pembahasan lapkas emergesi
Post on 05-Dec-2015
212 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Ny. M, 58 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang muncul
mendadak pada saat pasien sedang berjalan didalam rumah dan semakin memberat 3 jam
smrs. Nyeri dada dirasakan sebanyak 2x dimana nyeri dada pertama dirasakan > 5 menit dan
nyeri dada kedua dirasakan > 15 menit. Nyeri dada dirasakan menetap, seperti ditimpa beban
yang berat, tidak menjalar ke rahang sebelah kiri ataupun ke lengan sebelah kiri. Nyeri dada
dapat hilang sebentar dengan istirahat sebentar, sebelum pasien dibawa ke RS. Keluhan mual
(-), pusing (-), sakit kepala (-), sesak (-), berdebar-debar (+), badan lemah (+), kulit terasa
dingin (+). Riwayat HT (-), Diabetes Mellitus (+), kolesterol (-), asam urat (-), merokok (-).
Dari pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan ; keadaan umum : tampak lemah, kesadaran :
compos mentis, TD : 100/70 mmHg, HR : 120x/menit, RR : 24x/menit, suhu: 36,5 C, Leher :
peningkatan JVP (-), jantung : DBN, paru : DBN, ekstremitas : edema (-), perfusi perifer
(look :pucat, feel : dingin, basah, CRT <2”). Pasien sempat diberikan pertolongan selama 45
menit berupa Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan meninggal dunia dikarenakan apneu yang
mendadak setelah pemeriksaan tanda-tanda vital terakhir didapatkan, TD : 60/40 mmHg,
HR : sulit dinilai (teraba lemah), RR: 16x/menit, Temp: 36,3 mmHg, ekstremitas : perfusi
perifer (look : pucat, Feel: dingin, basah, CRT >2”). Penyebab kematian dari pasien diduga
dikarenakan syok kardiogenik et.causa infark miokard akut dengan Diabetes Mellitus tipe II.
Infark Miokard Akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard akibat iskemia hebat
yang terjadi secara tiba-tiba. Kejadian ini berhubungan erat dengan adanya thrombus yang
terbentuk akibat rupturnya plak ateroma. Selama berlangsungnya proses agregasi, platelet
melepaskan banyak ADP, tromboksan A2 dan serorotonin. Ketiga substansi ini akan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah koroner yang aterosklerotik. Apabila keadaan
ini mengakibatkan oklusi serius pada arteri koroner, maka akan terjadi infark miokard. Secara
anatomi a.koronaria dibagi menjadi cabang epikardial yang memperdarahi epikard dan
bagian luar dari miokard, dan cabang profunda yang memperdarahi endokard dan miokard
bagian dalam. Apabila a.koronaria yang utama tersumbat, maka akan terjadi infark miokard
transmural yang mana kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding miokard.1
Patogenesis terjadinya IMA yang terdiri dan STEMI dan NSTEMI juga disebabkan
karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen di miokard akibat
atherosclerosis atau plak. Proses terjadinya fissure dan rupture plak adalah terjadi oklusi total
1
atau hampir total sering terjadi secara tiba-tiba pada arteri yang sebelumnya sudah
mengalami stenosis. Plak matur terbentuk dari dua komponen yaitu inti kaya lipid dan protein
matriks ekstraselular yang membentuk fibrous cap. Adanya penumpukan lemak yang
berlebihan serta inflitrasi sel busa berhubungan dengan fissure dan rupture plak. Sebagian
besar lesi ini mengalami rupture pada tempat yang mengalami stress mekanik yang paling
besar, misalnya pada daerah pertemuan plaque cap dengan intima normal sekitarnya, atau
pada daerah lengkungan penumpukan lemak. Fissure terbentuk pada daerah cap yang lemah
dan bukan pada bagian yang mengalami stress besar. Hal ini berhubungan dengan proteinase
yang disekresikan oleh makofag yang dapat merusak fibrous cap.1
Thrombosis local dapat terjadi setelah rupture plak. Inti lipid merupakan substrat
utama pembentukan thrombus yang kaya platelet. Otot polos maupun busa dalam inti
berhubungan dengan ekspresi tissue factor pada plak yang tidak stabil. Apabila terjadi kontak
dengan darah, tissue factor berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang mengakibatkan terbentuknya thrombin dan penumpukan fibrin local.
