosfodiester
Selain ikatan glikosidik yang menghubungkan gula pentosa dengan basa N,
pada asam nukleat terdapat pula ikatan kovalen melalui gugus fosfat yang
menghubungkan antara gugus hidroksil (OH) pada posisi 5’ gula pentosa dan gugus
hidroksil pada posisi 3’ gula pentosa nukleotida berikutnya. Ikatan ini dinamakan
ikatan fosfodiester karena secara kimia gugus fosfat berada dalam bentuk diester
(Gambar 1.2).
Gambar 1.2. Ikatan fosfodiester dan ikatan glikosidik pada asam nukleat
Oleh karena ikatan fosfodiester menghubungkan gula pada suatu nukleotida
dengan gula pada nukleotida berikutnya, maka ikatan ini sekaligus menghubungkan
kedua nukleotida yang berurutan tersebut. Dengan demikian, akan terbentuk suatu
rantai polinukleotida yang masing-masing nukleotidanya satu sama lain dihubungkan
oleh ikatan fosfodiester. Kecuali yang berbentuk sirkuler, seperti halnya pada
kromosom dan plasmid bakteri, rantai polinukleotida memiliki dua ujung. Salah satu
ujungnya berupa gugus fosfat yang terikat pada posisi 5’ gula pentosa. Oleh karena
itu, ujung ini dinamakan ujung P atau ujung 5’. Ujung yang lainnya berupa gugus
hidroksil yang terikat pada posisi 3’ gula pentosa sehingga ujung ini dinamakan
ujung OH atau ujung 3’. Adanya ujung-ujung tersebut menjadikan rantai
polinukleotida linier mempunyai arah tertentu. Pada pH netral adanya gugus fosfat
akan menyebabkan asam nukleat bermuatan negatif. Inilah alasan pemberian nama
’asam’ kepada molekul polinukleotida meskipun di dalamnya juga terdapat banyak
basa N. Kenyataannya, asam nukleat memang merupakan anion asam kuat atau
merupakan polimer yang sangat bermuatan negatif.
Sekuens asam nukleat
Telah dikatakan di atas bahwa urutan basa N akan menentukan spesifisitas
suatu molekul asam nukleat sehingga biasanya kita menggambarkan suatu molekul
asam nukleat cukup dengan menuliskan urutan basa (sekuens)-nya saja. Selanjutnya,
dalam penulisan sekuens asam nukleat ada kebiasaan untuk menempatkan ujung 5’ di
sebelah kiri atau ujung 3’ di sebelah kanan. Sebagai contoh, suatu sekuens DNA
dapat dituliskan 5’-ATGACCTGAAAC-3’ atau suatu sekuens RNA dituliskan 5’-
GGUCUGAAUG-3’. Jadi, spesifisitas suatu asam nukleat selain ditentukan oleh
sekuens basanya, juga harus dilihat dari arah pembacaannya. Dua asam nukleat yang
memiliki sekuens sama tidak berarti keduanya sama jika pembacaan sekuens tersebut
dilakukan dari arah yang berlawanan (yang satu 5’→3’,sedangkan yang lain 3’→ 5’).
