laptut sken 1
Post on 26-Jun-2015
325 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN KELOMPOK
BLOK XXV KEDOKTERAN KOMUNITAS
SKENARIO 1
Tutor : Prof.Dr. DIDIK GUNAWAN T dr,PAK,MM,M
OLEH KELOMPOK XVI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedokteran komunitas (community medicine) adalah cabang ilmu kedokteran yang
memusatkan perhatian kepada kesehatan anggota komunitas, dengan menekankan diagnosis
dini penyakit, memperhatikan faktor-faktor yang membahayakan (hazard) kesehatan yang
berasal dari lingkungan dan pekerjaan, serta pencegahan penyakit pada komunitas.
Kedokteran komunitas memberikan perhatian tidak hanya kepada anggota komunitas yang
sakit tetapi juga anggota komunitas yang sehat. Sebab tujuan utama kedokteran komunitas
adalah mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan anggota-anggota. Kedokteran
komunitas memberikan pelayanan komprehensif dari preventif, promotif, kuratif hingga
rehabilitatif.
Cabang kedokteran komunitas yang memberikan perhatian khusus kepada kesehatan
keluarga sebagai sebuah unit adalah kedokteran keluarga. Kedokteran keluarga (family
medicine) adalah disiplin ilmu yang menekankan pentingnya pemberian pelayanan kesehatan
yang personal, primer, komprehensif, dan berkelanjutan (continuing) kepada individu dalam
hubungannnya dengan keluarga, komunitas, dan lingkungannya.
Outbreak adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi ekspektasi normal secara
mendadak pada suatu komunitas, di suatu tempat terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota,
atau institusi yang tertutup (misalnya sekolah, tempat kerja, atau pesantren) pada suatu
periode waktu tertentu. Outbreak keracunan makanan terjadi jika ditemukan dua/ lebih
penderita penyakit serupa, biasanya berupa gejala gangguan pencernaan sesudah memakan
makanan yang sama dan hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan makanan sebagai
sumber penularan.
Untuk memberantas suatu penyakit diperlukan pengetahuan tentang epidemiologi
penyakit tersebut serta tersedianya data surveilans yang dapat dipercaya yang berkaitan
dengan kejadian penyakit tersebut agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan
pengendalian penyakit.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah perbedaan tugas dan peran dokter komunitas, dokter keluarga, dan dokter
klinis?
2. Apa sajakah macam-macam pelayanan kesehatan?
3. Apakah perbedaan outbreak, pandemi, dan endemi?
4. Apakah yang dimaksud outbreak dan bagaimana cara menentukan kasus outbreak?
5. Apakah yang dilakukan setelah ditemukan kasus outbreak?
6. Apakah jenis, komponen, fungsi, dan isi data surveilans kesehatan masyarakat?
7. Apakah yang dimaksud dengan outbreak keracunan?
8. Bagaimana cara menghentikan outbreak dan mencegah terulangnya outbreak?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memecahkan masalah kesehatan masyarakat.
2. Mahasiswa mampu memahami kausa distal masalah kesehatan pasien (level keluarga,
komunitas, lingkungan, global) dan anamnesis masalah kesehatan pasien, analisis data
kesehatan sekunder.
3. Mahasiswa mampu memahami prinsip intervensi/ terapi/ pemecahan masalah,
kedokteran berbasis bukti.
4. Mahasiswa mampu menetapkan diagnosis masalah kesehatan keluarga, komunitas
(diagnosis komunitas) dan memahami pelayanan kesehatan preventif, promotif pada
level individu, keluarga, komunitas.
5. Mahasiswa memiliki dasar pengetahuan dan mampu menerapkan konsep dan prinsip
ilmu sebagai dokter profesional, mampu bersaing global, berorientasi kedokteran
komunitas.
