program studi tafsir hadis fakultas ushuluddin...
Post on 04-May-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
IMBALAN CERAMAH AGAMA KAJIAN
(Penafsiran QS. AL-Baqarah/2: 41 Menurut Ibn Katsir Dan Sayyid Quṭb)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Leni Nuraeni
1112034000112
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437 H/2017 M
ii
IMBALAN CERAMAH AGAMA KAJIAN
(Penafsiran QS. AL-Baqarah/2: 41 Menurut Ibn Katsir Dan Sayyid Quṭb)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Leni Nuraeni
NIM: 1112034000112
Pembimbing:
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2017 M
iii
iv
NAMA-NAMA TIM PENGUJI
1. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
2. Drs. Banun Binaningrum, M. Pd
3. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA
4. Muslih, M. Ag
v
PERSETUJUAN PANITIA UJIAN
vi
ABSTRAK
Leni Nuraeni
IMBALAN CERAMAH AGAMA KAJIAN (Penafsiran QS Al-Baqarah: 41
Menurut Ibn Katsir Dan Sayyid Quṭb)”.
Skripsi ini membahas tentang etika dalam berdakwah. Sebagaimana
manusia hidup perlu mengedepankan etika, tata krama atau akhlak sehingga
berkesinambungan antara Habl min Allah dan Habl min al-Nasi.
Penelitian ini bermaksud mencari tahu bagaimanakah pandangan ibn
Katsir dan Sayyid Quṭb tentang menerima imbalan setelah ceramah agama?
Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan menggunakan metode
penelitian deskriptif analitik, yaitu menjabarkan keseluruhan data yang terkumpul
ke dalam kategori-kategori analisis. Data yang terutama di manfaatkan serta
digunakan dalam penelitian ini diambil dari Kitab Tafsir Ibn Katsir yang diringkas
oleh Syaikh Ahmad Syakir yang berjudul Mukhtaṣar Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir
Fī Ẓilal al-Qur‟an karya Sayyid Quṭb. Dari kedua kitab tafsir ini saya mengambil
pejelasan mengenai menerima imbalan setelah ceramah agama dalam al-Qur‟an
[2]: 41.
Dalam penelitian ini saya menemukan bahwa Ibn Katsir dan Sayyid Quṭb
memiliki pendapat yang sama bahwa menerima imbalan setelah ceramah agama
boleh dilakukan dengan kriteria tertentu, diantaranya: jika berdakwah adalah
merupakan mata pencaharian satu-satunya maka dibolehkan ia mengambilimbalan
tersebut agar kehidupannya terjamin.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur sama-sama kita ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan taufiq, hidayah, serta berbagai pertolongan-Nya kepada kita.
Alhaamdulillah dengan rahmat dan kasih sayang Allah SWT. tersebut, penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir ini dalam bentuk skripsi dengan judul
“IMBALAN CERAMAH AGAMA KAJIAN (Penafsiran QS Al-Baqarah: 41
Menurut Ibn Katsir Dan Sayyid Quṭb)”. dengan dukungan dari berbagai pihak.
Shalawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW. semoga kita semua mendapatkan syafa‟atnya kelak di hari kiamat. Dengan
terselesaikannya skripsi ini saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak sebagai berikut:
1. Kepada orang tuaku, Enoh dan Nurhayati (Almh)“ doaku selalu terlantun
untuk kalian Apa dan Mamah”, serta orang tua ke-dua-ku KH. Syarif
Rahmat, RA. SQ. MA dan Hj. Uswatun Chasanah, MA., yang tak pernah
lelah membimbing penulis, kakak-kakakku Dede Ardiansyah terima kasih
untuk segala tenaga, harta dan perhatiannya, teh Nengsih yang selalu
menjadi tempat berlindung, teh Herlina Agustya, A Joko Hermansyah,
Adikku Mayang Delia, Bibiku Lilis Kholishoh yang selalu memberikan
kekuatan serta semua saudara-saudara lain yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Merekalah yang senantiasa mendoakan dan memotivasi penulis
untuk terus berkreasi dan mencar ilmu. Kalianlah salah satu alasanku
mencapai cita-cita.
viii
2. Kepada Yth. Anwar Syarifuddin M. A. Selaku pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu , pemikiran untuk berdialog dengan penulis
serta memberikan motivasi yang sangat luar biasa dan berharga. Semoga
Allah SWT. senantiasa menjaga kesehatan belaiu, memberikan
keberkahan hidup serta kebahagian dunia akhirat atas perjuagan beliau
membeeimbing saya dalam menyelsaikan skripsi ini dengan baik.
3. Kepada Yth. Segenap civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Prof. Dr. Dede Rosyada (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer,
M. A. Selaku Dekan fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah jakarta.
4. Kepada Yth. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. A. Selaku ketua jurusan
Program Studi Tafsir-Hadis dan Dra. Banun Binaningrum, M. Pd.
Selaku sekretaris Program Studi Tafsir-Hadis.
5. Kepada Yth. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir-
Hadisyang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan ilmu
dan motivasi selama di bangku kuliah serta dukungannya kepada
penulis dalam batasan-batasan tertentu yang dapat penulis terima,
sehingga penulis sedikit banyak mengetahui informasi tentang
dinamika pengetahuan yang ada. Serta seluruh Guruku baik di Pondok
Pesantren Ummul Qura tempat saya menuntut ilmu yang doanya selalu
diharapkan.
6. Program Beasiswa BIDIK MISI, yang telah mengantarkan penulis
untuk dapat Ṭolab al-„Ilm dikampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
ix
7. Suami tercinta Mohamad Subhan, S. Sy atas segala kekuatan,
semangat, motivasi serta selalu sabar mengingatkan penulis agar tidak
patah semangat dalam setiap keadaan.
8. Kepada Ulfatun Najah, S. Ag., Nida Nurjannah, S. Pd., dan Anisa
Syifa Fauziah, S. E yang selalu setia menemani penulis dalam suka
dan duka.
kepada kawan-kawan seperjuangan Muslimah Tafsir-Hadis 2012, Th. C
2012 khususnya sahabat-sahabat yang selalu memotivasi Hafizah Hanifiah, S. Th.
I., Siti Ana Mariyam, S. Th. I., Itah Maftuhatu Rahmah, S. Th. I., Nia Hidayati,
Hamami Suhendar, S. Th. I., Ayatullah Jazmi, Fatimatuzzahra, Rizki Suryana dan
sahabat lintas jurusan Annisa Rahmawati. S. Ip.
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris
A A ا
B B ب
T T ت
Ts Th ث
J J ج
Ḥ Ḥ ح
Kh Kh خ
D D د
Dz Dh ذ
R R ر
Z Z ز
S S س
Sy Sh ش
Ṣ Ṣ ص
Ḍ Ḍ ض
Ṭ Ṭ ط
Ẓ Ẓ ظ
„ „ ع
Gh Gh غ
F F ف
Q Q ق
xi
K K ك
L L ل
M M م
N N ن
W W و
H H ه
„ ‟ ء
Y Y ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ـ
I Kasrah ـ
U ḏammah ـ
xii
Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي___ Ai
a dan i
و___ Au a dan u
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan topi di atas ا
Ī i dengan topi di atas ي
Ū u dengan topi di atas و
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitualif dan lam, dalam bahasa Indonesia dialih aksarakan menjadi huruf
“l”, baik diikuti oleh huruf syamsiyah maupun qamariyah. Contoh: al-rijālbukan
ar-rijāl, al-diwān bukan ad-diwān.
xiii
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tashdidyang dalam sistem tulisan Arabdilambangkan dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata الضرورةtidak ditulis aḏ-
darūrah melainkan al-darūrah.
Ta Marbūṭah
Jika huruf ta marbūṭahterdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf (h). Misalnya,طريقة (ṭarīqah). Jika huruf ta
marbūṭahtersebut diikuti dengan kata benda, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf (t). Misalnya, وحدة الوجود(waḥdat al-wujūd)
Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan arab huruf capital tidak dikenali, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya, (contoh: Abū Ḥāmid Al-
Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini. Misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
xiv
atau tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku ini ditulis dengan cetakan miring,
maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Terkait dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akan katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd
al-Ṣamad al-Palīmbānī; Naruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
xv
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................Error! Bookmark not defined.
NAMA-NAMA TIM PENGUJI .......................................................................................iv
PERSETUJUAN PANITIA UJIAN ................................................................................ v
ABSTRAK .........................................................................................................................vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................................... x
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................................. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................................... 12
D. Kajian Pustaka .................................................................................................... 12
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ......................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 14
BAB II .............................................................................................................................. 16
TINJAUAN UMUM TENTANG TAFSIR AL-QUR’ĀN AL-‘AẒĪM DANTAFSIRFĪ
ẒILĀL AL-QUR’ĀN ........................................................................................................ 16
A. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim .............................................................................. 16
1. Sekilas tentang Ibn Katsir .............................................................................. 16
2. Kedudukan Keilmuannya .............................................................................. 17
3. Guru-guru Ibn Katsir ..................................................................................... 18
4. Karya-karyanya .............................................................................................. 21
5. Metode Penafsiran .......................................................................................... 22
B. Tafsir Fī Ẓilāl Al-Qur’ān .................................................................................... 23
1. Sekilas tentang Sayyid Quṭb .......................................................................... 23
2. Pemikiran dan Karya-karyanya .................................................................... 25
3. Metode dan Corak Penafsirannya ................................................................. 31
BAB III ............................................................................................................................. 33
TINJAUAN UMUM TENTANG DA’WAH BIL-LISAN ........................................... 33
A. Pengertian Dakwah dan Ceramah .................................................................... 33
xvi
B. Kata-kata Yang Semakna dengan Dakwah ...................................................... 35
1. Tabligh ............................................................................................................. 35
2. Nasihat ............................................................................................................. 36
3. Tabsyir dan Tandzir ....................................................................................... 37
4. Khotbah ........................................................................................................... 38
5. Waṣiyyah dan Tauṣiyyah............................................................................... 39
6. Tarbiyyah......................................................................................................... 40
7. Amar Ma’ruf Nahi Munkar ........................................................................... 41
C. Media dan Metode Dakwah ............................................................................... 42
a. Media Dakwah ................................................................................................ 42
b. Metode Dakwah .............................................................................................. 44
D. Sikap Dai Terhadap Masyarakat .................................................................. 47
BAB IV ............................................................................................................................. 50
ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA PENAFSIRAN IBN KATSIR DAN
SAYYID QUṬB TERHADAP QS. AL-BAQARAH [2]: 41 DAN QS AL-MAIDAH
[5]:44 ................................................................................................................................ 50
A. Prilaku Bangsa Yahudi yang menukarkan Taurat dengan harta benda duniawi
...................................................................................................................................... 50
B. Pandangan Ulama tentang Upah Ceramah Agama ............................................ 60
C. Apakah Upah Ceramah Boleh ditentukan Seperti Tarif Pekerjaan? ............... 65
BAB V .............................................................................................................................. 71
PENUTUP ........................................................................................................................ 71
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 71
Daftar Pustaka ................................................................................................................ 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an dan al-Sunnah adalah Kitab yang harus dijadikan sumber
rujukan aqidah, yang telah tertancap pertama kali di permukaan bumi dan
menghapus jahiliyah serta menjadikan kita sebaik-baik umat yang ditampilkan
untuk kebaikan manusia. Itulah wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
yang kemudian beliau ajarkan kepada manusia dan menjadikan kader-kader
aqidah yang sebenarnya. Dan cara al-Qur‟an dalam menjelaskan aqidah
merupakan sebaik-baik cara yang sangat sempurna, yang memateri hati dengan
aqidah dan mmancarkan mata air imani. Allah berfirman:
لذ جبءو ج١ وزبة س ﴾٥١﴿هللا ا ارجع سض هللا ذ ث ٠ اغ عج ٠خشج
اظ س ثار ۦبد ا ا غزم١ ئ صشاط ذ٠ ٠ ﴿٥١﴾
“sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dri Allah, dan kitab yang
menerangkan kepadanya”
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-
Nya ke jalan keselamatan, dan dengan itu pula Allah mengeluarkan orang-orang
itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan izin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. (QS. Al- Maidah [5]: 15-16)
2
Sistem al-Qur‟an dalam meyakinkan aqidah tauhid, hari kebangkitan dan
pembalasan ke dalam hati manusia adalah cara yang indah dan menakjubkan,
mudah dan memudahkan. Allah berfirman:
ش ذو وش ـ ز مشآ مذ ٠غشب ا ﴿٥١﴾
“Dan sesungguhnya telah kami mudahkan al-Qur‟an untuk pelajaran, maka
adakah oramg yang mengambil pelajaran”. (QS. Al-Qamar [54]: 17)
Sedangkan sunnah Rasulullah SAW. berfungsi untuk menerangkan dan
memperjelas Kitabullah. Di dalamnya terdapat segala macampetunjuk terhadap
orang-orang yang menegakan aqidah islam dalam dirinya.1 Rasulullah SAW.
bersabda:
رشوذ ـ١ى عز رضا ثعذ أثذا وزبة هلل ب ث غىز ر ب ئ س٠ ا
"Aku tinggalkan kepadamu dua masalah. Selama kamu berpegang teguhdengan
keduanya, kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan sunnahku
. "
Tugas terbesar umat Islam adalah memimpin dunia, mengajar seluruh
kemanusiaan kepada Islam, membimbing kepada cara hidup Islam, kepada ajaran
yang baik, karena tanpa Islam manusia tidak mungkin mendapatkan bahagia.
Tugas ini bukan tugas juz‟iyah, bukan tugas sampingan dan bukan tugas
sebagian-sebagian. Bukan tugas yang hanya untuk mencapai tujuan-tujuan
terbatas dalam aspek politik, sosial dan ekonomi saja. Buka pula hanya untuk satu
tempat atau daerah tertentu. Buka pula terbatas kepada satu bangsa dan tanah air
1 Muṣṭafa Mansyur, Fiqih Dakwah, (Jakarta: I’tiṣom, 2000)h. 100
3
tertentu. Akan tetapi tugas ini merupakan tugas agung yang meliputi segenap sisi
kehidupan, demi kebaikan seluruh manusia dan kemanusiaan sejagat yang paling
sempurna dan bermanfaat. Bahkan untuk kebaikan bagi seluruh makhluk Allah,
karena Rasulullah SAW. diutus untuk membawa rahmat bagi seluruh alam.
Adapun balasannya, sangat besar. Yang lainnya adalah kecil belaka.
Segala yang ada di dalam hidup kita di dunia, berupa kenikmatan, kekuasaan,
kesenangan, dan kemewahan semuanya kecil belaka. Balasannya berupa surga
seluas langit dan bumi. Di dalamnya disediakan segala sesuatu yang tidak pernah
dilihat oleh mata, tidak pernah dilihat oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di
dalam pikiran, di surga kita akan bersama-sama dengan Nabi-nabi, para syuhada,
para ṣaddiqin, dan para ṣalihin, karena merekalah sebaik-baik sahabat. Kita akan
selamat dari azab neraka yang kayu apinya dari batu dan manusia. Puncak dari
semua itu adalah keridhoan Allah.2
Ceramah agama atau yang sering kita sebut dengan dakwah merupakan
ajakan atau seruan kepada yang baik dan yang lebih baik. Dakwah mengandung
ide tentang progresivitas, sebuah proses terus menerus menuju kepada yang baik
dan yang lebih baik dalam mewujudkan tujuan dakwah tersebut. Dengan begitu,
dalam dakwah terdapat sebuah ide dinamis, sesuatu yang terus tumbuh dan
berkembang sesuai dengan tuntunan ruang dan waktu. Sementara itu, dakwah
dalam prakteknya merupakan kegiatan untuk mentransformasikan nilai-nilai
agama yang mempunyai arti penting dan berperan langsung dalam pembentukan
persepsi umat tentang berbagai nilai kehidupan.3Oleh karena itu, dapat disebut
2 Muṣṭafa Mansyur, Fiqih Dakwah, (Jakarta: I’tiṣom, 2000)h. 6
3 Wahyu Ilaihi, Komunikasi dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosda karya, 2010), h. 17
4
bahwa da‟i adalah orang yang mengajak/mubaligh yaitu orang yang mengajak
kepada suatu tujuan. Menurut HSM Nasarudin Latief,yang dimaksud da‟i ialah
orang muslim yang menjadikan dakwah sebagai suatu tugas amaliah pokok
baginya selaku ulama, ahli dakwah, juru dakwah, muballigh atau mustami‟in (juru
penerang agama) yang menyeru, mengajak, dan memberi pengajaran dan
pelajaran agama Islam.
Sebagai agen pembentuk dan perubahan masyarakat, agar lebih baik, maka
dakwah jelas mempunyai peranan dan pengaruh yang sangat luas terhadap
kehidupan masyarakat. Antara masyarakat dan dakwah akan selalu terlibat dalam
hubungan yang pengaruh-mempengaruhi. Seperti halnya dengan pendidikan,
maka dakwah akan membentuuk masyarakat yang bertanggungjawab, bahkan
lebih dari itu, dakwah akan membentuk masyarakat yang baik, yang berakhlak
mulia, yang bertaqwa kepada Allah SWT. berbakti kepada-Nya dan mengetahui
fungsinya sebagai manusia. Dakwah tidak hanya sebagai sarana komunikasi
massa, yang hanya akan memberikan apa adanya saja, buruk maupun baik, akan
tetapi dakwah akan berkomunikasi dengan masyarakat dengan ketegasan
pandangan, bahwa yang baik harus dimenangkan dan yang tidak baik harus
dikalahkan.4
Jalan dakwah tidak di taburi bunga-bunga harum, tetapi merupakan jalan
sukar dan panjang. Karena, antara yang haq dan yang baṭil ada pertentangan
nyata. Dakwah memerlukan kesabaran dan ketekunan memikul beban berat.
