manajemen koperasi syariah dan bmt
Post on 08-Feb-2016
794 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Manajemen Koperasi Syariah dan BMT
(Oleh :Bambang Irawan)
Mahasiswa Jurusan Syariah dan ekonomi Islam ( IAIN ) Bengkulu
Abstrak
Lembaga keuangan bank dan non bank memiliki peranan penting dalam
sistem keuangan suatu negara. Salah satunya adalah menjaga stabilitas
keuangan dalam perekonomian suatu negara. Karena itu lembaga keuangan
bank dan non bank menjadi salah satu pilar stabilitas ekonomi keuangan.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia secara
otomatis ikut memacu perkembangan lembaga keuangan syariah baik bank
maupun non bank. Oleh karena itu banyak inovasi-inovasi dari lembaga
keuangan baik bank maupun non bank.
Baitul maal wa tamwil dan koperasi syariah sebagai lembaga keuangan
mikro berperan sangat penting dalam perkembangan ekonomi masyarakat.
Karena lembaga-lembaga tersebut langsung bersentuhan dengan industri mikro
yang dijalankan oleh masyarakat luas. Untuk itu penulis akan membahas lebih
jauh mengenai BMT dan koperasi syariah beserta mekanisme dan sistem
operasinya dalam membantu usaha mikro di masyarakat.
Keyword : BMT, Koperasi Syariah, Perekonomian, Produk
1
PEMBAHASAN
A. Pengertian BMT dan Koperasi Syariah
BMT kepanjangan dari Balai Usaha Mandiri Terpadu atau yang
lebih dikenal dengan kepanjangan dari Baitul Maal Wat Tamwiil . Baitul
maal wat tamwil (BMT) sendiri terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal
dan baitul tamwil. Baitul Maal terdiri dari kata bait yang berarti rumah
sedangkan maal berasal dari kata mall yang artinya harta, jadi baitul maal
artinya rumah harta. Baitul maal lebih mengarah kepada usaha – usaha
pengumpulan dan penyaluran dana yang non – profit, seperti; zakat, infaq
dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan
dan amanahnya. Sedangkan baitut tamwiil secara etimologi berasal dari
kata baitun dan mawala, tetapi jamaknya tamwil yang artinya berputar atau
produktif sehingga dana yang ada dapat disimpan untuk dibiayakan atau
diputar melalui usaha agar produktif, jadi dengan kata lain baitut tamwil
adalah usaha yang melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha
mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
Sedangkan “koperasi”, dari segi etimologi berasal dari bahasa
Inggris yaitu cooperation yang artinya bekerja sama. Sedangkan dari segi
terminologi koperasi syariah ialah suatu perkumpulan atau organisasi yang
beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang bekerja sama dengan
penuh kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar
sukarela secara kekeluargaan dengan berpegang pada Al-qur’an dan Sunnah
sehingga sesuai dengan syariat islam.
Dalam hal ini visi dari adanya kegiatan BMT adalah mengarah pada
upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga keuangan yang mandiri,
2
sehat, dan kuat, yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggotanya
(ibadah dalam arti yang luas), sehingga mampu berperan sebagai wakil-
pengabdi Allah SWT, memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya.
Sedangkan tujuan dari didirikannya BMT adalah untuk
meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Sama halnya dengan BMT,
koperasi syariah juga dalam perkembangannya memiliki tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta turut membangun tatanan perekonomian yang berkeadilan
sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Di sisi lain, BMT memiliki fungsi
antara lain:
1. Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisir, mendorong, dan
mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota,
Kelompok Usaha Anggota Muamalat (Pokusma) dan kerjanya,
2. Mempertinggi kualitas SDM anggota dan Pokusma agar menjadi lebih
profesional dan islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam
mengahadapi tantangan global,
3. Menggalang dan mengorganisir potensi masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan anggota.1
BMT, dalam perkembangannya memiliki ciri-ciri utama, yaitu:
1. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan
ekonomi paling banyak untuk anggota dan lingkungannya,
2. Bukan lembaga sosial, akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk
mengefektifkan pendistribusian zakat, infak, sedeka, bagi kesejahteraan
orang banyak,
1 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 448-450.
