permasalahan psikososial keluarga dengan anak...
Post on 11-Mar-2019
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERMASALAHAN PSIKOSOSIAL KELUARGA DENGAN ANAK TUNAGRAHITA
DI SLBN 02 JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial ( S. Sos)
Universitas Islam Negeri
Syarif hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh :
ASNAWARI
NIM : 1112054100042
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
i
ABSTRAK
Asnawari
Permasalahan Psikososial Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Di SLBN 02
Pagi Jakarta Selatan.
Anak penyandang keterbelakangan mental atau tunagrahita adalah anak yang
mempunyai IQ (Intelligence Quotient) kurang dari angka rata-rata anak normal. Pada
umumnya penyandang tunagrahita seringkali dianggap sosok yang tidak berdaya,
sehingga perlu dibantu dan dikasihani. Anak tunagrahita bukanlah aib bagi keluarga
dan bukan berarti tidak dapat berprestasi. Penyandang tunagrahita sangat mungkin
akan dihadapkan pada berbagai masalah terutama pada masalah kesejahteraannya.
Dalam klasifikasi anak tunagrahita ringan dan sedang dapat berprestasi dan dapat
pula dikatakan mampu mandiri sebaliknya anak tunagrahita tidak mampu mandiri
adalah anak yang tidak dapat berprestasi bahkan tidak dapat mengurus dirinya
sendiri, sehingga bergantung pada orang lain. Teori yang peneliti gunakan dalam
menganalisa ialah teori perkembangan psikososial, permasalahan psikososial pada
penelitian ini. Pola pengasuhan keluarga atau orang tua menentukan kualitas anak.
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami permasalahan
psikososial keluarga dengan anak tunagrahita yang bersekolah di SLBN 02 Pagi
Jakarta.
Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif yaitu data yang dikumpulkan
berupa hasil wawancara mendalam, observasi, dan data studi dokumen. Teknik
pemilihan informan dalam hal ini adalah purposive sampling dan snowball sampling.
Dimana yang menjadi informan peneliti adalah wakil kepala sekolah, guru
pembimbing dan orang tua anak tunagrahita tidak mampu mandiri sebagai informan
berikutnya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Psikososial, Tunagrahita,
Keluarga, Pendidikan Anak Tunagrahita Dan Bina Diri Pada Anak Tunagrahita.
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan beberapa pemasalahan psikososial
yang dialami keluarga diantaranya: masalah psikososial anesitas, masalah ekonomi,
masalah menarik diri, pola atau gaya pengasuhan yang diberikan oleh para orang tua
anak tunagrahita tidak mampu mandiri ialah dengan gaya pengasuhan yang bersifat
permisif dimana orang tua memanjakan anaknya tidak mendorong anak untuk
mandiri. Peran SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan dalam mengatasi anak tunagrahita yaitu
dalam program bina diri bagi anak tunagrahita tidak mampu mandiri untuk dapat
mencapai kemandirian. Sebagai upaya untuk mengembangkan potensi yang dimilki
oleh anak tunagrahita tidak mampu mandiri bisa melalui pendidikan olahraga adaptif
dan keterampilan kriya.
Kata kunci :permasalahan psikososial, keluarga, anak tunagrahita
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu
Tiada kata yang dapat penulis untaikan selain ucapan Syukur
Alhamdulillahirrabbil ‘alamin, kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat
yang begitu luar biasa. Berkat Rahmat serta Hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Permasalahan Psikososial Keluarga Dengan
Anak Tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan. Shalawat serta salam senantiasa
selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatNya.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna,
masih banyak kekurangan yang terjadi baik dari penulisan maupun materi dalam
skripsi. Masukan dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis untuk
penyempurnaan skripsi ini. skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan
sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial jurusan Kesejahteraan Sosial.
Dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya penyususnan skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA Selaku Dewan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Suparto,
M. Ed, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Roudhonah, MA
selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Dr. Suhaimi, M.Si selaku
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
iii
2. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan
Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA selaku Sekretaris program Studi
Kesejahteraan Sosial. Terima kasih atas bimbingannya.
3. Ibu Siti Napsiyah Ariefuzzaman, M.SW selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah membantu mengarahkan, membina, dan selalu meluangkan
waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan waktu dan tenaganya dalam
mendidik dan memberikan wawasan selama mengikuti perkulihahan di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kedua orang tua penulis, Ayah Ali Hotman Sitompul dan Ibu Emmi yang
telah selalu mendoakan, mendukung, memberikan motivasi dan kasih sayang
kepada penulis. Skripsi ini penulis persembahkan untuk kalian sebagai orang
tua yang sabar dan orang tua yang terbaik, dan juga untuk adik dan kakakku
tersayang.
6. Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah SLBN 02 Pagi Jakarta, beserta
guru, staf, dan para jajarannya yang bersedia membantu penulis untuk
memberikan informasi yang diperlukan oleh penulis dalam skripsi. Terima
kasih atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.
7. Para Orang tua yang menjadi informan penulis beserta adik-adikku anak
tunagrahita tidak mampu mandiri yang menjadi obyek penelitian penulis.
Terima kasih penulis ucapkan, penulis memperoleh banyak pembelajaran
kehidupan dari kalian.
iv
8. Sahabat yang penulis sayangi yaitu Irmawati, Nirma, Ayu Laura, Asylia Syam,
Panorama, Dina, Diva, Heni, Ira, Mala dan Rani yang telah memotivasi,
menyemangati dan mengukir banyak cerita di hati penulis. Terkhusus
sahabatku tersayang Aisyah yang selalu ada bagi penulis dalam keadaan apapun
dan juga sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Teman-teman Kesejahteraan sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012
yang sudah memberikan warna selama menjalankan perkuliahan. Semoga
kelak kita dapat bersama-sama memajukan Indonesia melalui Pekerja Sosial.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini menjadi langkah awal penulis untuk meraih kesuksesan
kedepannya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Jakarta, 10 November 2016
Asnawari
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRAK………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang Masalah ....................................................................... 1
B. Pembahasan dan Perumusan Masalah .................................................. 9
1. Pembatasan Masalah……………………………………………… 9
2. Perumusan Masalah……………………………………………. ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian………………………………………………. .. 10
2. Manfaat Penelitian…………………………………………….. ... 10
D. Metodelogi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian…………………………………………. ... 11
2. Waktu dan Tempat Penelitian………………………………… .... 12
3. Teknih Pengumpulan Data……………………………………. .... 12
4. Teknik Pemilihan Informan…………………………………… ... 13
5. Macam dan Sumber Data…………………………………….. ..... 15
6. Teknik Analisa Data…………………………………………… ... 15
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data………………………... ..... 16
8. Teknik Penulisan………………………………………………. ... 17
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 17
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 18
V
vi
BABI II LANDASAN TEORI
A. Psikososial ............................................................................................ 20
1. Pengertian Psikososial ................................................................... 20
2. Faktor-Faktor Psikososial .............................................................. 21
3. Tahapan-Tahapan Psikososial ....................................................... 23
4. Permasalahan Psikososial........................................................... ... 27
B. Tunagrahita .......................................................................................... 31
1. Pengertian Tunagrahita………………………………………... .. 31
2. Klasifikasi Tunagrahita……………………………………….. ... 32
3. Faktor Penyebab Tunagrahita………………………………….... 35
4. Kemandirian Anak Tunagrahita .................................................... 38
C. Keluarga ............................................................................................... 46
1. Pengertia Keluarga……………………………………………… 46
2. Fungsi Keluarga…………………………………………………. 47
3. Bentuk dan Pelayanan Pengasuhan Keluarga………………… ... 47
D. Pendidikan Anak Tunagrahita .............................................................. 48
E. Bina Diri pada Anak Tunagrahita…………………………………. ... 50
BAB III HASIL GAMBARAN UMUM SEKOLAH
A. Sejarah Sekolah .................................................................................... 51
B. Identitas Sekolah……………………………………………………… 52
C. Visi, Misi dan Tujuan Sekolah……………………………………… . 54
D. Struktur Organisasi………………………………………………….. 56
E. Kurikulum…………………………………………………………… 56
F. Kesiswaan…………………………………………………………… 57
G. Program Kegiatan di Sekolah………………………………………... 58
H. Profil Informan……………………………………………………… . 59
vii
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA ..............................................
A. Memahami Permasalahan Psikososial Keluarga dengan Anak Tunagrahita
di SLBN 02 Pagi
Jakarta……………………………………………………… .............. 67
1. Psikososial………………………………………………. ............ 67
a. Faktor Psikososial…………………………………………… 67
b. Tahapan Perkembangan Psikososial…………………….. 73
c. Permasalahan Psikososial................................................... 77
2. Tunagrahita……………………………………………………… 83
a. Klasifikasi Tunagrahita………………………………….. 83
b. Faktor Penyebab Tunagrahita……………………………… 84
c. Kemandirian Anak Tunagrahita ......................................... 89
3. Keluarga……………………………………………………… .... 92
a. Bentuk dan Pelayanan Pengasuhan Keluarga pada Anak
Tunagrahita....................................................................... . 92
B. Peran SLBN 02 Pagi Jakarta Dalam Mengatasi Anak
Tunagrahita …… ................................................................................. 94
1. Model Pelayanan Pendidikan Anak Tunagrahita…………… ....... 94
2. Bina Diri……………………………………………………… ..... 97
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………. ......... 101
B. Saran………………………………………………………………… . 102
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN- LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Gambaran Umum Informan…………………………………….. 14
Tabel 2 Struktur Organisasi………………………………………………. 59
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Bimbingan Skripsi
2. Surat Izin Penelitian Ke SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan
3. Pedoman Wawancara
4. Transkrip Wawancara
5. Hasil Studi Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan amanah dan karunia dari tuhan Yang Maha Esa, yang di
dalam dirinya mempunyai harkat dan martabat sebagaimana manusia
seutuhnya.1 Seorang anak, menurut al-quran, akan menjadi qurratu a’yun, buah
hati dan perhiasan dunia jika tumbuh dalam pola pengasuhan yang baik dan
berkualitas. Al-quran juga mengingatkan manusia bahwa anak tidak hanya
memiliki potensi menjadi kebanggaan dan hiasan keluarga, tetapi juga
memiliki potensi untuk menjadi musuh dan ujian yang berat bagi keluarga.2
Pola pengasuhan dan sebuah keluarga ideal menentukan kualitas anak.
Menurut rumusan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, keluarga
yang ideal memenuhi ciri yaitu keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri,
memiliki jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, dan
harmonis.3 Setiap orangtua pasti sangat mendambakan hadirnya seorang anak
dalam pernikahannya karena anak merupakan anugerah yang sangat berarti
bagi kedua orangtua. Namun tidak semua anak terlahir kedunia dalam kondisi
yang sempurna, beberapa terlahir dengan keterbatasan fisik maupun psikis.
Salah satu anak yang terlahir dengan keterbatasan yaitu anak tunagrahita. Anak
tunagrahita merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki karakteristik
adanya gangguan dalam bentuk fisik intelektual dan kemampuan adaptasi
1 Undang-Undang RI Nomer 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
2Asep Usman Ismail, “Al-Quran dan Kesejahteraan Sosial, sebuah rintisan membangun
paradigma sosial islam yang berkeadilan dan berkesejahteraan”, (Tanggerang: Lentera hati,
2012), Cet-1 h. 153.
3Asep Usman Ismail, “Al-Quran dan Kesejahteraan Sosial, sebuah rintisan membangun
paradigma sosial islam yang berkeadilan dan berkesejahteraan“, (Tanggerang: Lentera hati,
2012), Cet-1 h. 151.
2
sosial yang secara signifikan berada dibawah rata-rata, yang telah tampak sejak
anak-anak. Tunagrahita dengan kata lain disebut retardasi mental (mental
retardation) secara bahasa berasal kata tuna berarti merugi dan grahita berarti
pikiran.4
Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an surah an-Nisa/4: 9
berikut:
“Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya
mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang
mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang
benar”.
Bagi orang tua, anak adalah karunia sekaligus amanah dari Allah SWT.
Oleh karena itu sebagai orang tua berkewajiban untuk mengasuh dan merawat
anak-anaknya berdasarkan dengan ajaran agama Islam. Orang tua diharapkan
mampu untuk memberikan dorongan dan kesempatan kepada anak baik itu
anak normal maupun anak berkebutuhan khusus, agar dapat mengembangkan
potensi dan bakat yang telah mereka miliki.
Populasi penyandang tunagrahita di DKI Jakarta menduduki urutan
pertama di Indonesia. Berdasarkan hasil rekapitulasi jumlah penyandang
masalah kesejahteraan sosial menurut data Direktur Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
terbaru , jumlah anak berkebutuhan khusus tunagrahita di Indonesia tercatat
4
Asep Usman Ismail, Al-Quran dan Kesejahteraan Sosial, sebuah rintisan membangun
paradigma sosial islam yang berkeadilan dan berkesejahteraan, (tanggerang:lentera hati, 2012),
cet 1 h. 1.
3
mencapai 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42 persen) berada dalam
rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 85.737 anak berkebutuhan
khusus tunagrahita yang bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.027 anak
berkebutuhan khusus tunagrahita yang belum mengenyam pendidikan di
sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi.5
Besarnya jumlah penyandang tuna grahita akan berdampak pada
munculnya masalah bagi anak itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Keadaan
penyandang tuna grahita menyebabkan ganguan dan hambatan dalam bentuk
keterbatasan subtansial dalam memfungsikan diri. Sehingga keterbatasan yang
dimiliki oleh anak tunagrahita membawa pengaruh dari terhambatnya proses
penyesuaian diri pada lingkungan sosial. Selain itu anak tunagrahita juga
mengalami kesulitan dalam mengurus diri sendiri, kesulitan belajar,
penyesuaian tempat kerja, masalah gangguan kepribadian, emosi, dan masalah
pemanfaatan waktu luang sehingga dalam melalukan aktifitasnya anak
tunagrahita memiliki ketergantungan pada orang lain terutama pada
keluarganya sendiri.
Pada jurnal keperawatan yang dibahas oleh Ni wayan lisnayanti, Ni made
dian Sulistyowati, dan I wayan surasta tentang hubungan tingkat harga diri
dengan tingkat ansietas orangtua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C
Negeri Denpasar sebagai berikut:
“Keterbatasan anak tunagrahita dalam area fungsi adaptif, sperti
keterampilan komunikasi, perawatan diri, tinggal di rumah,
keterampilan interpersonal atau sosial, keterampilan waktu senggang
dan kesehatan serta keamanan menjadi alasan tingginya tingkat
ketergantungan anak tunagrahita terhadap keluarga atau caregriver.
Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka disfungsi apapun
5Populasi Penyandang Tunagrahita, artikel diakses pada 27 Juni 2016 dari
www.scholae.com
4
yang terjadi pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi
satu atau lebih anggota keluarga atau bahkan keseluruhan keluarga.
Pada keluarga dengan anak tunagrahita, meningkatnya beban
keluarga karena merawat anak tunagrahita akan mempengaruhi fungsi
keluarga. Hal tersebut secara tidak langsung akan memicu munculnya
masalah psikososial pada keluarga anak tunagrahita khususnya
orangtua. Salah satu masalah psikososial tersebut yaitu ansietas”.6
Dari jurnal diatas bahwa ada kaitannya dengan penelitian penulis yaitu
pada masalah psikososial yang diterima oleh keluarga pada anak tunagrahita
adalah ansietas yang juga mempengaruhi fungsi keluarga. Pada penelitian
penulis, beberapa keluarga yang mempunyai anak tunagrahita menerima
permasalahan psikososial ansietas. Gangguan ansietas adalah kondisi tegang
yang dialami oleh seseorang secara tegang yang dialami oleh seseorang secara
berlebihan atau tidak pada tempatnya dan ditandai oleh perasaan khawatir,
tidak menentu atau takut.7 Yang menjadi pembeda dengan penelitian peneliti
ialah peneliti meneliti bagaimana permasalahan psikososial keluarga yang
memiliki anak tunagrahita tidak mampu mandiri di SLBN 2 Jakarta Selatan,
dan pada SLBN 02 atau pihak sekolah juga melakukan kegiatan konsultasi
pada orang tua anak tuna grahita guna mengurangi dan membatu masalah
psikososial pada orang tua anak tunagrahita dan anak tunagrahita itu sendiri.
Pada keluarga dengan anak tunagrahita, gangguan ansietas muncul dikarenakan
adanya tuntutan ekonomi dan waktu yang tidak singkat dalam perawatan,
ketergantungan anak dengan keluarga/caregiver , dibutuhkan kesabaran yang
tinggi dalam menghadapi emosi anak, adanya stigma sosial tentang
6 Ni wayan lisnayanti, dkk., “Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) Dengan Tingkat
Ansietas Orangtua Dalam Merawat Anak Tunagrahita Di Sdlb C Negeri Denpasar,” Jurnal
Keperawatan2013diaksespadatanggal4Desember 2016 di http://www.e-jurnal.com/2013/09/jurnal-
penelitian-keperawatan.html. 7 Ni wayan lisnayanti, dkk., “Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) Dengan Tingkat
Ansietas Orangtua Dalam Merawat Anak Tunagrahita Di Sdlb C Negeri Denpasar,” Jurnal
Keperawatan 2013 diakses pada tanggal 4 Desember 2016 di http://www.e-
jurnal.com/2013/09/jurnal-penelitian-keperawatan.html.
5
tunagrahita, serta ketidakmampuan keluarga dalam mengelola stress.
Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita, banyak anak
tuna grahita yang tidak mengenyam pendidikan karena pada dasarnya anak
berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan.
Perihal tersebut sebagaimana diamanahkan dalam UU RI Nomer 20 Tahun
2003 pasal 5 ayat 1 bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, mental,
intelektual berhak memperoleh pendidikan.
Hal ini juga telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 31 maupun pada UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 2 yang
dengan tegas menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus”. 8
Anak tunagrahita juga memerlukan penanganan khusus dalam
mengembangkan keterampilan yang dimiliki melalui pendidikan formal seperti
anak-anak normal pada umumnya yaitu dengan mengikuti pembelajaran di
Sekolah Luar Biasa (SLB) atau terapi-terapi di luar sekolah . Salah satu
sekolah yang bertujuan untuk mendidik anak-anak tunagrahita dalam
mengembangkan keterampilan yang mereka miliki tanpa adanya keterbatasan
adalah SLBN 02 Pagi adalah satu dari dua Sekolah Luar Biasa yang ada di
Jakarta selatan. SLBN 02 Pagi juga berlokasi di pusat atau ditengah-tengah
masyarakat di Jakarta Selatan. Lembaga Pendidikan SLBN 02 Pagi Lenteng
Agung Jakarta Selatan ini memiliki peran yang cukup besar dalam
mengembangan potensi anak tunagrahita guna meningkatkan kemandirian anak
dan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak tunagrahita agar menjadi
pribadi yang mandiri, mampu berkompetisi, dan berani mempertahankan
8
Safrudin Aziz, M.Pd.I, Pendidikan Seks Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Gava
Media, Klitren Lor GK III/15, 2015), h. 117.
6
kebenaran, serta eksis dalam kehidupan bermasyarakat minimal mempunyai
kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Menumbuhkan rasa percaya diri
dan membuka diri terhadap lingkungan.
Dalam skripsi ini peneliti melakukan penelitian di SLBN 02 Pagi Jakarta
karena sekolah tersebut lebih unggul dalam hal prestasi-prestasi yang telah
diukir oleh anak tunagrahita itu sendiri dan juga memiki pelayanan terhadap
anak yang multi handicap dengan tidak memfokuskan pada satu jenis
kecacatan. Adapun jenis kecacatan yang ada yaitu tunagrahita, tunanerta,
tunarungu, tunawicara dan tunadaksa. Selain itu sekolah ini dibina oleh tenaga-
tenaga pendidik dengan latar belakang pendidikan luar biasa dan pendidikan
vokasional yang diperuntukan bagi anak berkebutuhan khusus termasuk juga
anak tuna grahita, agar nantinya anak-anak berkebutuhan khusus dapat hidup
mandiri serta diharapkan mampu bersaing dengan dunia sekitarnya.
Di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan memiliki jumlah siswa tunagrahita pada
tingkat SMP dan SMA berjumlah 154 siswa pertahun. Dari jumlah anak
tunagrahita sedang dan ringan ada diantra mereka yang sudah mampu mandiri
dan tidak mampu mandiri. Terdapat 125 jumlah anak tunagrahita yang mampu
mandiri dan 19 anak yang tidak mampu mandiri.9
Siswa tunagrahita Sekolah Menengah Atas SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan
telah banyak mengukir prestasi-prestasi yang pernah dicapai melalui program
pengembangan diri dibidang olahraga yaitu bulu tangkis, renang, dan bocce.
Penghargaan yang pernah didapatkan oleh anak tunagrahita sedang diantaranya
adalah menjuarai Bocce internasional dan pada kompetisi “Autistic Talent
Gala 2016” yang diselengarakan oleh Anan Internasional Foundation
9 Profil SLBN 2 Pagi Jakarta 2016.
7
Hongkong. SLBN 02 Jakarta Selatan ini juga sangat unggul dalam bidang seni
musik dimana pernah menjuarai lomba menyanyi juara 2 tingkat DKI Jakarta
pada anak tuna grahita sedang, menari, automotif, tataboga dan habdycraf.
Pada anak tunagrahita yang sudah lulus dari SLBN 02 Jakarta Selatan ada yang
sudah bekerja di bagian perawatan ATM dan juga sebagai guru IT honorer di
sekolah.10
Berbicara mengenai keberhasilan di SLBN 2 Jakarta Selatan ini ada
juga anak tunagrahita yang sudah lulus dari sekolah namun tidak bekerja dan
hanya tinggal dirumah saja. Anak tunagrahita yang tidak mampu mandiri dan
bergantung pada orang tuanya bahkan ada juga yang kembali pada fase awal
dimana si anak belum mendapatkan manfaat dari sekolah.
Berdasarkan laporan dari para guru para orang tua mengeluhkan siswa
tunagrahita tidak mampu mandiri setibanya dirumah sudah tidak lagi dapat
mandiri dalam konteks mobilitas dan juga dalam hal mengurus diri. Kurikulum
akademik yang juga menyulitkan cara berfikir atau belajar anak tunagrahita,
program khusus bina diri dengan porsi waktu belajar yang terbatas yaitu 4-5
jam dalam sehari membuat kemandirian anak tidak maksimal. Padahal
disekolah sudah dibina dan banyak sekali prestasi yang sudah dicapai oleh
anak-anak tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan ini tetapi masih ada
saja sebagian dari anak tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan yang tidak
mampu untuk mandiri. Masalah yang paling menarik dari psikososial anak-
anak di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan ini adalah justru permasalahan keluarga
10 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Indrawati Saptari Ningsih selaku Wakil Kepala
Sekolah, Jakarta 8 Agustus 2016.
8
yang berpengaruh pada anak masih belum bisa dipecahkan oleh pihak
sekolah.11
Setiap anak memiliki potensi kecerdasan. Potensi ini harus dilindungi agar
tidak hilang, bahkan harus dikembangkan dengan pola pendidikan yang benar.
Kelemahan intelektual anak-anak kita pada umumnya tidak terletak pada
potensi anak itu sendiri, tetapi terletak pada kemampuan orangtua, guru dan
orang disekitar lingkungan dalam mengembangkan potensi kecerdesan mereka,
sangat mungkin menjadi tokoh yang paling bertanggung jawab atas kegagalan
anak-anak karena gagal mendorong dan mengondisikan perkembangan potensi
kecerdasan anak dengan baik. Upaya penanganan anak tunagrahita sampai saat
ini tidak hanya dilakukan oleh keluarga atau orangtua yang memiliki anak
tunagrahita saja, lembaga pendidikan sekolah luar biasa pun memiliki peran
yang cukup besar dalam mengembangkan potensi anak tunagrahita guna
meningkatkan kemandirian anak tunagrahita
Selain peranan keluarga dalam rangka memberdayakan dan memenuhi
hak-hak bagi anak berkebutuhan khusus, pengelolaan pendidikan luar biasa
dituntut untuk dapat memotivasi dan mengembangkan potensi mereka dalam
segala aspek kehidupan sehari-hari. Seperti dalam Al-Quran Surah Abasa ayat
1 sampai 3 mengisahkan ketika Rasulullah SAW sedang menerima dan
berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang Dia harapkan agar mereka
masuk Islam. Pada saat itu datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat
yang buta yang mengharapkan agar Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat
Al-Quran yang telah diturunkan Allah SWT. Tetapi, Rasulullah SAW bermuka
11 Hasil Wawancara pribadi dengan Ibu Indriwati selaku wakil kepala sekolah SLBN 2
Jakarta Selatan. Pada 24 Februari 2016.
9
masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum yang buta itu, lalu
Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah terhadap
Ibnu Ummi Maktum. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Surah Abasa:
1-3 berikut :
مى ﴿١عبس وتولى ﴿ عأ كى ﴿٢﴾ أن جاءه الأ ريك لعله يز ﴾٣﴾ وما يدأ
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah dating
seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali Ia ingin membersihkan
dirinya (dari dosa).”12
Ayat tersebut sangat tegas bahwa Allah SWT menyerukan kepada
umatnya untuk tidak mengacuhkan orang yang memilki kekurangan.
Begitupula dengan para pendidik diharapkan juga agar dapat memberikan
perhatian yang lebih kepada penyandang tunagrahita disekolah. Berdasarkan
permasalahan tersebut peneliti sangat tertarik untuk meneliti anak tunagrahita
karena keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita membawa pengaruh
terhadap terhambatnya proses penyesuaian diri dan memiliki kesulitan dalam
mengurus diri. Penelitian ini penulis tuangkan dalam judul skripsi yaitu
“Permasalahan Psikososial Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Di SLBN
02 Jakarta Selatan”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi sasaran dalam penelitian ini ialah masalah-masalah
yang dihadapi keluarga anak tunagrahita tidak mampu mandiri di SLBN 02
Jakarta Selatan.
