laporan presus ecce anak 3 pandu
Post on 06-Aug-2015
70 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TUGAS PRESENTASI KASUS
“Bronkopneumonia, KDK, dan VSD”
Kelompok I
Tutor : dr. Qodri Santosa, SpA
Pandu Nugroho Kanta G1A009133
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa
atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Pneumonia hingga saat
ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak-anak di negara
berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian
anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia tenggara. Insiden
pneumonia di negara berkembang yaitu 30-45% per 1000 anak dibawah usia 5
tahun, 16-22% per 1000 anak pada usia 5-9 tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada
anak yang lebih tua (Feldman, William. 2000).
Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Di
Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomer tiga setelah
kardiovaskuler dan tuberculosis. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001,
27.6% kematian bayi dan 22.8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit sistem pernapasan, terutama pneumonia. Di RSUD dr. Soetomo
Surabaya, pneumonia menduduki peringkat keempat dari sepuluh penyakit
terbanyak yang dirawat pertahun. Angka kematian pneumonia yang dirawat inap
berkisar antara 20-35% (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008).
Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.
Berdasarkan data WHO, infeksi sauran nafas akut bagian bawah pada tahun 2000
menyebabkan 2,1 juta kematian anak di bawah umur 5 tahun. Menurut WHO
kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10%-20% per
tahun. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari penderita pneumonia akan
meninggal bila tidak diberi pengobatan. Bila hal ini benar maka diperkirakan
tanpa pemberian pengobatan akan didapat 250.000 kematian balita akibat
pneumonia setiap tahunnya (Departemen Kesehatan RI. 2002).
Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi
antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah
terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang demam terjadi
pada 2-4% anak berumur 6 bulan-5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejamg
demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kiurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih
dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam
(Kapita Selekta Kedokteran. 2000).
Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu (Kapita Selekta
Kedokteran. 2000):
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure)
2. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)
VSD (Ventricular Septal Defect) adalah suatu penyakit kelainan pada jantung
bawaan berupa lubang pada septum interventrikuler, lubang tersebut dapat hanya
satu atau lebih yang terjadi akibat kegagalan fungsi septim interventrikuler semasa
janin dalam kandungan. Sedangkan PJB (Penyakit Jantung Bawaan) adalah
penyakit jantung yang dibawa sejak lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih
dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah
lengkap; jadi kelainan pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan (Judith
M. Wilkinson. 2007).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Bronkopneumoni, KDK, dan VSD
1.1 Bronkopneumonia
Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang
terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Saluran pernapasan
tersebut tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk bercak-
bercak konsolidasi di lobulus yang berdekatan. Penyakit ini bersifat sekunder
yang biasanya menyertai penyakit ISPA (Infeksi Salurann Pernapasan Atas),
demam infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh.
Sebagai infeksi primer biasanya hanya dijumpai pada anak-anak dan orang
tua (Feldman, William. 2000).
Secara anatomis pneumonia dibagi 3, yaitu (Feldman, William. 2000):
a. pneumonia lobaris
b. pneumonia intertitialis (bronkiolitis)
c. pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
1.2 Kejang Demam Kompleks
Kejang Demam Kompleks adalah kejang demam dengan salah satu
ciri berikut ini (Kapita Selekta Kedokteran. 2000):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan
kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau
lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkita kejang anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang
demam (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).
1.3 VSD
VSD (Ventricular Septal Defect) adalah suatu penyakit
kelainan pada jantung bawaan berupa lubang pada septum
interventrikuler, lubang tersebut dapat hanya satu atau lebih yang terjadi
akibat kegagalan fungsi septim interventrikuler semasa janin dalam
kandungan. Sedangkan PJB (Penyakit Jantung Bawaan) adalah
penyakit jantung yang dibawa sejak lahir, karena sudah terjadi ketika
bayi masih dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7 minggu,
pembentukan jantung sudah lengkap; jadi kelainan pembentukan
jantung terjadi pada awal kehamilan (Judith M. Wilkinson. 2007).