Dakwah memerlukan kemurahan hati, pemberian dan pengorbanan tanpa
mengaharapkan hasil yang segera, tanpa putus asa dan putus harapan. Yang
4 M. Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Widjaya, 1982)h. 206
5
diperlukan ialah usaha dan kerja yang terus-menerus dan hasilnya terserah kepada
Allah, sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.5
Tetapi orang yang berjalan
diatasnyasenantiasa dihadapkan kepada penyelewengan yang dapat menjauhkan
dia dari perjalanan yang benar. Keadaan demikian terjadi karena dia telah
menyeleweng dan menimpang dari jalannya atau dia telah mengubah niatnya. Dan
jika bukan karena penyelewengan atau perubahan niat, dia pasti akan kembali ke
pangkal jalan yang benar. Penyelewengan ini terjadi karena dia terlalu gairah dan
bersemangat. Terutama ketika kita menyangka bahwa mereka yang berdakwah
sekarang ini adalah orang-orang yang benar, bersungguh-sungguh dan ikhlas,
padahal sebenanya mereka hanyalah bersimpati dan terpengaruh dengan apa yang
mereka dengar dan saksikanterhadap berbagai penindasan, gangguan, siksaan,
terhadap para da‟i sebelum mereka.6
Dewasa ini modernisasi ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya
media masa salah satunya adalah televisi. Pemanfaatan teknologi modern sebagai
media dakwah menjadi salah satu sarana yang paling efektif untuk
menyebarluaskan ajaran Islam. Kemajuan di bidang informasi dan telekomunikasi
sudah dimanfaatkan oleh para praktisi dakwah sebagai media dalam melakukan
dakwah Islam, sehingga para da‟i mendapatkan kesempatan menyampaikan ajaran
agama Allah dan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas. Ini merupakan
prestasi yang sangat membanggakan, kita bisa menyaksikan ceramah agama yang
rutin ditayangkan televisi setiap hari setelah sholat subuh di hampir semua chanel
nasional oleh da‟i dan da‟iah dengan penyampaian yang menarik, gaya, serta ciri
khas masing-masing da‟i. Peningkatan kualitas da‟i sangat penting karena tugas
5 Muṣṭafa Mansyur, Fiqih Dakwah, (Jakarta: I’tiṣom, 2000)h. 7
6 Muṣṭafa Mansyur, Fiqih Dakwah, (Jakarta: I’tiṣom, 2000)h. 28
6
dakwah tidaklah mudah, karena memerlukan keahlian, keterampilan tersendiri,
baik dari segi intelektual, emosional, maupun spiritual.7
Seiring dengan maraknya da‟i yang muncul di layar televisi, sehingga
memunculkan minat masyarakat untuk turut menghadirkan da‟i tersebut ke
hadapan jamaah di majlis taklim mereka, namun tidak sedikit yang mengeluh dan
kecewa dengan tanggapan dari oknum-oknum da‟i yang memberikan tarif terlalu
tinggi hingga akhirnya mereka gagal mengundang da‟i yang dimaksud. Dalam
sebuah pengamatan yang dilakukan oleh Ali Mustafa Yaqub tarif termahal dalam
berdakwah adalah Rp 100 juta untuk satu kali ceramah dan paling murah adalah
10 juta.8Hal ini memunculkan pandangan masyarakat yang negatif terhadap para
da‟i akhir-akhir ini, seolah dakwah menjadi kegiatan bisnis, padahal dakwah
bukan kegiatan bisinis, tetapi kegiatan sosial-keagamaan. Salah satu ciri khusus
kegiatan sosial adalah keterlibatn sukarelawan. Mereka bekerja tanpa
mengharapkan upah atau gaji. Akan tetapi, mereka tidak dilarang untuk menerima
upah yang tidak di mintanya tersebut. Pendakwah adalah sukarelawan yang
memenuhi panggilan Allah. Sebagai konsekuensinya, pendakwah yang meminta
upah dari dakwahnya dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa Nabi Hud as. berkata
kepada kaumnya:
وما اسالكم عليه من اجر إن أجري إال على رب العاملين
Dan sekali-ali aku tidak meminta upah kepadamu atas ajakan itu, upah ku tidak
lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. (QS. Asy-Syu‟ara‟: 127)
7 A. Ilyas Ismail, Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 65. 8Ali Mushafa Ya’qub, “Dai Bertarif” Republika, Selasa 23 Agustus 2013. Diakses dari
http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/26/ms59jb-dai-bertarif pada tanggal 2 Juni 2016..
7
Nabi-nabi yang lain juga mengatakan hal yang sama kepada umatnya. Ayat di atas
di ulang dalam surat asy-Syu‟arā‟ sampai lima kali, yaitu ayat 109 (peryataan nabi
Nūḥ as.), ayat 127 (pernyataan nabi Hūd as.), ayat 145 (pernyataan Nabi Ṣālih
as.), ayat 164 (pernyataan nabi Lūṭ as.), ayat 180 (pernyataan Nabi Syu‟aib as.).
dengan redaksi yang hampir sama disebutkan juga dalam surat Hūd ayat 29, dan
51, surat Yāsīn ayat 21, Yūnus ayat 72,. Hanya saja, masing-masing ayat tersebut
tidak melarang dengan tegas melainkan hanya menunjukan akhlak para nabi
dalam melakukan dakwah. Artinya, bentuk teks yang tersurat hanya menampilkan
aspek keteladanan para nabi, yakni menunjukan keikhlasan dalam berdakwah.
Ayat lain yang terkait dengan ayat-ayat di atas adalah surat al-Baqarah:41 dan al-
Maidah: 44.9
مصدقا ملا معكم وال تكىن اول كافربه وال تشتروا بااتي ثمنا وءامنى بما اهزلت
قليال وااي فتقىن
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan(al-Quran) yang
membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi
orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-
ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada-Kulah kamu harus
bertaqwa.10
Dalam riwayat Abu Daud (1994, III: 238: no. 3416), „Ubaidah bin al-
Shamit bercerita: “aku telah mengajarkan menulis dan membaca Al-Qur‟an
kepada masyarakat al-Ṣuffah. Kemudian ada seseorang diantara mereka yang
memberikan hadiah busur panahkepadaku. Aku berkata, “apakah busur tersebut
tidak termasuk harta benda, sementara aku melemparnya untuk jalan Allah? Aku
akan mendatangi Rasulullah SAW. Untuk menanyakannya” saat datang di tempat
9 Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an (Kairo: Dar al-
Hadits, 2007)h. 33 10
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Cipta Media, tt.
8
pertemuan, aku bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, seseorang memberi hadiah
busur kepadaku atas pengajaran al-Qur‟an kepadanya, apakah itu termasuk harta
benda, sedangkan aku melemparkannya di jalan Allah?” “Jika kamu suka
menyalakan baraapi, maka terimalah”, jawab Rasulullah SAW.
Berdasarkan al-Quran dan al-Hadis di atas, menurut sebagian ulama,
hukum meminta dan menerima imbalan karena memberikan jasa dakwah adalah
makruh. Jika ia melakukannya, maka ia tidak dikenakan dosa, melainkan hal itu
bisa menjatuhkan martabatnya. Secara etika, meminta imbalan dari kegiatan
dakwah lebih buruk daripada sekedar menerimanya. Meminta berarti pendakwah
menentukan besaran honororium, baik secara sepihak maupun secara negoisasi.
Sedangkan menerima imbalan semata, artinya tanpa meminta-minta berarti
pendakwah bersikap pasif, tidak meminta-minta merupakan penentuan dari mitra
dakwah, sementara pendakwah berhak menerimanya atau menolaknya.M. Quraish
Shihab (1992:109) menyatakan, “Pada hakikatnya, menerima sesuatu yang
berbentuk materi, baik oleh para nabi maupun pelanjut mereka, tidak dilarang
oleh surat al-Mudatsir ayat 6, „Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)
memperoleh (balasan) yang lebih banyak.‟” Ibnu Katsir mengatakan:
“Mengajarkan ilmu dengan menentukan honorarium adalah kearifan. Jika
hal itu telah menjadi tugasnya yang di tentukan negara, maka ia tidak
boleh mengambil upah lagi, tetapi ia diperkenankan memperoleh gaji dari
Baitul Mal (negara) yang dapat mencukupi keadaan dirinya dan
keluarganya. Akan tetapi, jiak ia tidak menerima apa pun dari Baitul Mal,
sementara pengajaran ilmu dapat terhenti akibat mencari nafkah, maka ia
seperti orang yang tidak di beri tugas. Ketika seseorang mengajarkan ilmu
tanpa ada tugas yang di tentukan negara, maka ia di perbolehkan
mengambil ongkos dari pengajarannya. Demikian pendapat Imam Malik,
Imam al-Syafi‟i, Imam Ahmad, dan sebagian besar para ulama”.11
11
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: KENCANA, 2004), h. 257.
9
Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin organisasi dai yang di
pimpin oleh KH Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 juni 1996 dalam
musyawarah nasional (Munasnya yang ke-4), yang dihadiri 350 peserta, para
ulama dan da‟i seluruh Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di
antara kode etik dakwah itu, da‟i tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat
yang didakwahi, ini mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama
ketika itu Dr Tarmizi Taher.12
Diantara hal penting untuk keberhasilan dakwah,
adalah keikhlasan yang menghiasi juru dakwah ketika ia berdakwah, bertujuan
untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT, dan mendapat segala hal yang
dipersiapkan Allah untuk para walinya yang bertaqwa dan hamba-Nya yang
beriman. Dakwah tidak akan berhasil kecuali jika semua perkataan, perbuatan
serta niat dan tujuannya benar-benar ikhlas karena Allah SWT, karena dakwah
adalah ibadah dan disyaratkan keikhlasan dan mutāba‟ah (mengikuti cara nabi)
dalam sahnya dakwah sebagaimanaa disyaratkan dalam ibadah lainnya.
Semua ibadah harus berdasarkan keikhlasan dan mutāba‟ah. Hal ini
ditegaskan oleh Syaikh as-Sa‟di, di mana beliau berkata,”semua ibadah adalah
sama, baik yang tidak tampak (bāṭin) seperti cinta kepada Allah, takut kepada
Allah, berharap kepada Allah, tawakal kepada Allah, mencintai amal dan orang
yang mencintai Allah, dan mengagungkan sesuatu yang diagungkan Allah,
ataupun ibadah yang tampak (ẓāhir) seperti menunaikan syariat-syariat yang
zahir, baik berkaitan dengan hak Allah semata, atau berkaitan dengan hak
makhluk. Semuanya mesti berdasarkan keikhlasan untuk Allah dan sesuai dengan
12
Ali Mushafa Ya’qub “Dai Bertarif” Republika, Selasa 23 Agustus 2013. Diakses dari http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/26/ms59jb-dai-bertarif pada tanggal 2 Juni 2016..
10
sesuatu yang diajarkan oleh Rasul SAW (mutāba‟ah). Barangsiapa yang
diberikan karunia oleh Allah untuk menggabungkan kedua landasan tersebut
maka dia berbahagia, dan barangsiapa yang kedua landasan tersebut atau salah
satu luput darinya, maka dia akan merugi, lalu tidak ada lagi yang lebih
bermanfaat bagi seorang hamba daripada menjadikan keikhlasan dan mutaba‟ah
berada dihadapannya dalam segala hal yang akan dilakukannya atau yang telah
beralu, demikian pula pada setiap ucapan dan perbuatannya, sehingga keikhlasan
dan mutaba‟ah benar-benar menjadi sifat bagi dirinya, dan semua tujuan yang
menafikan keikhlasan lenyap darinya.”13
Adapun alasan yang mendorong penulis mengangkat ke permukaan
tentang masalah ini adalah karena terdapat perasaan khawatir yang mendalam di
kalangan masyarakat terhadap tarif yang ditetapkan oleh para da‟i ini yang
menyebabkan tercorengnya nama da‟i yang berprilaku seperti itu belakangan ini.
Begitu pula munculnya fenomena seputar berkurangnya kepercayaan masyarakat
kepada para da‟i televisi, yaitu dengan maraknya penyebutan istilah ustadz honor,
ustadz seleb dan sebagainya, yang memandang bahwa para da‟i televisi yang
menetapkan tarif tinggi sebagai aktivitas menjual ayat Allah sebagaimana
digambarkan dalam QS al-Baqarah[2]:41.
Untuk itulah, pada skripsi ini penulis mengambil tema pembahasan
tentang tafsir QS al-Baqarah[2]:41 ini melalui penafsiran Ibn Katsīr dan Sayyid
Quṭb karena penulis ingin melihat begaimana sosok mufassir abad pertengahan
seperti Ibnu Katsir dan mufassir era modern seperti Sayyid Quṭb menanggapi
permasalahan tentang “menjual agama” sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟andalam
13
As-Suhaimi, Begini Seharusnya Berdakwah, (Jakarta: Darul Haq, 2008), hal. 29.
11
segenap makna dan konteks penafsirannya, sehingga kemudian dapat diterapkan
pada fenomena kekinian seperti yang terjadi dalam kasus para da‟iyang menerima
upah ceramah.
Sedangkan penulis mengambil Ibnu Katsir karena beliau adalah seorang
tokoh mufasir klasik yang konservatif dengan metode penafsiran yang bersifat
tradisional dalam menyajikan riwayat-riwayat penafsiran dengan tidak bergantung
pada sumber-sumber lain. Sementara Sayyid Quṭb dalam tafsirnya memebri
banyak pemecahan masalah bagi persoalan-persoalan sosial kemasyarakat yang
terjadi di era modern belakangan ini. Atas dasar latar belakang tersebut, penulis
tertarik melakukan penelitian ini dengan judul:” IMBALAN CERAMAH
AGAMA KAJIAN (Penafsiran QS Al-Baqarah: 41 Menurut Ibn Katsir Dan
Sayyid Quṭb)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah pada
maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis akan membatasi
permasalahan dengan menitikberatkan pada penafsiran Ibnu Katsir dan Sayyid
Quthb terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan imbalan ceramah dalam kitab
tafsirnya, yaitu Tafsir al-Qur‟an al-Aẓīmkarya Ibnu Katsir dan tafsir FīẒilāl Al-
Qur‟ān karya Sayyid Quṭb dengan membandingkan kedua pandangan mufasir
tersebut.
Berdasarkan pembatasan di atas, maka penulis merumuskan permasalahannya
pada bagaimana penafsiran QS Al-Baqarah/2:41 dalam Tafsir al-Qur‟an al-Aẓīm
karya Ibnu Katsir dan tafsir Fī Ẓilāl Al-Qur‟ān karya Sayyid Quṭb?
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas akhir bagi
pemberian gelar sarjana di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan bidang keilmuan tafsir dalam kerangka pembahasan dimaksud.
Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah memberikan wawasan
penjelasan kepada masyarakat yang jika memang dapat dipegangi dapat
meluruskan pemahaman yang keliru yang selama ini ada tentang persoalan
menentukan upah dalam berdakwah. Dengan menelusuri pendapat para mufassirin
diharapkan pandangan-pandangan mereka dapat menggali semangat al-Qur‟an
bagi persoalan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat masa kini.
D. Kajian Pustaka
Untuk menghindari kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi
lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki
kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk
memanfaatkan celah permasalahan yang belum diangkat dalam penelitian
sebelumnya, termasuk tidak menerapkan metodologi yang sama, sehingga
penulisan ini benar-benar memiliki distingsi dari kajian yang telah ada.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada beberapa
karya yang membahas permasalahan ini, yaitu skripsi oleh Fiqri Abdurrahman
yang berjudul “Upah Ceramah Agama dalam Perspektif Hadis”, tahun 2015, no.
395 skripsi ini membahas pada kajian hadis-hadis yang berkenaan dengan “Upah
Ceramah Agama dalam Perspektif Hadis”. Skripsi ini menjelaskan tentang jumhur
ulama yang membolehkan menerima upah namun tidak dijadikan sebagai tujuan
13
untuk mendapatkan ma‟isyah (mata pencaharian). Selain itu ada skripsi oleh Titin
Hartini yang berjudul “Imbalan Mengajarkan al-Qur‟an Dalam Perspektif Hadis”,
tahun 2006, no. 2018 skripsi ini membahas kajian hadis-hadis yang berkenaan
dengan imbalan mengajarkan al-Qur‟an berdasarkan waktu dan tata cara
memberikan imbalan tersebut.
Dari tinjauan di atas, dapat penulis katakan bahwa pembahasan skripsi ini
berbeda dengan karya di atas, karena penulis membahas tarif setelah ceramah
agama berdasarkan pada pokok bahasan tafsir al-Qur‟an, bukan kajian hadis
seperti yang dilakukan dalam penelitian skripsi sebelumnya.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Bentuk penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan)
yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, mengklarifikasi, serta menelaah
beberapa literatur yang berkaitan dengan inti permasalahan. Kegiatan
pengumpulan data dalam kegiatan ini di laksanakan dengan menggali informasi
atau pesan dari bahan-bahan tertulis dari beberapa buku-buku, artikel, jurnal dan
sebagainya.
Analisis terhadap pembahasan penelitian ini akan dilakukan dengan
metode perbandingan (comparative), yaitu dengan membandingkan pandangan
mufassir abad pertengahan yang diwakili Ibn Katsir dan pendapat mufassir
kontemporer yang didapatkan dalam penafsiran Sayyid Quṭb. Kedua tafsir juga
memiliki perbedaan corak yang sangat menarik untuk diketahui bagaimana
perbedaan corak penafsiran riwayat dalam tafsir Ibn Katsir dibandingkan dengan
corak adabi-ijtima‟i yang dikandung oleh penafsiran Sayyid Quṭb.
14
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada Buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Ushuluddin, dan Buku Pedoman Akademik UIN
Jakarta 2008.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa sub-
sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta
mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, langkah-langkah penelitian, kajian pustaka, tujuan
penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab ini berusaha
memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab
selanjutnya.
Bab II menerangkan tentang biografi singkat dua mufasir, yaitu Ibnu
Katsir dan Sayyid Qutb, yang karyanya dijadikan acuan dalam penelitian ini dan
meliputi biografi, pemikiran dan karya-karya yang dihasilkan, dan metode serta
corak tafsir yang digunakan.
Bab III membahas tentang pengertian ceramah, media dan metode
caramah, dan pendapat ulama tentang menerima upah setelah ceramah agama.
Bab IV secara rinci membahas QS Al-Baqarah:41 dengan membandingkan
pendapat Ibnu Katsir dan Sayyid Qutb terhadap upah dalam ceramah agama, dan
apakah upah boleh ditentukan seperti tarif pekerjaan.
15
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan yang didapat dari
pembahasan dan merupakan jawaban dari pertanyaan pada perumusan masalah
dan juga berisi saran-saran penulis.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TAFSIR AL-QUR’ĀN AL-‘AẒĪM
DANTAFSIRFĪ ẒILĀL AL-QUR’ĀN
A. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim
1. Sekilas tentang Ibn Katsir
Nama beliau adalah Abu al-Fida‟ Ismāīl ibn Umar ibn Katsīr ibn Dhau‟ ibn
Katsīr, al-Quraisy, ad-Dimasyqi, asy-Syafi‟i. Dia adalah seorang Imam, al-Hafidz,
al-Hujjah, ahli hadis, ahli sejarah, tsiqah (bisa dipercaya), memiliki banyak
keistimewaan, penopang agama. Ibn Katsir lahir di Mijdal, bagian dari Buṣra
(Baṣrah), ayahnya berasal dari Buṣra sedangkan ibunya dari desa Mijdal.