6. Mahasiswa mampu mengelola masalah kesehatan pada individu, keluarga ataupun
masyarakat secara komprehensif, holistik, berkesinambungan, koordinatif, dan
kolaboratif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Outbreak
Pada umumnya, outbreak didefinisikan sebagai peristiwa yang terjadi di suatu
komunitas atau daerah dimana frekuensi kasus suatu penyakit meningkat secara jelas di
atas ekspektasi normal. Jumlah kasus yang mengindikasikan terjadinya outbreak bervariasi
tergantung agen infeksius, ukuran dan jenis populasi yang terpapar, paparan sebelumnya,
dan waktu serta tempat kejadian. Oleh karena itu, status outbreak tergantung dari frekuensi
normal penyakit di area yang sama, pada populasi yang sama, dan pada musim yang sama
(Communicable Disease Control Unit (CDC), 2002).
Pada dasarnya outbreak sama dengan epidemi (wabah). Hanya saja kata outbreak
biasanya digunakan untuk suatu keadaan epidemik yang terjadi pada populasi dan area
geografis yang relatif terbatas. Area terbatas yang merupakan tempat terjadinya outbreak
disebut fokus epidemik. Alasan lain penggunaan kata outbreak sebagai pengganti epidemi
karena kata epidemi atau wabah berkonotasi gawat sehingga dapat menimbulkan
kepanikan pada masyarakat (Tomes, 2000).
Wabah diketahui berdasarkan laporan para tenaga kesehatan dan pekerja
laboratorium, pasien atau keluarga pasien, data surveilans kesehatan masyarakat, dan
media massa seperti koran dan televisi (Aragon, Enanoria, Reingold, 2007). Di Indonesia,
pernyataan adanya wabah hanya boleh ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (Darmawan,
2010).
Kemungkinan adanya outbreak perlu diselidiki agar dapat dilakukan penaggulangan
dan pencegahan sekaligus sebagai kesempatan untuk mengadakan penelitian dan pelatihan
(Darmawan, 2010). Investigasi outbreak adalah kemampuan untuk memastikan bahwa
jumlah kasus yang diobservasi secara bermakna lebih besar dibanding dengan yang
diharapkan. Investigasi outbreak menunjukkan apakah outbreak secara tidak proporsional
mengenai subkelompok yang diketahui, tingkatan dan keparahan dari outbreak, serta
potensi penyakit untuk menyebar (Bardosono, 2009).
Tujuan dari investigasi outbreak adalah untuk mengukur besaran dan lamanya
outbreak, menurunkan jumlah kasus yang berkaitan dengan outbreak, mencegah kejadian
yang selanjutnya dengan mengenal dan menghilangkan sumber masalah, mengenal
sindroma penyakit baru, mengenal penyebab baru dari sindroma penyakit yang telah
diketahui, menunjukkan tanggung jawab pihak yang berwenang, melatih petugas
epidemiologi, serta menyediakan relasi publik yang baik dan mendidik masyarakat
(Bardosono, 2009).
Langkah-langkah investigasi outbreak menurut Communicable Disease Control
Unit (CDC) (2002) terdiri dari:
1. Memastikan adanya outbreak.
Adanya outbreak dipastikan dengan membandingkan informasi yang diperoleh
sekarang dengan kejadian sebelumnya di suatu komunitas pada musim yang sama
untuk menentukan apakah jumlah kasus yang diamati melebihi yang diharapkan.
2. Menentukan diagnosis penyakit.
Diagnosis ditentukan berdasarkan riwayat klinis penyakit dan tes laboratorium
standar untuk memastikan atau menolak kemungkinan diagnosis dan untuk menentukan
jenis agen yang berhubungan dengan penyakit.
3. Menentukan definisi kasus dan menghitung jumlah kasus.
Definisi kasus meliputi kriteria klinis dan terutama dalam penyelidikan wabah
dibatasi oleh waktu, tempat dan orang. langkah berikutnya adalah menetapkan metode
untuk menghitung jumlah kasus. Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu
yang diduga mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus.
Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Kasus pasti (confirmed) apabila hasil pemeriksaan lab positif.
b. Kasus mungkin (probable) bila semua ciri klinis penyakit terpenuhi, tanpa
pemeriksaan lab atau hasil pemeriksaan lab negatif.
c. kasus suspek (possible) biasanya hanya memenuhi sebagian gejala klinis saja
(Darmawan, 2010).
4. Menghubungkan outbreak dengan waktu terjadinya, tempat, dan korban.
Penggolongan outbreak didasarkan pada korban, tempat, atau waktu yang didapat
dari hasil wawancara untuk dibandingkan dengan kasus umum. Wawancara tersebut
meliputi kapan mereka sakit (waktu), di mana mereka terinfeksi (tempat), dan siapa
yang terkena (korban).
