laporan presus ecce anak 3 pandu

35
TUGAS PRESENTASI KASUS Bronkopneumonia, KDK, dan VSDKelompok I Tutor : dr. Qodri Santosa, SpA Pandu Nugroho Kanta G1A009133 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Upload: firmanpranoto313

Post on 06-Aug-2015

68 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

TUGAS PRESENTASI KASUS

“Bronkopneumonia, KDK, dan VSD”

Kelompok I

Tutor : dr. Qodri Santosa, SpA

Pandu Nugroho Kanta G1A009133

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2012

Page 2: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa

atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Pneumonia hingga saat

ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak-anak di negara

berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas

anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian

anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun

akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia tenggara. Insiden

pneumonia di negara berkembang yaitu 30-45% per 1000 anak dibawah usia 5

tahun, 16-22% per 1000 anak pada usia 5-9 tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada

anak yang lebih tua (Feldman, William. 2000).

Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Di

Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomer tiga setelah

kardiovaskuler dan tuberculosis. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001,

27.6% kematian bayi dan 22.8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh

penyakit sistem pernapasan, terutama pneumonia. Di RSUD dr. Soetomo

Surabaya, pneumonia menduduki peringkat keempat dari sepuluh penyakit

terbanyak yang dirawat pertahun. Angka kematian pneumonia yang dirawat inap

berkisar antara 20-35% (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008).

Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.

Berdasarkan data WHO, infeksi sauran nafas akut bagian bawah pada tahun 2000

menyebabkan 2,1 juta kematian anak di bawah umur 5 tahun. Menurut WHO

kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10%-20% per

tahun. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari penderita pneumonia akan

meninggal bila tidak diberi pengobatan. Bila hal ini benar maka diperkirakan

tanpa pemberian pengobatan akan didapat 250.000 kematian balita akibat

pneumonia setiap tahunnya (Departemen Kesehatan RI. 2002).

Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi

antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah

terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Kejang demam terjadi

Page 3: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

pada 2-4% anak berumur 6 bulan-5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang

tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejamg

demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kiurang dari 1 bulan tidak

termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih

dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain

misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam

(Kapita Selekta Kedokteran. 2000).

Kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu (Kapita Selekta

Kedokteran. 2000):

1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure)

2. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)

VSD (Ventricular Septal Defect) adalah suatu penyakit kelainan pada jantung

bawaan berupa lubang pada septum interventrikuler, lubang tersebut dapat hanya

satu atau lebih yang terjadi akibat kegagalan fungsi septim interventrikuler semasa

janin dalam kandungan. Sedangkan PJB (Penyakit Jantung Bawaan) adalah

penyakit jantung yang dibawa sejak  lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih

dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah

lengkap; jadi kelainan pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan (Judith

M. Wilkinson. 2007).

Page 4: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Bronkopneumoni, KDK, dan VSD

1.1 Bronkopneumonia

Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang

terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Saluran pernapasan

tersebut tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk bercak-

bercak konsolidasi di lobulus yang berdekatan. Penyakit ini bersifat sekunder

yang biasanya menyertai penyakit ISPA (Infeksi Salurann Pernapasan Atas),

demam infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh.

Sebagai infeksi primer biasanya hanya dijumpai pada anak-anak dan orang

tua (Feldman, William. 2000).

Secara anatomis pneumonia dibagi 3, yaitu (Feldman, William. 2000):

a. pneumonia lobaris

b. pneumonia intertitialis (bronkiolitis)

c. pneumonia lobularis (bronkopneumonia)

1.2 Kejang Demam Kompleks

Kejang Demam Kompleks adalah kejang demam dengan salah satu

ciri berikut ini (Kapita Selekta Kedokteran. 2000):

1. Kejang lama > 15 menit

2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului

kejang parsial

3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15

menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan

kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.

Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang

didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau

lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkita kejang anak sadar. Kejang

Page 5: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang

demam (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).