Ibnu Katsir lahir pada tahun 700 H, mulai menyibukan diri dengan ilmu
lewat kakaknya yang bernama Abdul Wahhab dan berusaha dengan gigih untuk
memperkaya ilmu kepada ulama-ulama besar pada zamannya. Ia pun menghafal
al-Qur‟an dan menghatamkan hafalannya pada tahun 711 H dan membaca al-
Qur‟an dengan banyak qira‟ah, hingga ad-Dawudi memasukan dirinya pada
jajaran al-Qurra‟ (ahli qira‟ah). Kemudian mendalami masalah fiqih kepada dua
syaikh, yaitu Burhanuddin al-Fazari14
dan Kamaluddin ibn Qadhi Syahbah.15
14
Ibrahim bin Abd al-Rahman ibn Ibrahim ibn Dhiya’ ibn Siba’ al-Fazari, yang dikenal dengan Burhanuddin bin al-Firkah, beliau adalah orang yang senantiasa memfokuskan hidupnya dengan ilmu pengetahuan, mengajar dan memberikan catatan pada pinggir kitab, orang lulus reputasinya, sangat wara’, keunggulannya dalam bidang fiqih telah disepakati, dan juga ikut terlibat dalam berbagai ilmu ushul, nahwu dan hadits. Beliau wafat pada bulan Jumadil Ula tahun 729 H. Ibn Katsir belajar Shahih Muslim dan lain-lain.Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Ibnu Katsir),(Jakarta, Pustaka Azam, 2013)h. 18
15Abu Muhammad Abdul Wahab ibn Dzuaib ibn Qadhi Syahbah (653-726 H). an-Nu’aimi
mneceritakan, Ibn Katsir belajar fiqh dari Kamaluddin ibn Qadhi syahbah. Diakses pada tanggal 2-Januari-2016 dari http://maribelajarngilmu.blogspot.co.id/2016/01/sejarah-ulama-ibnu-katsir.html?m=1
17
Hafal at-Tanbih karya asy-Syirazi tentang Furu‟ asy-Syafi‟iyah, dan Mukhtashar
Ibn al-Hajib tentang al-Ushul. Ia juga duduk dalam majlis al-Hafiẓ al-Kabir, Abu
al-Hajjaj al-Mizzi, membacakan kitab karyanya tentang para perawi, yaitu
“Tahdzib al-Kamal”, dan kemudian menikahkan puterinya yang bernama Zainab.
Ia termasuk murid Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah yang paling mulia,
bermulazamah kepadanya hingga tamat.
Al-Hafidz Ibn Katsir termasuk pembesar ulama pada zamannya. Ia banyak
mendapatkan pujian dari ulama-ulama saat itu dan juga dari murid-muridnya serta
dari orang-orang yang datang setelahnya dengan pujian yang luar biasa dalam
Ṭabaqat al-Hufaẓ.
2. Kedudukan Keilmuannya
Kedudukan keilmuan Ibn Katsir mulai diakui sejak di tengah-tengah
berbagai lembaga yang dipimpinnya dan berbagai masjid yang menjadi sarana
untuk menyampaikan berbagai pelajaran serta tampak pada berbagai karya tulis
yang disusunnya dalam bidang tafsir, sejarah dan hadis.
Ada beberapa lembaga yang dikelola oleh Ibn Katsir menurut Abd Allah ibn
Muhsin at-Turki, seperti Madrasah Darul Hadits al-Asyrafiyah, Madrasah ash-
Shalihiyyah, Madrasah an-Najibiyah, Madrasah at-Tankaziyah dan Madrasah an-
Nuriyah al-Kubra. Sedangkan masjid-masjid penting yang menjadi sarana
pembelajaran, yang paling terkenal adalah masjid Jami‟ al-Amawi, masjid Ibn
Hisyam, masjid Jami‟ at-Tankiz, dan masjid Jami‟ al-Fauqani. Al-Hafidz juga
menyampaikan cearmah, disamping menyusun berbagai karya tulisnya yang
18
keilmuannya memenuhu bumi, dan manusia mengambil manfaatnya selama
beliau hidup dan sesudah beliau meninggal dunia.16
Mengutip pendapat Ibn Hajar Abd Allah ibn Muhsin at-Turki menjelaskan,
Ibn Katsir adalah orang yang sanagat baik ingatannya, humoris, karya-karyanya
tersebar luas di seluruh kawasan selama hidupnya, dan banyak orang mengambil
pelajaran melalui karya-karya setelah beliau meninggal dunia.17
3. Guru-guru Ibn Katsir
Ibn Katsir tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang shalih,
ilmu dan ketaqwaan selalu menaunginya. Ibunya Maryam ibnat Faraj ibn Ali
adalah wanita yang hafal al-Qur‟an, tidak ada yang lebih besar pengaruhnya
dibanding seorang anak yang menerima alunan bahasanya dari mulut yang
terbiasa berdzikir mengingat Allah dan membaca ayat-ayatnya. Di antara gurunya
yang lain adalah:
1. Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Ibrahim bin Ḍiya‟ ibn Siba‟ al-Fazari, yang
dikenal dengan Burhanuddin ibn Al-Firkah, beliau adalah orang yang
senantiasa memfokuskan hidupnya dengan ilmu pengetahuan, mengajar dan
memberikan catatan pada pinggir kitab, orang lulus reputasinya, sangat wara‟,
keunggulannya dalam bidang fiqih telah disepakati, dan juga ikut terlibat
dalam berbagai ilmu ushul, nahwu dan hadits. Beliau wafat pada bulan
Jumadil Ula tahun 729 H. Ibn Katsir belajar Shahih Muslim dan lain-lain.
16
Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Ibnu Katsir),(Jakarta, Pustaka Azam, 2013) h. 18
17 Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Ibnu Katsir),(Jakarta,
Pustaka Azam, 2013) h. 19
19
2. Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Abi Thalib ibn Ni‟mah ibn Hasan ash-
Shalihi al-Hajar, yang dikenal dengan nama Ibnu Syahnah, beliau mendengar
langsung dari Ibn az-Zabidi dan Ibn al-Latti. Beliau melihat tidak ada
keagungan dan kemuliaan yang melebihinya. Beliau wafat pada tahun 730 H.
Ibn Katsir belajar kepadanya di Dar al-Hadits al-Asyrafiyah.
3. Syaikh al-Islam Taqiyuddin, Ahmad ibn Abdul Halim ibn Abd as-Salam ibn
Abdullah ibn Abi al-Qasim ibn al-Haḍar ibn Muhammad Ibn Taimiyah al-
Harrani, kemudian ad-Dimasyqi. Beliau adalah guru besar Islam dan panutan
para tokoh panutan. Beliau wafat pada 20 Dzul Qa‟dah tahun 728 H.
4. Hamzah ibn Mu‟ayaduddin Abul Ma‟ali As‟ad ibn Izzuddin Abi Ghalib al-
Muḍaffar ibn al-Wazir Mu‟ayaduddin Abul Ma‟ali ibn As‟ad ibn al-Amid
Abu Ya‟la ibn Hamzah ibn Asad ibn Ali ibn Muhammad at-Tamimi ad-
Dimasyqi Ibn al-Qalanisi. Beliau wafat pada tahun 729 H.
5. Zakaria ibn Yusuf ibn Sulaiman ibn Hamad al-Bajli asy-Syafi‟i yang dikenal
dengan nama Barkanuddin al-Bajli, anggota penceramah, guru at-Thayibiyyah
dan al-Asadiyah. Beliau wafat pada hari Kamis, 23 Jumadil Ula 722 H.
6. Dhiya‟uddin Abdullah az-Zaranbadi an-Nahwi. Ibn Katsir menjelaskan: aku
termasuk orang yang fokus belajar nahwu kepadanya. Beliau wafat pada tahun
723 H.
7. Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman ibn Qaiyimaz
ibn Abdullah at-Turkumani, asalnya al-Fariqi kemudian ad-Dimasyqi, yang
dikenal dengan nama adz-Dzahabi. As-Subki menjelaskan tentang dirinya:
Dia adalah tokoh yang selalu diingat, untaian makna dan redaksinya laksana
emas pada masanya, guru besar ilmu al-Jarh wa at-Ta‟dil (penilaian cacat dan
20
adilnya seorang periwayat hadis), tokohnya para tokoh dalam segala jalur,
seolah-olah umat ini berkumpul menghadapnya dalam satu lapangan luas, lalu
dia memandangnya, lalu dia segera mengabarkan tentang dirinya segala
informasi seorang yang mendatanginya. Ibn Katsir belajar di bawah
bimbingannya mengenai sejarah, hadis dan tafsir. Beliau adalah guru Ibn
Katsir yang sangat tampak pengaruhnya. Beliau wafat pada tahun 748 H.
8. Syamsuddin an-Nabalisi, Abu Muhammad Abdullah ibn al-Afif Muhammad
ibn asy-Syaikh Taqiyuddin Yusuf ibn Abdul Mun‟im ibn Ni‟mah al-Maqdisi
an-Nabalisi al-Hanbali. Ibn Katsir menjelaskan, ia adalah orang yang banyak
beribadah, serta merdu suaranya, ia adalah orang yang bersahaja dan
berwibawa. Aku membaca banyak juz dan pelajaran di hadapannya sepanjang
tahun 703 H, dan 370 H, sepulangnya kami dari al-Quds. Beliau wafat pada 22
Robi‟ul Akhir 737 H.
9. Syaikh Umar ibn Abi Bakar al-Haiti al-Basthi, ia mendengar hadis dari Syaikh
Fakhruddin ibn al-Bukhari dan lainnya. Ibn Katsir menjelaskan: ”aku
membaca Mukhtashar al-Masyyakhah di hadapannya dari Ibn al-Bukhari”. Ia
turut mengikuti berbagai majlis Syaihk Taqiyuddin Ibn Taimiyah. Ia wafat
pada 29 Rajab 742 H.
10. Baha‟uddin Abu al-Qasim ibn Syaikh Badruddin Abu al-Ghalib al-Mudhaffar
ibn Najmuddin ibn Abi ats-Tsana‟ Mahmud ibn al-Imam Tajul Amna‟, Ibn
Asakir ad-Dimasyqi, ia menerima dan mendengar langsung di hadapan banyak
21
syaikh, ia juga mempelajari ilmu kedokteran dan mengobati orang-orang sakit
tanpa memungut biaya apa pun. Ia wafat pada 25 Sya‟ban 723 H.18
4. Karya-karyanya
Al-Hafidz memiliki banyak karya tulis diantaranya adalah:
1. At-Tafsīr
2. Al-Bidāyah wa An-Nihayah yaitu kitab sejarah yang abgus dan masyhur.
3. As-Sirah An-Nabawiyyah
4. As-Sirah
5. Ikhtishar Ulum al-Hadits
6. Jami‟ al-Masanid wa as-Sunan
7. At-Takmil fi Ma‟rifah ats-Tsiqat wa adh-Dhu‟afa wa al-Majahil
8. Masnad asy-Syaikhain (Abu Bakar dan Umar)
9. Risalah fi al-Jihad
10. Tsabaqat asy-Syafi‟iyyah
11. Ringkasan Kitab (al-Madkhal ila Kitab as-Sunan) karya al-Baihaqi.
12. Takhrij Ahadits Adillah at-Tanbih
13. Takhrij Ahadits Mukhtashar Ibn al-Hajib
14. Syarh Shahih al-Bukhari
15. Kitab al-Ahkam.19
Ibn Katsir hidup dengan hidup penuh kebaikan, dengan belajar, mengajar
dan menulis hingga akhir hayatnya. Beliau kehilangan pandangan matanya pada
18
Ibn Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah Ibn Katsir: Lukman Hakim, Ibn Said, Ibn Hasan, editor, Ahmad Nur Hidayat, Mukhlis Abu al-Mughni, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013)h. 21-24
19 Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir (jilid 1), Syaikh Ahmad Syakir, (Jakarta, Darus Sunah,
2014)hal. xxxv
22
saat sedang menyusun kitab Jami‟ al-Masanid, lalu beliau tetap
menyelesaikannya kecuali sebagian hadis Musnad Abu Hurairah, mengenai hal
ini beliau menjelaskan, aku tidak pernah berhenti menulis di malam hari, cahaya
lampu membantu menerangi sampai hilang pandanganku bersamanya. Karena itu
Allah memberkahi hidupnya hingga beliau wafat pada hari Kamis26 Sya‟ban 774
H, di Damaskus dan dimakamkan dekat gurunya Ibn Taimiyah.20
5. Metode Penafsiran
Dalam hal ini, Rasyid Ridha berkomentar:”Tafsir ini merupakan tafsir
paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari
para mufassir salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi
pembahasan masalah i‟rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya
dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, menghindar dari
pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam
memahami al-Qur‟an secara umu atau hukum dan nasihat-nasihatnya secara
khusus.”
Diantara ciri khas tafsirnya ialah perhatiannya yang besar kepada masalah
Tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an (menafsirkan ayat dengan ayat). Tafsir ini
merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat yang
bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadis-
hadis marfu‟ yang relefan dengan ayat yang sedang ditafsirkan, menjelaskan apa
yang menjadi dalil dari ayat tersebut. Selanjutnya diikuti dengan atsar
parasahabat, pendapat tabi‟in dan ulama salaf sesudahnya.
20
Ibn Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah Ibn Katsir: Lukman Hakim, Ibn Said, Ibn Hasan, editor, Ahmad Nur Hidayat, Mukhlis Abu al-Mughni, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013)h. 36
23
Keistimewaan dari tafsir ini adalah daya kritis yang tinggi terhadap cerita-
cerita israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bi al-Ma‟tsur, baik
secara global maupun secara detail.21
B. Tafsir Fī Ẓilāl Al-Qur’ān
1. Sekilas tentang Sayyid Quṭb
Disarikan dari Shalah Abd al-Fath al-Khalidi bahwa nama lengkap Sayyid
Quṭb adalah Sayyid Quṭb Ibrahim Husain Syādzilī, lahir di Mausyah salah satu
wilayah Propinsi Asyuṭ, di dataran tinggi Mesir. Beliau lahir pada tanggal 9
Oktober 1906. Dituturkan bahwa ia berasal dari keluarga terhormat yang juga
agamis. Ayahnya adalah seorang mukmin yang bertaqwa, yang begitu semangat
menunaikan kewajiban-kewajiban agama, bergegas untuk mendapatkan keridhaan
Allah, serta menjauhi segala yang bisa mendatangkan kemurkaan dan siksa-Nya.
Demikian juga ayah Sayyid Quṭb memiliki status sosial yang tinggi di wilayah itu.
Sang ibu juga seorang wanita yang shalehah, ia sangat bersemangat untuk
melakukan kebaikan, bersikap lembut terhadap orang-orang miskin dan orang-
orang yang membutuhkan, serta senantiasa mendekatkan diri kepada Allah
dengan berbagai amal shaleh.22
Jenjang pendidikannya ditempuh dari Desa menuju kota. Sayyid Quṭb
menempuh pendidikan dasarnya di desa. Di desanya pula ia menamatkan hafalan
al-Qur‟annya dalam usia yang masih sangat belia, karena belum melampaui usia
sebelas tahun. Al-Qur‟an yang sudah dihafalnya sejak kecil mempunyai pengaruh
yang besar dalam mengembangkan kemampuan sastra dan seninya dalam usia
21
Manna al-Qaṭṭan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, penerjemah Aunur Rafiq el-Mazni, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), cet. Ke-1, h. 478
22 Shalâh ‘Abd al-Fath al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilal Qur’an Sayid
Qutub, Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta, Era Intermedia, 2001)hal. 24
24
yang masih muda.Setelah terjadinya Revolusi Rakyat Mesir pada tahun 1919
melawan pendudukan Inggris, Sayyid Quṭb berangkat dari desanya menuju Kairo
untuk melanjutkan studi di sana. Di Kairo Sayyid Quṭb tinggal di rumah
pamannya dari pihak ibu, orang al-Azhar sekaligus seorang wartawan yang
bernama Ahmad Husain Utsman.23
Melalui pamannya ini ia bisa berkenalan
dengan sastrawan besar, Abbas Mahdi al-„Aqqad, yang membukakan pintu-pintu
perpustakaannya yang besar untuknya. Sayyid Quṭb pun akhirnya mengambil
keuntungan dari pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat pemilik
perpustakaan dalam bidang sastra, kritik, dan kehidupan.
Pendidikan tingkat tinggi ditempuh oleh Sayyid Quṭb masuk sebagai
Mahasiswa di Institut Darul Ulum (Kuliyat Dar al-Ulum) pada tahun 1930,
setelah sebelumnya menyelesaikan tingkat tsanawiyah dari Tajhiziyah Darul
Ulum, kemudian lulus dari perguruan tersebut pada tahun 1933 dengan meraih
gelar Lc dalam bidang sastra dan diploma dalam bidang tarbiah. Setelah lulus
kuliah, Sayyid Quṭb bekerja di Departemen Pendididkan dengan tugas sebagi
tenaga pengajar di sekolah-sekolah milik Departemen Pendidikan selama enam
tahun. Pada dasawarsa tiga puluhan, perhatian Sayyid Quṭb adalah dalam bidang
sastra dan kritik sastra, perspektif-perspektif beliau menampakkan analisis filsafat
yang mendalam, sementara itu sajak-sajak beliau bernuansa sentimental
emosional, dan esai-esai beliau beraroma kritik yang tajam. Sayyid Quṭb
mempublikasikan tulisan-tulisannya dalam majalah ar-Risalah dan utamanya ats-
Tsaqafah, juga di berbagai koran dan majalah lainnya yang bernuansa sastra dan
politik.
23
Shalâh ‘Abd al-Fath al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilal Qur’an Sayid Qutub, Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid , (Surakarta, Era Intermedia, 2001)hal. 27
25
Menurut al-Khalidi, pada pertengahan dekade empat puluhan Sayyid Quṭb
mengkaji al-Qur‟an dengan pendekatan sastranya serta meresapi dengan sentuhan
keindahannya. Sayyid Quṭb pun menyebarkan pemikirannya yang unik mengenai
ilustrasi artistik dalam al-Qur‟an (at-Tashwir al-Fanni fial-Qur‟ān). Selanjutnya
Sayyid Quṭb mengkaji al-Qur‟an dengan pendekatan pemikiran (fikrah), lalu
menelurkan pemikirannya mengenai keadilan sosial dalam Islam. Sesudah itu
Sayyid Quṭb beralih dari sastra, kritik, sajak dan narasi menuju pemikiran Islami
dan amal Islami, dakwah kepada reformasi (iṣlāḥ), serta memerangi kerusakan
dengan pijakan Islam. Akhirnya dengan begitu berani dan tegas, beliau memerang
indikasi-indikasi kerusakan politik dan sosial serta melemparkan dakwaan-
dakwaan terhadap kelompok destruktif. 24
2. Pemikiran dan Karya-karyanya
Hassan Hanafi25
mencoba membagi ciri-ciri perkembangan pemikiran
Sayyid Quṭb kepada empat fase: literatur (1930-1950), sosial (1951-1954),
filosofis (1954-1962), dan politis (1963-1965).26
Periode literatur dialami Sayyid
24
Shalâh ‘Abd al-Fath al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilal Qur’an Sayid Qutub, Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid , (Surakarta, Era Intermedia, 2001)hal. 30
25 Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Tepatnya dilokasi
sekitar tembok Benteng Ṣalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan al-Azhar. Pada tahun 1952 ia tertarik untuk masuk ke dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, atas saran para Pemuda Muslim. Akan tetapi, disana terjadi perdebatan yang menyebabkan orang-orang yang tergabung dalam organisasi tersebut menyarankan agar Hassan Hanafi bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Pada usia pada usia belasan tahhun ia telah dihadapkan pada ketidakpuasan atas cara berpikir pemuda Islam yang terkotak-kotak. Keadaan itulah yang membuatnya tertarik pada pemkiran-pemikiran Sayyid Quṭb tentang keadilan sosial dalam Islam. Sejak itu ia berkonsentrasi untuk mendalami agama, revolusi, dan perubahan sosial. Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi, dan Reformasi: ‘Pragmatisme’ Agama dalam Pemikiran Hassan Hanafi, (Jakarta: Bayumedia Pulishing, 2003), cet. Ke-1, h. 8.