5. Menentukan siapa saja yang berisiko terkena penyakit.
Dilakukan dengan menghitung jumlah kasus dan menghubungkannya dengan
populasi untuk menentukan siapa saja yang berisiko.
6. Merumuskan hipotesis sementara.
Hipotesis sementara digunakan untuk menjelaskan kemungkinan kasus, sumber
penyakit, dan distribusi penyakit.
7. Membandingkan hipotesis dengan fakta di lapangan.
Hipotesis akan mengarahkan investigasi untuk kemudian diuji dengan berbagai
data yang didapat selama investigasi tersebut.
8. Merencanakan penyelidikan epidemiologi.
Persiapan penyelidikan epidemiologi dimulai dari data apa lagi yang dibutuhkan
dan sumber-sumber apa saja yang tepat digunakan untuk menguji hipotesis, membuat
formulir wawancara, mengumpulkan perlengkapan pengambilan sampel, dan
menghubungi orang-orang yang akan turut serta dalam investigasi.
Investigasi dilakukan dengan mewawancarai orang yang memiliki pengalaman
penyakit serupa pada waktu dan tempat yang sama namun tidak sakit (sebagai kontrol),
mengumpulkan informasi yang tepat, menyelidiki kemungkinan agen penyebab dan
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya outbreak, serta menentukan spesimen dan
sampel.
Semua informasi dan hasil tes laboratorium yang telah terkumpul dirangkum dan
diinterpretasikan, kemudian peneliti membuat kurva epidemik, menghitung rate attack,
membuat diagram dan tabel yang sesuai, menggunakan uji statistik terhadap data, dan
menginterpretasikan data.
Berdasarkan data yang terkumpul dan kalkulasi yang tepat, dapat dilihat apakah
hipotesis diterima atau ditolak. Hipotesis yang diterima harus memenuhi syarat: pola
penyakit pada inang harus berhubungan dengan sifat alami agen, dengan sumber
penyakit, jenis transmisi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya outbreak.
Jika hipotesis ditolak, hipotesis kedua harus segera dibuat dan informasi tambahan
segera dikumpulkan.
9. Penulisan laporan.
Isi laporan tertulis mencakup rangkuman investigasi dan disiapkan segera setelah
hasil investigasi lengkap. Laporan investigasi outbreak berisi data yang lengkap agar
dapat dipublikasikan dan dilakukan pencegahan. Beberapa kesimpulan yang dapat
ditarik dari data tersebut dijabarkan dalam :
a. Kurva epidemik
Kurva ini menunjukkan waktu dimulainya (onset) tiap-tiap kasus. Selang waktu
onset umumnya diukur dari sejak gejala kasus pertama sampai kasus terkhir dimulai.
b. Gejala yang dominan
Gejala yang dominan didasarkan pada persentasi korban yang mengeluhkan suatu
gejala tertentu. Dengan mengacu pada pustaka tentang gejala penyakit yang
disebabkan oleh patogen tertentu, hasil ini dapat digunakan untuk menunjukkan
jenis patogen yang harus diuji.
c. Waktu inkubasi
Waktu inkubasi adalah waktu antara saat terkena paparan penyebab penyakit sampai
dimulainya suatu gejala. Karena hal ini tidak mudah diperoleh, maka perlu waktu
inkubasi biasanya diperkirakan dari kurva epidemik.
d. Attack rate
Attack rate adalah jumlah orang yang terkena penyakit dibagi dengan jumlah orang
yang berisiko sakit (Bardosono, 2009).
Pada kasus keracunan makanan, untuk setiap makanan yang dicurigai sebagai
penyebab keracunan, persentase penyakit di antara orang yang
mengkonsumsikannya (attack rate) dibandingkan dengan attack rate di antara orang
yang tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Dari beberapa makanan yang dicurigai
tersebut makanan yang perbedaan persentase attack rate-nya terbesar adalah yang
paling mungkin merupakan penyebab keracunan tersebut (Siagian, 2002).
