limfoma non.doc
Post on 27-Oct-2015
22 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Limfoma non-Hodgkin (NHL)
Insidensi
Limfoma non-Hodgkin (NHL) merupakan penyakit yang terutama dijumpai pada
usia agak tinggi. Insidensi puncak terdapat di atas 40 tahun dan untuk berbagai subtipe
bahkan di atas 60 tahun. Median umur penderita limfoma non-Hodgkin adalah 50 tahun.
Tetapi ada beberapa tipe, yaitu NHL derajat tinggi, yang juga (dan terutama) terdapat
pada umur anak dan remaja muda. Insidensinya adalah 6 per 100.000.
Etiologi
Etiologi NHL sebagian besar belum diketahui. Pada tipe NHL tertentu, infeksi
virus tampaknya memegang peran. Yang paling banyak diketahui adalah peran virus
Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma
Burkitt (tipe endemik) pada anak-anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat
kerjasama infeksi EBV, infeksi malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi
kromosomal t(8; 14), yang menyebabkan berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia
Barat, EBV dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan
NHL sel-T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis NHL ini jauh kurang jelas
daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.
HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada
hubungan dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah Karibia.
Di Eropa, virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di samping infeksi virus
imunosupresi yang lama merupakan faktor etiologi yang lain. Ini dapat merupakan
imunodefisiensi congenital, seperti misalnya pada ataksia, teleangiektasia, atau kelainan
akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi imunosupresif pada penderita transplantasi.
Pada umumnya penderita ini mendapat limfoma sel-B derajat tinggi. Dibanding dengan
tumor solid telah lebih banyak diketahui mengenai peran onkogen dalam terjadinya NHL.
Pada NHL terdapat translokasi kromosom. Yang khas disini adalah bahwa bagian
kromosom spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor immunoglobulin atau sel
T terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa disini justru
terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu kebetulan. Dalam
perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses pengaturan kembali pada
niveau DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional dari berbagai komponen gen pada
kromosom. Pada proses ini terjadi sementara patah kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan
patah dalam kromosom asli malahan dapat juga terjadi penggabungan yang keliru ke
kromosom lain. Hasilnya adalah suatu translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena
itu dapat terderegulasi dan teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14)
tersebut di atas, dimana satu dari gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14
tergabung ke onkogen c-myc pada kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi
hebat. Translokasi t(8; 14) secara spesifik terdapat pada limfoma Burkitt (endemik dan
sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B derajat tinggi.
Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang terdapat
dalam kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam tipe yang berasal
dari ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini menyebabkan sentrosit dalam
keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat terbatas, dapat hidup lebih lama karena
blokade terhadap apa yang disebut kematian sel terprogram (apoptosis). Efek ini
memegang peran penting pada terjadinya tipe NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa
onkogen dapat menstimulasi proliferasi maupun menghambat kematian sel. Kedua faktor
itu dapat menimbulkan replikasi sel neoplastik.
Patologi
1. Pembagian histologik
Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen
dengan spectrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai kelainan
indolen dengan perjalanan lama dan tidak aktif. Dalam perjalanan waktu
dikembangkan berbagai usaha untuk mendapatkan klasifikasi NHL yang dapat
diyakini dan dapat direproduksi. Semula klasifikasi ini didasarkan atas sifat-sifat
morfologik dan sitokimiawi. Kemudian bertambah dengan kriteria imunologik dan
biologi molekuler, yang dapat memberi gambaran yang lebih tepat mengenai tipe sel
dan stadium pertumbuhannya. Di Eropa pada umumnya digunakan klasifikasi Kiel,
di Amerika Serikat kebanyakan klasifikasi menurut Lukes dan Collins dan kadang-
kadang juga menurut Rappaport. Karena dengan ini perbandingan hasil terapi dan
prognosis mendapat banyak kesukaran, pada tahun 1982 dikembangkan Working
Formulation (WF). Ini bukanlah suatu sistem klasifikasi baru melainkan suatu
kompromi berdasarkan empiri klinik yang dapat membedakan entities dengan
implikasi prognostik.
Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi menjadi 2,
yaitu NHL limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi sel plasma yang
membentuk antibodi (prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T yang nantinya akan
berdeferensiasi menjadi bentuk aktif.