Beberapa lesi vascular akut dapat pulih kembali jika fisura dapat diperbaiki oleh adanya
keseimbangan antara thrombosis dan trombolisis. Agregasi platelet dan pelepasan komponen
granuler yang dapat meningkatkan perlekatan platelet, vasokonstriksi dan pembentukan
thrombus merupakan respon yang terjadi alibat rupture dinding endotel. Faktor sistemik dan
inflamasi juga berperan pada terbentuknya intermitten thrombosis yang merupakan
karakteristik Sindrom koroner akut (SKA). Reaktan yang dilepaskan pada fase akut
inflamasi, sitokin, infeksi kronis dan katekolamin dapat menyebabkan rangsangan sistemik
yang dapat meningkatkan produksi tissue factor, aktivitas prokoagulan dan hiperagregabilitas
platelet. Walaupun bukan merupakan pathogenesis dasar SKA, vasospasme episodic dapat
mengubah plak arteri koroner yang sebelumnya stabil menjadi tidak stabil yaitu terjadi
rupture intima, penetrasi makrofag dan agregasi trombosit.1
Diagnosis untuk menegakkan IMA adalah adanya nyeri dada khas infark, perubahan
gambar EKG dan kenaikan biomarker jantung seperti enzim creatine kinase (CK) creatine
kinase myocardial band (CKMB), mioglobin dan troponin. Dari anamnesis yang didapatkan
bahwa pasien mengeluhkan nyeri dada yang dirasakan menetap seperti ditimpa beban yang
berat, tidak menjalar ke rahang sebelah kiri ataupun ke lengan sebelah kiri yang semakin
2
memberat 3 jam smrs. Nyeri dada dapat hilang sebentar dan kembali muncul lagi. Nyeri dada
dirasakan sebanyak 2x, dimana nyeri dada pertama berlangsung selama >5 menit, dan yang
kedua muncul selama lebih dari 15> menit. Selain itu pasien juga merasakan dada berdebar-
debar, tidak ada mual dan muntah. Pasien juga memiliki riawayat penyakit kolesterol dan
diabetes mellitus. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan hipptensi, kulit pucat dan
berkeringan.1
Menurut teori yang didapat, nyeri dada dapat dikatakan sebagai “angina pectoris”
akibat infark miokard dimana memiliki karakteristik yang khas yaitu berupa nyeri dada
substernal dan menjalar tangan kiri, bahu atau leher. Kualitas nyeri biasanya dirasakan
berupa nyeri timbul sebagai rasa tertindih, rasa berat atau seperti diremas-remas. Kuantitas
nyeri dirasakan lebih dari 20 menit dengan intensitas nyeri makin lama makin bertambah.
Tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Sebagian besar disertai gejala sistemik
seperti keringat dingin, mual, muntah, sesak, berdebar-debar atau lemas. Perlu diketahui juga
bahwa penderita pada umur lanjut atau diabetes mellitus, IMA dapat terjadi tanpa nyeri dada.
Bila telah terjadi komplikasi seperti gagal jantung, maka dapat ditemukan irama gallop atau
ronki basah. Bila terjadi aritmia dan hipotensi maka penderita mungkin tampak pucat
danberkeringat dingin. Kadang-kadang pasien IMA datang dengan keluhan nyeri ulu hati,
dada rasa terbakar atau rasa tidak nyaman di dada yang sulit digambarkan penderita.
Berhubungan dengan usaha reperfusi secepatnya dengan trombolitik (kurang dari 6 jam
setelah serang IMA) menentukan prognosis penderita IMA, sedangkan kenaikan enzim atau
perubahan EKG bisa baru terjadi sesudah 6 jam, sehingga dibenarkan untuk mendiagnosis
IMA berdasarkan 2 dari criteria diatas.1
IMA dibagi menjadi STEMI dan NSTEMI. Istilah NSTEMI digunakan pada
penderita dengan nyeri dada khas infark dengan bukti adanya kerusakan miokard tanpa
elevasi ST-Segmen. Dengan bertambah luasnya kerusakan miokard makan NSTEMI dapat
berubah menjadi STEMI. NSTEMI lebih sering menyebabkan kematian disbanding STEMI
karena kadang-kadang tidak terdiagnosis pada saat pasien masuk rumah sakit. Apabila
a.koronaria yang utama tersumbat, maka akan terjadi infark miokard transmural yang mana
kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding miokard. Pada EKG yang didapatkan dari
pasien, ditemukan gambaran ST depresi pada lead III, AVL, V4-V6, ST elevasi pada lead
3
I,III dan T-inverted pada lead AVF, VI-V3 dan Q patologis pada lead I, AVL. Menurut teori,
pada EKG tampak ST-Segmen elevasi dan gelombang Q-Patologis yang disebut ST-Segmen
Elevasi Miokard Infark (STEMI). Apabila hanya cabang profunda yang tersumbat atau
mungkin tidak tersumbat namun tiba-tiba terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang hebat.