12
Al-qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: CV.Naladana, 2005) h. 871.
10
2. Perumusan Masalah
Untuk dapat menggambarkan dengan jelas permasalahan yang diteliti
dan dengan berdasarkan latar belakang masalah dalam penulisan judul
skripsi, maka dapat dirumuskan perumusan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Bagaimana memahami permasalahan psikososial keluarga dengan anak
tunagrahita di SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan?
b. Bagaimana peran SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan dalam mengatasi anak
tunagrahita?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk menjelaskan permasalahan psikososial keluarga dengan anak
tunagrahita di SLBN 2 Jakarta Selatan.
b. Untuk mendeskripsikan bagaimana peran SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan
dalam mengatasi anak tunagrahita.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Akademis
1) Bagi Program Studi Kesejahteraan Sosial, sebagai bahan referensi
atau tambahan pustaka tentang penyandang Tunagrahita.
2) Menjadi rujukan atau data awal bagi penelitian selanjutnya.
b. Secara Praktis
1) Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
masukan bagi keluarga yang mempunyai anak tunagrahita.
11
2) Dapat mengahasilkan data dasar mengenai cara atau metode
pendidikan di SLBN 02.
3) Dapat dijadikan sebagai bahan untuk meningkatkan kualitas pelayan
yang diberikan oleh SLBN 2 Jakarta Selatan dan dengan demikian
diharapkan pemerintah dapat melaksanakan dan meningkatkan
pembangunan di bidang pendidikan sehingga anak berkebutuhan
khusus tunagrahita dapat bekerja secara mandiri.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan strategi umum yang dipakai dalam
pengumpulan dan analisis data yang diperlukan, guna menjawab permasalahan
yang diselidiki. Penggunaan metodologi ini dimaksudkan untuk menentukan
data valid, akurat, dan signifikan dengan permasalahan, sehingga dapat
digunakan untuk mengungkapkan permasalahan yang diteliti.
1. Pendekatan Penelitian
Menurut Bogdan dan Taylor metode penelitian kualitatif adalah prosedur,
penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis dari
orang-orang, atau pelaku, yang dapat diamati.13
Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah
metode deskriptif. Data tersebut bisa berasal dari wawancara, foto, dokumen
pribadi, catatan lapangan, dan dokumen resmi lainnya. Penelitian deskiptif
ditujukan untuk mengumpulkan data aktual secara rinci yang melukiskan
gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi, juga
menentukan apa yang dilakukan oleh orang lain dalam menghadapi masalah
13
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000),
h. 3.
12
yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana
yang akan datang.14
2. Waktu dan Tempat Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SLBN 2 (Sekolah Luar Biasa
Negeri) Jl. Raya Lenteng Agung Jakarta Selatan.
b. Waktu Penelitian
Penulis melakukan penelitian pada bulan Juni 2016 sampai dengan
September 2016.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diperlukan untuk mendapatkan data dan
informasi yang diperlukan untuk dapat menjelaskan dan menjawab
permasalahan ini. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan:
a) Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain
panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Oleh
karena itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan
pengamatan melalui hal kerja panca indera mata serta dibantu dengan
panca indera lainnya.15
Dalam observasi penulis melakukan pencacatan
apa yang bisa dilihat, didengar dan diraba kemudian penulis tuangkan
dalam bentuk hasil observasi.
14 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
2006), cet. 12, h.25.
15 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Kencana, 2007), h.115.
13
b) Wawancara adalah proses memeperoleh data dengan cara tanya jawab
serta secra langsung, bertatap muka antara penanya dengan informan
penelitian.16
Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara
bertahap yakni wawancara yang dilakukan secara bertahap dan
pewawancara tidak harus terlibat dalam kehidupan informan. Kehadiran
pewawancara sebagai peneliti yang sedang mempelajari objek penelitian
yang dapat dilakukan secara tersembunyi atau terbuka. Sistem “datang
dan pergi” dalam mewancarai mempunyai keandalan dalam
mengembangkan objek-objek baru dalam wawancara berikut karena
pewancara memperoleh waktu yang panjang diluar informan untuk
menganalisis wawancara yang telah dilakukan serta dapat
mengoreksinya bersama dengan tim yang lain.17
Dalam teknik ini
penulis berusaha memperoleh data-data dokumentasi yang berkaitan
dengan pengumpulan foto-foto, profil sekolah, mempelajari arsip-arsip,
serta berbagai bentuk data tertulis lainnya berupa laporan pihak sekolah
yang ada dilapangan.
c) Studi dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang
berbentuk tulisan, gambar, atau dokumen. Dokumentasi merupakan
pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara.
Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber
16 Adang Rukhyat, Panduan Penelitian Bagi Remaja (Jakarta: Dinas Olahraga dan
Pemuda, 2003), h.51.
17
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Kencana, 2007), h.110.
14
data karena dalam banyak hal dokumntasi sebagai sumber data
dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.18
4. Teknik Pemilihan Informan
Berkaitan dengan tujuan penelitian ini maka pemilihan informan
menentukan informasi kunci (key informan) tertentu serta informasi sesuai
dengan fokus penelitian. Untuk pemilihan informan, penulis menggunakan
purposive sampling yang kemudian menggunakan teknik snowball sampling.
Informan baru yang ditunjuk yaitu teknik penentuan sample yang mula-mula
jumlahnya kecil kemudian membesar. Selanjutnya, apabila dalam proses
pengumpulan data sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi maka peneliti
tidak perlu lagi untuk mencari informan baru, proses pengumpulan informasi
sudah selesai.19
18
Imam Gunawan, S.Pd.,M.Pd., Metode Penelitian Kualitatif Teori&Praktik, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013), cet-1, h.216.
19
M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012), h. 344.
15
TABEL 1.
GAMBARAN UMUM INFORMAN
Sumber : hasil peneliti
5. Macam dan Sumber Data
Bila dilihat dari sumbernya, teknik pengumpulan data terbagi dua bagian,
yaitu:
a) Data Primer
Data primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari para informan
pada waktu penelitian. Data primer ini diperoleh melalui pengamatan dan
wawancara dengan informan. Dalam penelitian ini data primernya adalah
No.
Informan
(Sumber Data)
Data yang dicari
Teknik Pengumpulan
Data
Keterangan
1. Wakil Kepala Sekolah Untuk mengetahui
bagaimana program
kegiatan anak tunagrahita
di sekolah.
Wawancara dan
observasi 1
2. Guru Pembimbing
Khusus Tuna grahita
Untuk mengetahui
bagaimana peran guru
pembimbing khusus tuna
grahita dalam mendidik
anak tuna grahita tidak
mampu mandiri
Wawancara 2
3. Orang Tua Anak Tuna
grahita Tidak Mampu
Mandiri
Untuk mengetahui dan
memahami permasalahan
psikososial apa yang
dimilki keluarga anak
tunagrahita tidak mampu
mandiri sehingga anak
tidak mampu untuk
mandiri
Wawancara dan
observasi 4
16
kepala sekolah, guru dan orang tua dari siswa penderita tuna grahita tidak
mampu mandiri. Siswa SLBN yang menjadi subyek penelitian.20
b) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melaui sumber-sumber
informasi tidak langsung seperti perpustakaan.
6. Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan, analisis data adalah proses mencari dan menyususn
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,
dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain. Ada berbagai cara untuk menganalisa data,
yakni sebagi berikut:
a) Reduksi Data, yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.21
b) Penyajian Data, setelah data mengenai peran sekolah dalam
mengembangkan keterampilan penyandang tuna grahita dan jenis
keterampilan diperoleh maka data tersebut disususn dan disajikan dalam
bentuk narasi, visual, gambar, matrik, dan lain sebagainya.
c) Penyimpulan, merupakan hasil penelitian yang menjawab fokus penelitian
berdasarkan hasil analisis data. Simpulan disajikan dalam bentuk
deskriptif objek penelitian. Dengan berpedoman pada kajian
penelitian.22
20
M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012), h.164
21 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabet, 2010), h. 92.
22
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, h.212.
17
7. Teknik Pemeriksa Keabsahan Data
Untuk memeriksa keabsahan data, penulis menggunakan teknik
triangulasi. Teknik ini merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data tersebut.
Triangulasi data digunakan sebagai proses memantapkan derajat
kepercayaan (kredibilitas/validitas) dan konsistensi (reabilitas) data, serta
bermanfaat juga sebagai alat bantu analisis data dilapangan.
Keabsahan data yang diigunakan penulis adalah triangulasi sumber yakni
menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai sumber dalam
memperoleh data.23
Penulis menggunakan observasi dan membaca arsip-arsip
sekolah untuk membandingkan data yang sudah diperoleh dari wawancara.
8. Teknis Penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan, penulis mengacu pada pedoman
karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA
(Center For Quality Develoopment and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2007.
9. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap
beberapa skripsi terdahu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Adapun beberapa skripsi tersebut antara lain:
23
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, h.219.
18
a) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kesejahteraan Sosial Universitas
Indonesia Jakarta, oleh Lisa Ludang tahun 1992. Dengan judul
“Pengetahuan dan Sikap Orang Tua Dalam Mendukung Kemandirian
Anak Tuna Grahita”. Dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang
pengetahuan orang tua mengenai ketuna grahitaan dan sikap orang tua
terhadap anak tuna grahita. Yang menjadi pembeda dengan penelitian
terdahulu tersebut dengan penulis ialah bagaimana memahami
permasalahan psikososial keluarga dengan anak tuna grahita di SLBN
2 Jakarta Selatan.
b) Jurnal keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Universitas
Udayana yang ditulis oleh Ni Wayan Lisnayanti, Ni Made Dian
Sulistyowati, I Wayan Surasta mengenai “Hubungan Tingkat Harga
Diri (Self-Esteem) Dengan Tingkat Ansietas Orangtua Dalam Merawat
Anak Tunagrahita Di Sdlb C Negeri Denpasar”. Dalam jurnal ini
menjelaskan bahwa keluarga yang mempunyai anak tunagrahita
mengalami masalah psikososial ansietas yang ditimbulkan adanya rasa
cemas dengan kondisi anaknya, terutama dengan masa depan anaknya
dan penilaian negatif masyarakat mengenai anak tunagrahita. Yang
menjadi pembeda dengan penelitian peneliti ialah peneliti meneliti
bagaimana permasalahan psikososial keluarga yang memiliki anak
tunagrahita di SLBN 2 Jakarta Selatan.
19
10. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan, maka penulis membagi sistematika
penulisan ke dalam lima bab yang mana rinciannya sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini menjelaskan Latar Belakang Masalah,
pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini merupakan bab yang berisi pemikiran dalam
menganalisa dari data-data yang telah dikumpulkan.
Kerangka pemikiran yang digunakan adalah teori-teori
yang berkaitan dengan psikososial, anak, ketunagrahitaan.
BAB III GAMBARAN UMUM LEMBAGA
Dalam bab ini mengambarkan sejarah berdirinya, visi misi
dan tujuan, struktur organisasi, kurikulum, kesiswaan,
program kegiatan dan profil informan.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS
Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian pada
orang tua yang mempunyai anak tunagrahita tidak mampu
mandiri bersekolah di SLBN 02 Jakarta dan hasil penelitian
yang diperoleh sesuai dengan pembatasan masalah,
kemudian dianalisis dengan teori yang ada di bab 2.
20
BAB V PENUTUP
Bab terakhir ini merupakan bagian kesimpulan yang berisi
tentang kesimpulan dari pelaksanaan penelitian dan saran-
saran yang menjadi penutup dari pembahasan skripsi ini.
21
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PSIKOSOSIAL
1. Pengertian Psikososial
Psikologi adalah ilmu tentang perilaku manusia. Oleh karena itu, psikologi
adalah ilmu yang paling dekat dengan diri kita semua. Tidak mengherankan
kalau banyak orang yang merasa tahu tentang psikologi. Pasalnya, seakan-akan
perilaku itu mudah saja dijelaskan dengan menggunakan pengetahuan umum
atau akal sehat saja.1 Psikologi sosial adalah psikologi dalam konteks sosial.
Psikologi, seperti yang telah kita ketahui, adalah ilmu tentang prilaku,
sedangkan sosial di sini berarti interaksi antar individu atau antarkelompok
dalam masyarakat.2
Kata psikososial itu sendiri mengarisbawahi suatu hubungan yang dinamis
antara efek psikologis dan sosial, yang mana masing-masingnya saling
mempengaruhi. Kebutuhan psikososial mencangkup cara seseorang berfikir
dan merasa mengenal dirinya dengan orang lain, keamanan dirinya dan orang-
orang yang bermakna baginya, hubungan dengan orang lain dan lingkungan
sekitarnya serta pemahaman dan reaksinya terhadap kejadian-kejadian
disekitarnya.3
Psikososial merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental atau
1 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama). H. 117-
118
2 Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika,
2009), h. 3.
3 Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika,
2009), h. 11
22
emosionalnya yang melibatkan aspek psikologis dan sosial.4
Sebagai hasil dari identifikasi awalnya dengan casework, adalah teori
psikososial yang paling diidentifikasikan secara dekat dengan pemikiran
psikoanalitik dan perkembangan selanjutnya dengan psikologi ego. Teori
psikososial berusaha mempertahankan identifikasi “orang-dalam-situasi”
sementara pada waktu yang sama mengadopsi dari pemikiran psikoanalitik
konsep-konsep tersebut dan strategi-strategi terapeutik yang sesuai dengan
tugas pekerja sosial.5
2. Faktor- Faktor Psikososial
Faktor-faktor psikososial antara lain:6
a. Stimulasi
Stimulasi merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh kembang
anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih
cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang/tidak mendapat
stimulasi.
b. Motivasi belajar
Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini, dengan memberikan
lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya adanya sekolah yang tidak
terlalu jauh, buku-buku, suasana yang tenang serta sarana lainnya.
4
Terapi psikososial, artikel diakses pada tanggal 9 juni 2016 dari
www.sribd.com/doc/267922422/terapi-psikososial
5 Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial (Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2009), h. 168.
6 Soetjiningsih, Tumbuh Kemabng Anak (Surabaya: Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Universitas Airlangga, 1998). h. 9.
23
c. Ganjaran ataupun hukuman yang wajar
Kalau anak berbuat benar, maka wajib kita memberi ganjaran, misalnya
pujian, ciuman, belaian, tepuk tangan dan sebagainya. Ganjaran tersebut akan
menimbulkan motivasi yang kuat bagi anak untuk mengulangi tingkah lakunya.
Sedangkan menghukum dengan cara-cara yang wajar kalau anak berbuat salah,
masih dibenarkan. Yang penting hukuman harus diberikan secara obyektif,
disertai pengertian dan maksud dari hukuman tersebut, bukan hukuman untuk
melampiaskan kebencian dan kejengkelan terhadap anak. Sehingga anak tahu
mana yang baik dan yang tidak baik, akibatnya akan menimbulkan rasa
percaya diri pada anak yang penting untuk perkembangan kepribadian anak
kelak kemudian hari.
d. Cinta dan kasih sayang
Salah satu hak anak adalah hak untuk dicintai dan dilindungi. Anak
memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang adil dari orang tuanya. Agar
kelak kemudian hari menjadi anak yang tidak sombong dan bisa memberikan
kasih sayangnya pula kepada sesamanya. Sebaliknya kasih sayang yang
diberikan secara berlebihan dan menjurus ke arah memanjakannya, maka akan
menghambat bahkan mematikan perkembangan kepribadian anak. Akibatnya
anak akan menjadi manja, kurang mandiri, pemboros, sombong dan kurang
bisa menerima kenyataan.
e. Kualitas interaksi anak-orang tua
Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua, akan menimbulkan
keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka terhadap orang tuanya, sehingga
komunikasi bisa dua arah dan segala permasalahan dapat dipecahkan bersama
24
karena adanya keterdekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak.
Interaksi tidak ditentukan oleh seberapa lama kita bersama anak. Tetapi lebih
ditentukan oleh kualitas dari interaksi tersebut yaitu pemahaman terhadap
kebutuhan masing-masing dan upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan
tersebut yang dilandasi oleh rasa saling menyayangi.
3. Tahapan Perkembangan Psikososial
Menurut Erik H. Erickson, fase-face perkembangan psikososial dibagi
dalam beberapa tahapan tertentu, yaitu sebagai berikut :7
a. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar (Trust vs mistrust)
Masa bayi berlangsung antara 0-1 tahun. pada tahap ini anak mulai belajar
percaya pada orang yang ada di sekitarnya. Namun sebaliknya, pada tahap ini
pula anak dapat merasa tidak percaya pada orang lain, menarik diri dari
lingkungan masyarakat, dan melakukan pengasingan diri. Pemenuhan
kebutuhan pada tahap ini cenderung bersifat fisik, seperti pemenuhan kepuasan
untuk makan dan menghisap, rasa hangat dan nyaman, cinta dan rasa aman.
Semua pemenuhan ini akan menimbulkan sebuah kepercayaan pada diri anak
terhadap orang lain. Sebaliknya jika kepuasan ini tidak terpenuhi maka akan
mengakibatkan perasaan curiga, rasa takut, dan tidak percaya pada orang lain.
Hal ini ditandai dengan perilaku makan, tidur dan eliminasi yang buruk.
b. Otonomi versus perasaan malu dan keragu-raguan (autonomy vs shame&
doubt)
Masa kanak-kanak permulaan yaitu berlangsung pada usia 2-3 tahun yang
menentuka tubuhnya kemauan baik dan kemauan keras, anak mempelajari
7 Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak (Jakarta: 1997), h. 25.
25
apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban dan hak-haknya yang
disertai pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada dirinya. Inilah tahap saat
berkembangnya kebebasan pengungkapan diri dan sifat penuh kasih sayang,
rasa mampu mengendalikan diri yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa
percaya diru pada anak. Konsekuensi apabila kepuasan pada tahap ini tidak
terpenuhi adalah anak akan menjadi individu yang pemalu.
c. Inisiatif versus kesalahan (initiative vs guilt)
Masa bermain, berlangsung pada usia 4 tahun sampai usia sekolah. Pada
tahap ini anak mulai belajar pada tingkat ket‟E‟san tertentu. Anak mulai
mengevaluasi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Namun sebaliknya,
pada tahap ini pula anak bisa merasa kurang percaya diri, pesimis, takut salah.
Perasaan takut salah ini muncul pada saat anak melakukan aktivitas yang
berlawanan dengan orang yang lebih tua darinya. Selain itu, anak juga perlu
belajar untuk melakukan aktivitas yang tidak merusak hak-hak orang lain.
d. Kerajinan versus inferioritas (industry vs inferiority)
Masa usia sekolah, berlangsung antara usia 6-12 tahun. Pada masa ini
berkembang kemampuan berfikir deduktif, disiplin diri, dan kemampuan
berhubungan dengan teman sebaya serta rasa ingin tahu akan meningkat. Pada
tahap ini anak mulai membangun rasa bersaing dan ketekunan pada dirinya.
Sebaliknya, anak mungkin akan kehilangan harapan, merasa cukup, menarik
diri dari sekolah dan teman sebaya. Anak mulai mendapatkan pengenalan
melalui demonstrasi keterampilan dan produksi benda-benda serta
mengembangkan harga dirinya melalui suatu pencapaian apa yang
diinginkannya. Tahap ini mendorong anak untuk memiliki perasaan inferior,
26
yaitu perasaan yang timbul akibat adanya orang dewasa yang memandang
usaha anak untuk belajar bagaimana sesuatu bekerja melalui manipulasi
dianggap merupakan sesuatu yang bodoh atau merupakan masalah.
e. Identitas versus kekacauan identitas (identity vs role confusion)
Masa odolesen, berlangsung pada usia 12/13-20 tahun. selama masa ini
individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan
bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan
yang berarti ditengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri
atau sifat memperbaharui. Selain itu individu mulai menyadari sifat-sifat yang
melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya,
tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa depan, kekuatan dan hasrat untuk
mengembngkan rasa identitas akan menyebabkan kebingungan peran, yang
sering muncul dari perasaan tidak adekuat, isolasi dan keragu-raguan.
f. Keintiman versus isolasi (intimacy vs isolation)
Masa dewasa muda, berlangsung antara usia 20-24 tahun. Pada masa ini,
mereka mengorientasikan dirinya terhadap pekerjaan dan teman hidupnya.
Menurut Erickson, masa ini menumbuhkan kemampuan dan kesedian
meleburkan diri dengan orang lain, tanpa merasa takut kehilangan sesuatu yang
ada pada dirinya yang disebut intimasi. Ketidakmampuan untuk masuk ke
dalam hubungan yang menyenangkan sert akrab dapat menimbulkan hubungn
sosial yang hampa dan terisolasi atau tertutup (menutup diri).
27
g. Generativitas versus stagnasi
Masa dewasa tengah, berlangsung pada usia 25-45 tahun. Generativitas
yang ditandai jika individu mulai menunjukan perhatiannya terhadap apa yang
dihasilkan, ia mulai kreatif, produktif, dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Sedangkan grjala negatif yang dapat timbul adalah ia mulai merasa kurang
nyaman terhadap dirinya. Untuk mengatasi hal tersebut, ia cenderung sangat
perhatian dengan dirinya baik dari segi penampilan maupun cara bertindaknya
dihadapan orang lain. Orang dewasa ini sangat membutuhkan bimbingan dari
orang lain demi tercapainya cita-cita di masa depan. Ia akan melakukan
perenungan diri yang mengarah pada stagnasi kehidupan.
h. Integritas versus keputus-asaan
Masa usia tua, berlangsung diatas usia 65 tahun. tahap ini merupakan
tahap terakhir dimana individu telah menjalani kehidupannya dan menerima
kehidupannya itu sebagai suatu yang berharga dan unik. Masa ini disebut juga
masa lansia. Pada masa ini manusia telah dapat melihat ke belakang dengan
rasa puas dan sikap menerima sebuah kematian. Resolusi (pencapaian) yang
tidak berhasil bisa menghasilkan perasaan putus asa karena individu melihat
kehidupan sebagai bagian dari ketidakberuntungan, kekecewaan dan
kegagagalan.
28
4. Permasalahan Psikososial
A. Definisi Permasalahan Psikososial
Masalah psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang
mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial
dan atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan
jiwa.8 Masalah psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu
baik yang bersifat psikis ataupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik
dan dianggap berpotensi cukup besar sebagai faktor penyebab terjadinya
gangguan jiwa (atau gangguan kesehatan) secara nyata, atau sebaliknya
masalah kesehatan jiwa yang berdampak pada lingkungan sosial.9
B. Permasalahan Sosial
1. Masalah Psikososial Orang tua: Ansietas
a) Pengertian Ansietas
Kata ansietas berasal dari bahasa Latin, angere, yang berarti tercekik atau
tercekat. Respon ansietas sering kali tidak berkaitan dengan ancaman yang
nyata, namun tetap dapat membuat seseorang tidak mampu bertindak atau
bahkan menarik diri. Ansietas (kecemasan) adalah kekhawatiran yang tidak
jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak
berdaya.10
Keadaan emosi ini tidak memilki obyek yang spesifik. Anseitas
dialami secara subyektif dan dikomunikasikan secara interpersonal, ansietas
berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penelian intelektual terhadap
8 Terapi psikososial, artikel diakses pada tanggal 9 juni 2016 dari
www.sribd.com/doc/267922422/terapi-psikososial 9 CMHN, Modul Community Mental Health Nursing (Jakarta: WHO-FIK UI), 2006
10 Said Az-zahroni, Musfir, Konseling Terapi. (Jakarta: Gema Insani, 2005), Hal. 511
29
bahaya. Kecemasan adalah kondisi jiwa yang penuh dengan ketakutan dan
kekhawatiran dan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi.11
Lazarus mengatakan kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman
yang dirasa tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, khawatir, dan
takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena
melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subyektif
dan timbul karena menghadapi tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak
aman dan konflik dan biasanya individu tidak menyadari dengan jelas apa yang
menyebabkan ia mengalami kecemasan.12
b) Jenis dan Tingkat Kecemasan
1. Jenis kecemasan
Sigmund freud sang pelopor psikoanalisis banyak mengakji tentang
kecemasan ini, dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai
komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian
seorang individu. Freud membagi kecemasan kedalam tiga tipe yaitu
kecemasan realitas, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral.13
a. Kecemasan realitas atau objektif (reality or objective anxiety)
Suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap
ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada dilingkungan maupun dunia
luar.
11
Said Az-zahroni, Musfir, Konseling Terapi. (Jakarta: Gema Insani, 2005), Hal. 512 12
Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan
Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 17 13
Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan
Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 18
30
b. Kecemasan neurotik (Neurotic Anxiety)
yaitu rasa takut, jangan-jangan , (insting doron id) akan lepas dari
kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang dapat membuatnya
dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting-insting
itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan
menimpanya jika suatu insting dilepaskan.
c. Kecemasan moral (Moral Anxiety)
Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara Id dan superego.
Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika
individu termotivasi untuk mengekspresikan implus instingtual yang
berlawanan dengan nilai moral yang termaksud dalam superego individu
itu maka ia akan merasa malu atau bersalah.14
2. Tingkat kecemasan
Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau
mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu:
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Tanda dan
gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan
stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif
serta terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologis ditandai dengan
gelisah, sulit tidur, hipersensitif.