Dibedakan 3 derajat malignitas klinis: rendah (30%), intermedier (40%) dan
tinggi (20%), dan dalam kategori ini digunakan pengertian dari klasifikasi Dorfman,
Lukes, dan Collins. Dua sistem klasifikasi morfologik yang umum dipakai di
Amerika Serikat ini didasarkan atas pola pertumbuhan dan tipe sel. Kriteria
imunologik, yang antara lain membedakan antara tipe sel-B dan sel-T, belum
dimasukkan disini. Tetapi, kepentingan besar WF adalah dalam kenyataan bahwa
WF ini mempunyai nilai prediktif yang baik untuk perilaku klinis malignitas ini.
Karena itu, sistem ini merupakan dasar untuk tindakan terapeutik.
Konsep klasifikasi Kiel berdasar atas perbandingan dengan pertumbuhan sel-
B dan sel-T normal. Limfoma non-Hodgkin dianggap sebagai lawan maligna
stadium spesifik dalam pertumbuhan ini dan dengan itu mempunyai fenotipe yang
cocok (morfologi dan pola penanda). Terutama dalam hal NHL sel-B ini
menyebabkan pengenalan entities biologic yang disebut penyakit limfoma.
Kepentingannya adalah pertama bahwa dalam golongan NHL dengan derajat
malignitas yang sama dapat dibuat prediksi mengenai kelakuan tumornya dalam arti
lokalisasi tumor yang diharapkan (lien, sumsum tulang, ekstranodal, susunan saraf
sentral) dan kemungkinan terhadap relaps. Kedua, cara klasifikasi demikian
merupakan dasar yang baik untuk penelitian medik biologik dalam lapangan non-
Hodgkin. Karena itu, di Amerika Serikat makin besar antusiasme untuk penanganan
demikian. Hal ini belakangan ini menyebabkan usul bersama hematopatolog Eropa
dan Amerika untuk memodernisasi klasifikasi Kiel, berdasar atas kesatuan biologik
yang didefinisikan dengan menggunakan morfologi, imunohistologi, sitogenetika,
dan biologi molekuler (Harris, 1994). Klasifikasi baru ini berbeda dengan klasifikasi
Kiel sedemikian rupa, bahwa tekhnik pemeriksaan modern diimplementasikan dalam
diagnostik NHL dan bahwa juga NHL ekstranodal, yang dalam klasifikasi Kiel tidak
dapat dimasukkan dengan baik padahal kira-kira merupakan 40% semua NHL,
secara eksplisit diikutsertakan.
Pengenalan entities biologi diharapkan dapat menuntun ke pengembangan
terapi yang ditujukan pada perilaku klinis spesifik penyakit limfoma individual.
Tabel 1. Klasifikasi histologik limfoma non-Hodgkin menurut klasifikasi Kiel dan penetapan stadium menurut Working Formulation
Limfoma sel-B Limfoma sel-T
Derajat malignitas rendah Derajat malignitas rendahLimfositik (antara lain CLL)ImunositomaFolikular-sentroblastik/sentrositik
Limfositik (T-CLL)
Derajat malignitas intermedier Derajat malignitas intermedier/tinggi
Folikular-sentroblastik-sentrositikDifus sentroblastikSel mantelSel besar-anaplastik
Pleomorf sel kecil dan sel besarSel besar anaplastikImunoblastikLimfoblastik
Derajat malignitas tinggiImunoblastikBurkittLimfoblastik
Lain-lain Lain-lain
Terasosiasi mukosa (MALT)Leukemia sel rambutPlasmasitoma
Mycosis fungoidesSindroma SezaryKutan (antara lain CD30+)
2. Teknik tambahan pada pemeriksaan histologik
Di samping kriteria morfologik untuk menentukan diagnosis NHL, banyak
digunakan pemeriksaan imunohistokimiawi. Kenyataan bahwa malignitas itu
sifatnya klonal, artinya terjadi dari satu sel yang tertransformasi, dapat digunakan
untuk diferensiasi antara proliferasi reaktif dan NHL. Pada limfoma sel B dalam hal
ini dapat diperhatikan restriksi rantai ringan. Artinya bahwa satu NHL sel B hanya
memproduksi satu tipe rantai ringan, kappa, atau lambda. Ini ditunjukkan dengan
tekhnik imunohistokimiawi. Dengan penggunaan panel zat penanda yang
karakteristik untuk berbagai stadium perkembangan sel B dan sel T lebih lanjut dapat
dibedakan antara NHL sel B dan sel T dan antara berbagai subtipe NHL.