Maka kerusakan miokard terjadi hanya terbatas pada subendokard. Pada EKG tidak tampak
gelombang Q-patologis dan ST-Elevasi yang disebut Non ST-Segmen Elevasi Miokard
Infark (NSTEMI).1
Tabel 1. Hubungan antara lokasi infark dengan gelombang Q dan elevasi ST1
Lokasi Infark Gelombang Q / elevasi ST A. Koroner
Antero-septal V1 dan V2 LAD
Anterior V3 dan V4 LAD
Lateral V5 dan V6 LCX
Anterior-ekstensif I, aVL, V1-V6 LAD, LCX
High lateral I, aVL, V5 dan V6 LCX
Posterior V7-V9 (V1 & V2’ LCX PL
Inferior II, III dan Avf PDA
Right ventrikel V2R – V4R RCA
*Gelombang R yang tinggi dan depresi segmen ST di V1-V2 sebagai mirror image dari
perubahan sadapan V7-V9. LAD (left anterior descending artery); LCX (left circumflex); RCA
(Right coronary artery); PL (posterior left ventricular artery); PDA (posterior descending
artery)
Untuk mendiagnosis terjadinya IMA dapat juga dinilai dari kenaikan biomarker
jantung seperti CK, CKMB, mioglobin dan troponin. Tetapi pada pasien ini tidak dilakukan.
Kompleks troponin terdiri dari 3 subunit yaitu TnC, TnI dan TnT. Enzim ini mengatur proses
kontraktilitas miosit yang tergantung Ca++. TnT adalah yang paling sensitive dan dapat
terdeteksi di dalam darah dala waktu 2-4 jam setelah muncul gejala IMA. Nilai positif
troponin adalah diatas 0,1 ug/dl (normal 0,05 ug/dl). Creatine kinase myocardial band
(CKMB) adalah isoenzim dari CK yang lebih spesifik mewakili enzim miokard, maka
beberapa laboratorium mendiagnosis IMA bila kenaikan nilai CKMB (normal < 16 u/L atau
< 4% total CK) melebihi 6% dari CK (normal 32-267 u/L). Walaupun demikian, CKMB
4
merupakan enzim yang kurang spesifik dibandingkan dengan troponin. CKMB sangat
berguna untuk mendiagnosis re-infark.1
CKMB dibagi menjadi MB1 (berasal dari serum) dan MB2 (berasal dari miokard).