14
Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan
Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 18
31
b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal
yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu
mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang
lebih terarah. Respon fisiologi: sering nafas pendek, nadi dan tekanan
darah naik, gelisah. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi
menyempit, rangsangan luar tidak dapat diterima, berfokus pada apa yang
menjadi perhatian.
c. Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta
tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukan untuk
mengurangi ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan berat yaitu:
persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang
perhatian sangat terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan
masalah. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala, gemetar,
insomnia. Secara emosi individu mengalami ketakutan serta seluruh
perhatian terfokus pada dirinya.
d. Panik
Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terpengarah,
ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang
mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan
pengarahan. Panik menyebabkan peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
32
menyimpang, kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak
sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi
kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda dan gejala dari tingkat
panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian.15
2. Masalah Ekonomi
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, papan, dan
kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dan keluarga. Mencari sumber
penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penghasilan
keluarga, serta menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beban yang
dirasakan keluarga ketika memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan
ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi fungsi ekonomi. Keluarga akan
dihinggapi perasaan cemas tentang masa depan pembiayaan anak, terkait
dengan kemunduran produktivitas kepala keluarga dan kekhawatiran bahwa
anak tidak mampu berfungsi optimal secara ekonomis, dikarenakan
keterbatasan yang dimilikinya.16
Status Sosial-ekonomi (socioeconomic status atau SES) merujuk pada
kelompok orang-orang yang memiliki pekerjaan, pendidikan, dan karakteristik
ekonomi yang kurang lebih sama. Individu yang berasal dari SES yang berbeda
memiliki tingkat kekuasaan, pengaruh dan prestasi yang berbeda-beda.17
Beberapa perbedaan status sosial-ekonomi yang terlihat secara gamblang
tergantung pada ukuran dan kompleksitas komunitas. Sosial ekonomi rendah
15
Ni Komang Ratih, Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Koping Siswa SMUN 16
Dalam Menghadapi Ujian Nasional, Skripsi Sarjana Keperawatan, (Depok: Perpustakaan UI,
2012), hal. 11-12. 16
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa,
DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), h. 36. 17
Santrock, Remaja, h. 190.
33
kadangkala dideskripsikan sebagai orang yang memiliki penghasilan rendah,
kelas pekerja atau kerah biru. Sementara sosial ekonomi menengah kadangkala
dideskripsikan sebagai orang yang memiliki penghasilan menengah,
memegang pekerjaan manajerial atau kerah putih. Para profesional yang berada
di puncak bidangnya, para eksekutif perusahaan tingkat tinggi, para pemimpin
politik, dan individu-individu yang kaya adalah mereka yang digolongkan
sebagai kategori sosial ekonomi kelas atas.18
Hoff, Laursen, & Tardif, mengemukakan bahwa ditemukan perbedaan
pengasuhan anak di antara kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang
berbeda.19
a. Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi rendah lebih mengusahakan agar
anaknya meyesuaikan diri terhadap ekspektasi sosial, mencipatakan atmosfir
rumah dimana orang tua memiliki otoritas yang jelas terhadap anak-anak,
lebih banyak menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan anak-
anaknya, dan komunikasi yang dilakukan kepada anak-anaknya bersifat
searah.
b. Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi lebih tinggi lebih mengusahakan
agar anak-anaknya mengembangkan inisiatif dan mampu menunda
kepuasan, menciptakan lingkungan rumah dimana anak-anak lebih
ditempatkan sebagai partisipan yang setara dan lebih banyak mendiskusikan
aturan-aturan yang akan diberlakukan dibandingkan hanya sekedar
menetapkannya dengan otoriter, jarang menggunakan hukuman fisik untuk
18
Santrcok, John W. Remaja. Jakarta: Erlangga, 2007 h. 198. 19
W.A. Gerungan, DR. Dipl. Psych. Psikologi Sosial, cet. XI. (Bandung: Eresco, 1988).
H. 198.
34
menghukum, dan lebih banyak melakukan komunikasi dua arah dengan
anak-anaknya.
3. Masalah Menarik Diri Dari Lingkungan Sosial
a. Definisi menarik diri
Menurut Rawlins dan Heacock, menarik diri merupakan suatu usaha
seseorang untuk menghindari interaksi dengan lingkungan sosial atau orang
lain, merasa kehilangan kedekatan dengan orang lain dan tidak bisa berbagi
pikiran dan perasaannya. Sedangkan menurut Carpenito menarik diri adalah
keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan
atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak
mampu untuk membuat kontak. Kebanyakan orang tua yang memiliki anak
tunagrahita merasa malu dan tertekan dengan stigma dari lingkungannya
sehingga mereka cenderung menyembunyikan anaknya. Orang tua
menganggap bahwa kondisi anaknya disebabkan karena kecelakaan atau
hukuman dari Tuhan sehingga orang tua merasa tidak mampu, rendah diri
gagal dan berperilaku menghindari atau menarik diri dari interaksi dengan
lingkungan sekitarnya. Hal tersebut akan berdampak pada munculnya tugas
maladaptif sebagai orang tua.20
b. Penyebab menarik diri
Penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah yaitu perasaan negatif
terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, mersa gagal mencapai keinginan,
yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah
20
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa,
DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), h. 28.
35
terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, percaya diri kurang, dan juga
dapat mencederai diri.21
Faktor predisposisi menarik diri menurut Stuart GW :
1. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan mempengaruhi
respon sosial maladafptif pada individu. Sistem keluarga yang terganggu
dapat berperan dalam perkembangan respon sosial maladaptif.
2. Faktor biologis
Faktor grnrtik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif.
3. Faktor sosial kultural
Menarik diri merupakan faktor utama dalam gangguan hubungan. Hal
ini akibat dari transiensi norma yang tidak mendukung pendekatan
terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang
kurang produktif, seperti lanjut usia (lansia), anak berkebutuhan khusus,
dan penderita penyakit kronis. Menarik diri dapat terjadi karena
mengadopsi norma, perilaku dan sistem nilai yang berbeda dari yang
dimilki budaya mayoritas.
21
W.A. Gerungan, DR. Dipl. Psych. Psikologi Sosial, cet. XI. (Bandung: Eresco, 1988).
H. 114
36
c. Tanda dan gejala menarik diri
Gejala subyektif:
1. Individu menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2. Individu merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respon verbal kurang dan sangat singkat.
4. Individu mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Individu merasakn bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Individu tidak dapat berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Individu merasa ditolak
Gejala obyektif:
1. Individu banyak diam dan tidak mau bicara.
2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Individu menyendiri .
4. Individu tampak sedih, kontak mata kurang dan ekspresi datar.
5. Aktivitas menurun.
6. Kurang spontan.
7. Apatis (acuh terhadap lingkungan).
8. Ekspresi wajah kurang berseri.
9. Kurang energi (tenaga).
10. Rendah diri
37
B. TUNAGRAHITA
1. Pengertian Tunagrahita
Yang dimaksud dengan tunagrahita adalah Mereka yang mempunyai
tingkat kecerdasan dibawah kecerdasan normal, sehingga tidak mungkin
untuk mengikuti program pendidikan di sekolah umum. Tingkat kecerdasan
seorang anak ditunjukan dengan tingkat perhitungan IQ (Intelligence
Quotient) yang dimilikinya, berdasarkan hasil test pada pemeriksaan para ahli
psikologi.22
Seorang anak yang normal mempunyai rata-rata IQ 100, sedangkan
yang lebih dari itu dapat dikatakan pandai diatas rata-rata sampai jenius.
Anak yang mempunyai IQ kurang dari angka rata-rata normal dapat
dikatagorikan sebagai anak dengan masalah sukar belajar atau retardasai
mental atau disebut juga sebagai tunagrahita.23
Menurut grossman tingkat kecacatan mental atau tunagrahita dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :24
a. Mild (tunagrahita ringan : mampu didik atau educable)
b. Moderate (tunagrahita sedang : mampu latih atau trainable)
c. Severe (tunagrahita berat : mampu latih berat atau trainable severe)
d. Profound (tunagrahita sangat berat : mampu rawat atau profound)
22 Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa,
DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), H. 30.
23 Satuti. Widianti Retno, “Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha
Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna Grahita”, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, Tahun 1993), H. 40.
24
Satuti. Widianti Retno, “Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha
Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna Grahita”, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, Tahun 1993), H. 40.
38
2. Klasifikasi Tunagrahita
Dilihat dari perilaku adaptif pada penderita tunagrahita berdasarkan
pembagian umur dan sub tipe yang ada, maka diperoleh gambaran sebagai
berikut:25
a. Tunagrahita Ringan
1) Periode pematangan dan perkembangan (maturation and
devoelopment : 0 – 5 tahun). Penderita tunagrahita masih dapat
mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasi, meskipun
perkembangan sensori – motorik agak terlambat. Pada masa ini
penderita tunagrahita masih sulit dibedakan dengan anak-anak yang
normal.
2) Periode pengajaran dan latihan (training and education : 6 – 20
tahun). Penderita tunagrahita tipe ini, pada usia remaja hanya
mampu mencapai kemampuan akademik yang setaraf dengan kelas
6 sekolah dasar. Kemampuan berfikir secara abstrak sangat terbatas,
kemampuan akademis lebih mengarah pada kemampuan membaca,
menulis dan menggunakan dasar-dasar matematika saja. Disini
terlihat bahwa penderita tunagrahita mengalami kesulitan untuk
mengikuti pelajaran-pelajaran disekolah.
3) Kelengkapan sosial dan kejujuran (social and vocational adequacy :
20 tahun - ...). Pada periode ini mereka dapat memiliki keterampilan
sosial dan bekerja, bila mendapat pendidikan dan latihan yang
25 Cacatan : sumber dari subtipe tuna grahita disarikan dari : 1) lawrence c. Kolb, et. Al,
modern clinical psychiatry, tenth edition, washington, 1982, h. 720 ; 2) pedoman penggolongan
dan diagnos gangguan jiwa di indonesia, edisi II, depkes, 1983, h. 335-356. Dikutip dari skripsi
“Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna
Grahita”, oleh Widianti retno satuti, 1993, h. 41-45.
39
memadai. Disini mereka dapat membaurkan dirinya dengan
masyarakat dan menghilangkan „cap‟nya sebagai penderita
tunagrahita. Namun mereka tetap memerlukan pengawasan dan
bimbingan bila ada stres sosial dan ekonomi yang berat.
b. Tunagrahita Sedang
1) Periode pematangan dan perkembangan (0 - 5 tahun). Pada periode
ini, penderita tunagrahita tipe ini masih mampu belajar untuk
mengadakan komunikasi, tetpai kesadaran sosialnya sangat sedikit.
Meskipun demikian mereka masih dapat dilatih untuk menolong
cukup insentif.
2) Periode pengajaran dan latihan (6 - 20 tahun). Taraf pendidikan
yang dicapai oleh penderita tunagrahita sedang, pada usia remaja,
setaraf dengan anak yang duduk di sd kelas 4. Mereka yang
menderita tunagrahita sedang, pada periode ini sudah memerlukan
pendidikan khusus.
3) Periode kelengkapan sosial dan kejujuran (20 tahun- ...). Dalam
bidang pekerjaan mereka dapat melakukan pekerjaan yang
membutuhkan tenaga tidak terlatih (unskilled) ataupun setengah
terlatih (semi skilled). Meskipun demikian, bimbingan dan
pengawasan sangat diperlukan untuk membantu kehidupan mereka,
walaupun stres sosial dan ekonominya masih dalam taraf yang
ringan.
c. Tunagrahita Berat
40
1) Periode pematangan dan perkembangan (0-5 tahun). Pada periode
ini, penderita tunagrahita berat, perkembangan motoriknya kurang
baik, kemampuan bicarannya sangat sedikit, karena kemampuan
mereka untuk berkomunikasi sangat minim.
2) Periode pengajaran dan latihan (6- 20 tahun). Pada periode ini
mereka dapat diajar untuk berkomunikasi dan mempunyai
keterampilan untuk mengurus dirinya sendiri. Tetapi tidak
mempunyai atau tidak mampu menerima keterampilan akademis.
3) Periode kelengkapan sosial dan kejujuran (20 tahun-...). Mereka
dapat merawat dan melindungi diri sendiri tetapi di dalam
lingkungan yang terlindung. Selain itu merekaa memerlukan
perawatan yang permanen dari keluarga ataupun lingkungannya.
41
d. Tunagrahita Sangat Berat
1) Periode pengembangan dan pematangan (0 – 5 tahun). Pada periode
ini perkembangan sensori- motorik mereka sangat terbatas, dan
tidak jarang mereka tidak mampu bicara. Selain itu mereka juga
tidak mampu menolong dirinya sendiri, sehingga memerlukan
perawatan sepenuhnya.
2) Periode pengajaran dan latihan (6 – 20 tahun). Perkembangan
motorik mereka pada saat ini masih sangat terbatas.
3) Periode kelengkapan sosial dan kejujuran ( 20 tahun - ...). Pada
periode ini ada sedikit pertambahan dalam pengembangan motorik
dan bicara. Meskipun demikian mereka masih sangat tergantung
pada lingkungannya, karena itu diperlukan adanya perawatan yang
permanen.
3. Faktor Penyebab Tunagrahita
Tunagrahita primer merupakan tunagrahita yang disebabkan oleh faktor
keturunan (retardasi mental genetik) atau bahkan faktor yang tidak diketahui
(retardasi mental simpleks). Sementara itu, penyebab tunagrahita sekunder
adalah faktor-faktor dari luar yang diketahui dan faktor- faktor ini
mempengaruhi otak pada waktu pranatal, perinatal atau postnatal.
Keterbelakangan mental disebabkan oleh faktor dari dalam (endogin) dan
faktor dari luar (eksogin). Faktor Endogin (berasal dari keturunan) merupakan
faktor ketidaksempurnaan psikobilogis dalam memindahkan gen sedangkan
42
faktor eksogin seperti virus yang menyerang otak seperti benturan radiasi, dan
lain-lain yang tidak bisa diturunkan.26
Faktor dari dalam yaitu sewaktu anak masih dalam kandungan yaitu
faktor genetik. sedangkan faktor dari luar yaitu anak yang telah dilahirkan
yaitu dari faktor lingkungan.27
a. Faktor genetik
Pada kondisi genetik kecacatan ditentukan pada saat konsepsi.
Kecacatan dapat disebabkan oleh ketidaknormalan kromosom. Salah
satunya adalah peristiwa trisomy, dimana pada keadaan ini kromosom
yang ada pada individu tidak lagi berjumlah 46, tetapi 47. Individu yang
tergolong dalam katagori ketidaknormalan genetik antara lain janin yang
rusak karena ganguan metabolisme karbohidrat. Gangguan metabolisme
ini juga mengakibatkan kerusakan pada ginjal dan hati selain ketuna
grahitaan pada anak.
b. Faktor lingkungan
Yang termaksuk ke dalam faktor lingkungan antara lain infeksi pada
ibu saat hamil, seperti infeksi virus rubella (campak) yang juga dapat
menyebabkan buta dan tuli selain ketuna grahitaan, infeksi virus sifilis,
influenza, gondongan dan varicella. Tingkat kecacatan yang dihasilkan
bervariasi dari taraf ringan sampai berat. Resiko terbesar adalah apabila
infeksi terjadi pada tiga bulan pertama usia kandungan. Selain infeksi yang
diderita ibu, radiasi, obat-obatan yang dikonsumsi ibu saat mengandung,
26 Faktor penyebab ketunagrahitaan, artkel diakses pada Tanggal 10 Juni 2016 dari
http://www.e-jurnal.com.
27
Satuti. Widianti Retno, “Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha
Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna Grahita”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, Tahun 1993, H. 45-47.
43
ketidakcocokan darah anak dan ibu serta adanya infeksi pada anak (antara
lain meningitis) juga dapat menyebabkan kecacatan pada anak.
Sedangkan menurut waktu terjadinya, keterbelakangan mental atau cacat
mental dapat dibagi menjadi:28
a. Masa pra- natal artinya sebelum anak dilahirkan, jadi selama dalam
kandungan. Ada dua kemungkinan yang dapat menyebabkan kelainan
pada semasa ini, yaitu yang bersifat endogin dan eksogin.
Adapun kelainan yang bersifat endogin sebagai berikut:
1) Bermacam-macam penyakit syphilis (penyakit kelainan).
2) Akibat berbagi obat yang dimakan ibu ketika mengandung dan yang
sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi penderitaan ibu ketika
hamil muda.
3) Kelainan pada kelenjar gondok dapat mengakibatkan pertumbuhan
janin yang kurang wajar, keterbelakangan dalam perkembangan
kecerdasan, rambut anak menjadi kasar dan kering, muka anak
menjadi bengkak dan lidahnya panjang dan lebar sehingga selalu
tampak keluar dari mulut si anak.
4) Akibat kehamilan pada usia diatas 35 tahun dapat menyebabkan
kelahiran anak yang cacat diantaranya sebagai anak tuna grahita.
Sedangkan kelainan yang bersifat eksogin misalnya untuk sesuatu
tindakan medik telah dilakukan penyinaran dengan sinar rontgen.
Penyinaran ini dapat mengakibatkan kelainan pada bayi dalam rahim
ibunya.
28
Bratanata, Op. Cit., h. 19-21
44
b. Masa natal artinya ketika bayi dilahirkan. Kelainan timbul disebabkan
oleh:
1) Kekurangan zat asam (walaupun sedikit saja) dapat mengakibatkan
kerusakan pada sel-sel otak.
2) Pendarahan otak yang terjadi pada proses kelahiran bayi yang sulit,
antar lain dengan cara penyedotan untuk membantu kelahiran si bayi.
3) Kelahiran sebelum bayi cukup umur, yang disebut juga kelahiran
„prematur‟, sebab tulang-tulang yang masih sangat lunak sangat
mudah mengalami perubahan bentuk.
c. Masa post-natal anak yang dilahirkan normal dapat menjadi penderita tuna
grahita karena mendapat kerusakan pada otaknya (karena kecelakan) dan
hal ini menimbulkan kemunduran tingkat kecerdasan si anak. Peristiwa
lain mungkin terjadi karena kecelakan yang mengakibatkan kerusakan
pada tulang tengkorak, dan juga penyakit yang dapat menyerang otak,
umpamanya radang otak. Kelainan yang dapat terjadi pada anak sebagai
akibat keadaan yang disebut di atas tergantung/ditentukan oleh sifat dan
kwalitasnya kerusakan sel otak atau bagian otak yang terkena.
4. Kemandirian Anak Tunagrahita
Kemandirian adalah kebebasan dari ketergantungan pada orang lain dan
kebebasan dalam ketergantungan nasib atau kontrol dari orang lain. Anak
retardasi mental usia sekolah diharapkan lebih menguasai kemampuan yang
melibatkan proses belajar dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
seperti konsep waktu. Anak tidak hanya menerapkan konsep waktu dengan
mengetahui angka pada jam, tetapi juga memahaminya bila dihubungkan
45
dengan waktu pagi, siang, sore, atau malam. Tujuan utama dari peningkatan
kemandirian adalah anak dapat memenuhi tuntutan hidup, bertanggung jawab
pada tugas hariannya, dan mengurangi ketergantungan pada orang sekitarnya,
sehingga mencapai tahap kemandirian sesuai yang diharapkan
lingkungannya.29
Kemandirian merupakan tujuan utama bidang pendidikan untuk
mendewasakan anak didik. Anak tunagrahita sedang dengan kemampuan
terbatas pada menolong diri sendiri, pekerjaan sederhana, serta keterampilan.
Dalam kehidupan ada anak tunagrahita yang mandiri dan tidak mampu mandiri
dalam menjalankan aktivitasnya. Anak tunagrahita mandiri yaitu mereka yang
mampu memfungsikan diri dari bentuk keterbatasan subtansialnya dan
kemampuan fungsi mental yang terletak di bawah rata-rata. (IQ 70/kurang).
Anak tunagrahita mampu mandiri mampu melakukan tingkat laku adaptif yaitu
kemampuan berkomunikasi, merawat diri (ADL), mengarahkan diri sendiri,
berprestasi, pengisian waktu luang dan kerja.
Sedangkan anak tunagrahita tidak mampu mandiri yaitu mereka yang tidak
mampu memfungsingkan diri dari bentuk keterbatasan subtansialnya sehingga
munculnya ketergantungan anak tunagrahita terhadap keluarga (caregiver).30
Caregiver adalah seorang yang memiliki profesi melayani (merawat) melayani
kebutuhan fisik/ aktivitas mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, seperti
29
Djamaludin Ancok, Pengembangan dan Perluasan Kesempatan Kerja Dalam Rangka
Peningkatan Kualitas Hidup Penyandang Cacat, (Jakarta: Departemen Sosial RI, 1991), h.53
30
Wawancara dengan Ibu Dewi, selaku Guru Pembimbing Tuna grahita di SLBN 2 Pagi
Jakarta. Pada 24 Februari 2016.
46
kebutuhan personal hygiene, mobilisasi, kebutuhan sosial, kebutuhan
spritiual.31
Pendekatan yang dapat di berikan kepada anak tunagrahita atau
pelatihan untuk anak tuna grahita yaitu :32
1) Occuppasional terapy (terapi gerak).
Terapi ini diberikan kepada anak tunagrahita untuk melatih gerak
fungsional anggota tubuh gerak kasar atau halus.
2) Play terapy (terapi bermain).
Terapi bermain adalah terapi yang diberikan kepada anak tunagrahita
dengan cara bermain, misalnya memberikan pelajaran tentang
hitungan, bermain jual beli, anak diajarkan tentang cara sosial drama.
3) Activity daily living (ADL) atau kemampuan merawat diri.
Untuk memandirikan anak tunagrahita, mereka harus diberikan
pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari
(ADL) agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang
lain dan tidak tergantung kepada orang lain.
4) Life skill (keterampilan hidup)
Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak dengan IQ di
bawah rata-rata biasanya tidak diharapkan bekerja sebagai
administrator. Bagi anak tunagrahita yang memiliki IQ di bawah rata-
rata mereka juga diharapkan untuk dapat hidup mandiri. Oleh karena
itu, untuk bekal hidup mereka diberikan pendidikan melalui
31 Pengaruh terapi kelompok, artikel diakses pada 10 Juni 2016 dari
http://www.academia.edu/18858779/pengaruh_terapi_kelompok.
32
Agustyawati, M.Phil. SNE dan Solicha, M.Si, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 150.
47
keterampilan. Keterampilan yang dimilikinya, mereka dapat hidup di
lingkungan keluarga dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia
industri dan usaha.
5) Vocastional terapy (terapi bekerja)
Selain diberikan latihan keterampilan anak tunagrahita juga diberikan
latihan kerja. Dengan bekal latihan yang telah dimilikinya, anak
tunagrahita diharapkan dapat bekerja.
A. Kebutuhan Anak Tunagrahita
Adapun kebutuhan yang harus dimiliki oleh anak tunagrahita sebagai
berikut:
a. Anak tunagrahita memilki kebutuhan khusus untuk mengoptimalkan
potensinya. Anak-anak tunagrahita memilki potensi dalam belajar
yang sangat erat kaitannya dengan berat dan ringannya
ketunagrahitaan, sehingga membutuhkan pelayanan khusus.
Kebutuhan khusus yang dimaksud adalah kebutuhan pelayan
pengajaran yang sama dengan siswa lainnya dengan pengertian guru,
teman-teman, dan ditambahkan dengan waktu dan situasi kondisi
untuk mempelajari sesuatu. Yang dibutuhkan juga pelayanan
pembelajaran yang sangat khusus, seperti program stimulasi dan
intervensi dini yang meliputi terapi bermain, okupasi, terapi bicara,
kemampuan memelihara diri dan belajar akademik.
b. Anak tunagrahita membutuhkan lingkungan belajar seperti pengaturan
tempat duduk yang disesuaikan kondisi, membutuhkan konteks dan
orientasi cerita yang dimulai dari hal yang konkret kemudian ke hal
48
abstrak untuk mengembangan kemampuan bina dirinya. Dalam hal
berinterkasi membutuhkan hal-hal yang membuat dirinya merasa
menjadi bagian dari yang lain, kebutuhan untuk menemukan
perlindungan dari hal negatif.
c. Kebutuhan kenyamanan sosial dan kebutuhan untuk menghilangkan
rasa kebosanan dengan adanya stimulasi sosial untuk
mengembangkan kemampuan sosial, potensi dan secara
emosionalnya. Beberapa keunggulan anak tunagrahita yang akan
membawa mereka pada hubungannya dengan orang lain, yaitu
spontanitas yang wajar dan positif, kecenderungan untuk merespon
orang lain dengan baik dan hangat, kecenderungan merespon pada
orang lain dengan jujur, dan kecenderungan untuk mempercayai
orang lain.33
B. Beberapa potensi yang dimiliki oleh anak tunagrahita, yaitu:
a. Pengembangan kemampuan kognitif
Anak berkebutahan khusus keterbelakangan mental umumnya
memilki keterlambatan dalam aspek kognitif. Untuk itu,
pengembangan kognitif anak berkebutuhan khusus perlu
dipertimbangkan: dalam belajar memerlukan waktu lebih banyak
dalam mempelajari materi tertentu, anak berkebutuhan khusus (ABK)
atau terbelakang mental tidak memahami beberapa mata pelajaran
sehingga mereka memerlukan dorongan untuk dapat memahami
materi tertentu sesuai dengan tingkat kemampuannya, dan anak
33
Astati dan Mulyati. Pendidikan dan Pembinaan Karier Penyandang Tuna grahita
Dewasa: Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga
Akademik. (Jakarta: 2010). h. 13.
49
berkebutuhan khusus atau terbelakang mental mengalami kesulitan
dalam mempelajari materi yang bersifat abstrak. Penggunaan media
konkrit dalam pembelajaran sangat dibutuhkan oleh anak agar
memperoleh pemahaman yang kuat.
b. Pengembangan bahasa
Keterlambatan berbahasa (delayed language) merupakan salah satu
cirri anak terbelakang mental. Agar perolehan bahasa anak menjadi
lebih memadai diperlukan usaha-usaha melalui bimbingan berbahasa.
