scenario b blok 22 tahun 2013
Post on 23-Oct-2015
42 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan Tutorial
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian
dari skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tim Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam pembuatan laporan ini.
Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan
laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik
pembaca akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.
Tim Penyusun
28 Desember 13
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 2
I. Skenario A Blok 22 ..................................................................................... 3
II. Klarifikasi Istilah ....................................................................................... 3
III. Identifikasi Masalah .................................................................................... 4
IV. Analisis Masalah ......................................................................................... 5
V. Hipotesis .................................................................................................... 34
VI. Sintesis ...................................................................................................... 34
VII. Kerangka Konsep ......................................................................................
VIII. Kesimpulan ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ….......................................................................................................
2
Skenario B Blok 22 Tahun 2013
Nn. A, 20 tahun , pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSMH tiba tiba mengeluh
pusing, keringat dingin, sessak nafas lalu tidak sadar setelah beberapa menit sebelumnya
dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxone, dimana obat tadi direncanakan akan disuntikkan
ke pasien tersebut. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu yang
diresepkan dokter karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun tidak ada keluhan
selama makan obat tersebut. Menurut penuturan kakaknya, adiknya tersebut bila makan ikan
laut atau udang keluar bentol - bentol merah dan gatal. Kakak perempuannya mempunyai
riwayat asma. Ibunya sering berobat ke dokter karena penyakit eczema yang dideritanya.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : kesadaran sopor ; suhu 36,8; tekanan darah 60mmHg, palpasi; frekuensi
nafas 36x/menit; frekuensi nadi 120x/menit, regular. Saturasi oksigen 60%
Keadaan spesifik: auskultasi paru terdengar wheezing, frekuensi denyut jantung 120x/menit,
regular.
Pemeriksaan laboratorium
Hb 12,5gr%, leukosit 11.000/mm3, diff. Count: 0/4/7/70/18/1, LED : 10 mm/jam
KLARIFIKASI ISTILAH
Obat Ceftriaxone :
kelompok obat yang disebut cephalosporin antibiotic yang bekerja mematikan bakteri
dalam tubuh
Amoxicillin :
antibiotic turunan penisilin semi sintetik yang stabil dalam suasana asam lambung
Eczema :
kondisi kulit yang kering dan gatal
Asma :
sebuah gangguan umum berupa peradangan kronis pada bronkus membuat mereka
membengkak saluran udara menyempit
Gatal :
sebuah sensasi tidak nyaman pada kulit yang seolah olah ada sesuatu yang merayap di
kulit
Infeksi Tenggorokan :
3
invasi dan pembiakan organisme pada tenggorokan terutama yang menyebabkan
cedera seluler local akibat kompetisi metabolism, toksin, replikasi intraseluler, respon
antigen antibodi
Wheezing :
suara yang bernada tinggi yang terjadi akibat aliran udara yang melalui saluran nafas
yang sempit dan terdengar diakhir ekspirasi secara klinis
Sopor :
adalah keadaan mengantuk yang dalam bisa dibangunkan dengan rangsang kuat tapi
pasien tidak dapat memberikan jawaban verbal dengan baik dan tidak bangun
sempurna, GCS : 9
Saturasi Oksigen :
ukuran seberapa banyak persentase oksigen yang mampu dibawa oleh hemoglobin
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Nn.A, 20 tahun , pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam rsmh tiba tiba mengeluh
pusing, keringat dingin, sessak nafas lalu tidak sadar setelah beberapa menit sebelumnya
dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxone, dimana obat tadi direncanakan akan
disuntikkan ke pasien tersebut
2. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu yang diresepkan dokter
karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun tidak ada keluhan selama makan
obat tersebut
3. Menurut penuturan kakaknya, adiknya tersebut bila makan ikan laut atau udang keluar
bentol bentol merah dan gatal
4. Kakak perempuannya mempunyai riwayat asma. Ibunya sering berobat ke dokter karena
penyakit eczema yang dideritanya
5. Pemeriksaan fisik dan Lab
ANALISIS MASALAH
4
1. Nn. A, 20 tahun, pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam rsmh tiba tiba
mengeluh pusing, keringat dingin, sesak nafas lalu tidak sadar setelah beberapa
menit sebelumnya dilakukan tes kulit terhadap obat ceftriaxone, dimana obat tadi
direncanakan akan disuntikkan ke pasien tersebut
a. Bagaimana mekanisme kerja obat Ceftriaxone?
Jawab :
Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan
secara IV atau IM. Kadar plasma rata-rata cetriaxone setelah pemberian secara
tunggal infus intravena 0,5;1 atau 2 gr dalam waktu 30 menit dan IM sebesar 0,5
atau 1 g pada orang dewasa sehat. Ceftriaxone juga serupa dengan seftizoksim dan
sefotaksim, mempunyai waktu paruh yang sangat panjang sehingga diberikan
sekali/ dua kali sehari.
FARMAKOKINETIK
Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar plasma
maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM
dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan akumulasi
sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal. Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang
diberikan, akan diekskresikan dalam urin dalam bentuk yang tidak diubah dan
sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil dalam feses sebagai
bentuk inaktif.
Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %.
Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan
anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan
75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml. Dibanding pada
orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit sekali terganggu
pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal/hati, karena
itu tidak diperlukan penyesuaian dosis.
FARMAKODINAMIK
Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis dinding
kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap beta-laktanase,
baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh kuman
gram-negatif, gram- positif
5
b. Bagaimana indikasi, kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat
ceftriaxone?
Jawab :
Indikasi :
Infeksi saluran napas bawah
Infeksi kulit dan jaringan lunak
Gonoroe tanpa komplikasi
Penyakit radang rongga panggul
Septicemia bacterial
Infeksi tulang dan sendi
Infeksi intraabdominal
Meningitis
Profilaksis operasi
Kontraindikasi :
Pasien dengan riwayat alergi terhadap golongan cephalosporin
Neonatus Hyperbilirubinemic , terutama prematur , tidak seharusnya
diperlakukan dengan Ceftriaxone. Dalam studi vitro telah menunjukkan bahwa
ceftriaxone dapat menggantikan bilirubin dari ikatannya dengan albumin
serum yang mengarah ke kemungkinan resiko bilirubin ensefalopati pada
pasien ini.