3
3. Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat
disekitarnya,
4. Milik bersama masyarakat kecil dan bawah dari lingkungan BMT
sendiri, bukan milik orang seorang atau bukan pula milik orang dari luar
masyarakat itu.
Sedangkan koperasi syariah, memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Mengakui hak milik individu terhadap modal usaha
2. Tiadanya transaksi yang berbasis bunga (riba)
3. Berfungsi sebagai institusi zakat
4. Mengakui mekanisme pasar
5. Mengakui motif mencari keuntungan
6. Mengakui kebebasan berusaha
7. Mengakui adanya hak bersama
B. Prinsip Manajemen BMT dan Koperasi Syariah
Dalam menjalankan usahanya BMT menggunakan 3 prinsip:
1. Prinsip Bagi Hasil
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang meliputi tata cara
pembagian hasil usaha antara pemodal (penyedia dana) dengan
pengelola dana. Pembagian bagi hasil ini dilakukan antara BMT dengan
pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana (penyimpan dan
penabung). Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah
Mudharabah dan Musyarakah.
2. Prinsip Jual-beli dengan Keuntungan (Mark-Up)
Prinsip ini merupakan suatu tata cara jual beli yang dalam
pelaksanaannya BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang
diberikuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian
BMT bertindak sebagai penjual, menjual barang tersebut kepada
nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bagi
4
BMT atau sering disebut margin mark-up. Keuntungan yang diperoleh
BMT akan dibagi juga kepada penyedia/penyimpan dana. Bentuk
produk prinsip ini adalah Mudharabah dan Bai’bitsaman ajil.
3. Prinsip Non-profit
Prinsip ini disebut juga dengan pembiayaan kebajikan, prinsip
ini lebih bersifat sosial dan tidak profit oriented. Sumber dana untuk
pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya (non cost of money) yang
disebut pembiayaan Qardul Hasan.
Seperti halnya BMT, koperasi syariah juga memiliki prinsip-prinsip
yang terangkum dalam fungsinya sebagai lembaga keuangan yang
menghimpun dan menyalurkan dananya ke masyarakat. Sehingga dalam hal
ini koperasi memiliki fungsi:
1. Fungsi sebagai Manajer Investasi
Koperasi Syari’ah merupakan manajer Investasi dari pemilik
dana yang dihimpunnya. Besar kecilnya Hasil Usaha Koperasi
tergantung dari keahlian, kehati-hatian, dan profesionalisme koperasi
Syari’ah. Penyaluran dana yang dilakukan koperasi syari’ah memiliki
implikasi langsung kepada berkembangnya sebuah koperasi syari’ah.
Koperasi Syari’ah melakukan fungsi ini terutama dalam akad
pembiayaan Mudharabah, dimana posisi bank sebagai “agency
contract” yaitu sebagai lembaga yang menginvestasikan dana-dana
pihak lain pada usaha-usaha yang menguntungkan. Jika terjadi kerugian
maka Koperasi syari’ah tidak boleh meminta imbalan sedikitpun karena
kerugian dibebankan pada pemilik dana. Fungsi ini terlihat pada
penghimpunan dana khususnya dari bentuk tabungan Mudharabah
maupun investasi pihak lain yang tidak terikat. Oleh karenanya tidak
sepatutnya koperasi syari’ah menghimpun dana yang bersifat
mudharabah baik tabungan maupun investasi tidak terikat jika tidak
memiliki obyek usaha yang jelas dan menguntungkan.
5
2. Fungsi sebagai Investor
Koperasi Syari’ah menginvestasikan dana yang dihimpun dari
anggota maupun pihak lain dengan pola investasi yang sesuai dengan
syar’ah. Investasi yang sesuai meliputi akad jual beli secara tunai (Al
Musawamah) dan tidak tunai (Al Murabahah), Sewa-menyewa (Ijarah),
kerjasama penyertaan sebagian modal (Musyarakah) dan penyertaan
modal seluruhnya (Mudharabah). Keuntungan yang diperoleh dibagikan
secara proporsional (sesuai kesepakatan nisbah) pada pihak yang
memberikan dana seperti tabungan sukarela atau investasi pihak lain
sisanya dimasukan pada pendapatan Operasi Koperasi Syari’ah.