Dalam beberapa penelitian menunjukan bahwa jika anak-anak
mendapatkan bimbingan berbahasa secara tepat, maka anak-anak
terbelakang mental mampu menyususn cerita yang menunjukan suatu
tingkatan kreativitas dan pengembangan berbahasa dan
berkomunikasi dengan baik. Adalah tugas guru-guru di sekolah untuk
dapat memberikan pembinaan agar anak memilki kemampuan
berbahasa yang memadai yang dapat dijadikan sebagai ilmu
pengetahuan dan sarana memahami dunia sekitarnya.
c. Keterbatasan fungsi-fungsi mental
Untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya,
anak tuna grahita memerlukan waktu yang lebih lama dari anak
normal. Reaksi terbaiknya diperhatikan bila mengikuti sesuatu yang
rutin dan konsisten didalamnya dari hari ke hari. Tidak dapat
menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang
lama, anak tunagrahita memilki keterbatasan penguasaan bahasa,
karena pusat pembendaharaan bahasanya kurang berfungsi, sehingga
50
mengalami kesulitan memahami kata-kata yang bersifat abstrak, dan
oleh karenanya membutuhkan kata-kata kongkrit yang didengarnya.34
C. Fungsi Sosial Anak Tunagrahita
a. Keterbatasan Sosial
Anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus
dirinya sendiri dalam masyarakat, sehingga memerlukan bantuan
pelayanan khusus. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan
anak yang lebih muda usianya, ketergantungan kepada orang tuanya
sangat besar. Tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan
bijak, sehingga selalu dibimbing dan diawasi. Karakteristik lainnya
anak tuna grahita mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan
sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.35
b. Pengembagan Sosial (ABK) Anak Berkebutuhan Khusus
Masalah utama yang dialami anak penyandang keterbelakangan
mental adalah tiadanya kemampuan sosial. Hambatan ini akan
berakibat pada ketidakmampuan anak dalam memahami kode atau
aturan-aturan sosial di sekolah, di keluarga maupun di masyarakat.
Dalam upaya pengembangan kemampuan sosial diperlukan beberapa
kebutuhan anak terbelakang mental yang meliputi: kebutuhan untuk
merasa menjadi bagian dari yang lain, kebutuhan untuk menemukan
perlindungan dari sikap dan label yang negatif, kebutuhan akan
34
Agus, dona. “hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan”. Artikel diakses tanggal 9 Juni 2016
dari http://donaagussetiawan.blogspot.com/2011/09/hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan-anak-
tuna grahita.html.
35
Agus, dona. “hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan”. Artikel diakses tanggal 9 Juni 2016
dari http://donaagussetiawan.blogspot.com/2011/09/hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan-anak-
tuna grahita.html.
51
dukungan dan kenyaman sosial, dan kebutuhan untuk
menghilangkan kebosanan dan menemukan stimulasi sosial.
Kebutuhan sosial ini mengarah langsung pada pentingnya daya
dorong interaksi sosial yang positif antara siswa dan siswi
terbelakang mental dengan teman-teman lainnya di sekolah. Untuk
mendukung suasana demikian diperlukan lingkungan inklusi bagi
anak-anak terbelakang mental.36
c. Keterbatasan Inteligensi
Inteligensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan
keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-
masalah dan situasi-situasi kehidupan baru. Anak tunagrahita
mempunyai keterbatasan inteligensi seperti keterbatasan kemampuan
mempelajari informasi dan keterampilan menyesuaikan diri dengan
masalah-masalah di kehidupan baru. Keterbatasan belajar dari
pengalaman masa lalu, berfikir abstrak kreatif, keterbatasan dalam
menilai dan keterbatasan kemampuan merencanakan masa depan
kehidupan dirinya. Anak tuna grahita memilki kekurangan dalam
semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang
bersifat abstrak seperti belajar berhitung, menulis dan membaca juga
terbatas.37
36
Agus, dona. “hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan. Artikel diakses tanggal 9 Juni 2016
dari http://donaagussetiawan.blogspot.com/2011/09/hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan-anak-
tuna grahita.html.
37 T. Sutjihati, Misi, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2006) h.
105.
52
C. KELUARGA (ORANG TUA) DENGAN ANAK TUNAGRAHITA
1. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan
manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di
dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.38
Keluarga adalah lembaga
sosial dasar dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya
berkembang. Di masyarakat manapun di dunia, keluarga merupakan
kebutuhan manusia yang universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan
dalam kehidupan individu. Keluarga dapat digolongkan kedalam kelompok
primer, selain karena para anggotanya saling mengadakan kontak langsung,
juga karena adanya keintiman dari para anggotanya.39
Menurut Horton dan Hunt (1987), istilah keluarga umumnya digunakan
untuk menunjuk beberapa pengertian sebagai berikut:40
a. Suatu kelompok yang memiliki nenek moyang yang sama;
b. Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan
perkawinan;
c. Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak;
d. Pasangan nikah yang mempunyai anak; dan
e. Satu orang entah duda atau janda dengan beberapa anak.
38W. A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1988), cet. XI, h. 180.
39 Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2004, h.227. 40
Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2004, h.227.
53
2. Fungsi Keluarga
Karena keluarga dianggap sangat penting dan menjadi pusat perhatian
kehidupan individu, maka dalam kenyataannya fungsi keluarga pada semua
masyarakat adalah sama. Fungsi dasar keluarga adalah memenuhi kebutuhan
anggota keluarga itu sendiri. Fungsi keluarga menjadi suatu perhatian ketika
kita akan memberikan intervensi terhadap keluarga anak tuna grahita. Berikut
beberapa fungsi keluarga:41
1) Fungsi biologis dan psikologis.
2) Fungsi sosialisasi atau pendidikan.
3) Fungsi ekonomi atau unit produksi.
4) Fungsi pelindung atau proteksi.
5) Fungsi penentuan status.
6) Fungsi pemeliharaan atau perawatan.
7) Fungsi afeksi.
3. Bentuk Dan Pelayanan Pengasuhan Keluarga Pada Anak Tunagrahita
Menurut ahli Psikologis Diana Baumrind ada tiga pola asuh orang tua
kepada anak-anaknya dalam penanaman nilai dan penangan konflik dalam
keluarga yakni:
1) Gaya pengasuhan yang bersifat otoratif biasanya orang tua mengarahkan
perilaku anak secara rasional, dengan memberikan penjelasan terhadap
maksud dari aturan-aturan yang diberlakukan. Orang tua mendorong anak
untuk mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri. Disisi lain, orang tua
bersikap tanggap terhadap kebutuhan dan pandangan anak. orang tua
41 W. A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1988), cet. XI, h. 182.
54
menghargai kedirian anak dan kualitas kepribadian yang dimilikinya
sebagai keunikan pribadi.
2) Gaya pengasuhan anak yang otoriter dilakukan oleh orang tua yang selalu
berusaha membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku dan tindakan
anak agar sesuai dengan aturan standar. Aturan tersebut biasanya bersifat
mutlak yang dimotivasi oleh semangat teologis dan diberlakukan dengan
otoritas yang tinggi. Kepatuhan anak merupakan nilai yang diutamakan,
dengan memberlakukan hukuman mana kala terjadi pelanggaran.
3) Gaya pengasuhan yang bersifat permisif (biasanya dilakukan oleh orang
tua yang begitu baik), cenderung memberi banyak kebebasan pada anak-
anak dengan menerima dan memaklumi perilaku, tuntutan dan tindakan
anak, namun kurang menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan
perilaku anak. orang tua yang demikian akan menyediakan dirinya sebagai
sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan anak, membiarkan anak untuk
mengatur dirinya sendiri dan tidak terlalu mendorongnya untuk memenuhi
kebutuhan eksternalnya.42
4. Pendidikan Anak Tunagrahita
Beberapa Model pelayanan pendidikan yang diberikan kepada anak
tunagrahita sebagai berikut:43
1) Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukan bagi anak yang memerlukan layanan khusus
termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada di
42
Srilestari, psikologi: penanaman nilai dan penanganan konflik keluarga.(Jakarta:PT.
Kencana 2012) h. 36-37.
43
Agustyawati, M.Phil. SNE dan Solicha, M.Si, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 169.
55
sekolah regular, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi
dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan
pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi
sesuai kebutuhan anak.
2) Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa Bagian C dan C1/SLB-C, C1)
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan
pada sekolah luar biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan
pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap
sama kemampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar-mengajar
sepanjang hari penuh dikelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan
dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat
bersekolah di SLB-C1.
3) Pendidikan Terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah
regular. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak regular di
kelas yang sama dengan bimbingan guru regular. Untuk mata pelajaran
tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan
mendapat bimmbingan/remedial dari guru pembimbing khusus (GPK)
dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya
anak yang belajar disekolah terpadu adalah anak yang tergolong tuna
grahita ringan, yang termasuk kedalam katagori borderline yang
biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning
Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (slow learner).
56
4) Program Sekolah Dirumah
Program ini diperuntukan bagi anak tuna grahita yang tidak
mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena
keterbatasannya. Program dilaksanakan dirumah dengan cara
mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas
kerjasama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat.
5) Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusi merupakan konsekuensi lanjut dari kebijakan
global education for all (pendidikan untuk semua) yang dicanangkan
oleh UNESCO 1990. Kebijakan Education for All itu sendiri
merupakan upaya untruk mewujudkan hak asasi manusia dalam
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia 1990.
Inklusif adalah istilah terbaru yang dipergunakan untuk
mendepskrisikan penyatuan bagi anak-anak berkelaianan (penyandang
hambatan/cacat) kedalam program- program sekolah. Bagi sebagian
besar pendidik istilah ini dilihat sebgai deskripsi yang lebih positif
dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan
dengan cara-cara yang realistis dan komperehensif. Sejalan dengan
perkembangan pelayanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
terdapat kecenderungan baru yaitu model pendidikan inklusi.
Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan
labelisasi anak dengan prinsif “Education for All.” Layanan pendidikan
inklusi diselenggarakan pada sekolah regular. Anak tuna grahita belajar
57
bersama-sama dengan anak regular, pada kelas dan guru/ pembingbing
yang sama.
Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2(dua) orang guru, satu
guru regular dan satu guru khusus. Guna guru khusus untuk
memberikan bantuan kepada siswa tuna grahita jika anak tersebut
mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan
mempunyai hak serta kewajiban yang sama tetapi saat ini pelayanan
pendidikan inklusi masih dalam tahap rintisan.
5. Bina Diri Pada Anak Tunagrahita
a. Hakikat Pembelajaran Bina Diri
Kata Bina Diri diserap dari Bahasa Inggris “self-help” atau
“selfcare”, dimaksudkan sebagai keterampilan awal yang diajarkan
orang tua kepada kehidupan anak sedini mungkin sebagaimana anak
normal lainnya sebagai usaha awal memandirikan mereka.
Keterampilan ini termasuk makan, mobilitas, perilaku toileting dan
membasuh/mencuci (toileting and washing), serta berpakaian. Bila
ditinjau lebih jauh, istilah Bina Diri lebih luas dari istilah mengurus diri,
menolong diri, dan merawat diri, karena kemampuan bina diri akan
mengantarkan anak berkebutuhan khusus dapat menyesuaikan diri dan
mencapai kemandirian.
Pembelajaran Bina Diri diajarkan atau dilatihkan pada anak
berkebutuhan khusus mengingat dua aspek yang melatar belakanginya.
Latar belakang yang utama yaitu aspek kemandirian yang berkaitan
dengan aspek kesehatan, dan latar belakang lainnya yaitu berkaitan
58
dengan kematangan sosial budaya. Beberapa kegiatan rutin harian yang
perlu diajarkan meliputi kegiatan atau keterampilan mandi, makan,
menggosok gigi, dan ke kamar kecil (toilet); merupakan kegiatan yang
sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan seseorang. Kegiatan atau
keterampilan bermobilisasi (mobilitas), berpakaian dan merias diri
(grooming) selain berkaitan dengan aspek kesehatan juga berkaitan
dengan aspek sosial budaya, hal ini sejalan dengan Arifah A. Riyanto
(dalam Widati, 2011: 2) yang menyatakan, ditinjau dari sudut sosial
budaya maka pakaian merupakan salah satu alat untuk berkomunikasi
dengan manusia lain. Dengan demikian jelaslah bahwa pakaian ini
bukan saja untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat biologis material,
tetapi juga akan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sosial
psikologis. Berpakaian yang cocok atau serasi baik dengan dirinya
ataupun keadaan sekelilingnya akan dapat memberikan kepercayaan
pada diri sendiri.44
b. Tujuan dan Prinsip Dasar Pembelajaran Bina Diri
Tujuan bidang kajian Bina Diri secara umum adalah agar anak
berkebutuhan khusus dapat mandiri dengan tidak atau kurang
bergantung pada orang lain dan mempunyai rasa tanggung jawab.
Sedangkan fungsi dari kegiatan Bina Diri, yaitu:45
44 “Pembelajaran Bina Diri”,artikel diakses Pada Tanggal 10 Juni 2016 dari
https://digilid.uns.ac.id.
45
“Pembelajaran Bina Diri”,artikel diakses Pada Tanggal 10 Juni 2016 dari
https://digilid.uns.ac.id.
59
1) Mengembangkan keterampilan-keterampilan pokok atau penting
untuk memelihara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
personal.
2) Untuk melengkapi tugas-tugas pokok secara efisien dalam kontak
sosial sehingga dapat diterima di lingkungan kehidupannya.
3) Meningkatkan kemandirian.
Dalam pendekatan ini diperlukan: baseline, kriteria, dan
reinforcement. Baseline adalah kemampuan yang dimiliki anak sebelum
mendapatkan perlakuan dari latihan bina diri. Untuk mengetahui
kemampuan ini, anak perlu dilakukan assessment terlebih dahulu Ada
beberapa teknik yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu
tingkah laku atau keterampilan yang baru kepada seorang siswa tuna
grahita, yaitu:46
a) Memperhatikan model (modelling), yaitu menunjukkan kepada
siswa apa yang harus dikerjakan. Misalnya, dalam melatih mencuci
tangan, anak tuna grahita sedang memperhatikan contoh mencuci
tangan yang benar yang dilakukan oleh guru sebagai model, anak
tuna grahita sedang berusaha untuk mengamati dan mengingat apa
yang telah dilakukan guru, dan dari hasil pengamatannya
diharapkan anak tuna grahita sedang dapat atau mampu mencuci
tangan dengan benar sesuai dengan contoh yang diperagakan model.
b) Menuntun atau mendorong (promting) ialah melakukan atau
membantu siswa untuk mengerti apa yang harus dilakukan sebagai
46
“Pembelajaran Bina Diri”,artikel diakses Pada Tanggal 10 Juni 2016 dari
https://digilid.uns.ac.id
60
contoh jika anak tuna grahita sedang dalam mencuci tangan
mengalami kesulitan dalam memegang gayung untuk mengambil air
atau membuka kran air hendaknya guru membantu memegang
tangan anak untuk memegang gayung dan segera mengambil air
atau bila mencuci tangan melalui kran air, maka guru memegang
tangan anak untuk membuka kran air. Jika anak tuna grahita sedang
belum bisa melakukan sendiri, promting masih tetap diberikan
secara terus menerus.
c) Mengurangi tuntunan (fading), ialah mengurangi tuntunan secara
bertahap sejalan dengan keberhasilan siswa. Jika anak tuna grahita
sedang sudah mulai mampu diakses Pada memegang gayung atau
membuka kran air untuk mencuci tangan, maka tuntunan sedikit
demi sedikit harus diberhentikan dan selanjutnya perlu bimbingan
secara verbal atau lisan dengan mengucapkan “Ayo, terus
dilakukan” atau “Ayo pegang gayung atau buka kran air dengan
benar”.
d) Pentahapan (shaping), ialah membagi satu kegiatan dalam beberapa
pentahapan dimulai dari yang mudah ke yang sulit. Dalam mencuci
tangan, anak tuna grahita sedang perlu diberikan latihan dari yang
paling mudah yaitu memegang gayung atau memutar kran air, jika
sub kegiatan tersebut sudah dikuasai diteruskan ke tahap berikutnya
yang lebih sulit, misalnya memegang gayung untuk mengambil air
dan seterusnya, sampai tahapan akhir.
61
BAB III
GAMBARAN UMUM
SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI (SLBN) 2 PAGI JAKARTA
A. SEJARAH BERDIRINYA SLBN 02 PAGI JAKARTA
Sekolah berdiri pada tanggal 5 Nopember 1980. Dengan SK Menteri
Pendidikan Dan Kebudayaan RI No. 001/0/1986 tentang Sekolah Dasar Luar
Biasa. Kemudian menjadi SDLB Negeri dengan Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 1514 Tahun 1988 tentang Pengesahan
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Pemerintah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dengan nama SDLB Negeri 01 Kelurahan lenteng Agung Kecamatan
Pasar Minggu Jakarta Selatan. Sesuai dengan berjalannya waktu, SDLB Negeri
01 Lenteng Agung pun mengalami perubahan nomenklatur sesuai dengan
Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor
1358/2007 tentang Perubahan Nama Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri 01
lenteng Agung menjadi SLB Negeri 02 Jakarta Kecamatan Jagakarsa Jakarta
Selatan.1Posisi SLB Negeri 02 Jakarta berada di lingkungan strategis secara
ekonomi, eksistensinya terletak dalam ring permukiman penduduk yang sedang
berkembang secara pesat di daerah Kawasan Cagar Budaya Betawi tepatnya di
Daerah Jagakarsa Jakarta Selatan, di sebelah utara berdekatan dengan Taman
Wisata Kebon Binatang Ragunan dan Gelanggang Olah Raga Ragunan,
disebelah selatan berdekatan dengan Taman Rekreasi Berbudaya Betawi yaitu
1
Profil SLBN 2 Pagi Jakarta 2015.
62
Situ Babakan dan kampus Universitas Indonesia. Hal ini sebagaimana yang
disampaikan oleh Kepala Sekolah:2
“Keberadaan SLB Negeri 02 Jakarta sangat berpotensi dikembangkan
secara nyata dan optimal baik di bidang akademik maupun non
akademik pada masa mendatang. Hal ini seiring dengan denyut nadi
irama perkembangan lingkungan yang menjadi penopangnya. Prospek
berkembang pesat pada masa depan ditandai dengan beberapa gejala
dinamika yang terjadi pada lingkungan sekitar sekolah, baik secara
mikro maupun makro, baik secara fisik dan nonfisik, infrastruktur,
sarana atau fasilitas umum, sampai dengan mobilitas penduduk yang
melingkupi atau mengelilingi sekolah.”
Dengan demikian keberadaan SLB Negeri 02 Jakarta makin dibutuhkan
oleh mereka. Apalagi penduduk yang tinggal di permukiman-permukiman baru
tersebut adalah pasangan rumah tangga muda yang rata-rata memiliki anak usia
sekolah dalam kategori wajar 9 tahun (mulai TKLB, SDLB, SMPLB, dan
SMALB).
B. IDENTITAS SEKOLAH
1. Nama Sekolah : SLB NEGERI 02 JAKARTA
2. Tanggal Berdiri : 5 NOVEMBER 1980
3. Menyelenggarakan :
a. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB B-C)
b. Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB B-C)
c. Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB B-C)
4. Nomor Induk Sekolah : 280020
2 Hasil wawancara pribadi dengan Bapak Daliman, S.Pd selaku Kepala Sekolah SLBN 02
Pagi Jakarta. Pada 22 Februari 2016.
63
5. Nomor Statistik Sekolah : 101014304140
6. Nomor Pokok Sekolah Nasional : 20103089
7. Alamat Sekolah : Jl. Raya Lenteng Agung
8. Telpon Sekolah : 021 7820040/ 78891466
9. Website : www.slblentengagung.net
10. Waktu Jam Belajar : Pukul 06.30 Sampai dengan 11.30
(1 jam pelajaran 35 menit)
11. Status Bangunan : Milik Sendiri
12. Luas Tanah/ Bangunan : 4432 m2
13. Status Sekolah : Negeri
14. Jenjang Akreditasi : A, Tahun 2014 s.d 2019.
15. Pembiayaan :
a. Seluruhnya dari Pemerintah
b. Uang Sekolah (tidak ada uang pangkal sekolah dan uang sekolah
per bulan )
16. Data Personil Sekolah :
1. Nama Kepala Sekolah : Daliman, S.Pd
2. Jumlah Guru : 60 Orang
3. Jumlah Petugas Tata Usaha : 2 Orang
4. Jumlah Penjaga Sekolah : 3 Orang
17. Kerja Sama : Unj, Ui, Uhamka, Fatmawati,
Yayasan Angela, Desa Putera, Unindra, Uin, Puskesmas Kelurahan
Lenteng Agung, Puskesmas Kecamatan Jagakarsa.3
3
Buku Panduan Profil SLBN 02 Pagi Jakarta.
64
C. VISI, MISI, DAN TUJUAN SEKOLAH
Visi
Mengembangkan kemampuan berbahasa dan komunikasi untuk
meningkatkan iman dan taqwa, pengetahuan dan keterampilan serta
kemandirian peserta didik.4
Misi
Untuk mewujudkan visi tersebut, sekolah menentukan langkah-langkah
strategis yang dituangkan dalam misi sebagai berikut:
a. Melakukan kajian dan penyesuaian kurikulum.
b. Menyelenggarakan pembelajaran yang aktif, interaktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan (PAIKEM), serta bermakna, kooperatif,
dan dinamis.
c. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bernuansa religius.
d. Membangun karakter dan etos kerja peserta didik.
e. Menanamkan konsep diri yang positif sehingga dapat beradaptasi
dan bersosialisasi di masyarakat
f. Mengembangkan sumber daya manusia (pendidik dan peserta didik)
yang profesional, fungsional, berkualitas, kreatif, dan inovatif.
g. Menjalin kerja sama yang sinergis di lingkungan warga sekolah,
dunia industri, dan dunia usaha.5
4 Data Diambil Dari File Yang Diberikan Oleh Pihak SLBN 02 Pagi Jakarta, 3 Agustus
2016.
5 Data Diambil Dari File Yang Diberikan Oleh Pihak SLBN 02 Pagi Jakarta, 3Agustus 2016.
65
1. Tujuan Sekolah
Sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional, maka SDLB Negeri 2 Jakarta
secara umum bertujuan untuk membantu meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.6 Secara khusus tujuan sekolah
adalah untuk membantu peserta didik untuk dapat:7
a. Memiliki kemampuan dasar yang memadai sehingga dapat
mengaktualisasikan diri dan bekerja sama dalam kelompok dan
lingkungannya.
b. Menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap
perkembangannya.
c. Memahami kekurangan dan kelebihan dirinya.
d. Mematuhi aturan sosial yang berlaku serta memahami keberagaman
agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi
e. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif sehingga
dapat memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-
hari.Memiliki keterampilan yang memadai sebagai bekal hidup dan
penghidupannya kelak.
6 Data Diambil Dari File Yang Diberikan Oleh Pihak SLBN 02 Pagi Jakarta, 3 Agustus
2016.
7 Data Diambil Dari File Yang Diberikan Oleh Pihak SLBN 02 Pagi Jakarta Pada Tanggal 3
Agustus 2016.
66
D. STUKTUR ORGANISASI
Berikut struktur organisasi Yayasan SLBN 2 Pagi Jakarta: 8
Tabel 2.
E. KURIKULUM
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Kurikulum yang diberlakukan di SLBN 2 Pagi adalah kurikulum
Sekolah Luar Biasa yang sah berlaku dalam sistem pendidikan luar biasa
secara nasional, sedangkan kurikulum yang diberlakukan saat ini adalah
mengacu pada kurikulum tingkat satuan pendidikan KTSP tahun ajaran 2013.
8 Buku Panduan Profil SLBN 02 Pagi Jakarta.
67
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan masing-masing satuan pendidikan.
KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan
muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan atau kelompok mata
pelajaran/tema tertentu yang mencangkup standar kompetensi, kompetensi
dasar, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian,
alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar.
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar
kedalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian. Rencana pelaksanaan pembelajaran
merupakan bagian dari proses pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya
tujuan pembelajaran, materi belajar, metode pengajaran, sumber belajar dan
penilaian hasil belajar.9
F. KESISWAAN
Peserta didik berkelaianan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di
bawah rata-rata, dalam batas tertentu dikemungkinkan dapat mengikuti
kurikulum standar meskipun harus dengan penyesuaian-penyesuaian. Peserta
didik berkelaian yang disertai dengan kemampuan intektual di bawah rata-
rata, diperlukan kurikulum spesifik, sederhana, dan bersifat tematik untuk
mendorong kemandirian dalam hidup sehari-hari. Peserta didik berkelaian
tanpa disertai kemampuan intelektual dibawah rata-rata, yang berkeinginan
9 Profil SLBN 2 Pagi Jakarta 2015.
68
melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, sedini mungkin didorong untuk
dapat mengikuti pendidikan secara inklusif pada SD regular.
Bagi siswa di SDLB yang lulus, didorong untuk melanjutkan ke SMP
regular, sedangkan bagi mereka yang tidak memungkinkan atau tidak
berkeinginan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan tinggi, setelah
menyelesaikan pada SDLB dapat melanjutkan ke SMPLB dan SMALB.
SLBN 2 Pagi melayani pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus
walaupun saat ini mayoritas siswanya adalah tuna grahita, tuna netra, tuna
rungu, tuna wicara, dan tuna daksa.10
SLBN 2 Pagi menerima siswa baru
setiap tahun ajaran baru hingga dikembangkan pula pola pelayanan pendidikan
individual.
