paper hukum adat opik ok
Post on 27-Jun-2015
467 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang hukum Adat dibenturkan dengan permasalahan sosial
masih mengandung berbagai permasalahan (problem). Beberapa problem itu
antara lain: pertama, konsep hukum Adat yang selama ini dikembangkan oleh
perguruan tinggi adalah konsep yang ditemukan oleh Van Vollenhoven yang
tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua, hukum Adat yang
merupakan sumber hukum Nasional belum dilegalkan sebagai peraturan tertulis,
padahal hukum dalam konteks budaya lokal (local culture) perlu dikembangkan
dalam era kekinian sehingga hukum yang berlaku di masyarakat terasa lebih
inhern, acceptable, dan adaptif. Ketiga, penyelesaian sengketa Adat tidak
mengenal pemisahan antara pidana dan perdata. Dan keempat, pemisahan
horizontal tentang hukum tanah.
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum
dan adat. Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari
norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam
pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan adat
adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan
salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Dalam ranah pemikiran Arab kontemporer, adat atau tradisi diartikan dengan
warisan budaya, pemikiran, agama, sastra, dan kesenian yang bermuatan
emosional dan ideologis. Oleh karena itu, pengertian hukum Adat menurut Prof.
2
Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif
meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib
tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya
peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Beberapa pendapat pakar yang lain tentang pengertian hukum Adat antara
lain:
1. Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat adalah
hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
2. Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang
tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah
Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi
sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat meliputi: a)
Hukum Negara, b) Hukum Tata Usaha Negara, c) Hukum Pidana, d) Hukum
Perdata, dan e) Hukum Antar Bangsa Adat (Mahadi, 1991:54).
Di masyarakat, hukum Adat nampak dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang
terbesar,
2. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti
pranatan-pranatan di Jawa.
3. Uraian hukum secara tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian
(Moh. Koesnoes, 1979:39).
3
B. Identifikasi Masalah
Dalam pengumpulan data, penulis membatasi permasalahan ke dalam
beberapa pertanyaan, diantaranya yaitu :
1. Apa yang dimaksud hukum adat ?
2. Bagaimana sejarah terbentuknya hukum adat ?
3. Bagaimana kedudukan hukum adat di Indonesia ?
C. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penyusunan paper ini antara lain yaitu :
1. Mengetahui yang dimaksud dengan hukum adat
2. Mengetahui sejarah terbentuknya hukum adat
3. Mengetahui kedudukan hukum adat di Indonesia
4
BAB II
PERMASALAHAN
A. Pengertian Hukum Adat
Definisi hukum adat menurut para sarjana adalah sebagai berikut:
a. Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan
tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu
disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh
karena itu disebut “adat”).
b. Bushar Muhammad menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum
ada sulit sekali karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan
pembawaan hukum adat ialah:
- Tertulis atau tidak tertulis
- Pasti atau tidak pasti
- Hukum raja atau hukum rakyat dan sebagainya.
c. Ter har berpendapat bahwa hukum adat dalam dies tahun 1930 dengan judul
“Peradilan landraad berdasarkan hukum tidak tertulis” yaitu:
- Hukum adat lahir dari & dipelihara oleh keputusan-keputusan, seperti:
- Keputusan berwibawa dari kepala rakyat (para warga masyarakat
hukum)
- Para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-
keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat
(melainkan senafas / seirama).
- Dalam orasi tahun 1937 “Hukum Hindia belanda di dalam ilmu,
5
praktek & pengajaran” menjelaskan bahwa hukum adat adalah
keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan
para fungsionaris hukum yang berwibawa serta berpengaruh dan yang
dalam pelaksanaannya dipatuhi dengan sepenuh hati. (Para
fungsionaris hukum: hakim, kepala adat, rapat desa, wali tanah,
petugas dilapangan agama, petugas desa lainnya) ajaran keputusan
(Bestissingenteer)
d. Koentjaningrat mengatakan batas antara hukum adat & adat adalah mencari
adany empat ciri hukum / attributes of law yaitu:
1.Attribute of authority
Adanya keputusan-keputusan melalui mekanisme yang diberi kuasa
dan berpengaruh dalam masyarakat.
2.Attribute of Intention of universal application
Keputusan-keputusan dari pihaj yang berkuasa itu harus di maksudkan
sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang & harus
dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa
akan datang.