Ratio yang normal dari kedua isoenzim ini adalah 1,0. Apabila ratio MB2/MB1 >1,5 maka
diagnosis infark miokard dapat ditegakkan. Creatine kinase (CK) memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang rendah untuk kerusakan otot jantung, karena enzim ini ditemukan di otot
skelet, otak, ginjal, paru dan jaringan organ lain. CK meningkat setelah 3-8 jam terjadi IMA,
mencapai konsemtrasi maksimal setelah 24 jam serangan, kemudian kembali ke nilai normal
setelah 72 jam serangan. False positive dapat terjadi pada miokarditis, perikarditis, trauma
miokard, penyakit kolagen yang mengenai miokard, dan trauma pada otot seperti miositis,
luka bakar, atau setelah dikerok. Enzim ini juga dapat meningkatkan pada hipotiroidisme,
gagal ginjal dan subarachnoid hemorrhage.1
Penatalaksaan untuk IMA, yaitu:1
a. Atasi nyeri dada dan perasaan takut, dengan cara:
Beri oksigen 2-4 liter/menit untuk meningkatkan suplai oksigen
Beri nitrat oral atau intravena untuk angina dengan cara sublingual dilanjutkan
dengan pemberian IV biasanya dapat mengatasi nyeri dada. Pemberian IV harus
dilakukan dengan infusion pump agar dosis dapat dititrasi dengan tepat. Apabila
tidak ada infusion pump sebagai gantinya dapat digunakan nitrat transdermal yang
dikombinasikan dengan preparat oral. Dosis awal nitrogliserin IV biasanya 5ug/menit
dan ditingkatkan (5-10ug/menit) setiao 5 menit sampai nyeri dada menghilang. Dosis
maksimal adalah 200ug/menit. Pemberian dosis besar (> 7ug/KgBB/menit) selama
beberapa hari dapat menimbulkan metheglobinemia. Dosis ISDN IV biasanya 1
mg/jam kemudian ditingkatkan sampai nyeri dada mereda. Agar perfusi miokard
tetap adekuat, maka selama pemberian nitrat IV tekanan darah sistolik tidak boleh
lebih rendah dari 100 mmHg dan diastolic tidak tidak boleh rendah dari 60 mmHg.
Apabila terjadi hipotensi, maka dosis nitrat harus diturunkan. Penghentian nitrat
harus dilakukan bertahap. Apabila nitrat IV masih belum berhasil menghilangkan
nyeri dada, dapat diberikan morfin (2,5 mg) atau pethidin (12,5 – 25 mg) secara IV.
5
Mencegah perluasan atau perkembangan thrombus intrakoroner. Berbagai studi
melaporka bahwa pemberian aspirin atau heparin atau kombinasi keduanya efektif
menurunkan kejadian serangan angina dan infark miokard pada penderita AP tak
stabil. Dosis aspirin menurut berbagai penelitian adalah 160-300 mg/ hari (dosis
tunggal). Clopidogrel loading dose 300 mg (4 tablet) juga dianjurkan pada pasien AP
tak stabil diikuti 75 mg/hari. Dosis heparin adalah 5000 unit (IV) bolus kemudian
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1000 unit/jam dalam infuse (pertahankan
aPTT 1,5-2 kali dari nilai control) selama 5 hari. Saat ini pemberiaan Low Molecule
Height Heparin (LMWH) lebih disukai dari pada heparin karena cara pemberiannya
mudah dan dosis tidak perlu disesuaikan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam.
LMWH diberikan satu atau dua kali sehari tergantung preparat selama 5 hari.
b. Stabilkan hemodinamik
Penderita dipuasakan pada 8 jam pertama serangan kemudian makanan lunak, dan
beri laksansia agar tidak mengedan. Selain itu penderita diharuskan istirahat dengan
tirah baring sampai 24 jam bebas angina. Tekanan darah dan laju jantung harus
dikontrol secara ketat dengan B-blocker dan atau ACE-inhibitors tergantung kondisi
pasien
B-blocker memiliki efek anti-iskemia, anti aritmia, anti adrenergic, anti trombotik
dan memperbaiki disfungsi ventrikel kiri (B-blocker tertentu) dengan demikian dapat
dipahami bahwa B-blocker menurunkan mortalitas pasien IMA. Hasil dari berbagai
uji klinis menunjukkan bahwa penderita IMA yang menerima atau yang tidak
menerima trombolitik, pemberian B-blocker pada jam pertama IMA dapat membatasi
perluasan infark, mengurangi resiko re-infark dan memperpanjang harapan hidup.
Apabila tidak ada kontraindikasi seperti gagal jantung, bradikardi, hipotensi,
hipoperfusi, asma aktif atau hiperreaktifitas jalan napas maka dianjurkan pemberian
B-blocker dalam 24 jam pertama onset gejala SKA. B-blocker short acting lebih
diprioritaskan sebab jika terjadi efek samping lebih cepat akan teratasi. Propanolol 10
mg dua kali sehari cukup efektif. Pada pasien yang memiliki penyakit obstruktif paru
kronis, DM, atau dislipidemia dapat diganti atenolol (50 mg/ tablet) dua kali 25 mg
atau 50 mg tergantung respon atau diganti dengan CCB seperti verapamil atau
diltiazem. Apabila angina masih tak stabil, maka diberi triple therapy yaitu, nitrat, B-
6
Blocker dan CCB. B-blocker long acting seperti bisoprolol sebaiknya diberikan
sesudah kondisi stabil.