Pemeriksaan imunohistokimiawi, dalam banyak hal harus dikerjakan atas
vriescoupe. Jadi sangatlah penting bahwa patolog anatomi menerima material yang
dikirim (kelenjar limfe, material biopsi lambung, dan lain-lain) tidak terfiksasi, jadi
tidak dalam formalin. Juga dengan menggunakan teknik biologi molecular dapat
ditunjukkan monoklonalitas, tipe sel-B dan sel-T dari proliferasi limfoid. Disini
diperhatikan penyusunan (kembali) gen-gen reseptor immunoglobulin dan sel-T.
juga dengan cara ini dapat diperiksa translokasi yang terdapat pada berbagai tipe
NHL.
Manifestasi Klinis
NHL kebanyakan menampakkan diri sebagai pembesaran kelenjar limfe. Ini dapat
terjadi pada semua stasiun kelenjar. Kelenjar limfe biasanya tidak nyeri dan ukurannya
dapat bervariasi dari 1-2 cm sampai paket yang lebih besar. Pada limfoma folikular
pembengkakan kelenjar limfe kadang-kadang sudah ada beberapa tahun tanpa mengalami
banyak perubahan dalam ukurannya.
Sekitar 20-30% dari NHL mulai ekstranodal, keluhan bervariasi tergantung pada
organ yang terlibat. Limfoma ekstranodal antara lain dapat dijumpai di kulit, traktus
digestivus, tulang, kelenjar tiroid dan testis.
Diagnosis
Diagnosis ditetapkan dengan pemeriksaan material biopsi kelenjar limfe. Pungsi
histologik dapat mencurigakan untuk diagnosis, tetapi histologi diperlukan untuk
klasifikasi yang tepat dan menentukan subtipenya, yang mempunyai konsekuensi
terapeutik penting.
Sesudah diagnosis NHL ditetapkan, perlu dijalankan penetapan stadiumnya.
Pembagian stadium yang digunakan identik dengan yang digunakan pada penyakit
Hodgkin. Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik, dengan perhatian khusus untuk
organ limfoid antara lain juga lingkaran Waldeyer, pemeriksaan inisial ini juga meliputi
analisis darah (gambaran darah, fungsi hepar, fungsi ginjal dan spektrum protein). Jelas
jika ada kelenjar di leher ikut serta dalam proses itu diperlukan pemeriksaan THT.
Pemeriksaan rontgen meliputi foto toraks dan CT-scan perut. CT-scan pada NHL praktis
menggantikan limfangiografi.
Untuk penetapan stadium pengeboran tulang penting, terutama pada limfoma
folikular, hasilnya 60-70% dari kasus positif. Pada limfoma difus sel besar hasilnya lebih
rendah (30%). Karena itu pada limfoma folikular, penyakitnya dalam 70-80% kasus telah
berada dalam stadium III atau IV pada presentasi pertama.
Limfoma limfoblastik dan limfoma Burkitt seperti LLA, dapat menunjukkan
perluasan meningeal, pasti jika sumsum tulangnya positif. Untuk ini diperlukan
pemeriksaan liquor.
Pada NHL dapat terjadi hemolisis autoimun dan trombositopenia. Pada anemia
atau trombositopenia yang tidak jelas sebabnya harus diingat akan hal ini. Kadang-
kadang terdapat juga paraproteinemia.
Tabel 2. Penetapan diagnosis limfoma non-Hodgkin
Anamnesis Gejala-gejala B
Kelainan yang terasosiasi dalam keluarga
Pemeriksaan Kelenjar-kelenjar : lokalisasi dan besarnya
Pembesaran hepar, limpa
Pemeriksaan THT
Pemeriksaan laboratorium LED, Hb, leukosit, trombosit
Faal hati dan ginjal
SLDH
Spektrum protein
Pemeriksaan sumsum tulang
Biopsi tulang Yamshidi
Pemeriksaan rontgen X-thorax
CT-scan toraks-abdomen
Dipertimbangkan/jika ada indikasi
Pemeriksaan imunotipe darah perifer pada lokalisasi ekstranodal atau organ
Pemeriksaan gambar organ bersangkutan dan kelenjar-kelenjar berbatasan
Pemeriksaan lambung pada limfoma THTPemeriksaan liquor pada sumsum tulang positif
pada NHL derajat intermedier tinggiPemeriksaan trombositopenia
hemolisis/autoimun
Pada NHL yang primer terlokalisasi di organ dalam prinsipnya dilakukan
penetapan stadium yang sama, ditambah dengan pemeriksaan organ yang bersangkutan.
