manifestasi penyakit sistemik pada rongga mulut
Post on 31-Jul-2015
2.182 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MANIFESTASI PENYAKIT SISTEMIK PADA RONGGA MULUT
Drg. Farah Dibayanti NoormaniahDr. Tetrawindu Agustiono Hidayatullah
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Mataram
Banyak penyakit sistemik yang mempunyai manifestasi di rongga mulut. Rongga mulut dapat
menjadi jendela tubuh kita karena banyak manifestasi pada rongga mulut yang menyertai
penyakit sistemik. Kami telah mempelajari beberapa makalah/artikel/jurnal dan
menggambarkan manifestasi mulut dari beberapa penyakit sistemik. Banyak lesi pada
mukosa mulut, lidah, gingiva, gigi, periodontal, glandula salivarius, tulang wajah, kulit
disekitar mulut yang terkait dengan penyakit sistemik umum.
Penyakit-penyakit darah
Anemia
Anemia defisiensi besi adalah penyakit darah yang paling umum. Manifestasi pada rongga
mulut berupa atropik glossitis, mukosa pucat, dan angular cheilitis. Atropik glossitis,
hilangnya papila lidah, menyebabkan lidah lunak dan kemerahan yang menyerupai migratori
glossitis. Migratori glossitis, dikenal juga dengan sebutan geographic tongue, merupakan
suatu kondisi lidah yang tidak diketahui penyebabnya yang mempengaruhi 1-2% populasi.
Hal tersebut mengakibatkan lesi kemerahan, non- indurasi, atropik dan dibatasi dengan
sedikit peninggian pada lidah, pinggir yang nyata dengan warna yang bermacam-macam dari
abu-abu sampai putih. Pada atropik glossitis, area-nya tidak mempunyai batas keratotik putih
dan cenderung meningkat ukurannya daripada perubahan posisinya. Pada kasus yang lebih
parah, lidah menjadi lunak. Angular cheilitis, terjadi pada sudut bibir, yang disebabkan
karena infeksi candida albicans (1) menyebabkan kemerahan dan pecah-pecah, serta rasa
ketidaknyamanan. Manifestasi Plummer-Vinson syndrome juga termasuk disfagi akibat
ulserasi pharyngoesophageal. Komplikasi-komplikasi rongga mulut muncul bersamaan
dengan anemia sickle sel berupa osteomyelitis salmonella mandibular yang tampak sebagai
area osteoporosis dan erosi yang diikuti oleh osteosklerosis. Anesthesia atau paresthesia pada
nervus mandibular, nekrosis pulpa asymptomatik mungkin juga dapat terjadi (2). Kondisi-
kondisi tersebut semakin parah apabila terjadi proliferasi sumsum tulang yang hebat.
Deformitas dentofacial yang berhubungan dicirikan secara radiograpfik sebagai area dengan
penurunan densitas dan pola trabekular kasar yang paling mudah dilihat diantara puncak akar
gigi dan batas bawah mandibula. Osteosklerosis dapat terjadi bersamaan dengan trombosis
dan infarksi.
Leukimia
Komplikasi oral leukimia sering berupa hipertrofi gingiva, petechie, ekimosis, ulkus mucosa
dan hemoragik (3). Keluhan yang jarang berupa neuropati nervus mentalis, yang dikenal
dengan ”numb chin syndrome” (4). Ulserasi palatum dan nekrosis dapat menjadi pertanda
adanya mucormycosis cavum nasalis dan sinus paranasalis (5). Enam belas persen dan 7%
anak dengan leukimia akut dilaporkan mengalami gingivitis dan mucositis (6). Infeksi
bakterial rongga mulut, yang dapat menjadi sumber septisemia, merupakan hal yang sering
dan harus segera dideteksi dan diobati secara agresif. Pengobatan leukimia dengan agen
kemoterapi dapat mengakibatkan reaktivasi Herpes Simplex Virus (HSV) yang dapat
mengakibatkan terjadinya mukositis. Namun mukositis akibat kemoterapi dapat terjadi tanpa
reaktivasi HSV, karena penipisan permukaan mukosa dan/atau supresi sumsum tulang yang
mengakibatkan invasi organisme oportunistik pada mukosa
Multiple Myeloma (MM)
Bila MM melibatkan rongga mulut, biasanya berupa manifestasi sekunder pada rahang,
terutama mandibula, yang dapat mengakibatkan pembengkakan rahang, nyeri, bebal, gigi
goyah, fraktur patologik (7). Punched out lesions pada tengkorak dan rahang merupakan
gambaran radiografik yang khas. Insidensi keterlibatan rahang pada MM sekitar 15 % (8).
