laporan penelitiaan kuliah kerja kesehatan masyarakat
Post on 11-Jun-2015
3.796 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
IDENTIFIKASI PRIORITAS MASALAH KESEHATAN
A. Gambaran Lokasi Praktek Kuliah Kerja Kesehatan Masyarakat (K3M)
1. Profil Kabupaten Cilacap
a. Keadaan Geografis
Kabupaten Cilacap memiliki daerah yang cukup luas terletak di ujung barat
bagian selatan Propinsi Jawa Tengah dengan batas-batas :
Barat: Kabupaten Ciamis (Propinsi
Jawa Barat)
Utara: Kabupaten Brebes dan
Banyumas
Timur : Kabupaten Kebumen
Selatan : Samudra Indonesia
Terletak di antara 108o 4’ 30” – 109o 30’ 30” garis bujur timur dan 7o 30’ – 7o 45’
20” garis lintang selatan, dengan luas wilayah 225.361 Ha termasuk Pulau
Nusakambangan seluas 11.511 Ha atau sekitar 6,94 % dari luas Propinsi Jawa
Tengah, dan terbagi dalam 24 Kecamatan. Daerah dengan permukaan tanah
paling tinggi adalah Kecamatan Dayeuhluhur dengan ketinggian 198 M dari
permukaan laut dan wilayah terendah adalah Kecamatan Cilacap Tengah
dengan ketinggian 6 M dari permukaan laut. Adapun jarak terjauh 152 km, yaitu
dari wilayah kecamatan Dayuehluhur ke wilayah kecamatan Nusawungu yang
terbentang dari barat ke timur, sedangkan bentang jarak wilayah dari utara ke
selatan 35 km yaitu dari wilayah kecamatan Sampang sampai dengan wilayah
kecamatan Cilacap Selatan.
b. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Cilacap tahun 2007 sebanyak 1.730.569
jiwa dengan perincian Laki-laki 865.669 jiwa dan Perempuan 864.900 jiwa
dengan jumlah KK sebanyak 429.842.
Pada tahun 2006 jumlah penduduk Kabupaten Cilacap sebanyak
1.722.607 jiwa dengan perincian laki-laki 861.643 jiwa dan perempuan 860.964
jiwa, sedangkan tahun 2005 jumlah penduduk Kabupaten Cilacap sebanyak
1.717.273 jiwa yang terdiri dari laik-laki 859.278 jiwa dan perempuan 857.995
jiwa, dengan pertumbuhan penduduk per tahun 0.46 %, di banding pada tahun
2004 pertumbuhan penduduk turun 0,03 %.
c. Tingkat Pendidikan
1
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Di Kabupaten Cilacap jumlah
penduduk yang berusia di atas 5 tahun sebanyak 1.631.016 jiwa, sebagian
penduduk mempunyai tingkat pendidikan paling banyak adalah berpendidikan
SD sederajat sebanyak 876.126 jiwa, sedangkan urutan ke dua adalah
berpendidikan tidak/belum tamat SD sebanyak 432.470 jiwa dan urutan terakhir
adalah berpendidikan Universitas sejumlah 3.558 jiwa
d. Kepadatan Penduduk
Kepadatan Penduduk tahun 2007 sebesar 868,60 jiwa/km2. Kepadatan
Penduduk tahun 2006 sebesar 806,36 jiwa/km2. Sedangkan Kepadatan
Penduduk Tahun 2005 sebesar 803,03 jiwa/km2. Jumlah penduduk tahun 2007,
yang terpadat terdapat di Kecamatan Clacap Selatan yaitu 8.502 jiwa/km2
sedangkan pada tahun 2006, penduduk yang terpadat berada di Kecamatan
Cilacap Tengah yaitu sebesar 9653.23 jiwa/km2. Jumlah Penduduk tahun 2007
yang tingkat kepadatannya terendah, adalah Kecamatan Kampunglaut yaitu
sebesar 95 jiwa/km2.
e. Keadaan sosial ekonomi
Angka beban tanggungan (Dependency Ratio)merupakan alat untuk
mengukur beban tanggungan perekonomian di suatu wilayah, dependency ratio
penduduk Kabupaten Cilacap tahun 2007 sebesar 0,47 % , tertinggi terdapat di
Kecamatan Kampunglaut sebesar 0,58 %, dan angka ketergantungan terendah
di Kecamatan Cilacap Tengah sebesar 0,39 %.
2. Profil Kecamatan Jeruklegi
Puskesmas Jeruklegi I berada di wilayah Kecamatan Jeruklegi. Kecamatan
Jeruklegi memiliki 13 desa/kelurahan. Sebagian besar (50%) wilayah datar sampai
berombak, 35% wilayah berbukit dan bergunung sedangkan 10% berombak sampai
berbukit. Jarak kecamatan dengan ibukota kabupaten sejauh 17 km dengan lama
tempuh ± 30 menit. Wilayah ini mempunyai iklim panas dengan suhu maksimum
33oC dan suhu minimum 22oC. Jumlah curah hujan per tahun sebanyak 1.938 mm
dengan hari hujan 45 hari.
Dari data Kecamatan Jeruklegi tahun 2008 menunjukkan jumlah penduduk
sebanyak 61.518 jiwa dengan perincian laki-laki 31.327 jiwa (51%) dan perempuan
30.191 jiwa (49%). Jumlah kepala keluarga sebanyak 14.911 KK dan kepadatan
penduduknya sebesar 622 jiwa/km2.
2
Gambar 1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
data sekunder 2008
Tabel 2. Distribusi Penduduk Kecamatan Jeruklegi Berdasarkan Usia
Usia (tahun) Jumlah (orang)0 – 5 tahun 7.089 orang
6 – 15 tahun 13.634 orang17 – 25 tahun 11.553 orang26 – 55 tahun 19.460 orang
≥ 56 tahun 9.782 orang
Gambar 2 .Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia
3
Sedangkan data berdasarkan data monografi penduduk Kecamatan Jeruklegi
tahun 2008, kelompok usia yang paling banyak adalah kelompok usia 26-55 tahun
kemudian pada urutan kedua adalah kelompok usia 6-15 tahun. Selanjutnya
kelompok ketiga, keempat dan kelima berturut-turut adalah kelompok usia dewasa
17-25 tahun, kelompok usia ≥ 56 tahun dan kelompok usia bawah lima tahun (0-5
tahun). Sebagian besar penduduk Jeruklegi bermatapencaharian sebagai buruh
industri dan bangunan serta petani (penderes gula kelapa).
3. Profil Puskesmas Jeruklegi I
Lokasi yang digunakan sebagai lahan praktek Kuliah Kerja Kesehatan
Masyarakat (K3M) mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM adalah Puskesmas
Jeruklegi I. Puskesmas Jeruklegi I merupakan salah satu dari dua puskesmas yang
ada di Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Puskesmas
Jeruklegi I terdiri dari tiga bangunan yaitu kantor serta rumah dinas kepala
puskesmas, ruang pendaftaran dan KIA, dan poliklinik. Puskesmas Jeruklegi I
menyediakan layanan kesehatan rawat jalan dan layanan rawat inap dapat dilakukan
dalam keadaan darurat.
Gambar 3. Peta Wilayah UPT Puskesmas Jeruklegi I
Ruang lingkup kerja Puskesmas Jeruklegi I seluas ± 47,56 km2, dengan batas-
batas:
Utara : Kecamatan wilayah Puskesmas Jeruklegi II Desa Cilibang
Timur : Kecamatan Kesugihan
Barat : Kecamatan Kawunganten
4
Selatan : Kecamatan Cilacap Utara
Wilayah kerja Puskesmas Jeruklegi I mencakup 7 desa, yaitu Jeruklegi Wetan,
Jeruklegi Kulon, Brebeg, Sumingkir, Tritih Wetan, Tritih Lor, dan Mandala. Jarak
tempuh terjauh ke arah barat adalah 20 km, yaitu Desa Brebeg dan ke arah timur
15 km, yaitu Desa Mandala.
4. Gambaran Umum Desa Tritih Wetan
Desa Tritih Wetan berada di wilayah Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap,
Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Desa Trith Wetan adalah 451162 Ha. Desa
Tritih Wetan mempunyai tinggi tempat 10 mdl, curah hujan 21,75 Mm, suhu rata-rata
harian 28ºC. Desa ini terdiri dari 11 Rw dan 40 Rt. Batas wilayah Desa Tritih Wetan
adalah sebagai berikut:
Utara : Desa Tritih Lor dan Kuripan
Selatan : Desa Mertasinga dan Desa Menganti
Barat : Desa Tritih Kulon
Timur : Desa Kuripan dan Desa Menganti
Jumlah penduduk di Desa Tritih Wetan pada tahun 2008 sebanyak 10015 orang dan
jumlah rumah tangga sebanyak 2395 KK. Distribusi penduduk berdasar jenis
kelamin, laki-laki sebanyak 5051 orang dan perempuan sebanyak 4964 orang.
Sedangkan distribusi penduduk berdasar usia sebagai berikut :
Tabel 2. Distribusi Penduduk Desa Tritih Wetan Berdasarkan Usia Pada Thaun 2008
Usia (tahun) Jumlah (orang)0 – 12 bulan 186 orang1 – 10 tahun 1168 orang
11 – 20 tahun 1890 orang21 – 30 tahun 1549 orang31 – 40 tahun 1591 orang41 – 50 tahun 1487 orang51 – 58 tahun 806 orang
≥ 59 tahun 1336 orang
Pekerjaan penduduk Desa Tritih Wetan beragam, antara lain pedagang,
wiraswatsa, pengusaha, buruh tani, PNS, tukang batu, TNI Polri, kontraktor, dll.