G. PROGRAM KEGIATAN DI SEKOLAH11
1. Program pengembangan diri/ Olahraga
a) Bola voli
b) Booce
c) Sepak bola
d) Bulu tangkis
e) Tenis meja
f) basket
2. Program Kesenian/ Apresiasi/ Musik
a. Paduan suara/ Vocal
b. Seni musik
c. Seni tari
10
Profil SLBN 2 Pagi Jakarta 2015.
11 Buku Panduan Profil SLBN 02 Pagi Jakarta.
69
d. Seni lukis
e. Seni teater (pantonim)
f. Baris berbaris (pasukan pengibar bendera, proja muda
karana/pramuka)
3. Program Keterampilan
a. Tata boga
b. Tata busana
c. Tata rias
d. Teknologi informasi dan computer
e. Otomotif
f. Sablon
70
H. PROFIL INFORMAN
1. Informan 1
a. Ibu kandung RF
Nama : R
Usia : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Gang Bima Jaya, Pasar Minggu
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
b. Anak Tunagrahita
Nama : RF
Tanggal Lahir : 14 Februari 2000
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 16 tahun
Fisik Badan : tinggi, rambut hitam lurus, kulit putih.12
Psikis : Sopan, kurang percaya diri, memiliki sikap
yang kurang disiplin dan pendiam.
RF merupakan anak ke-dua dari dua bersaudara dari keluarga pak “S”
dengan Bu “R”. RF tinggal di Pasar Minggu, gang Bima Jaya Rt 02 Rw 04
No.7 bersama ayah, ibu dan kakanya. RF terpaut usia 8 tahun dengan
kakanya. Saat lahir, RF masih harus dirawat dirumah sakit karena tidak bisa
meminum air ASI dari Ibunya. Pada saat RF dirawat di sanalah Bu “R”
mengetahui bahwa kondisi RF berbeda dari anak normal lainnya. RF
mengalami kelainan yaitu kerusakan pada bagian otak karena faktor masa 12
Hasil observasi pada 30 Agustus 2016.
71
Natal yang artinya kelainan timbul ketika bayi dilahirkan.
Kondisi RF tidak sama dengan bayi-bayi dengan bayi pada umumnya
pada masa itu dikarenakan terdapat kelemahan di bagian otak. Menurut
Dokter, apa yang dialami oleh RF disebut tunagrahita. RF adalah anak
tungrahita sedang yang tengah duduk dibangku kelas 11 C1-c di SLBN 2 Pagi
Jakarta Selatan. RF tergolong anak tungrahita tidak mampu mandiri di SLBN
2 Pagi Jakarta. RF memiliki hubungn yang sangat baik dengan orang tuanya
dan tidak cukup dekat dengan kakanya. RF menutup diri terhadap lingkungan
sosialnya, RF tidak dekat ataupun bermain dengan teman-temannya .13
13
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan Ibu kandung dari RF, pada Tanggal
30 Agustus 2016.
72
2. Informan 2
a. Ibu kandung DF
Nama : H
Usia : 43 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kebagusan Dalam 1. Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
b. Anak Tunagrahita
Nama : DF
Tanggal Lahir : 22 Mei 2001
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 15 tahun
Fisik Badan : tidak cukup tinggi, rambut hitam lurus,
kulit sawo matang.14
Psikis : sopan, kurang percaya diri, memiliki sikap
disiplin, manja, suka bicara dan banyak
bicara.
Sebagaimana dengan informan sebelumnya, DF tergolong anak
tunagrahita tidak mampu mandiri yang bersekolah di SLBN 2 Pagi dan anak
tunagrahita sedang yang tengah duduk di bangku kelas 7 C1-b. DF anak ke-
satu dari dua bersaudara dari pasangan Pak “A” dengan Bu “H”. Adik DF
seorang gadis berusia 12 tahun. DF hanya terpaut 3 tahun usianya dengan
14
Hasil observasi pada 30 Agustus 2016.
73
adiknya. DF tinggal bersama orang tuanya dan satu adiknya di daerah
kebagusan dalam 1 Jagakarsa Jakarta Selatan. Tidak ada riwayat dari keluarga
ibu maupun ayah dari DF yang sama dengan DF. Saat usia DF genap 3 tahun
DF mengalami kecelakaan dibagian kepala yang mengakibatkan DF terkena
gegerotak dan terjadi kerusakan pada bagian otak DF, sehingga DF mengalami
ketunagrahitaan. DF tergolong anak yang cukup disiplin dan memiliki
hubungan baik dengan keluarga.15
15
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan Ibu kandung dari DF, pada Tanggal
30 Agustus 2016.
74
3. Informan 3
a. Ibu kandung EG
Nama : Y
Usia : 43 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bukit Cengkeh 2 Blok D8. No. 16 Desa
Tugu Cimanggis Depok.
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
b. Anak Tunagrahita
Nama : EG
Tanggal Lahir : 18 Januari 1999
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 17 tahun
Fisik Badan : Tinggi, rambut pendek ikal, kulit sawo
matang.16
Psikis : kurang percaya diri, manja, pendiam dan
cukup tertutup.
EG merupakan anak ke-dua dari dua bersaudara dari keluarga pak “D”
dengan Bu “Y”. EG tinggal di Bukit Cengkeh 2 Blok D 8 No. 16 Desa Tugu
Cimanggis Depok bersama ayah, ibu dan kakanya. EG terpaut usia 5 tahun
dengan kakanya. Saat lahir, EG masih harus dirawat dirumah sakit karena
kondisi dari EG yang lemah. Dan pada masa kehamilan Ibu EG juga agak
16
Hasil observasi pada 5 September 2016.
75
lemah pada saat itu. Pada saat EG dirawat di sanalah Bu “Y” mengetahui
bahwa kondisi EG berbeda dari anak normal lainnya.
EG mengalami kelainan yaitu kerusakan pada bagian otak karena faktor
masa Natal yang artinya kelainan timbul ketika bayi dilahirkan. Kondisi EG
tidak sama dengan bayi-bayi dengan bayi pada umumnya pada masa itu
dikarenakan terdapat kelemahan di bagian otak. Menurut Dokter, apa yang
dialami oleh EG disebut tunagrahita. EG adalah anak tungrahita sedang yang
tengah duduk dibangku kelas 11 C1-c di SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan. EG
tergolong anak tungrahita tidak mampu mandiri. EG tergolong anak yang
menarik diri terhadap lingkungan sosialnya karena EG jarang keluar rumah
bahkan tidak bermain dengan temen-teman di lingkungan sekitar rumahnya
dan hanya memilki hubungan yang dekat dan erat terhadap Ibu kandungnya.17
17
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan Ibu kandung dari EG, pada Tanggal
5 September 2016.
76
4. Informan 4
a. Ibu Kandung AR
Nama : A
Usia : 48 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Darusalam 2 RT 04/ RW 19.
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
b. Anak Tunagrahita
Nama Panggilan : AR
Tanggal Lahir : 20 Februari 2003
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 13 tahun
Fisik Badan : memiliki tinggi badan 150 cm, rambut panjang
hitam ikal, kulit sawo matang.18
Psikis : memiliki sikap percaya diri, kurang sopan, manja,
dan suka bermain.
AR merupakan anak dari pasangan pak “P” dengan Bu “A”. AR tinggal di
Jalan Darusalam 2 RT 04 RW 19. Penyebab AR menyandang tuna grahita
adalah karena AR pernah mengalami sering jatuh pada masa bayi oleh
pengasuhnya, AR pada masa bayi dirawat oleh pengasuh dikarenakan ibu dari
AR bekerja. AR mengalami kelainan yaitu kerusakan pada bagian otak karena
faktor masa Natal yang artinya kelainan timbul ketika bayi dilahirkan. AR
18
Hasil observasi pada 5 September 2016.
77
adalah anak tungrahita sedang yang tengah duduk dibangku kelas 11 C1-c di
SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan. AR tergolong anak tungrahita tidak mampu
mandiri di SLBN 2 Pagi Jakarta. AR memilki emosional yang cukup tinggi. 19
19
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan Ibu kandung dari AR, pada Tanggal
5 September 2016.
78
BAB IV
HASIL TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA
Pada bab ini penulis akan membahas tentang permasalahan psikososial
keluarga dengan anak tunagrahita pada SLBN 02 Pagi, dengan cara
menghubungkan dan mengkaji antara temuan hasil observasi, wawancara,
cacatan lapangan, dokumentasi dan dengan teori-teori yang telah dijelaskan di
bab II sebelumnya. Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan beberapa hal
mengenai peran SLBN 02 Pagi dalam mengatasi anak tunagrahita di sekolah
guna memahami permasalahan keluarga dengan anak tunagrahita tidak mampu
mandiri, baik dari segi subyeknya maupun dari segi obyek penelitian.
A. PERMASALAHAN PSIKOSOSIAL KELUARGA DENGAN ANAK
TUNAGRAHITA DI SLBN 02 JAKARTA.
Berdasarkan hasil temuan lapangan mengenai permasalahan psikososial
keluarga dengan anak tunagrahita, peneliti menggunakan teori psikososial yang
dibahas pada bab II halaman 27 yaitu:
1. Psikososial
a. Tahap Perkembangan Psikosoial
Begitu pula yang dikatakan oleh Erik Ericson: Kerajinan versus
inferioritas (industry vs inferioritas) berlangsung antara usia 6-12 tahun.
selama tahap ini, berkembang keampuan berfikir deduktif, disiplin diri, masa
usia sekolah, mampu belajar, menciptakan dan menyelesaikan berbagai
keterampilan baru dan pengetahuan dengan demikian mengembangkan rasa
industri.1
1
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak (Jakarta: 1997). BAB II h.6.
79
Ini juga merupakan tahap yang sangat sosial dari pembangunan dan jika
mengalami perasaan yang belum terselesaikan tidak mampu dan rendah diri
diantara rekan-rekan kita, kita dapat memiliki masalah serius dalam hal
kompetensi dan harga diri. Pada tahap ini anak mulai membangun rasa
bersaing dan ketekunan pada dirinya. Sebaliknya anak mungkin akan
kehilangan harapan, merasa cukup, menarik diri dari lingkungan.
Ketika dunia mengembang sedikit, hubungan kita yang paling signifikan
adalah dengan sekolah dan lingkungan. Orang tua tidak lagi otoritas dulu,
meskipun mereka masih penting. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas
bahwa selama masa anak 0-12 tahun terjadi perubahan-perubhan yang
dramatis, baik dalam fisik maupun dalam kognitif. Perubahan-perubahan
secara fisik dan kognitif tersebut, ternyata berpengaruh terhadap perubahan
psikososial anak.
Begitu pula yang dialami oleh “RF” bahwasanya ia telah mencapai
tahapan ini yang sesuai dengan teori yang diungkapkan di atas, “RF” lebih
cenderung bersikap pendiam, manja, bergantung pada orang lain dan menarik
diri. Begitu yang diungkapkan dalam wawancara Ibu „R‟:
“Oh „RF‟ mah orangnya manja kak, apa-apa aja saya yang ngurusin.
Kalo ga diturutin suka rewel sampe-sampe nangis. Kalo dirumah „RF‟
jarang keluar rumah kak, paling dirumah aja, ga pernah main sama
temen-temen seusianya dirumah. “2
Sedangkan “DF” juga mengalami tahapan ini dimana “DF” cenderung
bersikap disiplin, bergantung pada orang lain dan sangat kurang konsentrasi.
Seperti yang diungkapkan dalam wawancara Ibu „H‟:
2
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal
5 September 2016
80
“ „DF‟ kalo dirumah disiplin kak, nih yah kalo pulang sekolah udah
sampe rumah dia taro sepatunya dirak, barangnya juga suka ditaro
ditempatnya. kalo dirumah mainnya sama adiknya sama temen-temen
adiknya juga, soalnya usianya baru nyambung sama temen-temen
adiknya soalnya kan „DF‟ memiliki kekurangan ya seperti yang kakak
tau kan ya kak.”3
Peneliti membuktikan langsung dengan melihat langsung perilaku “DF”
ketika sedang makan pada jam istirahat disekolah “DF” membuka sepatunya
dan meletakannya di tempat rak sepatu dengan sangat rapih.4 “DF” adalah anak
tuna grahita tidak mampu mandiri, meskipun demikian kedisiplinan sudah
tertanam pada diri “DF” sejak dari kecil. Karena rasa takutnya kepada ayahnya
yang juga sangat menerapkan kedisiplinan dirumah.
Sama halnya seperti yang dirasakan oleh “EG” dan “AR” bahwa pada
masa ini berkembang kemampuan berfikir deduktif, menarik diri dari sekolah
dan teman sebaya. Hal ini diungkapkan oleh Ibu “Y”dan Ibu “A” sebagai
berikut:
Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”:
“”EG‟ jarang keluar rumah kak, apalagi main diluar jarang ka.
Palingan dirumah aja nonton tv sama mainin hp ayahnya. Dia sih
ngerti main hp, tp pernah kak, waktu itu asal dipencet-pencet aja sama
„EG‟, eh nyambung ke temen ayahnya.”5
Sebaliknya dengan “AR” yang tidak menarik diri dari lingkungan. “AR”
suka bermain bersama teman-teman sebaya nya ketika dirumah dan disekolah.
Hal ini disampaikan oleh Ibu “A”:
3
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari klien DF, pada
Tanggal 30 Agustus 2016
4 Catatan lapangan (observasi) pada tanggal 30 Agustus 2016, lihat lampiran 1.
5 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal
5 September 2016
81
Informan “A” merupakan Ibu dari “AR”:
“Kalo pulang sekolah pasti dia main sama-sama temen-temennya
dirumah. Didepan rumah itu ada lapangan luas biasa anak-anak suka
main disana. Tapi kalo lagi main saya atau kakanya suka ngejadain,
ngeliatin gitu kak. Soalnya kalo diledekin dia suka mukul temennya,
emosian banget, ngomongnya juga duh suka kasar nisa mah segala
yang yang ada diragunan keluar semua”.6
Peneliti membuktikan dengan melihat langsung “AR” mendorong jatuh
temannya ketika sedang asik bermain bersama teman-temannya dilapangan
sekolah pada jam istirahat.7
Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok
eksklusifme bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme
tersebut tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-
anak difabel dengan ank-anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di
masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari
dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan
kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa
keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat
di sekitarnya.
Dari pernyataan di atas anak tunagrahita tidak mampu mandiri lebih
cenderung bersikap manja dan menarik diri dari lingkungan seperti tidak
bermain bersama teman-teman di sekolah dan teman-teman dirumah. Pada
tahap ini anak tunagrahita tidak mampu mandiri mulai mendapatkan
pengenalan demontrasi keterampilan dan produksi benda-benda. Anak
6 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan ibu kandung dari AR, pada Tanggal
5 September 2016 7
Catatan lapangan (observasi) pada tanggal 5 September 2016, lihat lampiran 1.
82
tunagrahita tidak mampu mandiri biasanya hanya mengikuti keterampilan atau
kegiatan vacastional Kriya, yaitu kegiatan seperti membuat gelang, kalung,
tasbis dan sebagainya.
b. Permasalahan Psikososial Keluarga dengan Anak Tunagrahita
1. Permasalahan Psikososial Orang tua: Ansietas
a. Definisi Ansietas
Ansietas (kecemasan) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan
menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak
berdaya. Perasaan tersebut dialami oleh semua informan peneliti yaitu
semua orang tua dari anak tunagrahita tidak mampu mandiri.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh semua informan kepada
peneliti sebagai berikut:
Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”:
“dulu iyah kak saya stress banget pas tahu kondisi yang menimpa
“RF” saya sedih banget, kecewa, gak berdaya juga. Ditambah lagi
kalau-kalau “RF” ngambek yang sampe ngamuk duh saya stress
banget kak, ya saya Cuma bisa sabar ngadepin “RF” kak.
Alhamdulillah juga sekarang kan ayahnya udah pensiun jadi udah
bantuin saya ngurusin “RF” kak dirumah”.
Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”:
“dibilang kecewa sih pasti iya kak, kualahan, strees juga kadang-
kadang ngadepin “DF” kak”.
Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”:
Hal ini juga dijelaskan oleh ibu dari “EG” sebagai berikut:
“„EG‟ makan masih disuapin kak suka berantakan dia-mah, dalam hal
belajar, nulis, baca masih harus dituntun. Buang air kecil sama besar
masih saya yang nyuciin kak, kalo dibiarin dia yang nyuci ga bersih
nyucinya dia. Makanya disekolah gini saya tungguin sampe pulang
kalo ketoilet nanti saya temenin. Pernah kak ngompol di kelas pas
83
saya lagi ga nungguin eh bu guru yang bersihin kan saya jadi malu ya
kak. YaAllah kak makanya saya kwatir banget sejak saat itu saya ga
pernah absen nungguin „EG‟ di sekolah.”8
Peneliti membuktikan sendiri dengan melihat langsung “EG” yang sedang
disuapi oleh Ibunya pada jam istirahat disekolah. Seperti yang terlihat pada
gambar berikut:
Gambar 8
Potret Ibu “Y” yang sedang menyuapi “EG” dan menunggui
“EG” disekolah sampai pelang sekolah.
Sumber: Observasi. 5 September 2016 (Dokumentasi Peneliti)
Dari gambar tersebut terlihat bahwa “EG” tertawa karena merasa malu
diledeki oleh Ibunya dihadapan peneliti dan kemudian menarik bekalnya
berusaha untuk makan sendiri dan ibu “EG” selalu menunggui “EG” disekolah
dengan sabar.
Informan “A” merupakan Ibu dari “AR”:
“„AR‟ orangnya mah rapih dia, tapi mandi, pake baju semuanya masih
harus dibantu kak, anaknya juga maunya rapih. Nah kalo datang bulan
emang saya juga yang nyuciin kak, dia ga mau “geli” katanya lagian
juga ga bersih dia mah kalo nyuci sendiri”.9
8 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari klien C, pada
Tanggal 5 September 2016 9
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan Ibu dari AR, pada Tanggal 5
September 2016
84
Berdasarkan pernyataan diatas tergambar bahwa gangguan ansietas yang
dirasakan orangtua dalam merawat anak tunagrahita diperlukan kesabaran yang
tinggi dalam menghadapi emosi anak tunagrahita. Beberapa keluarga
dihinggapi oleh munculnya kecemasan tentang masa depan anaknya, masalah
perkawinan, depresi, dan lai-lain. Ketidaksempurnaan dari sang anak dapat
berdampak negatif pada orang tua muncul rasa kecewa yang mendalam
bercampur sedih, bingung, marah, putus asa, tidak bergairah, dan tidak
berdaya.
Hal tersebut merupakan permasalahan ansietas yang sudah dijelaskan
pada Bab II, halaman 27 bahwa Gangguan ansietas adalah kondisi tegang dan
merupakan suatu respon dari pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan dan
diikuti perasaan gelisah, yang dialami oleh seseorang secara berlebihan atau
tidak pada tempatnya dan ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu atau
takut.
b. Jenis Ansietas
Sigmund freud sang pelopor psikoanalisis banyak mengakji tentang
kecemasan ini, dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai
komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika
kepribadian seorang individu. Freud membagi kecemasan kedalam tiga tipe
yaitu kecemasan realistik, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral.10
Berdasarkan hasil temuan lapangan peneliti. Terkait jenis kecemasan pada
bab II dihalaman 28 bahwa jenis ansietas realitas atau objektif adalah suatu
kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap ancaman atau
10
Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan
Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 18
85
bahaya-bahaya nyata, seperti yang dialami oleh beberapa informan dalam
penelitian ini.
Informan 1 dan informan 2 mengalami jenis ansietas (kecemasan) realistik
atau objektif, yaitu suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan
terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di lingkungan sosial.11
Hal ini berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan. Berikut kutipan
wawancara informan 1:
Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”
“‟RF‟ tau cara ngendarai motor matic kak, pernah naik motor sendiri
dan akhirnya jatoh, nabrak pager rumah orang, luka-luka dan akhirnya
berobat. Saya kan jadi takut ya kak itu kan membahayakan „RF‟”.12
Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”
“pernah saya tuh ga bisa anter „DF‟ kesekolah jadi dianter ojek online
terus nyasar kak, saya kan panik, takut kak. Untung bapak ojeknya
baik dianter pulang lagi kerumah saya. Bahaya banget kak makanya
saya ga pernah ngojekin‟DF‟ lagi”.13
Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pengamatan peneliti bahwa
informan 1 dan 2 merasa takut akan bahaya yang menimpa anak tunagrahita,
seperti ketakutan akan bahaya anaknya kemungkinan diculik karena pernah
nyasar oleh tukang ojek, dan juga ketakutan akan bahaya yang menimpa
anaknya atas apa yang terjadi pada anak karena kelalaian yang dilakukan anak
dikarenakan kondisi keterbatasan anak. Hal tersebut merupakan jenis
kecemasan realitas atau obyektif yang sudah dijelaskan pada Bab II, halaman
11
Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan
Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 18 12
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal 5
September 2016 13
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada
Tanggal 5 September 2016
86
28 bahwa kecemasan ini bersumber dari adanya ketakutan terhadap ancaman
atau bahaya-bahaya.
Sedangkan pada informan 3 dan 4 mengalami jenis ansietas (kecemasan)
moral, hal ini disampaikan langsung oleh informan “Y” dan informan “A”
kepada peneliti sebagai berikut:
Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”
“‟EG‟ pernah ilang dari siang sampe abis magrib baru ketemu tau-
taunya dikebon kak, orang rumah sampe nyari-nyariin kak. Suka
ilangan gitu dia kan takutnya diculik ya kak, bahaya kan”.14
Informan “A” merupakan Ibu dari “AR”
“saya pernah ga enak sama tetangga saya kak, anaknya pernah di
pukul pake balok sama anak saya kak, sampe luka-luka. Saya takut
banget waktu itu ntung orangtuanya memafkan karena memaklumi
kondisi anak saya kak, ga sampe diperpanjang urusannya. Kan bahaya
buat anak saya dan juga orang lain yang dilukai sama anak saya kalo
seperti itu ya kak”.15
Ketakutan (kekhawatiran) dan juga kecemasan yang dialami oleh para
informan yang juga bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang
mengancam. Ketakutan atau kekhawatiran yang dirasakan oleh orang tua anak
tunagrahita dikarenakan bahaya-bahaya yang apabila muncul kepada anaknya.
Seperti ketakutan yang dialami oleh informan 3 dan 4 bahwa kecemasan akan
bahaya anaknya yang dapat menyakiti dan disakiti oleh orang lain karena
kelalaian orang tua dalam pengawasan dan kelalaian anak atas kondisi
keterbatasan yang dimilki anak sehingga menyebabkan perasaan bersalah oleh
orang tua.
14
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada
Tanggal 5 September 2016 15
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari AR, pada
Tanggal 5 September 2016
87
Hal ini sesuai merupakan jenis kecemasan moral yang sudah dijelaskan
pada Bab II, halaman 29 bahwa Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik
antara Id dan superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati
individu sendiri. Ketika individu termotivasi untuk mengekspresikan implus
instingtual yang berlawanan dengan nilai moral yang termaksud dalam
superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah.
c. Tingkat Ansietas (Kecemasan)
Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau
mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu: kecemasan ringan, kecemasan
sedang, kecemasan berat dan panik.16
Berdasarkan hasil temuan lapangan
peneliti terdapat beberapa informan yang merasakan atau mengalami ansietas
(kecemasan) pada tingkat kecemasan sedang.
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami
perhatian yang selektif terhadap hal yang menurutnya penting, namun dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah. Sering merasa gelisah dan fokus pada
apa yang menjadi perhatian.17
Tingkat kecemasan ini dialami oleh informan
“R” dan Informan “H” dan disampaikan langsung sebagai berikut:
16
Ni Komang Ratih, Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Koping Siswa SMUN 16
Dalam Menghadapi Ujian Nasional, Skripsi Sarjana Keperawatan, (Depok: Perpustakaan UI,
2012), hal. 11-12. 17
Ni Komang Ratih, Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Koping Siswa SMUN 16
Dalam Menghadapi Ujian Nasional, Skripsi Sarjana Keperawatan, (Depok: Perpustakaan UI,
2012), hal. 11-12.
88
Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”
“tentu aja saya cemas akan masa depannya „RF‟ kak dan menjadi
prioritas kita sekarang mah „RF‟ kak, alhamdulillah sekarang ayahnya
udah pensiun jadi bisa bantu saya ngurusin „RF‟ nya”.18
Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”
“‟DF‟ kan anak yang punya kekurangan ya kak, saya khawatir gimana
masa depannya kalo udah dewasa kak, waktunya saya tuh semuanya
buat „DF‟ kak, adiknya diasuh sama pengasuh yang ngurusin karna
saya fokus ke kakaknya”.19
Sedangkan informan “Y” dan Informan “D” mengalami tingkat kecemasan
yang sama. Hal ini berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dalam
penelitian sebagai berikut:
Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”
“yang saya cemaskan itu gimana sama „EG‟ kalo saya sama ayahnya
udah ga ada kak, gimana sama masa depannya sedangkan „EG‟ aja
belom bisa ngurus dirinya sendiri kak”.20
Informan “A” merupakan Ibu dari “AR”
“iya kak saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus ngurusin
„AR‟ aja, soalnya saya mikir dia kan perempuan gimana sama masa
depannya. Saya suka mikirin sampe-sampe lupa makan dan pernah
sampe skit-sakitan saya kak”.21
Berdasarkan data diatas dapat peneliti simpulkan bahwa Kecemasan
sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain, sehingga orang tua mengalami perhatian yang
selektif terhadap hal yang menurutnya penting dan anak mendapatkan
perhatian lebih dari orangtuanya.