c. Stabilkan plak dengan penggunaan STATIN. Dengan menghambat biosintesis kolesterol
serta meningkatkan ekspresi reseptor LDL di hepar, statin memiliki efek menurunkan LDL-
Kolesterol dan prekursornya dari sirkulasi. Disamping itu, statin memiliki efek pleiotropik
yaitu perbaikan fungsi endotel, anti-inflamasi, anti-proliferasi otot polos, anti-oksidan, anti-
trombosis dan stabilisasi plak, sehingga pemberian statin dianjurkan pada pasien SKA
dengan target kadar LDL < 70 mg/dL tanpa melihat usia. Dalam pencegahan komplikasi
usaha penanggulangan diatas adalah upaya pencegahan terhadap komplikasi. Komplikasi hari
pertama terjadinya IMA adalah aritmia dan gagal jantung. Selain itu dapat juga terjadi syok
kardiogenik, rupture septum atau dinding ventrikel, perikarditis, myocardial stunning dan
tromboemboli.
Aterogenesis yang dikarakteristik dengan remodeling arteri dan menimbulkan
akumulasi subendotel komponen lemak (plak), telah diketahui sebagai penyakit progresif dari
dinding pembuluh darah, yang menyebabkan reduksi diameter lumen hingga pada suatu
kondisi dimana beberapa platelet aktif cukup untuk menutup pembuluh darah dan
menghasilkan infark miokard akut. Perkembangan lesi aterogenesis ini dipertimbangkan
meliputi proses inflamasi yang kompleks. Tahap awal perkembangan plak dikenal dengan
disfungsi endotel, dimana hiperglikemia merupakan salah satu faktor resiko, selain interkasi
langsung dari sitokin peradangan jaringan, seperti TNF-α dan IL-6 mengaktifkan endotel.
Sel-sel inflamasi akan memasuki dinding pembuluh darah dan tahap ini dikenal dengan
pembentukan fatty streak, dimana otot polos vascular berproliferasi dan bermigrasi dari
media kedalam lesi yang menambah perkembangan lesi. Tahap berikutnya dikenal dengan
pembentukan lipid nekrotik, melalui apoptosis dan kematian sel, dan peningkatan aktivitas
proteolitik dan akumulasi lipid. Plak ini bersifat stabil dapat berubah menjadi tidak stabil,
yang dikarakteristik dengan inti lipid nekrotik yang besar, inflitrasi sel inflamasi dan kapsul
fibrous yang tipis dan rapuh.2
7
Gambar 1. Kerentanan pembuluh darah. Hiperglikemia, sitokin inflamasi jaringan,
disertai berbagai faktor resiko kardiovaskular mempengaruhi fase aterogenesis pasien
dengan diabetes, yang berkontribusi terhadap lesi komplikasi yang dapat rupture dan
menyebabkan kejadian koroner akut2
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus menyebabkan gangguan
selektif relaksasi tergantung endothelium pada pembuluh darah koroner, yang memberikan
efek diabetes terhadap sirkulasi koroner. Gangguan selektif relaksasi tergantung Endotelial
NO sintase (eNOS) juga tampak pada pembuluh darah mesenteric pada diabetes, yang
mengindikasikan diabetes meliitus menyebabkan gangguan selekif vasoreaktif tergantung –
NOS. hal ini memiliki implikasi penting pada abnormalitas vaskuler pada pasien diabetes
seperti iskemik perifer. eNOS yaitu suatu zat yang menghasilkan nitrit oksida (NO) melalui
oksidasi 5-elektron dari ujung guadinine-nitrogen dari L-arginine. NO berguna untuk
melindungi darah dari kerusakan endogen, seperti atelosklerosis, dengan memperantarai
sinyal molecular yang mencegah interaksi trombosit dan leukosit dengan dinding vascular
dan menghambat profiferasi dan migrasi sel otot polos vascular.2,3,4
8
Walaupun abnormalitas lipoprotein dipertimbangkan tidak meningkatkan resiko
penyakit vascular ada diabetes dibandingkan dengan non-diabetes, prevalensi abnormalitas
lipoprotein lebih tinggi pada pasien dengan diabetes tipe-2 dibandingkan dengan populasi