10. Melakukan langkah pengendalian dan pencegahan.
Langkah pengendalian yang efektif dikembangkan berdasarkan bukti-bukti yang
telah didapat, yang juga digunakan untuk melakukan pencegahan terulangnya kasus
yang sama di suatu komunitas. Selanjutnya, yang perlu dilakukan adalah memulai atau
meneruskan surveilans mengenai penyakit dan agen. Jika masih terdapat bahaya
penyakit, langkah pengendalian dimulai setelah merumuskan hipotesis sementara.
B. Surveilans Kesehatan Masyarakat
Istilah surveillance berasal dari bahasa Prancis yang berarti mengamati sesuatu,
Istilah ini awalnya dipakai dalam bidang penyelidikan/intelligent untuk memata-matai
orang yang dicurigai (HIMAPID FKM UNHAS, 2008).
Surveilans Kesehatan Masyarakat dapat didefinisikan sebagai upaya rutin dalam
pengumpulan, analisis dan diseminasi data yang relevan yang diperlukan untuk mengatasi
masalah-masalah kesehatan masyarakat (Guntur, 2007).
Surveilans kesehatan masyarakat semula hanya dikenal dalam bidang epidemiologi,
namun dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi di luar bidang
epidemiologi, surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan luas dalam
kesehatan masyarakat. Surveilans mencakup masalah morbiditas, mortalitas, masalah gizi,
demografi, penyakit menular dan tidak menular, demografi, pelayanan kesehatan,
kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, dan beberapa faktor risiko pada individu, keluarga,
masyarakat serta lingkungan sekitarnya (HIMAPID FKM UNHAS, 2008).
Sedangkan Epidemilogi berasal dari bahasa Yunani dari suku kata epi artinya tepi
atau di atas, demo artinya orang atau masyarakat, dan logos artinya ilmu atau pengetahuan
(Dwipayanti, 2010). Epidemiologi didefinisikan sebagai studi sistematis yang dilakukan
untuk mempelajari fakta-fakta yang berperan atau mempengaruhi kejadian dan perjalanan
suatu penyakit atau kondisi tertentu yang menimpa masyarakat (Guntur, 2007).
Studi epidemiologi terbagi menjadi empat jenis:
1. Epidemiologi deskriptif
Epidemiologi deskriptif meliputi pengamatan dan pencatatan terhadap penyakit,
lengkap dengan faktor-faktor penyebab munculnya penyakit tersebut.
2. Epidemiologi analitik
Epidemiologi analitik merupakan analisis hasil pengamatan dengan menggunakan
prosedur diagnostik yang sesuai untuk selanjutnya dilakukan pengujian statistik.
3. Epidemiologi eksperimental
Epidemiologi eksperimental mengamati dan menganalisis data dari kelompok hewan
yang telah terseleksi dan telah ditentukan faktor yang terkait dengan kelompok
amatan. Komponen terpenting dalam pendekatan eksperimental adalah adanya
kelompok kontrol. Hasil penelitian ini mengindikasikan adanya pengaruh kepekaan
individu dalam suatu populasi terhadap perkembangan wabah.
4. Epidemiologi teoritik
Epidemiologi teoritik memberikan gambaran penyakit dalam populasi dengan
menggunakan model matematik untuk membuat simulasi pola alamiah dari kejadian
penyakit tersebut (Dwipayanti, 2010).
Bertambahnya jumlah penduduk mempercepat terjadinya penularan penyakit dari
orang ke orang. Faktor pertumbuhan dan mobilitas penduduk ini juga memperngaruhi
perubahan gambaran epidemiologis serta virulensi penyakit menular tertentu. Perpindahan
penduduk dari satu wilayah ke wilayah baru yang mempunyai ekologi lain membawa
konsekuensi orang-orang yang pindah tersebut mengalami kontak dengan agen penyakit
tertentu yang dapat menimbulkan masalah penyakit baru (Guntur, 2007).
Apapun jenis penyakitnya, yang paling penting dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan adalah mengenal dan mengidentifikasinnya sedini mungkin. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka sistem surveilans yang tertata rapi sangat diperlukan. Oleh
karena itu untuk memberantas suatu penyakit menular diperlukan pengetahuan tentang
epidemiologi penyakit tersebut serta tersedianya data surveilans yang dapat dipercaya
yang berkaitan dengan kejadian penyakit tersebut (Guntur, 2007).