Efek samping :
Reaksi lokal :
Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat suntikan dan phlebitis setelah
pemberian IV
Hipersensitivitas :
Ruam kulit dan kadang pruritus, demam, dan menggigil
Hematologic :
Eosinofilia, trombositosis, leucopenia, anemia, neutropenia, limfopenia,
trombositopenia, dan pemanjangan waktu protrombin
Saluran cerna :
Diare, mual, dan muntah
6
Hati :
Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-kadang peningkatan alkali
fosfatase dan bilirubin
Ginjal :
Peningkatan BUN dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta ditemukan
silinder dalam urin
SSP :
Kadang timbul sakit kepala atau pusing
Urogenital :
Monitiasis atau vaginitis
Interaksi Obat:
Beberapa Obat yang mempunyai interaksi dengan ceftriaxone:
Kalsium yang mengandung obat-obatan IV (misalnya, nutrisi parenteral,
larutan Ringer) karena masalah paru-paru dan ginjal yang parah dan kadang-
kadang fatal dapat terjadi, terutama pada bayi baru lahir
Aminoglikosida (misalnya, gentamisin), antikoagulan (misalnya, warfarin),
siklosporin, atau heparin karena risiko efek samping mereka dapat
ditingkatkan dengan ceftriaxone.
Vaksin hidup tertentu (BCG, tifoid lisan) karena ceftriaxone dapat
menurunkan efektivitas mereka.
c. Bagaimana mekanisme keluhan pada kasus ini?
Jawab:
Nona A mengalami keluhan-keluhan disebabkan suatu reaksi anafilaksis yang
bersifat akut dan sistemik disebabkan pelepasan mediator dari sel mast dan
basofil. Hal yang menyebabkan induksi adalah antibiotik ceftriaxone. Tes kulit
yang dilakukan Nn. A menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang memicu
pelepasan mediator-mediator anafilaksis antara lain histamin, sitokin-sitokin, dan
prostaglandin serta leukotrien juga berbagai mediator lainnya. Pada waktu 7 bulan
yang lalu, Nn. A telah mengonsumsi obat amoxicilin yang merupakan golongan
beta laktam. Hal tersebut memicu reaksi imun spesifik tipe 2 dimana TH2
menyebabkan sel limfosit b menjadi sel plasma dan menghasilkan Ig E. Ig E
7
ditangkap oleh reseptor di membran permukaan sel mast. Pajanan awal ini
menimbulkan sensitisasi pembentukan IgE spesifik.
Kemudian saat dia melakukan tes kulit dengan ceftriaxon yang memiliki
kesamaan struktur rantai beta laktam dengan amoxicilin sehingga terjadi respon
dari IgE. Obat berikatan dengan protein carier membentuk hapten. Hapten
berperan sebagai antigen yang berikatan dengan Ig E yang telah ada yang
menstimulasi pelepasan mediator oleh sel mast. Manifestasinya pada
kardiovaskular berupa penurunan tonus vaskular dan pecahnya pembuluh darah
kapiler, hipotensi, aritmia jantung yang menimbulkan penurunan volume
intravaskular, vasodilatasi dan disfungsi miokardial. Terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan 35% volume vaskular pindah
ke ekstravaskular dalam 10 menit.
Kondisi-kondisi tersebut menimbulkan pusing akibat oksigenasi ke otak menurun
dan sesak nafas sebagai usaha untuk mengambil lebih banyak oksigen. Selain itu
terjadi dorongan terhadap saraf simpatik yang merupakan bagian dari sistem saraf
otonom sehingga terjadi peningkatan sekresi dari kelenjar keringat dan
menyebabkan nona A mengeluarkan keringat dingin.
d. Bagaimana cara pemeriksaan tes alergi pada kulit?
Jawab :
Untuk mengetahui seseorang apakah menderita penyakit alergi dapat kita periksa
kadar Ig E dalam darah, maka nilainya lebih besar dari nilai normal atau ambang
batas tinggi. Lalu pasien tersebut harus melakukan tes alergi untuk mengetahui
bahan/zat apa yang menyebabkan penyakit alergi (alergen).
Ada beberapa macam tes alergi, yaitu :
1. Skin Prick Test (Tes tusuk kulit).
Tes ini untuk memeriksa alergi terhadap alergen hirup dan makanan.
8
Alergen Hirup yaitu debu, tungau debu, serpih kulit manusia, serpih kulit
ayam, serpih kulit anjing, serpih kulit kucing, serpih kulit kuda, tepung sari
rumput, tepung sari padi, tepung sari jagung, spora jamur, kecoa.
Alergen Makanan yaitu udang, kepiting, bandeng, kakap, kuning telur, putih
telur, coklat, kacang mete, kacang tanah, kedele, tomat, wortel, kerang, nanas,
kopi, susu sapi, teh, ayam negeri, tongkol, cumi-cumi, gandum.
Cara Pemeriksaan :
Tes ini dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam, lalu alergen yang diuji
ditusukkan pada kulit dengan menggunakan jarum khusus (panjang mata
jarum 2 mm), jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Hasilnya dapat
segera diketahui dalam waktu 30 menit Bila positif alergi terhadap alergen
tertentu akan timbul bentol merah gatal.
Syarat tes ini :
1) Pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
antihistamin (obat anti alergi) selama 3 – 7 hari, tergantung jenis obatnya.
2) Umur yang di anjurkan 4 – 50 tahun.
2. Patch Tes (Tes Tempel).
Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit
dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil tes ini baru
dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu, akan
timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1) Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang berkeringat,
mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh bergesekan.
9
2) 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung steroid atau
anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
3. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) IgE Spesifik.
Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan. Tes ini
memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah tersebut
diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat diketahui setelah
4 jam. Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak
dipengaruhi oleh obat-obatan.
4. Skin Test (Tes kulit).
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikkan.
Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat yang akan di
tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila
positif akan timbul bentol, merah, gatal.
5. Tes Provokasi.
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang diminum,
makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes provokasi
untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini digunakan
untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan makanan
sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi
terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes provokasi
makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik metode
RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo
Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan dosis
dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 – 30
menit.
Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes terhadap
bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk
mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
10
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes
harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.
2. Riwayat pernah makan kaplet amoxicillin 7 bulan yang lalu yang diresepkan dokter
karena infeksi tenggorokan yang dialaminya namun tidak ada keluhan selama makan
obat tersebut
a. Bagaimana mekanisme kerja obat amoxicillin?