3. Attribute of obligation (ciri kewajiban)
Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus mengandung
rumusan mengenai hak & kewajiban.
4.Attribute of sanction (ciri penguat)
Keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus dikuatkan dengan
sanksi dalam arti luas. Bisa berupa sanksi jasmaniah; sanksi rohaniah (rasa
malu, rasa dibenci)
6
Pola pikir dari Koentjaningrat dipengaruhi oleh L. POSPISIT seorang
sarjana antroplogi dari amerika serikat.
e. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum adat adalah kompleks adat-
adat yang tidak dikitabkan (tidak dikodifikasikan) bersifat paksaan
(mempunyai akibat hukum).
f. Supomo & hazairin mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah
hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu
sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan
kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan
dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan
keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang
ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. (mereka yang
mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat
adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah,
kepala adat, hakim”
g. Ketentuan hasil seminar Hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 tentang
definisi hukum adat adalah sebagai berikut:
Hukum adat adalah Hukum indonesia asli yang tidak tertulis dalam
perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung unsur agama.
Kedudukan Hukum Adat sebagai salah satu sumber penting untuk
memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju
pada unifikasi hukum (penyamaan hukum).
B. Aturan Mengenai Hukum Adat
7
Pengaturan yang lebih luas dan dalam dilakukan oleh sejumlah UU dan
RUU di bidang sumberdaya agraria dan sumberdaya alam. Sejak tahun 1998,
pengaturan mengenai masyarakat adat bisa ditemui dalam sejumlah UU, yakni
UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (pasal 93 beserta penjelasannya),
UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (pasal 6) dan UU No. 41/1999
tentang Kehutanan (pasal 67). Jejak ketiga UU tersebut sedang diikuti oleh
sejumlah RUU yang sampai saat ini sedang dalam proses penyusunan dan
pembahasan. Sebut saja misalnya RUU tentang Perkebunan, RUU tentang
Pengelolaan Sumberdaya Air, RUU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, RUU tentang Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya
Genetika, revisi UU tentang Pertambangan dan RUU tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam (RUU PSDA). Beberapa waktu lalu pengaturan masyarakat
adat dalam RUU PSDA menjadi polemik ketika Menteri Negera Lingkungan
Hidup menilai RUU tersebut terlalu memberikan keleluasaan yang besar kepada
masyarakat adat.
Rasanya tidak berlebihan bila muncul sejumlah pertanyaan mengusik.
Pertama, apa yang melatari gelombang rame-rame mengakui masyarakat adat
tersebut? Adakah ia hanya merupakan gejala normatif biasa atau malah sebuah
gejala politik atau gejala sosial? Apakah pengaturan demikian lahir hanya karena
UUD 1945 hasil amandemen dan Ketetapan MPR sudah mengatur mengenai
masyarakat adat? Kedua, bagaimana karakter atau gaya pengakuan yang
ditampilkan oleh sejumlah UU dan RUU tersebut? Adakah pengakuan itu meralat
kasalahan masa lalu ataukah hanya meneruskan tradisi pengakuan gaya lama?
Terra Nullius, Dekolonisasi dan Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat Di
8
Indonesia istilah `masyarakat adat' diartikan sebagai terjemahan dari kata
`indigenous peoples'. Banyak orang membedakannya dengan istilah masyarakat
hukum adat yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda yakni
rechtgemencshap.. Kalangan aktivis Ornop dan organisasi masyarakat adat
semacam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memandang istilah
`masyarakat hukum adat' pada akhirnya hanya akan mempersempit entitas
masyarakat adat sebatas entitas hukum. Sementara istilah masyarakat adat
dipercaya memiliki dimensi yang luas dari sekedar hukum. Misalnya dimensi
kultural dan religi. Jadi, istilah masyarakat adat dan istilah masyarakat hukum adat
memiliki sejarah dan pemaknaan yang berbeda. Istilah masyarakat hukum adat
dilahirkan dan dirawat oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan
untuk keperluan teoritik- akademis. Istilah tersebut digunakan untuk memberi
identitas kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi hukum
sendiri untuk membedakannya dengan golongan Eropa dan Timur Jauh yang
memiliki sistem dan tradisi hukum tertulis.