Karena MM mengakibatkan immunosupresi, maka timbul beberapa infeksi seperti oral hairy
leukoplakia dan candidiasis (9). Timbunan amyloid pada lidah menyebabkan macroglossia (10).
Penyakit rheumatologik
Sjogren’s syndrome
Pasien Sjogren’s syndrome (SS) sering mengalami xerostomia dan pembengkakan kelenjar
parotis (11). SS sering dihubungkan dengan arthritis reumatoid. Pada suatu penelitian (12), 88%
pasien dengan SS mengalami abnormalitas aliran ludah pada submandibular/sublingual, dan
55% mengalami abnormalitas aliran kelenjar parotis. Pembengkakan kelenjar parotis atau
kelenjar submandibular ditemukan pada 35% pasien SS. Xerostomia dapat dihubungkan
dengan fissure tongue, depapilasi dan kemerahan yang terdapat pada lidah, cheilitis, dan
candidiasi.
Fungsi menelan dan bicara menjadi sulit karena adanya xerostomia persisten. Parotitis
bakterial yang biasanya disertai demam dan discharge purulen dari kelenjar juga dapat
terjadi. Hal tersebut meningkatkan karies gigi, terutama pada servik gigi (13). Penting untuk
mengenal SS dengan cepat dan merujuk ke dokter gigi karena karies gigi dapat berkembang
cepat. Diagnosa sering dipastikan dengan biopsi glandula salivarius labialis minor. Secara
histologik, terdapat infiltrat limfosit periduktal.
Scleroderma (Sclerosis sistemik progresif)
Scleroderma merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan adanya sklerosis difus dari
kulit, saluran gastrointestinal, otot jantung, paru-paru dan ginjal. Bibir pasien scleroderma
tampak berkerut karena konstriksi mulut, menyebabkan kesulitan membuka mulut. Fungsi
stomatognatik termasuk mulut dan rahang juga mengalami kesulitan. Fibrosis esophageal
menyebakan hipotensi sphincter esophageal bawah dan gastroesophageal reflux, terjadi pada
75% pasien scleroderma (14). Disfagia dan rasa terbakar termasuk gejalanya. Mukosa mulut
tampak pucat dan kaku. Telangietacsias multiple dapat terjadi. Lidah dapat kehilangan
mobilitasnya dan menjadi halus seperti rugae palatal yang menjadi datar. Fungsi glandula
saliva dapat menurun walaupun tidak separah Sjogren’s syndrome. Ligamen periodontal
sering tampak menebal pada gambaran radiografik.
Lupus erythematosus (LE)
Lupus erythematosus terbagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan sistemik lupus
erythematosus (SLE). Lesi-lesi mulut terjadi pada 25-50% pasien DLE dibandingkan dengan
7-26% pasien SLE (15). Pada DLE, lesi ini biasanya mulai tampak sebagai area keputihan
irregular yang kemudian meluas kearah perife.
Setelah lesi ini meluas, bagian tengah daerah ini menjadi merah dan menjadi ulcer sedangkan
bagian tepi meninggi dan hyperkeratotik. Lesi mulut lichen planus mirip lesi mulut pada DLE
baik secara klinis maupun histologi (16). Kriteria histologik yang jelas harus dilakukan untuk
membedakan keduanya.
Ulserasi mulut dan nasopharyngeal diketahui sebagai manifestasi diagnostik mayor pada SLE
oleh American Rheumatism Association Commite on Diagnostic and Therapeutic Criteria.
Ulserasi-ulserasi ini biasanya tidak menimbulkan nyeri dan melibatkan palatum(17). Lesi-lesi
purpurik seperti ecchymosis dan petechiae juga dapat terjadi. Lebih dari 30% pasien SLE,
sering melibatkan glandula saliva, yang mendorong terjadinya Sjogren’s syndrome sekunder
dan xerostomia yang parah.
Arthritis Rheumatoid
Sendi Temporomandibular (TMJ) sering terlibat dalam arthritis rheumatoid. Hal ini sering
dicirikan dengan erosi pada condylus yang mengakibatkan berkurangnya gerakan mandibula
dan disertai nyeri ketika digerakkan. Mulut kering dan pembengkakan kelenjar ludah dapat
juga ditemukan pada pasien arthritis rheumatoid (18). Pada pasien-pasien tersebut dapat juga
timbul SS sekunder. Fungsi rahang yang menurun penting untuk dilakukan rekonstruksi TMJ
segera setelah penyakit utamanya terkontrol. Sendi prosthetik dapat menjadi solusi sementara
pada pasien tersebut.