Jumlah yang paling banyak adalah sebagai pedagang sedangkan yang paling sedikit
sebagai kontraktor.
Tabel 3.Mata pencaharian Penduduk Desa Tritih Wetan Pada Tahun 2008
No Mata Pencaharian Jumlah (orang)
1 Buruh tani 407
5
2 Tani 364
3 Pedagang 483
4 PNS 146
5 TNI Polri 24
6 Penjahit 15
7 Montir 16
8 Sopir 13
9 Karyawan swasta 72
10 Kontraktor 3
11 Tukang kayu 41
12 Tukang batu 148
13 Buruh swasta 21
Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat tahun 2008
menunjukkan bahwa pendidikan masyarakat di Desa Tritih Wetan bervariasi sebagai
berikut :
Tabel 4.Pendidikan Penduduk Desa Tritih Wetan Pada Tahun 2008
No Pendidikan Jumlah (orang)
1 Buta huruf -
2 Tidak tamat SD/sederajat 48
3 Tamat SD/sederajat 3529
4 Tamat SLTP 3023
5 Tamat SLTA 2432
6 Tamat D1 47
7 Tamat D2 221
8 Tamat D3 206
9 Tamat S1 128
10 Tamat S2 4
Tingkat pendidikan penduduk Desa Tritih Wetan beragam dari tidak tamat
SD/sederajat hingga tamat S2, selain itu di Desa Tritih Wetan sudah bebas buta
huruf. Tingkat pendidikan yang paling banyak adalah tidak tamat SD/sederajat,
sedangkan yang paling sedikit adalah tamat S2.
5. Kondisi dan Perilaku Kesehatan Masyarakat
a. Perilaku
6
Berdasarkan rapid assesmen dari 27 orang, sebanyak 51,85 % adalah perokok
b. Kesehatan Lingkungan
1) Jumlah rumah tangga yang memiliki WC 1749 orang, jumlah rumah tangga
yang menggunakan sumur gali 1275 rumah tangga, jumlah rumah tangga
yang menggunakan PAM 947 rumah tangga, jumlah rumah tangga yang
menggunakan sumur pompa 178 rumah tangga
2) Kebiasaan berobat penduduk bila sakit adalah sebagian kecil penduduk
berobat ke dukun, banyak penduduk berobat ke dokter/puskesmas, selain
itu banyak juga penduduk yang menggunakan obat tradisional
3) Pola makan penduduk adalah kebiasaan makan 3 x sehari
c. Gizi dan kesehatan
1) Masih ada balita yang menderita gizi buruk sebanyak 3 orang dari 540 balita,
sehingga jumlah gizi baik 537 orang
2) Balita yang sudah diimunisasi polio 3 sebanyak 80,5 %, balita yang
diimunisasi DPT-1 sebanyak 80,5 %, balita yang diimunisasi cacar sebanyak
77,9 %
3) Pengetahuan gizi ibu balita tentang ASI Eksklusif masih kurang, hal ini dapat
dilihat saat dilakukan rapid assesmen masih banyak ibu yang belum
memberikan ASI Eksklusif
d. Kegawatdaruratan
Kondisi jalan raya di wilayah Kecamatan Jeruklegi yang rusak dan berbelok-
belok serta dilewati kendaraan berat menyebabkan sering terjadi kecelakaan lalu
lintas.
B. Daftar Masalah Kesehatan di Masyarakat
Tabel 5. Daftar Masalah Kesehatan di Masyarakat
No Masalah KesehatanIndikator
KeteranganJumlah(orang)
Prevalensi (%)
1 ISPA non-pneumonia 11.318 18.40 Data sekunder2 Penyakit pada sistim otot
dan jaringan pengikat3.576 5.81 Data sekunder
3 Penyakit pada saluran pencernaan
2.537 4.12 Data sekunder
4 Penyakit kulit infeksi 2.413 3.92 Data sekunder5 ISPA (pneumonia) 1.952 3.17 Data sekunder6 Diare 978 1.59 Data sekunder7 Hipertensi 830 1.35 Insidensi di Desa Jeruklegi
Wetan tahun Januari 2009 0,36%.
8 Kecelakaan Umum 773 1.26 Data sekunder9 Konjungtivitis 638 1.04 Data sekunder10 Penyakit saluran 573 0.93 Data sekunder
7
pernafasan (Asma, Bronchitis,TBC)
Daftar masalah kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Jeruk Legi 1 yang tersebut
diatas di dapatkan dari data sekunder dari puskesmas yaitu laporan tahunan/SPTP tahun
2008 mengenai 10 Besar Penyakit selama tahun 2008.
Dari daftar masalah kesehatan disebutkan bahwa ISPA (non-pneumonia) seperti flu,
batuk dan pilek mempunyai prevalensi paling tinggi sebesar 18,40 % dengan jumlah 11.318
orang. Selain ISPA (non-pneumonia) ada penyakit pada sistim otot dan jaringan pengikat,
penyakit pada saluran pencernaan, penyakit kulit infeksi, ISPA (Pneumonia), diare,
hipertensi, kecelakaan umum, konjungtivitis, dan yang terakhir adalah penyakit saluran
pernafasan (Asma, Bronchitis,TBC)
C. Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan
Tabel 6.Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan
No Masalah KesehatanKriteria Prioritas Skor
PrioritasM Sc T U F Sp
1 ISPA non-pneumonia 10 7 7 6 3 3 362 Penyakit pada sistim otot
dan jaringan pengikat9 5 1 5 3 4 27
3 Penyakit pada saluran pencernaan
8 6 7 6 3 4 34
4 Penyakit kulit infeksi 7 6 7 5 6 5 365 ISPA (pneumonia) 6 4 1 7 6 7 316 Diare 5 6 1 7,5 7 8 277 Hipertensi 4 6 7 7,5 8 9 348 Kecelakaan Umum 3 4 1 8 6 5 279 Konjungtivitis 2 4 1 5 5 4 21
10 Penyakit saluran pernafasan (Asma, Bronchitis, TB)
1 7 7 7.5 8 9 39.5
1. Magnitude (M)
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) non-pneumonia merupakan pernyakit yang paling
sering diderita oleh pengunjung Puskesmas Jeruklegi 1. Hal tersebut yang menyebabkan
ISPA non-pneumonia mendapat nilai 10 untuk kriteria magnitude.
2. Scope (S)
Cakupan atau scope masing-masing penyakit dinilai berdasarkan distribusi usia pasien yang
menderita penyakit tersebut. ISPA non-pneumonia dan penyakit saluran pernafasan (asma,
bronchitis, dan TB) mendapat nilai tertinggi karena semua golongan usia dapat menderita
penyakit tersebut. Skor tertinggi kedua diberikan untuk penyakit pada saluran pencernaan,
penyakit kulit infeksi, diare dan hipertensi karena golongan umur yang menderita penyakit
tersebut hampir sama. Demikian pula dengan penilaian pada penyakit yang lain.
8
3. Trend (T)
Nilai trend diberikan berdasarkan kemunculan kembali penyakit tersebut pada awal tahun
2009. Dari data 10 besar penyakit di Puskesmas pada Januari 2009, penyakit hipertensi,
ISPA non-pneumonia, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit infeksi dan penyakit
saluran pernafasan (asma, bronchitis, dan TB) masih menjadi masalah di Puskesmas
Jeruklegi 1 sehingga diberikan skor yang tinggi yaitu 7. Sedangkan penyakit lain tidak muncul
kembali dan diberi skor yang rendah yaitu 1.
4. Urgency (U)
Urgency dinilai berdasarkan kegawatan penyakit tersebut sehingga harus ditangani segera.
Kecelakaan umum merupakan penyakit dengan nilai tertinggi yaitu 8 karena apabila
kecelakaan umum tidak segera ditangani dapat membahayakan nyawa. Hipertensi, penyakit
saluran pernafasan dan diare memiliki tingkat urgency yang tertinggi kedua, Hal ini
dikarenakan hipertensi merupakan penyakit yang dapat menimbulkan penyakit komplikasi
yang berbahaya hingga menyebabkan kematian. Sedangkan diare dapat menimbulkan
dehidrasi berkepanjangan sehingga harus ditangani segera. Penyakit saluran pernafasan jika
tidak segera ditangani maka akan menyebar luas dan pengobatan yang diperlukan lama
sehingga lebih baik mencegah daripada mengobati.
5. Feasibility (F)
Feasibility dinilai berdasarkan sumber daya atau sarana prasarana untuk melakukan
program pemecahan masalah kesehatan tersebut. Program penanganan hipertensi dan
penyakit saluran pernafasan dipandang paling mungkin untuk dilakukan. Penanganan ISPA
non-pneumonia, penyakit saluran pencernaan dan penyakit pada sistem otot dan jaringan
mendapat nilai terendah karena dipandang sulit untuk dibuat program penanganan.
Sumberdaya yang ada cukup memadai dan termasuk dalam wilayah kerja puskesmas jeruk
legi1.
6. Support (S)
Dukungan atau support dinilai dari dukungan yang diberikan dari Puskesmas, Kecamatan
dan Masyarakat Jeruklegi terhadap intervensi atau program penanganan yang akan dibuat.
Dukungan terbesar diberikan untuk penyakit saluran pernafasan khususnya TBC
karena penderita TB mulai banyak ditemukan tidak hanya usia dewasa tapi anak-
anak sekolah. Hal ini dapat diketahui dari hasil screening pada anak sekolah yaitu
banyak ditemukan BTA positif. Sementara itu, masalah yang kurang didukung untuk
diintervensi adalah ISPA non-pnuemonia. Hal ini dikarenakan penyakit ini sulit untuk dihindari
dan dicegah, sehingga intervensi paling efektif adalah dengan terapi kuratif.