3. Fungsi sosial
Konsep Koperasi Syari’ah mengharuskan memberikan
pelayanan sosial baik kepada anggota yang membutuhkannya maupun
kepada masyarakat dhu’afa. Kepada anggota yang membutuhkan
pinjaman darurat (mergency loan) dapat diberikan pinjaman kebajikan
dengan pengembalian pokok (Al Qard) yang sumber dananya berasal
dari modal maupun laba yang dihimpun. Di mana anggota tidak
dibebankan bunga dan sebagainya seperti di koperasi konvensional.
Sementara bagi anggota masyarakat dhuafa dapat diberikan pinjaman
kebajikan dengan atau tanpa pengembalian pokok (Qardhul Hasan) yang
sumber dananya dari dana ZIS (zakat, infak dan shadaqoh). Pinjaman
Qardhul Hasan ini diutamakan sebagai modal usaha bagi masyarakat
miskin agar usahanya menjadi besar, jika usahanya mengalami
kemacetan, ia tidak perlu dibebani dengan pengembalian pokoknya.
C. Perbedaan BMT dan Koperasi Syariah
Dalam operasionalnya, BMT dan KJKS (koperasi Jasa Keuangan
Syariah) sebenarnya tidak terlalu banyak perbedaannya. Sebagai lembaga
keuangan, keduanya mempunyai fungsi yang sama dalam penghimpunan
6
dan penyaluran dana. Istilah-istilah yang digunakan juga tidak ada bedanya.
Dalam proses penghimpunan dana, keduanya menggunakan istilah
simpanan atau tabungan. Begitu pula dalam penyaluran dananya, keduanya
menggunakan istilah pembiayaan. Sedang syarat pendirian kedua lembaga
tersebut mengharuskan minimal 20 orang.
Selain itu, dalam buku Petunjuk Pelaksanaan Koperasi Jasa
Keuangan Syariah yang diterbitkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM,
pada pasal 25 ditegaskan bahwa operasional KJKS juga memungkinkan
untuk melaksankan fungsi ‘Maal’ dan fungsi ‘Tamwil’, sebagaimana yang
selama ini dijalankan oleh BMT. Dalam hal ini, KJKS harus dapat
membedakan secara tegas antara fungsi ‘Maal’ dan fungsi ‘Tamwil’.
Permasalahan yang terjadi di BMT saat ini, terletak pada legalitas
hukumnya. Realita yang terjadi selama ini, legalitas eksistensi BMT belum
mempunyai payung hukum yang jelas. Rancangan Undang-Undang LKMS
yang selama ini dapat diharapkan untuk menjadi payung hukum BMT
belum juga ada kejelasannya. Jika RUU LKMS sudah disahkan, maka
keberadaan BMT dapat dicantolkan di UU LKMS.
Melihat kondisi yang seperti ini, agar BMT tidak dianggap sebagai
lembaga keuangan yang ilegal (gelap), akhirnya beberapa BMT beroperasi
dengan berbadan hukum koperasi, yaitu dengan cara mendaftarkan
operasionalnya ke Kantor Dinas Koperasi dan UKM di tingkat Kabupaten
atau Kotamadya.
Adapun yang sedikit membedakan adalah dalam pelaksanaannya.
Pada BMT memungkinkan penyaluran dananya pada pihak luar, yaitu pihak
yang belum menjadi anggota BMT. Sedangkan, dalam operasional KJKS,
penyaluran dananya hanya diperuntukkan pada pihak yang telah terdaftar
menjadi anggota KJKS. Dalam hal ini, KJKS hanya diperbolehkan
memberikan pembiayaan kepada anggota. Hal ini sesuai dengan prinsip
dasar koperasi, dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota.
7
Adanya koperasi syariah (KJKS) yang telah menjadi salah satu
program Kementerian Negara Koperasi dan UKM merupakan solusi bagi
pemecahan kebuntuan legalitas BMT. Sehingga, diharapkan BMT-BMT
yang saat ini belum berbadan hukum dapat mengkonversi menjadi koperasi
syariah.