26 Abd Muid, Teologi Pembebasan Islam Sayyyid Quṭb, (Tesis S2 Konsentrasi Pemikiran
Islam, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005)h. 45
26
Quṭb ketika bertemu kaum modernis seperti Abbas Mahmud al-„Aqqad,27
Thaha
Husain,28
dan Ahmad Amin.29
Mereka membimbing Sayyid Quṭb berpikir sekuler,
liberal, nasionalis, dan memaksimalkan akal. Periode sosial dimulai kala Sayyid
Quṭb menulis al-„Adalah al-Ijtimā‟iyyah fi al-Islam, yang membuat partai
27
Abbas Mahmud al-‘Aqqad lahir di Aswan, sebuah kota di hulu Mesir, pada tahun 1889, ia menerima sedikit pendidikan formal, dengan hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Tidak seperti teman sekolahnya, ia menghabiskan uang saku mingguannya untuk buku. Ia membaca tentang agama, sejarah, geografi dan buku pelajaran lainnya. Ia dikenal karena bahasa Inggris dan Prancisnya yang sangat baik. Ia menulis lebih dari 100 buku tentang filsafat, agama dan puisi. Ia mendirikan sebuah sekolah puisi bersama Ibrahim al-Mazni dan Abdel Rahman al-Shokny, yag dipanggil al-Diwan. Karya-karya yang paling terkenal ialah, al-‘Abkariat, Allah,SarahdanThe Geniua of Christ(yang diterjemahkan oleh F. Peter Ford 2001). Al-‘Aqqad dikenal karena ia menggunakan bunga-bunga dan prosa yang rumit. Al-‘Aqqad meninggal di pagi hari pada tanggal 13 Maret 1964. Mayatnya diangkut dengan kereta api ke kampung halamannya, Aswan. https://id.wikipedia.org/wiki/Abbas_el-Akkad diakses pada tanggal 29 November 2016
28 Ṭoha Husain meupakan tokoh kontraversial di Mesir. Pernah menjabat sebagai mentri
pendidikan Mesir dituduh mengajarkan sekularisme pada sekolah-sekolah. Tercatat sebagai pembeharu Mesir. Ia juga menekankan pentingnya Mesir belajar pada Barat. Ia buta total pada usia 6 tahun karena sebuah penyakit bernama optahlma, namun tidak menyurutkan semangat belajarnya. Ṭoha Husain memulai pendidikannya dari SD Tradisional, Universitas al-Azhar selama 10 tahun, lalu pindah ke Universitas Kairo karna dipandang kuno, kemudian disekolahkan di Universitas Sorbone, Paris Prancis untuk memperdalam filsafat, sastra Prancis dan sastra Klasik, ia juga menulis disertasi tentang Ibn Khaldun. http://nurekhun.blogspot.com/2012/10//m=1 diakses pada tanggal 14-Desember-2016
29 Ahmad Amin lahir di Kairo, pada awal bulan Oktober, 14 tahun mejelang akhir abad
XIX, tepatnya 1 Oktober 1886 dan meninggal pada 30 Mei 1954. Sejak kecil ia hidup ditengah keluarga yang terdidik dan penuh disiplin. Ayahnya membuatkan rumah yang dipenuhi dengan beberapa literatur beragam bidang keilmuan untuk Amin dan beberapa saudara-saudarinya yang lain yang membuat mereka betah didalamnya. Pendidikan lain yang diterima Amin, selain dari kondisi keluarganya yang demikian ketat mendidik anak-anaknya, ia juga belajar di Kuttab untuk tingkat dasar dan menengah, kemudian ia juga belajar di al-Azhar hingga menamatkan jurusan Peradilan Agama lalu menjabat sebagai Hakim di Lembaga Peradilan Agama dan juga mengajar sampai tahun 1921. Beberapa tahun tinggal di sekitar al-Azhar, kemudian Amin memutuskan untuk pindah ke Kairo, di kota kelahirannya tersebut pada tahun 1926, ia diangkat menjadi dosen Fakultas Sastra Arab (Adab) di al-Jamīah al-Misriyah (Mesir University), yang selanjutnya diangkat menjadi dekan di perguruan tinggi tersebut secara berturut-turut pada tahun 1939, kemudian pada tahun 1947 ia diangkat menjadi rektor pada Direktorat Kebudayaan di Liga Arab (Jami’ah ad-Duwal al-‘Arabiyah) hingga wafatnya. Terlepas dari semua prestasi dan reputasinya, Amin tidak pernah lepas dari kritik dan kecaman dari berbagai pihak, antara lain dari Muṣthafa as-Siba’i terkait pemikirannya yang kontroversial, secara khusus dalam bidang hadis. Beberapa butir pemikiran Ahmad Amin mengenai penulisan hadis, bahwa hadis tidak di tulis pada masa ketika Nabi masih hidup, ia hanya diriwayatkan berdasarkan ingatan para periwayatnya, sehingga hal tersebut yang menyebabkan banyaknya hadis palsu. Usaha ulama dalam melakukan kajianpun menurutnya tidak berhasil, karena mereka hanya melakukan kritik sanad hadis dan tidak kritis dalam menilai keadilan para sahabat Nabi dan matan hadis itu sendiri. https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Amin diakses pada tanggal 29 November 2016
27
komunis Mesir meletakannya sebagai musuh utama mereka. Dengan buku
tersebut, Sayyid Quṭb berarti merebut isu kesjahteraan sosial dari mereka, dan
mengarahkan para pemikir, intelektual, dan masyarakat umum ke manhaj yang
lain, yaitu manhaj islami, dalam usaha reformasi sosial untuk diimplementasikan
di dunia sosial.
Pemerintah Mesir dan raja Faruq I menganggapnya sebagai pembela Islam
yang terepresentasi lewat Ikhwanul Muslimin yang sedang dimusuhi oleh
pemerinta Mesir setelah mereka ikut serta dalam perang melawan Yahudi di
Palesina. Istana dan para Menterinya menilai bahwa Sayyid Quṭb sebagai
ancaman atas sistem monarki karena pemikiran-pemikiran Sayyid Quṭb membuat
Ikhwan al-Muslimin semakin mendapatkan hati di masyarakat. Ditambah dengan
terwujudnya koalisi antara mereka dengan tentara saat terjadinya pengepungan
tentara Mesir di Faluga, yaitu peristiwa yang kemudian melahirkan revolusi Juli
1952 M. selain mempublikasikan Ma‟rakah al-Islam wa al-Ra‟simāliyyah, al-
Salamu al-„Alami wa al-Islami, dan Dirasat Islamiyyah, Sayyid Quṭb juga
memulai penulisan karya monumentalnya, yaitu Tafsir Fī Ẓilal al-Qur‟an yang
dimulai dengan artikel-artikelnya pada akhir tahun 1951 M di majalah al-
Muslimūn, yang diterbitkan secara bulanan, di bawah pimpinan Said Ramadhan.
Setelah tujuh edisi, Sayyid Quṭb menghentikan kegiatan itu dan mengatakan
bahwa dia akan mempublikasikan tafsir dalam bentuk beberapa jilid. Juz pertama
dari tafsir tersebut kemudian diterbitkan pada Oktober 1952 M, yang diikuti oleh
juz-juz berikutnya. Semua tafsirnya berisi tentang refleksi dan renungan-
renungannya yang tidak ada hubunganya dengan hukum fiqih. Dalam
mukaddimah cetakan pertama Sayyid Quṭb berkata “beberapa orang pembaca
28
menganggap buku Fī Ẓilal al-Qur‟an sebagai satu jenis tafsir, sebagian yang lain
menganggapnya sebagai suatu pendedahan atas prinsip-prinsip umum, seperti
yang terdapat dalam al-Qur‟an, dan kelompok yang ketiga menganggapnya
sebagai suatu usaha untuk menjelaskan dustur ilahi dalam kehidupan masyarakat,
dan penjelasan akan hikmah dalam dustur tersebut. Kata Sayyid Quṭb:
”saya sendiri sama sekali tidak sengaja berbuat seperti itu, yang saya lakukan tak
lebih dari mencatat apa-apa yang terlintas dalam batin saya ketika saya hidup
dalam naungan al-Qur‟an itu”.30
Sayyid Quṭb mulai beranjak dari pemikir akademik murni kepada
gagasan-gagasan yang punya perhatian terhadap masyarakat sekitarnya dalam
nuansa islami. Dia memperhatikan makna agama di era modern, jurang yang
menganga antara kaya dan miskin di era Mesir modern, westernisasi di dunia
Muslim, dan keterdesakan untuk membangun negara Islam sebagai penerapan al-
Qur‟an dan Hadits. Periode filosofis di tandai dengan lahirnya karya-karya Sayyid
Quṭb, Khaṣa‟iṣ al-Taṣwir al-Islami wa Muqawwamatuh, al-Mustaqbal li Hadza
al-Din, dan Nahwa Mujtama‟ al-Islami.
Sayyid Quṭb dijebloskan ke dalam penjara selama 15 tahun ditambah
dengan kerja paksa saat peristiwa al-Mansyiah31
pada akhir 1954 M, dalam
30
Salim Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quṭb: Menuju Pembarua Gerakan Islam, terj: Abdul Hayyie al-Kattani, Taqiyuddin Muhammad Ahmad Ihwani, (Depok: Gema Insani, 2003)h. 18
31 Al-Mansyiah adalah peristiwa penembakan dictator Mesir, Jamal Abd al-Naṣr pada
tanggal 26-Oktober-1954 saat menyampaikan pidato di medan al-Mansyiah, Alexandria. Diakses dari https://www.google.co.id/amp/s/www.dakwatuna.com/2014/05/13/51166/jamal-sultan-drama-al-mansyiah-1954-akan-dia-mainkan-kembali/amp pada tanggal 29-Juli-2017 tentang kejadian al-mansyiah, media massa Kuwait mepublikasikan pada 16/4/1989 M penjelasan Hasan at-Tuhami, salah satu perwira tinggi revolusi dan salah seorang wakil presiden Mesir, bahwa Jamal ‘Abd al-naṣr didatangi oleh pakar propaganda Amerika. Ia kemudian mengusulkan kepada Jamal ‘Abd al-Naṣr untuk merancang peristiwa penembakan atas diri Jamal ‘Abd al-Naṣr yang dilakukan oleh seorang anggota Ikhwan al-Muslimin, dengan syarat adanya jaminan keselamatan presiden Jamal ‘Abd al-Naṣr dan tidak terkena tembakan tersebut. Oleh karena itu mereka
29
peristiwa itu ikhwan al-Muslimin dituduh berusaha membunuh Jamal „Abd al-
Naṣr sehingga Sayyid Quṭb ditangkap bersama dengan beberapa ribu anggota
Ikhwa al-Muslimin, meski Sayyid Quṭb adalah salah seorang sahabat dan
penasihat yang paling setia terhadap Jamal „Abd al-Naṣr.32
Sayyid Quṭb mulai bergeser orientasinya dari pemikiran Islam sosialis
menjadi Islam futuristik teoretis. Ia berasumsi bahwa ketika aktivitas pergerakan
berhenti, secara alamiah yang tersisa hanya paparan teori saja dan ketika realitas
di depannya sudah tergulung dan ditutup, maka tidak ada lagi di hadapannya
selain impian dan khayalan. Dalam periode ini, Sayyid Quṭb mengkhususkan diri
untuk membahas kritik terhadap peradaban Barat, masa depan Islam, karakteristik
pandangan dunia Islam, dan keunggulan syariat Islam. Periode terakhir, politis,
dimulai kala Sayyid Quṭb kembali dijebloskan di balik jeruji besi dengan dakwaan
yang lebih parah. Ini adalah puncak dari pemikiran Sayyid Quṭb dan di sanalah
bermuara semua bangunan pemikirannya selama ini. Dan karya besar yang lahir
pada masa itu adalah Ma‟ālim fi al-Ṭarīq. Jamal Abd al-Naṣr membaca buku ini
selama perjalanannya ke Moscow untuk berobat. Naluri keorganisasiannya
memberitahu bahwa di balik buku ini ada sebuah organisasi rahasia demi
merealisasikan misi yang diperjuangkan yaitu membebaskan manusia lewat
barisan orang-orang yang beriman. Maka, direkayasalah sebuah konspirasi yang
berujung pada syahidnya Sayyid Quṭb di tiang gantungan.33
memberikan peluru hampa kepada orang yang akan menembaknya, juga memberikan baju anti peluru kepada Jamal ‘Abd al-Naṣr.
32Salim Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quṭb: Menuju Pembarua Gerakan Islam,
h. 19 33
Abd Muid, Teologi Pembebasan Islam Sayyid Quṭb, (Tesis S2 Konsentrasi Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)h. 46
30
Karya-karya Sayyid Quṭb selama hidupnya begitu beragam, Mahdi
Fadhulullah34
membagi karya-karya Sayyid Quṭb kepada:
a) Kritik Sastra: Muhimmat al-Sya‟ir fi al-Ḥayah (Urgensi Syair dalam
Kehidupan),pada tahun 1945 M Sayyid Quṭb mengarang buku al-Tashwir
fi al-Qur‟an (Ilustrasi Artistik dalam al-Qur‟an) buku ini mnejelaskan
manhaj keindahan seni dalam al-Qur‟an al-Karīm, kemudian pada tahun
1947 Sayyid Quṭbmempublikasikan bukunya yang kedua, Masyahid al-
Qiyamah fi al-Qur‟an (Hari Kiamat Menurut al-Qur‟an) buku ini berbicara
tentang gambaran seni dalam pemandangan-pemandangan kiamat, berupa
kenikmatan dan azab. an-Naqd al-Adabi: Ushuluh wa Manahijuh (Kritik
Sastra: Asal usul dan Metodenya), Naqd Kitab Mustaqbal fi al-Mishra
(Kritik Kitab Masa Depan Kebudayaan di Mesir), Sayyid Quṭb juga
memiliki buku-buku lain dalam bidang seni, diantaranya al-Qiṣṣah baina
at-Taurat wa al-Qur‟an, al-Manṭiq al-Wijadāni fi al-Qur‟an, serta Asālib
al-Arḍ al-Fanni fi al-Qur‟an.
b) Novel-novel: Ṭifl min al-Qaryah (Anak-anak dari Desa), al-Aṭyaf al-
Arba‟ah (Empat Impian), Asywaq (Kerinduan), al-Madinah al-Maṣurah
(Kota Maṣurah).
c) Pendidikan dan pengajaran: al-Qoṣoṣ al-Dini (Kisah-kisah Religius), al-
Jadid fi al-Lughah (Yang Baru dalam Bahasa), al-Jadid fi al-Mahfuẓat
(Yang Baru dalam Hafalan), Rauḍah al-Ṭifl (Taman Anak-anak).
d) Agama: al-„Adalah al-Ijtima‟iyyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam
Islam), Ma‟arakah al-Islam wa al-Ra‟simaliyyah (Perang Islam Melawan
34
Mahdi Fathullah, Titik temu Agama dan Politik, (Solo: Ramadhani, 1991)h. 39 dikutip oleh Abd Muid, Teologi Pembebasan Islam Sayyyid Quṭb, (Tesis S2 Konsentrasi Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)h. 45
31
Kapitalisme), al-Salamu al-„Alami wa al-Islam (Keselamatan Alami dan
Islami), Nahwa Mujtama al-Islami (Contoh Masyarakat Islami), Fi Ẓilal
al-Qur‟ān (Di Bawah Naungan al-Qur‟an), Khaṣa‟is al-Taṣwir al-Islāmī
(Karakteristik Konsepsi Islam), al-Islam wa Musykilat al-Haḍarah (Islam
dan Problematika Peradaban), Dirasat Islamiyyah (Studi Islam), Hadza al-
Din (Inilah Agama), al-Mustaqbal li Hadza al-Din (Masa Depan Agama
Ini), dan Ma‟alim fi al-Ṭariq (Petunjuk Jalan).
3. Metode dan Corak Penafsirannya
Menurut Abun Bunyamin35
metode panafsiran Sayyid Quṭb mempunyai ciri
khas dan metode yang unik, yaitu merupakan suatu bentuk perpaduan yang
beragam metode penafsirannya yang telah digunakan oleh mufasir sebelumnya,
dilihat dari sumber referansinya, Fī Ẓilal al-Qur‟ān menurutnya merupakan
perpaduan antara bentuk tafsir bi al-Ma‟tsur dan tafsir al-Ra‟y dalam artian
sumber yang diambil Sayyid Quṭb bermacam-macam, mulai dari sumber ke-
Islaman dengan segala cabangnya yang berupa tafsir, sirah, hadis, dan fiqih
sampai sumber ilmu pengetahuan baik ilmu alam, ilmu astronomi, ilmu jiwa, ilmu
sosial, dan lain sebagainya.
Masih menurut Abu Bunyamin, Sayyid Quṭb dalam Fī Ẓilal al-Qur‟ān
menggunakan corak kemasyarakatan (ijtimâ‟i) yaitu menguatkan penafsirannya
dengan menggabungkan tujuan keagamaan yang ada dalam al-Qur‟an dan tujuan
kemasyarakatan. Corak penafsiran ini, menurutnya, sengaja menerapkan
pandangan al-Qur‟an dalam kancah masyarakat dan menegakan kehidupan
masyarakat atas dasar-dasar yang ada pada pandangan al-Qur‟an yang dimaksud.
35
Abun Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtima’I Sayyid Quthb, (Purwakarta, Taqaddum, 2012)hal. xii.
32
Hal ini didasarkan atas hubungan-hubungan kemasyarakatan, ekonomi dan politik
dengan memperhatikan penerapan pandangan al-Qur‟an tadi dalam kancah
kehidupan pribadi serta deskripsi yang berhubungan dengan kebiasaan pribadi dan
pengaturan-pengaturannya. Sasaran akhir corak penafsiran ini, menurutnya,
ditujukan pada terbentuknya masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai al-
Qur‟an itu dalam memenuhi berbagai kebutuhannya harus mengambil pedoman
dari pandangan al-Qur‟an. Spesifikasi corak penafsiran ini mengambil bentuk
dalam penerapan pemikiran yang bertolak dari naṣ (teks) al-Qur‟an dari berbagai
aspek kehidupan masa kini, menghubungkannya dengan berbagai kondisi
masyarakat, memerhatikan kemajuan nyata yang melingkungi kehidupan penafsir,
dan mencari relevansi antara tuntutan zaman dan pemahaman al-Qur‟an.36
36
Abun Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtima’I Sayyid Quthb, (Purwakarta, Taqaddum, 2012)hal. xii
33
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG DA’WAH BIL-LISAN
A. Pengertian Dakwah dan Ceramah
Da„wah berasal dari kata da‟ā, yad‟ū du‟āan wa da‟watan. Asal kata
du‟āan ini bisa diartikan dengan macam-macam arti, tergantung kepada
pemakaiannya dalam kalimat. Misalnya “da‟āhu” dapat diartikan memanggil atau
menyeru akan dia. “da‟āhu” bisa juga berarti mendoakan dia. Kata dakwah
sering kita jumpai atau dipergunakan dalam ayat-ayat al-Qur‟an seperti:
هللا.....)اجمشح: د ا شذاءو ادع 32)
“dan panggilah penolong-penolongmu selain daripada Allah...” (QS Al-
Baqarah:23 )
Begitu pula ayat-ayat berikut menunjukan berbagai variasi arti dari kata dakwah:
غزم١ صشاط ٠شبء ئ ذ ٠ ا ئ دا س اغال هللا ٠ذع
“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga) dan menunjuki orang yang
dikehendakinya kepada jalan yang lurus (Islam).” (QS Yunus: 25)
Menurut ulama Bashrah dasar pengambilan kata dakwah berasal dari kata
mashdar da‟watan yang artinya panggilan. Sedangkan menurut ulama Kuffah
perkataan dakwah diambil dari akar kata da‟ā yang artiya telah memanggil.