Dari hasil scoring atau pemberian nilai dalam penentukan prioritas masalah
kesehatan di Puskesmas Jeruklegi 1 yang akan diintervensi, TB merupakan masalah
kesehatan dengan nilai paling tinggi, yaitu 39,5. Sehingga pada kegiatan Kuliah
Kerja Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Jeruklegi 1, akan disusun program-
9
program yang ditujukan untuk mengatasi penyakit saluran pernafasan khususnya
TBC.
BAB II
IDENTIFIKASI FAKTOR RISIKO
A. Kepentingan Permasalahan
Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2008 mengenai jumlah penduduk Desa
Tritih Wetan yang memeriksakan dirinya ke puskesmas Jeruklegi I didapatkan bahwa penderita
TB klinis sebanyak 46 orang. Sedangkan jumlah penderita TB suspect dalam lingkup Kecamatan
Jeruklegi sebanyak 277 orang. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang tenaga
kesehatan didapatkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan makin tingginya angka
persebaran TB adalah ketidakpatuhan meminum obat. Banyak pasien yang putus obat sebelum 6
bulan. Fungsi pengawas minum obat juga belum optimal karena terbatasnya SDM di Tritih Wetan
dan kesadaran masyarakat yang rendah. Selain itu faktor lingkungan dan adat istiadat setempat
juga mempengaruhi persebaran TB di Tritih Wetan.
B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana kejadian tuberkulosis pada masyarakat Desa Tritih Wetan, Kecamatan Jeruklegi,
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah?
2. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis pada masyarakat Desa
Jeruklegi Wetan, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui beberapa faktor risiko tuberkulosis pada lansia di Desa Jeruklegi Wetan,
Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan melakukan intervensi terhadap
beberapa faktor risiko yang ada.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan usia
b. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan latar belakang profesi
c. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan faktor sosioekonomik
d. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan merokok
e. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan minum alkohol
f. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan penyakit sistemik lainnya (seperti
diabetes mellitus dan gagal ginjal kronik).
g. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan kontak lingkungan
h. Mengetahui hubungan antara tuberkulosis dengan kondisi rumah
10
D. Kajian Literatur
1. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru.
Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges,
ginjal, tulang dan nodus limfe. Agen infeksius utama, mycobacterium tuberculosis
adalah bakteri batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan
sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smeltzer and Bare, 2001).
Tuberculosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Angka
mortalitas dan morbiditasnya terus meningkat. TB sangat erat kaitannya dengan
kemiskinan, malnutrisi, tempat kumuh, perumahan dibawah standard dan
perawatan kesehatan yang tidak adekuat. Jumlah kasus TB meningkat ditunjang
oleh beberapa faktor, termasuk peningkatan imigrasi epidemic HIV strain TB yang
resisten terhadap banyak obat, dan tidak adekuatnya dukungan system
kesehatan masyarakat (Balkissoon et al, 2003).
2. Epidemiologi
Indonesia merupakan negara ketiga terbesar dalam jumlah penderita TB, setelah
India dan China. Pada tahun 2005, prevalensi TB di Indonesia adalah 107 per
100.000 jiwa. Setiap tahunnya, di Indonesia terdapat seperempat juta kasus baru
TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC.
Sebagian besar penderita TBC adalah mereka dengan usia produktif (15-55
tahun) dan TBC adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular, di
mana TBC juga adalah penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung
dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Indonesia telah
berhasil mencapai angka keberhasilan pengobatan sesuai dengan target global
yaitu 85 persen dan tetap dipertahankan dalam empat tahun terakhir (WHO,
2003; Chapman et al, 2005).
3. Penularan dan faktor-faktor risiko.
Menurut Smeltzer and Bare (2001), tuberculosis ditularkan dari orang ke orang
oleh transmisi melalui udara. Individu terinfeksi, melalui berbicara, batuk, bersin,
tertawa atau bernyanyi, merupakan droplet besar (lebih besar dari 100 mikro)
dan kecil (1-5mikro). Droplet yang besar menetap, sementara droplet yang kecil
tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang rentan. Risiko untuk tertular
tuberculosis juga tergantung pada banyaknya organisme yang terdapat di udara.
Individu yang berisiko tinggi untuk tertular tuberculosis adalah mereka yang
kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif, individu imunosupresif
(termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang dalam terapi
11
kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV), pengguna obat-obatan,
perokok, dan alkoholik, setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat
(tunawisma, rumah tahanan, etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak
dibawah usia 15 tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15 – 44 tahun),
setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalnya
diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, bypass gatrektomi atau yeyunoileal),
imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (Asia Tenggara, Afrika,
Amerika Latin, Karibia), setiap individu yang tinggal di institusi (misalnya fasilitas
perawatan jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara), individu dengan status
sosioekonomik rendah, dan petugas kesehatan (JAMA, 2007).
4. Patofisiologi
Tuberculosis (TB) adalah penyakit bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium
khususnya Mycobacterium tuberculusis, M. bovis atau M. africanum. Penyakit ini
menyebar dari inhalasi seperti droplet sputum, dari orang yang terinfeksi
(Mueller, 2004)
Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan menjadi terinfreksi. Bacteri
dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka terkumpul dan
mulai untuk memperbanyak diri. Basil juga dipindahkan melalui system limfe dan
aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks cerebri) dan area
paru-paru lainnya (lobus atas) (Smeltzer and Bare, 2001; Chapman et al, 2005).
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (netrofil
dan makrofag) menelan banyak bakteri, limfosit spesifik tuberculosis melisis
(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
penumpukan eksudat awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan.
Masa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil
yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang
membentuk dindidng protektif. Granulomas diubah menjadi masa jaringan
fibrosa. Bagian sentral dari masa fibrosa ini disebut tuberkel ghon. Bahan (bakteri
dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk masa seperti keju. Masa ini dapat
mengalami kalsifikasi, membentuk skar kulagenosa. Bakteri menjadi dorman,
tanpa perkembangan penyakit aktif (Smeltzer and Bare, 2001).
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif
karena gangguan atau respon yang inadekuat dari respon system imun. Penyakit
aktof dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam
kasus ini, tuberkelghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam
bronkhi. Bakteri kemudian menjadi tersebat di udara, mengakibatkan penyebaran
penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk jaringan
parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya
bronkhopneumonia lebih lanjut, pembentukan tuberkel dan selanjutnya
(Balkissoon et al, 2003).
12
Kecuali proses tersebut dapat dihentikan, penyebarannya dengan lambat
mengarah ke bawah ke hilum paru-paru dan kemudian meluas ke lobus yang
berdekatan. Proses mungkin berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika
penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang
diperbaharui. Hanya sekitar 10 % individu yang awalnya terinfeksi mengalami
penyakit aktif (Smeltzer dan Bare, 2001).
5. Manifestasi Klinis
Tuberculosis paru termasuk insidius. Sebagian besar pasien menunjukkan demam
tingkat rendah, keletihan, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam,
nyeri dada dan batuk menetap. Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif tetapi
dapat berkembang kearah pembentukan sputum mukopurulen dengan
hemoptisis (Li dan Brainard, 2006).
Tuberkulosis dapat mempunyai manifestasi atipikal pada lansia, seperti perilaku
tidak biasa dan perubahan status mental, demam, anoreksia, dan penurunan
berat badan. Basil TB dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman
(Smeltzer and Bare, 2001). Tuberculosis juga dapat memiliki manifestasi
ekstrapulmonal, yaitu limfadenitis, meningitis, tuberkuloma otak, tuberculosis
vertebral, tuberculosis intestinal, dan tuberculosis renal (Chandrasoma dan
Taylor, 1995).
6. Evaluasi Diagnostik
Diagnosis tuberculosis ditegakkan dengan mengumpulkan riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, rontgen dada, usap basil tahan asam BTA, kultur sputum, dan
tes tuberculin. Rontgen dada biasanya akan menunjukkan lesi pada lobus atas.
Sputum pagi hari untuk kultur BTA dikumpulkan; usap BTA akan menunjukkan
apakah terdapat mikobakterium, yang menandakan diagnosis tuberculosis
(Brodie et al, 2005). Tes kulit tuberculin adalah tes kulit yang digunakan untuk
menentukan apakah individu telah terinfeksi basil TB. Extrak basil tuberkel
(tuberculin) disuntikkan ke dalam lapisan intradermal pada bagian dalam lengan
bawah, sekitar 10 cm di bawah siku (Smeltzer dan Bare, 2001).
7. Pengobatan
Pengobatan TB memiliki tiga prinsip dasar: menggunakan obat multiple di mana
M tuberculosis rentan terhadapnya, terapi harus dilakukan secara regular, dan
terapi harus dilakukan dalam periode yang cukup untuk memastikan penyakit ini
benar-benar sembuh.(Li dan Brainard, 2005)
Dua tujuan pengobatan tuberculosis adalah untuk menginterupsi penularan
tuberculosis dan mencegah morbiditas serta mortalitas. Kemoterapi untuk
tuberculosis menjadi mungkin dengan ditemukannya streptomisin pada
pertengahan decade 1940. Namun pengobatan dengan streptomisin saja
seringkali berhubungan dengan resistensi dan dan kegagalan terapi. Dengan
ditemukannya asam paraaminosalisilat dan isoniazid, muncul pemahaman baru
13
bahwa pengobatan tuberculosis memerlukan minimal dua agen antimikroba. Pada
saat itu diperlukan pengobatan selama dua belas hingga 24 bulan untuk
mencegah rekurensi tuberculosis.