Penyakit Onkologi
Kanker Metastase
Tumor metastase rongga mulut dapat menyerang pada jaringan lunak atau keras. Namun hal
ini sangat jarang, hanya sekitar 1% neoplasma maligna rongga mulut. Tumor lebih sering
bermetastase ke rahang daripada jaringan lunak rongga mulut. Tumor pada rahang sering
terdeteksi bila timbul keluhan bengkak, nyeri, paresthesia, atau setelah menyebar ke jaringan
lunak. Secara keseluruhan, tempat tumor primer metastase ke rahang berasal dari payudara,
sedangkan paru-paru merupakan tempat tumor primer tersering untuk metastase ke jaringan
lunak rongga mulut. Pada laki-laki, paru-paru merupakan tempat primer tersering baik untuk
metastase ke rahang dan jaringan lunak rongga mulut. Regio molar mandibula merupakan
tempat metastase tersering. Pada 30% kasus, lesi metastase rongga mulut merupakan indikasi
pertama adanya malignansi yang tidak terdeteksi dari tubuh (19).
Manifestasi awal metastase ke attached gingiva dapat menyerupai satu dari 3 macam lesi
hyperplastik reaktif pada gingiva dan harus ditegakkan dengan biopsi. Fibroma ossifikasi
perifer biasanya muncul dengan bentuk kecil, berbatas tegas, bermassa padat dengan dasar
berbentuk sessile atau pedunculated pada margin gingiva bebas.
Lesi merah muda pucat sampai merah diatas dapat menjadi besar dan dapat terjadi pada
semua umur (insidensi puncak pada umur 20 th). Tumor pyogenik atau ”pregnancy tumor”
yang mempunyai kecenderungan berdarah, juga dapat terjadi pada attached gingiva. Lesi ini
biasanya kecil (diameter kurang dari 1cm), merah, dan berulserasi. Lesi lain yang juga kecil,
berbatas tegas, bermassa padat merah gelap, sessile atau pedunculated pada attached gingiva
adalah granuloma giant cell perifer (20). Sebagai kesimpulan, penting untuk mengetahui
macam-macam tumor yang bermetastase ke rongga mulut.
Histiocytosis sel Langerhans (Histiocytosis X)
Histiocytosis sel Langerhans (HSL) mewakili spectrum ganguan klinik dari yang sangat
agresive dan penyakit mirip leukemia parah pada bayi sampai lesi soliter pada tulang (21).
Hilangnya tulang alveolar pada anak-anak dengan eksfoliasi prekok gigi susu harus diduga
adanya HSL. HSL dapat juga terjadi pada usia remaja dan dewasa. Dari tulang-tulang rahang,
mandibula yang paling sering terlibat. Tanda-tanda yang muncul adalah nyeri,
pembengkakan, ulserasi, gigi tanggal (ompong). Gambaran radiografik menunjukkan gigi
tampak melayang di udara (floating in air) dikelilingi daerah radiolusen yang luas. Hal ini
berkaitan dengan hilangnya tulang alveolar yang cepat. Istilah granuloma eosinofilik tulang
(eosinophilic granuloma of bone) digunakan bila lesi soliter ditemukan, namun lesi multipel
dapat muncul kemudian (Gbr. 5).
Kelainan Endokrin
Diabetes Mellitus (DM)
Banyak manifestasi rongga mulut pada DM, beberapa diantaranya dapat diketahui sejak awal
tahun 1862. Pada umumnya gejala-gejalanya tampak parah, dan sangat progresive pada
pasien IDDM (Independent Insulin DM) yang tidak terkontrol dari ada pasien NIDDM yang
terkontrol. Penelitian menunjukkan bahwa umur, lama penyakit, dan tingkat kontrol
metabolik memegang peranan penting timbulnya manifestasi-manifestasi rongga mulut
pasien diabetes daripada jenis diabetes apakah IDDM atau NIDMM (22). Sekitar sepertiga
pasien diabetes mempunyai keluhan xerostomia yang mana hal ini berkaitan dengan
menurunnya aliran saliva dan meningkatnya glukosa saliva. Kemudian, pembesaran glandula
parotis bilateral difus, keras, yang disebut sialadenosis dapat timbul. Proses ini tidak
reversibel meskipun metabolisme karbohidrat terkontrol baik. Perubahan pengecapan dan
sindrom mulut terbakar juga dilaporkan pada pasien DM tak terkontrol. Xerostomia
merupakan faktor predisposisi berkembangnya infeksi rongga mulut. Mukosa yang kering
dan rusak lebih mudah timbulnya infeksi oportunistik oleh Candida albican. Candidiasis
erytematosus tampak sebagai atropi papila sentral pada papila dorsal lidah dan terdapat pada
lebih dari 30% pasien DM. Mucormycosis dan glossitis migratory benigna juga mempunyai
angka insidensi yang tinggi pada IDDM di populasi umum (22).