Struktur tangga berpilin (double helix) DNA
Dua orang ilmuwan, J.D.Watson dan F.H.C.Crick, mengajukan model
struktur molekul DNA yang hingga kini sangat diyakini kebenarannya dan dijadikan
dasar dalam berbagai teknik yang berkaitan dengan manipulasi DNA. Model tersebut
dikenal sebagai tangga berplilin (double helix). Secara alami DNA pada umumnya
mempunyai struktur molekul tangga berpilin ini. Model tangga berpilin
menggambarkan struktur molekul DNA sebagai dua rantai polinukleotida yang saling
memilin membentuk spiral dengan arah pilinan ke kanan. Fosfat dan gula pada
masing-masing rantai menghadap ke arah luar sumbu pilinan, sedangkan basa N
menghadap ke arah dalam sumbu pilinan dengan susunan yang sangat khas sebagai
pasangan - pasangan basa antara kedua rantai. Dalam hal ini, basa A pada satu rantai
akan berpasangan dengan basa T pada rantai lainnya, sedangkan basa G berpasangan
dengan basa C. Pasangan-pasangan basa ini dihubungkan oleh ikatan hidrogen yang
lemah (nonkovalen). Basa A dan T dihubungkan oleh ikatan hidrogen rangkap dua,
sedangkan basa G dan C dihubungkan oleh ikatan hidrogen rangkap tiga. Adanya
ikatan hidrogen tersebut menjadikan kedua rantai polinukleotida terikat satu sama
lain dan saling komplementer. Artinya, begitu sekuens basa pada salah satu rantai
diketahui, maka sekuens pada rantai yang lainnya dapat ditentukan. Oleh karena basa
bisiklik selalu berpasangan dengan basa monosiklik, maka jarak antara kedua rantai
polinukleotida di sepanjang molekul DNA akan selalu tetap. Dengan perkataan lain,
kedua rantai tersebut sejajar. Akan tetapi, jika rantai yang satu dibaca dari arah 5’ ke
3’, maka rantai pasangannya dibaca dari arah 3’ ke 5’. Jadi, kedua rantai tersebut
sejajar tetapi berlawanan arah (antiparalel).
Gambar 1.3. Model struktur tangga berpilin DNA
P = fosfat S =gula
A = adenin, G = guanin, C = sitosin, T =timin
Jarak antara dua pasangan basa yang berurutan adalah 0,34 nm. Sementara itu,
didalam setiap putaran spiral terdapat 10 pasangan basa sehingga jarak antara dua
basa yang tegak lurus di dalam masing-masing rantai menjadi 3,4 nm. Namun,
kondisi semacam ini hanya dijumpai apabila DNA berada dalam medium larutan
fisiologis dengan kadar garam rendah seperti halnya yang terdapat di dalam
protoplasma sel hidup.
DNA semacam ini dikatakan berada dalam bentuk B atau bentuk yang sesuai
dengan model asli Watson-Crick. Bentuk yang lain, misalnya bentuk A, akan
dijumpai jika DNA berada dalam medium dengan kadar garam tinggi. Pada bentuk A
terdapat 11 pasangan basa dalam setiap putaran spiral. Selain itu, ada pula bentuk Z,
yaitu bentuk molekul DNA yang mempunyai arah pilinan spiral ke kiri. Bermacam-
macam bentuk DNA ini sifatnya fleksibel, artinya dapat berubah dari yang satu ke
yang lain bergantung kepada kondisi lingkungannya.
Modifikasi struktur molekul RNA
Tidak seperti DNA, molekul RNA pada umumnya berupa untai tunggal
sehingga tidak memiliki struktur tangga berpilin. Namun, modifikasi struktur juga
terjadi akibat terbentuknya ikatan hidrogen di dalam untai tunggal itu sendiri
(intramolekuler). Dengan adanya modifikasi struktur molekul RNA, kita mengenal
tiga macam RNA, yaitu RNA duta atau messenger RNA (mRNA), RNA pemindah
atau transfer RNA (tRNA), dan RNA ribosomal (rRNA). Struktur mRNA dikatakan
sebagai struktur primer, sedangkan struktur tRNA dan rRNA dikatakan sebagai
struktur sekunder. Perbedaan di antara ketiga struktur molekul RNA tersebut
berkaitan dengan perbedaan fungsinya masing-masing.
Sifat-sifat Fisika-Kimia Asam Nukleat
Di bawah ini akan dibicarakan sekilas beberapa sifat fisika-kimia asam
nukleat. Sifat-sifat tersebut adalah stabilitas asam nukleat, pengaruh asam, pengaruh
alkali, denaturasi kimia, viskositas, dan kerapatan apung.