Pada limfoma lambung sering didapatkan lokalisasi tonsil, dan juga kebalikannya. Jadi
pemeriksaannya harus diarahkan ke sini.
Terapi
Tabel 3. Pilihan terapi limfoma non-Hodgkin
Derajat rendah (folikular)
Difus (derajat intermedier/tinggi)
Stadium I RT RT
Pada tumor >5cm CT, kemudian RT
Stadium II RT Sebagai stadium III atau IVStadium III-IV
Mungkin :- Wait and see- Mono-CT- Kombinasi CT : CVP- TBI- Terapi ajuvan interferon
Kemoterapi CHOP
Residif- Setelah RT- Setelah CT
Sebagai III-IV
Tergantung interval
Jika singkat : CT lebih intensif
Jika lama : CT yang sama
Sebagai III-IV
Pada umumnya CT tidak resisten silang
Jika remisi : CT dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT
Jika lokal : RT lokal- Fludarabin- Dalam penelitian : CT
dosis tinggi dengan ABMT/PSCT
RT : radioterapi ABMT : transplantasi sumsum tulang autologCT : kemoterapi PSCT : transplantasi sel induk periferTBI : total body irradiation
Pada pemilihan terapi limfoma non-Hodgkin yang penting adalah stadium, derajat
malignitas, dan umur.
1. Terapi limfoma derajat malignitas rendah
Sekitar 25-30% NHL termasuk limfoma derajat malignitas rendah. Dari
golongan ini limfoma folikular sentroblastik-sentrositik merupakan bagian terbesar.
Sebagian besar limfoma ini berada dalam stadium III dan IV. Yang dibicarakan di
bawah terutama mengenai tipe ini (Horning, 1994). Untuk stadium I dan II yang
frekuensinya kecil, radioterapi adalah terapi yang diperlukan. Dengan ini, 70%
penderita dalam stadium I dan 50% dalam stadium II sembuh. Penelitian mengenai
nilai kemoterapi ajuvant sesudah radioterapi tidak menunjukkan perbaikan ketahanan
hidup.
Terdapat problem mengenai terapi stadium III dan IV. Limfoma folikular
mempunyai perjalanan yang sedikit agresif, tetapi kemungkinan penyembuhannya
terbatas. Prosesnya mudah didesak kembali, tetapi tidak dapat dihilangkan karena
masih ada sarang-sarang yang ketinggalan, antara lain di dalam sumsum tulang. Jika
tercapai remisi masih dapat timbul residif. Di samping itu, penderita kebanyakan
lebih tua. Bisa dipilih “tunggu dan amati”, artinya baru dimulai terapi jika jelas ada
progresi. Juga dapat dipilih monokemoterapi yang tidak banyak memberatkan dalam
bentuk klorambusil, atau untuk kemoterapi kombinasi dalam bentuk seri CVP.
Penyinaran tubuh total, dengan menyinari seluruh tubuh dengan dosis rendah, juga
merupakan suatu alternatif.
Tabel 4. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada limfoma non-Hodgkin
Dosis (mg/m2)
Hari ke-
1 2 3 4 5 8 15
CVPVinkristinSiklofosfamidPrednisone
1,4
300
50-100
p.o.
p.o.
p.o.
+
——————
——————CHOP
SiklofosfamidPrednisoneVinkristinPrednisone
750
50
1,4
60-100
i.v.
i.v.
i.v.
p.o.
+
+
+
——————CHVmP/VCR bleo
SiklofosfamidAdriamisinVM 26PrednisoneVinkristinBleomisin
600
50
60
60
1,4
10
i.v.
i.v.
i.v.
p.o.
i.v.
i.v.
+
+
+
—————–
+
+Keterangan : + dosis sekali
— diminum tiap hari berkelanjutan
Pemilihan terapi tidak berpengaruh terhadap ketahanan hidup pasien. Dengan
kombinasi kemoterapi kemungkinan mencapai remisi yang baik lebih besar. Saat
mulai dan macamnya terapi karena itu akan ditentukan oleh umur dan massa
tumornya, dan ada atau tidaknya keluhan.
Pada massa tumor yang kecil dapat diadakan periode observasi, yang pasti
pada penderita yang lebih tua, dan bila terjadi progresi dapat dimulai dengan
klorambusil. Tetapi jika yang dihadapi paket kelenjar limfe yang besar yang
memberi keluhan, maka akan diinginkan regresi yang lebih cepat dan akan dipilih
CVP. Lama terapi ditentukan oleh saat dicapainya remisi baik, kemudian ditunggu.