Telah ditemukan bahwa terdapat insidensi yang tinggi karies gigi pada pasien dengan DM
yang tidak terkontrol. Hal ini dihubungkan dengan tingginya level glukosa saliva dan cairan
krevikuler. Penyembuhan luka yang tidak sempurna, xerostomia yang diikuti dengan
penimbunan plak dan sisa makanan, kerentanan terhadap infeksi, dan hiperplasi attached
gingiva, semua memberi kontribusi meningkatnya insidensi penyakit periodontal pada pasien
diabetes (23).
Hypoparatiroidisme
Penurunan sekresi hormon paratiroid (PTH) dapat terjadi setelah pengambilan glandula
paratiroid, begitu juga destruksi autoimun terhadap glandula paratiroid. Sindrom-sindrom
yang jarang, seperti Digeorge Syndrome dan Endocrine-candidiasis syndrome sering
dihubungkan dengan keadaan ini. Hipocalcemia terjadi mengikuti turunnya hormon
paratiroid (24). Chvostek sign, tanda khas hipokalsemia, dicirikan dengan berkedutnya bibir
atas bila nervus facialis diketuk tepat dibawah proccesus zygomaticus. Jika hipoparatiroid
timbul di awal kehidupan, selama proses odontogenesis/pertumbuhan gigi, dapat terjadi
hipoplasi email dan kegagalan erupsi gigi. Adanya candidiasis oral persisten pada pasien
muda menunjukkan mulai terjadinya sindrom endocrine-candidiasis (25).
Hyperparatiroidisme
Manifestasi awal hiperparatiroid adalah hilangnya lamina dura di sekitar akar gigi dengan
perubahan pola trabecular rahang yang muncul kemudian. Terdapat penurunan densitas
trabecular dan kaburnya pola normal yang menghasilkan penampakan ”ground glass” pada
gambaran radiografiknya (26). Dengan menetapnya penyakit, lesi tulang lainnya muncul,
seperti hiperparatiroid ”brown tumor”. Nama ini berasal dari warna spesimen jaringan yang
mencolok, biasanya merah tua-coklat akibat perdarahan dan tumpukan hemosiderin dalam
tumor. Gambaran radiografik menunjukkan lesi ini unilokuler atau multiloculer radiolusen
yang berbatas tegas yang biasanya merusak mandibula, clavicula, iga, dan pelvis. Lesi ini
soliter, namun lebih sering multipel. Lesi yan bertahan lama dapat mengakibatkan ekspansi
cortical yang nyata. Secara histologik, lesi ini dicirikan sebagai proliferasi hebat jaringan
granulasi vascular yang menjadi latar belakang timbulnya multi-nucleated osteoclast-type
giant cells. Hal ini identik dengan lesi lain yang dikenal dengan lesi giant cell sentral pada
rahang.
Hypercortisolisme
Hypercortisolisme atau Cushing’s syndrome, berasal dari meningkatnya glukokortikoid darah
yang terus-menerus. Hal ini juga bisa berkaitan dengan terapi kortikosteroid lain atau
produksi berlebih endogen dari glandula adrenal. Horman adrenokorticotropik (ACTH) yang
berlebih dari tumor pituitari juga menyebabkan hipercortisolisme dan penyakit Cushing’s.
Penumpukan jaringan lemak di area wajah dikenal sebagai ”moon facies”. Pasien juga
mengalami facial hirsutism yang bervariasi. Fraktur patologis mandibula, maxilla atau tulang
alveolar juga dapat terjadi karena trauma benturan ringan akibat osteoporosis. Penyembuhan
fraktur, begitu juga penyembuhan tulang alveolar dan jaringan lunak setelah pencabutan gigi
menjadi tertunda.
Hypoadrenocortisisme
Hypoadrenocortisisme berasal dari kurangnya produksi horman kortikosteroid adrenal karena
adanya kerusakan cortex adrenal, kondisi ini dikenal sebagai hypoadrenocortisisme primer
atau Addison’s disease. Hal ini biasanya berkaitan dengan autoimmune, juga dapat
disebabkan karena infeksi seperti tuberculosis, tumor metastase, amyloidosis, sarcoidosis atau
hemochromatosis. Hypoadrenocortisisme sekunder berkembang karena fungsi glandula
pituitary yang inadequate. Manifestasi orofacial termasuk A ”bronzing” hyperpigmentasi
pada kulit, terutama pada area yang paling banyak terpapar matahari (sun-exposed area).
