refrat winta
Post on 16-Nov-2015
9 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS BRONKIOLITIS
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bronchiolitis adalah cedera inflamasi akut bronkiolus yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus. Meskipun dapat terjadi pada orang dari segala usia, gejala yang parah biasanya hanya terlihat pada bayi muda; saluran udara yang lebih besar dari anak-anak dan orang dewasa lebih dapat mengakomodasi terjadinya edema mukosa.
Bronchiolitis biasanya menyerang anak-anak muda dari 2 tahun, dengan puncaknya pada bayi usia 3-6 bulan. Bronkiolitis akut adalah penyebab paling umum dari infeksi saluran pernapasan bawah pada tahun pertama kehidupan. Hal ini umumnya kondisi membatasi diri dan paling sering dikaitkan dengan respiratory syncytial virus (RSV).
Meskipun peningkatan tingkat rawat inap untuk pasien dengan bronkiolitis, kontroversi masih ada mengenai pengobatan yang optimal dari pasien tersebut. Akibatnya, penggunaan alat-alat manajemen antara dokter dan rumah sakit antara bervariasi. Penggunaan pedoman praktek klinis dapat standarisasi perawatan, mengurangi penerimaan, mengelola sumber daya yang lebih baik, dan memperpendek panjang tinggal di rumah sakit tanpa meningkatkan tingkat pendaftaran kembali atau penurunan kepuasan keluarga.BAB II
TINJAUAN PUSTAKAA. BRONKIOLITIS
Bronchiolitis adalah inflamasi akut bronkiolus yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus (paling sering respiratory syncytial virus dan metapneumovirus manusia). Kondisi ini dapat terjadi pada orang dari segala usia, tetapi gejala yang berat biasanya terlihat hanya pada bayi muda.B. ETIOLOGIBronkiolitis merupakan infeksi yang dapat disebabkan oleh: RSV, human metapneumovirus, parainfluenza virus, influenza virus, atau adenovirus.RSV (Respiratory Syncytial Virus) RSV menyebabkan 20-40% dari semua kasus dan 44% dari kasus yang melibatkan usia kurang dari 2 tahun. Dua subtipe RSV, A dan B, telah diidentifikasi berdasarkan variasi struktural dalam protein G. Subtipe A menyebabkan infeksi yang paling parah. Pelepasan virus dalam sekresi hidung tetap terjadi selama 6-21 hari setelah timbul gejala. Masa inkubasi 2-5 hari.Virus parainfluenza menyebabkan 10-30% dari semua kasus bronchiolitis. Wabah bronchiolitis karena virus parainfluenza biasanya dimulai pada awal tahun dan cenderung terjadi setiap tahun. Adenovirus menyumbang 5-10% dari kasus bronchiolitis. Virus influenza menyumbang 10-20%. Infeksi Mycoplasma pneumoniae menyumbang 5-15%, khususnya di kalangan anak-anak dan orang dewasa.Terdapat pula faktor resiko yang terkait kejadian bronkiolitis, diantaranya:
Berat lahir rendah, terutama bayi prematur Usia kehamilan Kelompok sosial ekonomi rendah Kondisi lingkungan yang penuh sesak, tempat penitipan anak, atau keduanya
Orangtua yang merokok Penyakit paru-paru kronis, khususnya dysplasia bronchopulmoner Penyakit neurologis bawaan atau didapat yang berat Penyakit jantung bawaan (CHD) dengan hipertensi pulmonal
Penyakit defisiensi imun bawaan atau diperoleh
Usia kurang dari 3 bulan
Anomali airway
C. ANATOMI DAN FISIOLOGI BRONKIOLUS
Bronkiolus adalah saluran udara kecil (0,8 mg/dL) Pulse oximetry
Kultur darah
Analisis cairan serebrospinal dan kulturFoto Rontgen:
Hiperinflasi
Diafragma mendatar
Atelektasis
Gambaran lain yang mungkin muncul: gambaran jantung yang melayang, dan corakan perihilerF. DIAGNOSIS BANDINGBronchiolitis dan asma memiliki gejala yang sama dan tanda-tanda, dan beberapa ada kekhawatiran bahwa pasien dengan asma dapat didiagnosis dengan bronchiolitis. Patologi bronchiolitis melibatkan edema dinding saluran napas daripada bronkokonstriksi (seperti pada asma).Berikut beberapa diagnosis banding bronkiolitis yang dapat dipertimbangkan karena kemiripan gejala yang ditemukan:
DIAGNOSISGEJALA
AsmaRiwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dgn batuk-pilek
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Berespon baik terhadap bronkodilator
BronkiolitisEpisode pertama wheezing pada umur < 2 tahun
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
Respons kurang/tidak ada respons terhadap bronkodilator
Wheezing berkaitan dengan batuk-pilekWheezing selaluberkaitan dengan batuk-pilekTidak ada riwayat keluarga dengan asma/alergi
Ekspirasi memanjang
Cenderung lebih ringan dibandingkan wheezing akibat asma
Berespons baik terhadap bronkodilator
Benda asing Riwayat tersedak atau wheezing tiba-tiba Wheezing umumnya unilateral
Air trapping dengan hipersonor dan pergeseran mediastinum
Tanda kolaps paru
Pneumonia Batuk dengan nafas cepat Retraksi dinding dada bagian bawah
Demam
Crackles/ronkhi
Pernapasan cuping hidung
Merintih/grunting
G. PENATALAKSANAAN1. Pengobatan Suportifa. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen bertujuan untuk mempertahankan saturasi hemoglobin 92 % . oksigenasi ini penting untuk mencegah hipoksia. Pemberian oksigen dapat di hentikan jika saturasi hemoglobin terus menerus diatas 90%, dimana bayi sudah mau untuk menyusui dengan baik dan gangguan pernafasan minimal.
b. Pengaturan Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan lewat evaporasi. Berikan tambahan cairan 20% dari kebutuhan rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu diatas 38,5 C). Cara pemberian bisa secara intravena atau pemasangan selang nasogratik.
2. Pengobatan medikamentosa
a. Bronkodilator (Beta 2 Agonis, Epinefrin)
Penggunaan epinefrin didasarkan pada kerjanya yang merangsang adrenoreseptor alfa yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dari mukosa saluran pernafasan sehingga bisa mengurangi edema mukosa. Di samping itu salah satu alasan dari penggunaan beta 2 agonis adalah karena 15-25% pasien bronkiolitis dapat menjadi asma.
b. Kortikosteroid
Dari hasil penelitian yang dilakukan tidak ditemukan pengaruh berarti dari penggunaan kortikosteroid inhalasi bayi yang menderita infeksi saluran nafas bawah karena RSV. Jadi penggunaan kortikosteroid inhalasi tidak dianjurkan. Rekomendasi saat ini adalah penggunaan kortikosteroid sistemik tidak boleh digunakan secara rutin dalam pengobatan bronkiolitis virus akut. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penanganan pasien di ICU dengan bronkiolitis berat.
c. Antagonis reseptor leukotrien
Leukotrien cystenil secara signifikan meningkatkan sekresi dari saluran pernafasan. Penelitian yang dilakukan dengan pemberian montelukast (antagonis reseptor leukotrien ) untuk bronkiolitis tidak menurunkan gejala saluran pernafasan selama masa pengobatan. Dari hal ini pemberian montelukast belum di rekondasikan pada bronkiolitis.
d. Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Antibiotik bila dicurigai adanya infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200mg/kgBB/hari secara intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1-4bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia Trachomatis.
e. AntivirusRibavirin adalah agen antiviral spectrum luas yang disetujui untuk pengobatan infeksi RSV dan satu-satunya obat anti viral yang telah diteliti pada anak-anak dengan bronkiolitis viral akut. Ribavirin dapat mengurangi durasi ventilasi mekanik dan lama perawatan serta dapat menurunkan inisens wheezing berulan saat bronkiolitis. Tetapi penggunaannya masih menjadi kontroversi karena keamanan dan juga harganya yang mahal.