Dengan demikian kata dakwah mempunyai makna tergantung kepada
pemakaiannya dalam kalimat. Namun dalam hal ini yang dimaksud adalah
dakwah dalam arti seruan, ajakan, atau panggilan. Panggilan itu adalah panggilan
kepada Allah dalam arti mengajukan permohonan kepada-Nya.
34
Tidak jarang para ahli berbeda-beda dalam mendefinisikan suatu ilmu,
demikian pula dalam ilmu dakwah mereka mendefinisikan ilmu dakwah dengan
ungkapan bermacam-macam. M. Ardani37
menyebut beberapa pengertian yang
diungkapkan oleh para ahli mengenai makna kata da‟wah secara istilah:
a. Syaikh Ali Mahfudz (1952) dalam karyanya “Hidayatul Mursyiddin”
menulis
صا ثغعبد ىش ١ف ا ع ا ؾ عش ش ثبا ال ذ ا خ١ش ح: حث ابط ا ع ح اذ
عبج ا الج
“Dakwah ialah: mendorong (memotivasi) menusia untuk
melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk memrintahkan mereka
berbuat ma‟ruf dan mencegah dari perbuatan munkar agar mereka
memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.”38
b. Prof. A. Hasyim (1974).
Dakwah Islamiyah yaitu mengajak orang untuk meyakini dan
mengamalkan aqidah dan syariat Islamiyah yang terlebih dahulu telah
diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri.
c. Prof. Dr. Abu Bakar Aceh (1971).
Dakwah ialah perintah mengadakan seruan kepada semua manusia
untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan
dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik.39
d. Prof. HM. Thoha Yahya Umar (1967).
37
Moh. Ardani, Memahami Permasalahan Fikih Dakwah, (Jakarta, Mitra Cahaya Utama,
2006)cetakan pertama hal. 10. 38
Moh. Ardani, Memahami Permasalahan Fikih Dakwah, h. 10 39
Moh. Ardani, Memahami Permasalahan Fikih Dakwah, h. 10
35
Prof. Thoha Umar, membagi pengertian dakwah menjadi dua bagian
yakni dakwah secara umum dan khusus.
1. Pengertian dakwah secara umum adalah ilmu pengetahuan yang
berisi cara-cara dan tuntutan bagaimana seharusnya menarik
perhatian manusia untuk menganut, menyetujui, melaksanakan
suatu ideologi dan pendapat dan pekerjaan tertentu.40
2. Pengertian dakwah secara khusus ialah mengajak manusia dngan
cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah
Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan
akhirat.41
Pengertian dakwah dari segi bahasa dan definisi para ahli sebagaimana
disebutkan di atas memiliki kesamaan dengan istilah-istilah yang lain.
tabligh, khotbah, nashihah, tabsyir wa tandzir, washiyyah, amar ma‟ruf
nahi munkar, tarbiyah wa ta‟im, dan sebagainya. Masing-masing istilah
ini berasal dari bahasa Arab yang telah menjadi istilah agama Islam dan
sebagian telah populer dalam masyarakat muslim. Namun seringkali
terjemahannya menjadi kurang tepat. Untuk mencari ketepatan maknanya,
sejumlah ayat al-Qur‟an yang menggunakan istilah istilah da‟wah dapat
ditelusuri untuk dianalisis.
B. Kata-kata Yang Semakna dengan Dakwah
1. Tabligh
40
Moh. Ardani, Memahami Permasalahan Fikih Dakwah, h. 11 41
Moh. Ardani, Memahami Permasalahan Fikih Dakwah, h. 11
36
Dalam berbagai pembentukan katanya, kata ini dikemukakan al-
Qur‟an sebanyak 77 kali. Arti dasar tablīgh adalah menyampaikan.
Dalam aktivitas dakwah tablīgh berarti menyampaikan ajaran agama
Islam kepada orang lain. Tablīgh lebih bersifat pengenalan dasar
tentang Islam. Pelakunya disebut muballigh, yaitu orang yang
melakukan tablīgh. Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni meletakan
tablīgh pada tahapan awal dakwah, sedangkan tahapan berikutnya
adalah pengajaran dan pendalaman ajaran agama Islam, setelah itu,
penerapan ajaran Islam dalam kehidupan. Sebagai tahapan awal,
tablīgh sangat strategis. Keberhasilan tablīgh adalah keberhasilan
dakwah, kegagalan tablīgh juga kegagalan dakwah. Perbedaan antara
dakwah dan tablīgh dijelaskan Amrullah Ahmad sebagai berikut.
“Tabligh adalah bagian dari sistem dakwah islam, kegiatan dakwah
adalah usaha bersama orang yang beriman dalam merealisasikan
ajaran agama Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan yang
dilakukan melalui lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi,
sedangkan tabligh adalah usaha menyampaikan dan menyiarkan
pesan Islam yang dilakukan oleh individu maupun kelompok baik
secara lisan maupun tulisan”.42
2. Nasihat
Nasihat hampir sama maknanya dengan dakwah. Kata naṣiḥah
terdiri dari tiga huruf asal, yaitu nun, shad, dan ha‟. Dari ketiga huruf
ini, terbentuk tiga arti: memberi nasihat, menjahit dan membersihkan.
Syaikh Ahmad bin Syaikh Hijazi al-Fasyani memberi komentar atas
arti kata tersebut, “Pemberi nasihat diserupakan dengan penjahit
pakaian. Ia berusaha menjaga kualitas dan memperbaiki barang yang
42
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015)h. 21
37
diterimanya. Ia menjahit baju yang sobek. Pemberi nasihat juga
berupaya meluruskan dan memperbaiki keagamaan seseorang, seperti
membersihkan madu dari lumuran lilin”. Sedangkan menurut
Muhammad ibn „Allan al-Shiddiqi nasihat adalah menyampaikan suatu
ucapan kepada orang lain untuk memperbaiki kekurangan atau
kekeliruan tingkah lakunya. Begitu juga Muhammad ibn „Abd al-„Aziz
al-Khauli menjelaskan bahwa nasihat juga dapat diartikan sebagai
menghendaki kebaikan seseorang.43
Nasihat lebih banyak bersifat
kuratif dan korektif terhadap kondisi keagamaan seseorang atau
masyarakat yang kurang baik. Nasihat juga bisa dilakukan melalui
lisan atau tulisan.
3. Tabsyir dan Tandzir
Kedua kata ini saling terkait dan keduanya mempunyai makna
yang hampir sama dengan dakwah. Tabsyīr adalah memberikan uraian
keagamaan kepada orang lain yang isinya adalah berupa berita-berita
yang menggembirakan orang yang menerimanya, seperti berita tentang
janji Allah SWT. berupa pahala dan surga bagi orang yang selalu
beriman dan beramal saleh. Istilah ini sepadan dengan targhīb (رشؼ١ت),
yaitu menerangkan ajaran agama yang dapat menyenangkan hati dan
dapat memberikan gairah orang lain untuk dapat melakukannya. Orang
yang memberikan targhib disebut mubasysyir (جشش).
Kebalikan dari tabsyir adalah tandzīr yaitu menyampaikan uraian
keagamaan kepada orang lain yang isinya adalah peringatan atau
43
Muhammad ibn ‘Abd al-Aziz al-Khauli, al-Adab al-Nabawi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)h. 17 dikutip dari Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015)h. 23
38
ancaman bagi orang-orang yang melanggar syari‟at agama Allah SWT.
tandzir diberikan dengan harapan orang yang menerimanya tidak
melakukan atau menghentikan perbuatan dosa. Orang yang
memberikan tandzir disebut mundzir (زس) atau nadzīr (ز٠ش). Istilah ini
sama dengan tarhīb (رش١ت) sebagai lawan dari targhīb, yakni membuat
orang takut akan siksaan Allah SWT. jika ia melakukan perbuatan
dosa.44
4. Khotbah
Kata khotbah berasal dari susunan tiga huruf, yaitu kho‟, ṭa dan ba,
yang berarti pidato atau meminang. Arti asal khotbah adalah bercakap-
cakap tentang masalah yang penting. Berdasarkan pengertian ini maka
khotbah adalah pidato yang disampaikan untuk menunjukan kepada
pendengar mengenai pentingnya suatu pembahasan. Pidato diistilahkan
dengan khithabah (خطبثخ). Dalam bahasa indonesia sering disebut
dengan khutbah atau khotbah. Pidato Nabi SAW. yang disampaikan
pada haji yang terakhir sebelum wafat beliau disebut oleh para ahli
sejarah dengan khotbah wada‟ (pidato perpisahan). Orang yang
berkhutbah disebut khāṭib. Dalam al-Qur‟an, dikemukakan bahwa
hamba Allah SWT. yang beriman („ibād al-raḥmān) selalu
menghindari percakapan (khotbah) dengan orang-orang yang bodoh.
(QS al-Furqan: 63). Dalam beberapa hadis, apabila ada masalah
penting yang harus disampaikan, nabi SAW. segera naik mimbar dan
44
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, h. 23
39
berkhotbah di hadapan para sahabat. Berikut penuturan Jabir bin
Abdullah r.a.:
وب سعي هللا ص هللا ع١ ع ئرا خطت احشد ع١ب ع صر اشزذ ؼضج حز وب زس
.....ج١ش ٠مي صجحى غبو
“pada saat Rasulullah SAW. berkhtbah, kedua matanya tampak
memerah, suaranya keras dan seolah-olah sedang marah, hingga
beliau bagaikan orang yang memperingatkan akan kedatangan
pasukan musuh. Beliau mengatakan, “musuh akan datang dengan
tiba-tiba di pagi hari”. Beliau berkata lagi, “musuh akan datang
dengan tiba-tiba di sore hari”. (Muslim, 1988: I: 380: no. 867).
Makna khotbah sudah tergeser dari pidato secara umum menjadi
pidato atau ceramah agama dalam ritual keagamaan. Aboebakar
Atjeh (1971:6) mendefinisikan khotbah sebagai dakwah atau
tabligh yang diucapkan engan lisan pada upacara-upacara agama,
seperti khotbah jum‟at, khotbah hari raya, khotbah nikah, dan lain-
lain yang mempunyai corak, rukun, dan syarat tertentu. 45
5. Waṣiyyah dan Tauṣiyyah
Istilah ini juga hampir sama dengan dakwah. Waṣiyyah berarti
pesan atau perintah tentang sesuatu. Kegiatan menyampaikan waṣiyyah
disebut tauṣiyyah. Kata ini kemudian dalam bahasa Indonesia ditulis
dengan wasiat. Pengertian ini dipahami dari kata waṣiyah dan kata
pengembangnya dalam al-Qur‟an dan Hadis. Menurut Ibn Rusyd
wasiat dipahami secara sempit dalam fiqih sebagai pemberian harta
45
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, h. 28
40
atau pembebasan budak oleh seseorang atau orang lain atau beberapa
orang sebelum kematiannya. Baik dengan ungkapan wasiat yang jelas
maupun tidak jelas.46
Dalam konteks dakwah, wasiat adalah berupa pesan moral yang harus
dijalankan oleh penerima wasiat. Dalam sejumlah hadis, Nabi SAW.
kadang kala memberi wasiat tanpa diminta oleh seseorang dan kadang kala
diberikan setelah ada orang yang memintanya. Pesan moral wasiat
merupakan pesan yang sangat penting dibanding pesan yang lain. Pesan
ini tidak disampaikan dengan cara lain kecuali dengan cara wasiat. Ia
bukan hanya sebagai perintah, namun juga tuntutan yang harus
dilaksanakan.
6. Tarbiyyah
Pendidikan merupakann proses transformasi nilai-nilai, ilmu
pengetahuan, maupun keterampilan yang ditujukan untuk membentuk
wawasan, sikap, dan tingkah laku individu maupun masyarakat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses pendidikan adalah
proses perubahan sosial yang berangkat dari dimensi teoretis dalam
bentuk ide, gagasan, pendapat, dan pemikiran. Dakwah juga memiliki
kesamaan tujuan. Kata tarbiyah dalam kamus dapat berarti mengasuh,
mendidik, memelihara, tumbuh, tambah besar dan membuat
(Munawwir, 1997: 469). Dalam al-Qur‟an, kata tarbiyah dan kata
yang bersumber darinya banyak digunakan untuk masalah riba yang
46
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtaṣid, (Beirut: Dal al-Fikr, t.t.)h. 252 dikutip dari M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, h. 31
41
berarti bertambah. Hanya ada dua ayat yang diartikan mengasuh, yaitu
dalam surat al-Isra‟ ayat 24 tentang kepengasuhan kedua orang tua dan
surat asy-Syu‟araa ayat 18 tentang kepengasuhan Nabi Musa AS oleh
Fir‟aun. Kepengasuhan tidak hanya memelihara anak dari segi fisiknya
saja, tetapi juga dilakukan dengan cara memengaruhinya dengan nilai-
nilai yang ditanam melalui pergaulan. Nilai yang dibangun dalam
keluarga sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak. Dengan
demikian, proses tarbiyah tidak sekedar melaksanakan pendidikan,
melainkan pula menyangkut tindak kepengasuhan. Dalam tarbiyah,
anak diberikan makanan, pakaian, tempat tinggal, pelajaran, nasihat,
keterampilan, dan keteladanan.
7. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma‟ruf (memerintah kebaikan) tidak dapat dipisahkan dari
nahi munkar (mencegah kemungkaran atau perbuatan terlarang).
Dalam al-Qur‟an istilah ini diulang sampai sembilan kali dalam lima
surat, yaitu surat al-A‟raf ayat 157, surat Luqman ayat 17, surat Ali-
Imran ayat 104, 110, 114, surat al-Hajj ayat 41, dan surat at-Taubah
ayat 67, 71, 112. Syaikh Nash ibn Muhammad ibn Ibrahim al-
Samarqandi mengartikan ma‟rūf adalah lawan dari munkar (sesuatu
yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan akal).47
Secara bahasa ma‟rūf
berasal dari kata عشؾ yang berarti mengetahui atau mengenal. Maka
ma‟ruf adalah sesuatu yang telah dikenal, dimengerti, dipahami,
diterima dan pantas. Sebaliknya, munkar adalah sesuatu yang dibenci,
47
Nashr ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Samarqandi, al-Tanbih al-Ghafilin, (Indonesia: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah t.t.)h. 32 dikutip dari Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, h. 37
42
ditolak, dan tidak pantas. Pada masa Islam klasik, Nabi SAW. dan para
sahabat sering menggunakan istilah ini. Amar ma‟ruf nahi munkar
lebih terkenal dibanding dakwah.
Dari analisis pengembangan makna dasar dan pengembangan
istilah dakwah di atas, kita mendapatkan pemahaman bahwa dakwah
merupakan suatu proses yang aktif, persuasif, dan komprehensif.
Dengan kata lain, pendakwah harus mencari orang sebagai mitra
dakwah, lalu memberikannya persuasi dan mengajaknya ke jalan Allah
SWT. jika ajakanya berhasil, ia lalu membimbing dan dan
mengajarkan Islam. Kesempurnaan dakwah adalah membentuk mitra
dakwah menjadi pendakwah. Masyarakat yang sebelumnya antipati
terhadap Islam menjadi simpatisan Islam. Dakwah bukan pekerjaan
ringan, berbagai tantangan selalu menghadangnya. Akan tetapi, karena
sebuah kewajiban yang mengikat setiap muslim, maka dakwah harus
tetap dijalankan apapun hasilnya.
C. Media dan Metode Dakwah
a. Media Dakwah
Kata media merupakan jamak dari bahasa latin yaitu medion, yang
berarti alat perantara. Sedangkan secara istilah media berarti segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan
demikian media dakwah berarti segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk mencapi tujuan dakwah yang telah ditentukan.
Seorang da‟i dalam menyampaikan ajarn agama Islam kepada umat
manusia tidak akan lepas dari alat yang dijadikan sebagai perantara
43
dakwahnya atau media dakwah. Kepandaian untuk memilih media dakwah
yang tepat merupakan salah satu unsur keberhasilan dakwah. Terlebih
dalam mengantisipasi perkembangan zaman yang saat ini dimana ilmu
pengetahuan berkembang dengan pesat yang ditandai dengan kemajuan
dan kecanggihan teknologi. Masyarakat masa kini adalah masyarakat yang
plural dan tengah berkembang dengan berbagai kebutuhan yang praktis.
Sehingga kecanggihan teknologi mau tidak mau akan menjadi idaman
dalam kehidupan masyarakat. kecanggihan teknologi telah membuka sekat
dan menghilangkan batas ruang dan waktu, sehingga memilih dan
menggunakan media dakwah yang tepat sudah merupakan keharusan dan
tuntutan zaman.
Berkaitan dengan media dakwah ini, Tarmizi Taher melihat di era
kompetisi ini sudah saatnya para Da‟i lokal dan global, Aktivis Dakwah
Islamiyah, Lembaga-lembaga Dakwah Kampus, Majelis-majelis Taklim
dan lain sebagainya, untuk dapat benar-benar memanfaatkan adanya
teknologi globalisasi yang terus berkembang, diantaranya dengan
memanfaatkan media modern seperti pers, radio, televisi, dan internet
sebagai media dakwah Islam.48
Sedangkan Hamzah Ya‟qub membagi sarana dakwah, di antaranya:
lisan, audio visual dan akhlaq. Pembagian tersebut, secara umum dapat
dipersempit menjadi tiga media, yaitu:
48
Nurul Badruttamam, , Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta, Grafindo
Khazanah Ilmu, 2005)h. 157
44
a. Spoken Words, yaitu media dakwah yang berbentuk ucapan atau
bunyi yang ditangkap dengan indra telinga, seperti radio, telepon
dan lain-lain.
b. Printed waiting, yaitu media dakwah berbentuk tulisan, gambar,
lukisan, dan sebagainya yang dapat ditangkap dengan mata.
c. The Audio Visual, yaitu media dakwah yang berbentuk gambar
hidup yang dapat didengar sekaligus dapat dilihat, seperti televisi,
video film dan sebagainya.
Sementara itu, dilihat dari segi sifatnya media dakwah dapat
digolongkan menjadi dua kategori: media dakwah tradisional dan
media dakwah modern. Media dakwah tradisional berupa berbagai
macam seni dan pertunjukan tradisional, dipentaskan secara umum
terutama hiburan yang bersifat komunikatif. Sedangkan media dakwah
yang modern diistilahkan pula dengan media elektronik yaitu media
yang dihasilkan dari teknologi seperti televisi, radio, pers, internet dan
lain sebagainya.49
b. Metode Dakwah
Metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang
da‟i kepada mad‟u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan
kasih sayang. 50
“serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
49
Moh. Ardani, Memahami Permasalahan Fikih Dakwah, (Jakarta, PT. Mitra Cahaya
Utama, 2006), h. 37 50
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2011)h.