Hal ini disebabkan karena meningkatnya kadar beta-lipotropin atau ACTH, yang keduanya
dapat menstimulasi melanosit. Perubahan kulit ini didahului oleh melanosis mukosa mulut.
Pigmentasi kecoklatan difus atau bercak sering terjadi di mukosa buccal, namun dapat terjadi
di dasar mulut, ventral lidah dan bagian lain mukosa mulut.
Penyakit Ginjal
Uremik Stomatitis
Stomatitis Uremia cukup jarang, hanya sering ditemui pada gagal ginjal kronik yang tidak
terdiagnosis atau tidak terobati. Kerak atau plak yang nyeri sebagian besar terdistribusi di
mukosa bukal, dasar atau dorsal lidah, dan pada dasar rongga mulut. Angka insidensinya
telah menurun seiring dengan tersedianya peralatan dialysis di banyak rumah sakit.
Mekanisme yang diterima yang melatarbelakangi timbulnya uremik stomatitis yaitu luka
pada mukosa dan iritasi kimia akibat senyawa amonia yang terbentuk dari hidrolisis urea oleh
urease saliva. Hal ini terjadi bila konsentrasi urea intraoral melebihi 30 mmol/L (27). Diatesis
hemoragik yang berasal dari inhibisi agregasi platelet dapat juga berperan dalam terjadinya
hemoragik lokal, yang menyebabkan turunnya viabilitas dan vitalitas jaringan yang terkena,
yang akhirnya menyebabkan infeksi bakteri.
Ada 2 jenis uremik stomatitis (27), pada tipe I, terdapat eritema lokal atau general di mukosa
mulut, dan eksudat pseudomembran tebal abu-abu yang tidak berdarah/ulserasi bila diambil.
Gejala lain dapat berupa nyeri, rasa terbakar, xerostomia, halitosis, perdarahan gingiva,
dysgeusia, atau infeksi candida. Pada tipe II, dapat terjadi ulserasi bila pseudomembran
tersebut diambil. Tipe ini dapat mengindikasikan bentuk stomatitis yang lebih parah, infeksi
sekunder, anemia atau gangguan hematologik sistemik yang mendasari ayn disebabkan oleh
gagal ginjal. Secara histologik, kedua tipe uremik stomatitis tersebut menunjukkan proses
inflamtorik yang berat, dengan infiltrasi berat lekosit pmn dan nekrosis mukosa mulut.
Kolonisasi bakteri yan sering ditemukan adalah Fusobacterium, spirochaeta, atau candida.
Penyakit Gastrointestinal
Chron’s Disease
Pada tahun 1969, manifestasi oral penyakit Chron’s digambarkan identik dengan yang terjadi
di mukosa intestinal. Secara histologi, lesi ini mempunyai gambaran granuloma non-necrotik
di submucosa, yang terdiri dari sel raksasa Langerhan multinuklear, sel epiteloid, limfosit,
dan sel plasma. Granuloma-granulom ini dapat bervariasi dalam ukuran dan kedalamannya di
submukosa, dan insidensinya bervariasi dari 10-99% (28). Kadang-kadang granuloma ini
menonjol ke dalam lumen limfatik, suatu keadaan yang disebut ”limfangitis granulomatosa
endovasal” (“endovasal granulomatous lymphangitis”) (29).
Secara klinik, pasien tersebut memiliki gejala pembengkakan difus pada satu atau kedua
bibir, dengan angular cheilitis, dan ”cobblestone” pada mukosa buccal dengan mukosa yang
rigid dan hiperplastik. Dapat juga terjadi nyeri ulserasi pada vestibulum bukal,
pembengkakan terlokalisir yang tidak nyeri pada bibir atau wajah, fissure pada garis tengah
bibir bawah, dan edema erythematos gingiva (30). Limfonodi servik dapat menjadi keras dan
terpalpasi. Tidak ada hubungan waktu yang langsung antara intestinal dan lesi rongga mulut.
Lesi rongga mulut telah terbukti mendahului lesi intestinal selama bertahun-tahun, dan pada
beberapa kasus dapat menjadi satu-satunya manifestasi penyakit Chron’s. Lesi rongga mulut
hanya dapat berefek dengan steroid sistemik.