Jawab :
Amoxicillin adalah antibiotika yang termasuk ke dalam golongan penisilin. Obat
lain yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain Ampicillin, Piperacillin,
Ticarcillin, dan lain lain. Karena berada dalam satu golongan maka semua obat
tersebut mempunyai mekanisme kerja yang mirip. Obat ini tidak membunuh
bakteri secara langsung tetapi dengan cara mencegah bakteri membentuk
semacam lapisan yang melekat disekujur tubuhnya. Lapisan ini bagi bakteri
berfungsi sangat vital yaitu untuk melindungi bakteri dari perubahan lingkungan
dan menjaga agar tubuh bakteri tidak tercerai berai. Bakteri tidak akan mampu
bertahan hidup tanpa adanya lapisan ini. Amoxicillin sangat efektif untuk
beberapa bakteri seperti H. influenzae, N. gonorrhoea, E. coli, Pneumococci,
Streptococci, dan beberapa strain dari Staphylococci.
FARMAKODINAMIK
Amoxicillin (alpha-amino-p-hydoxy-benzyl-penicillin) adalah derivat dari 6
aminopenicillonic acid, merupakan antibiotika berspektrum luas yang mempunyai
daya kerja bakterisida. Amoxicillin, aktif terhadap bakteri gram positif maupun
bakteri gram negatif.Bakteri gram positif: Streptococcus pyogenes, Streptococcus
viridan, Streptococcus faecalis, Diplococcus pnemoniae, Corynebacterium sp,
Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri gram negatif:
Neisseira gonorrhoeae, Neisseriameningitidis, Haemophillus influenzae,
Bordetella pertussis, Escherichia coli, Salmonella sp, Proteus mirabillis, Brucella
sp.
FARMAKOKINETIK
11
Amoxicillin diserap secara baik sekali oleh saluran pencernaan.Kadar bermakna
didalam serum darah dicapai 1 jam setelah pemberian per-oral. Kadar puncak
didalam serum darah 5,3 mg/ml dicapai 1,5-2 jam setelah pemberian per-oral.
Kurang lebih 60% pemberian per-oral akan diekskresikan melalui urin dalam 6
jam
b. Bagaimana indikasi, kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat
amoxicillin?
Jawab :
Indikasi:
Amoxicillin harus digunakan hanya untuk mengobati infeksi yang terbukti atau
diduga kuat disebabkan oleh bakteri, hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya
risiko bakteri menjadi resisten terhadap obat tersebut. Amokxicillin digunakan
untuk mengobati infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri, seperti
pneumonia, bronkitis, gonore, dan infeksi pada telinga, hidung, tenggorokan,
saluran kemih, dan kulit. Hal ini juga digunakan dalam kombinasi dengan obat
lain untuk menghilangkan H. pylori, bakteri yang menyebabkan bisul.
Amoksisilin berada dalam kelas obat yang disebut antibiotik penisilin seperti. Ia
bekerja dengan menghentikan pertumbuhan bakteri. Antibiotik tidak akan bekerja
untuk pilek, flu, dan infeksi virus lainnya.
Kontraindikasi:
Amoxicilin dikontraindikasikan untuk pasien yang mempunyai riwayat alergi
terhadap obat-obatan golongan beta laktam.
Efek Samping:
Amoksisilin dapat menyebabkan efek samping.
Sakit perut
Muntah
Diare
Ruam kulit yang parah
Gatal-gatal
Kejang
Menguningnya kulit atau mata
12
Perdarahan yang tidak biasa atau memar
Kulit pucat
Reaksi Hipersensitivitas
Interaksi obat :
Probenesid
Probenesid menurunkan sekresi tubular ginjal amoksisilin. Penggunaan
amoksisilin dan probenesid secara dapat menyebabkan peningkatan kadar
dalam darah dan berkepanjangan amoksisilin.
Antikoagulan Oral
Abnormal perpanjangan waktu protrombin telah dilaporkan pada pasien yang
menerima amoksisilin dan antikoagulan oral. Pemantauan yang tepat harus
dilakukan ketika antikoagulan yang diresepkan secara bersamaan.
Penyesuaian dosis antikoagulan oral mungkin diperlukan untuk
mempertahankan tingkat yang diinginkan antikoagulasi.
Allopurinol
Pemberian bersamaan allopurinol dan amoksisilin meningkatkan terjadinya
ruam pada pasien yang menerima kedua obat dibandingkan dengan pasien
yang menerima amoksisilin saja. Hal ini tidak diketahui apakah potensiasi ini
ruam amoksisilin adalah karena allopurinol atau hyperuricemia hadir pada
pasien ini.
Kontrasepsi Oral
Amoxil dapat mempengaruhi flora usus, menyebabkan menurunkan
reabsorpsi estrogen dan mengurangi efektivitas kontrasepsi oral kombinasi
estrogen / progesteron.
Antibakteri lain
Kloramfenikol, makrolida, sulfonamid, tetrasiklin dan dapat mengganggu
efek bakterisidal penisilin. Hal ini telah dibuktikan secara in vitro, namun,
signifikansi klinis interaksi ini tidak didokumentasikan dengan baik.
c. Apa makna klinis dari tidak ada keluhan selama mengkonsumsi amoxicillin?
Jawab :
13
Makna klinis dari tidak adanya keluhan selama mengonsumsi amoxicilin adalah
bahwa Nona A tidak menunjukkan gejala klinis terhadap penggunaan antibiotik
amoxcilin. Karena saat itu baru terjadi pajanan awal untuk mensensitisasi
pembentukan Ig E. Hal ini penting untuk diketahui karena pasien yang
mengalami alergi obat sampai terjadi reaksi anafilaksis selalu diawali sensitisasi
awal.
3. Menurut penuturan kakaknya, adiknya tersebut bila makan ikan laut atau udang
keluar bentol bentol merah dan gatal
a. Bagaimana mekanisme alergi bentol bentol merah dan gatal?
Jawab :
Bentol bentol merah dan gatal menunjukkan gejala urtikaria akibat alergi makanan
terutama pada ikan laut atau udang.
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan local.
Sehingga secara klinis tampak edema local disertai eritem. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator
misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anafilacsis
(SRSA) dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Patogenesis angidema
sama dengan urtikaria.
Urtikaria merupakan salah satu manifestasi klinis yang terjadi pada kulit akibat
alergi pada makanan. Secara imunologis, antigen protein utuh pada makanan
masuk ke dalam sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah
respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang
ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi.