18
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada
Tanggal 5 September 2016 19
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari DF, pada
Tanggal 5 September 2016 20
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada
Tanggal 5 September 2016 21
89
Para orang tua anak tunagrahita yang mengalami tingkat kecemasan
sedang ini, sering kali merasa gelisah atas masa depan anaknya karena kondisi
keterbatasan yang dimilki oleh anak tunagrahita. Sehingga para orang tua
memutuskan untuk fokus merawat anaknya dan memusatkan perhatian yang
penuh terhadap anaknya yang mengalami kondisi berbeda dari anak normal
lainnya.
2. Masalah Ekonomi Keluarga Anak Tunagrahita
Biaya pemeliharaan anak luar biasa memang besar, menyangkut biaya
hidup dan juga biaya pendidikannya bahkan jauh lebih besar yang dikeluarkan
bagi anak normal. Masalah ekonomi merupakan kesulitan yang dialami oleh
keluarga dengan taraf ekonomi yang rendah. Kebahagian tak bisa dibeli dengan
uang karena uang bukanlah segalanya. Namun, tanpa adanya uang yang
memadai dengan ekonomi yang cukup, kehidupan keluarga akan lebih sulit
dalam banyak persoalan yang dihadapi. Salah satu contoh adalah beban yang
dirasakan keluarga ketika memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan
ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi fungsi ekonomi. Keluarga akan
dihinggapi perasaan cemas tentang masa depan pembiayaan anak, terkait
dengan kemunduran produktivitas kepala keluarga dan kekhawatiran bahwa
anak tidak mampu berfungsi optimal secara ekonomis, dikarenakan
keterbatasan yang dimilikinya.22
Hoff, Laursen, & Tardif, mengemukakan bahwa ditemukan perbedaan
pengasuhan anak di antara kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang berbeda.
22
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa,
DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), h. 36.
90
Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi rendah dan Orang tua yang memiliki
sosial-ekonomi lebih tinggi. 23
Hal ini dialami oleh semua orang tua anak tunagrahita yang menjadi
informan dalam penelitian ini dimana semua informan memilki sosial-ekonomi
rendah. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ibu “R” sebagai berikut:
Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”:
“sejak mengalami gejala-gejala down syndrom saya dan ayahnya rutin
melakukan pemeriksaan sebulan sekali. Tapi semenjak usia “RF” mau
4 tahun sampai sekarang udah gak pernah lagi kak, biaya check-up aja
sebesar Rp.250.000 belum lagi kalau diresepin obat yang biayanya
bisa-bisa kurang-lebih Rp.500.00 kak. Udah gitu sekarang usaha
warung sembako dirumah aja kak soalnya kan Ayahnya udah pensiun
dari kerjaan makanya udah ngerawat sendiri aja dirumah kak hehe”.24
Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”:
“wih iya kak, biaya yang keluar buat “DF” lebih besar dari adiknya,
kayak biaya pemeriksaan rutin per-5 bulan sekali aja biayanya
kedokter lumayan cukup besar kak. “DF” jadwalnya 5 bulan sekali
check-up kak soalnya pernah ngalamin kecelakaan gegerotak, belom
lagi biaya lesnya sama bu guru kalo pulang sekolah. Pusing kak belom
lagi kebutuhan-kebutuhan keluarga lainnya, ayahnya kan kerjanya
karyawan swasta hehe”.25
Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”:
“iya kak “EG” mengkonsumsi obat herbal aja sama ikut terapi, terapi
balon namanya kak. Sekarang udah jarang buat rutin ke dokter kaya
dulu, soalnya biayanya lama kelamaan ga mencukupi kak. Palingan ke
psikolog aja kak yang sering sekarang mah, itu juga disekolah aja
hehe”.26
23
W.A. Gerungan, DR. Dipl. Psych. Psikologi Sosial, cet. XI. (Bandung: Eresco, 1988).
H. 198. 24
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal 5
September 2016 25
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal
5 September 2016 26
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal
5 September 2016
91
Ibu “A” merupakan Ibu dari AR:
“dulu iya kak waktu masih bayi sampe balita rutin check-up ke dokter,
tapi sekarang udah ga pernah lagi kak. Ngurus dirumah aja. Paling
kalo lagi ada rezeki beli obat herbal TNM namanya kak, beli dari
dokter, lumayan mahal kak. Makanya pusing kak”.27
Untuk menangani kondisi yang dialami anak mereka, orang tua melakukan
berbagai upaya untuk menangani klien, salah satunya yaitu check-up rutin
sebulan sekali ke dokter untuk melakukan terapi dan mengkonsumsi obat,
melibatkan banyak ahli, seperti ahli saraf anak, psikiater, fisioterpis, psikolog
dan juga guru pendidikan luar biasa, untuk menilai perkembangan mental
terutama kognitif anak dan semua itu dibutuhkan biaya atau pengeluaran yang
tidak sedikit jumlahnya. Masalah kesulitan hidup dan stress yang terjadi pada
keluarga khususnya orangtua muncul dikarenakan adanya tuntutan ekonomi.
Hal lain yang menjadi kesulitan dan juga masalah ekonomi dalam keluarga
karena masalah kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus dapat menjadi
sumber pengeluaran yang besar, karena kebutuhan medis, sosial dan pelayanan
pendidikan khusus sehingga orang tua yaitu semua informan dalam penelitian
ini merasa cemas akan pembiayaan masa depan anaknya. Hal tersebut
merupakan masalah orang tua yang meilki sosial ekonomi rendahseperti yang
sudah dijelaskan pada Bab II, halaman 32 bahwa orang tua akan mengusahakan
agar anaknya meyesuaikan diri terhadap ekspektasi sosial, mencipatakan
atmosfir rumah dimana orang tua memiliki otoritas yang jelas terhadap anak-
anak, dan komunikasi yang dilakukan kepada anak-anaknya bersifat searah.
27
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan ibu kandung dari AR, pada Tanggal
5 September 2016
92
3. Masalah Menarik Diri
Kebanyakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan
tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung
menyembunyikan anaknya. Orang tua menganggap bahwa kondisi anaknya
disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga orang tua
merasa tidak mampu, rendah diri, gagal dan berperilaku menghindari atau
menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut akan
berdampak pada munculnya tugas maladaptif sebagai orang tua.28
Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh semua informan kepada peneliti sebagai
berikut :
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ibu “R” yang merupakan ibu dari
“RF” sebagai berikut:
“perasaan malu sih ada ya kak, tapi ya saya sih sabar aja kak. Saya
mah sayang banget sama „RF‟ ya walaupun „RF‟ memilki kekurangan
kaya gitu ga jadi penghalang saya buat sayang banget sama „RF‟ kak.
”29
Ibu „H‟ merupakan Ibu dari “DF”:
“ya jujur aja sih kalo diajak ke mall atau keluar deh pokoknya. Orang-
orang tuh pasti ngeliatinnya beda bikin saya jadi suka minder kak.
Makanya saya mah jarang keluar rumah juga”30
Hal ini juga dijelaskan oleh ibu dari “EG” sebagai berikut:
“„EG‟ makan masih disuapin kak, dalam hal belajar, nulis, baca masih
harus dituntun. Buang air kecil sama besar masih saya yang nyuciin
kak, kalo dibiarin dia yang nyuci ga bersih nyucinya dia. Makanya
disekolah gini saya tungguin sampe pulang kalo ketoilet nanti saya
temenin. Pernah kak ngompol di kelas pas saya lagi ga nungguin eh
28
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa,
DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), h. 28. 29
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada
Tanggal 30 Agustus 2016
30 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada
Tanggal 30 Agustus 2016
93
bu guru yang bersihin kan saya jadi malu banget kak. Makanya sejak
saat itu saya ga pernah absen nungguin „EG‟ di sekolah.”31
Hal yang sama juga dirasakan oleh informan „A‟ bahwa anak tuna grahita
tidak mampu mandiri tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Hal ini disampaikan
langsung oleh Ibu „A‟ merupakan Ibu”AR”:
“ya namanya juga anak yang punya kekurangan pasti ada aja
cobaannya kak, kalo omongan-omongan atau diomongin sih udah
biasa kak, ya saya sih sabar aja ga usah diladenin, saya mending
dirumah aja juga, jarang keluar juga saya kak lagian kerjaan juga
banyak dirumah namanya juga ibu rumah tangga hehe”.32
Memilki buah hati tentunya merupakan dambaan bagi setiap orang yang
telah membina keluarga. Keadaan akan menjadi berubah ketika anak yang
dilahirkan, berbeda dengan anak lainnya, yakni anak yang memerlukan
perhatian atau kebutuhan khusus, tentunya orang tua merasa kecewa karena
memeilki anak yang tidak sesuai dengan harapan.
Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pengamatan peneliti terhadap
semua informan dalam penelitian ini bahwa orang tua membutuhkan kesabaran
yang tinggi dalam menghadapi emosi anak tunagrahita, menurunnya
produktivitas dalam keluarga, serta stigma sosial mengenai anak tunagrahita
sehingga perasaan malu muncul ketika orang tua berhadapan dengan
lingkungan sosial, dan cenderung kadang ada perasaan minder, menarik diri
dari lingkungan sosial dan menyembunyikan anaknya dari lingkungan
sosialnya. Hal tersebut dijelaskan dalam Bab II, halaman 33 bahwa kebanyakan
orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan tertekan dengan
31 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada
Tanggal 5 September 2016 32
Wawancara pribadi dengan Ibu „A‟ merupakan ibu dari AR, pada Tanggal 5 September
2016
94
stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung menarik diri dan
menyembunyikan anaknya. Orang tua merasa tidak mampu, rendah diri gagal
dan berperilaku menghindari atau menarik diri dari interaksi dengan
lingkungan sekitarnya.
2. Kemandirian Anak Tuna Grahita
Pada bab II halaman 43 dijelaskan bahwa kemandirian diajarkan pada anak
tuna grahita sedang dengan tujuan agar anak dapat mengurus dirinya sendiri,
tanpa minta bantuan orang lain. Hal ini berbeda dengan klien A dank lien B
yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri dan bergantung pada orang lain
sehingga dikatakan tidak mampu mandiri.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan olehsemua informan, kepada
peneliti.
Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”:
“Untuk aktivitas sehari-harinya „RF‟ masih saya bantu kak, saya ga
tegaan, kasihan kalau lihat „RF‟ kesusahan. Saya mah sayang banget
sama „RF‟ ya walaupun „RF‟ memilki kekurangan kaya gitu ga jadi
penghalang saya buat sayang banget sama „RF‟ kak.”33
Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”:
“„DF‟ mah konsentrasinya kurang banget, nulis aja harus dititik-titikin
dulu baru deh bisa si „DF‟ mah. „DF‟ mah manja sih engga kak,
makan aja dia udah ga disuapin kok tapi ya gitu pasti berantakan
bececeran diamana-mana, mandi juga masih saya kontrol kak, kalo ga
di kontrol suka ga bersih mandinya.”34
33
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari klien A, pada
Tanggal 30 Agustus 2016
34 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari klien B, pada
Tanggal 30 Agustus 2016
95
Hal tersebut diperkuat dengan pengamatan langsung yang peneliti lakukan.
Peneliti melihat anak tuna grahita tidak mampu mandiri yaitu “DF” yang tidak
memperhatikan guru yang sedang memberikan pelajaran. Ia menoleh ke sisi
kiri membelakangi guru. Seperti yang terlihat pada gambar berikut.
Gambar 7.
Potret kurangnya konsentrasi anak tuna grahita tidak mampu
mandiri didalam kelas
Dengan kurangnya konsentrasi anak tuna grahita tidak mampu mandiri
membuat anak sulit dalam hal proses belajar. Hal itu peneliti buktikan langsung
dengan melihat langsung “DF” yang tidak bisa menulis dengan benar. “DF”
baru bisa menulis jika dititik-titiki terlebih dahulu. Penulis juga sempat
membantu “DF” dengan menitik-nitiki beberapa huruf untuk “DF” menulis.35
Belum tersedianya fasilitas yang menunjang daya tarik atau visual bagi
anak tuna grahita tidak mampu mandiri membuat anak tidak bisa belajar
dengan efektif dan menghambat perkembangan anak untuk maju dalam hal
belajar.Ketergantungan anak terhadap orang lain atas aktivitas sehari-hari
menggambarkan bahwa kemandirian tidak dimiliki oleh anak sehingga
dikatakan tidak mampu mandiri. Hal ini juga dijelaskan oleh ibu dari “EG”
sebagai berikut:
35
Catatan lapangan (observasi) pada tanggal 30 Agustus 2016, lihat lampiran 1.
96
“„EG‟ makan masih disuapin kak, dalam hal belajar, nulis, baca masih
harus dituntun.”36
Hal yang sama juga dirasakan oleh informan „A‟ bahwa anak tuna grahita
tidak mampu mandiri tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Hal ini disampaikan
langsung oleh Ibu „A‟ merupakan Ibu “AR”:
“„AR‟ orangnya mah rapih dia, tapi mandi, pake baju semuanya
masih harus dibantu kak, anaknya juga maunya rapih. Suka merengut
aja kalo ga rapih gitu. Nah kalo dating bulan emang saya juga yang
nyuciin kak, dia ga mau “geli” katanya lagian juga ga bersih dia mah
kalo nyuci sendiri”.37
Dari apa yang diungkapkan diatas membuktikan bahwa anak tuna grahita
tidak mampu mandiri sangat bergantung pada orang yang mengurusnya seperti
keluarga maupun orang tuanya. Untuk memandirikan anak tuna grahita, anak
harus diberiokan pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan
sehari-hari (ADL) agar anak dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang
lain dan tidak bergantung pada orang lain.
Kemandirian merupakan tujuan utama bidang pendidikan untuk
mendewasakan anak didik. Anak tuna grahita sedang dengan kemampuan
terbatas pada menolong diri sendiri, pekerjaan sederhana, serta keterampilan.
Hal ini berdasarkan Bab II yang dijelaskan pada halaman 43 bahwa
kemandirian adalah kebebasan dari ketergantungan pada orang lain dan
kebebasan dalam ketergantungan nasib atau kontrol dari orang lain. Tujuan
utama dari peningkatan kemandirian adalah anak dapat memenuhi tuntutan
hidup, bertanggung jawab pada tugas hariannya, dan mengurangi
ketergantungan pada orang sekitarnya.
36 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada
Tanggal 5 September 2016 37
Wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan ibu kandung AR, pada Tanggal 5
September 2016
97
3. Keluarga
a. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi dari struktur
keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Fungsi
keluarga menjadi suatu perhatian ketika kita akan memberikan intervensi
terhadap keluarga anak tuna grahita. Dalam bab II pada halaman 52
menjelaskan bagaiman fungsi sebuah keluarga terhadap anggota keluarga.
Seperti fungsi ekonomi atau unit produksi dan fungsi pelindung atau proteksi.
Dimana fungsi ekonomi atau unit produksi berjalan pada keluarga informan 1
dan informan 2. Hal ini disampaikan langsung oleh Ibu “R” dan Ibu “H”
kepada peneliti sebagi berikut:
Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”:
“kita sebagai orang tua mencoba untuk memenuhi kebutuhan keluarga
dan anak semampunya ya kak, ayahnya yang udah pensiun dan cuma
usaha warung sembako berusaha keras buat memenuhi kebutuhan
keluarga, kalau ga memenuhi ya kita bisa apa, pusing kak”.38
Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”:
“iya kak kalau ada rezeki lebih pengennya sih “DF” ikut terapi, les-les
yang dibutuhkan “DF” supaya bisa mandiri seenggaknya kak, biar
saya ga khawatir dan pusing juga kak”.39
Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pengamatan peneliti terhadap
informan 1 dn 2 bahwa orang tua berkeinginan untuk dapat memenuhi segala
kebutuhan anak dan keluarga. Dengan kondisi sosial-ekonomi yang dialami
oleh kedua informan tersebut, orang tua hanya dapat berusaha semampunya
dengan mengandalkan penghasilan atau pendpatan kepala keluarga yang dirasa
38
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada
Tanggal 5 September 2016 39
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada
Tanggal 5 September 2016
98
masih kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dikarenakan pengeluaran
keluarga lebih besar dibandingkan pendapatan keluarga. Hal tersebut sesuai
penjelasan fungsi ekonomi atau unit produksi keluarga pada Bab II, halaman
52 bahwa fungsi ekonomi keluarga adalah memenuhi kebutuhan anggota
keluarga itu sendiri.
Sedangkan informan 3 dan 4 mengalami fungsi pelindung atau proteksi
yang diberikan oleh orang tua kepada anak. Hal ini disampaikan langsung oleh
kedua informan dalam kutipan wawancara sebagai berikut:
Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”:
“iya kak kaya waktu “EG” sempet ilang, saya lagi sibuk didapur dan
kebetulan ga ada orang dirumah, seharusnya saya ga begitu sibuk
didapur juga bikin-bikin kue sampe “EG” ga ada temennya, harusnya
saya ngelindungin dan ngejagain “EG”, saya ketakutan banget waktu
itu, nyesel kak, takut terjadi apa-apa sama „EG‟”.40
Informan “A” merupakan Ibu dari “AR”:
“waktu kejadian “AR” menyakiti temannya saya marah banget
rasanya sampe mau main tangan tapi saya tahan kak, saya harusnya
ngelindungin jangan sampe dimarahin lagi, kasihan stress juga tapi
ngadepiinya”.41
Berdasarkan kutipan wawancara diatas bahwa fungsi pelindung yang
diberikan keluarga terhadap anaknya jelas terlihat dari orang tua mencari
anaknya yang hilang dengan merasa takut dan khawatir akan bahaya yang
menimpa anak tunagrahita. Pelindungan dan juga sikap yang mendidik juga
diterapkan oleh informan kepada anaknya padahal anaknya melakukan
kesalahan, hal ini seperti yang dijelaskan pada Bab II halaman 52 yaitu bahwa
fungsi pelindung memang harus diberikan oleh orang tua dengan anak
40
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada
Tanggal 5 September 2016 41
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan ibu kandung dari AR, pada
Tanggal 5 September 2016
99
tunagrahita mengingat kondisi yang diderita oleh anak tunagrahita. Keluarga
disebut sebagai sebuah sistem dikarenakan beberapa alasan yaitu pertama,
keluarga memiliki subsistem seperti anggota, peran, fungsi, aturan, budaya, dan
lainnya yang dapat dipelajari dan dipertahankan dalam kehidupan keluarga.
Kedua, dalam sebuah keluarga terdapat saling berhubungan dan
ketergantungan antara subsistem.
b. Bentuk Dan Pelayanan Pengasuhan Keluarga Pada Anak Tuna
Grahita
Keluarga adalah aspek pentig bagi anggota keluarga lainnya. Karena
keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia.
Pengasuhan orang tua terhadap anak juga sangat menentukan perkembangan
anak. Menurut ahli Psikologis Diana Baumrind ada tiga pola asuh orang tua
kepada anak-anaknya dalam penanaman nilai dan penanganan konflik dalam
keluarga: 42
1) Gaya pengasuhan yang bersifat otoratif
2) Gaya pengasuhan yang bersifat otoriter, dan
3) Gaya pengasuhan yang bersifat permisif.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh semua informan yang
peneliti teliti di SLBN 02 Pagi yaitu selaku orang tua dari anak tuna grahita
tidak mampu mandiri.
42
Srilestari, psikologi: Penanaman nilai dan penanganan konflik keluarga.(Jakarta:PT.
Kencana 2012). BAB II h. 25.
100
Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”:
“Untuk aktivitas sehari-harinya „RF‟ masih saya bantu kak, saya ga
tegaan, kasihan kalau lihat „RF‟ kesusahan. Saya mah sayang banget
sama „RF‟. Iya walaupun „RF‟ memilki kekurangan kaya gitu ga jadi
penghalang saya buat sayang banget sama „RF‟ kak.”43
Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”:
“Oh iya kalo aktivitas sehari-harinya masih saya bantu kak, semuanya
mamahnya yang ngelakuin karna kan „DF‟ full sama saya. Makan
juga saya yang suapin kalo dia sendiri mah suka berantakan. „DF‟ mah
ga bisa konsentrasi orangnya karena motorik halus nya kurang kak,
nulis juga mesti dititikin.”44
Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”:
“Mandi, makan, belajar, nulis, baca yang kaya gitu-gitu masih harus
saya bantu kak. Anaknya suka kerapihan dia rapih anaknya mah
makanya kalo ga rapih dia suka rewel. Minta dibantuin ini itu. Kaya
ke toilet masih saya yang ngurusin belom bener-bener bisa sendiri.
Kalo saya biarin dia sendiri ga bersih kak.”45
Informan “K” merupakan Ibu dari “AR”:
“Males dia mah anaknya, sampe menstruasi saya yang nyuciin kak.
Apa-apa juga masih saya semua yang ngurusin kaya mandi harus saya
kontrol kalo ga pasti ga bersih masih ada sabunnyalah kaya-kaya gitu
kak.”46
Dari pernyataan-pernyataan diatas tergambar bahwa pola pengasuhan yang
diberikan oleh para orang tua dari anak tunagrahita tidak mampu mandiri
sama-sama menggunakan gaya pengasuhan yang bersifat permisif (biasanya
43
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal
30 Agustus 2016
44
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal
30 Agustus 2016
45
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal
5 September 2016 46
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari AR, pada
Tanggal 5 September 2016
101
dilakukan oleh orang tua yang begitu baik dan sangat sayang kepada anaknya).
Dengan demikian orang tua yang menyediakan dirinya sebagai sumber daya
bagi pemenuhan segala kebutuhan anak menyebabkan menghambat
perkembangan dan menjadikan anak ketergantungan pada orang lain. Sehingga
anak menjadi tidak mampu untuk mandiri atau tidak mandiri.
Hal ini dijelaskan pada Bab II, halaman 52 bahwa gaya pengasuhan yang
bersifat permisif (biasanya dilakukan oleh orang tua yang begitu baik),
cenderung memberi banyak kebebasan pada anak-anak dengan menerima dan
memaklumi segala perilaku, tuntutan dan tindakan anak, namun kurang
menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan perilaku anak. orang tua yang
demikian akan menyediakan dirinya sebagai sumber daya bagi pemenuhan
segala kebutuhan anak, membiarkan anak untuk mengatur dirinya sendiri dan
tidak terlalu mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan eksternalnya.
B. PERAN SLBN 02 DALAM MENGATASI ANAK TUNAGRAHITA
1. Pendidikan anak tunagrahita
Ada beberapa model pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita diantara
adalah sekolah khusus (sekolah luar biasa bagian C dan C1/SLB-C, C1). Untuk
anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak
tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1. Upaya yang dilakukan oleh
SLBN 02 dalam mengatasi perkembangan anak tunagrahita melalui pelayanan
pendidikan dengan Kegiatan belajar-mengajar sepanjang hari penuh dikelas
khusus.
Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan
anak tuna grahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1. Hal ini seperti
102
pengamatan langsung yang dilakukan oleh peneliti dengan melihat langsung
kegiatan atau proses belajar dalam satu kelas dengan pembimbing/ pengajar
guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama kemampuannya
(tunagrahita) yang terdiri dari 8 siswa/i di SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan. Seperti
yang terlihat pada gambar berikut.
Gambar 9.
Potret Proses Belajar Dikelas Sekolah Luar Biasa (SLB)
Sumber: Observasi. 30 Agustus 2016. (Dokumentasi Peneliti)
Dari gambar tersebut terlihat bahwa anak tunagrahita sedang belajar
bersama-sama di bawah atau tidak dibangkunya masing-masing dengan
membentuk lingkaran dan kemudian mereka duduk sesuai keinginan mereka.
SLBN 02 juga memberikan pembelajaran bina diri pada anak tunagrahita. Bina
diri merupakan keterampilan awal yang diajarkan kepada kehidupan anak
sedini mungkin sebagai usaha awal memandirikan anak. Istilah bina diri lebih
luas dari istilah mengurus diri, menolong diri, dan merawat diri, karena
kemampuan bina diri akan mengantarkan anak berkebutuhan khusus
tunagrahita dapat menyesuaikan diri dan mencapai kemandirian.47
Beberapa kegiatan rutin harian (ADL) yang perlu diajarkan meliputi
47
Artikel diakses Pada Tanggal 10 Juni 2016 dari https://digilid.uns.ac.id BAB II h.29.
103
kegiatan atau keterampilan mandi, makan, menggosok gigi, kekamar kecil
(toilet), kegiatan bermobilisasi (mobilitas), berpakaian, dan merias diri
(grooming). Hal ini sesuai dengan teori hakikat bina diri pada anak tuna grahita
yaitu pada bab II halaman 56, serta diungkapkan juga oleh guru pembimbing
anak tunagrahita SLBN 02 Pagi kepada peneliti:
“Sebagian anak tunagrahita yang sudah mampu untuk mandiri bisa
mengurus dirinya sendiri karena orang tua mereka menerapkan pola
pengasuhan yang tidak memanjakan anak. Sedangkan salah satu
faktor penghambat anak tunagrahita tidak mampu mandiri diantaranya
adalah orang tua terlalu memanjakan anaknya maksudnya tidak
dibiasakan untuk melakukan sendiri agar terbiasa. Ada contoh kasus,
ada beberapa para orang tua anak tuna grahita sedang C1 yang tidak
mampu mandiri selalu didampingi oleh orangtua nya dari mulai
masuk sekolah sampai pulang sekolah dikarenakan anak yang tidak
mampu mandiri tidak bisa mengurus dirinya sendiri seperti ke kamar
kecil (toilet) untuk buang air kecil dan besar masih dibantu oleh orang
tua nya untuk mengurusnya. Dan pada jam istirahat yaitu jam 09.00
WIB para orang tua tunagrahita sedang yang tidak mampu mandiri
melakukan aktivitas rutin yaitu menyuapi anaknya.”48
Hal ini juga diungkapkan oleh Ibu “H” kepada peneliti pada saat proses
wawancara. Ibu “H” merupakan ibu dari DF:
“oh iya kalo aktivitas sehari-harinya masih saya bantu kak, saya suka
ragu jadi apa-apa masih saya control kak, kaya mandi „DF‟ mandi
sendiri udah bisa tapi saya ragu dan saya control terus. Makan juga
saya suapin. „DF‟ mah ga bisa konsentrasi orangnya karena motorik
halus nya kurang kak.”49
Guru Pembimbing:
“„DF‟ adalah salah satu anak tuna grahita sedang C1 yang tidak
mampu mandiri hal ini diperjelas dengan ketergantungan anak
terhadap orang lain. Didalam kelas juga dalam hal memahami
pelajaran „DF‟ terbilang kurang dari teman-teman sekelasnya yang
juga tuna grahita sedang. Dalam hal menulis juga „DF‟ harus dititik-
48
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Endang selaku guru pembimbing khusus tuna
grahita pada Tanggal 30 Agustus 2016
49
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal
30 Agustus 2016
104
titiki terlebih dahulu.”50
Hal ini peneliti buktikan dengan melihat langsung dan peneliti juga sempat
membantu “DF” menitik-nitiki bukunya agar “DF” dapat menulis dengan
tuntunan tersebut.51
Dalam pendekatan bina diri pada anak tuna grahita
diperlukan: baseline, kriteria, dan reinforcement. Baseline adalah kemampuan
yang dimilki anak sebelum mendapatkan perlakuan dari latihan bina diri.