Kolitis Ulseratif
Kolitis Ulseratif telah dihubungkan dengan ulserasi oral destruktif akibat dari
immunemediated vasculitis (31). Penyakit ini mirip dengan ulser aphtosa, namun lebih jarang
dari Chron’s Disease. Pyostomatitis vegetans merupakan manifestasi oral dari colitis
ulseratif, berwujud mikroabses intraepitelial multipel tanpa nyeri dalam garis lurus atau
berkelok-kelok di mukosa lidah, soft palatum, ventral lidah. Pyostomatitis gangrenosum
merupakan varian lain yang cukup hebat dengan ulser yang besar, destruktif, dan bertahan
lama yang menimbulkan jaringan parut yang sangat nyata (32).
Kesimpulan
Penyakit sistemik sering muncul dengan abnormalitas struktur rahang dan rongga mulut.
Pemahaman yang tepat tentang penyakit rongga mulut dapat mendukung pelacakan,
penegakan dianosis dan pengobatan penyakit sistemik yang mendasarinya. Diagnosis yang
tepat penting untuk memulai pengobatan yang benar. Dokter pada pelayanan primer serta
dokter gigi sebaiknya mengetahui masalah tersebut.
Tinjauan Pustaka
1. Zegarelli DJ. Fungal infections of the oral cavity. Otolaryngol Clin North Am 1993; 26:1069-1089.
2. Kelleher M, Bishop K, Briggs P. Oral complications associated with sickle cell anemia: A review and case report. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:225-228.
3. Lynch MA, Ship II. Initial oral manifestations of leukaemia. J Am Dent Assoc 1967; 75:932-940.
4. Hiraki A, Nakamure S, Abe K, et al. Numb chin syndrome as an initial symptom of acute lymphocytic leukemia: Report of three cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1997; 83:555-561.
5. Jones AC, Bentsen TY, Freedman PD. Mucormycosis of the oral cavity. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993; 75:455-460.
6. Childers NK, Stinnett EA, Wheeler P, et al. Oral complications in children with cancer. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993; 75:41-47.
7. Lee S, Huang J, Chan C. Gingival mass as the primary manifestation of multiple myeloma: Report of two cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:75-79.
8. Witt C, Borges AC, Klein K, Neumann H. Radiographic manifestations of multiple myeloma in the mandible: A retrospective study of 77 patients. J Oral Maxillofac Surg 1997; 55:450-453.
9. Blomgren J, Back H. Oral hairy leukoplakia in a patient with multiple myeloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:408-410.
10. Reinish EI, Raviv M, Srolovitz H, Gornitsky M. Tongue, primary amyloidosis, and multiple myeloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1994; 77:121-125.
11. Lilly JP, Fotos PG. Sjogren's syndrome: Diagnosis and management of oral complications. Gen Dent l996; 44:404-408.
12. Daniels TE. Sjogren's syndrome: Clinical spectrum and current diagnostic controversies. Adv Dent Res l996; 10:3-8.
13. Atkinson JC, Fox PC. Sjogren's syndrome: Oral and dental considerations. J Am Dent Assoc 1993; 124:74-86.
14. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 878-879
15. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 800-801.
16. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 93-94.
17. Cohen AS, Canoso JJ. Criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1972; 15:540-543.
18. Gynther GW, Tronje G, Holmlund AB. Radiographic changes in the temporomandibular joint in patients with generalized osteoarthritis and rheumatoid arthritis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 81:613-618.
19. Hirshberg A, Leibovich P, Buchner A. Metastatic tumors to the jawbones: Analysis of 390 cases. J Oral Pathol Med 1994; 23:337-341.
20. Bodner L, Peist M, Gatot A, Fliss DM. Growth potential of peripheral giant cell granuloma. Ora1 Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1997; 83:548-551.
21. Cleveland DB, Goldberg KM, Greenspan JS, et al. Langerhans' cell histiocytosis: report of three cases with unusual oral soft tissue involvement. Oral Surg Ora1 Med Oral Pathol Ora1 Radiol Endod 1996; 82:541-548.
22. Oliver RC, Tervonen T, Flynn DG. Enzyme activation in crevicular fluid in relation to metabolic control of diabetes and other risk factors. J Periodontol 1993; 64:358-362.
23. Falk H, Hugoson A, Thorstensson H. Number of teeth, prevalence of caries and periapical lesions in insulin-dependent diabetics. Scand J Dent Res 1989; 97:198-206.