Sedangkan istilah masyarakat adat mengemuka ketika pada awal dekade
90-an berlahiran sejumlah Ornop yang memperjuangkan pengakuan hak-hak
masyarakat adat. Tidak bisa disangkal gerakan yang memperjuangkan isu ini
berinsipirasi dari gerakan pembelaan terhadap indigenous peoples di Amerika
Latin pada dekade 70-an dan Asia Selatan pada dekade 80-an. Di Indonesia istilah
indigenous peoples tidak diterjemahkan menjadi `masyarakat asli', melainkan
menjadi masyarakat adat. Penggunaan istilah masyarakat asli tentu saja akan
melahirkan polemik yang tajam bahkan mungkin tak berkesudahan. Sedangkan
penggunaan istilah masyarakat adat, dari segi pemakaian, dianggap lebih populer.
9
Kendati istilah indigenous peoples diterjemahkan dengan istilah masyarakat adat,
namun defenisi masyarakat adat sangat mirip dengan defenisi umum mengenai
indigenous peoples. AMAN mendefenisikan masyarakat adat sebagai kelompok
masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah
geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan
wilayah sendiri. Sedangkan konvensi ILO 169 tahun 1989 mengenai Bangsa
Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka (Concerning
Indigenous and Tribal Peoples in Independent States) mengartikan IPs sebagai
suku-suku bangsa yang berdiam di negara merdeka yang kondisi sosial, budaya
dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain. Atau suku-suku
bangsa yang telah mendiami sebuah negara sejak masa kolonisasi yang memiliki
kelembagaan ekonomi, budaya dan politik sendiri. Sementara Jose Martinez
Cobo, yang bekerja sebagai pelapor khusus untuk Komisi Pencegahan
Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, pada tahun 1981, dalam
laporannya yang berjudul Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat,
mendefenisikan IPs sebagai kelompok masyarakat atau suku bangsa yang
memiliki kelanjutan hubungan sejarah antara masa sebelum invasi dengan masa
sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka, menganggap diri mereka
berbeda dengan kelompok masyarakat lain atau bagian dari masyarakat yang lebih
luas.
Jadi, membincangkan konsep atau gerakan masyarakat adat sebenarnya
mirip dengan konsep dan gerakan indigenous peoples (IPs) di Amerika Latin atau
di belahan Asia Selatan. Di kedua tempat ini gerakan ini awalnya dilarutkan ke
dalam gerakan dekolonisasi. Gerakan memperjuangkan IPs adalah gerakan yang
10
di satu sisi menggugat hak bangsa-bangsa Eropa untuk menaklukan bangsa-
bangsa pribumi di benua Amerika dan Asia dan di sisi lain merumuskan argumen-
argumen yang menjelaskan bahwa bangsa-bangsa pribumi itu adalah pemilik sah
atas wilayah yang didiami dan dikelolanya. Argumen-argumen dasar yang
membela hak IPs sebenarnya telah dirintis sejak abd XIV ketika Bartolome de las
Casas dan Francisco de Vitoria mengkritik tindakan penaklukan yang dilakukan
oleh bangsa Spanyol. De las Casas adalah seoran misionaris Katolik Romawi
yang bekerja di wilayah orang-orang Indian. Sedangkan De Vitoria adalah guru
besar teologi di Universitas Salamanca. Kedua orang tersebut mempertanyakan
legalitas dan moralitas penaklukan bangsa Spanyol atas bangsa-bangsa pribumi di
Amerika Selatan. Keduanya membantah doktrin terra nullius sebagai argumen
yang membenarkan tindakan penaklukan. Doktrin terra nullius mengatakan bahwa
wilayah-wilayah yang disinggahi oleh mereka adalah tanah tak bertuan (terra
nullius). Manusia-manusia yang mereka jumpai pada wilayah tersebut dianggap
bukan manusia karena belum memiliki peradaban. Dengan argumen tersebut,
bangsa penakluk menganggap dirinya memiliki misi untuk memperadabkan
bangsa-bangsa pribumi (Hunter, dkk: 1995; Anaya:1996). Doktrin inilah yang
dibantah oleh De las Casas dan De Vitoria dengan mengatakan bahwa IPs
memiliki otonomi asli (original autonomous powers) dan hak-hak atas tanah
(entitlements to land). Dalam bukunya History of the Indies, De las Casas bahkan
memaparkan brutalitas yang dilakukan bangsa Spanyol terhadap suku-suku Indian
dengan melakukan pembunuhan massal dan menjadikan mereka sebagai budak.