Kemampuan ini untuk melihat ada atau tidaknya perubahan setelah
mendapatkan perlakuan. Untuk mengetahui kemampuan ini anak perlu
dilakukan assessment terlebeih dahulu. Sesuai teori bina diri pada anak tuna
grahita dan pada pendekatan yanmg dapat diberikan kepada anak tuna grahita
pada bab II mengenai vocastional terapy (terapi keterampilan). Vocastional
terapy yang ada di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan ini diantaranya adalah
keterampilan tataboga, keterampilan menyulam, membatik, kriya, sablon,
perbengkelan, percetakan, pengembangan diri dibidang olahraga, seni music,
IT dan automotif.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibu Indrawati Saptari
Ningsih selaku Wakil Kepala Sekolah kepada peneliti dalam wawancara:
“Sistem pembagian kelas sesuai dengan katagori atau ketunaan dan
juga kemampuan masing-masing anak. Begitu juga dengan terapi
bekerja (vacastional terapy), untuk keterampilan bekerja terlebih
dahulu pihak sekolah melakukan assessment kepada anak untuk
mengetahui keterampilan apa yang sesuai dengan bakat atau minat
anak tuna grahita. Keterampilan bagi anak tuna grahita tidak mampu
mandiri adalah keterampilan Griya. “ 52
50
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Endang selaku guru pembimbing khusus tuna
grahita pada Tanggal 30 Agustus 2016
51 Catatan lapangan (observasi), Jakarta 30 Agustus 2016, lihat lampiran 1.
52 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Indrawati selaku wakil kepala sekolah pada Tanggal
8 Agustus 2016
105
Dengan demikian program seperti ini akan sangat membantu anak tuna
grahita dalam mengembangkan bakat dan minatnya agar bisa menjadi mandiri,
bekerja nantinya serta dapat hidup bersosialisasi ke dalam masyarakat.
Pendekatan atau pelatihan seperti ini dirasa peneliti sangat bermanfaat bagi
anak tuna grahita dengan teori pendekatan atau pelatihan. Hal ini juga
disampaikan oleh Ibu Dewi selaku Guru Pembimbing Khusus anak tuna
grahita:
“Dalam hal metode apa dan persiapan sebelum proses belajar tentu
akan berbeda pada anak tuna grahita mandiri dan tidak mampu
mandiri. Metode atau persiapan tersebut diantaranya kita hanya perlu
melakukan metode modeling, menuntun atau mendorong (promting),
mengurangi tuntunan (fading), dan pentahapan (shaping). Metode
yang digunakan bagi anak tuna grahita mandiri adalah metode diskusi.
Sedangkan Pada anak tuna grahita tidak mampu mandiri memerlukan
persiapan khusus yaitu harus menyiapkan bentuk visual atau gambar
dan penyampaian pemahaman harus dituntun.”53
Pada bab II halaman 56 dijelaskan beberapa teknik yang perlu diperhatikan
dalam mengajarkan suatu tingkah laku atau keterampilan yang baru kepada
seorang siswa tuna grahita:
a. Memperhatikan model (modelling), yaitu menunjukkan kepada siswa
apa yang harus dikerjakan. Misalnya, dalam melatih mencuci tangan, anak tuna
grahita sedang memperhatikan contoh mencuci tangan yang benar yang
dilakukan oleh guru sebagai model, anak tuna grahita sedang berusaha untuk
mengamati dan mengingat apa yang telah dilakukan guru, dan dari hasil
pengamatannya diharapkan anak tuna grahita sedang dapat atau mampu
mencuci tangan dengan benar sesuai dengan contoh yang diperagakan model.
53
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Dewi selaku Guru Pembimbing Khusus Tuna
grahita pada Tanggal 30 Agustus 2016
106
b. Menuntun atau mendorong (promting) ialah melakukan atau membantu
siswa untuk mengerti apa yang harus dilakukan sebagai contoh jika anak tuna
grahita sedang dalam mencuci tangan mengalami kesulitan dalam memegang
gayung untuk mengambil air atau membuka kran air hendaknya guru
membantu memegang tangan anak untuk memegang gayung dan segera
mengambil air atau bila mencuci tangan melalui kran air, maka guru
memegang tangan anak untuk membuka kran air. Jika anak tuna grahita sedang
belum bisa melakukan sendiri, promting masih tetap diberikan secara terus
menerus.
“Hal ini peneliti membuktikan langsung dengan melihat langsung
kegiatan atau proses belajar dikelas bahwa Ibu Guru sedang menuntun
anak-anak tuna grahita tidak mampu mandiri dalam membaca surah
Ad-Duha dalam pelajaran Agama Islam dikelas.”54
c. Mengurangi tuntunan (fading), ialah mengurangi tuntunan secara
bertahap sejalan dengan keberhasilan siswa. Jika anak tuna grahita sedang
sudah mulai mampu memegang gayung atau membuka kran air untuk mencuci
tangan, maka tuntunan sedikit demi sedikit harus diberhentikan dan selanjutnya
perlu bimbingan secara verbal atau lisan dengan mengucapkan “Ayo, terus
dilakukan” atau “Ayo pegang gayung atau buka kran air dengan benar”.
d. Pentahapan (shaping) ialah membagi satu kegiatan dalam beberapa
pentahapan dimulai dari yang mudah ke yang sulit.
Pada bab II halaman 21 yaitu stimulus merupakan faktor yang penting
dalam menunjang perkembangan anak. Anak yang mendapatkan stimulasi
54
Catatan lapangan (observasi) pada Tanggal 30 Agustus 2016, lihat lampiran 1.
107
yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan
anak yang kurang/tidak mendapat stimulasi.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibu Dewi selaku salah satu
guru kelas atau pembimbing khusus anak tuna grahita kepada peneliti:
“Potensi yang dimiliki oleh anak tun grahita tidak mampu mandiri
biasanya melalui pendidikan olahraga adaptif, keterampilan kriya dan
segala sesuatu yang menuntut imajinasi seperti bentuk visual sebagai
daya tarik untuk menunjang perkembangan anak dan fasilitas seperti
itu masih kurang di sekolah ini dalam hal guna memenuhi kebutuhan
tersebut”.55
Hal tersebut diperkuat dengan pengamatan langsung yang dilakukan
peneliti, peneliti melihat anak tuna grahita tidak mampu mandiri sedang
bermain sepak bola di lapangan sekolah.
Gambar 6.
Potret pendidikan olahraga adaptif disekolah
Sumber: Observasi, 8 Agustus 2016 (Dokumentasi Peneliti)
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara bahwa anak tunagrahita
tidak mampu mandiri hanya bisa melakukan hal yang aktivitasnya dituntun
55 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Dewi selaku salah satu guru kelas atau pembimbing
khusus anak tunagrahita pada tanggal 30 Agustus 2016.
108
oleh guru dan memerlukan segala sesuatu yang menunjang daya tarik. Pada
anak tunagrahita tidak mampu mandiri biasanya hanya mengikuti keterampilan
kriya dikarenakan terdapat kelemahan pada motorik halus si anak. Stimulus
adalah faktor penunjang perkembangan anak. Anak yang mendapat stimulus
atau rangsangan yang terarah dan teratur akan lebih cepat mempelajari sesuatu
karena lebih cepat berkembang pola-pola berfikir, merasakan sesuatu, dan
bertingkah laku, bila banyak diberi rangsangan berupa dorongan dan
kesempatan dari lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pengamatan peneliti bahwa anak
tunagrahita tidak mampu mandiri hanya mampu melakukan aktivitas yang
sifatnya membutuhkan pendampingan dari guru, dan hal tersebut merupakan
salah satu karakteristik dari anak tunagrahita yang sudah dijelaskan pada Bab
II, halaman 34 bahwa karakteristik anak tunagrahita adalah mereka yang masih
membutuhkan pengawasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
109
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang permasalahan
psikososial keluarga dengan anak tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta
Selatan ditemukan beberapa pemasalahan psikososial yang dialami keluarga
diantaranya:
1. Masalah psikososial anesitas yaitu dua dari empat informan dalam
penelitian ini yaitu informan satu dan informan dua mengalami ansietas
dengan jenis ansietas (kecemasan) realistis atau obyektif dan dua informan
lainnya yaitu informan tiga dan informan empat mengalami ansietas
(kecemasan) moral dan tingkat ansietas pada tingkatan sedang, hal tersebut
dikarenakan Kecemasan sedang yang dialami oleh semua orang tua anak
tunagrahita yang menjadi informan memusatkan perhatiannya pada anak
tunagrahita sehingga anak tunagrahita mendapat perhatian yang selektif atau
lebih,hal itu dikarenakan orang tua merasa gelisah dan khawatir terhadap
kondisi dan masa depan anaknya. P
2. ermasalahan ekonomi, Masalah kesulitan hidup dan stress yang terjadi
pada keluarga khususnya orangtua anak tunagrahita dialami oleh semua
informan dalam penelitian ini bahwa permasalahan muncul dikarenakan
adanya tuntutan ekonomi. Hal yang menjadi masalah ekonomi dalam
keluarga adalah masalah kebutuhan anak tunagrahita yang berbeda dengan
anak normal pada umumnya dapat menjadi sumber pengeluaran yang besar,
karena kebutuhan medis, sosial dan pelayanan pendidikan khusus.
110
3. Permasalahan menarik diri yang dialami oleh semua orang tua yang
menjadi informan disebabkan oleh harga diri rendah yaitu perasaan negatif
terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, mersa gagal mencapai
keinginan, yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri,
rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, percaya diri
kurang sehingga orang tua menarik diri dan menghindari interaksi dengan
lingkungan sosial atau orang lain, orang tua merasa malu dan tertekan
dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung menarik diri
menyembunyikan anaknya.
Permasalahan psikososial yang dialami oleh semua informan tersebut
menyebabkan tidak berjalannya fungsi keluarga dimana fungsi ekonomi
yang diberikan oleh dua dari empat informan yaitu informan satu dan dua
yaitu orang tua tidak bisa memenuhi kebutuhan anak tunagrahita dalam hal
kesehatan seperti check-up yang harus dilakukan dan juga biaya terapi dan
pendidikan privat yang sangat dibutuhkan oleh anak, dan juga tidak
berjalannya fungsi pelindung seperti pengawasan dan pelindungan orang tua
yang kurang maksimal bagi anak tunagrahita menyebabkan munculnya
bahaya-bahaya terhadap anak.
Pola atau gaya pengasuhan yang diberikan oleh para orang tua anak
tunagrahita tidak mampu mandiri ialah dengan gaya pengasuhan yang
bersifat permisif, dimana gaya pengasuhan tersebut membuat orang tua
memanjakan anaknya dengan menyediakan dirinya sebagai sumber daya
bagi pemenuhan segala kebutuhan anaknya dan tidak mendorong anak
untuk melakukan sendiri atau mencapai kemandiriannya. Karena perasaan
111
simpati dan kasih sayang yang berlebih terhadap anak tuna grahita tidak
mampu mandiri. Kurangnya kesadaran dan pengamanan orang tua anak tuna
grahita tidak mampu mandiri pada masa natal dan post-natal menyebabkan
anak tuna grahita tersebut menjadi berbeda dengan anak normal pada
umumnya.
Faktor psikososial stimulus adalah faktor yang menunjang
perkembangan anak. Anak tuna grahita tidak mampu mandiri di SLBN 02
Pagi Jakarta Selatan tidak mendapatkan stimulus yang terarah dan terartur
dikarenakan kurangnya pemahaman orang tua dalam pengetahuan
pengasuhan anak tunagrahita dan kurangnya fasilitas yang memadai untuk
menunjang stimulasi perkembangan anak tunagarhita tidak mampu mandiri
SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan.
Peran SLBN 02 Pagi pada anak tunagrahita tidak mampu mandiri
melalui program bina diri yang dilaksanakan oleh sekolah, bahwa penerapan
dari program bina diri yang berikan oleh sekolah kepada anak tuna grahita
tidak mampu mandiri dirasa kurang maksimal yaitu pada proses waktu yang
diterima oleh anak tunagrahita dalam program bina diri dirasa kurang lebih
lama terlebih melihat kondisi daripada anak tungrahita yang tidak mampu
mandiri sehingga tidak mengantarkan anak tuna grahita tidak mampu
mandiri dapat menyesuaikan diri dan mencapai kemandirian.
112
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan fakta yang penulis peroleh, maka penulis
dapat memberikan saran-saran yang relevan bagi semua pihak yaitu kepada
orang tua yang memilki anak tunagrahita dan khususnya di SLBN 02 Pagi
Jakarta Selatan, yaitu sebagai berikut:
1. Keluarga dengan anak tunagrahita tidak mampu mandiri lebih baik
melakukan konsultasi pada ahli seperti dokter, psikolog, pekerja soisal,
dan sebaginya sesuai dengan kebutuhan anak dan juga untuk kebutuhan
psikososial keluarga itu sendiri.
2. Orang tau harus bisa lebih mengutamakan pelayanan dan menanamkan
bimbingan anak tunagrahita dari usia dini, melalui bimbingan pendidikan,
sosial, dan agama karena orang tua merupakan model bagi anak. Saat usia
dini, anak akan mudah menyerap apa yang ditanamkan oleh orang tua.
Dengan pelayanan dan bimbingan yang diberikan oleh orang tua terhadap
anak tunagrahita akan sangat berpengaruh pada konsep diri yang dimiliki
oleh anak menjadi lebih baik.
3. Orang tua anak tunagrahita sedang yang tidak mampu mandiri harus
memberikan stimulasi yang baik kepada anak dan menerapkan pola
pengasuhan yang baik seperti pola pengasuhan demokratis mendorong
anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada
tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan,
dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua
yang demokratis menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respons
113
terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku
anak yang dewasa, mandiri dan sesuai dengan usianya.
4. Berkaitan dengan proses dari program bina diri anak tunagrahita di SLBN
02 Pagi Jakarta Selatan bahwa menjalankan program bina diri secara
maksimal kepada anak tunagrahita tidak mampu mandiri agar anak
tunagrahita tidak mandiri mencapai kemandirianya dan melengkapi mutu
pelayanan dalam segi fasilitas yang dirasa kurang bagi anak tunagrahita
tidak mampu mandiri.
5. Berkaitan dengan minimnya pengetahuan orang tua terhadap pengetahuan
pola pengasuhan terhadap anak tunagrahita akan lebih baik jika SLBN 02
Pagi mengadakan pertemuan rutin orangtua atau membuka diskusi berbagi
pengetahuan dan juga pengalaman tentang pola pengasuhan anak tuna
grahita satu bulan sekali misalkan di setiap sekolah luar biasa khususnya
SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan serta perlu adanya Standar Opersional
Program (SOP) mengenai perekrutan pekerja sosial dalam menangani anak
berkebutuhan khusus tunagrahita.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Agustyawati Dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: LembagaPenelitian UIN Jakarta, 2009.
Al-Qur’an Dan Terjemahan. Jakarta: CV.Naladana, 2005.
Ancok, Djamaludin. Pengembangan Dan Perluasan Kesempatan Kerja Dalam
RangkaPeningkatanKualitasHidupPenyandangCacat.Jakarta:DepartemenS
osial RI, 1991.
Astati Dan Mulyati. Pendidikan Dan PembinaanKarierPenyandangTunagrahita
Dewasa: Depdikbud, DirektoratJenderalPendidikan Tinggi, Proyek
Pendidikan Tenaga Akademik. Jakarta: 2010.
Aziz, Safrudin, M.Pd.I, Pendidikan Seks Anak Berkebutuhan Khusus.
Yogyakarta: Gava Media, Klitren Lor GK III/15, 2015.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2007.
DEPDIKBUD, Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan
Sekolah Luar Biasa. Jakarta: 1984-1985.
Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2004.
Fahrudin, Adi. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: PT RefikaAditama,
2012.
Hermawati, Istiana.Metode Dan PraktekDalamPraktikPekerjaanSosial. Jogjakarta:
AdiCiptaKarya Nusa, 2001.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1997.
M. Djunaidi Ghony Dan Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Ismail, Asep Usman. Al-Quran Dan KesejahteraanSosial, SebuahRintisan
Membangun Paradigma Sosial Islam Yang Berkeadilan Dan
Berkesejahteraan. Tanggerang: LenteraHati, 2012.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000.
Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Roscakarya, 2006.
Roberts, Albert R dan Gilbert, Greene J. Buku Pintar Pekerja Sosial. Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia, 2009.
Rukhyat, Adang. Panduan Penelitian Bagi Remaja. Jakarta: Dinas Olahraga Dan
Pemuda, 2003.
Sarlito W. Sarwono Dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika, 2009.
SitiNapsiyahAriefuzzaman Dan LismaDiawatiFuaida, BelajarTeoriPekerjaan
Sosial. Ciputat: LembagaPenelitian UIN SyarifHidayatullah Jakarta,
2011.
Soetjiningsih, Tumbuh Kemabng Anak. Surabaya: Laboratorium Ilmu Kesehatan
Anak Universitas Airlangga, 1998.
Srilestari, Psikologi: PenanamanNilai Dan PenangananKonflikKeluarga. Jakarta:
PT. Kencana 2012.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet, 2010.
Sutjihati T. Misi PsikologiAnakLuarBiasa. Bandung: PT.RefikaAditama, 2006.
JURNAL
Djadja Rahardja. “Pendidikan Luar Biasa Dalam Perspektif Dewasa Ini”
The Journal of Jassi Anakux. Pdf
Ni wayan lisnayanti, dkk. “Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) Dengan
Tingkat Ansietas Orangtua Dalam Merawat Anak Tunagrahita Di Sdlb C
Negeri Denpasar,” Jurnal penelitian Keperawatan Research.
INTERNET
Agus, Dona. “Hak-Yang-Dimilki-Anak-Berkebutuhan.ArtikelDiaksesTanggal 9
Juni2016 Dari Http://Donaagussetiawan.Blogspot.Com/2011/09/Hak-
Yang- Dimilki-Anak-Berkebutuhan-Anak-Tunagrahita.Html
DiaksesPada10Juni2016dari
Http://Www.Academia.Edu/18858779/Pengaruh_Terapi_Kelompok
“PopulasiPenyandangTunagrahita Di Indonesia MenurutDirekturPendidikan
Khusus Dan LayananKhususKementrianPendidikan Dan Bkebudayaan
(Kemdikbud),” ArtikelDiaksesPada 27 Juni 2016 Dari Www.Scholae.Com
Terapi Psikososial, ArtikelDiakses Pada 9 Juni 2016 Dari
Www.Sribd.Com/Doc/267922422/Terapi-Psikososial
SKRIPSI
Satuti. Widianti Retno, “Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha
Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna Grahita.”(Skripsi S1 Jurusan
KesejahteraanSosialFakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia, Tahun 1993).
LAMPIRAN
Pedoman wawancara
Hari/tanggal :
Waktu :
Lokasi :
I. Identitas informan
Nama :
Jenis kelamin :
Usia :
Alamat :
Informan 1 : Wakil kepala sekolah
II. Transkip wawancara
1. Bagaimana Latar Belakang terbentuknya SLB Negeri 2 Pagi Jakarta?
2. Bagaimana proses perkembangan SLB Negeri 2 Pagi Jakarta?
3. Bagaimana Visi dan Misi dari SLB Negeri 2 Pagi Jakarta?
4. Apa sajakah yang menjadi persyaratan bagi calon anak didik untuk masuk ke SLB
Negeri 2 Pagi Jakarta?
5. Bagaimana latar belakang tenaga pengajar di SLB Negeri 2 Pagi Jakarta?
6. Bagaimana sistem pembagian kelas yang digunakan di SLB N egeri 2 Pagi Jakarta?
7. Bagaimana kerjasama antara SLB Negeri 2 Pagi Jakarta kepada lembaga lain, dalam
hal tentang minat dan bakat anak tuna greahita?
8. Pembekalan keterampilan apa sajakah yang diberikan sekolah kepada anak
tunagrahita mandiri/tidak mampu mandiri?
Pedoman wawancara
Hari/tanggal :
Waktu :
Lokasi :
I. Identitas informan
Nama :
Jenis kelamin :
Usia :
Alamat :
Informan 2 : Orang Tua
II. Transkip wawancara
1. Bagaimana kehidupan putra/putri Ibu apabila dirumah?
2. Bagaimana kemandirian putra/putri ibu apabila melakukan aktivitas sehari-hari
dirumah?
3. Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama
dengan putra/putri Ibu?
4. Jika putra/putri Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu
menyikapinya dan bagaimana dengan kondisi emosional anak bu?
5. Bagaimana kondisi emosional putra/putri Ibu apabila dirumah?
6. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan
tersendiri bagi anak tuna grahita bila dirumah?
7. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan
bakat yang dimiliki oleh putra/putri Ibu?
8. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai anak tuna grahita
pada ahli, dokter, psikolog, pekerja sosial dan seberapa seringkah?
9. Apakah masalah ekonomi keluarga menjadi suatu perdebatan didalam keluarga
dengan memilki anak tunagrahita bu?
Pedoman wawancara
Hari/tanggal :
Waktu :
Lokasi :
I. Identitas informan
Nama :
Jenis kelamin :
Usia :
Alamat :
Informan 3 : Guru
II. Transkip wawancara
1. Kalau boleh tahu, apakah ada persyaratan tertentu atau latar belakang guru
dari lulusan PLB untuk mengajar siswa Tuna grahita?
2. Berapa jumlah anak tuna grahita yang mandiri/tidak mampu mandiri di SLBN
02 Pagi Jakarta?
3. Bagaimana metode atau persiapkanBapak/Ibu guru sebelum proses belajar-
mengajar di sekolah bagi anak tuna grahita, apakah ada perbedaan persiapan
untuk anak tuna grahita mandiri/tidak mampu mandiri?
4. Bagaimana kenaikan kelas pada anak tuna grahita di SLBN 02 Pagi Jakarta?
5. Bagaimana faktor-faktor yang mendukung ataupun menghambat anak tuna
grahita untuk mengembangkan minat dan bakatnya di SLB Negeri 02 Pagi
Jakarta?
6. Bagaimana solusi yang tepat menangani permasalahan yang dialami anak tuna
grahita mengenai masalah mencerna pelajaran, intelektual, gangguan bicara,
kesulitan menulis dan bagaimana menumbuhkan potensi yang dimiliki anak
tuna grahita?
Traskrip Wawancara
Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita
Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan
Hari/tanggal : Senin, 8 Agustus 2016
Waktu : 14.30 WIB
Lokasi : Di SLBN 2 Pagi
Identitas informan
Nama : Indrawati Saptari Ningsih
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 42 Tahun
Alamat : Komplek Departemen Agama. Jln. Sunan Murya 1 Blok F No.2A Rt
10/15 Fabuaran Bojong Gede Bogor Jawa Barat.
Informan : Wakil kepala sekolah
Pertanyaan:
1. (Peneliti) Bagaimana Latar Belakang terbentuknya SLB Negeri 2 Pagi Jakarta ini
bu?
(Wakil Kepala Sekolah), Sekolah berdiri pada tanggal 5 Nopember 1980. Dengan
SK Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI No. 001/0/1986 tentang Sekolah Luar
Biasa.
2. (Peneliti) Bagaimana proses perkembangan SLB Negeri 2 Pagi Jakarta?
(Wakil Kepala Sekolah), Sekolah berdiri pada tanggal 5 Nopember 1980. Dengan
SK Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI No. 001/0/1986 tentang Sekolah Luar
Biasa. Kemudian menjadi SDLB Negeri dengan Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 1514 Tahun 1988 tentang Pengesahan
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Pemerintah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dengan nama SDLB Negeri 01 Kelurahan lenteng Agung Kecamatan Pasar
Minggu Jakarta Selatan.
Sesuai dengan berjalannya waktu, SDLB Negeri 01 Lenteng Agung pun
mengalami perubahan nomenklatur sesuai dengan Keputusan Gubernur Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1358/2007 tentang Perubahan Nama
Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri 01 lenteng Agung menjadi SLB Negeri 02 Jakarta
Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.
Posisi SLB Negeri 02 Jakarta berada di lingkungan strategis secara ekonomi,
eksistensinya terletak dalam ring permukiman penduduk yang sedang berkembang
secara pesat di daerah Kawasan Cagar Budaya Betawi tepatnya di Daerah Jagakarsa
Jakarta Selatan, di sebelah utara berdekatan dengan Taman Wisata Kebon Binatang
Ragunan dan Gelanggang Olah Raga Ragunan, disebelah selatan berdekatan
dengan Taman Rekreasi Berbudaya Betawi yaitu Situ Babakan dan kampus
Universitas Indonesia.