Stabilitas asam nukleat
Ketika kita melihat struktur tangga berpilin molekul DNA atau pun struktur
sekunder RNA, sepintas akan nampak bahwa struktur tersebut menjadi stabil akibat
adanya ikatan hidrogen di antara basa-basa yang berpasangan. Padahal, sebenarnya
tidaklah demikian. Ikatan hidrogen di antara pasangan-pasangan basa hanya akan
sama kuatnya dengan ikatan hidrogen antara basa dan molekul air apabila DNA
berada dalam bentuk rantai tunggal. Jadi, ikatan hidrogen jelas tidak berpengaruh
terhadap stabilitas struktur asam nukleat, tetapi sekedar menentukan spesifitas
perpasangan basa. Penentu stabilitas struktur asam nukleat terletak pada interaksi
penempatan (stacking interactions) antara pasangan-pasangan basa. Permukaan
basa yang bersifat hidrofobik menyebabkan molekul-molekul air dikeluarkan dari
sela-sela perpasangan basa sehingga perpasangan tersebut menjadi kuat.
Pengaruh asam
Di dalam asam pekat dan suhu tinggi, misalnya HClO4 dengan suhu lebih dari
100ºC, asam nukleat akan mengalami hidrolisis sempurna menjadi komponen
komponennya. Namun, di dalam asam mineral yang lebih encer, hanya ikatan
glikosidik antara gula dan basa purin saja yang putus sehingga asam nukleat
dikatakan bersifat apurinik.
Pengaruh alkali
Pengaruh alkali terhadap asam nukleat mengakibatkan terjadinya perubahan
status tautomerik basa. Sebagai contoh, peningkatan pH akan menyebabkan
perubahan struktur guanin dari bentuk keto menjadi bentuk enolat karena molekul
tersebut kehilangan sebuah proton. Selanjutnya, perubahan ini akan menyebabkan
terputusnya sejumlah ikatan hidrogen sehingga pada akhirnya rantai ganda DNA
mengalami denaturasi. Hal yang sama terjadi pula pada RNA. Bahkan pada pH netral
sekalipun, RNA jauh lebih rentan terhadap hidrolisis bila dibadingkan dengan DNA
karena adanya gugus OH pada atom C nomor 2 di dalam gula ribosanya.
Denaturasi kimia
Sejumlah bahan kimia diketahui dapat menyebabkan denaturasi asam nukleat
pada pH netral. Contoh yang paling dikenal adalah urea (CO(NH2)2) dan formamid
(COHNH2). Pada konsentrasi yang relatif tinggi, senyawa-senyawa tersebut dapat
merusak ikatan hidrogen. Artinya, stabilitas struktur sekunder asam nukleat menjadi
berkurang dan rantai ganda mengalami denaturasi.
Viskositas
DNA kromosom dikatakan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi
karena diameternya hanya sekitar 2 nm, tetapi panjangnya dapat mencapai beberapa
sentimeter. Dengan demikian, DNA tersebut berbentuk tipis memanjang. Selain itu,
DNA merupakan molekul yang relatif kaku sehingga larutan DNA akan mempunyai
viskositas yang tinggi. Karena sifatnya itulah molekul DNA menjadi sangat rentan
terhadap fragmentasi fisik. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri ketika kita
hendak melakukan isolasi DNA yang utuh.
Kerapatan apung
Analisis dan pemurnian DNA dapat dilakukan sesuai dengan kerapatan apung
(bouyant density)-nya. Di dalam larutan yang mengandung garam pekat dengan berat
molekul tinggi, misalnya sesium klorid (CsCl) 8M, DNA mempunyai kerapatan yang
sama dengan larutan tersebut, yakni sekitar 1,7 g/cm3. Jika larutan ini disentrifugasi
dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka garam CsCl yang pekat akan bermigrasi
ke dasar tabung dengan membentuk gradien kerapatan. Begitu juga, sampel DNA
akan bermigrasi menuju posisi gradien yang sesuai dengan kerapatannya. Teknik ini
dikenal sebagai sentrifugasi seimbang dalam tingkat kerapatan (equilibrium
density gradient centrifugation) atau sentrifugasi isopiknik. Oleh karena dengan
teknik sentrifugasi tersebut pelet RNA akan berada di dasar tabung dan protein akan
mengapung, maka DNA dapat dimurnikan baik dari RNA maupun dari protein.