Kegagalan untuk melakukan toleransi oral ini memicu produksi berlebihan IgE y
ang spesifik terhadap epitop yang terletak pada alergen makanan. Antibodi
tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga
berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada monosit, makrofag, limfosit,
eosinofil, dan trombosit.
Ketika makanan melalui sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan
antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast.
Kemudian sel mast akan melepas beberapa mediator yang akan menyebabkan
vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain
14
sebagai bagian reaksi hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi tersebut
juga mengeluarkan sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat.
b. Mengapa hanya saat pada ikan laut dan udang timbul gatal dan bentol?
Jawab :
Alergi makanan adalah respon abnormal tubuh terhadap suatu makanan yang
dicetuskan oleh reaksi spesifik pada sistem imun dengan gejala yang spesifik pula.
Alergen yang terdapat pada makanan adalah komponen utama terjadinya alergi
makanan. Alergen ini berupa protein yang tidak rusak pada saat proses memasak,
dan tidak rusak pada saat berada di keasaman lambung. Akibatnya alergen dapat
melenggang mulus di dalam tubuh masuk ke peredaran darah mencapai organ
yang menjadi targetnya guna menimbulkan reaksi alergi. Mekanisme terjadinya
alergi makanan melibatkan sistem imun dan herediter/keturunan.
Alergi makanan merupakan reaksi hipersensitif yang artinya sebelum reaksi alergi
terhadap alergen pada makanan muncul, seseorang harus pernah terkena alergen
yang sama sebelumnya. Pada saat pertama kali terkena, alergen akan merangsang
limfosit (bagian dari sel darah putih) untuk memproduksi antibodi (IgE) terhadap
alergen tersebut. Antibodi ini akan melekat pada sel Mast jaringan tubuh manusia.
Jika kelak orang tersebut memakan makanan yang sama maka antibodi ini akan
menyuruh sel Mast untuk melepaskan histamin. Histamin inilah yang kemudian
bekerja menyebabkan berbagai reaksi tubuh seperti gatal, bentol, bengkak, sesak
nafas (pada penderita asma), batuk, dll., bahkan sampai pada reaksi yang terberat
yaitu hilangnya kesadaran yang disebut syok anafilaksis. Syok anafilaksis terjadi
karena histamin yang dilepaskan sedemikian banyak sehingga menyebabkan
terjadinya pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi), sehingga terjadi penurunan
tekanan darah yang drastis dan menyebabkan pingsan/syok.
Kompleksnya proses pencernaan makanan akan mempengaruhi waktu, lokasi dan
gejala alergi makanan. Gejala dapat muncul beberapa menit setelah makan atau
berjam jam kemudian. Gejala awal dari alergi makanan dapat berupa rasa gatal
pada mulut, kesulitan menelan dan bernafas. Saat makanan sudah mencapai
lambung dan usus halus, gejala yang timbul berupa rasa mual, muntah, diare, dan
nyeri perut. Gejala inilah yang sering membingungkan dan mengacaukan dengan
gejala intoleransi makanan.
15
Seperti disebutkan diatas, alergen akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya eksim.
Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya
asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok.
Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan
bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.
c. Hubungan alergi dengan kondisi yang sekarang
Jawab :
Kondisi yang sekarang ini juga merupakan reaksi alergi yang sama yaitu suatu
hipersensitivitas tipe I, tetapi sangat berlebihan sehingga ketika Nn.A diberikan
tes kulit, dia mengalami syok anafilaktik yang diantaranya ditandai oleh
penurunan kesadaran dan tekanan darah. Hal ini disebabkan karena adanya suatu
reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitive
masuk ke sirkulasi
4. Kakak perempuannya mempunyai riwayat asma. Ibunya sering berobat ke dokter
karena penyakit eczema yang dideritanya
a. Hubungan riwayat keluarga dengan keluhan yang sekarang
Jawab :
Adanya riwayat keluarga yang alergi ataupun asma maka akan mendukung nona
A memiliki juga resiko mengalami penyakit atopi. Karena para penderita atopi
juga berhubungan dengan genetik yang herediter dari generasi sebelumnya.Hal ini
mempengaruhi kadar Ig E dan sel mast yang lebih banyak pada pasien dengan
riwayat atopi.
5. Pemeriksaan fisik dan Lab
a. Interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan fisik
Jawab :
Keadaan Umum:
16
Keadaan Spesifik:
Kesadaran sopor
Kesadaran menurun terjadi akibat kurangnya pasokan oksigen ke otak akibat
rendahnya tekanan darah
Tekanan darah 60 mmhg, palpasi
Anafilaksis vasodilatasi pembuluhdarah maldistribusi volume sirkulasi
aliran darah balik menurun tekanan darah menurun
17
Parameter Normal Data Pada Kasus Interpretasi
Kesadaran Kompos Mentis Sopor Abnormal
Temperatur 36,5 – 37,2 °C 36,8 °C Normal
BP 120/80 mmHg 60 mmHg
RR 16-24x/minute 36x/minute Takipneu
HR 60-100x/minute 120xminure
reguler
Takikardi
Saturasi Oksigen 60%
Parameter
Normal
Data Pada Kasus Interpretasi
Auskultas
i Paru
Wheezing
Frekuensi
denyut
Jantung
120x/menit,
regular120x/menit,
regular
Frekuensi nafas 36x/menit
Pada pasien anafilaksis ternjadi bronkospasme dan terjadinya hipoksia jaringan
akibat tekanan darah yang terlalu rendah akibatnya pasien kesulitan bernapas dan
berkompensasi untuk memenuhi oksigen di tubuh dengan meningkatkan frekuensi
pernapasan.
Saturasi oksigen 60%
Anafilaksis vasodilatasi pembuluhdarah maldistribusi volume sirkulasi
aliran darah balik menurun tekanan darah menurun hipoksia jaringan
Keadaan spesifik: auskultasi paru terdengar wheezing
Mediator yang dilepas oleh sel mast akan menyebabkan konstriksi bronkus
sehingga pada auskultasi terdengar wheezing. Mengi biasanya disebabkan oleh
spasme pada otot saluran napas bawah (otot bronkus).
b. Interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan lab
Jawab :
Nilai normal Nilai kasus Interpretasi dan mekanisme
Hemoglobin 12-16 gr/dL 12,5 gr% NormalLeukosit 5000-10.000/mm3 11.000/mm3 Meningkat
Basophil 0-1% 0% NormalEosinophil 1-3% 4% Sedikit meningkat
.