3. (Peneliti) Bagaimana Visi dan Misi dari SLB Negeri 2 Pagi Jakarta?
(Wakil Kepala Sekolah), SLBN 2 Pagi memiliki beberapa visi dan misi yaitu:
1. Visi
Mengembangkan kemampuan berbahasa dan komunikasi untuk
meningkatkan iman dan taqwa, pengetahuan dan keterampilan serta kemandirian
peserta didik.
2. Misi
Untuk mewujudkan visi tersebut, sekolah menentukan langkah-langkah
strategis yang dituangkan dalam misi sebagai berikut:
a. Melakukan kajian dan penyesuaian kurikulum.
b. Menyelenggarakan pembelajaran yang aktif, interaktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan (PAIKEM), serta bermakna, kooperatif, dan dinamis.
c. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bernuansa religius.
d. Membangun karakter dan etos kerja peserta didik.
e. Menanamkan konsep diri yang positif sehingga dapat beradaptasi dan
bersosialisasi di masyarakat
f. Mengembangkan sumber daya manusia (pendidik dan peserta didik) yang
profesional, fungsional, berkualitas, kreatif, dan inovatif.
g. Menjalin kerja sama yang sinergis di lingkungan warga sekolah, dunia industri,
dan dunia usaha.
4. (Peneliti) Apa sajakah yang menjadi persyaratan bagi calon anak didik untuk masuk
ke SLB Negeri 2 Pagi Jakarta bu?
(Wakil Kepala Sekolah), persyaratan PPDB calon peserta didik baru diantaranya
1. Memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan,
a. Untuk sekolah tujuan TKLB
1. Berusia 4 tahun pada hari pertama masuk sekolah untuk kelompok A.
2. Berusia 5 tahun pada hari pertama masuk sekolah untuk kelompok B.
3. Memiliki akte kelahiran keterangan laporan kelahiran dari kelurahan.
b. Untuk sekolah tujuan SDLB
1. Berusia antara 7 sampai dengan 12 tahun pada hari pertama masuk
sekolah
2. Calon peserta didik baru yang berusia minimal 6 tahun pada hari
pertama masuk sekolah dapat melakukan pendaftaran
3. Tidak diisyaratkan pernah mengikuti pendidikan TK, PAUD
4. Memilki akte kelahiran/surat keterangan laporan kelahiran dari
kelurahan.
c. Untuk sekolah tujuan SMPLB
1. Memiliki SKHUN SD/MI, DNUN Paket A atau SKYBS
2. Berusia maksimal 18 tahun pada hari pertama masuk sekolah
d. Untuk sekolah tujuan SMALB
1. Memiliki SKHUN SMP/SMPLB/MTs, DNUN Paket B atau SKYBS,
2. Berusia maksimal 21 tahun pada hari pertama masuk sekolah.
2. Menyerahkan fotokopi Kartu Keluarga (KK) serta memperlihatkan KK
asli.
5. (Peneliti) Bagaimana latar belakang tenaga pengajar di SLB Negeri 2 Pagi Jakarta
bu?
(Wakil Kepala Sekolah), tenaga pengajar di SLBN 2 ini 90% dari lulusan S1 PLB
dari berbagai universitas diantaranya Ikip Jakarta atau UNJ.
6. (Peneliti) Bagaimana sistem pembagian kelas yang digunakan di SLB N egeri 2
Pagi Jakarta bu?
(Wakil Kepala Sekolah), pembagian kelas sesuai dengan katagori/ketunaan
kemampuan masing-masing anak. anak akan di seleksi melalui proses assessment
kemudian di evaluasi dan barulah ditempatkan ke kelas masing-masing sesuai
dengan kebutuhan anak.
7. (Peneliti) Bagaimana kerjasama antara SLB Negeri 2 Pagi Jakarta kepada lembaga
lain, dalam hal tentang minat dan bakat anak tuna greahita bu?
(Wakil Kepala Sekolah), SLBN 2 ini berkerja sama dengan banyak Instansi
diantaranya Sikolog dari Yayasan Anggelin, puskesmas Lenteng Agung, hotel,
percetakan Mandiri, Museum Seni dan Budaya, lembaga keterampilan Hantara,
Laundry, Lembaga Widya, Soefenir, bengkel Dedi Motor, Yayasan Emmanual,
berbagai perusahaan sepertio Kaki Tiga, Kacang Garuda, guna untuk melibatkan
atau menyalurkan peserta didik yang sudah lulus untuk bekerja atau menyalurkan
bakatnya sesuai kriteria yang di ajukan oleh pihak terkait.
8. (Peneliti) Pembekalan keterampilan apa sajakah yang diberikan sekolah kepada
anak tunagrahita mandiri/tidak mampu mandiri bu?
(Wakil Kepala Sekolah), Pembekalan keterampilan di SLBN 2 ini diantaranya Tata
boga, griya, seni musik, perbengkelan, percetakan, komputer, menyulam, dan
dibidang olahraga seperti voli, booce, sepak bola. Untuk anak tuna grahita tidak
mampu mandiri disini hanya mengikuti pembekalan keterampilan Griya saja
dikarnakan ketinggalannya dari teman-temannya.
Traskrip Wawancara
Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak
Tunagrahita Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan
Hari/tanggal : Selasa, 30 Agustus 2016
Waktu : 07.31 WIB
Lokasi : SLBN 2 Pagi Jakarta
I. Identitas informan
Nama : Dewi
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 44 Tahun
Alamat : Tebet
Informan : Guru Khusus Pembimbing Anak Tunagrahita
Pertanyaan:
1. (Peneliti) Kalau boleh tahu, apakah ada persyaratan tertentu atau latar
belakang guru dari lulusan PLB untuk mengajar siswa Tuna grahita bu?
(Guru), Lulusan PLB dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
2. (Peneliti) Berapa jumlah anak tuna grahita yang mandiri/tidak mampu
mandiri di SLBN 2 Pagi Jakarta ini bu?
(Guru), jumlah siswa anak tunagrahita yang mandiri itu 135 siswa dan yang
tidak mampu mandiri ada 19 anak.
Mandiri: komunikasi baik, nalar cukup baik, bisa merawat diri tanpa dibantu
dan mampu berperestasi.
Sedangkan tidak mampu mandiri: nalar kurang baik, konsentrasi kurang,
moody, komunikasi kurang baik, dibantu dalam merawat diri, dan tidak dapat
berprestasi.
3. (Peneliti) Bagaimana metode atau persiapkan Ibu sebelum proses belajar-
mengajar di sekolah bagi anak tuna grahita, apakah ada perbedaan persiapan
untuk anak tuna grahita mandiri/tidak mampu mandiri bu?
(Guru), oh iya ada perbedaan tentunya kak terhadap persiapan serta metode
yang akan digunakan kepada anak tungrahita yang mandiri dan yang belum
mampu untuk mandiri. Kalau untuk anak tunagrahitra mandiri kita biasanya
memakai metode diskusi dan menjalankan metode ajar sesuai kurikulum.
Sedangkan kepada anak tunbagrahita tidak mampu mandiri kita biasanya
memakai metode visual atau gambar agar menarik dan tidak membosankan
bagi si anak. pada anak tunagrahita tidak mampu mandiri perlu dituntun dalam
proses belajar.
4. (Peneliti) Bagaimana kenaikan kelas pada anak tuna grahita di SLBN 02 Pagi
Jakarta bu?
(Guru), kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun ajaran. Kriteria
kenaikan kelas diatur oleh masing-masing direktorat terkait. Sesuai dengan
ketentuan PP 19/2005 PASAL 72 ayat (1), peserta didik dinyatakan lulus dari
satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:
1. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran
2. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata
pelajaran.
3. Lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran pengetahuan dan
teknologi
4. Lulus Ujian Nasional.
5. (Peneliti) Bagaimana faktor-faktor yang mendukung ataupun menghambat
anak tuna grahita untuk mengembangkan minat dan bakatnya di SLB Negeri
02 Pagi Jakarta?
(Guru), faktor yang mendukung seperti menyiapkan metode belajar yang
menuntut imajinasi dan membuat daya tarik siswa agar semangat dan tidak
membosankan dalam belajar seperti menyiapkan gambar, namun untuk segala
persiapan setiap guru yang menyiapkan karna faktor fasilitas dari bsekolah
tidak menyiapkan.
6. (Peneliti) Bagaimana solusi yang tepat menangani permasalahan yang
dialami anak tuna grahita mengenai masalah mencerna pelajaran, kelemahan
intelektual, gangguan bicara, kesulitan menulis dan bagaimana menumbuhkan
potensi yang dimiliki anak tuna grahita bu?
(Guru),
a. Mencerna pelajaran: solusi yang tepat menanganinya, berikan perintah
satu per satu atau secara berulang. Gunakan seluruh panca indra dalam
belajar. Kemudian cobalah mengidentifikasi indra mana yang paling
menonjol digunakan oleh anak. pengulangan sangat penting untuk
dilakukan. Gunakan contoh-contoh dan istilah-istilah yang konkret dan
literal.
b. Kelemahan intelektual: melaui panca indra, dengan keterlibatan yang
aktif, dengan kasih dan perhatian yang besar serta dengan disiplin yang
konsisten. Memberikan kesempatan kepada mereka untuk lebih sering
berbicara atau berbagi. Beri kesempatan pada anak untuk bertanya,
berfikir dan menanggapi sebisa mungkin sesuai dengan kemampuan
mereka. Gunakan cerita, bermain peran (role play) boneka, music,
kegiatan belajar agama, dan permainan-permainan untuk memberikan
pelajaran.
c. Ganguan bicara: redakan frustasi. Jangan memberikan penolakan kepada
anak, sebisa mungkin libatkan anak dalam semua kegiatan. Menggunakan
berbagai cara berkomunikasi seperti gerakan tubuh, tanda-tanda, bahasa
isyarat, pantonim, membaca gerak bibir, tulisan dan gambar.
d. Kesulitan menulis: dengan mengajarkan anak memegang alat tulis yang
benar agar cara menulisnya pun menjadi benar. Jangan terlalu buru-buru.
Traskrip Wawancara
Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita
Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan
Hari/tanggal : Senin, 5 September 2016
Waktu : 11. 15 WIB
Lokasi : SLBN 02 Pagi Jakarta Sealatan
Identitas informan
Nama : Rahmayani
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 50 Tahun
Alamat : Pasar Minggu gang, Bima Jaya Rt02/04 No.7.
Informan : Orang Tua RF
Pertanyaan:
1. Selamat pagi Ibu, apa kabar bu?
Jawab: pagi kak, alhamdulillah baik kak, kakak sendiri gimana?
2. Alhamdulillah baik juga bu, mau tanya-tanya soal rafi gapapa kan bu?
Jawab: iya kak silahkan, soal apa aja juga boleh kok.
3. Bagaimana kehidupan putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab: gitu-gitu aja sih kak monoton. Sekolah, pulang sekolah terus dirumah aja
kak jarang keluar rumah, saya engga bolehin kak, saya juga jarang sih keluar
rumah. Tetangganya mah disana kurang ramah-ramah kak.
4. Bagaimana kemandirian putra ibu apabila melakukan aktivitas sehari-hari
dirumah bu?
Jawab: untuk aktivitas sehari-harinya kaya mandi, makan berpakaian, b elajar
masih saya bantu kak, saya gak tegaan, kasihan kalau liat rafi kesusahan.
5. Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama
dengan putra Ibu?
Jawab: oh ga ada riwayat dari keluarga atau keturunan gitu kak, rafi aja yang
begitu, waktu saya hamil 4 bulan rafi, waktu itu saya jarang makan kak, ih saya
mah kurus banget sakit-sakitan jadi kurang gizi gitu rafi pas waktu kandungan.
Kalo dinget-inget mah saya nyesel banget kak kasihan liat rafi kaya gitu, tapi
kalau liat tingkahnya yang ga bisa dikontrol bikin saya stress juga kak, ampe elus
dada, dan lagi kalo berhadapan sama masyarakat saya ada perasaan minder juga
sih kak kadang-kadang.
6. Jika putra Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu
menyikapinya bu?
Jawab: kalo rafi berprestasi wih saya sama ayahnya pastinya seneng banget kak.
Kaya rafi pernah pakai baju berkancing sendiri ya walaupun ada beberapa
kancing yang terlewatkan, tapi saya sama ayahnya kasih tepuk tangan kak biar dia
termotivasi gitu, eh kesononya males dia saya deh yang ngurusin.
7. Bagaimana kondisi emosional putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab: oh ga stabil kak, kalo udah ngambek suka ngamuk bikin saya stress.
Apalagi kalo ditempat umum saya suka ada perasaan malu kak kalo dia ngamuk
di tempat umum kak.
8. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan
tersendiri terhadap putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab:kasih perhatian lebih buat rafi, harus sabar dan memaklumi kak ngadepin
rafi. Alhamdulillah sekarang saya udah dibantuin sama ayahnya ngurusin rafi nya,
soalnya kan ayahnya udah pensiun jadi ada waktu buat bantu ngurusin rafi.
9. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan
bakat yang dimiliki oleh putra Ibu?
Jawab: palingan saya mah Cuma ngedampingin terus rafi, kalau untuk les gitu
engga rafi mah kak, biayanya ga ada terus terapi atau konsul sama dokter juga
engga kak. Ayahnya udah pensiun dan Cuma usaha warung sembako aja dirumah
jadi ya gitu ekonomi keluarga ga mencukupi untuk terpenuhinya kebutuhan rafi
secara menyeluruh.
10. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai putra Ibu pada ahli,
dokter, psikolog, pekerja sosial dan kalo iya nseberapa sering bu?
Jawab: engga sih kak. Palingan konsultasi sama gurunya aja disekolah.
Traskrip Wawancara
Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita
Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan
Hari/tanggal : Senin, 5 September 2016
Waktu : 11. 15 WIB
Lokasi : SLBN 02 Pagi Jakarta Sealatan
Identitas informan
Nama : Herutami
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 43 Tahun
Alamat : Kebagusan Dalam 1. Jakarta Selatan
Informan : Orang Tua DF
Pertanyaan:
1. Siang amamhnya dafa, mau tanya-tanya soal dafa gapapa kan yah mamahnya
dafa?
Jawab: siang kak, eh si kakak udah lama ga keliatan deh. Iya kak boleh yuk
silahkan.
2. Alhamdulillah baik juga bu, mau tanya-tanya soal rafi gapapa kan bu?
Jawab: iya kak silahkan, soal apa aja juga boleh kok.
3. Bagaimana kehidupan putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab: dafa kalau dirumah disiplin kak, nih ya kalo pulang sekolah dia taro
sepatunya dirak sepatu dan kalau abis main barangnya disimpen ditempatnya
dirappiin sama dia. Kalaudirumah jarang keluar kak palingan mainnya sama
adiknya. Saya suka ada perasaan minder kak kalau ke mall gitu kak, orang liatnya
tuh suka ngebedaan gitu kak.
4. Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama
dengan putra Ibu?
Jawab: ga ada riwayat sama sekali kak dari keluarga, jadi tuh ya waktu dafa usia
3 tahun pernah mengalami kecelakan samppe-sampe gegerotak kak diperiksa
EEG kata dokter dafa otaknya mengalami kelainnya akibat benturan hebat
dikepalanya, katanya dafa mengalami keterbelakangan mental kak tunagrahita.
5. Jika putra Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu
menyikapinya bu?
Jawab: kalo dafa berprestasi palingan saya kasih pujian aja sih kak, kalo dikasih
hadiah suka nagih dia mah, boros kan jadinya. Biaya pengeluaran buat dafa aja
lumayan besar kak, he eh iya kak, belom biaya terapinya, biaya lesnya dafa ikut
les abis pulang sekolah kak, pengeluran keluarga yang lebih besar dibandingkan
pendapatan keluarga bikin saya sama ayahnya stress kak. Ayahnya kan pegawai
swasta kak.
6. Bagaimana kondisi emosional putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab: oh ga stabil kak, kalo udah ngambek suka ngamuk bikin saya stress.
Apalagi kalo ditempat umum saya suka ada perasaan malu kak kalo dia ngamuk
di tempat umum kak.
7. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan
tersendiri terhadap putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab:emosinya dia mah kalo diomelin suka ngomelin balik, tapi dia takut sama
ayahnya jadi kalo dimarahin sama ayahnya dia takut kak. Ayahnya mah tegas
disiplin.
8. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan
bakat yang dimiliki oleh putra Ibu?
Jawab:lebih kasih perhatia penuh aja sih ke dafa kak. Adiknya diurusin sama
pengasuh kak iya biar ga kerepotan juga saya ngurusin dafa aja saya kualahan
kak, stress khwatir juga suka gelisah mikirin masa depannya gimana ya kak, kalo
orang tuanya ga ada gimana nasibnya dafa belom bisa mandiri atau ngurus diri
sendiri gitu kak.
9. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai putra Ibu pada ahli,
dokter, psikolog, pekerja sosial dan kalo iya nseberapa sering bu?
Jawab: iya palingan sama dokter itu kan ka pas dafa terapi, konsultasinya.
Disekolah juga sih sama psikolog. Sama guru pembimbing kelas dafa juga kak.
Traskrip Wawancara
Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita
Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan
Hari/tanggal : Senin, 5 September 2016
Waktu : 09.15 WIB
Lokasi : SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan
Identitas informan
Nama : Yanti Yulianti
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 43 Tahun
Alamat : Bukit Cengkeh 2 Blok D 8 No. 16 Deasa Tugu Cimanggis Depok.
Informan : Orang Tua EG
Pertanyaan:
1. Selamat pagi ibu, apa kabarnya bu? Mau tanya-tanya soal Ega gapapa kan bu?
Jawab: pagi kak, eh sih kakak baru keliatan lagi hehe, iya gapapa kak.
2. Apa yang Ibu ketahui tentang SLB Negeri 02 Pagi Jakarta bu?
Jawab: oh saya cari-cari sendiri kak info sekolah ini. setelah saya survey sama
ayahnya. Baru deh saya daftarin ega disini. Ya ga begitu jauh-jauh banget lah dari
rumah.
3. Bagaimana kehidupan putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab: ega jarang keluar rumah kak, apalagi main diluar jarang kak. Palingan
dirumah aja nonton tv sama mainin hp ayahnya. Dia sih ngerti main hp, tp pernah
kak, waktu itu asal dipencet-pencet aja sama ega, eh nyambung ke temen
ayahnya.
4. Bagaimana kemandirian putra ibu apabila melakukan aktivitas sehari-hari
dirumah bu?
Jawab: Ega makan masih disuapin kak, dalam hal belajar, nulis, baca masih harus
dituntun. Buang air kecil sama besar masih saya yang nyuciin kak, kalo dibiarin
dia yang nyuci ga bersih nyucinya dia. Makanya disekolah gini saya tungguin
sampe pulang kalo ketoilet nanti saya temenin. Pernah kak ngompol di kelas pas
saya lagi ga nungguin eh bu guru yang bersihin kan saya jadi malu ya kak.
Makanya sejak saat itu saya ga pernah absen nungguin ega di sekolah.
5. Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama
dengan putra Ibu?
Jawab: ga ada riwayat dari keluarga ayahnya dan juga saya bahkan neneknya juga
engga kak. Cuman pada saat ngandung emang agak lemah pada saat itu. Saya
sering sakit-sakitan.
6. Jika putra Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu dan keluarga
menyikapinya bu ?
Jawab: kalau ega melakukan hal-hal baik iya kak, pasti dipuji nanti ega nya jadi
seneng, saya juga seneng, terus kalau ega melakukan kesalhan paling saya kasih
teguran, saya kasih tau gini, itu ga boleh dek itu salah, gitu kak. Ega mah jarang
saya marahin soalnya dia ga bisa dikerasin kak.
7. Bagaimana kondisi emosional putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab: emosinya dia mah ga stabil kak. Kadang kalo ngambek bisa-bisa ngamuk.
Saya sama keluarga sabar ngadepinnya, pengertian karna kondisi yang dialami
Ega.
8. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan
tersendiri terhadap putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab: iya kak harus dikasih perhatian lebih kan. Kalau dirumah apa-apa yang
dibutuhin sama ega, dia pasti nyari saya. Saya lebih banyak memusatkan
perhatian sama ega karena kan dia membutuhkannya.
9. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan
bakat yang dimiliki oleh putra Ibu?
Jawab: saya sih pengennya latihan kemandirian gitu kak, paling peran saya hanya
mendampingi Ega selalu kak. Kaya gini gitu saya temenin di sekolah dimana-
mana say temenin.
10. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai putra Ibu pada ahli,
dokter, psikolog, pekerja sosial dan kalo iya seberapa sering bu?
Jawab: iya dulu mah sering konsultasi sama doktek, psikolog gitu. Kalo sekarang
mah udah jarang kak.
Traskrip Wawancara
Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita
Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan
Hari/tanggal : Sernin, 5 September 2016
Waktu : 10. 30 WIB
Lokasi : SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan
Identitas informan
Nama : Khodijah
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 48 Tahun
Alamat : Jl. Kalibata Utara Rt 08/ Rw 07 No. 19.
Informan : Orang Tua “AR”
Pertanyaan:
1. Siang ibu, apa kabar? Mau tanya-tanya mengenai anisa gapapa kan bu?
Jawab: siang juga kak, Alhamdulillah baik kak, iya boleh kak, silahkan.
2. Apa yang Ibu ketahui tentang SLB Negeri 02 Pagi Jakarta bu?
Jawab: sekolah luar biasa untuk anak berkebutuhan khusus, anak saya kan
kebetulan anak bertkebutuhan khusus tunagrahita seperti yang kakak ketahui kan
kak. anisa sekolah disini deh.
3. Bagaimana kehidupan putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab: biasa aja sih kak, jarang main diluar rumah meilia mah. Dirumah aja
seharian kalo ga sekolah kalo libur gitu kak.
4. Bagaimana kemandirian putra ibu apabila melakukan aktivitas sehari-hari
dirumah bu?
Jawab: meilia orangnya mah rapih dia, tapi mandi, pake baju semuanya masih
harus dibantu kak, anaknya juga maunya rapih. Suka merengut aja kalo ga rapih
gitu. Nah kalo dating bulan emang saya juga yang nyuciin kak, dia ga mau “geli”
katanya lagian juga ga bersih dia mah kalo nyuci sendiri.
5. Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama
dengan putra Ibu?
Jawab: ga ada riwayat sih kak, emang ujian dari Allah buat kita ya kak. Waktu
pas kandungan suka panas emang kak, terus saya terapi urut dideket rumah. Terus
saya juga ke bidan suka periksa eh disaranin ke RS, saya ke rumah sakit Cipto
melahirkan disana dan dirawat seminggu di rumah sakit kak. Setelah itu saya
emang sering kontrol eh malahan dibilang kalo anak saya ga bisa jalan lah, ga
bisa dengerlah. Yaudah saya sama ayahnya Cuma palingan terapi urut ajalah,
lagian anak saya dibilang begitu ya.
6. Jika putra Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu
menyikapinya?
Jawab: kalau anisa salah mah pasti saya marahin kak, biar dia tau kalau yang dia
perbuat itu salah biar ga diualngin lagi, terus kalau berprestasi saya suka peluk
terus saya kasih pujian kadang saya kasih hadiah juga sih kak.
7. Bagaimana kondisi emosional putra Ibu apabila dirumah?
Jawab: huh bener-bener deh kak, emosinya ga kekontrol kak. Suka kasar sama
orang dia mah.
8. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan
tersendiri terhadap putra Ibu apabila dirumah bu?
Jawab: bentuk perhatian lebih yang saya berikan palingan ya saya selasa
mendampingi ya saya suka gelisah, khawatir gitu mikirin masa depannya. Anisa
kan perempuan ka, kalau orang tuanya ga ada siapa yang ngurusin bener-bener
kaya saya gini.
9. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan
bakat yang dimiliki oleh putra Ibu?
Jawab: saya dukung bamnget apa aja asal itu demi kebaikan anisa mah saya
dukung banget. Saya kasih perhatian yang maksimal kak, saya sampe berhenti
bekerja kak, buat full ngusrusin anisa, dan udah ga diasuh lagi sama
pengassuhnya. Saya kerja juga karna buat bantu biaya keluarga , pengeluaran
keluarga besar kak, belum lagi untuk anisa yang butuh pengeluaran besar, kaya
buat dia terapi, obatnya, sama kebutuhan-kebutuhan guna menunjang si anak,
dulu sih iya rutin karna saya bantu pendapatan keluarga dengan bekerja sekarang
udah engga kak. Jadi anisa juga udh ga terapi dan segala macem, ngurus dirumah
aja tanpa terapi kak.
10. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai putra Ibu pada ahli,
dokter, psikolog, pekerja sosial dan kalo iya seberapa sering bu?
Jawab: dulu sih iya, sekarng udah ga pernah konsul kemana-mana lagi kak.
Ngurusin aja dirumah.
Hasil dokumentasi
Wawancara dengan Ibu Indrawati
selaku wakil kepala sekolah
Program keterampilan
Kumpulan foto prestasi siswa
Foto peneliti bersama Ibu Dewi guru pembimbing anak tunagrahita
Kegiatan olahraga adaptif
Foto peneliti bersama dengan orang tua
anak tunagrahita tidak mampu mandiri setelah selesai wawancara
Foto peneliti bersama anak tunagrahita mandiri
Proses belajar dikelas
Prestasi siswa di SLBN 02 Jakarta Selatan
Foto peneliti bersama dengan Ibu Yulianti selaku
orang tua dari EG anak tunagrahita tidak mampu mandiri
.
Foto peneliti dalam proses wawancara
dengan orang tua anak tunagrahita/ Informan.
Dokumen persayaratan penerimaan
siswa/i baru di SLBN 02 Jakarta Selatan
top related