Penemuan rifampin pada awal decade 1970 menghasilkan era kemoterapi dengan
jangka waktu yang lebih singkat, dengan durasi kurang dari dua belas bulan. Lalu
dengan ditemukannya efek pirazinamida yang dapat lebih memperkuat potensi
isoniazid/rifampin mengantarkan kita kepada pemberian obat tripel selama enam
bulan sebagai terapi baku (Kasper et al, 2004).
8. Prognosis
Hampir semua pasien yang diterapi dengan baik dapat disembuhkan. Tingkat
kekambuhan berkisar lima persen dengan metode pengobatan saat ini. Penyebab
utama kegagalan terapi yaitu ketidakpatuhan terhadap terapi. (McPhee et al,
2008)
9. Pencegahan
Sejauh ini pencegahan terbaik adalah mendiagnosis kasus-kasus infeksius sedini
mungkin dan mengobati sampai benar-benar sembuh. Strategi-strategi tambahan
termasuk vaksinasi BCG dan mengobati individu dengan infeksi tuberculosis laten
yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit tuberculosis aktif.
Vaksin BCG diberikan saat kelahiran di negara-negara dengan prevalensi
tuberculosis yang tinggi. Vaksin ini memiliki tingkat kemanjuran yang tinggi untuk
mencegah bayi dan anak-anak menderita bentuk yang parah dari tuberculosis,
yaitu meningitis dan tuberculosis miliaria. Vaksin ini sangat aman dan jarang
menyebabkan komplikasi serius (WHO, 2003).
10. Pengendalian Tuberculosis
Prioritas utama program pengendalian tuberculosis adalah deteksi dini dan
kemoterapi pada semua penderita di bawah pengawasan yang baik, dengan
penekanan pada pengobatan kasus-kasus dengan apusan sputum positif.
Usaha-usaha pencegahan penularan dilakukan dengan isolasi respirasi individu
dengan suspek tuberculosis sampai individu tersebut terbukti noninfeksius
(misalnya apusan sputum negatif), ventilasi yang cukup pada kamar penderita,
penggunaan sinar ultraviolet di area-area dengat tingkat penularan tuberculosis
yang tinggi, dan penapisan berkala terhadap individu-individu dengan riwayat
kontak tuberculosis.
Di negara-negara dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, program
pengendalian tuberculosis harus berdasarkan elemen-elemen kunci strategi DOTS
dari WHO: komitmen politik pemerintah terhadap pengendalian yang
berkelanjutan; deteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopik pada pasien
14
dengan batuk berdurasi lebih dari dua minggu; pemberian kemoterapi baku pada
semua pasien dengan BTA positif dan diawasi konsumsinya secara langsung;
penetapan dan pemeliharaan system pengawasan yang efektif dan
memungkinkan penilaian hasil terapi (Kasper et al, 2004).
E. Kerangka Konseptual
Keterangan :
: faktor yang tidak dapat diintervensi
: faktor yang dapat diintervensi
F. Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan usia
2. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan latar belakang profesi
15
TUBERCULOSIS
Penyakit sistemik lainMerokok
Modifying Factors
Sosial ekonomiPekerjaann
Alkohol
Unmodifying Factors
Usia
3. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan faktor sosioekonomik
4. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan merokok
5. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan minum alkohol
6. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan penyakit sistemik lainnya (seperti diabetes
mellitus dan gagal ginjal kronik).
7. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan kontak lingkungan
8. Terdapat hubungan antara tuberkulosis dengan kondisi rumah
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan retrospektif yaitu pengukuran
variabel bebas dan terikat dilakukan dalam waktu yang bersamaan.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Desa Tritih Wetan Kecamatan Jeruklegi Kabupaten Cilacap
b. Waktu Penelitian
Tanggal 6 April – 6 Mei 2009
3. Populasi dan Sampel Penelitian
a. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat Desa Tritih Wetan, Kecamatan Jeruklegi,
Kabupaten Cilacap.
b. Sampel
Sampel penelitian diambil secara random sampling dengan kriteria sebagai berikut :
Menderita maupun tidak menderita tuberkulosis
Bersedia menjadi subjek penelitian
4. Besar Sampel
no = Z²PQ
d²
n = no
1 + {(no – 1)/N}
Keterangan :
Z = 1,96, karena tingkat kepercayaan yang ditetapkan 95%
P = 0,50, perkiraan proporsi penderita tuberculosis paru di Desa Tritih Wetan
Q = 1 – 0,50 = 0,50
d =0,1, merupakan presisi yang diinginkan atau kesalahan maksimum yang
diperbolehkan
N = 10.013, ukuran populasi, jumlah warga Desa Tritih Wetan
16
Sehingga diperoleh besar sampel :
no = 1,962 x 0,50 x 0,50
0,1²
= 96,04
n =
n = 95,04 sampel ≈ 95 sampel
Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 95 orang responden (diambil dari
penderita TB maupun non penderita)
5. Variabel Penelitian
Variabel bebas:
a. Usia
b. Jenis pekerjaan
c. Sosial ekonomi
d. Kebiasaan merokok
e. Kebiasaan minum alkohol
f. Penyakit sistemik lain
g. Kontak lingkungan
h. Kondisi rumah
Variabel terikat:
Tuberculosis paru
6. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Skala KategoriCara
Pengukuran
Tuberculosis
paru
adalah keadaan dimana pasien
terdiagnosis tuberculosis paru
secara klinis, radiologik, dan
atau laboratorik
Ordinal
Tuberculosis
Non-
tuberkulosis
Data rekam
medic dan
wawancara
Usia adalah masa hidup dihitung dari
tahun kelahiran dan dinyatakan
dengan tahun
Usia produktif adalah responden
yang berusia 15-54 tahun
sedangkan usia nonproduktif
Ordinal
Usia produktif
Usia
nonproduktif
Wawancara
17
adalah responden yang berusia
kurang dari 15 tahun.
Kebiasaan
merokok
adalah aktivitas merokok selama
lebih dari atau sama dengan 6
bulan berturut-turut, atau,
riwayat merokok dengan kriteria
yang sama.
Nominal
Ya
Tidak
Wawancara
Kebiasaan
minum alkohol
adalah aktivitas minum minuman
yang mengandung alkohol (bir,
anggur, wiski, vodka, gin, dan
sebagainya) sebanyak minimal 1
sloki per hari selama lebih dari
sama dengan 6 bulan, atau,
riwayat minum minuman
beralkohol dengan kriteria yang
sama.
Nominal
Ya
Tidak
Wawancara
Riwayat
penyakit
sistemik lain
adalah riwayat didiagnosis
menderita penyakit sistemik lain.
Data diperoleh dengan
wawancara secara langsung.
Penyakit sistemik yang
dimaksud meliputi penyakit
jantung, diabetes mellitus, dan
penyakit ginjal.
Nominal
Ya
Tidak
Wawancara
Faktor
sosioekonomik
rendah
adalah keadaan dimana
responden merupakan kepala
keluarga yang memiliki lebih dari
3 anggota keluarga dengan
pengeluaran per bulan kurang
dari UMR (Rp 700.000).
Nominal Ya
Tidak
Wawancara
Kontak
lingkungan
adalah keadaan dimana terdapat
penderita dengan batuk > 3
minggu dalam jarak 25 m dari
rumah
Nominal Ya
Tidak
Wawancara
Kondisi rumah adalah keadaan rumah yang
meliputi kondisi ventilasi (setiap
10 m2 luas rumah terdapat 1 m2
ventilasi), dan kepadatan rumah
(luas rumah ditempati dan
Ordinal Baik
Buruk
Observasi
18
digunakan untuk keperluan
sehari-hari dibagi dengan jumlah
penghuni (9 m2 ) )
7. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner,timbangan injak, dan meteran.
8. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data primer, terdiri dari :
i. Data identitas
Data ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan tingkat pendidikan.
ii. Data sosial ekonomi, kebiasaan merokok, minum alkohol, ada tidaknya penyakit
sistemik lain, kontak lingkungan, dan kondisi rumah. Data ini diperoleh dari pengisian
kuesioner.
Data sekunder
Data sekunder meliputi data gambaran umum lokasi, demografi, jumlah masyarakat
Desa Jeruklegi.
9. Langkah-Langkah Pelaksanaan Penelitian
a. Tahap Persiapan
1. Melakukan screening awal untuk mengetahui prioritas masalah kesehatan pada
tokoh masyarakat dan kader kesehatan di Desa Jeruklegi Wetan, Kecamatan
Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
2. Menentukan prioritas masalah berdasarkan scoring hasil screening awal yang telah
dilakukan.
3. Menyiapkan alat penelitian berupa kuesioner.
b. Tahap Pelaksanaan
Melaksanakan pengumpulan data sosial ekonomi, kebiasaan merokok, minum alkohol,
ada tidaknya penyakit sistemik lain, kontak lingkungan, dan kondisi rumah melalui
pengisian kuesioner dan wawancara.