243
45
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dijalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl [16]: 125). Dari ayat tersebut dapat
diambil pemahaman bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan,
yaitu:
a. Metode bi al-Hikmah
Kata “hikmah” dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 20 kali baik
dalam bentuk nakiroh maupun ma‟rifat. Bentuk masdarnya adalah
“hukman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika
diartikan dengan hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika
dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang
relevan dalam melaksanakan tugas dakwah. Toha Yahya Umar
menyatakan bahwa hikmah berarti meletakan sesuatu pada tempatnya
dengan berpikir, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang
sesuai keadaan zaman dengan tidak bertentangan dengan larangan Tuhan.
Al-Hikmah diartikan pula sebagai al-adl (keadilan), al-haq (kebenaran),
al-hilm (ketabahan), al-ilm (pengetahuan), dan an-Nubuwwah (kenabian).
Di samping itu al-Hikmah juga diartikan sebagai menempatkan sesuatu
pada proporsinya.
Menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud an-Nasafi, arti
hikmah yaitu:“Dakwah bi al-hikmah” adalah dakwah dengan
46
menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang
menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan.”51
Hikmah merupakan pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang
da‟i dalam berdakwah. Karena dalam hikmah ini akhir kebijaksanaan-
kebijaksanaan dalam menerapkan langkah-langkah dakwah, baik secara
metodologis maupun praktis. Oleh karena itu, hikmah yang memiliki
banyak pengertian mengandung arti dan makna yang berbeda-beda
tergantung dari sisi mana seseorang melihatnya.
Dalam konteks dakwah, hikmah bukan hanya dipahami sebagai
sebuah pendekatan dalam satu satu metode, akan tetapi menyiratkan
kepada beberapa poin pendekatan yang multi dalam sebuah metode.
Dalam dunia dakwah hikmah bukan hanya berarti “mengenal strata dari
yang menjadi sasaran dakwah (mad‟u)” akan tetapi juga dapat berarti “bila
seseorang harus bicara, bila ia harus diam”. Hikmah bukan hanya di[ahami
sebaga upaya “mencari titik temu”, akan tetapi juga dipahami sebagai
sikap “toleran tanpa harus kehilangan setempelnya”. Dengan demikian,
hikmah bukan hanya diartikan sebagai kontek “memilih kata yang tepat”,
akan tetapi hikmah juga berarti “cara berpisah”, dan pada akhirnya
hikmah adalah suri tauladan yang baik “(uswatun hasanah)”, dan “lisan
al-hal” itu sendiri.52
.
b. Metode al-Mau‟idzah al-Hasanah
51
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, h. 246 52
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, h. 250
47
Menurut Abdul Hamid al-Bilali mau‟iẓah hasanah adalah
merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke
jalan Allah SWT dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan
lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.53
al-Mau‟idzah al-Hasanah
dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan,
pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-
pesan positif (wasiyat), yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan
agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
c. Metode al-Mujadalah
Dari segi etimologi (bahasa) lafaz mujādalah terambil dari kata
“jadala” yang bermakna memintal atau melilit. Apabila ditambahkan Alif
pada huruf Jim yang mengikuti wazanfā„ala, “jādala” dapat bermakna
berdebat dan “mujādalah” perdebatan. Sedangkan dari segi istilah
(terminologi) adalah upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak
secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya
permusuhan di antara keduanya.
D. Sikap Dai Terhadap Masyarakat
Seorang da‟i tidak boleh larut mengikuti keinginan masyarakat,
tidak pula larut dalam tradisi dan kebiasaan masyarakat yang bertentangan
dengan syariat Islam, kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan adab-adabnya.
Para da‟i seharusnya tidak direndahkan oleh kemauan mereka, hanya
karena ingin menarik manusia dalam berdakwah. Karena kecenderungan-
kecenderungan untuk menuruti pesan-pesan dari sebagian mad‟u itulah
53
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, h. 251
48
yang sering kali mendorong sebagian da‟i saat ini untuk berupaya tidak
hanya mengubah sebagian norma dan tradisi Islam saja, tetapi juga sampai
pada upaya untuk mengubah prinsip aqidah atau bahkan sistem Islam.
Mereka menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang menyimpang.
Sesungguhnya menuruti keinginan-keinginan masyarakat yang seerti
itulah yang menyebabkan agama ini menjadi permainan, seakan bukan
meupakan pedoman hidup dan seakan tidak memiliki persepsi rabbani
yang jelas, oleh karena itu Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa
nafsu mereka dan katakanlah: aku beriman kepda semua kitab yang
diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara
kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami
dan bag kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan
kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya lah kembali
(kita)”.
Satu hakikat yang tidak bisa dihindari bahwa musuh-musuh Islam
itu selalu berupaya untuk menghambat jalan dakwah baik dengan
menghalang-halangi manusia dari mengikuti kebenaran dan da‟i-da‟inya,
atau menghalang-halangi para da‟i dari melanjutkan dakwahnya dengan
segala cara. dengan intimidasi, penyiksaan, menarik, merayu, atau
dipopulerkan dan dikaburkan. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa ujian
terbesar yang perlu dihindari seorang da‟i adalah ketika ia merasa lebih
mulia karena berilmu dan memandang rendah orang lain karena bodoh.
Terlebih lagi jika tujuannya dalam berdakwah adalah pamer kehebatan
ilmu dan menampakan bahwa orang yang berilmu adalah mulia dan orang
yang bodoh adalah rendah. Jika benar itu merupakan motivasinya dalam
49
berdakwah, maka it merupakan sebuah ke-munkar-an bahkan lebih
munkar dari ke-munkar-an yang selama ini ia larang.54
54
Shalih Ahmad al-Syami, Untaian Nasihat Imam Ghazali, (Jakarta: Turos, 2014)h. 19
50
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA PENAFSIRAN IBN
KATSIR DAN SAYYID QUṬB TERHADAP QS. AL-BAQARAH
[2]: 41 DAN QS AL-MAIDAH [5]:44
Pada bab ini akan mengkaji mengenai ayat-ayat menerima imbalan
menurut penafsiran Ibn Katsir dan Sayyid Quṭb. Di dalam al-Qur‟an term walā
tasytarū biayāti tsamanan qolīlan berjumlah 2 ayat, berikut tiga ayat yang akan
penulis paparkan menurut Ibn Katsir dan Sayyid Quṭb, dilihat dari perbedaan dan
persamaan yang terjadi pada penafsiran kedua tokoh tersebut.
A. Prilaku Bangsa Yahudi yang menukarkan Taurat dengan harta benda
duniawi
ل رشزشا ث ۦ ي وبـش ث ا أ ل رى عى ب ب ل صذ ذ ب أض ا ث ءا ئ٠ ب ل١ال ز م ب٠
ـٱرم
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang
membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi
orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-
ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus
bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 41)
Dalam surat al-Baqarah ayat 41 ini, Ibn Katsir mengatakan bahwa ayat ل
ب ل١ال رشزشا ث ز م ب٠ “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan
harga yang rendah”, maksudnya adalah Janganlah kalian menukarkan keimanan
dengan ayat-ayat-Ku dan membenarkan Rasul-Ku dengan keduniaan dan
kesenangan belaka, karena sebenarnya hal itu hanyalah sementara dan amat
sedikit.
51
Ibn Katsir juga menambahkan beberapa hadis untuk memperkuat
pendapatnya, bahwa makna larangan kepada kaum Yahudi untuk “menukarkan
ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit” dimaksudkan untuk menukarnya
dengan benda duniawi, di antaranya:
لبي عجذ هللا ث اجبسن، اجبب عجذ اشح ث ص٠ذ ث جبثش ع بس ث ٠ض٠ذ لبي عئ
ل١ اذ١ب ثحزاـ١شب. احغ ٠ع اجصش ع ل رعب: مب ل١ال لبي: اث
“telah berkata „Abdullah ibn al-Mubarok, telah menceritakan kepada kami
„Abdurrahman ibn Zaid ibn Jabir dari Harun ibn Yazid telah berkata, ditanya
Hasan al-Baṣri tentang firman Allah, “harga yang sedikit” telah berkata Hasan
al-Baṣri “harga yang sedikit itu adalah berupa dunia dan dan orang-orang yang
berlomba-lomba untuk mendapatkan dunia”.
رعب " ل جج١ش ـ عع١ذ ث د٠بس ع م عطبء ث ١عخ حذ ل رشزشا ث لبي اث ز ب٠
ب ل١ال م ارب. ش ١ب اذ م١ ا اث ا ، ض ا١ ا٠بر وزبث از ا " ئ
“telah berkata ibn Lahi‟ah telah menceritakan „Aṭa ibn Dinar dari Sa‟id ibn
Jubair tentang firman Allah “dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku
dengan harga yang sedikit” sesungguhnya ayat-ayat Allah adalah ayat yang
pernah diturunkan kepada Bani Israil. Dan sesungguhnya hargayang sedikit itu
adalah dunia dan segala kesenangannya.”
Riwayat penafsiran yang dibawakan oleh Ibn Katsīr di atas mendapatkan
kesamaan dalam pendapat lain, sebagaimana dinukilkan oleh al-Qurṭubī,
disebutkan bahwa pada waktu itu para pendeta Yahudi mengajarkan agama
mereka dengan cara mengambil imbalan, lalu mereka dilarang mengambil
imbalan tersebut. Dalam kitab mereka tertera, “Wahai anak cucu Adam,
berikanlah pelajaran secara gratis, sebagaimana kamu mendapat pelajaran secara
gratis.” Demikian yang dikatakan dalam riwayat Abu al-„Aliyah. Maksud dari
larangan ini adalah bahwa mereka tidak boleh mengambil upah dari menjelaskan
kitab suci mereka, yakni Taurat, dan kemudian menyebarluaskan ilmu dengan
perhitungan dan mengambil keuntungan untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga
52
mereka kemudian mendapatkan kehormatan di dunia. Hal ini kemudian
ditegaskan oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam Sunan Abu Daud55
ب ٠جزؽ ث ج هللا ل ٠زع ملسو هيلع هللا ىلصع اث ش٠شح لبي: لبي سعي هللا رع عب
ئل١ص١ت ث عشضب اذ١ب ٠شحشائحخ اجخ ٠ ام١بخ
“Barang siapa yang memplajari ilmu yang seharusnya untuk mencari ridho
Allah, kemudian dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta
duniawi, maka dia tidak akan menemukan bau surga pada hari kiamat.”
Melalui riwayat hadits di atas, Rasulullah mengajarkan kepada kaum
muslimin umumnya agar tidak mencontoh prilaku orang-orang Yahudi, sehingga
ketika mengajarkan ilmu tidak dilakukan dengan meminta upah. Apabila ada
kesepatakan tentang berapa jumlahupahnya, maka seseorang tidak dibolehkan
untuk mengambil upah tersebut; dan hanya dibolehkan untuk mengambilnya jika
upah tersebut didapatkan dari Baitul Mal untuk sekedar memenuhi kecukupan
dirinya dan keluarganya. Dengan demikian, seorang pengajar al-Qur‟an tidak akan
menghentikan aktivitas pengajarannya berkat kecukupan kebutuhan yang
diterimanya tersebut. Hal seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang tidak
ditentukan upahnya sebelumnya. Walhasil, apabila tidak ditentukan besaran
upahnya, maka sesorang pengajar al-Qur‟an diperbolehkan mengambil upah
tersebut, menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i, Imam Ahmad dan Jumhur ulama
lain sebagaimana didasarkan pada sebuah riwayat dalam Ṣahih Bukhārī. Ubadah
ibn Ṣāmit berkata,
ـمبي : ملسو هيلع هللا ىلصأ ع سجال ا اصفخ ش١ئب امشا ـأذ لعب ـغبي ع سعي هللا
ئأحججذ أ رطق ثمط بس ـبلج ـزشو، )سا اث داد(
“Aku mengajarkan al-Qur‟an kepada orang-orang ahli aṣ-Ṣufah (orang-orang
miskin yang tinggal di teras masjid). Seorang lelaki dari mereka kemudian
55
Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubi (terj.Fathurrahman, Ahmad Hotib) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), jilid 1, h. 741.
53
menghadiahkan sebuah busur panah, aku kemudian menanyakan hal itu kepada
Rosulullah SAW. lalu beliau bersabda “jika engkau ingin dibelenggu dengan
belenggu api, maka terimalah busur panah itu”. (HR. Abu Daud)
Hadis „Ubadah ibn Ṣāmit ini diriwayatkan dalam kitab Sunan oleh Abu
Daud dari hadits Mughirah ibn Ziyad al-Mūṣilī, dari „Ubadah ibn Nussi, dari al-
Aswad ibn Tsa‟labah, dari „Ubādah ibn Ṣamit. Mughīrah adalah sosok yang
terkenal menurut ahlulIlmi, namun ia dikatakan juga mempunyai beberapa hadis
yang munkar. Di luar penilaian para ahli hadits tentang hadis-hadis yang munkar
tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Abu Umar, namun kemudian Abu Umar
menambahkan: “Adapun hadis tentang panah, hadis ini adalah hadis yang terkenal
di kalangan ahlul ilmi. Sebab hadis ini diriwayatkan dari „Ubadah dari dua jalur.
Selain jalur periwayatan di atas, hadits ini jugadiriwayatkan dari Ubay ibn Ka‟ab
dari hadis Musa ibn „Ali dari ayahnya dari Ubay. Meskipun begitu, hadits ini
termasuk ke dalam hadis yang munqothi‟.56
Adapun inti pesan al-Qur‟an yang disebutkan di akhir faṣilah ayat ئ٠
yang berarti “Dan hanya kepada Akulah kamu harus bertaqwa”, maka inti ـٱرم
pesan ayat ini menjadi intisari hikmah yang tersimpan dalam larangan ayat
tersebut agar tidak menukar ayat-ayat Allah dengan imbalan dunia yang nilainya
sangatlah kecil di mata Allah. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan sebuah riwayat dari
Thalq bin Ḥabīb berkata, “Taqwa adalah engkau beramal menaati Allah, berharap
mendapatkan rahmat Allah, dan berdasarkan cahaya dari Allah, dan taqwa adalah
meninggalkan maksiat kepada Allah, takut terhadap azab Allah dan berdasarkan
cahaya dari Allah.” Definisi taqwa tersebut seharusnya menyadarkan mereka yang
56
Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubi (terj. Fathurrahman, Abdul Hotib) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), jilid 1, h. 741.
54
mengajarkan ayat-ayat Allah agar senantiasa mengharapkan pahala dari
pengajaran kitab suci hanya dari kemurahan rahmat Allah yang tercurah lantaran
menjalankan ketaatan kepada-Nya, sehingga menurut hemat penulis, menentukan
upah dalam mengajarkan al-Qur‟an dapat pula dikategorikan sebagai tindakan
yang mengurangi kualitas taqwa karena Allah tidak menghendaki ayat-ayatnya
ditukar hanya dengan harta benda duniawi yang sedikit. Oleh karena itu, kalimat
“Dan hanya kepada Akulah kamu harus bertaqwa”, maksudnya adalah
bahwasanya Allah SWT memperingatkan dan mengancam kaum yahudi tersebut,
termasuk kebiasaan mereka yang kerap menyembunyikan kebenaran (taḥrīf)
dengan merubah ayat-ayatnya dan menampakan sesuatu yang tidak sebenarnya,
serta menyelisihi Rasul-Nya.57
Dasar ketaqwaan yang sepatutnya menjadi landasan dalam proses belajar
dan mengajar ayat-ayat Allah merupakan keniscayaan, dan menggantinya dengan
menetapkan upah yang dianggap sebagai ganti harta benda duniawi yang sedikit
merupakan sebuah kerugian, sebagaimana dinyatakan dalam pendapat di bawah
ini.
عشضب ئل ١ص١ت ث ، ل ٠زع ج ج هللا عض ب ٠جزؽ ث ب ع رع ١ب اذ
خ. م١ب ا جخ ٠ ٠جذ عشؾ ا
“Barang siapa yang mencari ilmu yang seharusnya untuk mencari ridho Allah
„Azza wa Jalla, kemudian dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan
harta duniawi, maka dia tidak akan menemukan bau surga pada hari kiamat.”
Kerugian yang timbul dalam ketiadaan bau surga di hari Kiamat nanti bagi
mereka yang mengharapkan ganti harta benda duniawi dengan kata lain
57
Syaihk Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta, Darus Sunah, 2014), h. 177
55
merupakan sebuah kerugian lantaran berkurangnya nilai ketaqwaan dalam
tindakan amal ibadah yang mereka lakukan.
Dalam tafsir Fi Ẓilal al-Qur‟ān, Sayyid Qutb menegaskan bahwa - agama
Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan agama yang abadi, yang
dibawa dalam bentuknya yang terakhir, dan merupakan pengembangan bagi
risalah Allah sebelumnya. Dan penjabaran tentang keterkaitan Islam dengan
agama sebelumnya dijelaskan bahwa Islam menyatukan antara Perjanjian Lama
(Taurat) dan Perjanjian Baru (Injil), dan ditambahkan pula apa yang dikehendaki
Allah SWT yang berupa kebaikan, keshalehan bagi kemanusiaan untuk masa
depannya yang panjang. Dengan ini, dihimpunnya semua manusia sebagai
saudara yang saling mengenal, yang bertemu pada perjanjian Allah dan agama
Allah, yang tidak terpecah-belah ke dalam berbagai kelompok dan partai, suku
dan bangsa. Akan tetapi, mereka bertemu menjadi satu sebagai hamba-hamba
Allah yang berpegang teguh pada perjanjian-Nya yang tidak akan berganti sejak
terbit fajar kehidupan.
Uraian pembuka yang menyatukan Islam dengan agama samawi sebelum
Islam menjadi unsur penting, sehingga pelajaran yang dilakukan oleh kaum
terdahulu dapat pula dijadikan ibrah bagi sekalian kaum muslimin. Di dalam ayat
ini, Allah melarang Bani Israel yang hidup di mana Nabi Muhammad dan yang
hidup setelahnya agar tidak kafir kepada Al-Qur‟an yang diturunkan-Nya sebagai
pembenar terhadap kitab Taurat yang ada pada mereka itu. Agar mereka tidak
menukarkan dunia dengan akhirat (yakni mengorbankan kepentingan akhirat demi
kesenangan dan keuntungan duniawi).
56
Hal ini disertai dengan tambahan penjelasan dalam perspektif Sayyid
Quṭb, agar mereka tidak mengutamakan kepentingan khusus bagi dirinya dan
kepentingan pendeta-pendeta mereka yang merasa khawatir jika mereka masuk
Islam yang berarti melepaskan kepemimpinan mereka dengan segala keuntungan
yang biasa diperolehnya. Karenanya, mereka diseru melalui ayat ini supaya takut
dan bertaqwa kepada- Allah saja. dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku
dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.