2. Faktor resiko dan Etiologi Bronkopneumoni, KDK, dan VSD
2.1 Faktor resiko yang meningkatkan insiden bronkopneumonia yaitu
(Departemen Kesehatan RI. 2002) :
1. Pertusis
2. Morbili
3. Gizi kurang
4. Umur kurang dari 2 bulan
5. Berat badan lahir rendah
6. Tidak mendapat ASI yang memadai
7. Polusi udara
8. Laki-laki
9. Imunisasi yang tidak memadai
10. Defisiensi Vitamin A
11. Pemberian makanan tambahan terlalu dini
12. Kepadatan tempat tinggal.
2.2 Faktor resiko KDK
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.
Selain itu terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau
saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus,
anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang
demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi
atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih.
Resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat
kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi (Kapita Selekta
Kedokteran. 2000).
2.3 VSD
Faktor resiko VSD (Judith M. Wilkinson. 2007):
1. Infeksi Rubella atau infeksi virus lainnya pada ibu hamil
2. Gizi ibu hamil yang buruk
3. Ibu yang alkoholik
4. Usia ibu diatas 40 tahun
5. Ibu menderita diabetes
3. Etiologi
3.1 Etiologi Bronkopneumonia
Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1
bulan sampai 2 tahun. Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berubah
sesuai dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang
berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B
serta kuman atipik Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae
(Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007).
3.2 Etiologi KDK
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering
disebabkan infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada
suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat
menyebabkan kejang (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).
3.3 Etiologi VSD
Penyebab dari Ventricular Septal Defect (VSD) belum dapat
diketahui secara pasti. Namun, penyakit VSD lebih sering ditemukan
pada anak-anak dan seringkali merupakan suatu kelainan jantung
bawaan. Pada anak-anak, lubangnya sangat kecil, tidak menimbulkan
gejala dan seringkali menutup dengan sendirinya sebelum anak berumur
18 tahun. Pada kasus yang lebih berat, bisa terjadi kelainan fungsi
ventrikel dan gagal jantung (Judith M. Wilkinson. 2007).
4. Patofisiologi
4.1 Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui
inhalasi, aspirasi, hematogen dr fokus infeksi atau penyebaran langsung.
Sehingga terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami
peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah
merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli.
Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi
dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri
dari alveolus ke alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh
paru menjadi padat (consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan
dan sisa-sisa sel (Departemen Kesehatan RI. 2002).
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di
nasopharing dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang
sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae
berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus
pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II.
Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan
menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari
Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang
berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
(Alsagaff, Hood, 2004).
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan
di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
haemoglobin (Alsagaff, Hood, 2004).
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam
(Alsagaff, Hood, 2004).
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti (Alsagaff, Hood, 2004).
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula (Alsagaff,
Hood, 2004).
4.2 KDK
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru
dan diteruskan ke otak melalui sitem kardiovaskuler. Jadi sumber energi
otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2
dan air (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan
dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat
keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam
dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang
terdapat pada permukaan sel (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada seorang anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65%
dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.
Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi,
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik (Kapita Selekta Kedokteran.
2000).
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai
ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah
terjadi pada suhu 380C sedangkan pada anak denagn ambang kejang yang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C atau lebih. Dari kenyataan ini
dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan
oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung
yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejangt lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema
otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak (Kapita Selekta
Kedokteran. 2000).
4.3 VSD
VSD (Ventrikal Septal Defek) ditandai dengan adanya hubungan
septal yang memungkinkan darah mengalir langsung antar ventrikel
biasanya dari kiri ke kanan. Diameter defek bervariasi dari 0,5 – 3,0 cm.
Kira – kira 20% dari defek ini pada anak adalah defek sederhana, banyak
diantaranya menutup secara spontan. Kira- kira 50 % - 60% anak-anak
menderita defek ini memiliki defek sedang dan menunjukkan gejalanya
pada masa kanak-kanak. Defek ini sering terjadi bersamaan dengan defek
jantung lain. Perubahan fisiologi yang terjadi sebagai berikut (M.D.
Donald C. Flyar. 1996):
1. Tekanan lebih tinggi pada ventrikel kiri dan meningkatkan aliran
darah kaya oksigen melalui defek tersebut ke ventrikei kanan.