10.Manajemen dan Analisis Data
Manajemen dan analisis data dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap :
a. Pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui penelusuran dokumen, penyebaran kuesioner serta
pengukuran tekanan darah, tinggi badan dan berat badan.
b. Editing data
Proses ini dilakukan untuk melihat dan memastikan apakah semua data telah tersedia
sehingga terhindar dari kekurangan.
c. Koding
19
Data setelah diteliti, tahap berikutnya adalah pemberian kode pada jawaban di tepi
lembar jawaban.
d. Entry data
Setelah dilakukan koding, kemudian dilakukan entry data.
e. Tabulasi data
Setelah proses entry, dilakukan tabulasi data dalam bentuk master table agar mudah
dibaca dan dipahami.
f. Analisis data
Uji statistik untuk menguji hubungan antara variabel bebas dengan variable terikat
dilakukan dengan uji chi square.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik terhadap warga masyarakat
tanpa batasan usia di wilayah Desa Tritih Wetan, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini melalui
wawancara dengan kuesioner terhadap responden. Jumlah minimal subjek berdasarkan
perhitungan rumus (Supadi, 2000) adalah sebanyak 95 orang. Penelitian ini
menggunakan 92 orang subjek yang masuk dalam kriteria inklusi. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel III.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin,
Usia,
Tingkat Pendidikan, dan Pekerjaan
No. KarakteristikFrekuens
i
Persentas
e (%)
1. Usia
Usia Produktif (20-55 tahun)
Usia non produktif
71
21
77,2
22,8
2. Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
26
66
28,3
71,7
2. Pendidikan
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
11
37
13
25
12
40,2
14,1
27,2
20
Tamat Perguruan Tinggi 4 4,3
3. Pekerjaan
Tenaga Kesehatan
Non Tenaga Kesehatan
1
91
1,1
98,9
Sumber: Hasil Data
primer
1. Hubungan tuberculosis paru dengan usia
Tabel III.4 Hubungan antara tuberculosis dengan usia
Usia produktif
Usia nonprodukti
f
Total
Tuberculosis 24 16 40Non-tuberculosis 47 5 52
Total 71 21 92 Sumber : Hasil Data Primer
Tabel di atas menunjukkan distribusi kejadian tuberculosis pada subjek penelitian
berdasarkan kelompok usia. Setelah melalui uji statistik dengan menggunakan uji
Chi-Square, didapatkan adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan
kelompok usia produktif dengan nilai kemaknaan sebesar 0,01 (p < 0,05). Hal ini
berarti faktor umur memiliki pengaruh yang kuat terhadap frekuensi kejadian
tuberculosis pada masyarakat Desa Tritih Wetan, Kecamatan Jeruklegi, Cilacap, Jawa
Tengah.
Temuan tersebut sesuai dengan penelitian Borgdorff et al (2001), di mana
tuberculosis paru lebh banyak terjadi pada usia produktif. Kelompok usia tersebut
diduga lebih berisiko tertular dan menderita tuberculosis karena mereka lebih sering
keluar rumah dan melakukan kontak dengan lingkungan sekitar maupun tempat
kerja, sehingga kemungkinan tertular menjadi lebih besar. Para penderita
tuberculosis biasanya tertular dari individu dengan umur yang tidak jauh berbeda
(Borgdorff et al, 1999).
Di Amerika Serikat, tuberculosis jarang terjadi pada usia produktif karena mereka
sangat jarang terpapar infeksi M. tuberculosis selama beberapa dekade terakhir.
Sebaliknya , karena risiko tinggi di masa lalu, prevalensi tuberculosis pada individu
21
lanjut usia relatif tinggi. Individu dewasa muda yang menderita tuberculosis di
Amerika Serikat biasanya berasal dari pengidap HIV, kaum imigran, dan atau
kelompok sosioekonomik rendah (Kasper et al, 2004).
2. Hubungan antara tuberculosis dengan latar belakang profesi
Tabel III.5 Hubungan antara tuberculosis dengan latar belakang profesi
Tenaga Kesehatan
Bukan Tenaga
Kesehatan
Total
Tuberculosis 0 40 40Non-tuberculosis 1 51 52Total 1 91 92
Sumber : Hasil Data Primer
Secara statistik dengan uji Chi Square tidak didapatkan adanya hubungan antara
kejadian tuberculosis dengan latar belakang profesi tenaga kesehatan, dengan nilai
kemaknaan sebesar 0,378 (p>0,05).
Meredith et al (1996) menyebutkan bahwa tenaga professional kesehatan
memiliki risiko terinfeksi tuberculosis dua sampai tiga kali lebih besar dibanding
mereka yang tidak bekerja di bidang kesehatan. Jenis pekerjaan tersebut berpotensi
bagi terjadinya TB Paru, hal ini terkait dengan keterpaparan kuman Mycobacterium
tuberculosis. Namun bisa saja angka tersebut menjadi besar karena para petugas
kesehatan lebih sadar akan tanda dan gejala tuberculosis sehingga kasus mereka
banyak terdeteksi.
Jenis pekerjaan seseorang memberikan kontribusi terjangkit-tidaknya seseorang
terhadap penyakit TB paru. Namun menurut Reviono (2001), potensi tersebut terjadi
lebih karena jenis pekerjaan berhubungan dengan tingkat penghasilan seseorang
sehingga pekerjaan sebagai wiraswastawan, karyawan, atau PNS/TNI lebih dapat
memenuhi kebutuhan asupan zat-zat gizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap serangan bibit penyakit. Hasil studi Reviono menunjukkan jenis pekerjaan
pada penderita TBC berturut-turut: tidak bekerja 33%, buruh tani 27%, wiraswasta
20%, PNS/ABRI/Pensiunan 14%.
3. Hubungan antara tuberculosis dengan faktor sosioekonomik
Tabel III.6 Hubungan antara Tuberculosis dengan Sosioekonomik
Sosek Rendah
Sosek Cukup Jumlah
Tuberculosis 32 8 40Non-
Tuberculosis33 19 52
22
Total 65 27 92 Sumber : Hasil Data Primer
Secara statistik dengan uji Chi Square menunjukkan tidak adanya hubungan
antara kejadian tuberculosis dengan kondisi sosioekonomik, dengan nilai kemaknaan
sebesar 0,084 (p > 0,05).
Temuan ini berbeda dengan beberapa literature yang menunjukkan bahwa faktor
sosioekonomik berperan dalam terjadinya tuberculosis (Kasper et al, 2004; Coker et
al, 2006). Faktor sosioekonomik sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah,
kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja
yang buruk yang kemudian dapat memudahkan penularan tuberculosis. Pendapatan
keluarga sangat erat juga dengan penularan tuberculosis, karena pendapatan yang
kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat – syarat
kesehatan (Adhitama, 1994). Penderita tuberculosis umumnya juga menghadapi
keterbatasan dalam mengakses layanan kesehatan (Retnaningsih, 2007).
4. Hubungan antara tuberkulosis dengan kebiasaan merokok
Tabel III.7 Hubungan antara tuberculosis dengan kebiasaan merokok
Perokok Nonperokok Jumlah
Tuberculosis 19 21 40Non-tuberculosis 18 34 52Total 37 55 92
Sumber : Hasil Data Primer
Secara statistik dengan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tak terdapat
hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kebiasaan merokok, dengan nilai
kemaknaan sebesar 0,212 (p > 0,05).
Hal ini tak sejalan dengan temuan di mana pengaruh kebiasaan merokok
terhadap tuberculosis dibuktikan dalam penelitian Gomez et al (2006) dan Bates et al
(2007) bahwa merokok berhubungan dengan peningkatan risiko terjangkit
tuberculosis dan memperberat penyakit tuberculosis yang sudah diderita, demikian
juga pada perokok pasif walaupun risikonya lebih kecil. Pada anak-anak yang menjadi
perokok pasif juga terjadi peningkatan kejadian tuberculosis (De Boon et al, 2007).
Kemungkinan mekanismenya adalah menurunnya respon imun, limfopenia CD4,
defek pada respon makrofag, permeabilitas vascular dan epitel abnormal, dan
gangguan mekanik fungsi cilia pada jalan napas (ScienceDaily, 2004). Merokok juga
dapat mengubah jumlah, konsistensi, dan permebilitas mukosa. Jumlah makrofag
alveolar meningkat karena paparan asap tembakau, tetapi kemampuan fagositosis
dan membunuh bakterinya berkurang. Hasilnya, imunitas paru terganggu, dan agen
infeksius lebih mudah mencapai jaringan alveolar.
23
Sel T sangat rentan terhadap asap rokok, yang dapat mengganggu kapasitas
sitotoksik sel T untuk melawan infeksi. Lebih jauh lagi, kebiasaan merokok dapat
mereduksi immunoglobulin serum, rasio sel T-helper/T-suppresor, dan aktivitas
sitotoksik sel Natural Killer, yang dapat menyebabkan penurunan respon imun tubuh
terhadap M tuberculosis (Sopori, 2002).
5. Hubungan antara tuberculosis dengan kebiasaan minum alkohol
Tabel III.9 Hubungan antara tuberculosis dengan kebiasaan minum alkohol
Konsumen Alkohol
Nonkonsumen Alkohol
Jumlah
Tuberculosis 4 36 40Non-tuberculosis 0 52 52Total 4 88 92
Sumber : Hasil Data Primer
Dengan uji Chi-Square, didapatkan hubungan antara kebiasaan minum alkohol
dengan kejadian tuberculosis dengan kemaknaan sebesar 0.02 (p<0.005).
Lonnroth et al (2008) menemukan bahwa risiko terinfeksi tuberculosis lebih
tinggi pada individu yang mengonsumsi alkohol lebih dari 40 g per hari dan atau
memiliki gangguan konsumsi alcohol. Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan
risiko infeksi sekunder yang lebih serius dari paparan selanjutnya. Pada mencit,
konsumsi alcohol kronik dapat memperberat infeksi M tuberculosis di paru (Mason et
al, 2004)
Alcohol memiliki efek toksik langsung pada system imun yang mengakibatkan
individu lebih rentan terhadap penyakit tuberkulosis. Studi pada hewan menunjukkan
bahwa imunitas selular dan fungsi makrofag (yang penting dalam respon pertahanan
tubuh terhadap infeksi M tuberculosis) diganggu secara langsung konsumsi alcohol
akut maupun kronik (Mason et al).