Dengan demikian perjuangan membela IPs adalah perjuangan
meruntuhkan bangun argumen tindakan kolonisasi/penaklukan sekaligus
11
bermaksud untuk menghapuskan kolonisasi. Perjuangan membela IPs bukanlah
perjuangan mendapatkan pengakuan dalam rejim pemerintahan kolonial karena
kritik awal perjuangan ini justru mempertanyakan pembenaran tindakan
kolonisasi. Dalam suasana ini perjuangan untuk mendapatkan hak untuk
menentukan nasib sendiri (right to self-determination) sering ditafsirkan sebagai
perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan. Hak untuk menetukan nasib sendiri
jenis ini sering juga disebut dengan external self-determination. Pasca
dekolonisasi, konsep dan tuntutan gerakan IPs kemudian bergeser. Ia tidak lagi
perjuangan untuk mendorong dekolonisasi tapi telah bergeser menjadi perjuangan
untuk medapatkan hak-hak berdemokrasi (right to democracy) sebagai kelompok
masyarakat yang hidup dalam sebuah negara bangsa. Begitu juga dengan hak
menentukan nasib sendiri telah berubah dari right to self-determination (external
self-determination) menjadi right of self-determination. Aktor yang dihadapi
bukan lagi regim kolonial tapi rejim otoritarian yang masih mewariskan asumsi
dan doktrin di masa kolonialisme.
Perbincangan yang mengarah ke pengakuan IPs semakin maju ketika ia
masuk dalam wacana hukum HAM internasional. Derajat humanitas IPs
diperbaiki dalam khasanah hukum HAM internasional ketika ia diakui sebagai
kategori masyarakat minoritas yang sering menjadi korban tindakan pelanggaran
HAM. IPs diakui sebagai sebuah identitas yang harus diakui dan dilindungi.
Untuk itu, rejim hukum HAM internasional mengakui beberapa hak asasi IPs.
Misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas pembangunan (right to
development), hak atas milik, hak hidup, hak atas kesehatan, dan sejumlah hak
yang dikenal dalam Konvensi ILO 169 tahun 1989. Pengakuan atas sejumlah hak
12
tersebut sekaligus meralat pandangan kolot yang menuduh IPs sebagai masyarakat
tidak beradab (uncivilized society). Jika pada awalnya Konvensi ILO 107 tahun
1957 masih mengasumsikan bahwa IPs akan berkembang menjadi masyarakat
modern (integrasi) namun kemudian diralat oleh Konvensi ILO 169 dengan
mengatakan bahwa IPs memiliki hak untuk hidup sesuai dengan sistem hukum
dan politik yang mereka miliki.
Kendati demikian, progresivitas instrumen hukum HAM internasional
banyak disandungi oleh konservatisme negara, terutama negara-negara dunia
ketiga. Perjuangan menjadikan isu IPs menjadu agenda pembahasan di PBB dan
perjuangan mendirikan sebuah forum permanen di PBB, bukanlah pekerjaan
gampang. Bila proses dekolonisasi telah dimulai sejak dekade 40-an maka forum
permanen pembahasan IPs baru terbentuk tahun 1982 dengan dilahirkannya
Working Groups on Indigenous Populations, yang berada di bawah Sub Komisi
Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas. Penggunaan kata
populations terjadi karena istilah peoples belum diterima oleh mayoritas anggota
PBB. Tugas kelompok kerja ini untuk melahirkan Rancangan Deklarasi PBB
tentang Hak-Hak IPs (Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples),
sampai saat ini belum kunjung selesai. Salah satu penyebabnya adalah kuatnya
resistensi negara-negara dunia ketiga terhadap beberapa hak yang dianggap
membahayakan. Misalnya hak untuk menentukan nasib sendiri. Pencanangan
tahun 1993 sebagai tahun IPs dan tahun 1994-2004 sebagai decade IPs tetap saja
tidak berhasil mempercepat penyelesaian rancangan draf deklarasi tersebut
padahal tenggat waktu yang diberikan hanya sampai tahun 2004.
Pelanggaran terhadap hak-hak dasar IPs terus saja berlangsung di masa-
13
masa itu kendati di saat bersamaan sejumlah negara terus mengupayakan
pemajuan pengakuan terhadap masyarakat adat lewat jalur legislasi dan peradilan.