f. Surfaktan
Bukti klinis dari laboratorium menunjukkan bahwa bronkitis virus berat dapat menyebagkan insufisiensi surfaktan sekunder. Dengan demikian pemberian surfaktan eksogen merupakan potensi terapi yang menjajikan. Penggunaan surfaktan ini dikaitkan dengan penurunan penggunaan ventilasi mekanik dan penurunan lama perawatan di ICU.
g. Hipertonik Saline
Dalam sebuah studi menunjukkan bahwa inhalasi 3% HS alaha pengobatan yang efektif untuk bayi hingga usia 18 bulan dirawat di rumah sakit dengan bronkoiolitis virus. Penggunaan rutin dari 3 % HS dalam pengobatan bayi dirawat di rumah sakit dengna bronkiolitis memiliki potensi besar karena sangt mengurangi lama rawatan di rumah sakit dan juga mengurangi tingkat keparahan.
Edema saluran nafas dan sumbatan mukus adalah karakteristik patologis pada bronkiolitis virus akut. Hipertonik saline menurunkan edema saluran nafas, meningkatkan banyaknya rheologic mucus dan bersihan mukosiliar dan akhirnya penurunan obstruksi saluran nafas.
h. Fisioterapi dada
Tujuan dari fisioterapi dada adalah untuk mengurangi resistansi jalan nafas dan kerja pernafasan serta untuk membantu meningkatkan pertukaran gas dengan pembersihan sekresi jalan pernafasan.
H. KOMPLIKASIDengan bronkiolitis, seperti penyakit lainnya, berbagai komplikasi yang mungkin, termasuk yang disebabkan oleh terapi. Pada kebanyakan kasus, penyakit ini ringan dan self-limited. Namun, pada bayi dengan imunosupresi dan orang-orang dengan penyakit jantung dan paru didapat, RSV bronchiolitis dapat mengakibatkan salah satu dari berikut:
Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
Bronchiolitis obliterans Gagal jantung kongestif
Infeksi sekunder
Miokarditis
Aritmia
Penyakit paru-paru kronis AsthmaI. PROGNOSISInfeksi saluran pernafasan akut pada anak-anak kurang dari 5 tahun masih merupakan penyebab utama kematian anak di dunia. Pada tahun 2000, infeksi saluran pernapasan akut menyumbang diperkirakan 1,9 juta kematian di seluruh dunia; 70% kematian ini terjadi di Afrika dan Asia Tenggara.
Bronchiolitis adalah penyakit self-limiting yang menular. Terapi didasarkan pada perawatan suportif, oksigenasi, hidrasi, dan kontrol demam. Dengan pengenalan dini dan pengobatan, prognosis biasanya sangat baik. Sebagian besar anak dengan bronkiolitis, terlepas dari tingkat keparahan, dapat sembuh tanpa gejala sisa. Perjalanan penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi pada beberapa pasien masih sakit selama berminggu-minggu. Studi menunjukkan bahwa kadar IgE dapat digunakan sebagai penanda keparahan penyakit akut. Beberapa bayi yang pulih dari bronkiolitis akut memiliki peningkatan frekuensi mengi berulang.
Anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan bronkiolitis RSV memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit saluran napas reaktif dan kelainan pada fungsi paru dibandingkan anak-anak tidak pernah dirawat di rumah sakit untuk RSV. Kelainan ini dapat bertahan selama selama 5 tahun, lalu akhirnya mengalami normalisasi. Penelitian kecil yang saling bertentangan telah gagal untuk membuktikan apakah pengobatan dini bronchiolitis RSV akut dengan ribavirin mengurangi disfungsi paru persisten.
Meskipun bronkiolitis telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk asma, ini tidak selalu berarti suatu hubungan sebab-akibat. Anak-anak yang sudah memiliki kecendrungan asma mungkin lebih cenderung untuk mengi saat terkena RSV atau rangsangan infeksi atau alergi pernapasan lainnya.12
top related