Beberapa di antara manfaat surveilans epidemiologi adalah untuk:
1. mendeteksi perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya.
2. mengidentifikasi dan perhitungan tren dan pola penyakit.
3. mengidentifikasi kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat.
4. mengidentifikasi faktor risiko dan penyebab lainnya.
5. mendeteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi.
6. dapat memonitor kecenderungan penyakit endemis.
7. mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya.
8. memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan kesehatan
di masa datang.
9. membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas sasaran program
pada tahap perencanaan (HIMAPID FKM UNHAS, 2008).
Sebagai suatu sistem, surveilans kesehatan masyarakat mencakup dua kegiatan
manajemen:
1. Kegiatan inti
a. Surveilans
Mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan, analisis, konfirmasi, dan umpan balik.
b. Tindakan
Mencakup respon segera (epidemic type response) dan respon terencana
(management type response).
2. Kegiatan pendukung
meliputi pelatihan, supervisi, penyediaan dan manajemen sumber daya, serta
komunikasi (Hidajah, 2006).
Inti kegiatan surveilans pada akhirnya adalah bagaimana data yang sudah
dikumpulkan, dianalisis, dan dilaporkan ke pemegang kebijakan dapat ditindaklanjuti
dalam pembuatan program intervensi untuk menyelesaikan masalah kesehatan di
Indonesia (HIMAPID FKM UNHAS, 2008).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario 1, didapatkan dr. Galih bertugas sebagai dokter komunitas yang
bertugas di Puskesmas Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Puskesmas itu
melayani pasien umum, Askes, maupun Jamkesmas. Di luar jam kerja, dr. Galih membuka
praktik dokter keluarga yang memberikan pelayanan kesehatan primer.
Pada hakikatnya, seorang dokter komunitas harus bisa memberi perhatian lebih
kepada kesehatan anggota-anggota komunitas, dengan menekankan diagnosis dini penyakit,
memperhatikan faktor-faktor yang membahayakan (hazard) kesehatan yang berasal dari
lingkungan dan pekerjaan, serta pencegahan penyakit pada komunitas. Sebagai dokter
komunitas, dr. Galih memberikan perhatian tidak hanya kepada anggota komunitas yang sakit
tetapi juga anggota komunitas yang sehat.
Kedokteran komunitas berbeda dengan kedokteran biomedis dan kedokteran klinis.
Kedokteran biomedis lebih menekankan pada pembelajaran dan pengembangan teori
kedokteran dalam pada level struktur, organ, jaringan, sel, gen, molekul, pada manusia
maupun pada agen penyakit dan lingkungan. Sedangkan kedokteran klinis lebih menekankan
pada pembelajaran dan praktik berbagai pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk
memulihkan kesehatan dengan cara mencegah dan mengobati penyakit pada individu pasien.
Kemudian perannya sebagai dokter keluarga, dr. Galih memberikan pelayanan
kesehatan yang personal, primer, komprehensif, dan berkelanjutan (continuing) kepada
individu dalam hubungannya dengan keluarga, komunitas, dan lingkungannya. Kedokteran
keluarga juga sering disebut sebagai kedokteran pelayanan primer karena merupakan ujung
tombak pelayanan kesehatan di Indonesia. Contoh pelayanan kesehatan primer lain seperti,
praktik dokter umum, puskesmas, dan lain-lain.
Semalam 5 orang pasien, 3 di antaranya memiliki hubungan keluarga, mengunjungi
tempat praktik pribadi dengan keluhan muntah-muntah dan kepala pusing. Beberapa di
antara mengalami diare. Esok harinya 10 kasus indeks lainnya dengan gejala serupa
mengunjungi Puskesmas dengan keluhan dan gejala sama. Hari berikutnya terdapat 12
orang pasien dengan gejala sama mengunjungi Puskesmas. Dari anamnesis diperoleh
keterangan bahwa 22 dari 27 orang tersebut sehari sebelumnya mengunjungi acara hajatan
keluarga di Dukuh Sidomulyo. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan separoh di antaranya
mengalami dehidrasi sedang.