umum. Sekitar 80% diabetes akan mengalami dislipidemia. Kadar gula ang tinggi secara
sekunder menyebabkan abnormalitas seperti glikolisasi lipoprotein, yang meningkatkan
potensial aterogenik. Resistensi insulin merupakan abnormalitas primer yang menjadi faktor
predisposisi utama dari perkembangan penyakit vascular. 2,4,16 abnormalitas platelet dan
koagulasi darah juga dihubungkan dengan diabetes. Gangguan agregasi dan adhesi platelet
meningkatkan predisposisi infark miokard. Kadar fibrinogen plasma dan plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) tinggi pada pasien diabetes, yang dapat menimbulkan kondisi
hiperkoagulabilitas. Dijumpai peningkatan ekspresi glikoprotein Ib dan IIb/IIIa, menambah
interaksi fibrin-platelet dan faktor von-willebrand. Bioavailabilitas NO berkurang, faktor
koagulan seperti faktor jaringan,faktor VII, dan thrombin meningkat, dan antioagulan
endogen seperti trombomodulin berkurang.2,3
Gambar 2. Fungsi Platelet dan faktor koagulasi plasma pada diabetes.2
9
Hiperglikemia berhubungan dengan kondisi kritis (dikenal juga dengan stress
hiperglikemik atau stress diabetes) merupakan hubungan dari berbagai faktor, termasuk
peningkatan kortisol, katekolamin, glucagon, growth hormone, glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Resistensi insulin juga dapat merupakan faktor yang berkontribusi dan dapat
dideteksi pada lebih dari 80% pasien dengan kondisi kritis. Pasien dengan kondisi kritis
medis dan bedah memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien
normoglikemik.5
Pada pasien infark miokard, kurangnya insulin berhubungan dengan hiperglikemia
dapat menyebabkan penurunan substrat glikolitik untuk otot jantung dan asam lemak bebas
yang berlebih. Perubahan ini dapat mengurangi kontraktilitas miokard terhadap kebutuhan
oksigen, mengakibatkan kegagalan pompa dan menimbulkan aritmia. Pasien hiperglikemia
pada infark miokard dengan dan tanpa diabetes dapat merupakan faktor resiko yang potensial
dan penting untuk prognosis yang buruk. Penelitian yang ada telah menunjukkan bahwa
pasien tanpa diabetes yang mengalami stress hiperglikemik pada awal infark miokard akut
memiliki peningkatan resiko dari mortalitas selama perawatan rumah sakit dan gagal jantung
kongestif atau syok kardiogenik.6
Terapi insulin intensif (IIT) pada infark miokard akut dan kondisi kritis lainnya
merupakan strategi penanganan menggunakan infuse titrasi insulin dengan dosis yang
disesuaikan untuk menurunkan kadar gula darah secara ketat telah digunakan pada beberapa
penelitian. Penelitian yang telah ada mengevaluasi kegunaan IIT untuk mencapai control
glikemik pasien yang dirawat inap gagal memberikan hasil yang konsisten.7
Beberapa consensus umum dapat digunakan yaitu:
Kontrol glukosa dapat dimulai bila kadar gula darah diatas 180-200 mg.dL (10-11
mmol/L)
Hipoglikemia yang didefinisikan sebagai konsentrasi gula darah puasa dibawah 70
mg.dL (3,9 mmol/L) harus dihindari. Untuk menjamin keamanan, target terendah
untuk mempertahankan semua kadar gula darah >9—100 mg/dl (5-5,6 mmol/L)
Pasien kondisi kritis, seperti pada syok kardiogenik, yang timbul pada sebagian kecil
pasien dengan infark miokard akut direkomendasikan kadar glukosa darah
10
dipertahankan antara 140-180 mg/dL (7,8-10 mmol/L) dengan insulin intravena pada
pasien tersebut.8
Penyebab kematian pada pasien ini adalah syok kardiogenik, dimana merupakan sindrom
klinis akibat penurunan curah jantung yang menyebabkan hipoksia jaringan dengan volume
intravascular yang adekuat. Criteria hemodinamik yang digunakan untuk mengakkan syok