Neutrophil batang 2-6% 7% MeningkatNeutrophil segmen 50-70% 70% Normal dalam
batas tinggiLimfosit 20-40% 18% NormalMonosit 2-8% 1% Sedikit menurun
LED Wintrobe:wanita 0-20 mm/jam
pria 0-10 mm/jamWestergren:
wanita 0-15 mm/jampria 0-10 mm/jam
10 mm/jam Normal
18
HB (HEMOGLOBIN)
Hemoglobin adalah molekul di dalam eritrosit (sel darah merah) dan bertugas
untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna merah pada darah
ditentukan oleh kadar Hemoglobin.Nilai normal Hb :
Wanita 12-16 gr/dL
Pria 14-18 gr/dL
Anak 10-16 gr/dL
Bayi baru lahir 12-24gr/dL
LEUKOSIT (SEL DARAH PUTIH)
Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang
berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai
bagian dari sistem kekebalan tubuh.Nilai normal :
Bayi baru
lahir
9000 -30.000
/mm3
Bayi/anak9000 –
12.000/mm3
Dewasa 4000-10.000/
19
mm3
Hitung Jenis Leukosit (Diferential Count)
Hitung jenis leukosit adalah penghitungan jenis leukosit yang ada dalam darah
berdasarkan proporsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah leukosit.
EOSINOFIL
Eosinofil merupakan salah satu jenis leukosit yang terlibat dalam alergi dan
infeksi (terutama parasit) dalam tubuh, dan jumlahnya 1 – 2% dari seluruh jumlah
leukosit. Nilai normal dalam tubuh: 1 – 4%
Peningkatan eosinofil terdapat pada kejadian alergi, infeksi parasit, kankertulang,
otak, testis, dan ovarium. Penurunan eosinofil terdapat pada kejadian shock,
stres, dan luka bakar.
BASOFIL
Basofil adalah salah satu jenis leukosit yang jumlahnya 0,5 -1% dari seluruh
jumlah leukosit, dan terlibat dalam reaksi alergi jangka panjang seperti asma,
alergi kulit, dan lain-lain.Nilai normal dalam tubuh: o -1%
Peningkatan basofil terdapat pada proses inflamasi(radang), leukemia, dan fase
penyembuhan infeksi.
Penurunan basofil terjadi pada penderita stres, reaksi hipersensitivitas (alergi),
dan kehamilan
LIMPOSIT
Salah satu leukosit yang berperan dalam proses kekebalan dan pembentukan
antibodi. Nilai normal: 20 – 35% dari seluruh leukosit.
Peningkatan limposit terdapat pada leukemia limpositik, infeksi virus, infeksi
kronik, dan Iain-Iain. Penurunan limposit terjadi pada penderita kanker, anemia
aplastik, gagal ginjal, dan Iain-Iain.
MONOSIT
Monosit merupakan salah satu leukosit yang berinti besar dengan ukuran 2x lebih
20
besar dari eritrosit sel darah merah), terbesar dalam sirkulasi darah dan diproduksi
di jaringan limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 – 8% dari jumlah seluruh
leukosit.
Peningkatan monosit terdapat pada infeksi virus,parasit (misalnya cacing),
kanker, dan Iain-Iain. Penurunan monosit terdapat pada leukemia limposit dan
anemia aplastik.
6. Bagaimana penegekan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan
pada kasus ini?
Jawab :
Penegakkan Diagnosis
Kriteria 1.
Onset yang terjadi secara akut (dalam beberapa menit hingga jam) dengan adanya
keikutsertaan kulit, mukosa atau keduanya (contoh: pruritus atau flushing, bengkak
pada bibir, lidah, uvula).
Minimal satu dibawah ini :
1. Gangguan pernafasan (dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor, reduced peak
expiratory function [PEF], hypoxemia)
2. Penurunan tekanan darah atau berhubungan dengan disfungsi organ
(hypotonia [collapse], syncope, incontinence).
Dan pasien memiliki riwayat alergi dan kemungkinan terpaparnya alergen.
Kriteria 2.
2 atau lebih gejala yang terjadi secara cepat setelah terpapar alergen (menit hingga
jam).
1. Keikutsertaan jaringan mukosa dan kulit (generalized hives, itch-flush,
swollen lips/tongue/uvula)
2. Gangguan Pernafasan (dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor, reduced
PEF, hypoxemia)
3. Penurunan tekanan darah dan gejalanya (hypotonia [collapse], syncope,
incontinence)
4. Gejala GI persisten (cramping abdominal pain, vomiting).
Kriteria 3
Mengidentifikasi kasus yang jarang terjari, pasien yang mengalami episode hipotensi
akut setelah terpapar alergen tertentu.
21
Kriteria 3.Penurunan tekanan daran karena alergen yang telah diketahui (menit hingga
jam).
1. Infants dan anak-anak: penurunan tekanan darah sistolik (tergantung usia) atau
lebih dari 30% tekanan sistolik.
2. Dewasa : sistolik BP lebih dari 90 mmHg atau lebih besar 30% dari diastolik
pasien tersebut.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, IgE total juga sering
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak dari suatu keluarga dengan riwayat
alergi yang tinggi. Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik
dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test).
b. Pemeriksaan secara in vivo dengan uji kulit
untuk mencari allergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores
(scratch test), uji intrakutan atau intadermal yang tunggal atau berseri (skin
end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan
dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji SET
akan lebih ideal.
c. Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes
fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, EKG, rontgen toraks, dll.
7. Apa WD dan DD pada kasus ini?
Jawab :
Working Diagnosis
Nona A mengalami syok anafilaksis akibat alergi obat ceftriaxon.
Diagnosis Banding
Angioedema
Malignant Carcinoid Syndrome
Mastocytosis, Systemic
Pheochromocytoma
Thyroid, Medullary Carcinoma
22
8. Etiologi dan faktor resiko
Jawab :
Etiologi dan Faktor Resiko
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh berekasi dengan antigen
yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah putih
kemudian memproduksi antibodi dalm hal ini adalah IgE yang bersirkulasi pada
peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan antigen-
antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin dan
menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan
kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan
anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan
otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan
anafilaksis.
Table 1 : Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid
23
Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis antara
lain:
1. Atopi
Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis
memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi
merupakan faktor risiko untukreaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi
anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap
radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak didapati pada
reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.