Kasus di skenario 1 tersebut termasuk ke dalam jenis foodborne outbreak. Penyakit
yang menyerang kasus outbreak ini adalah gastroenteritis. Sebelum melakukan langkah-
langkah lebih lanjut dalam penanganan outbreak, seorang dokter komunitas perlu
mempelajari riwayat alamiah penyakit tersebut, yaitu riwayat alamiah penyakit infeksi.
Kemudian setelah itu baru dilakukan langkah-langkah surveilans dan investigasi outbreak.
Dari kasus di atas, sebagai dokter komunitas, dr. Galih harus memperhatikan bukan
hanya penyebab muntah-muntah, diare, dan dehidrasi sedang yang dialami oleh pasien, tetapi
juga kesamaan riwayat pasien yang mengunjungi acara hajatan keluarga yang sama sehari
sebelumnya. Karena ditakutkan bahwa sebenarnya masih banyak masyarakat yang menderita
gejala yang sama yang belum terdeteksi. Sehingga sebaiknya, dr. Galih, memperhatikan
surveilans masalah kesehatan ini.
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data
secara terus-menerus dan sistematis yang kemudian disebarluaskan kepada pihak-pihak yang
bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2,
2008). Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit,
mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor,
dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat
keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit
(Last, 2001).
Dr. Galih sebaiknya menggunakan suatu metode surveilans secara terpadu (integrated
surveillance), yang artinya memadukan semua teknik surveilans, baik surveilans individu,
surveilans penyakit, surveilans sindromik, dan surveilans berbasis laboratorium. Surveilans
terpadu hakikatnya sama dengan surveilans lainnya, hanya saja lebih memandang surveilans
sebagai pelayanan bersama dan solusi majemuk, pendekatan yang digunakan juga lebih
kepada pendekatan fungsional. Dokter tersebut lebih melakukan pendekatan surveilans aktif
daripada surveilans pasif. Artinya, surveilans aktif merupakan suatu bentuk pengumpulan,
analisis data, dan pelaporan yang dilakukan oleh petugas khusus surveilans untuk melakukan
kunjungan ke lapangan, tempat praktik dokter, dan lain sebagainya untuk mengidentifikasi
kasus baru suatu penyakit atau kematian (case finding atau penemuan kasus) yang kemudian
didesiminasikan. Surveilans aktif lebih akurat daripada surveilans pasif karena dilakukan oleh
petugas yang khusus bekerja dalam surveilans. Sedangkan jika surveilans pasif, pengumpulan
dan analisis data hanya berdasar atas laporan-laporan instansi terkait atau dari data rekam
medik.
Data surveilans kesehatan masyarakat setahun terakhir di puskesmas dan Dinas
Kesehatan Kabupaten menunjukkan, setiap bulan terjadi hanya sekitar 5 kasus seperti itu di
kecamatan tersebut. Dr. Galih curiga kemungkinan telah terjadi outbreak keracunan yang
menyebabkan gangguan gastroenteritis. Dr. Galih juga mempersiapkan kemungkinan
melakukan investigasi outbreak, melakukan studi epidemiologi analitik, dan memikirkan
berbagai cara menghentikan outbreak sekarang dan mencegah terulangnya outbreak di
masa mendatang.
Sebagai dokter komunitas, dr. Galih melakukan investigasi outbreak untuk
mengetahui penyebab terjadinya outbreak foodborne disease sehingga dapat menghentikan
atau mencegah outbreak lebih lanjut. Sedangkan tujuan khusus untuk melakukan investigasi
outbreak antara lain, (1) Agen kausa outbreak; (2) Cara transmisi; (3) Sumber outbreak; (4)
Carrier; (5) Populasi berisiko; (6) Paparan yang menyebabkan penyakit (faktor risiko).
Langkah-langkah investigasi outbreak antara lain: (1) Identifikasi outbreak; (2)
Investigasi kasus; (3) Investigasi kausa; (4) Langkah pencegahan dan pengendalian; (5) Studi
analitik (jika perlu); (6) Komunikasikan temuan; dan (7) Evaluasi dan teruskan surveilans.