2. Volume darah yang meningkat dipompa ke dalam paru, yang
akhirnya dipenuhi darah dan dapat menyebabkan naiknya tahanan
vaskular pulmonar.
3. Jika tahanan pulmonar ini besar, tekanan ventrikel kanan
meningkat menyebabkan pirau terbalik, mengalirkan darah miskin
oksigen dari ventrikel kanan ke kiri menyebabkan sianosis
(sindrom eisenmenger).
5. Penegakkan Diagnosis
5.1 Penegakkan Diagnosis Bronkopneumonia
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului
dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk,
demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil
(pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala
non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen
disertai muntah (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006).
Dasar diagnosis pneumonia ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala
berikut ini (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006):
a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan
dinding dada
b. panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi
dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar
jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu,
retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK Unair. 2006).
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam,
batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai
dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja,
dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri
kepala, dehidrasi dan letargi (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair. 2006).
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut
(Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006):
Pemeriksaan Bakteri Virus MikoplasmaAnamnesis
Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolahAwitan Mendadak Perlahan Tidak nyataSakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselangBatuk Produktif nonproduktif keringGejala penyerta Toksik Mialgia, ruam,
organ bermukosaNyeri kepala, otot, tenggorok
FisikKeadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuanDemam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºCAuskultasi Ronkhi ±, suara
Napas melemahRonkhi bilateral,Difus, mengi
Ronkhi unilateral, mengi. 14
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan
untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling
sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia
bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika
difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia
(Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006).
b) C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP
distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor
necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai
diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi,
infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda.
Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP
kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik
(Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006).
c) Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi
pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat
mengkonfirmasi diagnosis (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair. 2006).
d) Pemeriksaan mikrobiologi
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan
pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi
nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya
pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis
maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik
hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus (Bagian/SMF
Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006).
5.2 KDK
1. Anamnesis
Gejala yang dapat ditemukan pada KDK (Kapita Selekta Kedokteran.
2000):
a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu
sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab
demam di luar susunan saraf pusat.
b. Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi
dalam keluarga.
c. Singkirkan penyebab kejang lainnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda
peningkatan tekanan intrakranial, tanda infeksi di luar SSP (Kapita Selekta
Kedokteran. 2000).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam atau keadaan lain (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningits, terutama pada pasien kejang
pertama (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).
Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal
(Kapita Selekta Kedokteran. 2000).
Foto X-Ray kepala atau pencitraan seperti Computed Tomography
Scan (CT-Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti (Kapita Selekta
Kedokteran. 2000):
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
5.3 VSD
1. Anamnesis
Pada penyakit VSD (Ventrikular Septal Defect) ini, darah dari paru-
paru yang masuk ke jantung, kembali dialirkan ke paru-paru.
Akibatnya jumlah darah di dalam pembuluh darah paru-paru
meningkat dan menyebabkan (Judith M. Wilkinson. 2007):
a) Sesak nafas
b) Bayi mengalami kesulitan ketika menyusu
c) Keringat yang berlebihan
d) Berat badan tidak bertambah.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada VSD yang kecil umumnya asimptomatik dengan riwayat
pertumbuhan dan perkembangan yang normal, sehingga adanya PJB ini
sering ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan rutin, yaitu
terdengarnya bising pansistolik di parasternal sela iga 3 – 4 kiri. Bila
lubangnya sedang maka keluhan akan timbul saat tahanan vaskuler paru
menurun, yaitu sekitar usia 2–3 bulan. Gejalanya antara lain penurunan
toleransi aktivitas fisik yang pada bayi akan terlihat sebagai tidak mampu
mengisap susu dengan kuat dan banyak, pertambahan berat badan yang
lambat, cenderung terserang infeksi paru berulang dan mungkin timbul
gagal jantung yang biasanya masih dapat diatasi secara medikamentosa.
Dengan bertambahnya usia dan berat badan, maka lubang menjadi relatif
kecil sehingga keluhan akan berkurang dan kondisi secara umum membaik
walaupun pertumbuhan masih lebih lambat dibandingkan dengan anak
yang normal. VSD tipe perimembranus dan muskuler akan mengecil dan
bahkan menutup spontan pada usia dibawah 8–10 tahun (Judith M.