Sejumlah negara di Amerika Latin seperti Venezuela, Mexico, Argentina dan
Brazil, mulai memasukan IPs dalam konstitusinya. Beberapa negara mulai
menuangkannya ke dalam UU tersendiri seperti Indigenous Peoples Rights Act di
Philipina pada tahun 1997 dan Native Title Act di Australia pada tahun 1993. Di
samping itu pengakuan lewat UU juga dilakukan kepada kelompok IPs tertentu.
Misalnya pengakuan oleh Pemerintah Panama terhadap suku bangsa Kuna pada
tahun 1970. Sejumlah pengadilan di beberapa negara juga sudah mulai
mengeluarkan putusan yang memenangkan gugatan masyarakat adat atas tindakan
pencaplokan oleh pemerintah kolonial dan pemerintah bangsa merdeka sekaligus
membantah kesahihan doktrin terra nullius. Di Australia putusan Mahkamah
Agung terhadap kasus Kepulauan Murray kepunyaan Orang Aborigin, menjadi
tonggak hukum bagi penganuliran doktrin terra bullius selain diundangkannya
Native Title Act. Di tingkat internasional, institusi peradilan juga memainkan
peran penting, seperti yang dilakukan oleh International Court of Justice pada
tahun 1989 yang menghukum pemerintah Australia untuk membayar denda
sebesar $A 107 juta atas tindakanya menambang pospat di wilayah Nauru
sebelum orang-orang Nauru memperoleh kemerdekaan. Hukuman tersebut
didasarkan pada argumen bahwa bangsa Nauru memiliki hak untuk menentukan
nasib sendiri.
14
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hukum Adat
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof.
Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck
Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah
hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama
pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam
Masyarakat Indonesia (http://mlatiffauzi.wordpress.com/2007/09/30/hukum-adat-
dan-perubahan-sosial/).
Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van
Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda
(sebelum menjadi Indonesia).
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem
hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Hukum Adat mengenai tata negara
2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah,
hukum perhutangan).
3. Hukum Adat menganai delik (hukum pidana).
B. Wilayah hukum adat di Indonesia
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini
dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
15
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama
mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut
hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:
1. Aceh
2. Gayo dan Batak
3. Nias dan sekitarnya
4. Minangkabau
5. Mentawai
6. Sumatra Selatan
7. Enggano
8. Melayu
9. Bangka dan Belitung
10. Kalimantan (Dayak)
11. Sangihe-Talaud
12. Gorontalo
13. Toraja
14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
15. Maluku Utara
16. Maluku Ambon
17. Maluku Tenggara
18. Papua
19. Nusa Tenggara dan Timor
20. Bali dan Lombok
21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
16
22. Jawa Mataraman
23. Jawa Barat (Sunda)
C. Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat
disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk
menjaga keutuhan hidup sejahtera.
D. Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh dari :
1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di
Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi
Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
E. Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Berbicara persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat
prinsipil karena adat merupakan sala satu cermin bagi bangsa, adat merupkan
identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat
suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang
sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku
tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau
prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.. Dalam penjatuhan pidana oleh
17
sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada
penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28. hakim harus melihat atau
mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pida
terhadap kasus yang berkaitan dengan adat stempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan
tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam
pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta
langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan
terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat"
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut
meliputi:
1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa
dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3
dan 4)
18
F. Hukum adat di Indonesia : Gaya Pengakuan Bersyarat
Setelah menjadi negara merdeka pada tahun 1945, Indonesia berusaha
merumuskan pengakuan hukum (baca: perundang-undangan) terhadap masyarakat
adat. Sebuah terobosan brilian dilakukan oleh UUD 1945 versi sebelum
amandemen. Kendati ketika itu wacana HAM di tingkat internasional belum
mendiskusikan isu IPs, UUD 1945 telah membuat pengakuan terhadap
masyarakat adat dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250
daerah- daerah dengan susunan asli (zelfbesturende, volksgemeenschappen),
seperti marga, desa, dusun dan negeri. Sesuatu yang tidak dilakukan oleh UUD
RIS dan UUDS. Tonggak kedua pengakuan hukum terhadap masyarakat adat
dirumuskan lima belas tahun kemudian saat Undang-Undang No. 5/1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria diundangkan. UUPA mengakui keberadaan
masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat dilakukan
sepanjang menurut kenyataanya masih ada, tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berbeda dengan UUD 1945 sebelum
amandemen, UUPA memperkenalkan konsep pengakuan bersyarat, yang
kemudian diikuti secara baku oleh peraturan perundangan sesudahnya.