Selain itu, teknik tersebut juga berguna untuk keperluan analisis DNA karena
kerapatan apung DNA (ρ) merupakan fungsi linier bagi kandungan GCnya. Dalam
hal ini, ρ = 1,66 + 0,098% (G + C).
Gambar 1.4. Sentrifugasi seimbang dalam tingkat kerapatan
Sifat-sifat Spektroskopik-Termal Asam Nukleat
Sifat spektroskopik-termal asam nukleat meliputi kemampuan absorpsi sinar
UV, hipokromisitas, penghitungan konsentrasi asam nukleat, penentuan kemurnian
DNA, serta denaturasi termal dan renaturasi asam nukleat. Masing-masing akan
dibicarakan sekilas berikut ini.
Absorpsi UV
Asam nukleat dapat mengabsorpsi sinar UV karena adanya basa nitrogen yang
bersifat aromatik; fosfat dan gula tidak memberikan kontribusi dalam absorpsi UV.
Panjang gelombang untuk absorpsi maksimum baik oleh DNA maupun RNA adalah
260 nm atau dikatakan λmaks = 260 nm. Nilai ini jelas sangat berbeda dengan nilai
untuk protein yang mempunyai λmaks = 280 nm. Sifat-sifat absorpsi asam nukleat
dapat digunakan untuk deteksi, kuantifikasi, dan perkiraan kemurniannya.
Hipokromisitas
Meskipun λmaks untuk DNA dan RNA konstan, ternyata ada perbedaan nilai
yang bergantung kepada lingkungan di sekitar basa berada. Dalam hal ini, absorbansi
pada λ 260 nm (A260) memperlihatkan variasi di antara basa-basa pada kondisi yang
berbeda. Nilai tertinggi terlihat pada nukleotida yang diisolasi, nilai sedang diperoleh
pada molekul DNA rantai tunggal (ssDNA) atau RNA, dan nilai terendah dijumpai
pada DNA rantai ganda (dsDNA). Efek ini disebabkan oleh pengikatan basa di dalam
lingkungan hidrofobik. Istilah klasik untuk menyatakan perbedaan nilai absorbansi
tersebut adalah hipokromisitas. Molekul dsDNA dikatakan relatif hipokromik
(kurang berwarna) bila dibandingkan dengan ssDNA. Sebaliknya, ssDNA dikatakan
hiperkromik terhadap dsDNA.
Penghitungan konsentrasi asam nukleat
Konsentrasi DNA dihitung atas dasar nilai A260-nya. Molekul dsDNA dengan
konsentrasi 1mg/ml mempunyai A260 sebesar 20, sedangkan konsentrasi yang sama
untuk molekul ssDNA atau RNA mempunyai A260 lebih kurang sebesar 25. Nilai
A260 untuk ssDNA dan RNA hanya merupakan perkiraan karena kandungan basa
purin dan pirimidin pada kedua molekul tersebut tidak selalu sama, dan nilai A260
purin tidak sama dengan nilai A260 pirimidin. Pada dsDNA, yang selalu mempunyai
kandungan purin dan pirimidin sama, nilai A260 -nya sudah pasti.
Kemurnian asam nukleat
Tingkat kemurnian asam nukleat dapat diestimasi melalui penentuan nisbah
A260 terhadap A280. Molekul dsDNA murni mempunyai nisbah A260 /A280 sebesar
1,8. Sementara itu, RNA murni mempunyai nisbah A260 /A280 sekitar 2,0. Protein,
dengan λmaks = 280 nm, tentu saja mempunyai nisbah A260 /A280 kurang dari 1,0.