2. Cara dan waktu pemberian
Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih
sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak
berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi
setelahmenelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan
kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal
ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik
seiring waktu.
3. Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian
karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
9. Epidemiologi
Jawab :
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka
kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60
menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan
mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali,
angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006
sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
24
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa
muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali
lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering
pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis
jarang terjadi
10. Patogenesis
Jawab :
Secara patofisiologis yang memegang peranan penting dalam shock
anafilaktik adalah antigen, sel-T, sel plasma dan produksi IgE, resting sel-B,
prostaglandin, leukotrin, dan asam arakidonat. Anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (immediate type reaction) oleh Coomb
dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan allergen. Anafilaksis
diperantarai melalui ikatan antigen kepada antibodi IgE pada sel mast jaringan ikat di
seluruh tubuh individu dengan predisposisi genetik, yang menyebabkan terjadinya
pelepasan mediator inflamasi. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1) Fase sensitasi
yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Alergen yang masuk
lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran pencernaan ditangkap oleh
makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
limfosit T yang akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi
limfosit B berfloriferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Plasmosit akan
memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat
padareseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan Basofil.
2) Fase aktivasi
yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama
dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3) Fase efektor
yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas selmast.
Sensitisasi yang diikuti oleh reaksi dapat merupakan reaksi sendiri atau
kombinasi dengan hapten, sintesis IgE atau dapat pula terikat pada permukaan sel
25
mast atau bisofil. Pada re-exposure antigen terikat IgE, dipermukaan sel dapat terjadi
degranulasi sel mast sehingga dibebaskan histamin, slow-reacting substance of
anaphylaxis (SRS-A), eosinophilic chemotactic factor anaphylaxis (ECF-A)
Tekanan arteri ditentukan oleh sfingter arteriol. Bila sfingter ini berelaksasi
secara sistemik maka terjadilah shock distributif. Ada empat hal yang menyebabkan
relaksasi dari sfingter ini yakni karena faktor neural, adanya mediator dalam sirkulasi,
defek pada autoregulasi dan karena mediator lokal.
Secara neural, reseptor stimulasi adrenergik alfa menyebabkan vasokontriksi
akan tetapi stimulasi adrenergik beta vasodilatasi. Adanya zat mediator di dalam
sirkulasi seperti katekolamin, angoitensin dan mediator inflamasi menyebabkan tonus
vaskuler sistemik menurun. Sementara hormon glukokortikoid menambah sensitivitas
terhadap katekolamin. Autoregulasi terutama terdapat sebagai mekanisme pembuluh
darah ginjal dan otak untuk mempertahankan pengaliran darah ke kedua organ ini bila
terjadi penurunan tekanan darah sistemik. Mediator lokal mungkin sebagai pertahanan
terakhir pembuluh darah. Zat-zat seperti kalium, hidrogen, adenosin, karbon dioksida
dan asam laktat yang dihasilkan oleh sel dapat menyebabkan vasodilatasi. Bila terjadi
pengurangan resistensi vaskuler secara sistemik ( SVR ) menyebabkan tekanan darah
meningkat.
Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th2. IgE
diikat oleh sel mast dan basofil melalui reseptor Fc. Sel mast banyak ditemukan pada
jaringan ikat di bawah permukaan epitel, termasuk pada jaringan submukosa traktus
gastrointestinal, traktus respiratorius, dan pada lapisan dermis kulit. Apabila tubuh
terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tesebut akan diikat oleh IgE
yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan antigen IgE, sel
mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator antara lain histamin,
leukotrien, dan prostaglandin.(3)Respon fisiologis terhadap mediator tersebut antara
lain spasme otot polos pada traktus respiratorius dan gastrointestinal, vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas vaskular, dan stimulasi ujung saraf sensorik. Hal tersebut
menyebabkan timbulnya gejala klasik anafilaksis seperti flushing (kemerahan),
urtikaria, pruritus, spasme otot bronkus, dan kram pada abdomen dengan nausea,
vomitus, dan diare. Hipotensi dan syok dapat tejadi sebagai akibat dari kehilangan
volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas
vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang
extravaskuler dalam 10 menit.
26
Histamin memperantarai efek tersebut di atas melalui aktivasi resptor histamin
1 (H1) dan histamin 2 (H2). Vasodilatasi diperantarai oleh baik reseptor H1 maupun
H2. reseptor H2 membeikan efek langsung pada otot polos sementara reseptor H1
menstimulasi sel endotel untuk memproduki NO. Efek pada jantung sebagian besar
diperantarai oleh reseptor H2. Resptor H1 secara primer bertanggungjawab untuk
kontraksi otot polos extravaskular (misalnya otot bronkus dan otot gasrointestinal).
Reaksi sistemik akut umumnya mulai timbul beberapa menit setelah
pemaparan alergen; keterlambatan yang lebih lama dari 1 jam sangat jarang terjadi.
Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan alegen dapat segera menyebabkan keatian
atau reaksi subletal dan umumnya reaksi-reaksi yang paling berat terjadi paling cepat.
Para peneliti secara khusus membedakan anafilaksis dengan reaksi
anafilaktoid. Dimana keduanya memiliki gejala, penatalaksanaan, dan resiko
kematian yang sama, tetapi pada anafilaksis degranulasi sel mast atau basofil selalu
diperantarai oleh IgE, sedangkan pada reaksi anafilaktoid degranulasi sel mast atau
basofil tidak diperantarai oleh IgE.
11. Manifestasi klinis
Jawab :
27
Penelitan melaporkan terjadi dyspnea 59%, syncope atau perasaan melayang
sebanyak 33%, dan diare atau keram perut sebanyak 29%. Gejala klinis pada reaksi
anafilaksis ataupun anafilaktoid bervariasi dari yang ringan berupa utrikaria dan
pruritus sampai kepada gagal nafas atau syok anafilaktik yang mematikan. Biasanya
pasien akan mengalami perburukan mendadak disertai pruritus dan flushing. Hal ini
terjadi secara cepat dan terjadi gangguan pada beberapa organ:
Cutaneous/ocular - Flushing, urticaria, angioedema, cutaneous dan/atau
conjunctival pruritus, panas dan bengkak
Respiratory – kongesti nasal, rhinorrhea, perasaan tenggorokan tercekik,
wheezing, sesak nafas, batuk, dan nafas tersengal
Cardiovascular –perasaan berputar, kelemahan, syncope, nyeri dada,
palpitations
Gastrointestinal - Dysphagia, nausea, vomiting, diarrhea, kembung, nyeri
abdomen
Neurologic - pusing, perasaan berputar, penglihatan kabur, dan kejang (sangat
jarang dan sering berhubungan dengan hipotensi)
Lainnya - Metallic taste, merasa seperti akan meninggal.