D. Produk dan Mekanisme Operasional BMT dan Koperasi Syariah
Dalam BMT ada macam-macam produk yang di tawarkan, yaitu:
1. Produk Penghimpunan Dana
a. Al- Wadi’ah. Penabung memiliki motivasi hanya untuk keamanan
uangnya tanpa mengharapkan keuntungan dari uang yang ditabung.
Dengan sistem ini BMT tetap memberikan bagi hasil namun nisbah
bagi penabung sangat kecil.
b. Mudharabah. Penabung memiliki motivasi untuk memperoleh
keuntungan dari tabungannya, karena itu daya tarik dari jenis
tabungan ini adalah besarnya nisbah dan sejarah keuntungan bulan
lalu.
c. Amanah. Penabung memiliki keinginan tertentu yang di-aqad-kan
atau diamanahkan kepada BMT. Misalnya, tabungan ini dimintakan
kepada BMT untuk pinjaman khusus kepada kaum dhu ‘afa atau
orang tertentu. Dengan demikian tabungan ini sama sekali tidak
diberikan bagi hasil.
2. Produk Penyaluran Dana
a. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan modal kerja yang
diberikan oleh BMT kepada anggota, dimana pengelolaan usaha
sepenuhnya diserahkan kepada anggota sebagai nasabah debitur.
Dalam ha1 ini anggota (nasabah) menyediakan usaha dan sistem
pengelolaannya (manajemennya). Hasil keuntungan akan dibagi
sesuai dengan kesepakatan bersama.
8
b. Pembiayaan Musyarakah yaitu pembiayaan yang menggabungkan
modal dan melakukan usaha bersama dalam suatu kemitraan,
dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan kedua belah.
c. Pembiayaan Murabahah merupakan pembiayaan yang diberikan
kepada anggota untuk pembelian barang-barang yang akan dijadikan
modal kerja. Pembiayaan ini diberikan untuk jangka pendek tidak
boleh lebih 6 (enam) sampai 9 (sembilan) bulan atau lebih dari itu.
Keuntungan bagi BMT diperoleh dari harga yang dinaikkan.
d. Pembiayaan Bai’ Bitsaman Ajil. Pembiayaan ini hampir sama
dengan pembiayaan murabahah, yang berbeda adalah
pembayarannya dilakukan dengan cicilan dalam waktu yang agak
panjang. Pembiayaan ini lebih cocok untuk pembiayaan investasi.
BMT akan mendapatkan keuntungan dari harga barang yang
dinaikkan
e. Pembiayaan Qardul Hasan merupakan pinjaman lunak yang
diberikan kepada anggota yang benar-benar kekurangan
modal/kepada mereka yang sangat membutuhkan untuk keperluan-
keperluan yangsifatnya darurat. Nasabah (anggota) cukup
mengembalikan pinjamannya sesuai dengan nilai yang diberikan
oleh BMT.
E. Peraturan Hukum dalam BMT
Baitul Mal wat Tamwil merupakan lembaga ekonomi atau lembaga
keuangan syariah nonperbankan yang sifatnya informal. Disebut bersifat
informal karena lembaga keuangan ini didirikan oleh Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) yang berbeda dengan lembaga keuangan formal lainnya.
BMT dapat didirikan dan dikembangkan dengan suatu proses legalitas
hukum yang bertahap. Awalnya dapat dimulai dengan kelompok swadaya
masyarakat dengan mendapatkan sertifikat operasi/kemitraan dari Pusat
9
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (PINBUK) dan jika telah
mencapai nilai aset tertentu segera menyiapkan diri ke dalam badan hukum
koperasi.2
Penggunaan badan hukum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi
untuk BMT disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga
keuangan formal yang dijelaskan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan
dana masyarakat. Menurut aturan yang berlaku, pihak yang berhak
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat adalah bank umum dan
bank perkreditan rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional
maupun dengan prinsip bagi hasil.3 Namun demikian, jika BMT dengan
badan hukum KSM atau koperasi telah berkembang dan memenuhi syarat-
syarat BPR, maka pihak menajemen dapat mengusulkan diri kepada
pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagai Bank Perkreditan Rakyat
Syariah dengan badan hukum koperasi atau perseroan terbatas.