1.3 VSD

VSD (Ventricular Septal Defect) adalah suatu penyakit

kelainan pada jantung bawaan berupa lubang pada septum

interventrikuler, lubang tersebut dapat hanya satu atau lebih yang terjadi

akibat kegagalan fungsi septim interventrikuler semasa janin dalam

kandungan. Sedangkan PJB (Penyakit Jantung Bawaan) adalah

penyakit jantung yang dibawa sejak  lahir, karena sudah terjadi ketika

bayi masih dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7 minggu,

pembentukan jantung sudah lengkap; jadi kelainan pembentukan

jantung terjadi pada awal kehamilan (Judith M. Wilkinson. 2007).

2. Faktor resiko dan Etiologi Bronkopneumoni, KDK, dan VSD

2.1 Faktor resiko yang meningkatkan insiden bronkopneumonia yaitu

(Departemen Kesehatan RI. 2002) :

1. Pertusis

2. Morbili

3. Gizi kurang

4. Umur kurang dari 2 bulan

5. Berat badan lahir rendah

6. Tidak mendapat ASI yang memadai

7. Polusi udara

8. Laki-laki

9. Imunisasi yang tidak memadai

10. Defisiensi Vitamin A

11. Pemberian makanan tambahan terlalu dini

12. Kepadatan tempat tinggal.

2.2 Faktor resiko KDK

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.

Selain itu terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau

Page 6: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus,

anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang

demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi

atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih.

Resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat

kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat

keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi (Kapita Selekta

Kedokteran. 2000).

2.3 VSD

Faktor resiko VSD (Judith M. Wilkinson. 2007):

1. Infeksi Rubella atau infeksi virus lainnya pada ibu hamil

2. Gizi ibu hamil yang buruk

3. Ibu yang alkoholik

4. Usia ibu diatas 40 tahun

5. Ibu menderita diabetes

3. Etiologi

3.1 Etiologi Bronkopneumonia

Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1

bulan sampai 2 tahun. Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berubah

sesuai dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang

berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,

Haemophillus influenzae, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B

serta kuman atipik Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae

(Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007).

3.2 Etiologi KDK

Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering

disebabkan infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia,

gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada

suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat

menyebabkan kejang (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).

Page 7: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

3.3 Etiologi VSD

Penyebab dari Ventricular Septal Defect (VSD) belum dapat

diketahui secara pasti. Namun, penyakit VSD lebih sering ditemukan

pada anak-anak dan seringkali merupakan suatu kelainan jantung

bawaan. Pada anak-anak, lubangnya sangat kecil, tidak menimbulkan

gejala dan seringkali menutup dengan sendirinya sebelum anak berumur

18 tahun. Pada kasus yang lebih berat, bisa terjadi kelainan fungsi

ventrikel dan gagal jantung (Judith M. Wilkinson. 2007).

4. Patofisiologi

4.1 Bronkopneumonia

Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui

inhalasi, aspirasi, hematogen dr fokus infeksi atau penyebaran langsung.

Sehingga terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami

peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah

merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli.

Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi

dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri

dari alveolus ke alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh

paru menjadi padat (consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan

dan sisa-sisa sel (Departemen Kesehatan RI. 2002).

Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di

nasopharing dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang

sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae

berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus

pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II.

Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan

menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus

pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari

Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang

Page 8: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN

(Alsagaff, Hood, 2004).

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang

berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan

peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.

Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari

sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-

mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel

mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama

dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler

paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan

perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi

pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan

di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh

oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah

paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

haemoglobin (Alsagaff, Hood, 2004).

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah

merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai

bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna

paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini

udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah

sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam

(Alsagaff, Hood, 2004).

3. Stadium III (3 – 8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin

terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa

Page 9: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap

padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu

dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti (Alsagaff, Hood, 2004).

4. Stadium IV (7 – 11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh

makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula (Alsagaff,

Hood, 2004).