Gejala muncul setelah 5-30 menit setelah tersensitasi antigen dalam bentuk injeksi.
Kemudian gejala dapat terjadi dalam hitungan menit sampai 2 jam. Pada kasus yang
jarang terjadi, gejala terjadi lebih lambat yaitu setelah beberapa jam. Hal ini juga
berkaitan dengan berat ringannya reaksi anafilaksis. Semakin cepat reaksi terjadi
setelah terpapar antigen maka semakin berat kemungkinan reaksi yang terjadi.
12. Tatalaksana
Jawab :
TINDAKAN
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah :
Mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang
keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
28
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar.
o Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak
ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan
leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas
total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
o Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit.
o Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. Karotis
atau a. Femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
OBAT-OBATAN
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan
histamin dan mediator lain yang poten.
Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan camp dalam sel mast dan
basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine
dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot
polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
29
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi
intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB
untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai
tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak
dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit.
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4
ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok
anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada
kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.
(Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat
yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang
diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin.
Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral.
Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk
AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan
20 ml nacl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita
mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai
30
gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah
dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6
jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid
tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan
pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau
mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan
menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena
dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai
setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgbb setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam,
atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau
nacl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain
adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau
agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml nacl 0,99% diberikan
melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam
250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit
atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis
dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV
pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan
kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan
dextrosa 5%.
TERAPI CAIRAN
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
31
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang
sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa
melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan
plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
OBSERVASI
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau
terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam
posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam
sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit
13. Pencegahan
32
Jawab :
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan.
a) Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat
membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang
mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan
terjadinya syok anafilaktik.
b) Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes
kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat
tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
c) Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan
observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang
kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada
penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal
yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
d) Pemberian antihistamin dan kortikosteroid. Sebagai pencegahan sebelum
penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman, selain itu hasilnyapun
dapat diandalkan
14. Komplikasi
Jawab :
Kematian karena edema laring, gagal napas, syok dan cardiac arrest
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan kardiovaskuler
Urtikaria dan angioedema menetap sampai beberapa bulan
Miocard infark, aborsi, dan gagal ginjal pernah dilaporkan
33
15. Prognosis
Jawab :
Dubia et bonam, tergantung pada kecepatan tatalaksana pada nona A untuk
mencegah komplikasi.
16. SKDI
Jawab :
Reaksi anafilaktik 4A
Mampu memberikan diagnosis dan melakukan tatalaksana sampai tuntas
HIPOTESIS :
Nn. A, 20 tahun mengalami keluhan diatas (syok anafilaktik) dikarenakan reaksi
hipersensitivitas tipe I
LEARNING ISSUE
1. Syok anafilaktik
DEFINISI
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi
(anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan
syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak
pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan
terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit
untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat
34
terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi
saluran napas.
EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka
kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat
penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit
penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan
mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka
kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada
tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4
kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda
dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak
dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen,
jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan
alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan,
sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian,
buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi
anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya
penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam
folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca
dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi
dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan
35
fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,
dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan
basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed
mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang
akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun
anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis
36
Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar
dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan
37
alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,
sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi
hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala
dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua
gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan
dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering
terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah
disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring,
dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah,
diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat
disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu
atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata,
susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang
sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata
dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit
perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada
rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior
yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada
beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak
tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan
melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung
hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan
kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah,
dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema,
edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
38
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal.
Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga
terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus
memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling
sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu
karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung
tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi
hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina),
kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.
Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan
pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan
kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos,
berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan
rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada
sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin,
disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan
metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan
piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi
mitokondria, serta kebocoran sel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
39
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,
memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal
atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil
dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih
bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA
(Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan
uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah
dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji
intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit,
dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen
thorak, dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih
setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa
jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula),
dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,
wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa
jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada
seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF,
40
hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri
abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-
anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik
lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90
mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
DIAGNOSA BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak
spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit
lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi
seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam
mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki
afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang
menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark
miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese
restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya
turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
anafilaktik.Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak
tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-
kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan
pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris,
tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-
41
kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada
reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai
beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah
mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan
asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata
dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara
napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,
aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika,
penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama
di udara dingin.
PENATALAKSANAAN
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi
dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan
resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway,
penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama
sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak
jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver
yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
42
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Breathing support, segera memberikan
bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke
mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu bila
tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi
jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung.
Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten.
Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil
sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator
lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot
jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan
dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam
waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi
pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok
anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada
pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada
pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan
0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit,
sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak
43
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja
misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien
tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler
yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat
dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan
dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada
anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi
adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa
penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin
setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada
kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan
adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering
dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian
antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan
permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara
menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat
pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau
parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk
AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml
NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi
teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti
histamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-
pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
44
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak
banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi
sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis
berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam
pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi
pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10
mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg
BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg
BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-
6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol
(terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-
0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum
10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8
mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg
BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama
dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah
dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas
atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka
diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada
syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume
45
plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang
sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa
melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan
pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma
berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa
harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok
sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu
selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital
sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena
edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena
syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa
bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang
telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis
46
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi
penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko
anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai
riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit
negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi
tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes
47
kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi
sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit
positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat
yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang
menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat
yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat
penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi
kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka
panjang.
Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat
kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu
dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi
kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan
menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi,
penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa
dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta
interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis
dengan injeksi adrenalin.
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik
memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan,
48
obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko
terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan
kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe
I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh
darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat
membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan
digunakan untuk memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter
dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang
menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi
dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin
dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila
perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk
ke rumah sakit.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat
sesuai dengan kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan
kematian.