Menurutnya, harga, harta, dan usaha yang bersifat duniawi dan materi sudah
menjadi karakter dan kebiasaan bangsa Yahudi sejak zaman dahulu. Sayyid Quṭb
menjelaskan bahwa mungkin yang dimaksud dengan larangan di sini adalah
larangan terhadap apa-apa yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin mereka,
seperti menetapkan harga bagi pelayanan keagamaaan dan fatwa-fatwa dusta yang
mereka lakukan, dan juga dalam mengubah hukum-hukum, sehingga orang-orang
kaya (konglomerat) dan para pembesar tidak tersentuh hukuman apa-apa ketika
mereka berbuat salah, sebagaimana disebutkan dalam banyak tempat. walhasil,
rendah harga yang dihasilkan dari menukar ayat-ayat Allah dengan imbalan harta
benda duniawi merupakan perbandingan apabila dibandingkan dengan keimanan
di akhirat di sisi Allah nanti.
Ayat ini juga mengingatkan terhadap apa yang biasa mereka lakukan.
Menurut Sayyid Quṭb, kalangan ahlu kitab dari bangsa Yahudi dan nasrani kerap
mencampuradukan kebenaran dengan kebatilan, menyembunyikan kebenaraan
57
sedang mereka mengetahui dengan maksud untuk mengacaukan pikiran di
kalangan masyarakat muslim serta menyebarkan keraguan dan kegoncangan.58
Dari dua penafsiran ini, dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa ayat ini
mengingatkan kaum Muslimin agar tidak meniru perilaku kaum Yahudi dalam
mengajarkan taurat dan melakukan pelayanan agama dengan cara menerima
imbalan, sehingga mengurangi kualitas ketaqwaan yang seyogiamya diburu dalam
menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah. Harta benda duniawi yang
ditukarkan dengan ayat-ayat Taurat maupun al-Qur‟an merupakan hal kecil
dibandingkan kebesaran rahmat Allah yang akan terlimpah kepada mereka yang
melakukan ibadah dalam bingkai ketaqwaan. Laranngan menentukan upah dalam
mengajarkan ayat-ayat Allah juga dibahas dalam QS al-Maidah [5]: 44
خ ـ١ سى ب ٱز ئب أض ١ ث ٱش بدا ا ز٠ أع ٱز٠ ثب ٱج١ س ٠حى ب ذ
ٱخش ا ٱبط شذاء ـال رخش وبا ع١ ت ٱهلل وز ب ٱعزحفظا ٱلحجبس ث ل رشزشا ث فش ى ٱ ئه
ـأ ب أضي ٱهلل ٠حى ث ب ل١ال ز م ب٠
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk
dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-
orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang
alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan
memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan
janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah: 44)
Ayat ini dijelaskan sebagai dan jawaban al-Qur‟an yang diturunkan atas dasar
kejadian yang diceritakan oleh Muslim yang meriwayatkan dari Barra ibn Azib
dari Rasulullah SAW.
58
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilalil-Qur’an di bawah Nauungan Al-Qur’an, terj. As’ad Yasin, Abdul ‘Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, (Jakarta, Gema Insani Press, 2000)h. 80
58
ي هللا سع د٠خ ملسو هيلع هللا ىلصأ ٠ د٠ب ٠ ب ˓سج ث ٠حى لبي م ضي هللا ـأئه أ ىبـش ب
ضي هللا ـأئ ب أ ث ٠حى اظب ضي هللا ـبئه ب أ ث ٠حى فبعم ا ه
ب ىفبس لبي ضذ و ـ ا
“bahwasanya Rosulullah SAW. Menghukum rajam seorang laki-laki Yahudi dan
seorang perempuan Yahudi. Kemudian ia membaca ayat, ضي هللا ب أ ث ٠حى
ضي هللا ب أ ث ٠حى ىبـش ا ضي هللا ـأئه ب أ ث ٠حى اظب ـبئه
فبعم ا ia berkata: „semua ayat ini turun menyangkut orang-orang , ـأئه
kafir‟”. (HR. Muslim)59
Berdasarkan riwayat di atas, diceritakan bahwa pada suatu waktu orang
Yahudi datang kepada Rosulullah SAW mengadukan bahwa di kalangan mereka
ada seorang laki-laki dan perempuan melakukan perzinaan. Mereka meminta
fatwa kepada beliau tentang hukum pelaku perzinaan tersebut. Sehubungan
dengan itu Rasulullah SAW. Bersabda: “Adakah kamu tidak menemukan hukum
rajam di dalam kitab Taurat?” Mereka menjawab: “Di dalam kitab Taurat
diterangkan tentang hukuman “pukul” dan “dibuat malu dimuka umum”.
Abdullah ibn Salam berkata: “Kamu berbuat bohong dan dusta! di dalam kitab
Taurat terdapat hukum rajam. Ambilah kitab Taurat dan bacalah di hadapanku!”.
Ketika mereka membaca kitab Taurat ada seseorang yang meletakan tagannya di
atas ayat rajam, sehingga ayat itu tidak terbaca. Mereka membaca ayat sebelum
dan sesudahnya. Oleh sebab itu Abdillah ibn Salam berkata: “Bukalah tanganmu,
angkat tinggi-tinggi!”. Kemudian orang itu mengangkat tangannya, dan di sana
didapati ayat rajam. Kemudian mereka berkata: “Benar, wahai Muhammad SAW.
Di dalam kitab Taurat terdapat ayat rajam”. Rasulullah SAW segera
59
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munīr, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2016)cet. Ke-1, h. 537
59
memerintahkan kepada mereka untuk melakukan rajam terhadap pelaku perzinaan
tersebut, sehingga perintah itupun dilaksanakan dengan baik. Sehubung dengan
itu Allah SWT kemudian menurunkan ayat ke-41 hingga ayat ke-44 surat al-
Maidah yang menjadi bukti ketegasan hukum, bahwa barang siapa menegakan
hukum dengan hukum selain dari Allah berarti telah melakukan kekufuran. Di
samping itu dalam menegakkan hukum harus adil dan bijaksana serta menjunjung
tinggi hukum Allah SWT (HR. Malik dari Nafi‟ dari Abdullah ibn Umar ibn
Khatab). 60
Ibn Katsir tidak menjelaskan tafsir QS 5:44 ini, mungkin karna tafsir
tentang masalah ini sudah dijelaskan dalam bagian sebelumnya ketika
menjelaskan QS 2:41. Sementara menurut Sayyid Quṭb QS 5:44 ditafsirkan
sebagai larangan untuk memberikan imbalan atas sikap diam, atau upaya-upaya
pengubahan atau pemberian keputusan fatwa yang sudah dipesan terlebih dahulu.
Semua bayaran yang diberikan untuk semua upaya-upaya tersebut pada
hakikatnya merupakan harga yang sedikit, sekalipun ia memiliki kehidupan dunia.
Bayaran itu tidak lebih dari gaji, jabatan, gelar, atau kepentingan yang kecil, yang
mereka tukar dengan agama. Bahkan dengan itu semua mereka telah membeli
jahannam dengan yakin.
Kemudian Sayyid Quṭb menambahkan bahwa tidak ada yang lebih keji
dari penghianatan orang yang diberi amanat. Tidak ada yang lebih buruk dari
penyia-nyiaan orang yang diamanati pemeliharaan. Tidak ada yang lebih hina dari
pemalsuan orang yang diminta menjadi saksi. Orang-orang yang membawa gelar
“tokoh agama” tetapi kemudian ia berkhianat, mengabaikan kewajiban dan
60
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul “Studi Pendalaman al-Qur’an”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)cet. 1 hal. 318
60
memalsukan, lalu mereka tidak mau berusaha menjalankan apa yang diurunkan
Allah dan mengubah kalimat dari tempat-tempatnya demi untuk memenuhi hawa
nafsu para penguasa dengan mengorbankan kitab Allah.61
B. Pandangan Ulama tentang Upah Ceramah Agama
Dalam membahas masalah pengambilan upah atas pengajaran al-Qur‟an
para ulama berbeda pendapat. Az-Zuhri dan Asḥābu al-Ra‟yi (madzhab Hanafi)
tidak membolehkannya. Menurut mereka, tidak boleh mengambil upah atas
pengajaran al-Qur‟an, sebab mengajarkan al-Qur‟an adalah sebuah kewajaban
yang membutuhkan niat ibadah dan keikhlasan, maka dari itu tidak boleh
mengambil upah atasnya, sama seperti shalat dan puasa. Allah SWT. berfirman:
“Dan janganlah kalian tukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang
rendah.” (QS. Al-Baqarah{2}:41)
Adapun jumhur ulama selain madzhab Hanafi membolehkan mengambil
upah atas pengajaran al-Qur‟an, dengan dalil sabda Rasulullah SAW dalam hadis
Ibn Abbas (hadis tentang ruqyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori):
اجشا وزبة هللا ع١ ب اخزر احك ئ
“Sesungguhnya pekerjaan yang paling pantas kalian terima upah atasnya adalah
pengajaran kitabullah”
Mengqiyaskan ayat ini kepada shalat dan puasa adalah keliru, sebab qiyas
ini bertentangan dengan nash, juga karena pengajaran al-Qur‟an merebut
pengaruhnya kepada selain pengajar tersebut, maka ia berbeda dengan ibadah-
ibadah yang khusus bagi si pelaku. Perbedaan agama ini juga terjadi dalam soal
61
Sayyid Quṭb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an: dibawah Naungan al-Qur’an, (Jakarta: Robban Press, 2002)cet. Ke-1, jilid 3, h. 636
61
pengambilan upah untuk melaksanakan shalat dan syi‟ar-syi‟ar keagamaan
lainnya.62
Quraish Shihab berpendapat bahwa para pemuka agama Yahudi
diingatkan agar tidak menukar ajaran agama dengan kemegahan duniawi. Firman
Allah ل ب ل١ال رشزشا ث ز م ب٠ maksudnya adalah kemegahan duniawi, karena
betapapun banyaknya yang kamu terima itu adalah sedikit dan murah dibanding
dengan apa yang kamu bayar yaitu kesengsaraan duniawi dan ukhrawi.
Selanjutnya Quraish Shihab berbeda pendapat dengan ulama lainnya
mengenai ayat ini, ayat diatas hanya menyebut kataب harga yang sedikit” tanpa“م
menjelaskan apa yang diperolah dari harga yang sedikit itu. Quraish Shihab
menuturkan bahwa, jika penggalan redaksi ayat ini disebut secara lengkap maka
bunyinya adalah: janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan sesuatu yang
kecil yakni nilainya, boleh jadi berupa kedudukan, harta, atau apa saja dari
kemegahan duniawi. Agaknya hal tersebut sengaja tidak disebutkan untuk
mencakup segala hal yang berkaitan dengan kemegahan duniawi.
Quraish Shihab selanjutnya menuturkan bahwa jika para ulama
menjadikan ayat ini sebagai salah satu dasar melarang menerima upah/imbalan
mengajarkan al-Qur‟an bahkan agama, nampaknya itu merupakan pemahaman
yang terlalu dipaksakan. Betapapun demikian, larangan menerima upah untuk
mengajarkan al-Qur‟an bukanlah pendapat yang kuat. Mayoritas ulama sejak
dahulu membolehkannya, antara lain Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam
Ahmad. Salah satu sabda mereka adalah sabda nabi Muhammad SAW melalui Ibn
Abbas ra. yang menyatakan bahwa: “Sesungguhnya yang paling wajar kamu
62
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Penerjemah Abdul Hayyi al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet. Ke-1, h. 115
62
ambil sebagai upah adalah mengajar kitab Allah”. Ibn Rusyd menyatakan bahwa
sepakat para pakar ulama hukum Madinah membenarkan perolehan upah
mengajar al-Qur‟an dan agama. Jika demikian halnya pada masa lalu, maka
lebih-lebih pada kurun dewasa ini di mana kebutuhan hidup semakin bertambah.
Sebenarnya penggalan ayat ini tidak bermaksud kecuali melarang menukar, atau
mengabaikan ayat-ayat Allah dengan memperoleh suatu imbalan. Agaknya ini
merupakan kecaman kepada pemuka-pemuka agama Yahudi yang menuntut
imbalan atas fatwa-fatwa yang bertentangan dengan ajaran agama. Ini jelas
berbeda dengan mengajar membaca al-Qur‟an atau menjelaskan kandungannya.
Pengajaran kitab suci dengan menerima upah bukanlah tindakan menukar atau
mengabaikan ayat-ayat itu, tetapi justru menyebarluaskannya dan mengukuhkan
pemahaman tuntunannya kepada yang diajar.63
Sementara itu. menurut Hamka maksud ل رشزشا ث ب ز م ل١ال ب٠ adalah
mengharapkan kemegahan, sehingga kamu kemudian medustakan kebenaran ayat-
ayat Allah. Berapapun pangkat yang kamu dapat lantaran mendustakan kebenaran
tersebut, namun itu masihlah harga yang sedikit jika dibandingkan dengan
kerugian rohani yang kamu dapat.64
Senada dengan Hamka, Hasbi Aṣ-Ṣiddieqy
menegaskan bahwa ل رشزشا ث ب ل١ال ز م ب٠ bermakna sebagai larangan untuk
menjual ayat-ayat-Allah dengan hak-hal keduniawian, baik berupa kemegahan,
harta, maupun yang lainnya. Sebab, yang demikian itu akan merugikan mereka di
akhirat kelak. Yang dimaksud dengan “ayat-ayat” disini adalah dalil-dalil yang
dijadikan oleh Tuhan sebagai pengukuh kenabiannya. Dalil yang paling benar
63
M. Qurais Shihab, Tafsir al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)jilid. 1, h. 174
64 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986)h. 180
63
adalah al-Qur‟an. Maksudnya adalah janganlah kalian merasa enggan untuk
membenarkan kenabian Muhammad SAW dan syariatnya, hanya lantaran
mempertahankan keuntungan yang tidak seberapa besar yang diperoleh dari
masyarakat, baik berupa pengaruh (status) ataupun yang lainnya. Ayat ini juga
menjadi larangan agar kaum muslimin jangan pula menolak kebenaran Nabi yang
dipandang sebagai hal yang remeh. Sebab orang yang memperoleh sesuatu
dengan mengorbankan keimanannya kepada Nabi berarti mendapat kerugian.
Yaitu, tidak akan memperoleh keridhoan Allah. Sebaliknya, mereka akan ditimpa
azab, baik di dunia maupun diakhirat. 65
Begitu pula menurut Abu Bakar Jabr al-Jazairi dalam al-Aisar ل رشزشا
ب ل١ال ث ز م ب٠ dimaknai sebagai larangan Allah kepada Bani Israil untuk
menukar keterangan tentang kebenaran yang terkait dengan keimanan kepada
kerasulan Muhammad SAW dengan harga yang sedikit dengan mengambil
kenikmatan duniawi. Allah SWT memerintahkan mereka agar bertaqwa kepada-
Nya dalam masalah ini, dengan memperingatkan mereka, apabila mereka
menyembunyikan kebenaran, maka Allah akan menurunkan azab-Nya kepada
mereka. selain itu Allah SWT juga melarang mereka mencampuradukan antara
kebenaran dengan kebatilan dengan tujuan untuk menjauhkan kebenaran itu dan
menentangnya sehingga mereka tidak mau beriman kepada kerasulan Nabi
Muhammad SAW.66
م حذ جب ذ ا ح ضبسة أث م ع١ذا حذ ق ٠عؿ ث صذ جغش عشش ا ب اث
اء لبي جش ١ىخ ع ا٠ عجبط ا ٠ض٠ذ ا اث به ع اث ا٢خظ اث حذ م عج١ذ هللا ث
سج ـعشض ذ٠ػ ا ع١ بء ـ١ ث ش اصحبة ا اج ص هللا ع١ ع فشا
65 Teungku Muhammad Hasbi Aṣ-Ṣiddieqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur, (Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2000)h. 96. 66
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Qur’an al-Aisar, (Jakarta: Dar as-Sunanah, 2015)h. 97
64
بب ـمبي ا ا طك ؤج ب ـب ع١ بب سجال ذ٠ؽب ا ـ ا ساق ا ـ١ى
ل اخزد ع راه ـىشح ىزبة ع شبب ـجشء ـجبء ثشبء ا اصحبث ـمشأ ثفبرحخ ا
ا وزبة هللا اجشا ح ي هللا ز لذ ذ٠خ ـمبا ٠ب سع ص هللا ع١ عا ب أخزر أحك ئ
أجشا وزبة هللا . ع١“Diriwayatkan dari ibn Abbas ra, bahwa sekelompok sahabat Rasulullah
SAW, berjalan melewati mata air yang di tempat itu ada yang tersengat kala. Lalu
pemiliknya memohon kepada mereka, apakah di antara kalian ada yang memiliki
jampi-jampi? Sesungguhnya di dalam air itu ada seorang laki-laki yang tersengat
kala. Lalu salah seorang di antara mereka membacakan surat al-Fatihah dengan
mendapat upah. Kemudian laki-laki itupun sembuh, kemudian orang yang
menyembuhkan itu mendatangi sahabat dengan membawa upahnya, namun para
sahabat tidak menyukai hal tersebut dan berkata, “engkau telah mengambil upah
atas al-Qur‟an. Sesampainya di Madinah mereka menceritakan kepada Rasulullah,
ia telah mengambil upah atas al-Qur‟an. Lalu Rasulullah SAW, bersabda:
“Sesungguhnya yang paling patut kalian ambil upahnya adalah al-Qur‟an”.
و ع اث عع١ذ سضي١بهلل عي ب اث اعب حذمب اث عاخ ع اث ثشش ع اث ازحذم
ضا ع حي ـ عفش عبـشب حز ص هللا ع١ علبي اطك فشا اعحبة اج
اح١بء اعشة ـبعزضبـ ـذغ ع١ذ ره احي ـغيعا ي ثىي شيء ل ٠فعي شيء ـميبي
ر ـميبا ٠با٠يب ثعذ ار١ز إلء اشذ از٠ ضا ع ا ٠ى عذ ثعيذ شيء ـيب
ع١ذب ذغ عع١ب ثى شيء ـي عيذ احيذ يى ي شيء ي ـميبي ٠ضي عي اش ظ ئ
هللا ئ ل سل ى هللا مذ اعزضعفب و ـ ض١فب ـب اب ثشاق ى حز جع ب جعيال
ـصبح ع لط١يع ي اؽي ـطيك ٠زمي ع١ي ٠ميشأ هللاحيذ هلل سة اعيب١ا . ـىأيب
عمبي ـبطك ٠ش بث لجخ . لبي ـأـ جع از صح ع١ ـمبي ثعض شظ
ـيزوش ي ايز ويب صي هللا ع١ي عيالغا ـمبي از سال ل رفعيا حزي يأر اجي
ب ٠أشب ـمذ ع سعي هللا ـزوش ـمبي )ب ٠ذس٠ه اب سلجخ( م لبي )لذ اصجز ـظش
.ص هللا ع١ عاضشثا عى عب(. ـضحه سعي هللا الغا
“Dari Abu Sa‟id al-Khudri ra. Ia menuturkan, “beberapa orang sahabat Nabi
SAW, berangkat untuk menempuh suatu perjalanan, ketika mereka sampai di
suatu perkampungan di antara perkampungan”Arab, mereka minta izin untuk
bertam, namun mereka menolak menerima tam. Lalu tetua kampung itu disengat
binatang berbisa. Maka mereka itu berusaha mengobatinyadengan berbagai cara,
namun tidak berhasil. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “bagaimana
kalau kalian menemui orang-orang yang hendak mampir tadi, siapa tahu ada
seseorang diantara mereka yang mempunyai sesuatu? Maka merekapun menemui
para sahabat tersebut, lalu berkata, Wahai kawan, tetua kami tersengat binatang
dan kami berusaha mengobatinya dengan berbagai cara namun tidak berhasil. Apa
ada seseorang diantara kalian yang mempunyai sesuatu? Salah seorang diantara
mereka menjawab, Ya. Demi Allah aku bisa meruqyah. Namun, Demi Allah kami
telah meminta kalian untuk menerima kami sebagai tamu tapi kalian menolak.