G. Urgensi Hukum adat
1. Indonesia: Negara Multi Kultural
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras,
etnis, klan, agama. Hukum Adat muncul salah satunya adalah untuk menjaga dan
mengakomodasi kekayaan kultural bangsa Indonesia yang semakin terpendam
19
sehingga tetap dikenal dan menjadi elemen penting dalam perumusan hukum
nasional yang adaptif dan mempunyai daya akseptabilitas yang tinggi untuk
masyarakat.
2. Hukum Adat dalam Tata Hukum Nasional Indonesia
Kedudukan hukum Adat dalam konstelasi tata hukum nasional Indonesia
senyampang ia tidak menghambat segera tercapainya masyarakat Sosialis
Pancasila yang nota bene dari dulu sampai sekarang menjadi pengatur-pengatur
hidup bermasyarakat kita, harus menjadi dasar-dasar elemen, unsur-unsur hukum
yang kita masukkan dalam hukum nasional kita yang baru. Hal ini terdapat pada
salah satu point dalam rumusan Dasar-dasar dan Asas-asas Tata Hukum Nasional
oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional.
H. Masyarakat dan Perubahan Sosial
1. Interaksi Sosial dan Stratifikasi Sosial
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa salah satu
unsur obyek kajian sosiologi adalah proses sosial. Bentuk umum proses sosial
adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan
sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan
bersama. Berlangsungnya proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara
lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Adapun syarat-syarat
terjadinya interaksi sosial adalah kontrak sosial dan komunikasi.
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap
hal-hal tertentu dalam masyarakat. Penghargaan itu akan menempatkan sesorang
pada kedudukan yang lebih tinggi. Gejala ini menimbulkan adanya stratifikasi
20
sosial (lapisan masyarakat), pembedaan masyarakat secara vertikal. Ukuran yang
bisa dipakai untuk mengklasifikasi anggota masyarakat antara lain, ukuran
kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan. Ketika pola interaksi
sosial serta sistem stratifikasi masyarakat bergeser maka hukum Adat sebagai
norma dasar yang lebih dekat kepada masyarakat akan berubah juga.
2. Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Setiap manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan.
Perubahan itu dapat terjadi pada nilai sosial, norma sosial, pola perilaku
organisasi, lapisan masyarakat, lembaga kemasyarakatan, interaksi sosial dan lain
sebagainya. Perubahan sosial itu terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-
unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya
perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan.
Para pakar sering mempersoalkan tentang hubungan antara perubahan
sosial dan perubahan kebudayaan. Sebagian mengatakan bahwa perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, karena kebudayaan mencakup
semua aspek kehidupan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan
sosial dan kebudayaan, yaitu: a) jumlah penduduk yang berubah, b) penemuan
baru, c) pertentangan masyarakat (conflict) dan d) terjadinya pemberontakan atau
revolusi.
21
BAB IV
KESIMPULAN
Sudah sekian lama pembahasan tentang hukum Adat belum diadakan
pembaharuan dan reobservasi ulang. Masyarakat tidaklah statis, ia akan selalu
berubah dan mengalami proses dinamisasi. Seseorang yang tidak sempat
menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia misalnya, akan
berpendapat bahwa masyarakat tersebut statis, tidak maju, dan tidak berubah.
Pernyataan demikian didasarkan pada pada pandangan yang sepintas, kurang
mendalam, dan hanya berhenti pada satu titik. Karena tidak ada suatu masyarakat
pun yang berhenti pada satu titik tertentu sepanjang masa. Apalagi perubahan
yang terjadi di masyarakat dewasa ini berjalan normal dan menjalar dengan cepat
berkat adanya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Oleh
karena itu, tidak ada alasan untuk segera dilakukan rekonstruksi dan reresearch
terhadap konsep hukum Adat di Indonesia.
22
DAFTAR PUSTAKA
Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung
Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung
Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press
Seminar Hukum Nasional VII, Jakarta, 12 s/d 15 Oktober 1999. Djaren Saragih, 1984
Soerjo W, 1984, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, P.T. Gunung Agung
Soemardi Dedi, SH. Pengantar Hukum Indonesia, IND-HILL-CO Jakarta
Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993
________________. Sosiologi (Suatu Pengantar). Jakarta: Rajawali Press. 2001
Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993
Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia
top related