24. Spiegel AM. Hypoparathyroidism. In: Wyngaarden JB, Smith LH Jr, Bennett JC, editors. Cecil’s textbook of medicine. Philadelphia: W.B. Saunders; 1992. pp. 1419-1420.
25. Walls AWG, Soames JV. Dental manifestations of autoimmune hypoparathyroidism. Oral Surg Oral Med Oral Path 1993; 75:445-452.
26. Hayes CW, Conway WF. Hyperparathyroidism. Radiol Clin North Am 1991; 29:85-96.27. Ross WF, Salisbury PL. Uremic stomatitis associated with undiagnosed renal failure. Gen
Dent 1994; 9/10:410-412.28. Giller JP, Vinciguerra M, Heller A, et al. Treatment of gingival Crohn=s disease with laser
therapy.N Y State Dent J 1997; 5:32-35.29. Eveson JW. Granulomatous disorders of the oral mucosa. Semin Diagn Pathol 1996;
13(2):118-127.30. Williams AJK, Wray D, Ferguson A. The clinical entity of orofacial Crohn=s disease. Q J
Med 1991; 289:451-458.31. Beitman RG, Frost SS, Roth JLA. Oral manifestations of gastrointestinal disease. Dig Dis Sci
1981; 26(8):741-747.32. Tyldesley WR. Mouth lesions as markers of gastrointestinal disease. Practitioner 1983;
227:587-590.
Seriawan (disebut pula sariawan) atau stomatitis aphtosa adalah suatu kelainan pada selaput lendir mulut berupa luka pada mulut yang berbentuk bercak berwarna putih kekuningan dengan permukaan agak cekung. Munculnya Seriawan ini disertai rasa sakit yang tinggi.
Seriawan merupakan penyakit kelainan mulut yang paling sering ditemukan. Sekitar 10% dari populasi menderita dari penyakit ini, dan wanita lebih mudah terserang daripada pria.
Ada beberapa faktor penyebab yang diduga menjadi penyebab munculnya seriawan, seperti luka tergigit, mengkonsumsi makanan atau minuman panas, alergi, kekurangan vitamin C dan zat besi, kelainan pencernaan, kebersihan mulut tidak terjaga, faktor psikologi, dan kondisi tubuh yang tidak fit.
Seriawan di tempat yang sama selama dua minggu hingga satu bulan dapat dijadikan indikasi adanya kanker rongga mulut.
Stomatitis Aphtous/Ulcer bukan hanya disebabkan karena kekurangan Vitamin C, namun sebaliknya SA dikenal disebabkan oleh alergi citrus atau alergi makanan yang mengandung asam, kondisi imun yang lemah, obat-obatan tertentu, trauma fisik (ataupun penggunaan gigi palsu baru), dsb.
Penyakit kekurangan vitamin C sendiri adalah Scurvy atau kegagalan proses sintesis kolagen yang ditandai dengan gusi mudah berdarah, pendarahan kulit (purpura) dsb.Scurvy dahulu terjadi ketika orang-orang Eropa berlayar selama berbulan-bulan lamanya untuk berpetualang dan mengambil rempah-rempah yang sangat berlimpah di Asia. Karena berada di atas lautan selama berbulan-bulan, maka para awak kapal tidak bisa mengkonsumsi sayur dan buah. Akibatnya tubuh mereka kehabisan total vitamin C. Padahal kita tahu vitamin C ini sangat dibutuhkan oleh seluruh sel-sel hidup agar dapat berfungsi dengan baik. Makanya timbullah luka-luka pada berbagai tempat, misalnya pada mulu, gusi, dan lidah. Tak hanya itu, selaput lendir mata, usus, hidung, serta kulit juga menunjukkan gejala yang sama.
Melihat keadaan demikian, seorang dokter kapal Inggris, James Lind (1747) berusaha meniliti kenapa keadaan demikian bisa terjadi. Lantas ia mengadakan percobaan di atas kapal tersebut dengan memberi makan separuh dari awak kapal dengan 2 jeruk orange dan sebuah lemon setiap hari. Ternyata kelompok yang diberi makan jeruk ini tidak terserang scurvy, sementara yang tidak diberi buah mengalami sakit. Kemudian ia menyimpulkan bahwa kekurangan vitamin C-lah penyebabnya.