kardiogenik adalah:9
Penurunan curah jantung (<2.2 L/menit)
Hipotensi sistolik arteri (<90mmHg) atau Mean Arterial Pressure (MAP) berkurang
lebih dari 30 mmHg nilai normal
Peningkatan tekanan diastolic akhir ventrikel kiri (pulmonary capillary wedge
pressure/PCWP > 18 mmHg) atau tekanan diastolic akhir ventrikel kanan >10-
15mmHg.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien, ditemukan pasien
mengeluhkan nyeri dada, kebingunan, nadi teraba lemah, tekanan darah 60/40mmHg, tidak
ada distensi vena jugular, S3 gallop atau murmur. Menurut teori, tanda dan gejala klinis pada
syok kardiogenik dapat bervariasi sesuai etiologi yang mendasari. Pasien dapat mengeluhkan
nyeri dada, sesak napas, hingga perubahan status mental seperti; somnolen, kebingunan, atau
agitasi. Pada pemeriksaan tanda vital, nadi dapat teraba lemah dan cepat atau malah
bradikardia pada kasus blok konduksi jantung derajat berat. Tekanan sistolik menurun (<90
mmHg) dengan tekanan nadi yang menyempit (<30 mmHg). Pernapasan cheyne-stokes dan
distensi vena jugular juga dapat ditemukan. Pada auskultasi jantung dapat terdengar S3 gallop
dan atau murmur sistolik pada kasus regurgitasi mitral berat dan rupture septum ventrikel.
Dapat pula ditemukan bunyi ronki pada kasus gagal ventrikel kiri.9
Patofisiologi terjadinya syok kardiogenik yaitu diakibatkan penurunan kontraktilitas
miokardium, misalnya akibat iskemia atau infark sehingga curah jantung dan tekanan arteri
juga menurun. Secara skematis, patofisiologi disfungsi miokardium tersebut merupakan
akumulasi akibat disfungsi sistolik dan diastolic miokardium. Pada disfungsi sistolik terjadi
penurunan isi sekuncup dan curah jantung yang berdampak langsung pada penurunan perfusi
sistemik. Selain efek langsung terhadap perfusi sistemik, penurunan curah jantung juga
11
menurunkan perfusi arteri koroner sehingga terjadi iskemia dan kerusakan miokardium
menjadi semakin progresif. Normalnya respons fisiologis terhadap penurunan perfusi
sistemik adalah vasokonstriksi namun pada kasus miokard infark, terjadi pelepasan sitokin
inflamasi berupa pelepasan NO sehingga terjadi vasodilatasi. Beberapa sitokin inflamasi,
seperti IL-6 dan TNF-α menghambat mekanisme kompensasi vascular perifer sehingga
terjadi vasodilatasi. Respons vasodilatasi akan semakin menurunkan perfusi sistemik dan
koroner. Disfungsi diastolic akan berdampak pada peningkatan tekanan diastolic akhir
ventrikel kiri serta kongesti paru. Kondisi edema paru akan memperburuk fungsi miokardium
hingga terjadi kematian.10
Berikut adalah manajemen syok kardiogenik: (american heart association (AHA) 2004)
Pastikan airway dan breathing stabil. Posisikan pasien setengah duduk, pasang akses
vena dan kateter urin, serta berikan 02 hingga 8 L/menit melalui nasal kanul/sungkup
Pasang kateter arteri pulmonalis untuk melihat tekanan pengisian dan curah jantung
terutama pada pasien dengan hipotensi berat. Alternatifnya, Doppler ekokardiografi
dapat digunakan untuk memastikan diagnosis dan etiologi. Namun secara sederhana,
apabila syok masih diragukan sebagai kardiogenik atau hipovolemia dapat dilakukan
fluid challenge test : dengan memberikan cairan Ringer laktat 500 ml dalam 10
menit. Lalu nilai tanda-tanda perfusi jaringan. Jika terjadi perbaikan maka syok
terjadi karena hipovolemia dan sebaliknya untuk kardiogenik
Terapi medikamentosa. Meliputi pemberian inotropik dan vasopresor. Sesuai profil
farmakologisnya, noreepinefrin lebih terpilih pada kasus hipotensi yang sangat berat.