Pada residif, terapi diulang.
Peran intereferon pada terapi primer pada tahun-tahun akhir ini diteliti.
Sebagai adjuvant yang diberikan pada waktu terapi primer interferon memberi
perbaikan ketahanan hidup bebas penyakit, tetapi tidak untuk lamanya ketahanan
hidup. Tetapi, hasilnya belum sedemikian sehingga penambahan interferon dapat
menjadi standar. Efek samping adalah rasa lelah dan batuk pilek.
Pada NHL derajat malignitas rendah lama remisi pada umumnya tidak
panjang. Sesudah 5 tahun 40% penderita masih dalam remisi. Ketahanan hidup
adalah 70% sesudah 5 tahun, dan 50% sesudah 10 tahun.
Kalau residif terjadi lama sesudah terapi pertama dan bersifat lokal, dapat
dipertimbangkan radioterapi lokal. Pada residif yang lebih tergeneralisasi,
kebijaksanaan tergantung pada intervalnya. Pada interval yang lebih lama (lebih dari
1-2 tahun) dapat dipilih terapi yang sama seperti pada penanganan pertama, pada
interval yang singkat akan dipilih terapi yang lebih berat, misalnya CVP sesudah
leukeran, atau CHOP sesudah CVP.
Tahun-tahun terakhir ini telah dikembangkan beberapa obat baru yang pada
NHL derajat rendah memberi hasil yang lebih baik. Fludarabin, suatu antimetabolit
dalam lini kedua memberi 30% remisi baik dan dalam lini pertama bahkan 60%.
Dapat diharapkan bahwa obat ini akan menduduki tempat yang penting dalam terapi
limfoma tipe ini. Jika digunakan dalam lini kedua atau ketiga, ada kemungkinan
infeksi oportunistik, karena limfosit normal juga turun jumlahnya.
Prognosis tipe limfoma ini dalam tahun-tahun terakhir tidak tampak adanya
kemajuan. Introduksi dosis tinggi kemoterapi dengan transplantasi sumsum tulang
atau sel induk pada limfoma derajat intermedier atau derajat tinggi menimbulkan
pertanyaan apakah ini juga pada limfoma derajat rendah dapat memberikan hasil.
Penelitian untuk ini sedang dilakukan.
2. Limfoma derajat malignitas intermedier dan tinggi
Pada terapi limfoma derajat melignitas intermedier dan tinggi akhir-akhir ini
tampaknya ada perkembangan penting, tetapi ternyata harapan tidak menjadi
kenyataan. Jika disebutkan limfoma derajat intermedier dan tinggi perlu dijelaskan
bahwa di dalam kebanyakan publikasi, dan juga apa yang disebutkan di bawah ini
limfoma limfoblastik tidak termasuk dalam kategori ini. Limfoma ini biasanya
ditangani sebagai LLA. Saat ini, mengenai terapi tidak ada perbedaan antara tipe sel-
T dan sel-B.
Mengenai stadium I, terdapat perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat
bahwa dengan radioterapi saja dalam 60-70% kasus dapat diperoleh kesembuhan.
Jika dalam stadium I limfoma lebih besar dari 5 cm maka radioterapi saja tidak
cukup. Sebagian lain cenderung semua limfoma intermedier dan derajat tinggi
diterapi dengan kemoterapi, tetapi radioterapi saja untuk stadium I dengan massa
kelenjar yang kecil dapat dipertahankan.
Dalam stadium II, III, dan IV, kemoterapi merupakan tindakan terpilih.
Terapi standar masih tetap kemoterapi CHOP (siklofosfamid, adriamisin, vinkristin,
prednisone). Dengan ini kira-kira 60% kasus dapat mencapai remisi komplit, dengan
30% ketahanan hidup lebih lama, atau dalam hal ini kesembuhan.
Sejumlah besar studi dari berbagai institut dengan menggunakan skema
kemoterapi yang lebih baru dan lebih intensif, belakangan ini menunjukkan hasil
lebih baik dibandingkan dengan terapi CHOP. Kemoterapi baru ini berbeda dengan
seri CHOP karena diberikan lebih banyak obat sebagian besar dalam dosis yang lebih
tinggi dan juga dengan interval yang lebih pendek. Contoh adalah m-BACOD dan
pro-MACE-MOPP. Terobosan yang paling konsekuen dalam lapangan ini adalah
kombinasi MACOP-B. Pada cara ini kemoterapi diberikan 12 minggu kontinyu,
tanpa terputus dan hampir sama sekali tanpa memperhitungkan angka-angka darah.