Wilkinson. 2007).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Kateterisasi jantung menunjukkan adanya hubungan abnormal antar
ventrikel
b. EKG dan foto toraks menunjukkan hipertropi ventrikel kiri
c. Hitung darah lengkap adalah uji prabedah rutin
d. Uji masa protrombin ( PT ) dan masa trombboplastin parsial ( PTT )
yang dilakukan sebelum pembedahan dapat mengungkapkan
kecenderungan perdarahan
e. Elektrokardiorafi
1) Pada VSD kecil gambaran EKGnya normal.
2) Pada VSD sedang dan besar biasanya gambaran EKGnya hipertensi
ventrikel kiri dengan hipertrofi atrium kiri atau hipertrofi
biventrikular dengan hipertrofi atrium kiri.
f. Radiologi
Pada VSD kecil gambaran radiologi thorax menunjukkan besar jantung
normal dengan/tanpa corakan pembuluh darah berlebih (Judith M.
Wilkinson. 2007).
6. Penatalaksanaan
6.1 Bronkopneumonia
Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik.
Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah (Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2007):
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau
nasofaring. Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu
napas mungkin diperlukan terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata
laksana rutin yang harus diberikan.
Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya.
Namun karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien
pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya
pneumonia viral tidak memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi
antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri
(Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007).
Usia Rawat jalan Rawat Inap Bakteri Patogen0-2 minggu
1. Ampisillin + Gentamisin 2. Ampisillin + Cefotaksim
- E. Coli- Streptococcus B- Nosokomial enterobacteria
>2-4 minggu
1. Ampisillin + Cefotaksim atau Ceftriaxon2. Eritromisin
- E. Coli- Nosokomial Enterobacteria- Streptococcus B- Klebsiella- Enterobacter- C. trachomatis
>1-2 bulan 1. Ampisillin + Gentamisin 2. Cefotaksim atau Ceftriaxon
- E. Coli and other Enterobacteria- H. influenza
- S. pneumonia- C. trachomatis
>2-5 bulan 1. Ampisillin 2. Sefuroksim sefiksim
1. Ampisillin2. Ampisillin + Kloramfenikol Sefuroksim Ceftriaxon
- H. influenza- S. pneumonia
>5 tahun 1. Penisillin A2. Amoksisilin Eritromisin
1. Penisillin G2. Sefuroksim Seftriakson Vankomisin
- S. pneumonia- Mycoplasma 9
6.2 KDK
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada tata
laksana penghentian kejang (lihat bagan). Saat ini lebih diutamakan
pengobatan profilaksis intermiten pada saat demam, berupa (Konsensus
Penatalaksanaan kejang Demam. 2006):
a. Antipiretik
Tujuan utama pengobatan kejang demam adalah mencegah demam
meningkat. Berikan parasetamol 10-15 mg/kgBB/hari setiap 4-6 jam
atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam
b. Antikejang
Beri diazepam oral 0,3 mg/kgBB/dosis tiap 8 jam saat demam atau
diazepam rektal 0,5 mg/kgBB/hari setiap 12 jam saat demam. Efek
samping diazepam oral adalah letargi, mengantuk, dan ataksia.
c. Pengobatan jangka panjang
Pengobatan jangka panjang selama 1 tahun dapat dipertimbangkan
pada kejang demam kompleks dengan faktor resiko. Obat yang
digunakan adalh fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari atau asam valproat
15-40 mg/kgBB/hari.
6.3 VSD
a) VSD kecil tidak perlu dirawat, pemantauan dilakukan di poliklinik
kardiologi anak.
b) Berikan antibiotik seawal mungkin.
c) Vasopresor atau vasodilator adalah obat-obat yang dipakai untuk anak
dengan VSD dan gagal jantung misal dopamin (intropin) memiliki efek
inotropik positif pada miokard menyebabkan peningkatan curah jantung
dan peningkatan tekanan sistolik serta tekanan nadi. Sedang
isoproterenol (isuprel) memiliki efek inotropik posistif pada miokard
menyebabkan peningkatan curah jantung dan kerja jantung.
d) Bayi dengan gagal jantung kronik mungkin memerlukan pembedahan
lengkap atau paliatif dalam bentuk pengikatan/penyatuan arteri
pulmonari. Pembedahan tidak ditunda sampai melewati usia prasekolah
(Judith M. Wilkinson. 2007).