F. Prospek dan Pengembangan BMT
Sebagai salah satu lembaga keuangan syariah, BMT dipercaya lebih
mempunyai peluang untuk berkembang dibanding dengan lembaga
keuangan lain yang beroperasi secara konvensional karena hal-hal sebagai
berikut:
1. Lembaga keuangan sayriah dijalankan dengan prinsip keadilan, wajar
dan rasional, di mana keuntungan yang diberikan kepada nasabah
penyimpanan adalah benar dari keuntungan penggunaan dana oleh para
pengusaha lembaga keuangan sayriah. Dengan pola ini, maka lembaga
2 Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, Usaha Kami, Depok, 1996, hlm. 216.3 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, PT Citra aditiya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 53-57
10
keuangan syariah terhindar dari negative spread, sebagaimana yang
tercitra dari lembaga konvensional.
2. Lembaga keuangan sayriah memiliki misi yang sejalan dengan program
pemerintah, yaitu pemberdayaan ekonomi rakyat, sehingga berpeluang
menjalin kerjasama yang saling bermanfaatdalamupaya pencapaian
masing-masing tujuan. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah
mengmbangkan perekonomian yang berbasis pada ekonomi kerakyatan
melalui kredit-kredit program KKPA Bagi Hasil, Pembiayaan Modal
Kerja (PMK) BPRS, Pembiayaan Usaha Kecil dan Mikro (PPKM). Hal
ini tentu saja membuka peluang bagi BMT untuk mengembangkan pola
kemitraan.
3. Sepanjang nasabah peminjam dan nasabah pengguna dana taat asas
terhadap sistem bagi hasil, maka sistem syariah sebenarnya tahan uji
atas gelombang ekonomi. Lembaga keuangan syariah tidak mengenal
pola eksploitasi oleh pemilik dana kepada pengguna dana dalam bentuk
beban bunga tinggi sebagaimana berlaku pada sistem konvensional.4
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa BMT memiliki peluang cukup
besar dalam keikutsertaannya berperan mengembangkan ekonomi yang
berbasis pada ekonomi kerakyatan. Hal ini disebabkan karena BMT
ditegakkan di atas prinsip syariah yang lebih memberikan kesejukan dalam
memberikan ketenangan baik bagi para pemilik dana maupun kepada para
pengguna dana.
Berdasarkan data yang ada, jumlah BMT pada akhir 1998 telah
berjumlah 1.957 buah, dan 2.938 BMT terdaftar pada tahun 2001, kini
angkanya jauh lebih besar. Dengan anggapan tingkat pertumbuhan serupa
dengan apa yang terjadi pada masa lalu, kini jumlah BMT terdaftar bisa saja
berada di sekitar angka 4.000an.
4 Zainul Arifin, Mwmahami Bank Syariah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, ALvabet, Jakarta, 2000, hlm. 137.
11
Namun demikian harus diakui bahwa pengembangan BMT masih
membutuhkan kerja keras. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh
Minako Sakai dan Kacung Marijan mengenai pertumbuhan BMT di
Indonesia,5 terdapat beberapa rekomendasi yang diusulkan dalam rangka
pengembangan BMT, yaitu:
1. BMT seharusnya berkonsentrasi pada pengelolaan pinjaman–pinjaman
bernilai kecil kepada usaha-usaha mikro dan kecil (dibawah Rp
50.000.000,-). Pada nasabah yang membutuhkan jumlah pinjaman lebih
besar sebaiknya mendapatkan pembiayaan dari bank-bank.
2. BMT seharusnya menyelenggarakan program-program pelatihan bisnis /
kewirausahaan secara berkala bagi anggota-anggotanya (misalnya
melalui pengajian dan rapat-rapat), kegiatan ini akan membantu
meningkatkan modal sosial yang diperlukan guna pengembangan BMT
lebih lanjut di Indonesia.
3. Departemen Koperasi seharusnya memprakarsai kegiatan-kegiatan
merancang dan mendanai program-program peningkatan kemampuan
bagi BMT yang sesuai dengan sifat-sifat kelembagaannya yang unik dan
tujuan sosialnya.