Maka aku tidak mau meruqyah untuk kalian kecuali kalian memberi upah. „maka
mereka mencapai kesepakatan upah beberapa potong kambing. Lalu sahabat
beranjak dan mulai meniupnya dan membaca Alhamdulillāhirabbil „ālamīn‟(yakni
surat al-Fatihah). Setelah itu tetua kampung itu langsung bangkit segar bugar
seolah-olah bangun dari pingsan, lalu ia berjalan seolah-olah tidak pernah terjadi
65
apa-apa. Kemudian merekapun membayarkan upah yang telah disepakati. Seorang
sahabat bertanya, bagikan itu. Orang yang meruqyah menjawab, janagn
melakukan sesuatu sampai kita bertemu Nabi SAW. lalu kita ceritakan hal ini
kepada beliau. Lalu kita fahami apa yang beliau perintahkan kepada kita. Ketika
mereka sampai kepada Nabi SAW. mereka menceritakan hal itu kepada beliau,
maka beliau berkata, bagaimana engkau bisa tahu bahwa itu adalah ruqyah?
„kemudian beliau berkata kalian benar. Bagikanlah dan berilah aku bagian
bersama kalian. Lalu Nabi SAW. tertawa.”
Abu Isa berkata hadis ini adalah hasan. Imam Syafi‟i membolehkan orang
yang mengajar al-Qur‟an untuk mengambil upah. Menurutnya, sang pengajar
harus membuat syarat bahwa dirinya akan menerima upah dari pelajaran yang ia
berikan. Ia berdalil dengan hadis ini.
Berangkat dari kegelisahan di tengah masyarakat tentang pengambilan
upah dalam berdakwah, selanjutnya seperti yang juga di jelaskan oleh Ali Mustafa
Yaqub bahwa ada tiga pendapat yang terjadi di kalangan fuqoha. Pertama, yang
melarang sevara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnya ataupun tidak. Kedua,
yang membolehkan. Pendapat ini mengambil dalil dari hadis di atas. Namun
menurut Ali Mustafa Yaqub, bahwa hadis di atas lemah penggunaan dalil
(istidlal)nya. Karena, sababul wurud hadis ini berbicara dalam konteks
penyembuhan/pengobatan orang yang sakit dengan cara ruqyah (membacakan
surat al-Fatihah). Dan pendapat ketiga yang bahwa apabila ada perjanjian
sebelumnya, lalu seorang dai boleh mengmbil upah ceramahnya, maka hal ini
tidak diperbolehkan. Dan diperbolehkan apabila tidak ada perjanjian
sebelumnya.67
C. Apakah Upah Ceramah Boleh ditentukan Seperti Tarif Pekerjaan?
Dakwah bukanlah kegiatan bisnis, tetapi kegiatan sosial. Salah satu ciri
khusus kegiatan sosial adalah keterlibatan secara sukarela. Mereka yang bekerja
67
Fiqri Abdurrahman, Upah Ceramah Agama dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015)h. 49
66
dalam kegiatan sosial umumnya melakukan pekerjaannya tanpa mengharapkan
upah atau gaji. Mereka hanya menyalurkan dan mengembangkan idealisme. Akan
tetapi, mereka tidak dilarang untuk menerima upah yang tidak dimintanya
tersebut. Mereka manusia biasa yang membutuhkan makan dan minum. Jika
waktu telah dihabiskan untuk kegiatan sosial, maka tentu ada waktu yang telah
diluangkannya, sehingga dianggap layak untuk memberinya uang lelah pengganti
sebagaimana seseorang yang bekerja secara profesional menghasilkan uang.
Pendakwah adalah sukarelawan yang memenuhi panggilan Allah SWT..
Sebagai konsekuensinya, pendakwah yang tidak meminta upah dari dakwahnya.
Dalam al-Qur‟an disebutkan bahwa Nabi Hud as. Berkata kepada kaumnya
باعبى ع١ اجش ئ اجش ال ع سة اعب١ ....
Dan sekali-kali aku tidak meminta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak
lain hanyalah dari Tuhan semesta alam (QS. Asy-Syu‟arā: 127)
Nabi-nabi yang lain juga mengatakan hal yang sama kepada umatnya.
Ayat di atas di ulang dalam surat asy-Syu‟arā‟ sampai lima kali, yaitu ayat 109
(peryataan nabi Nūḥ as.), ayat 127 (pernyataan nabi Hūd as.), ayat 145
(pernyataan Nabi Ṣālih as.), ayat 164 (pernyataan nabi Lūṭ as.), ayat 180
(pernyataan Nabi Syu‟aib as.). dengan redaksi yang hampir sama disebutkan juga
dalam surat Hūd ayat 29, dan 51, surat Yāsīn ayat 21, Yūnus ayat 72,. Hanya saja,
masing-masing ayat tersebut tidak melarang dengan tegas melainkan hanya
menunjukan akhlak para nabi dalam melakukan dakwah. Artinya, bentuk teks
yang tersurat hanya menampilkan aspek keteladanan para nabi, yakni menunjukan
67
keikhlasan dalam berdakwah. Ayat lain yang terkait dengan ayat-ayat di atas
adalah surat al-Baqarah: 41 dan al-Maidah: 44.68
وااي وءامنى بما اهزلت مصد قا ملا معكم وال تكىن اول كافربه وال تشتروا بااتي ثمنا قليال
فتقىن
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan(al-Quran) yang
membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi
orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-
ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada-Kulah kamu harus
bertaqwa.69
Dalam riwayat Abu Daud, „Ubaidah bin al-Shamit bercerita: “aku telah
mengajarkan menulis dan membaca Al-Qur‟an kepada masyarakat al-Ṣuffah.
Kemudian ada seseorang di antara mereka yang memberikan hadiah busur panah
kepadaku. Aku berkata, “apakah busur tersebut tidak termasuk harta benda,
sementara aku melemparnya untuk jalan Allah? Aku akan mendatangi Rasulullah
SAW. Untuk menanyakannya” saat datang di tempat pertemuan, aku bertanya,
“Wahai Rasulullah SAW, seseorang memberi hadiah busur kepadaku atas
pengajaran al-Qur‟an kepadanya, apakah itu termasuk harta benda, sedangkan aku
melemparkannya di jalan Allah?” “Jika kamu suka menyalakan bara api, maka
terimalah”, begitu jawab Rasulullah SAW.
Berdasarkan al-Quran dan Hadis di atas, menurut sebagian ulama, hukum
meminta dan menerima imbalan karena memberikan jasa dakwah adalah makruh.
Jika ia melakukannya, maka ia tidak dikenakan dosa, melainkan hal itu bisa
menjatuhkan martabatnya. Secara etika, meminta imbalan dari kegiatan dakwah
lebih buruk daripada sekedar menerimanya. Meminta berarti pendakwah
68
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an (Kairo: Dar al-Hadits, 2007)hal. 33
69 Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Cipta Media, tt.
68
menentukan besaran honororium, baik secara sepihak maupun secara negoisasi.
Sedangkan menerima imbalan semata, artinya tanpa meminta-minta berarti
pendakwah bersikap pasif. Dengan tidak meminta-minta, maka jikapun ada
imbalan yang diberikan maka itu sepenuhnya merupakan penentuan dari pihak
mitra dakwah, sementara pendakwah berhak menerimanya atau menolaknya. M.
Quraish Shihab (1992:109) menyatakan, “Pada hakikatnya, menerima sesuatu
yang berbentuk materi, baik oleh para nabi maupun para pelanjut mereka, tidak
dilarang oleh surat al-Mudatsir ayat 6, „Dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.‟” Ia menyitir pendapat Ibnu
Katsir yang mengatakan:
“Mengajarkan ilmu dengan menentukan honorarium adalah kearifan. Jika
hal itu telah menjadi tugasnya yang ditentukan negara, maka ia tidak boleh
mengambil upah lagi, tetapi ia diperkenankan memperoleh gaji dari Baitul
Mal (negara) yang dapat mencukupi keadaan dirinya dan keluarganya.
Akan tetapi, jika ia tidak menerima apa pun dari Baitul Mal, sementara
pengajaran ilmu dapat terhenti akibat mencari nafkah, maka ia seperti
orang yang tidak diberi tugas. Ketika seseorang mengajarkan ilmu tanpa
ada tugas yang ditentukan negara, maka ia diperbolehkan mengambil
ongkos dari pengajarannya. Demikian pendapat Imam Malik, Imam al-
Syafi‟i, Imam Ahmad, dan sebagian besar para ulama”.70
Dalam perspektif menegemen dakwah, pendakwah tidak perlu meminta-
minta upah dakwah kepada mitra dakwah. Organisasi dakwah yang menunjuk
seorang sebagai pendakwah haruslah menjadi pihak yang memikirkan upahnya
sesuai dengan kelayakan umum. Para pendakwah memerlukan biaya untuk hidup
pribadi dan keluarganya. Bagaimana mungkin seorang pendakwah dapat
berkonsentrasi dalam dakwah jika kebutuhan keluarganya belum terpenuhi.
Pendakwah dituntut memiliki stamina, spirit, dan profesionalisme. Lembaga-
lembaga keagamaan yang profesional adalah lembaga-lembaga yang dapat
70
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: KENCANA, 2004), hal. 257.
69
mengantarkan para pendakwah dengan kualifikasi tersebut. Dengan demikian
terjadi hubungan timbal balik antara pendakwah dengan lembaga dakwah atau
masyarakat pada umumnya.71
Pada tataran ini memang masih terjadi perbedaan perdapat tentang
diperbolehkannya ataupun dilarang dalam memungut biaya atau dalam bahasa
lain memasang tarif. Dalam hal ini terdapat tiga kelompok yang berpendapat, di
antaranya:
a. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbalan dalam berdakwah
hukumnya haram secara mutlak, baik dengan perjanjian sebelumnya
ataupun tidak.
b. Imam Malik ibn Anas dan Imam Syafi‟i membolehkan dalam memungut
biaya atau imbalan, atau dalam menyebarkan ajaran Islam baik ada
perjanjian sebelumnya atau tidak.
c. Al-Hasan al-Basri, Ibn Sirrin, al-Sya‟ibi dan lainnya, mereka berpendapat
boleh hukumnya memungut bayaran dalam berdakwah, tetapi harus
diadakan perjanjian terlebih dahulu.
Perbedaan pendapat dari para ulama bisa terjadi karena banyaknya
teks-teks al-Qur‟an yang selain menjadi sumber hukum, juga menjadi
sumber etika, sehingga dengan perbedaan perspektif antara kacamata
hukum dan etika inilah muncul perbedaan dalam penafsiran atau
pemahamannya masing-masing.
Namun yang menjadi catatan, setidaknya harus dipahami antara
“mengajar yang hanya membacakannya” seperti mengajar al-Qur‟an atau
71
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, h. 260
70
membacakan al-Qur‟an. Bila mengajar berarti mentransfer ilmu dari guru
ke murid, maka dalam hal ini telah terdapat unsur jasa dan hukumnya
boleh untuk memungut bayaran. Tetapi, apabila hanya membaca dan tanpa
ada unsur jasa, maka ini termasuk yang tidak diperbolehkan dalam
memungut imbalan sebagai rujukannya adalah ketika Rasulullah SAW.
menyuruh para tawanan perangnya untuk mengajarkan baca tulis kepada
orang Arab kepada generasi Islam yang dijadikan sebagai tebusan untuk
pembebasan mereka.
Dalam konteks kekinian imbalan jasa dalam berdakwah itu
merupakan salah satu faktor penentu dukungan financial dalam dakwah.
Dalam artian, dakwah pada era sekarang menegaskan sangat pentingnya
dukungan financial ini, karena akan menambah sumber daya sang da‟i
tersebut dari segi keilmuan, kesejahteraan hidup dan proses aktifitas
dakwah yang dilakukannya. Keprofesionalan seorang da‟i ini sangatlah
penting, asalkan da‟i mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh sang
mad‟u. Dalam konteks ini, imbalan yang diterima seorang da‟i tidak dapat
dihubungkan dengan keikhlasan, sebab keikhlasan da‟i itu tidak dapat
dijadikan sebuah barometer, karena hal tersebut merupakan sebuah
hubungan secara vertikal antara da‟i dan Tuhannya.72
72
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. Ke-2, h. 89
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari pembehasan tentang Imbalan ceramah Agama Penafsiran
Ibn Katsir dan Sayyid Quṭb QS al-Baqarah [2]: 41:
1. Ibn Katsir melarang mengajarkan agama (berdakwah) dengan imbalan,
karna itu merupakan kebiasaan Bangsa Yahudi yang melanggar ajaran
kitab mereka dan sedikitpun kita dilarang untuk mengikuti kebiasaan
mereka.
Beberapa poin yang membolehkan pengambilan imbalan adalah jika
imbalan tersebut bukan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak,
melainkan diberikan dengan suka rela, bukan di minta, serta jika imbalan
tersebut di dapat dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan disi sendiri
dan keluarganya.
2. Sayyid Quṭb dengan tegas melarang mengambil imbalan setelah
memberikan pengajaran keagamaan, sebagaimana yang dilakukan
pemimpin-pemimpin Yahudi yang menetapkan harga bagi pelayanan
keagamaan dan memeberikan fatwa-fatwa dusta, dengan mengatakan
bahwa “mereka telah membeli jahannam” karena rendah harga yang
dihasilkan dari menukarkan ayat-ayat Allah dengan imbalan harta benda
duniawi merupakan perbandingan apabila dibandingkan dengan keimanan
di akhirat di sisi Allah.
3. Dari dua pendapat mufasir tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa
pengambilan imbalan bagi pengajaran keagamaan menurut QS al-Baqarah
72
[2]:41 adalah tidak boleh,karena pengajaran agama harus berdasarkan niat
ikhlas. Namun, jika pengajaran agama tersebut menyebabkan pengajaran
agama menjadi terhenti karena tidak adanya anggaran untuk memenuhi
kebutuhan pengajar tersebut maka dibolehkan dengan catatan berdasarkan
suka rela.
73
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Fikri “Upah Ceramah Agama dalam Perspektif Hadis” Skripsi FU
UIN Jakarta, 2015.
Ade Sofyan, Fatmawati. “Dakwah di Televisi”, Skripsi. Jakarta: Fakultas Dakwah
dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Ardani, Moh, Memahami Permasalahan Fiqih Dakwah, (Jakarta: PT. Mitra
Cahaya Utama, 2006)
Arraiyyah, M. Hamdar; Anwar, H. Rosehan, Siaran Keagamaan di Televisi,
(Jakarta: Puslitbang Lektur Agama)
Arrifa‟i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, (Jakarta: Gema Insani,
1999)
Aziz, Muhammad Ali, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2004)
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir t.t., (Jakarta: Gema Insani, 2016)
Badruttamam, Nurul, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2005)
Bahnasawi, Salim, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quṭb: Menuju Pembaruan
Gerakan Islam, (Depok: Gema Insani, 2003)
Bunyamin, Abun, Dinamika Tafsir Ijtima‟i, (Purwakarta: Taqaddum, 2012)
al-Baqi, Muhammad Abd Fuad, al-Mu‟jam al-Mufahras li alfadz al-Qur‟an,
(Kairo: Dar al-Hadis)
Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Cipta
Media, tt.
Fathullah, Mahdi, Titik Temu Agama dan Politik, (Solo: Ramadhani, 1991)
Habib, M. Syafaat, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Widijaya, 1982)
Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. (Jakarta: UIN Jakarta,
2008)
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986)
Hartini, Titin, Imbalan Mengajar Al-Qur‟an Perspektif Hadis, Skripsi FU UIN
Jakarta, 2006
https://id.wikipediaOrg/wiki/Abbas el-Akkad
http://nurekhun.blogspot.com/2012/10//m=1
https://id.wikipedia.org/wiki/AhmadAmin
https://www.google.co.id/amp/s/www.dakwatuna.com/2014/05/13/51166/Jamal-
Sultan-drama-al-munsyiah-1954
http://maribelajarngilmu.blogspot.co.id/2016/01/sejarah-ulama-ibnu-
katsir.html?=1
74
http://quran.bblm.co.id/?id=15026
Ilaihi, M.A., Wahyu, Komunikasi dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosda karya,
2010)
Ismail, A. Ilyas Ismail, MA.; Hotman, Prio., M.A., Filsafat Dakwah: Rekayasa
Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta: Kencana, 2011)
Al-Khalidi, Shalah Abd al-Fath, Pengantar Memahami Tafsir Fī Ẓilal Al-Qur‟an,
(Surakarta: Era Intermedia, 2001)
Mahali, A. Mudjab, Asbab al-Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur‟an, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002)
Mansyur, Mustafa, Fiqih Dakwah, (Jakarta: I‟tishom, 2000)
Muid, Abdul, Teologi Pembelaan Islam Sayyid Quṭb, (Tesis S2 Konsentrasi
Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005)
Munir, M, Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003)
al-Qattan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2005)
Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azam, 2010)
Qutb, Sayyid. Fiqih Dakwah (Jakarta: PUSTAKA AMANI, 1995)
Quṯb, Sayyid. Tafsir Fī Ẓilal Al-Qur‟an, (Beirut: Dar asy-Syuruq, 2000).
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtaṣid t.t., (Beirut, Dar al-
Fikr)
al-Samarqandi, Nashr Ibn Muhammad Ibn Ibrahim, al-Tanbih al-Ghafilin,
(Indonesia, Dar al-Ihya‟ al-Quṭb al-„Arabiyah t.t.)
saputra, Wahidin, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Raja Grafino Persada,
2011)
al- Ṣiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur‟an al-Majid al-Nur,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000)
Shihab, Quraish, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997)
al-Suhaimi, Fawwaz ibn Hulail, Begini Seharusnya Berdakwah, (Jakarta: Dar al-
Haq)
al-Syami, Shalih Ahmad, Untaian Nasihat Imam Ghazali, (Jakarta: Turos, 2014)
Syamsul, Asep Romli, M. SIP., Jurnalistik Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2003)
Titin Hartini, Imbalan Mengajar Al-Quran Perspektif Hadis, Skripsi, Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Tricahyo, Agus. Metafora dalam Al-Qur‟an, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,
tahun)
Al-Turki, Abdullah ibn Abdul al-Muhsin, al-Bidayah wa al-Nihayah Ibn Katsir,
(Jakarta: Pustaka Azam, 2013)
75
Ya‟qub, Ali Mushafa, “Dai Bertarif” Republika, Selasa 23 Agustus 2013. Diakses
dari http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/08/26/ms59jb-
dai-bertarif pada tanggal 2 Juni 2016.
top related