4.2 KDK

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak

diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk

metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah

oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru

dan diteruskan ke otak melalui sitem kardiovaskuler. Jadi sumber energi

otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2

dan air (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).

Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan

dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan

normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium

(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,

kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron

tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat

keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam

dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial

membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial

membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang

terdapat pada permukaan sel (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).

Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:

1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.

2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis,

kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.

Page 10: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena

penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan

kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan

meningkat 20%. Pada seorang anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65%

dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.

Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan

keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat

terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi,

dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik (Kapita Selekta Kedokteran.

2000).

Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke

seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan

yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai

ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya

ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu

tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah

terjadi pada suhu 380C sedangkan pada anak denagn ambang kejang yang

tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C atau lebih. Dari kenyataan ini

dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering

terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam

penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita

kejang (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak

berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang

berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,

meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet

yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan

oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung

yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan

meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme

otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga

Page 11: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejangt lama.

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan

hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema

otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak (Kapita Selekta

Kedokteran. 2000).

4.3 VSD

VSD (Ventrikal Septal Defek) ditandai dengan adanya hubungan

septal yang memungkinkan darah mengalir langsung antar ventrikel

biasanya dari kiri ke kanan. Diameter defek bervariasi dari 0,5 – 3,0 cm.

Kira – kira 20% dari defek ini pada anak adalah defek sederhana, banyak

diantaranya menutup secara spontan. Kira- kira 50 % - 60% anak-anak

menderita defek ini memiliki defek sedang dan menunjukkan gejalanya

pada masa kanak-kanak. Defek ini sering terjadi bersamaan dengan defek

jantung lain. Perubahan fisiologi yang terjadi sebagai berikut (M.D.

Donald C. Flyar. 1996):

1. Tekanan lebih tinggi pada ventrikel kiri dan meningkatkan aliran

darah kaya oksigen melalui defek tersebut ke ventrikei kanan.

2. Volume darah yang meningkat dipompa ke dalam paru, yang

akhirnya dipenuhi darah dan dapat menyebabkan naiknya tahanan

vaskular pulmonar.

3. Jika tahanan pulmonar ini besar, tekanan ventrikel kanan

meningkat menyebabkan pirau terbalik, mengalirkan darah miskin

oksigen dari ventrikel kanan ke kiri menyebabkan sianosis

(sindrom eisenmenger).

5. Penegakkan Diagnosis

5.1 Penegakkan Diagnosis Bronkopneumonia

1. Anamnesis

Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului

dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk,

demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil

Page 12: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

(pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka

berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala

non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau

kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen

disertai muntah (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006).

Dasar diagnosis pneumonia ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala

berikut ini (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006):

a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan

dinding dada

b. panas badan

c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)

d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus

e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan

limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang

predominan)

2. Pemeriksaan Fisik

Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan

kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi

dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar

jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu,

retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan

Anak FK Unair. 2006).

Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam,

batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai

dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja,

dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri

kepala, dehidrasi dan letargi (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK

Unair. 2006).

Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut

(Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006):

Page 13: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

Pemeriksaan Bakteri Virus MikoplasmaAnamnesis

Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolahAwitan Mendadak Perlahan Tidak nyataSakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselangBatuk Produktif nonproduktif keringGejala penyerta Toksik Mialgia, ruam,

organ bermukosaNyeri kepala, otot, tenggorok

FisikKeadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuanDemam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºCAuskultasi Ronkhi ±, suara

Napas melemahRonkhi bilateral,Difus, mengi

Ronkhi unilateral, mengi. 14

3. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan radiologis

Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang

utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan

untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling

sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia

bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika

difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia

(Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006).

b) C-Reactive Protein

Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.

Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP

distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor

necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai

diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi,

infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda.

Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP

kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik

(Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006).

c) Uji serologis

Page 14: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi

pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat

mengkonfirmasi diagnosis (Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK

Unair. 2006).

d) Pemeriksaan mikrobiologi

Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan

pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi

nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya

pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis

maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik

hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus (Bagian/SMF

Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006).

5.2 KDK

1. Anamnesis

Gejala yang dapat ditemukan pada KDK (Kapita Selekta Kedokteran.

2000):

a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu

sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab

demam di luar susunan saraf pusat.

b. Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi

dalam keluarga.

c. Singkirkan penyebab kejang lainnya.

2. Pemeriksaan Fisik

Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda

peningkatan tekanan intrakranial, tanda infeksi di luar SSP (Kapita Selekta

Kedokteran. 2000).

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada

kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi

penyebab demam atau keadaan lain (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).

Page 15: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningits, terutama pada pasien kejang

pertama (Kapita Selekta Kedokteran. 2000).

Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi

berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi

pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada

keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam

kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal

(Kapita Selekta Kedokteran. 2000).

Foto X-Ray kepala atau pencitraan seperti Computed Tomography

Scan (CT-Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali

dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti (Kapita Selekta

Kedokteran. 2000):

1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

2. Paresis nervus VI

3. Papiledema

5.3 VSD

1. Anamnesis

Pada penyakit VSD (Ventrikular Septal Defect) ini, darah dari paru-

paru yang masuk ke jantung, kembali dialirkan ke paru-paru.

Akibatnya jumlah darah di dalam pembuluh darah paru-paru

meningkat dan menyebabkan (Judith M. Wilkinson. 2007):

a) Sesak nafas

b) Bayi mengalami kesulitan ketika menyusu

c) Keringat yang berlebihan

d) Berat badan tidak bertambah.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada VSD yang kecil umumnya asimptomatik dengan riwayat

pertumbuhan dan perkembangan yang normal, sehingga adanya PJB ini

sering ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan rutin, yaitu

Page 16: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

terdengarnya bising pansistolik di parasternal sela iga 3 – 4 kiri. Bila

lubangnya sedang maka keluhan akan timbul saat tahanan vaskuler paru

menurun, yaitu sekitar usia 2–3 bulan. Gejalanya antara lain penurunan

toleransi aktivitas fisik yang pada bayi akan terlihat sebagai tidak mampu

mengisap susu dengan kuat dan banyak, pertambahan berat badan yang

lambat, cenderung terserang infeksi paru berulang dan mungkin timbul

gagal jantung yang biasanya masih dapat diatasi secara medikamentosa.

Dengan bertambahnya usia dan berat badan, maka lubang menjadi relatif

kecil sehingga keluhan akan berkurang dan kondisi secara umum membaik

walaupun pertumbuhan masih lebih lambat dibandingkan dengan anak

yang normal. VSD tipe perimembranus dan muskuler akan mengecil dan

bahkan menutup spontan pada usia dibawah 8–10 tahun (Judith M.

Wilkinson. 2007).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Kateterisasi jantung menunjukkan adanya hubungan abnormal antar

ventrikel

b. EKG dan foto toraks menunjukkan hipertropi ventrikel kiri

c. Hitung darah lengkap adalah uji prabedah rutin

d. Uji masa protrombin ( PT ) dan masa trombboplastin parsial ( PTT )

yang dilakukan sebelum pembedahan dapat mengungkapkan

kecenderungan perdarahan

e. Elektrokardiorafi

1) Pada VSD kecil gambaran EKGnya normal.

2) Pada VSD sedang dan besar biasanya gambaran EKGnya hipertensi

ventrikel kiri dengan hipertrofi atrium kiri atau hipertrofi

biventrikular dengan hipertrofi atrium kiri.

f. Radiologi

Pada VSD kecil gambaran radiologi thorax menunjukkan besar jantung

normal dengan/tanpa corakan pembuluh darah berlebih (Judith M.

Wilkinson. 2007).

Page 17: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

6. Penatalaksanaan

6.1 Bronkopneumonia

Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik.

Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah (Ikatan

Dokter Anak Indonesia. 2007):

1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau

nasofaring. Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu

napas mungkin diperlukan terutama dalam 24-48 jam

2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan

mengandung gula dan elektrolit yang cukup.

3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.

4. Mengatasi penyakit penyerta.

5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata

laksana rutin yang harus diberikan.

Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya.

Namun karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien

pneumonia diberikan antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya

pneumonia viral tidak memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi

antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri

(Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007).

Usia Rawat jalan Rawat Inap Bakteri Patogen0-2 minggu

1. Ampisillin + Gentamisin 2. Ampisillin + Cefotaksim

- E. Coli- Streptococcus B- Nosokomial enterobacteria

>2-4 minggu

1. Ampisillin + Cefotaksim atau Ceftriaxon2. Eritromisin

- E. Coli- Nosokomial Enterobacteria- Streptococcus B- Klebsiella- Enterobacter- C. trachomatis

>1-2 bulan 1. Ampisillin + Gentamisin 2. Cefotaksim atau Ceftriaxon

- E. Coli and other Enterobacteria- H. influenza

Page 18: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

- S. pneumonia- C. trachomatis

>2-5 bulan 1. Ampisillin 2. Sefuroksim sefiksim

1. Ampisillin2. Ampisillin + Kloramfenikol Sefuroksim Ceftriaxon

- H. influenza- S. pneumonia

>5 tahun 1. Penisillin A2. Amoksisilin Eritromisin

1. Penisillin G2. Sefuroksim Seftriakson Vankomisin

- S. pneumonia- Mycoplasma 9

6.2 KDK

Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada tata

laksana penghentian kejang (lihat bagan). Saat ini lebih diutamakan

pengobatan profilaksis intermiten pada saat demam, berupa (Konsensus

Penatalaksanaan kejang Demam. 2006):

a. Antipiretik

Tujuan utama pengobatan kejang demam adalah mencegah demam

meningkat. Berikan parasetamol 10-15 mg/kgBB/hari setiap 4-6 jam

atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam

b. Antikejang

Beri diazepam oral 0,3 mg/kgBB/dosis tiap 8 jam saat demam atau

diazepam rektal 0,5 mg/kgBB/hari setiap 12 jam saat demam. Efek

samping diazepam oral adalah letargi, mengantuk, dan ataksia.

c. Pengobatan jangka panjang

Pengobatan jangka panjang selama 1 tahun dapat dipertimbangkan

pada kejang demam kompleks dengan faktor resiko. Obat yang

digunakan adalh fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari atau asam valproat

15-40 mg/kgBB/hari.

6.3 VSD

a) VSD kecil tidak perlu dirawat, pemantauan dilakukan di poliklinik

kardiologi anak.

b) Berikan antibiotik seawal mungkin.

c) Vasopresor atau vasodilator adalah obat-obat yang dipakai untuk anak

dengan VSD dan gagal jantung misal dopamin (intropin) memiliki efek

inotropik positif pada miokard menyebabkan peningkatan curah jantung

Page 19: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

dan peningkatan tekanan sistolik serta tekanan nadi. Sedang

isoproterenol (isuprel) memiliki efek inotropik posistif pada miokard

menyebabkan peningkatan curah jantung dan kerja jantung.

d) Bayi dengan gagal jantung kronik mungkin memerlukan pembedahan

lengkap atau paliatif dalam bentuk pengikatan/penyatuan arteri

pulmonari. Pembedahan tidak ditunda sampai melewati usia prasekolah

(Judith M. Wilkinson. 2007).

Pembedahan yang dilakukan untuk memperpanjang umur

harapan hidup, dilakukan pada umur muda, yaitu dengan 2 cara (Judith

M. Wilkinson. 2007):

1) Pembedahan : menutup defek dengan dijahit melalui cardiopulmonal

bypass

2) Non pembedahan : menutup defek dengan alat melalui kateterisasi

jantung

7. Prognosis

7.1 Bronkopneumonia

Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan

anak kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua

dari 3% sampai 5%.13 Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan

adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam

keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan

mortalitas yang lebih tinggi (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007).