Alcohol merusak system imun dengan cara menghambat respon tumour
necrosis factor (TNF). Alcohol juga dapat mereduksi respon system NO terhadap
infeksi mycobacterium, yang dapat mencegah destruksi mycobacterium. Selain itu,
alcohol menghambat formasi granuloma, produksi IL-2, produksi IFN-gamma, dan
proliferasi CD4. Gangguan konsumsi alcohol juga menyebabkan gangguan imunitas
secara tidak langsung lewat defisiensi mikronutrien dan makronutrien, atau melalui
gangguan lain yang terkait alcohol, seperti keganasan (Nelson et al, 1995).
6. Hubungan antara tuberculosis dengan kondisi rumah
Tabel III.10 Hubungan antara tuberculosis dengan kondisi rumahKondisi Baik Kondisi
BurukJumlah
24
Tuberculosis 20 20 40Non-tuberculosis 22 30 52Total 42 50 92
Sumber : Hasil Data Primer
Uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan tidak adanya
hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kondisi rumah, dengan nilai
kemaknaan sebesar 0.463 (p >0.05).
Berbeda dengan temuan Mangtani et al (1995), Coker et al (2006), dan Hill et al
(2006), yang menyebutkan bahwa kondisi rumah yang padat dan lembab
meningkatkan risiko terjangkit tuberculosis. Penyakit atau gangguan saluran
pernapasan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang buruk. Lingkungan yang buruk
tersebut dapat berupa kondisi fisik perumahan yang tidak mempunyai syarat seperti
ventilasi, kepadatan penghuni, penerangan dan pencemaran udara dalam rumah.
Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya infeksi saluran
pernapasan (Ranuh,1997).
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran
udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis.
Tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkan manusia,
sehingga apabila suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan
overcrowded maka akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan
(Gunawan et al., 1982). Ruangan yang ventilasinya kurang baik akan membahayakan
kesehatan khususnya saluran pernapasan karena terdapat bakteri di udara
disebabkan adanya debu dan uap air. Jumlah bakteri udara akan bertambah jika
penghuni ada yang menderita penyakit saluran pernapasan, seperti TBC, Influenza,
dan ISPA (Azwar, 1990; Depkes RI, 1989).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya
konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat
racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan
peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang
baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk
kuman tuberculosis (Nurhidayah et al, 2007).
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan
dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ
selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan
selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, menurut Lubis (1989), luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya proses
pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya
25
kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap
bersama udara pernapasan.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan
mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh
penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan.
Selain menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular
kepada anggota keluarga yang lain (Lubis, 1989; Notoatmodjo, 2003). Kepadatan
hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran
panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan
tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin
cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya
penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan
CO2 ruangan dan dampak dari peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas
udara dalam rumah (Yusup dan Sulistyorini, 2005)
7. Hubungan antara tuberculosis dengan penyakit sistemik lain
Tabel III.11 Hubungan antara Tuberculosis dengan Penyakit Sistemik Lain
yang Diderita
Dengan Penyakit
Lain
Tanpa Penyakit Lain
Jumlah
Tuberculosis 2 38 40Non-tuberculosis 3 49 52
Total 5 87 92 Sumber : Hasil Data
Primer
Uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square tidak menunjukkan adanya
hubungan antara kejadian tuberculosis dengan penyakit sistemik yang diderita,
dengan nilai kemaknaan sebesar 0.872 (p > 0,05). Hasil tersebut tak sejalan dengan
penelitian Leon et al (2004) dan Pablos-Mendez (1997) yang menemukan bahwa
diabetes meningkatkan risiko terjangkit tuberculosis. Status diabetes memang tidak
26
meningkatkan risiko terinfeksi M tuberculosis, tetapi meningkatkan risiko reaktivasi
tuberculosis dorman.
Selain itu, penelitian Moore et al (2002) menunjukkan bahwa penyakit ginjal
kronik dapat meningkatkan risiko terinfeksi tuberculosis. Namun hasil temuan Jin et al
(2008) tidak menunjukkan adanya kaitan bermakna antara penyakit ginjal kronik
dengan insidensi tuberculosis. Secara teoretis, penyakit ginjal kronik dapat
mengganggu imunitas tubuh dan meningkatkan insidensi tuberculosis. Kasus gagal
ginjal juga merupakan faktor risiko potensial teaktivasi tuberculosis (Chia et al, 1998).
8. Hubungan antara tuberculosis dengan riwayat kontak penderita
tuberculosis
Tabel III.12 Hubungan antara tuberculosis dengan riwayat kontak penderita
tuberculosis
Kontak Positif
Kontak Negatif
Jumlah
Tuberculosis 23 17 40Non-tuberculosis 9 43 52
Total 32 60 92 Sumber : Hasil Data Primer
Uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukkan adanya hubungan
antara kejadian tuberculosis dengan riwayat kontak penderita tuberculosis, dengan
nilai kemaknaan sebesar 0.00 (p < 0,05). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Coker et al (2006) dan Hill et al (2006) bahwa riwayat kontak dengan
penderita TB di dalam rumah maupun di sekitar rumah meningkatkan risiko terjangkit
tuberculosis.
Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya,
sedangkan besar resiko terjadinya penularan untuk tangga dengan penderita lebih
dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita
TB. Hal tersebut terjadi karena adanya penderita tuberculosis di rumah dan
sekitarnya meningkatkan frekuensi dan durasi kontak dengan kuman tuberculosis
yang merupakan faktor penting patogenesis tuberculosis (Guwatudde et al, 2003).
27
BAB IV
TINDAKAN PEMECAHAN MASALAH KESEHATAN
A. TINDAKAN PEMECAHAN MASALAH YANG TELAH DILAKUKAN
Beberapa kegiatan dilakukan oleh mahasiswa K3M dalam memecahkan
masalah kesehatan di Desa Tritih Wetan. Kegiatan tersebut, antara lain:
1. Kegiatan Yankes, dan Pengobatan Gratis
Kegiatan Yankes bertempat di Posyandu di Tritih Wetan antara lain:
a. Posyandu RW VI
b. Posyandu RW V
c. Posyandu RW I
d. Posyandu RW IX
e. Posyandu Lansia RW XI
28
f. Posyandu Lansia RW IV
Kegiatan Yankes ditujukan untuk balita, lansia serta PUS/WUS di daerah Tritih
Wetan. Acara dijadwalkan mulai pada pukul 09.00-12.30 WIB. Semua warga
datang kemudian mendaftar, dan dilanjutkan dengan anamnesis sederhana
yaitu tinggi badan, berat badan, dan pengukuran tekanan darah. Kegiatan
dilanjutkan dengan menanyakan keluhan utama. Pada kegiatan ini mahasiswa
juga mengedarkan rapid assesment, mengambil data sebagai sampel di Tritih
Wetan. Setelah melakukan konsultasi sedikit terutama jika terdapat gejala
batuk lama, kemudian dilanjutkan pengobatan gratis dan pemberian imunisasi
TT oleh Puskesmas Jeruklegi I. Secara umum kegiatan berlangsung lancar dan
mengena pada semua usia (produktif dan nonproduktif).
a. Tujuan kegiatan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah pemeriksaan kesehatan didapatkan gambaran persebaran
penyakit dan insidensi penderita tuberculosis di Desa Tritih Wetan.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah dilakukan pelayanan kesehatan masyarakat diharapkan :
a) Mengetahui dan memahami penyebab TB, tanda dan gejala TB,
penularan TB, dan pertolongan pada penderita TB.
b) Masyarakat diharapkan mampu melakukan tindakan preventif
terhadap masalah kesehatan terutama TB.
c) Masyarakat diharapkan memiliki kepekaan jika ada tetangga/
anggota keluarga yang menunjukkan tyanda gejala yang mirip
dengan TB.
Secara keseluruhan tujuan kegiatan ini tercapai, dimana sebagian
besar warga masyarakat merasa puas dengan pelayanan yang
diberikan meski ada beberapa kendala.
b. Hambatan kegiatan
Keterbatasan jumlah tenaga pengelola Yankes, sehingga pada
pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lebih lama dari rencana
yang dijadwalkan.
Luasnya daerah cakupan (satu desa) sehingga belum semua RW
menerima Yankes
c. Saran / rekomendasi
Bagi puskesmas
perlunya sosialisasi tentang penularan dan akibat TB sehingga
masyarakat waspada terhadap TB
Bagi warga Desa Tritih Wetan
Perlunya meningkatkan kepekaan dan kepedulian warga terhadap
orang yang menderita TB
29
Perlunya memberikan dukungan kepada penderia TB aktif untuk
rutin berobat dan kontrol
Perlunya pelurusan tentang stigma msayarakat bahwa TB adalah
penyakit kemiskinan.
2. Penyuluhan tentang TBC
Pada tanggal 20 April 2009 dilakukan penyuluhan tentang TBC oleh
mahasiswa kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Penyuluhan
dilakukan di rumah Ketua RT 3 Desa Tritih Wetan pada pertemuan rutin
Arisan PKK RW X Desa Tritih Wetan. Peserta penyuluhan adalah pengurus
PKK masing-masing RT di RW X Desa Tritih Wetan. Secara umum kegiatan
berlangsung dengan baik dan lancar. Media yang digunakan dalam
penyuluhan adalah leaflet meskipun tidak menggunakan fasilitas
multimedia seperti LCD, program powerpoint dan layar namun kegiatan
cukup interaktif dan komunikatif. Banyaknya pertanyaan yang diajukan
peserta kepada penyuluh menunjukkan antusiasme peserta yang cukup
baik.
a. Tujuan kegiatan
1) Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta mampu memahami
mengenai penyakit TBC.
2) Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat
memahami :
a) Penyebab TBC
b) Tanda-tanda TBC
c) Cara penularan TBC
d) Pengobatan TBC dan pentingnya pengobatan pada penderita
e) Pencegahan TBC
b. Hambatan kegiatan
Waktu yang terbatas karena setelah penyuluhan masih dilanjutkan
beberapa ragkaian acara dalam arisan sehingga sesi tanya jawab
tidak dapat diperpanjang mengingat banyak peserta yang ingin
bertanya.
c. Saran / rekomendasi
Bagi puskesmas perlunya penyuluhan mengenai TBC secara
berkala didukung dengan peggunaann media
3. Penyuluhan mengenai PUGS.
30
Penyuluhan mengenai PUGS dilaksanakan pada tanggal 21 April 2009 di
rumah Ketua RT III pada pertemuan rutin arisan PKK RW III Desa Trith Wetan.
Peserta penyuluhan adalah pengurus PKK masing-masing RT di RW III Desa
Tritih Wetan. Meskipun penyuluhan tidak menggunakan fasilitas multimedia
dan hanya menggunakan leaflet namun kegiatan secara umum berjalan
dengan baik dan lancar. Sambutan peserta cukup baik dan antusiames
peserta dapat dilihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan peserta
kepada penyuluh.
a. Tujuan kegiatan
1) Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti proses penyuluhan kesehatan peserta mampu
memahami PUGS.
2) Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat
memahami :
a. Pengertian PUGS
b. Isi PUGS yaitu 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang
c. Piramida makanan dan Tri Guna Makanan
b. Hambatan kegiatan
Keterbatasan waktu mengingat banyaknya rangkaian acara
sebelum penyuluhan sehingga penyuluhan dimulai agak sore. Waktu
pelaksanaan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya konsentrasi
peserta untuk mengikuti jalannya acara.
c. Saran / rekomendasi
Bagi puskesmas perlunya pengadaan penyuluhan PUGS secara
berkala.
4. Penyuluhan tentang PHBS dengan Rumah Sehat dan Cuci Tangan
Pada tanggal 28 April 2009 dilakukan penyuluhan tentang PHBS dengan
Rumah Sehat kemudian dialnjutkan penyuluhan tentang Cuci Tangan.
Penyuluhan dilakukan oleh mahasiswa di rumah Ketua RT 3 RW IX Desa
Tritih Wetan dalam pertemuan rutin PKK RW IX Desa Tritih Wetan. Peserta
penyuluhan adalah pengurus PKK masing-masing RT di RW IX Desa Tritih
Wetan. Secara umum kegiatan berlangsung dengan baik dan lancar. Media
yang digunakan dalam penyuluhan adalah leaflet meskipun tidak
menggunakan fasilitas multimedia seperti LCD, program powerpoint dan
layar namun kegiatan berjalan cukup baik, komunikatif dan interaktif.
Antusiasme dan sambuatan peserta yang cukup baik dilihat dari banyaknya
pertanyaan yang diajukan peserta.
31
a. Tujuan kegiatan
1) Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta mampu memahami
mengenai PHBS dan Rumah Sehat serta mampu memahami mengenai
Cuci Tangan.
2) Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat
memahami :
a) Pengertian rumah sehat
b) Syarat rumah sehat
c) Kriteria rumah sehat
d) Cara cuci tangan yang benar
b. Hambatan kegiatan
Waktu yang terbatas karena setelah penyuluhan masih dilanjutkan
beberapa ragkaian acara dalam arisan sehingga sesi tanya jawab tidak
dapat dilanjutkan mengingat banyak peserta yang ingin bertanya.
c. Saran / rekomendasi
Bagi puskesmas perlunya penyuluhan mengenai PHBS dan Ruah Sehat
serta Cara Cuci Tangan yang Benar, secara berkala.
5. Pembuatan Leaflet Anti rokok dan Poster Tuberculosis
Leaflet anti rokok dan poster tuberculosis selesai produksi pada
tanggal 06 Mei 2009 dengan sasaran laki-laki dewasa (bagi pamflet
antirokok) dan bagi kader Posyandu bagi poster Tuberculosis. Kegiatan ini
tepat sasaran terutama bagi laki-laki dewasa yang banyak merokok.
a. Tujuan kegiatan
1) Tujuan Instruksional Umum
Setelah dilakukan penyebaran pamflet antirokok dan poster
tuberculosis diharapkan masyarakat sadar akan bahaya merokok dan
memberikan pengetahuan tentang tuberculosis.
2) Tujuan Instruksional Khusus
Setelah dilakukan penyebaran pamflet antirokok dan penyebaran
poster diharapkan masyarakat mampu :
a) Memahami bahaya merokok.
b) Memahami mengenai penyakit tuberculosis
c) Mengurangi konsumsi merokok setiap harinya.
b. Hambatan kegiatan
Keterbatasan jumlah pamflet yang dicetak sehingga tidak semua
masyarakat Tritih Wetan mendapatkan informasi kesehatan tentang
bahaya merokok dan penyakit tuberculosis.
32
c. Saran / rekomendasi
Bagi puskesmas perlunya menggalakkan promkes anti rokok ke
rumah-rumah sehingga seluruh masyarakt tergerak untuk berubah.
Perlunya usaha peningkatan sosialisasi pemahaman tuberculosis
sehingga masyarakat tahu.
Bagi warga Desa Jeruklegi Wetan perlunya turut aktif
mensukseskan program Puskesmas sehingga masalah merokok
bisa diatasi bersama.
6. Lomba Mewarnai di TK Wijaya Kusuma di Desa Tritih Wetan
Kegiatan lomba mewarnai bertempat di TK Wijaya Kusuma di Tritih Wetan.
Kegiatan Lomba Mewarnai Gambar bertema “Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat” ditujukan anak-anak TK Wijaya Kusuma. TK tersebut memiliki jumlah
murid 46 orang. Acara dijadwalkan mulai pada pukul 08.00-11.00WIB. acara
mulai tepat waktu. Kegiatan ini diikuti oleh 42 orang anak sedangkan 4
orang lainnnya tidak mengikuti karena absen. Acara dibuka oleh Pak Yatin
selaku kepala sekolah dengan salam, do’a kemudian dilanjutkan dengan
persiapan. Lomba mewarnai dilaksanakan di halaman TK dengan
menggunakan meja dan kursi. Anak-anak duduk dapa tempatnya masing-
masing kemudian dibagikan kertas yang berisi gambar bertema PHBS. Anak-
anak dibagikan pinsil warna dan bagian kertas atas ditulis nama anak. Pak
Yatin menjelaskan aturan dan lama menggambar, kemudian anak-anak
mulai menggambar. Waktiu yang ditetapkan 1 jam. Selama kegiatan
berlangsung mahasiswa mendampingi anak-anak dan merautkan pinsil
warna yang kecil. Murid TK Wijaya Kusuma menggambar dengan giat dan
antusias. Setyelah satu jam, semua peserta mengumpulkan hasil karyanya.
Dari 42 gambar dipilih 3 gambar sebagai juara I, II dan II. Selama penjurian
berlangsung, murid-murid diisi materi tentang “Cuci Tangan Sehat” . anak
diminta untuk menirukan gerakan cuci tangan setelah mahasiswa
mendemonstrasikan. Setelah selesai, kemudian diumumkan juara I,II dan III.
Siswa lain yang belum beruntung mendapatkan doorprize berupa buku dan
pinsil.
Secara umum kegiatan mewarnai gambar berlangsung lancar dan
antusias. Kegiatan selesai pada pukul 11.00. tujuan PHBS khususnya cara
mencuci tangan yang baik bisa tersampaikan dengan baik.
a. Tujuan kegiatan
1) Tujuan Instruksional Umum
Setelah kegiatan mewarnai gambar dilaksanakan, murid-murid
diharapkan memahami dan dapat mempraktikkan hidup bersih sehat.
2) Tujuan Instruksional Khusus
33
Setelah dilakukan kegiatan mewarnai gambar anak-anak diharapkan
:
a) Mengetahui cara mencuci tangan yang baik dan benar
b) Mengetahui akibat jika tidak mencuci tangan dengan baik.
c) Mampu mempraktikkan cuci tangan yang baik.
d) Dapat berperikau hidup bersih dan sehat
e) Senang dan cinta terhadap kesehatan.
f) Terbebas dari TB sebagai salah satu penyakit infeksius.
Secara keseluruhan tujuan kegiatan ini tercapai, dimana sebagian besar
anak-anak dapat mempraktikkan dan memahami cara hidup bersih sehat
khususnya dengan mencuci tangan yang baik.
b. Hambatan kegiatan
Diperlukan media yang lebih menarik supaya anak lebih tertarik
terhadap cara mencuci tangan yang baik.
c. Saran / rekomendasi
Bagi puskesmas
Kegiatan semacam ini perlu terus dilakukan supaya anak mengenal
hidup bersih sehat sejak dini.
Anak-anak TK hendaknya turut menjadi sasaran promkes karena
mereka rentan akan penyakit.
Anak-anak rentan terhadap TB sehingga diperlukan program yang
melindungi mereka.
Bagi warga Desa Tritih Wetan
Diperlukan kepedulian dari warga sekitar sehingga anak-anak juga
tidak luput dari sasaran promkes
B. KEGIATAN TAMBAHAN
1. Penyuluhan tentang Osteoporosis
Pada tanggal 25 April 2009 dilakukan penyuluhan tentang Osteoporosis oleh
mahasiswa kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Penyuluhan dilakukan di
Balai Desa Tritih Wetan dalam pertemuan Rapat Koordinasi PKK Desa Tritih
Wetan. Peserta penyuluhan adalah pengurus-pengurus POKJA di Desa Tritih
Wetan. Secara umum kegiatan berlangsung dengan baik dan lancar. Media yang
digunakan dalam penyuluhan adalah leaflet meskipun tidak menggunakan
34
fasilitas multimedia seperti LCD, program powerpoint dan layar namun kegiatan
cukup interaktif dan komunikatif. Sambutan dan antusiasme peserta secara
umum cukup baik dilihat dari perhatian peserta terhadap materi yang diberikan
dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peserta.
a. Tujuan kegiatan
1) Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta mampu memahami
mengenai DHF.
2) Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat
memahami :
a) Pengertian osteoporosis
b) Faktor risiko dan penyebab osteoporosis
c) Gejala osteoporosis
b. Hambatan kegiatan
Tidak ditemukan hambatan yang bermakna pada saat jalannya acara
c. Saran / rekomendasi
Bagi puskesmas perlunya penyuluhan mengenai osteoporosis secara
berkala.
2. Penyuluhan tentang DHF
Pada tanggal 30 April 2009 dilakukan penyuluhan tentang DHF oleh mahasiswa
kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Penyuluhan dilakukan di rumah...........
dalam pertemuan rutin arisan PKK RW IV Desa Tritih Wetan. Peserta penyuluhan
adalah pengurus PKK masing-masing RT di RW IV Desa Tritih Wetan. Secara
umum kegiatan berlangsung dengan baik dan lancar. Media yang digunakan
dalam penyuluhan adalah leaflet meskipun tidak menggunakan fasilitas
multimedia seperti LCD, program powerpoint dan layar namun kegiatan cukup
interaktif dan komunikatif. Sambutan dan antusiasme peserta secara umum
cukup baik dilihat dari perhatian peserta terhadap materi yang diberikan dan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peserta.
a. Tujuan kegiatan
1) Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta mampu memahami
mengenai DHF.
2) Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti proses penyuluhan peserta diharapkan dapat
memahami :
a) Pengertian DHF
b) Penyebab DHF
35
c) Tindakan yang dilakukan bila terkena DHF
d) Pencegahan DHF
b. Hambatan kegiatan
Tidak ditemukan hambatan yang bermakna pada saat jalannya acara
c. Saran / rekomendasi
Bagi puskesmas perlunya penyuluhan mengenai DHF secara berkala.
B. MONITORING DAN EVALUASI KEGIATAN
1. Secara umum hampir semua kegiatan berjalan dengan baik dan lancar.
2. Secara umum sambutan antusiasme peserta terhadap berbagai kegiatan baik.
3. Masih ada hambatan dana untuk semua kegiatan
4. Masih ada beberapa penolakan dari masyarakat untuk berpartisipasi dalam
kegiatan
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
36
Berdasarkan hasil penelitian terhadap warga masyarakat Desa Tritih Wetan,
dapat disimpulkan:
1. Adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kelompok usia
produktif di Desa Tritih Wetan
2. Tidak adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan latar belakang
profesi tenaga kesehatan
3. Tidak adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kondisi
sosioekonomik
4. Tidak adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kebiasaan
merokok,
5. Tidak adanya hubungan antara kebiasaan minum alkohol dengan kejadian
tuberculosis
6. Tidak adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan kondisi rumah
7. Tidak menunjukkan adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan
penyakit sistemik yang diderita
8. Adanya hubungan antara kejadian tuberculosis dengan riwayat kontak
penderita tuberculosis.
B. Saran
Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah TBC di Desa Jeruklegi Wetan:
1. Perlu dilakukan sosialisasi secara berkala kepada masyarakat
tentang penyakit TBC termasuk gejala, penanganan dan juga pencegahannya
2. Pendekatan kepada warga yang menderita TBC agar secara rutin
memeriksakan dirinya dan menjalani pengobatan secara teratur untuk proses
penyembuhan
3. Edukasi mengenai faktor risiko tuberculosis
4. Penyegaran pengawas minum obat (PMO)
DAFTAR PUSTAKA
37
Brodie D, et al. The diagnosis of Tuberculosis. Clin Chest Med. 2005 Jun;26(2):247–71
JAMA and Archives Journals (2007). Smoking May Be A Risk Factor For Tuberculosis. ScienceDaily. Diunduh pada 2 April 2009, dari http://www.sciencedaily.com/releases/2007/02/070227105634.htm
Chapman S, et al. 2005. Oxford Handbook of Respiratory Medicine. Oxford University
Press.
Smeltzer,Suzanne C and Bare, Brenda G.2001. Keperawatan Medikal Bedah. Brunner and Suddarth Edisi 8.Jakarta:EGC.
Mueller, Donna H. 2004. Krause’s Food Nutrition & Diet Therapy 11th Ed. Boston: Elsevier.
Chandrasoma P, Taylor CR. 1995. Concise Pathology 2nd ed. New York: Appleton & Lange.
Kasper DL, et al. 2004. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th Ed. New York: McGraw-Hill Professional.
Stephen J. McPhee, Maxine A. Papadakis, Lawrence M. Tierney. 2008. Current Medical Diagnosis & Treatment 2008 47th ed. New York: McGraw-Hill.
Balkissoon R, et al. 2003. 2003. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. New York: McGraw-Hill.
WORLD HEALTH ORGANIZATION: Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes. Geneva, World Health Organization, 2003
Li J, Brainard D. 2006. Tuberculosis. Emedicine.com.
Coker et al. Risk factors for pulmonary tuberculosis in Russia: case-control study. Brit Med J, 2006; 332: 7533-85.
Borgdorff MW, Nagelkerke N, van Soolingen D, et al. Transmission of tuberculosis between people of different ages in the Netherlands—an analysis using DNA fingerprinting. Int J Tuberc Lung Dis 1999;3:202–6.
Borgdorff MW, Nagelkerke N, Haas P, et al. Transmission of Mycobacterium tuberculosis Depending on the Age and Sex of Source Cases. American Journal of Epidemiology Vol. 154, 2001, No. 10 : 934-943.
Reviono, et al. Profil Penderita TB Paru Rawat Jalan di Poliklinik Paru/RS. Persahabatan Jakarta periode September-Desember 1999. JRI. PDPI. Vol.21 No. 3, 2001: 95-100.
Meredith S, et al. Are healthcare workers in England and Wales at increased risk of tuberculosis? Brit Med J, 1996; 313: 522-525.
Adhitama TY. 1994. Masalah Tuberkulosis Paru dan Penanggulangannya. Universitas Indonesia, Jakarta.
Retnaningsih E. 2007. Pengaruh Kemiskinan Kontekstual Terhadap Akses Layanan Kesehatan Suspek Penderita Tuberculosis di Indonesia. Jurnal Pembangunan Manusia.
Gomez et al. Effects of Active Smoking and Environmental Tobacco Smoke on Pulmonary Tuberculosis. Chest Journal, 2006; 3:124-8.
38
Bates et al. Risk of Tuberculosis from Exposure to Tobacco Smoke. Arch Intern Med, 2007: 162: 335-42.
De Boon et al. Association Between Passive Smoking and Infection With Mycobacterium tuberculosis in Children. Pediatrics, 2007; 119: 734-739.
Sopori M. Effects Of Cigarette Smoke on The Immune System. Nat Rev Immunol. 2002;2:372–377
Mason C, Dobard E, Zhang P, Nelson S: Alcohol Exacerbates Murine Pulmonary Tuberculosis. Infection and Immunity 2004, 2556-2563.
Nelson S, Mason C, Bagby G, Summer W: Alcohol, Tumor Necrosis Factor, and Tuberculosis. Alcoholism: Clinical and Experimental Research 1995, 19:17-24.
Lonnroth K, et al. Alcohol Use as A Risk Factor for Tuberculosis – A Systematic Review. BMC Public Health 2008, 8:289.
Yusup, Nur Achmad dan Sulistyorini, Lilis.2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik Dengan Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan 2005;Vol.1, No.2, Januari.
Azwar, Azrul. (1990). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara
Gunawan, Rudi dan FX Haryanto. (1982). Pedoman Perencanaan Rumah Sehat. Yogyakarta : Yayasan Sarana Cipta.
Ranuh, I.G.N. (1997). Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak. Surabaya, Continuing Education. Ilmu Kesehatan Anak.
Nurhidayah I, et al. 2007. Hubungan Antara Karakteristik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Pada Anak di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang. UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN BANDUNG
Departemen Kesehatan RI. 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta: Depkes RI
Azwar, A. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara Sumber Daya
Lubis, P. 1989. Perumahan Sehat. Jakarta: Depkes RI
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta
Atmosukarto dan Sri Soewasti. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran Tuberkulosis. Jakarta: Media Litbang Kesehatan, Vol. 9 (4), Depkes RI.
Mangtani P, et al. Socioeconomic deprivation and notification rates for tuberculosis in London during 1982-9. BMJ 1995;310(6985):963.
Guwatudde D, et al. Tuberculosis in Household Contacts of Infectious Cases in Kampala, Uganda. Am J Epid, 2003(158):9
Chia S, Karim M, Elwood RK, Fitzgerald JM. Risk of Tuberculosis in Dialysis Patients: a Population-Based Study. Int J Tuberc Lung Dis 1998;2:989-91.
Moore D, et al. High Rates of Tuberculosis in End-Stage Renal Failure: the Impact of International Migration. CDC 2002(8).
39
Jin S, et al. Frequency and predictors of miliary tuberculosis in patients with miliary pulmonary nodules in South Korea: A retrospective cohort study. BMC Infectious Diseases 2008(8).
Leon A, et al. Tuberculosis and Diabetes in Southern Mexico. Diabetes Care 2004, 27:1584–1590.
Pablos-Mendez A, Blustein J, Knirsch C. The Role of Diabetes Mellitus in the Higher Prevalence of Tuberculosis among Hispanics. Am J Public Health 1997, 87(4).
40
top related