Saat identifikasi outbreak, dokter tersebut memperoleh informasi potensi outbreak
dari laporan pasien (kasus indeks). Outbreak adalah peningkatan insidensi kasus yang
melebihi ekspektasi normal secara mendadak pada suatu komunitas, di suatu tempat terbatas,
misalnya desa, kecamatan, kota, atau institusi yang tertutup (misalnya sekolah, tempat kerja,
atau pesantren) pada suatu periode waktu tertentu (Last, 2001). Hakikatnya outbreak sama
dengan epidemi (wabah). Hanya saja terma kata outbreak biasanya digunakan untuk suatu
keadaan epidemik yang terjadi pada populasi dan area geografis yang relatif terbatas. Area
terbatas yang merupakan tempat terjadinya outbreak disebut fokus epidemik.
Kasus tersebut bisa dikatakan outbreak oleh karena peningkatan yang tajam jika
dibandingkan dengan rata-rata jumlah kasus di masa lalu dimana pada tiap bulannya hanya
terjadi 5 kasus, sedangkan saat ini ditemukan 27 kasus dan 22 diantaranya sehari sebelumnya
mengunjungi sebuah hajatan. Kemungkinan terbesar adalah foodborne outbreak. Kemudian,
saat dilakukan investigasi kasus, kasus yang ditemukan termasuk ke dalam kasus suspek
(suspected case) oleh karena hanya terdapat tanda dan gejala klinis serta adanya bukti
epidemiologi tetapi belum terdapat bukti laboratorium yang mengarah ke terjadinya infeksi.
Dalam investigasi kausa, diperlukan wawancara dengan kasus yang kemudian
dilakukan studi epidemiologi deskriptif yang selanjutnya dibuat tabulasi, kurva epidemi, dan
spotmap. Kausa utama yang paling mungkin adalah tidak higienisnya makanan yang
dikonsumsi saat penderita tersebut hadir dalam hajatan (22 orang diantara 27 kasus),
sedangkan sisanya mungkin oleh karena pengolahan makanan yang kurang higienis di
keluarganya.
Menurut kurva epidemi, ada 3 jenis pola utama outbreak, yaitu: (1) Common-source
outbreak (point source outbreak) yang artinya agen penyebab ditularkan ke orang-orang yang
terjangkit pada saat yang sama, waktu yang pendek, pada satu masa inkubasi, dan pada satu
tempat; (2) Continual-source outbreak yang artinya terjadi jika sumber outbreak terus
terkontaminasi sehingga individu yang rentan terus terpapar sumber yang menyebabkan
outbreak; (3) Propagated (person to person, progressive) outbreak yang artinya jika suatu
kasus penyakit berperan sebagai sumber infeksi kasus-kasus berikutnya, kasus berikutnya
bisa menjadi sumber infeksi kasus berikutnya lagi, dan bisa terjadi di berbagai tempat
(Giesecke, 2002). Kasus yang terdapat di skenario 1 tersebut tampaknya yang paling
mungkin adalah jenis common source outbreak. Hipotesis yang mungkin bisa dirumuskan
dalam kasus skenario 1 adalah adanya kontaminasi makanan yang menyebabkan outbreak.
Setelah agen kausa penyebab penyakit ditentukan, dr. Galih dapat melakukan
intervensi untuk menghentikan outbreak dengan cara sebagai berikut: (1) Mengeliminasi
sumber patogen; (2) Memblokade proses transmisi; (3) Mengeliminasi kerentanan
(Greenberg et al., 2005; Aragon et al., 2007). Eliminasi sumber patogen mencakup: (1)
Eliminasi atau inaktivasi patogen; (2) Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source
reduction); (3) Pengurangan kontak antara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi
(karantina kontak, isolasi kasus, dan sebagainya); (4) Perubahan perilaku penjamu dan/ atau
sumber (higiene perorangan, memasak daging dengan benar, dan sebagainya); (5)
Pengobatan kasus.
Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan kepada teka-teki
menyangkut sejumlah kandidat agen penyebab. Fakta yang diperoleh dari investigasi kasus
dan investigasi kausa kadang belum memadai untuk mengungkapkan sumber dan kausa
outbreak. Jika situasi itu yang terjadi, maka peneliti perlu melakukan studi analitik yang lebih
formal.