4. Upaya-upaya untuk memberi inspirasi kepada masyarakat agar giat
memecahkan masalah melalui cara-cara yang kreatif dan inovatif yang
nyatanya hal itu saat ini dirasakan masih lemah. Menciptakan suatu
penghargaan yang prestisius juga dapat meningkatkan kebanggaan dan
kesadaran masyarakat terhadap usaha-usaha sosial.
5. Departemen Koperasi seharusnya menghimpun pedoman informasi
wilayah yang memuat keterangan mengenai BMT-BMT yang ada dan
menonjolkan berbagai strategi bisnis, produk dan jasa BMT-BMT
terkemuka. Versi elektronik (web site) juga dapat dipertimbangkan
untuk meningkatkan akses terhadap informasi-informasi tersebut.5 http://www.pkesinterakitf.com/content/vie/3654/204/lang.id/
12
6. Dinas Koperasi dan Departemen Koperasi seharusnya memperjuangkan
peran yang lebih besar bagi usaha-usaha sosial dalam pengembangan
masyarakat. Sesi-sesi pelatihan untuk mengajarkan masyarakat
bagaimana mendiirikan dan menjalankan BMT memang
direkomendasikan, namun akuntabilitas yang lebih ketat juga
diperlukan. Dinas Koperasi seharusnya mendanai BMT-BMT yang
sudah mapan dan mempunyai program pelatihan untuk
menyelenggarakan pelatihan-pelatihan tersebut.
7. Asosiasi-asosiasi BMT di daerah sebaiknya direformasi. Kelompok-
kelompok ini seharusnya berbagi informasi dan mengembangkan
prosedur operasi yang baku sebagai langkah awal menjadi lembaga
yang dapat pengaturan dirinya sendiri.
8. BMT-BMT seharusnya memanfaatkan pengetahuan lokal dan modal
sosial untuk memperluas bisnisnya.
9. BMT-BMT memang seharusnya menjamin dana para anggotanya aman,
namun perlu diingat bahwa usaha-usaha sosial membutuhkan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang memungkinkan keluwesan yang diperlukan
kegiatan-kegiatan sosial. Mengatur BMT dengan dasar-dasar hukum
perbankan yang sudah ada kemungkinan akan menghancurkan fungsi
utama BMT-BMT.
10. Dalam jangka pendek, memasukan BMT ke dalam UU tentang koperasi
lebih layak. Proses perubahan undang-undang sebaiknya melibatkan
konsultasi-konsultasi dengan para operator BMT yang aktif dewasa ini.
Kesimpulan
Dari makalah tersebut kita dapat mengambil kesimpulan mengenai
BMT dan Koperasi Syariah yaitu
13
1. Bahwa BMT dan koperasi Syariah adalah salah satu lembaga keuangan
syariah mikro yang memiliki payung hukum yang sama, selain itu kedua
lembaga tersebut juga memiliki peran dan fungsi yang sama dalam
sistem keuangan dan perekonomian dan membantu dalam
perekonomian masyarakat.
2. Perbedaan BMT dan Koperasi Syariah adalah dalam penghimpunan
dananya BMT mengambil dana dari masyarakat melalui dana tabungan.
Sedangkan dalam Koperasi Syariah penghimpunan dana hanya
diperbolehkan melalui sistem perkoperasian yang telah ditentukan
sebelumnya. Dan dalam hal penyaluran pembiayaan, BMT dapat
menyalurkan pembiayaan kepada siapa saja yang termasuk ke dalam
nasabahnya. Sedangkan koperasi syariah, hanya boleh menyalurkan
pembiayaan kepada sesama anggota koperasi.
3. Sejauh ini produk-produk yang terdapat dalam BMT tidak jauh berbeda
dengan yang telah ada di perbankan syariah, hanya saja masih berskala
mikro.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Alvabet, Jakarta, 2000.
14
Perwataatmadja, Karnaen A., Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, Usaha
Kami, Depok, 1996.
Sudarsono,Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi.
Depok:Ekonisia,2007,Ed.2,Cet.4
Soemitra, Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2009.
Usman,Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, PT Citra
aditiya Bakti, Bandung, 2002.
http://bildri.blogspot.com/2010/03/pertumbuhan-perbankan-syariah-lebih.html
http://www.pkesinterakitf.com/content/vie/3654/204/lang.id/
15
top related