Hindari pemberian inotropik negative dan vasodilator (termasuk nitrogliserin) pada
kasus syok. Pada pasien yang seharusnya dilakukan adalah menangani syok
kardiogenik yang dikarenakan masalah pada pompa jantung. Bila TDS >100mmHg
berikan nitrogliserin 10-20Ug/menit IV, bila TDS > 100 mmHg tanpa tanda/gejala
syok berikan dobutamin 2-20ug/kgBB.menit IV, bila TDS 70-100 mmHg tanpa
tanda/ gejala syok berikan dopamine 2-20ug/KgBB/menit IV, bila TDS <70 mmHg
tanpa tanda/gejala syok berika noreepinefrin 0.5-30 ug/menit IV.
Apabila belum terdapat perubahan secara adekuat, pertimbangkan intervensi mekanik
seperti intra-aortic ballon counterpulsation (IABP). Balon pada IABP akan
12
mengembang balon saat fase sistolik (mengurangi afterload melalui efek vakum pada
balon)
Pada syok kardiogenik akibat infark miokardium, pertimbangkan prosedur reperfusi
segera dengan fibrinolitik, percutaneus coronary intervention (PCI) atau coronary-
artery bypass grafting (CABG).
13
BAB III
KESIMPULAN
Diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit yang dikarakteristikan dengan produksi
insulin yang insufisiensi/inadekuat dan menimbulkan hiperglikemia, merupakan faktor resiko
yang kuat untuk perjalanan penyakit jantung koroner, penyaki vascular perifer, stroke dan
kegagalam jantung. Tiga komponen yang menyebabkan pasien diabetes memiliki resiko
tinggi untuk kejadian komplikasi kardiovaskular yaitu kerentanan pada pembuluh darah,
komponen darah dan miokard.
Pasien dengan kondisi infark miokard akut sering terjadi dalam keadaan stress hipoglikemik
yang memberikan resiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kondisi normoglikemik.
Penelitian dan strategi control glukosa darah yang ketat belum berhasil memberikan manfaat
terhadap pasien, target glukosa darah dipertahankan antara 140-180 mg/dL, dengan nilai
dibawah meningkatkan resiko hipoglikemia.
Pasien dengan penyakit koroner disertai diabetes memerlukan strategi penanganan yang
komprehensif meliputi perubahan gaya hidup (berhenti merokok), aktivitas fisik, control
tekanan darah (<135/85 mmHg), penanganan dislipidemia (LDL <100 mg/dl), control gula
darah (HbA1c< 7%), pengaturan berat badan, pemberian antiplatelet/antikoagulan, ACE-
Inhibitor atau B-Blocker.
15
Daftar Pustaka
1. Peter K. Bagaimana menggunakan obat-obatan kardiovaskular secara rasional. Infark
miokard akut. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2012. Hal; 138-148
2. Hess K, Marx N, Lehrke M. Cardiovascular disease and diabetes : the vulnerable patient.
European Heart Journal Supplements 2012;14 (Suppl B) : B4-B13.
3. Clemmons DR. Diabetes Mellitus : An Important Cardiovascular Risk Factor. Principles of
Molecular Cardiology. Humana press, New Jersey. 2005: 563-574
4. Mayhan GW. Diabetic Vascular Disease. Heart Physiology and pathophyiology, 4 th ed,
Academic Press, Massachusetts, 2001: 1011-1030.
5. Stapleton RD, Heyland DK. Glycemic control and intensive insulin therapy in critical
illness. UpToDate 2011. www.uptodate.com
6. Capes SE, Hunt D, Malmberg K, Gerstein HC. Stress hyperglycemia and increased risk of
death after myocardial infarction in patients with and without diabetes: a systematic
overview. Lancert 2000; 355:773-778
7. Kansagara D, Fu R, Freeman M, Wolf F, Helfand M. Intensive insulin Therapy in
Hospitalized Patients : A systematic review. An intern Med. 2011; 154 : 268-282
8. Nesto RW. Inzucchi SE. Glycemic control for acute myocardial infarction in patients with
and without diabetes mellitus. UpToDate 2010. www.uptodate.com
9. Hochman JS, Ingbar DH. Cardiogenic and pulmonary edema. Dalam : Longo DL, Fauci
DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Penyunting: Harrison;s principles of internal
medicine. Edisi ke-18. New York: McGraw-Hill: 2012
10. Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock; current concepts and improving
circulation. 2008; 117:686-97
16
top related