Dan sekarang, kondisi seperti di kapal tersebut hampir-hampir tidak pernah terjadi lagi. Namun, masyarakat tetap makan vitamin C (kadang-kadang dosis tinggi) untuk mengobati atau mencegah sariawan. Padahal, tidak terdapat bukti ilmiah bahwa sariawan (biasa) dapat disembuhkan oleh vitamin C. Walau memang benar, vitamin C sangat diperlukan oleh tubuh kita. Dan alam telah menyediakannya secara berlimpah dalam tomat, jeruk, paprika, cabai, serta berbagai jenis buah dan sayuran dengan kandungan vitamin C yang cukup tinggi. Dan biasanya sariawan akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari bila makanan yang merangsang seperti cabai, cuka, dan yang bersifat asam dihindari untuk sementara.
Dan sebaliknya, ada kecurigaan bahwa vitamin C dosis tinggi (terutama yang dilumatkan dalam mulut) dan makanan yang pedas serta asam merupakan penyebab bahkan memperpanjang sariawan. Banyak laporan yang menyatakan orang-orang yang memakan
jeruk asam dari Australia (yang banyak di jual di Indonesia), biasanya langsung terserang sariawan. Dan bila dilakukan challenge test (diberi lagi) sariawan akan timbul lagi.
Namun ada faktor-faktor lain yang bisa menyebabkan sariawan, diantaranya adalah gigi geraham yang runcing karena patah atau karsinoma.
Dipasaran sekarang tersedia berbagai macam obat untuk mengurangi rasa sakit akibat sariawan. Ada yang berbentuk sirup maupun salep oles. Pilihan kembali kepada Anda, mau menunggu beberapa hari untuk hilangnya sariawan (dengan tidak makan-makanan yang merangsang tentunya) atau membeli obat di apotek karena merasa mengganggu aktifitas sehari, itu terserah Anda.
Mengatasi Sariawan
Sariawan atau stomatitis adalah radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan. Bercak itu dapat berupa bercak tunggal maupun berkelompok. Sariawan dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi, serta langit-langit dalam rongga mulut. Meskipun tidak tergolong berbahaya, namun sariawan sangat mengganggu.
Sariawan dapat disebabkan oleh kondisi mulut itu sendiri, seperti kebersihan mulut yang buruk, pemasangan gigi palsu, luka pada mulut karena makanan atau minuman yang terlalu panas, dan kondisi tubuh, seperti adanya alergi atau infeksi.
Sariawan identik dengan kekurangan vitamin C. Kekurangan vitamin itu memang mengakibatkan jaringan di dalam rongga mulut dan jaringan penghubung antara gusi dan gigi mudah robek yang akhirnya menyebabkan sariawan. Namun, kondisi tersebut dapat diatasi jika kita sering mengonsumsi buah dan sayuran.
Sariawan umumnya ditandai dengan rasa nyeri seperti terbakar yang terkadang menyebabkan penderita sulit untuk menelan makanan, dan bila sudah parah dapat menyebabkan demam. Gangguan sariawan dapat menyerang siapa saja, termasuk bayi yang masih berusia 6-24 bulan.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa faktor psikologis (seperti emosi dan stres) juga merupakan faktor penyebab terjadinya sariawan. Kondisi lainnya yang diduga memicu sariawan yaitu kekurangan vitamin B, vitamin C, serta zat besi; luka tergigit pada bibir atau lidah akibat susunan gigi yang tidak teratur; luka karena menyikat gigi terlalu keras atau bulu sikat gigi yang sudah mengembang; alergi terhadap suatu makanan (seperti cabai dan nanas); gangguan hormonal (seperti sebelum atau sesudah menstruasi); menurunnya kekebalan tubuh (setelah sakit atau stres yang berkepanjangan); dan adanya infeksi oleh mikroorganisme.
Sariawan dapat diredakan dengan menggunakan beberapa jenis obat, baik dalam bentuk salep (yang mengandung?antibiotika dan penghilang rasa sakit), obat tetes, maupun obat kumur. Saat ini, sudah banyak tersedia pasta gigi yang dapat mengurangi terjadinya sariawan. Jika sariawan sudah terlanjur parah, dapat digunakan antibiotika dan obat penurun panas (bila disertai dengan demam). Sariawan umumnya akan sembuh dalam waktu 4 hari. Namun, bila sariawan tidak kunjung sembuh, segera periksakan ke dokter, karena hal itu dapat menjadi gejala awal adanya kanker mulut.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya sariawan, antara lain yaitu menghindari kondisi stres; sering mengonsumsi buah dan sayuran, terutama yang mengandung vitamin B, vitamin C, dan zat besi; menjaga kesehatan atau kebersihan gigi dan mulut; serta menghindari makanan dan obat-obatan yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada rongga mulut.
Read more: http://doktersehat.com/penyakit-sariawan/#ixzz1YdSG6VtV
top related