Pembedahan yang dilakukan untuk memperpanjang umur
harapan hidup, dilakukan pada umur muda, yaitu dengan 2 cara (Judith
M. Wilkinson. 2007):
1) Pembedahan : menutup defek dengan dijahit melalui cardiopulmonal
bypass
2) Non pembedahan : menutup defek dengan alat melalui kateterisasi
jantung
7. Prognosis
7.1 Bronkopneumonia
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan
anak kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua
dari 3% sampai 5%.13 Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan
adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam
keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan
mortalitas yang lebih tinggi (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007).
7.2 KDK
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik
dan tidak menyebabkan kematian. Frekuensi berulangnya kejang berkisar
antara 25-50%, umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Resiko untuk
mendapatkan epilepsi rendah (Konsensus Penatalaksanaan kejang Demam.
2006).
7.3 VSD
Dengan bertambahnya usia dan berat badan, maka lubang menjadi
relatif kecil sehingga keluhan akan berkurang dan kondisi secara umum
membaik walaupun pertumbuhan masih lebih lambat dibandingkan dengan
anak yang normal. VSD tipe perimembranus dan muskuler akan mengecil
dan bahkan menutup spontan pada usia dibawah 8–10 tahun (Judith M.
Wilkinson. 2007).
8. Komplikasi
8.1 Bronkopneumonia
Komplikasi dari penyakit ini dapat terjadi pneumonia
ekstrapulmoner, misalnya pada pneumonia pneumokokus dengan bakterimi
dijumpai pada 10% kasus berupa meningitis, arthritis, endokarditis,
perikarditis, peritonitis, dan empiema (Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2007).
Dapat terjadi komplikasi lain berupa acute respiratory distress
syndrome (ARDS), obstructive airway secretion, sepsis, efusi pleura,
penyakit paru kronik, dan komplikasi lanjut berupa nosokomial (Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2007).
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran
bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis)
atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif,
dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi
hematologi (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007).
8.2 KDK
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahayadan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lebihlama (>15 menit) biasanya disertai apnoe, hipoksemia,
hiperkapnea, asidosislaktat, hipotensi artrial, suhu tubuh makin meningkat,
metabolisme otak meningkat (Konsensus Penatalaksanaan kejang Demam.
2006).
8.3 VSD
a. Gagal jantung kronik
b. Endokarditis infektif
c. Terjadinya insufisiensi aorta atau stenosis pulmonary
d. Penyakit vaskular paru progresif
e. Kerusakan sistem konduksi ventrikel (Judith M. Wilkinson. 2007).
BAB III
KESIMPULAN
1. Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi
pada bronkus sampai dengan alveolus paru.
2. Kejang Demam Kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri
berikut ini:
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
3. VSD (Ventricular Septal Defect) adalah suatu penyakit kelainan pada jantung
bawaan berupa lubang pada septum interventrikuler, lubang tersebut dapat
hanya satu atau lebih yang terjadi akibat kegagalan fungsi septim
interventrikuler semasa janin dalam kandungan.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit
Paru dan Saluran Napas FK Unair : Surabaya.
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Surabaya.
Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita.
Jakarta.
Feldman, William. 2000. Evidence-Based Pediatrics, Pneumonia and
Bronchiolitis. University of Toronto: Canada.
Guyton & Hall. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit
IDAI : Jakarta
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Simposium Penatalaksanaan Penyakit Paru
Pada Anak Terkini. Jember.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Simposium Penatalaksanaan Penyakit Paru
Pada Anak Terkini. Jember.
Judith M. Wilkinson. 2007. Buku Saku Diagnosa Keparawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC, edisi 7 jakarta, EGC.
Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Media Aeculapius.
Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia.
Konsensus Penatalaksanaan kejang Demam. 2006. Unit Kerja Koordinasi
Neurologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
M.D. Donald C. Flyar. 1996. Kardiologi anak Nadas, Gajah Mada, University
Press.
top related