Di samping itu, diberikan profilaktik antibiotik dan kadang-kadang pemberian
trombosit berkali-kali. Persentase remisi komplit adalah 84 dan persentase ketahanan
hidup lama adalah 69. Tetapi ini merupakan penelitian yang tidak dirandomisasi,
berasal dari satu institut.
Belakangan dapat dibaca hasil penelitian besar di Amerika yang dirandom
terhadap 899 penderita, yang di dalamnya dibandingkan beberapa skema baru
dengan terapi standar CHOP. Tidak didapat perbedaan, baik dalam kemungkinan
remisi, maupun dalam ketahanan hidup bebas sakit, atau dalam ketahanan hidup.
Ketahanan hidup bebas penyakit yang panjang adalah antara 40-45% untuk semua
skema yang diteliti. Yang jelas adalah justru adanya lebih banyak morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi sebagai akibat efek samping.
Selanjutnya ternyata bahwa prognosis pada tipe limfoma ini tergantung pada
beberapa cirri inisial, yang disebut faktor prognostik. Telah dibuat analisis luas
mengenai faktor-faktor prognostik ini pada limfoma derajat intermedier dan derajat
tinggi. Faktor prognostik yang terepenting adalah umur (di atas atau di bawah 60
tahun), stadium (I-II versus III-IV), jumlah lokalisasi ekstranodal (0-1 terhadap lebih
dari 2), performance status (0-1 versus 2-3) dan kadar SLDH (normal dibandingkan
dengan abnormal). Ketahanan hidup jangka panjang dapat bervariasi dari 70% pada
faktor tidak menguntungkan 0-1, sampai 20-30% pada adanya faktor tidak
menguntungkan 4 atau 5, tidak tergantung pada terapi. Jadi, sangat mungkin bahwa
hasil baik yang pertama disebutkan dari skema yang lebih intensif itu berdasar atas
kriteria seleksi. Jadi, sementara terapi CHOP yang lama tetap dipertahankan.
Juga pada NHL diterapkan kemoterapi dosis tinggi dengan pemberian
kembali sumsum tulang atau sel induk perifer. Dengan ini dapat dicapai remisi pada
keadaan yang dengan terapi konservatif tidak dapat diharapkan.
Kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT dengan reinfusi sel induk perifer
antara lain diterapkan pada penderita dengan ciri-ciri yang tidak menguntungkan
(volume besar, LDH tinggi), sebagai konsolidasi lini pertama, dan pada penderita
dengan residif pertama atau kedua sesudah mereka dikembalikan lagi di dalam
remisi sebaik mungkin. Ternyata bahwa tidak ada artinya menerapkan terapi ini pada
penderita yang telah diobati dengan segala cara atau pada penderita dengan progresi
selama kemoterapi standar. Indikasi tepat untuk cara penanganan ini belum
seluruhnya pasti dan studi lebih lanjut sedang dilakukan.
Pada penderita lebih tua (1/3 adalah lebih tua daripada 70 tahun) pada waktu
ini sedang diteliti apakah dengan varian terapi CHOP yang lebih dapat ditoleransi
dapat dicapai hasil yang sama: kurang toksisitas, tanpa kehilangan keberhasilan.
Yang digunakan adalah skema CNOP, yang di dalamnya adriamisin dari CHOP
diganti dengan mitoksantron (Novantrone) yang kurang toksisitasnya, meskipun
dalam beberapa studi hasilnya tampak kurang dibandingkan dengan CHOP.
Tempat radioterapi pada penanganan stadium II, III, dan IV limfoma derajat
intermedier dan tinggi tidak jelas. Tidak tampak bahwa radioterapi membantu
perbaikan ketahanan hidup, tetapi residif lokal dapat dicegah. Dalam publikasi yang
paling akhir, radioterapi tidak diberikan sebagai bagian tetap dari terapi.
Jika penyakit ini sesudah kemoterapi lini pertama kembali lagi, sulit
mencapai remisi baru untuk jangka panjang dengan bentuk lain standar kemoterapi.
Pada golongan penderita dengan residif pertama atau kedua yang sensitif untuk
kemoterapi, sementara dapat ditunjukkan bahwa kemoterapi dosis tinggi dengan
bantuan sumsum tulang memperbaiki prognosis dibanding dengan terapi standar.
Posted On: January 3rd, 2010Posted In: Ilmu BedahTags: ebv, Imunitas, limfe, limfoma, non Hodgkin
top related