2. Reaksi hipersensitivitas
Jawab :
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe,
yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung
antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif
49
cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut
sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya
seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan
mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100
tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada
saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru
diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat
peradangan lainnya.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular
yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan
dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-
protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang
menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin
atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran
IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau
akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab
mengenai komplemen).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =
neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit
asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
50
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan
fase lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat
biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat
bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa
refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi
resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif
lagi terhadap alergen.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast
masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi
alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat
membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat
terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan
permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat
dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan
sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan
sel lain.
Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP)
afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor
kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam
peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah
reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan
kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.
Mediators:
Histamin
Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)
Bradykinin.
Serotonin (5-hydroxytryptamine)
Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A).
Platelet activating factor (PAF).
Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari arachidonic
acid. Prostaglandin E1 (PGE1) dan PGE2 adalah bronchodilators dan
51
vasodilators kuat. PGI2 atau prostacyclin adalah suatu disaggregates
platelets.
Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial tendency.
Manifestasi Klinis
Anaphylaxis
Atopy immediate hypersensitivity response
Terapi
Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens atau ”allergoids”.
Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium cromolyn,
Theophylline
Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas
bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang
terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator
yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya mediator ini juga
dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator
primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator
sekunder).
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic
factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik
serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam
plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah
uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam
beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos,
serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa
gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala
52
kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah
hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil
pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada
mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik
berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah
kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat,
histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi
imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada
keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui
kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi
tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek
modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat
reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah
terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu
degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4
yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada
penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil
karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen
paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam
beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen
atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena
mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer.
Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga
bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
53
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat,
faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri
dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan
mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi.
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi
pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2,
PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga
dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di
mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas
vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator
sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan
yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat
yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4
merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4
adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk
lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari
jaringan paru yang tersensitisasi.
‘Slow reacting substance of anaphylaxis’
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih
lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan
antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang
lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek
bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan
permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri
dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.
54
Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)
Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia.
PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari
trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta
peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi
yang diperan oleh IgE.
Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran
cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia.
Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang
dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2.
Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
Sitokin dalam Regulasi Reaksi Alergi
Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber
beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.
Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen
menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal
tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika
beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan
tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin,
respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat
alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai
akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang
terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2,
akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang
atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang
tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini
mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.
55
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu
Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak
memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag
(APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang
kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin
lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga
bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi
interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat
stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama
dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan
ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut
faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat
oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0.
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat
menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada
sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama
pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES
(regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga
SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang
disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau
tanpa melalui stimulasi antigen.
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan
mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata
dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.
Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi
peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve
growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan
diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat
aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi
antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil
activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-
CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat
membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil
metionil leukosil fenilalanin).
56
Penyakit Oleh Antibodi dan Kompleks Antigen-Antibodi
(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)
Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target
antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II)
atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi
hipersensitivitas tipe III).
Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)
merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi
terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang
sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya
spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah
pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus
ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan
suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.
Sindrom klinik dan pengobatan
Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau
berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana
dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi
dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada
kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau
kompleks imun yang beredar dalam darah.
Point of interest
Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan
dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II). Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada
antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi
inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat
menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ
dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut.
57
Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk
kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan
kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama
disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.
Penyakit Oleh Limfosit T (Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV)
Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin
dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada
saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel
limfosit T.
Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme
autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang
distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell
mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat
sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi
mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M.
tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi.
Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat
infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan,
tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi
menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan
dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T
CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs.
Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh
sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi
terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi
inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi
sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan
sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang
diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen
diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.
Sindrom klinik dan pengobatan
58
Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi
yang diperantarai oleh sel T
3. Reaksi tipe I dan penyakitnya
Jawab :
Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat
(secara khusus hanya dalam bilangan menit) stelah terjadi interaksi antaraalergen
dengan antibody IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil
pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas
tipe 1 dapat terjadi sebagai reaksi local yang benar-benar mengganggu (misalnya
rhinitis alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu
gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).
Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut:
1. Fase sensitasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh
reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil
2. Fase aktivasi
Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi.
3. Fase efektor
Yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan
secara jelas:
Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran vascular, dan spesme otot
polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit stelah terpajan
oleh allergen dan menghilang setelah 60 menit.
Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama
beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel
59
radang akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai
dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Mediator Primer
Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast
dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamin, yang
merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vascular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi
mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosine (menyebabkan
bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta factor kemotaksis untuk
neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi
heparin serta protease netral (misalnya triptase). Protease menghasilkan kinin dan
memecah komponen komplemen untuk menghasilkan factor kemotaksis dan inflamasi
tambahan (misalnya), C3a).
Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin. Mediator
lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid membrane sel
mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan
senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.
Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam arakhidonat
dan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien tipe C4 dan
D4merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasar molar,
agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan
permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus.
Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mucus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan
agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat
kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi
fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolism asam arakhidonat.
60
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan kemokin
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 melalui kemampuannya merekrut
dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat
poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Manifestasi Klinis
Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali
hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Emberian antigen protein atau obat
(misalnya bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan
anafilaksis. Dalam beberapa menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan
muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti
kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Salian itu, otot semua saluran
pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita
dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit.
Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai
dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan
istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi
terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma)
seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic
atopi belum dimengerti secara jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan
dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.
61
KERANGKA KONSEP
62Timbul gejala gejala
reaksi anafilaktik
Berikatan dengan IgE
Terbentuk hapten
Terlepasnya mediator” inflamasi
Cheftriaxon berikatan dengan protein
Pasien diberikan ceftriaxon
Ny. A mengonsumsi amoxicillin 7 bulan yang lalu
Terbentuk IgE
KESIMPULAN
Nn A. 20 tahun, mengeluh pusing, keringat dingin, sessak nafas dan penurunan kesadaran
karena mengalami syok anafilaktik (reaksi hipersensitivitas tipe I)
63
DAFTAR PUSTAKA
Kumar. Cotran. Robbins. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC. 2007
Baratawidjaja KG. imunologi dasar. Ed 6. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2004
Sundoyo, Aru.,dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: InternaPubishing
Susalit, Endang. 2007. Transplantasi Ginjal dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview#a0104
64
top related