Oleh karena itu, suatu sampel DNA yang memperlihatkan nilai A260 /A280 lebih dari
1,8 dikatakan terkontaminasi oleh RNA. Sebaliknya, suatu sampel DNA yang
memperlihatkan nilai A260 /A280 kurang dari 1,8 dikatakan terkontaminasi oleh
protein.
Denaturasi termal dan renaturasi
Di atas telah disinggung bahwa beberapa senyawa kimia tertentu dapat
menyebabkan terjadinya denaturasi asam nukleat. Ternyata, panas juga dapat
menyebabkan denaturasi asam nukleat. Proses denaturasi ini dapat diikuti melalui
pengamatan nilai absorbansi yang meningkat karena molekul rantai ganda (pada
dsDNA dan sebagian daerah pada RNA) akan berubah menjadi molekul rantai
tunggal. Denaturasi termal pada DNA dan RNA ternyata sangat berbeda. Pada RNA
denaturasi berlangsung perlahan dan bersifat acak karena bagian rantai ganda yang
pendek akan terdenaturasi lebih dahulu daripada bagian rantai ganda yang panjang.
Tidaklah demikian halnya pada DNA. Denaturasi terjadi sangat cepat dan bersifat
koperatif karena denaturasi pada kedua ujung molekul dan pada daerah kaya AT akan
mendestabilisasi daerah-daerah di sekitarnya.
Suhu ketika molekul asam nukleat mulai mengalami denaturasi dinamakan titik leleh
atau melting temperature (Tm). Nilai Tm merupakan fungsi kandungan GC sampel
DNA, dan berkisar dari 80 ºC hingga 100ºC untuk molekul-molekul DNA yang
panjang. DNA yang mengalami denaturasi termal dapat dipulihkan (direnaturasi)
dengan cara didinginkan. Laju pendinginan berpengaruh terhadap hasil renaturasi
yang diperoleh. Pendinginan yang berlangsung cepat hanya memungkinkan
renaturasi pada beberapa bagian/daerah tertentu. Sebaliknya, pendinginan yang
dilakukan perlahanlahan dapat mengembalikan seluruh molekul DNA ke bentuk
rantai ganda seperti semula. Renaturasi yang terjadi antara daerah komplementer dari
dua rantai asam nukleat yang berbeda dinamakan hibridisasi.
Superkoiling DNA
Banyak molekul dsDNA berada dalam bentuk sirkuler tertutup atau
closedcircular (CC), misalnya DNA plasmid dan kromosom bakteri serta DNA
berbagai virus. Artinya, kedua rantai membentuk lingkaran dan satu sama lain
dihubungkan sesuai dengan banyaknya putaran heliks (Lk) di dalam molekul DNA
tersebut. Sejumlah sifat muncul dari kondisi sirkuler DNA. Cara yang baik untuk
membayangkannya adalah menganggap struktur tangga berpilin DNA seperti gelang
karet dengan suatu garis yang ditarik di sepanjang gelang tersebut. Jika kita
membayangkan suatu pilinan pada gelang, maka deformasi yang terbentuk akan
terkunci ke dalam sistem pilinan tersebut. Deformasi inilah yang disebut sebagai
superkoiling.
Interkalator
Geometri suatu molekul yang mengalami superkoiling dapat berubah akibat
beberapa faktor yang mempengaruhi pilinan internalnya. Sebagai contoh,
peningkatan suhu dapat menurunkan jumlah pilinan, atau sebaliknya, peningkatan
kekuatan ionik dapat menambah jumlah pilinan. Salah satu faktor yang penting
adalah keberadaan interkalator seperti etidium bromid (EtBr). Molekul ini
merupakan senyawa aromatik polisiklik bermuatan positif yang menyisip di antara
pasangan-pasangan basa. Dengan adanya EtBr molekul DNA dapat divisualisasikan
menggunakan paparan sinar UV.
top related