7.2 KDK

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik

dan tidak menyebabkan kematian. Frekuensi berulangnya kejang berkisar

antara 25-50%, umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Resiko untuk

mendapatkan epilepsi rendah (Konsensus Penatalaksanaan kejang Demam.

2006).

7.3 VSD

Dengan bertambahnya usia dan berat badan, maka lubang menjadi

relatif kecil sehingga keluhan akan berkurang dan kondisi secara umum

Page 20: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

membaik walaupun pertumbuhan masih lebih lambat dibandingkan dengan

anak yang normal. VSD tipe perimembranus dan muskuler akan mengecil

dan bahkan menutup spontan pada usia dibawah 8–10 tahun (Judith M.

Wilkinson. 2007).

8. Komplikasi

8.1 Bronkopneumonia

Komplikasi dari penyakit ini dapat terjadi pneumonia

ekstrapulmoner, misalnya pada pneumonia pneumokokus dengan bakterimi

dijumpai pada 10% kasus berupa meningitis, arthritis, endokarditis,

perikarditis, peritonitis, dan empiema (Ikatan Dokter Anak Indonesia.

2007).

Dapat terjadi komplikasi lain berupa acute respiratory distress

syndrome (ARDS), obstructive airway secretion, sepsis, efusi pleura,

penyakit paru kronik, dan komplikasi lanjut berupa nosokomial (Ikatan

Dokter Anak Indonesia. 2007).

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran

bakteri dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis)

atau penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif,

dan osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi

hematologi (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007).

8.2 KDK

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak

berbahayadan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang

berlangsung lebihlama (>15 menit) biasanya disertai apnoe, hipoksemia,

hiperkapnea, asidosislaktat, hipotensi artrial, suhu tubuh makin meningkat,

metabolisme otak meningkat (Konsensus Penatalaksanaan kejang Demam.

2006).

8.3 VSD

a. Gagal jantung kronik

b. Endokarditis infektif

c. Terjadinya insufisiensi aorta atau stenosis pulmonary

Page 21: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

d. Penyakit vaskular paru progresif

e. Kerusakan sistem konduksi ventrikel (Judith M. Wilkinson. 2007).

BAB III

KESIMPULAN

Page 22: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

1. Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi

pada bronkus sampai dengan alveolus paru.

2. Kejang Demam Kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri

berikut ini:

a. Kejang lama > 15 menit

b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang

parsial

c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

3. VSD (Ventricular Septal Defect) adalah suatu penyakit kelainan pada jantung

bawaan berupa lubang pada septum interventrikuler, lubang tersebut dapat

hanya satu atau lebih yang terjadi akibat kegagalan fungsi septim

interventrikuler semasa janin dalam kandungan.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Page 23: Laporan Presus ECCE Anak 3 Pandu

Alsagaff, Hood dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit

Paru dan Saluran Napas FK Unair : Surabaya.

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman Diagnosis dan

Terapi. Surabaya.

Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi

Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita.

Jakarta.

Feldman, William. 2000. Evidence-Based Pediatrics, Pneumonia and

Bronchiolitis. University of Toronto: Canada.

Guyton & Hall. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit

IDAI : Jakarta

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Simposium Penatalaksanaan Penyakit Paru

Pada Anak Terkini. Jember.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Simposium Penatalaksanaan Penyakit Paru

Pada Anak Terkini. Jember.

Judith M. Wilkinson. 2007. Buku Saku Diagnosa Keparawatan dengan Intervensi

NIC dan Kriteria Hasil NOC, edisi 7 jakarta, EGC.

Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Media Aeculapius.

Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia.

Konsensus Penatalaksanaan kejang Demam. 2006. Unit Kerja Koordinasi

Neurologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

M.D. Donald C. Flyar. 1996. Kardiologi anak Nadas, Gajah Mada, University

Press.