Studi epidemiologi analitik dilakukan apabila studi epidemiologi deskriptif belum
cukup untuk mengetahui sumber dan kausa outbreak. Studi analitik ini menggunakan studi
kasus kontrol dan studi kohor retrospektif. Penyebab outbreak akan dapat dianalisis dengan
menghitung Risiko Relatif untuk studi kohor dan Odds Ratio untuk studi kasus kontrol,
masing-masing dengan indeks kepercayaan 95%.
Langkah selanjutnya adalah mengkomunikasikan temuan. Pada langkah ini, semua
temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada berbagai pihak
pemangku kepentingan atau pengambil keputusan dalam masyarakat. Kemudian surveilans
dievaluasi dan diteruskan Pada langkah ini diperlukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi
berbagai kelemahan program ataupun infrastruktur dalam sistem kesehatan. Melalui evaluasi
bisa diperoleh solusi dari kekurangan yang terjadi, baik dalam upaya program, sistem
kesehatan, dan sistem surveilans.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Kasus dalam skenario 1 tersebut termasuk foodborne outbreak
2. Sebagai seorang dokter komunitas, apabila ada kasus outbreak perlu dilakukan
penggalian informasi riwayat alamiah penyakit, surveilans, dan investigasi outbreak
secara kontinu.
3. Pencegahan kasus outbreak bisa dilakukan dengan jalan memperbaiki program
kesehatan, sistem surveilans, dan sistem kesehatan.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium sehingga bisa memastikan termasuk
kasus mungkin (probable case) atau kasus pasti (confirmed case).
2. Perlu dilakukan pemeriksaan air sebagai determinan yang terkait dalam foodborne
outbreak.
3. Apabila memang dengan studi epidemiologi deskriptif sudah cukup untuk mencegah
dan mengatasi outbreak, tidak perlu dilakukan studi epidemiologi analitik, kecuali
jika memang masih ada beberapa agen penyebab yang menjadi kandidat kausa
terjadinya outbreak.
Daftar Pustaka:
Aragon T, Enanoria W, Reingold A. 2007. Conducting An Outbreak Investigation in 7 Steps (or Less). http://www.idready.org (30 Agustus 2010).
Bardosono S. 2009. Food-Borne Outbreak. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/17dd53145e88a1f04f05636b025a4dcd7cb0500b.pdf (30 Agustus 2010).
Communicable Disease Control Unit (CDC). 2002. Epidemiological Investigation of Outbreaks. http://www.gov.mb.ca/health/publichealth/cdc/protocol/investigation.pdf (30 Agustus 2010).
Darmawan A. 2010. Wabah Penyakit. http://armaididarmawan.blogspot.com/2010/02/wabah-penyakit.html (12 September 2010)
DCP2. 2008. Public Health Surveillance. The Best Weapon to Avert Epidemics. Disease Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf (14 September 2010).
Dwipayanti A. 2010. Metode Penyidikan Epidemiologi. http://aridwipayanti.blogspot.com/2010/05/bab-i-pendahuluan-1.html (28 januari 2005).
Giesecke J. 2002. Modern Infectious Disease Epidemiology. London: Arnold.
Greenberg R.S., Daniels S.R., Flanders W.D., Eley J.W., Boring J.R. 2005. Medical Epidemiology. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill.
Guntur M. 2007. Surveilans Penyakit Menular. http://mohamadguntur.files.wordpress.com/2007/11/surveilans-dan-pelaporan-penyakit-menular.doc (30 Agustus 2010).
Hidajah A.C. 2006. Konsep Surveilans Epidemiologi. www.fkm.unair.ac.id/files/matkul/KME131/Konsep_Surveilans.pdf (30 Agustus 2010).
HIMAPID FKM UNHAS. 2008. Surveilans Epidemiologi. himapid.blogspot.com/2008/.../surveilans-epidemiologi.htm (30 Agustus 2010)
Last J.M. 2001. A Dictionary of Epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
Siagian A. 2002. Keracunan Pangan oleh Mikroba. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3729/1/fkm-albiner2.pdf (30 Agustus 2010).
Tomes N. 2000. The making of a germ panic, then and now. Am J Public Health. 90: 191–198.
top related